Bab I
Bab I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
NAPZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lain) adalah bahan/zat/obat jika
masuk kedalam tubuh manusia akan memengaruhi tubuh terutama otak/susunan saraf
pusat, sehingga menyebabkan gangguan kesehatan fisik, psikis, dan fungsi sosialnya
karena terjadi kebiasaan, ketagihan (adiksi) serta ketergantungan (dependensi) terhadap
NAPZA.
Masalah penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainya
(NAPZA) atau istilah yang populer dikenal masyarakat sebagai NARKOBA (Narkotika
dan Bahan/ Obat berbahanya) merupakan masalah yang sangat kompleks, yang
memerlukan upaya penanggulangan secara komprehensif dengan melibatkan kerja sama
multidispliner, multisektor, dan peran serta masyarakat secara aktif yang dilaksanakan
secara berkesinambungan, konsekuen dan konsisten.
Menurut laporan United Nations Office Drugs and Crime pada tahun 2009
menyatakan 149 sampai 272 juta penduduk dunia usia 15-64 tahun yang
menyalahgunakan obat setidaknya satu kali dalam 12 bulan terakhir. Dari semua jenis
obat terlarang ganja merupakan zat yang paling banyak digunakan di seluruh dunia
yaitu 125 juta sampai dengan 203 juta penduduk dunia dengan prevalensi 2,8%-4,5%.
Berdasarkan efeknya terhadap system saraf pusat (SSP), maka terbagi menjadi
3 golongan, yaitu : Stimulan, Depresan dan Halusiogen. Pemakaian NAPZA ini tidak
mengenal berdasarkan usia, status derajat social, status ekonomi miskin atau kaya,
status pekerjaan, status agama maupun RAS. Semua kalangan bisa terjerumus untuk
menggunakan narkoba dan bisa menjadi pengedar obat-obat terlarang tersebut. Maka
dari itu kita semua perlu mewaspadai bahaya dan pengaruhnya terhadap ancaman
kelangsungan pembinaan generasi muda. Sector kesehatan memegang peranan
penting dalam upaya penanggulangan penyalahgunaan narkoba.
1.2.Tujuan
1) Mahasiswa dapat mengetahui bagaimana mekanisme terjadinya gejala di
skenario.
2) Mahasiswa dapat mengetahui definisi dari napza.
3) Mahasiswa dapat mengetahui jenis-jenis dari napza.
1|Page
4) Mahasiswa dapat mengetahui bagaimana mekanisme kerja napza.
5) Mahasiswa dapat mengetahui bagaimana penggunaan napza di bidang
kesehatan.
6) Mahasiswa dapat mengetahui perbedaan gejala putus zat dengan intoksikasi
napza.
7) Mahasiswa dapat mengetahui bagaimana penatalaksanaan keadaan putus zat.
8) Mahasiswa dapat mengetahui bagaimana prognosis dan komplikasi keadaan
putus zat, serta dampak negative yang timbul pada penggunaan napza.
2|Page
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Skenario
LBM IV
SERBUK FAVORIT
Seorang laki-laki berusia 23 tahun datang ke Praktek Dokter bersama dengan
kakaknya disertai perilaku agresif, cemas, bicara dengan nada cepat dan keras serta
tampak bingung. Kakaknya yang mengantarkan mengatakan bahwa pasien memiliki
nafsu makan yang kurang, sering tampak kelelahan, sulit tidur, tangan gemetar. Di
tempat praktek dokter, pasien sering meminta “Serbuk Favoritnya” disertai dengan
kalimat mengancam dokter. Dari pemeriksaan dokter didapatkan tekanan darah
100/60mmHG, frekuensi nadi 100X permenit, pernafasan 28X permenit, dan suhu
36,8oC. Bagi pasien tersebut kebutuhan utamanya pada saat itu tidak ada yang lain,
selain mendapatkan “Serbuk Favoritnya”. Kondisi seperti ini menurut kakak pasien
sudah sering terjadi selama beberapa bulan sebelumnya.
2.2. Permasalahan
1) Bagaimana mekanisme terjadinya gejala di skenario?
2) Apa definisi dari napza?
3) Apa saja jenis-jenis dari napza?
4) Bagaimana mekanisme kerja napza?
5) Bagaimana penjelasan penggunaan napza di bidang kesehatan?
6) Apa perbedaan gejala putus zat dengan intoksikasi napza?
7) Bagaimana penatalaksanaan keadaan putus zat?
8) Bagaimana prognosis dan komplikasi keadaan putus zat, serta dampak
negative yang timbul pada penggunaan napza?
3|Page
lain obat-obatan terlarang. Dimana penggunaan dari obat-obatan (serbuk favorit)
ini memiliki pengaruh terhadap kerja sistem saraf, sehingga dapat mempengaruhi
kerja dari neurotransmitter akibatnya akan mengganggu dari pelepasan dopamin
maupun serotonin itu sendiri. Ketika impuls saraf sampai pada bongkol sinapsis,
maka gelembung-gelembung sinapsis akan mendekati membran presinapsis.
Namun karena dopamin tidak dihasilkan atau mengalami gangguan, maka
neurotransmitter tidak dapat melepaskan isinya kecelah sinapsi sehingga impuls
saraf yang dibawa tidak dapat menyebrang ke membran post sinapsis. Kondisi
tersebut menyebabkan tidak terjadinya depolarisasi pada membran post sinapsis
dan tidak terjadi pontensial kerja karena impuls saraf tidak bisa merambat ke sel
saraf berikutnya, sehingga menimbulkan gejala pada skenario serta terdapatnya
efek stimulan yang mengakibatkan pasien sulit tidur.
Sedangkan penyebab pasien selalu meminta serbuk favoritnya, hal ini karena
otak telah merespon. Bagian otak yang bertanggung jawab atas kehidupan
perasaan atau rasa nyaman adalah pada sistem limbus. Hipothalamus merupakan
bagian dari sistem limbus sebagai pusat kenikmatan. Jika narkoba atau serbuk
favoritnya masuk kedalam tubuh dengan cara ditelan, dihirup, atau disuntikkan,
mengakibatkan terjadinya perubahan pada susunan biokimiawi neurotransmitter
pada limbus karena terdapatnya asupan narkoba dari luar. Akibat narkoba atau
serbuk favorinya berhenti di konsumsi akan menyebabkan pasien akan selalu
meminta serbuk favoritnya itu. Hal ini disebabkan pasien ingin mendapatkan rasa
nyaman itu kembali.
2) Definisi NAPZA
NAPZA (Narkotika, Pskitropika dan Zat Adiktif lain) adalah bahan/zat/obat
yang bila masuk kedalam tubuh manusia akan mempengarui tubuh terutama otak
atau susunan saraf pusat, sehingga menyebabkan gangguan kesehatan fisik, psikis,
dan fungsi sosial karena terjadi kebiasaan, ketagihan (adiksi) serta ketergantungan
(dependensi) terhadap NAPZA.
Istilah NAPZA umumnya digunakan oleh sektor pelayanan kesehatan, yang
menintik beratkan pada upaya penanggulangan dari sudut kesehatan fisik, psikis,
dan sosial.
NAPZA sering disebut juga sebagai Zat Psikoaktif, yaitu zat yang bekerja
pada otak, sehingga menimbulkan perubahan prilaku, perasaan, dan pikiran.
4|Page
3) Jenis-jenis NAPZA
a. Narkotika
Berdasarkan Undang-Undang Narkotika No. 22/1997, narkotika dibagi
menjadi 3 golongan, yaitu :
1. Narkotika Golongan I : hanya digunakan untuk ilmu pengetahuan , tidak untuk
terapi, potesi sangat tinggi untuk menyebabkan ketergantungan (contohnya :
heroin, kokain, ganja)
2. Narkotika golongan II : digunakan untuk terapi pilihan terakhir dan IPTEK,
berpotensi tinggi untuk menyebabkan ketergantungan (contohnya : morfin,
petidin)
3. Narkotika golongan III : digunakan untuk terapi dan IPTEK, berpotensi ringan
untuk menyebabkan ketergantungan (contohnya : kodein).
b. Psikotropika
Terdiri dari 4 golongan :
1. Golongan I : Psikotropika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu
pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi kuat
mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh : Ekstasi. Zat psikotropika
golongan I terdiri dari 26 macam.
2. Golongan II : Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan dapat digunakan
dalan terapi dan / atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai
potensi kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh :
Amphetamine. Zat psikotropika golongan II terdiri dari 14 macam.
3. Golongan III : Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan banyak
digunakan dalam terapi dan / atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta
mempunyai potensi sedang mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh :
Phenobarbital. . Zat psikotropika golongan III terdiri dari 9 macam.
4. Golongan IV : Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan sangat luas
digunakan dalam terapi dan / atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta
mempunyai potensi ringan mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh
:Diazepam, Nitrazepam ( BK, DUM). Zat psikotropika golongan IV terdiri
dari 60 macam.
5|Page
- Jenis-jenis psikotropika:
1. Psikotropika yang tidak digunakan untuk tujuan pengobatan dengan
potensi ketergantungan yang sangat kuat. Contoh : LSD,MDMA, dan
mascalin.
2. Psikotropika yang berkhasiat tetapi dapat menimbulkan ketergantungan
seperti Amfetamin.
3. Psikotropika dari kelompok hipnotik sedative, seperti Barbiturat. Efek
ketergantungan sedang.
4. Psikotropika yang efek ketergantungannya ringan,seperti
Diazepam,Nitrazepam.
6|Page
1. Minuman Alkohol : mengandung etanol etil alkohol, yang berpengaruh
menekan susunan saraf pusat, dan sering menjadi bagian dari kehidupan
manusia sehari – hari dalam kebudayaan tertentu. Jika digunakan bersamaan
dengan Narkotika atau Psikotropika akan memperkuat pengaruh obat / zat itu
dalam tubuh manusia. Ada 3 golongan minuman beralkohol :
a. Golongan A : kadar etanol 1 – 5 % ( Bir ).
b. Golongan B : kadar etanol 5 – 20 % ( Berbagai minuman anggur )
c. Golongan C : kadar etanol 20 – 45 % ( Whisky, Vodca, Manson House,
Johny Walker ).
2. Inhalasi ( gas yang dihirup ) dan solven ( zat pelarut ) mudah menguap berupa
senyawa organik, yang terdapat pada berbagai barang keperluan rumah
tangga, kantor, dan sebagai pelumas mesin. Yang sering disalahgunakan
adalah : Lem, Tiner, Penghapus Cat Kuku, Bensin.
3. Tembakau : pemakaian tembakau yang mengandung nikotin sangat luas di
masyarakat.Dalam upaya penanggulangan NAPZA di masyarakat, pemakaian
rokok dan alkohol terutama pada remaja, harus menjadi bagian dari upaya
pencegahan, karena rokok dan alkohol sering menjadi pintu masuk
penyalahgunaan NAPZA lain yang berbahaya.
7|Page
berpasangan (G protein coupled receptor) dan menginhibisi adenilsiklase
menyebabkan penurunan formasi siklik AMP sehingga aktivitas
neurotransmitter terhambat. Selain itu juga meningkatkan effluks K+ pada
postsinaptik (hiperpolarisasi) dan mereduksi Ca+ influks pada presinaptik
yang juga turut berperan dalam menghambat pelepasan neurotransmitter.
8|Page
di reseptor GABA.Reseptor GABA ini merupakan tempat dimana obat
golongan benzodiazepin bekerja seperti diazepam. Diazepam akan mengikat
pada reseptor GABA secara alosterik, dimana ia akan mengingat pada sisi lain
selain sisi aktif dari reseptor GABA, ketika diazepam mengikat reseptor, ia
akan mengikat frekuensi dari pembukaan reseptor tersebut. Diazepam
menyebabkan peningkatan konduktivitas dari reseptor GABA . ketika
neurotransmitter GABA mengikat dengan reseptor, ia memicu perubahan
konformasi dari pori-pori sehingga memungkinkan lebih banyak Cl- masuk
kedalam sel. Hal ini menghasilkan hiperpolarisasi dari membran sel, akibatnya
menghasilkan penghambatan potensial aksi. Setelah mengikat, benzodiazepin
mengunci reseptor GABA menjadi konformasi yang meningkatkan
peningkatan GABA. Peningkatan GABA yang terkait pada reseptor
meningkatkan frekuensi membuka terkait kanal ion Cl-, sehingga memperkuat
efek penghambatan potensial aksi.
B. STIMULAN
1. Mekanisme kerja metafetamin :
a) Meningkatkan aktivitas neurotransmitter norepinefrin dan dopamine
dengan cara memblokade re-uptake-nya di ujiung saraf
b) Neurotransmitter bekerja pada sistem saraf simpatis meningkatkan
kewaspadaan , meningkatkan denyut jantung, dan meningkatkan
pernafasan, dll.
2. Mekanisme kerja kokain
a) Menghambat insisiasi dan konduksi pada susunan saraf tepi sehingga
member efek anastesi
b) Merangsang langsung pada susunan saraf pusat, dan
c) Menghambat re-uptake katekolamin pada sinaps sehingga kadar
katekolamin di dalam otak meningkat sehingga member efek euforik.
C. HALUSINOGEN
Walaupun banyak sekali zat halusinogen yag bervariasi dalam efek
farmakologisnya, LSD dapat dianggap sebagai prototip umum halusinogen.
Efek farmakologis dasar dari LSD masih kontroversial, walaupun biasanya
diterima bahwa efek utama adalah pada system serotoninergic.Kontorversi
9|Page
adalah tentang apakah LSD bekerja sebagai antagonis atau agonis; data pada
saat ini menunjukkan bahwa LSD bekerja sebagai agonis parsial di reseptor
serotonin pascasinaptik.Sebagian besar halusinogen diabsorbsi setelah ungesti
oral, walaupun beberapa jenis halusinogen diingesti melalui inhalasi, dihisap
seperti rokok, atau penyuntikan intravena.Toleransi untuk LSD dan
halusinogen lain berkembang dengan cepat dan hamper lengkap setelah tiga
sampai empat hari pemakaian kontinu. Toleransi juga pulih dengan cepat,
biasanya dalam empat sampai tujuh hari.Tidak ada ketergantungan fisik pada
halusinogen, dan tidak ada gejala putus halusinogen.Tetapi, suatu
ketergantungan psikologis dapat terjadi pada pengalaman yang menginduksi
tilikan (insight during experiemce) dimana pemakai mungkin
menghubungkannya dengan episode pemakaian halusinogen.
10 | P a g e
e. Methadone, saat ini Methadone banyak digunakan orang dalam pengobatan
ketergantungan opium. Antagonis opioid (analgetik narkotika) telah dibuat
untuk mengobati overdosis opioid dan ketergantungan opioid dan digunakan
sebagai analgesia bagi penderita rasa nyeri.
f. Meperidin (sering juga disebut petidin, demerol, atau dolantin), digunakan
sebagai analgesia.Obat ini efektif untuk diare. Daya kerja meperidin lebih
pendek dari morfin.
2) Penggunaan Psikotropika Dalam Bidang Kedokteran
Penggunaan obat-obat yang tergolong psikotropika dalam bidang kesehatan antara
lain:
a. Asam barbiturat (pentobarbital dan secobarbitol) sering digunakan untuk
menghilangkan cemas sebelum operasi (obat penenang)
b. Amfetamin (dan turunannya), digunakan untuk mengurangi depresi,
kecanduan alkohol, mengobati parkinson kegemukan, keracunan zat tertentu,
menambah kewaspadaan, menghilangkan rasa kantuk dan lelah, menambah
keyakinan diri dan konsentarsi
3) Penggunaan Zat Adiktif dalam Bidang Kedokteran
a. Pada dosis tertentu, nikotin yang terdapat pada rokok dapat digunakan sebagai
obat untuk memulihkan ingatan seseorang. Hal ini karena nikotin dapat
merangsang sensor penerima rangsangan di otak.
b. Alkohol dapat membunuh kuman penyakit, sehingga biasanya digunakan
untuk membersihkan alat-alat kedokteran pada proses sterilisasi.
11 | P a g e
gunaan obat.Efek pada SSP dari obat golongan ini sangat bervarìasi tergantung
pada jenis obat, kepekaan individu, dan dosis obat yang dipakai.
Perbedaan Kriteri Diagnosis antara Intoksikasi Zat dan Gejala Putus Zat
12 | P a g e
psikologis karena efek dari zat terhadap sitim saraf pusat (mis. keadaan siap
tempur,labilitas mood,gangguan kognitif, penilaian,sosial dan fungsi pekerjaan)
yang terjadi segera setelah penggunaan zat.
C. C.Gejala-gejalanya tidak karena kondisi medis umum ataupun gangguan mental
lainnya.
13 | P a g e
lambat.Selain itu kemungkinan timbulnya adiksi ini lebih kecil daripada
bahaya adiksi morfin.
- Pencegah kekambuhan misalnya Naltreksone:
Naltreksone merupakan obat yang tergolong dalam antagonis
opioid. Antagonis opioid umumnya tidak menimbulkan banyak efek
kecuali bila sebelumnya telah ada efek agonis opioid atau bila endogen
opioid sedang aktif misalnya pada keadaan stress atau syok. Naltrekson
dapat digunakan secara oral untuk terapi keracunan dan ketergantungan
obat opioid, karena kemampuannya untuk mengantagonis semua kerja
opioid. Pasien harus bebas dari opiate sebelum pemberian naltrekson. Obat
ini dikontraindikasikan pada pasien hepatitis akut dan gagal ginjal.
Acamprosate
- Intoksikasi alcohol kronik (alkoholisme)
Penggunaan alcohol menyebabkan terjadinya toleransi secara
farmakokinetik dan farmakodinamik. Bila penggunaan alcohol dihentikan
akan timbul gejala putus obat (gejala yang timbul serta beratnya
ketergantungan ditentukan oleh jumlah dan lamanya konsumsi).
Penanganan ketergantungan alcohol biasanya dilakukan dengan
terapipsikososial, ditambah dengan pemberian obat sebagai penunjang
keberhasilan terapi.Obat yang digunakan ialah disulfiram dan neltrakson.
2. Tahap rehabilitasi nonmedis
Pecandu ikut serta dalam program rehabilitasi tahap ini. Diberbagai
tempat rehabilitasi (khususya yang telah dibangun di Indonesia), pecandu
menjalani berbagai program diantaranya therapeutic communities (TC), 12
steps (dua belas langkah, diantaranya: pendekatan keagamaan, dll).
3. Tahap bina lanjut (after care)
Tahap ini pecandu diberikan kegiatan sesuai minat dan bakat untuk
mengisi kegiatan sehari-hari, pecandu dapat ditempatkan kembali ke sekolah
atau tempat kerja maupun lingkungan masyarakat, namun tetap dalam
pengawasan.
14 | P a g e
Pendekatan psikologis seperti terapi perilaku kognitif, wawancara
motivasional dan kelompok menolong diri sendiri telah terbukti efektif.
15 | P a g e
e. Metode 12 steps: di Amerika Serikat, jika seseorang kedapatan mabuk atau
menyalahgunakan narkoba, pengadilan akan memberikan hukuman untuk
mengikuti program 12 langkah. Pecandu yang mengikuti program ini dimotivasi
untuk mengimplementasikan ke 12 langkah ini dalam kehidupan sehari-hari.
8) Prognosis dan Komplikasi Keadaan Putus Zat Serta Dampak Negatif Penggunaan
NAPZA
A. Komplikasi
a. Komplikasi Medik-psikiatri (Ko-morbiditas)
Gangguan tidur, gangguan fungsi seksual, cemas, depresi berat,
pada penyalahguna heroin/ putaw. Paranoid, psikosis, depresi berat
kadang-kadang percobaan bunuh diri, mania, agitasi, cemas sampai
panik, keadaan ini dijumpai pada penyalahguna stimulansia.
Gangguan psikotik, gangguan cemas, kehilangan motivasi, acuh
tak acuh dan gangguan daya ingat, sering ditemukan pada
penyalahguna ganja.Depresi, cemas sampai panik dan paranoid sering
ditemukan pada penyalahgunaan alkohol dan sedatif hipnotika.
b. Komplikasi Medik
1. Akibat pemakaian yang lama:
Opiat (heroin, putaw)
a. Paru: bronkhopneumonia, edema paru
b. Jantung: endocarditis
c. Hepar: hepatitis C
d. Penyakit menular seksual & HIV/AIDS
Kanabis (ganja, cimeng)
a. Daya tahan tubuh turun mudah infeksi
b. Kerusakan mukosa mulut hitam & kotor
c. Radang saluran nafas kronis
Kokain
a. Aritmia jantung
b. Ulkus lambung
c. Perforasi septum nasi
d. Kerusakan paru
e. Malnutrisi & anemia
16 | P a g e
Alkohol
a. Sal.Cerna: tukak lambung, perdarahan usus, kanker
b. Hepar: sirosis hepatis & kanker hati
B. Dampak Negatif
Dampak negatif penyalahgunaan narkoba :
a. Problem fisik
1. Abses pada kulit sampai septichemia
2. Infeksi karena emboli, dapat sampai stroke
3. Endokarditis
4. Hepatitis (B dan C)
5. HIV / AIDS
6. Injeksi menyebabkan trauma pada jaringan saraf lokal
17 | P a g e
b. Problem psikiatri
1. Gejala withdrawal menyebabkan prilaku agresif
2. Suicide
3. Depresi berat sampai skizofrenia
c. Problem sosial
1. Gangguan interaksi di rumah tangga sampai lingkungan masyarakat
2. Kecelakaan lalu lintas
3. Prilaku kriminal sampai tindak kekerasan
4. Gangguan prilaku sampai anti-sosial (mencuri, mengancam, menodong,
membohong, menipu, sampai membunuh)
d. Sebab – sebab kematian
1. Reaksi heroin akut menyebabkan kolaps-nya kardiovaskular dan akhirnya
meninggal
2. Overdose, karena heroin menekan susunan saraf pusat, sukar bernafas dan
menyebabkan kematian
3. Tindak kekerasan
4. Bronkhopnoumonia
5. Endokarditis
C. Prognosis
Keberhasilan dari penatalaksanaan penyalahgunaan obat/zat memerlukan proses
yang sangat panjang. Resiko tinggi untuk relaps selama terapi hampir selalu ada.
18 | P a g e
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
NAPZA (Narkotika, Pskitropika dan Zat Adiktif lain) adalah bahan/zat/obat
yang bila masuk kedalam tubuh manusia akan mempengarui tubuh terutama otak atau
susunan saraf pusat, sehingga menyebabkan gangguan kesehatan fisik, psikis, dan
fungsi sosial karena terjadi kebiasaan, ketagihan (adiksi) serta ketergantungan
(dependensi) terhadap NAPZA. NAPZA terbagi menjadi 3 golongan, yaitu :
Stimulan, Depresan dan Halusiogen. Zat ini dapat mempengaruhi dari kerja
neurotransmitter sehingga akan mengakibatkan timbul gejala pada skenario. Untuk
menangani hal ini, maka diperlukan sebuah tatalaksana yaitu tahap rehabilitasi medis
(dtoksifikasi), tahap rehabilitasi nonmedis, dan tahap bina lanjut (aftercare). Selain
itu pada pengguna NAPZA akan menyebabkan komplikasi maupun dampak negatif
pada si pengguna.
19 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA
Elvira, S. D. Hadisukanto, G. (2010). Buku Ajar Psikiatri FK UI. Badan Penerbit FK UI,
Jakarta.
Hawari, Dadang. (2012). Penyalahgunaan & Ketergantungan NAPZA, Edisi II. FK UI (hlm :
37-64), Jakarta.
Husain AB. (2010). Gangguan Penggunaan Zat. in Buku Ajar Psikiatrik edited by Elvira SD,
Hadisukanto G. Badan Penerbit FKUI: Jakarta., p. 138-69
Kaplan, Sadock. (1997). Sinopsis Psikiatri, Edisi Ketujuh, Jilid 1.Bina rupa aksara, Jakarta.
Kaplan, Sadock. (1997). Sinopsis Psikiatri, Edisi Ketujuh, Jilid 2.Bina rupa aksara, Jakarta.
Maramis, Willy F. (2009). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa, Edisi II. Airlangga University
Press (hlm :369-383), Surabaya.
Maslim, Rusdi. (2013). Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas PPDGJ – III dan DSM
5. Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya (hlm : 34), Jakarta.
Sadock, Benjamin J. (2010). Kaplan & Sadock Buku Ajar Psikiatri Klinis, Edisi II. EGC (hlm
: 86-146), Jakarta.
20 | P a g e