Anda di halaman 1dari 32

MAKALAH

“KELEMBAGAAN PADA PENGELOLAAN LUMPUR TINJA”

NAMA KELOMPOK:

1. EKA FITRIANINGSIH (H75216031)


2. ERLIN DWI CAHYANTI (H75216033)
3. NUNIK RAHMAWATI N. (H75216043)
4. M. ALFAN A. (H05216015)

PRODI TEKNIK LINGKUNGAN

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA

2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT) merupakan salah satu sistem


pengolahan tinja di Indonesia. Indonesia mempunyai 150 IPLT yang tersebar
di seluruh kota. Sebagian besar IPLT di Indonesia masih belum beroperasi
secara optimal atau tidak beroperasi lagi.

Suatu lembaga dibentuk untuk memenuhi kebutuhan manusia sehingga


lembaga mempunyai fungsi, selain itu lembaga merupakan suatu konsep yang
terpadu dengan struktur, artinya tidak saja melibatkan pola aktivitas yang lahir
dari segi sosial untuk memenuhi kebutuhan manusia tetapi juga pola organisasi
untuk melaksanakannya. (Suyudi, 210-226)

Apabila kurang terkoordinirnya kelembagaan yang bertanggung jawab


terhadap pengelolaan dan manajemen IPAL, maka perlu dilakukan kajian yang
lebih konprehensif terhadap kelembagaan pengelolaan IPAL. sehingga
pengelolaan IPAL dapat difungsikan secara lebih maksimal.
Sebagai upaya untuk menjadikan Sistem Layanan Lumpur Tinja Terjadwal
(LLTT) ini dapat diimplemantasikan dengan mudah, terukur, menyeluruh dan
berkesinambungan, maka penanganan yang dilakukan harus meliputi aspek
regulasi, manajemen dan kelembagaan, teknis operasional, finansial dan peran
badan usaha, serta dibutuhkannya mekanisme pemantauan.

1.2 Rumusan Masalah


a. Bagaimana konsep kelembagaan dalam suatu IPLT?
b. Bagaimana kinerja instansi/ kelembagaan di IPLT?

1
1.3 Maksud dan Tujuan
a. Mengidentifikasi konsep di lapangan, baik yang terkait dengan aspek
kelembagaan
b. Mengkaji kinerja instansi/ kelembagaan di IPLT

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Lumpur Tinja


Lumpur tinja merupakan sumber pencemar yang terdiri atas padatan
terlarut di dalam air yang sebagian besar mengandung material organik.
Lumpur tinja juga mengandung berbagai macam mikroorganisme seperti:
bakteri, virus dan lain sebagainya. Lumpur tinja diketahui memiliki
karakteristik umum dengan TSS 4.000-100.000mg/l, COD 5.000-80.000 mg/l,
BOD5 2.000-30.000 mg/l, dan total coliforms 56-8,03x107 CFU/100 ml .
(Eddy, 1991)
Tercemarnya air tanah akan menimbulkan berbagai macam penyakit,
sehingga perlu dilakukan perbaikan dalam pelayanan sanitasi kota dan
membangun tangki septik yang kedap air. Pembangunan tangki septik yang
tidak memenuhi syarat seringkali mengalami kebocoran dan mencemari air
tanah (Nazar dkk, 2010). Dalam upaya menghindari timbulnya permasalahan
lain saat kapasitas tangki septik telah mencapai batas maksimum, perlu
dilakukan pengurasan tangki septik secara berkala, waktu pengurasan berkisar
antara 1 – 3 tahun. Pengurasan lumpur pada tangki septik dilakukan dengan
penyedotan menggunakan truk tinja, kemudian truk tinja akan membawa
lumpur ini ke instalasi pengolahan lumpur tinja.
Saat ini instalasi pengolahan lumpur tinja sudah banyak dibangun,
namun masih banyak yang belum beroperasi dengan baik bahkan tidak
beroperasi. Hal ini dikarenakan dua faktor yaitu faktor teknis dan non teknis.
Faktor teknis meliputi debit masuk berubah-ubah, waktu detensi singkat, BOD
effluen belum memenuhi kriteria baku mutu limbah. Faktor non teknis meliputi
faktor instansi/kelembagaan yang belum mengelola IPLT dengan baik.

3
2.2 Pengelolaan Lumpur Tinja.
Dengan adanya sistem kontrol dan pengkoordinasian sumber daya, di
mana untuk mencapai sasaran secara efektif dan efisien terhadap pengelolaan
lumpur tinja Indonesia memiliki dua sistem sanitasi setempat (on-site
sanitation) dan sistem terpusat (off-site sanitation).
Indonesia memiliki dua sistem sanitasi setempat (on-site sanitation) dan
sistem terpusat (off-site sanitation). Pengelolaan air limbah rumah tangga yang
ada di Indonesia masih belum memenuhi syarat kesehatan,baik di perkotaan
maupun di pedesaan, yang masih menggunakan sistem pengolahan air limbah
sistem setempat (on-site) yang berupa tangki septik, yang selanjutnya akan
disalurkan ke dalam suatu jaringan saluran. Pelaksanaan dan pengopeasian
sistem setempat lebih sederhana dan tidak memerlukan biaya yang besar
sehingga dapat diterima dan dimanfaatkan oleh masyarakat baik secara
individual, keluarga ataupun sekelompok masyarakat (komunal).
Sedangkan untuk pengelolaan air limbah secara terpusat (off-site)
merupakan sistem pembuangan air limbah rumah tangga disalurkan melalui
sewer (saluran pengumpul air limbah) lalu kemudian masuk ke instalasi
pengolahan terpusat menggunakan salah satu dari jenis pengolahan. Pemerintah
Indonesia dalam menangani pengelolaan lumpur tinja melalui Menteri
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat membuat Peraturan yang mengatur
semua tentang pengelolaan limbah domestik. Yang mana ada pada peraturan
PerMenPUPR No 4 Tahun 2017 Lampiran 4, pada peraturan tersebut sudah
jelas tentang bagaimana standar layanan pengelolaan penyedotan lumpur tinja
hingga perawatan armada penyedotan lumpur tinja dan perawatan Instalasi
Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT). Hal ini diharapkan untuk instansi atau
masyarakat yang mengelola sarana dan prasarana lumpur tinja ini dapat bekerja
sesuai dengan standar yang ada sehingga meminimalisir terjadinya kesalahan
pada pengeoperasian sarana dan prasarana tersebut.

4
Pemerintah Indonesia dalam menangani pengelolaan lumpur tinja
melalui Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat membuat Peraturan
yang mengatur semua tentang pengelolaan limbah domestik. Yang mana ada
pada peraturan PerMenPUPR No 4 Tahun 2017 Lampiran 4, pada peraturan
tersebut sudah jelas tentang bagaimana standar layanan pengelolaan
penyedotan lumpur tinja hingga perawatan armada penyedotan lumpur tinja dan
perawatan Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT). Hal ini diharapkan untuk
instansi atau masyarakat yang mengelola sarana dan prasarana lumpur tinja ini
dapat bekerja sesuai dengan standar yang ada sehingga meminimalisir
terjadinya kesalahan pada pengeoperasian sarana dan prasarana tersebut.
Model layanan pengelolaan lumpur tinja di Indonesia mayoritas hampir
sama antara model pelayanan di daerah perkotaan dan untuk daerah kawasan
lainnya.Sistem sanitasi di Indonesia pada umumnya belum cukup optimal dan
masih banyak yang harus di perbaiki terkait pengelolaan lumpur tinja
(penggunaan tangki septik, penyelenggaraan layanan tidak terjadwal (on-call
desludging), dan pengolahan lumpur tinja). Hal ini karena banyak faktor yang
mempengaruhi hal tersebut misalnya laju pertumbuhan penduduk yang tidak
seimbang dengan layanan pengelolaan air limbah yang baik.

5
Gambar 2.1 Diagram Alir Air Limbah dan Lumpur Tinja di Indonesia
Sumber : The World Bank and Australian AID 2013

Hampir setengah dari 245 juta penduduk Indonesia tinggal di daerah


perkotaan dan kebutuhan akan layanan pengelolaan air limbah yang aman
bertumbuh dengan cepat.Mayoritas rumah tangga dan fasilitas bisnis di daerah
perkotaan di Indonesia menggunakan tangki septik untuk pembuangan air
limbahnya dan umumnya menggunakan water-flush toilet. Akses terhadap
sanitasi yang layak di daerah perkotaan Indonesia telah mencapai 74% pada
tahun 2010 menurut World Health Oganization (WHO) dan belum menjamin
tersedianya sistem pengumpulan dan pembuangan air limbah dan lumpur tinja.
Hanya sekitar 1% air limbah dan 4% lumpur tinja yang dikumpulkan dan diolah
secara aman.
Dari data kajian yang dilakukan oleh The World Bank (WB)
menjelaskan bahwa sistem sanitasi perkotaan di Indonesia masih belum
terlayani dengan baik. Pertumbuhan penduduk menjadi penyebab utama dari

6
sistem sanitasi yang buruk. Sistem pengelolaan lumpur tinja sendiri masih
memakai sistem setempat. Oleh karena itu perlu adanya pengelolaan lanjutan
untuk menangani maalah tersebut yaitu dengan menggunakan sistem sanitasi
terpusat. Sistem terpusat di desain untuk mengelolah limbah domestik
khusunya lumpur tinja melalui proses pengurasan tangki septik, pengangkutan,
dan kemudian dialihkan ke Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT).

2.3 Karakteristik Lumpur Tinja


Lumpur tinja adalah endapan lumpur yang terdapat dalam tangki septik,
jadi tidak termasuk lumpur yang berasal dari cubluk. Lumpur tinja biasanya
ditandai dengan keadaan kandungan pasir dan lemak dalam jumlah besar, bau
yang sangat menusuk hidung, mudah terbentuk busa ketika pengadukan, sukar
mengendap, sukar dikeluarkan airnya, serta kandungan zat padat dan zat
organik yang tinggi. Lumpur tinja mempunyai kandungan nutrient (N dan P)
dalam konsentrasi yang cukup tinggi dibandingkan dengan yang terdapat dalam
limbah domestik.

Karakteristik lumpur tinja dari satu tangki berbeda dibandingkan


dengan tangki septik lainnya. Hal ini tergantung kepada beberapa faktor di
antaranya :

1. Sebagian dari limbah rumah tangga mengalir masuk tangki septik.


2. Jumlah pengguna tangki septik.
3. Frekuensi penyedotan lumpur tinja.

7
Tabel 2.1 Karakteristik Lumpur Tinja

NO PARAMETER SATUAN KONSENTRASI

1. Total Solid (TS) mg/l 40.000

Total Volatile Solid


2. mg/l 25.000
(TVS)

Total Suspended Solid


3. mg/l 15.000
(TSS)

Volatile Suspended
4. mg/l 10.000
Solid (VSS)

5. BOD5 mg/l 7.000

6. COD mg/l 15.000

7. Total N mg/l 700

8. NH3-N mg/l 150

9. Total P mg/l 250

10. Alkalinitas mg/l 1.000

11. Lemak mg/l 8.000

12. pH 6

13. Nitrit – N mg/l 1

14. Nitrat – N mg/l 4

MPN/100
15. Total Coliform 50.000.000
ml

8
NO PARAMETER SATUAN KONSENTRASI

MPN/100
16. Fecal Coliform 20.000.000
ml

Sumber : Metcalf & Eddy, 1991

Dari tabel di atas terlihat bahwa konsentrasi lumpur tinja umumnya


masih cukup pekat untuk jenis limbah cair, dengan kandungan nilai BOD5
sebesar 7.000 mg/L, sehingga lumpur tinja tidak boleh langsung dibuang ke
badan air penerima atau ke dalam tanah karena dapat mencemari badan air atau
tanah di lingkungan sekitarnya, karena menurut SK MENLH No.112/2003
tentang standar baku mutu air limbah domestik kandungan BOD5 yang boleh
dibuang ke badan air adalah sebesar 100 mg/L. Untuk mengantisipasi hal
tersebut, maka direncanakan pembangunan IPLT, dimana IPLT yang
direncanakan akan mengacu pada kriteria teknis yang dikeluarkan Direktorat
Bina Program, Dirjen Cipta Karya, Dep. PU, April 1993.

2.4 Pemilihan Jenis Pengolahan


Pemilihan jenis pengolahan mempunyai peranan yang cukup besar akan
keberhasilan pengolahan dan kesulitan-kesulitan operasional, untuk itu
pertimbangan teknis ekonomis mutlak dibutuhkan, yaitu :

● Teknologi yang akan diterapkan diusahakan sederhana dan mudah


untuk dimengerti

● Teknologi yang digunakan sederhana dan mudah untuk dioperasikan


sehingga tidak memerlukan operator dengan pendidikan tinggi dan
kemampuan yang khusus.

● Biaya investasi dan operasional rendah, sehingga pemakaian tenaga


mekanikal dan elektrikal untuk proses pengolahan sedapat mungkin
harus dihindari.

9
● Proses yang dilakukan diusahakan secara alami dengan memanfaatkan
kemampuan mikroorganisme pengurai

● Sistem pengolahan yang digunakan harus mempunyai efisiensi


pengolahan yang tinggi sehingga efluen dari IPLT dapat memenuhi
standar yang ditetapkan sehingga tidak mencemari lingkungan.

● Pemanfaatan kembali limbah hasil proses untuk kebutuhan pertanian


atau perbaikan kualitas tanah.

2.5 Sistem Pengurasan Lumpur Tinja


Sistem operasi dalam pengurasan lumpur tinja dari tangki septik yang
banyak dijumpai di Indonesia, yakni operasi secara manual dan operasi secara
mekanis. Pengurasan lumpur tinja dengan operasi manual mempunyai
kemungkinan adanya kontak langsung antara manusia dengan buangan tinja.
Kontak ini dapat menyebabkan resiko terhadap kesehatan yang serius pada
petugas pengurasan, karena lumpur tinja masih mengandung bakteri atau
mikroorganisme patogen dan parasit.

Untuk operasi mekanis dalam sistem pengurasan lumpur tinja, dapat


menggunakan seperti sistem truk vakum (truk penyedot). Cara pengoperasian
truk vakum adalah ; mesin kendaraan harus dalam keadaan hidup supaya mesin
penghisap dapat dinyalakan, masukan selang ke dalam tangki septik dan
biarkan beberapa waktu sampai truk vakum menyedot lumpur tinja yang berada
dalam tangki septik, setelah selasai matikan mesin. Truk vakum merupakan
sarana pengurasan lumpur tinja yang banyak digunakan saat ini di Indonesia,
terutama di daerah perkotaan yang telah memiliki armada truk tinja. Operasi
pengurasan lumpur tinja dari tangki septik dengan truk jenis ini, dilakukan
menggunakan sistem tangki vakum. Keuntungan dari operasi sistem ini adalah
lebih praktis dan relatif cocok untuk kondisi fluida yang mengandung material

10
padat seperti lumpur tinja. Kerugian operasi sistem ini karena membutuhkan
biaya operasi dan biaya investasi truk yang relatif tinggi.

2.5.1 Tangki Septik

Tangki septik merupakan suatu bentuk konstruksi sederhana


yang tidak membutuhkan benyak pemeliharaan atau pengoperasiannya
serta kedap air. Fungsi dari tangki septik ini adalah untuk menampung
atau mengolah air buangan rumah tangga dengan kecepatan alir yang
lambat, sehingga memberi kesempatan untuk terjadinya pengendapan
terhadap suspensi benda-benda padat dan untuk penguraian bahan-
bahan organik oleh bakteri anaerobik (SNI, 1991).

Lumpur yang berada dalam tangki harus dibuang dan waktu


pembuangan yang paling cepat adalah 1 tahun dan yang paling lama
adalah 4 tahun dengan waktu pembuangan yang lebih baik adalah 2
tahun (Hadi & Rivai, 1980).

2.5.2 Tanki Imhoff


Tangki imhoff merupakan unit pengolahan primer yang
dibangun dari konstruksi beton bertulang dan kedap air. Tangki imhoff
berfungsi untuk menurunkan BOD. Tanki imhoff adalah modifikasi dari
tangki septik, dimana proses-proses yang terjadi sama dengan proses
yang terjadi dalam tangki septik. Proses yang terjadi dalam tangki
imhoff adalah :

➢ Proses sedimentasi, yaitu proses pengendapan partikel-partikel.


➢ Proses pembusukan, dimana proses pembusukan yang terjadi
berlangsung dalam kondisi anaerob dan dihasilkan gas yang kemudian
dikumpulkan didalam ruang pengumpul gas dan kemudian disalurkan
ke udara melalui vent gas (Metcalf & Eddy, 1991).

11
2.5.3 Proses Pengolahan Biologi

Pengolahan air buangan limbah secara biologi adalah suata cara


pengolahan untuk menurunkan / menyisihkan substrat tertentu yang
terkandung dalam air buangan dengan memanfaatkan aktifitas
mikroorganisme untuk melakukan perubahan substrat tertentu.

Pengolahan air limbah secara biologi dapat berlangsung dalam dua


lingkungan utama, yaitu:

• Lingkungan aerobik
• Lingkungan anaerobik
Lingkungan aerobik adalah lingkungan dimana oksigen terlarut
di dalam air terdapat cukup banyak sehingga oksigen bukan merupakan
faktor pembatas.

Lingkungan anaerobik adalah kebalikan dari lingkungan


aerobik, yaitu tidak terdapat oksigen terlarut. Sehingga oksigen menjadi
faktor pembatas berlangsungnya proses ini.

2.5.4 Kolam Stabilisasi

Kolam stabilisasi merupakan kolam untuk mengolah supernatan


dari air limbah domestik. Unit-unitnya terdiri dari kolam anaerobik,
kolam fakultatif dan kolam maturasi.

Keuntungan yang dimiliki oleh sistem ini :

• Biaya relatif murah, serta mudah dalam pengoperasiannya


• Dapat bekerja pada beban organik yang bervariasi
• Metoda penguraian bahan organik adalah memanfaatkan sinar
matahari
Sedangkan kelemahan dari sistem ini adalah :

12
• Interval kemampuan kerja BOD relatif rendah dibanding lumpur
aktif
• Areal lahan yang digunakan cukup luas
• Lokasi instalasi yang dipilih sebaiknya berada jauh di luar
permukiman.
2.5.5 Kolam Anaerobik

Kolam anaerobik dirancang untuk menerima beban organik


yang tinggi sehingga kolam tersebut akan kekurangan oksigen terlarut.
Kolam anaerobik dapat dipertahankan kondisinya dengan cara
menambahkan beban BOD dengan konsentrasi yang melebihi produksi
oksigen dari proses fotosintesis. Fotosintesis dapat dikurangi dengan
cara menurunkan luas permukaan dan menambah kedalaman kolam.

Kolam anaerobik efektif digunakan untuk mengolah air buangan


yang mengandung padatan yang tinggi, dimana padatan ini akan
mengendap di dasar kolam dan dicerna secara anaerobik. Cairan
supernatan yang telah mengalami proses dialirkan ke dalam kolam
fakultatif untuk pengolahan selanjutnya.

Keberhasilan operasi suatu kolam anaerobik tergantung pada


kesetimbangan antara mikroorganisme pembentuk asam dan bakteri
metan, sehingga suhu harus lebih besar dari 15 ºC dan pH lebih besar
dari 6. Dalam kondisi tersebut, akumulasi lumpur dalam kolam rendah
sehingga pembuangan (pengerukan) lumpur diperlukan apabila kolam
sudah setengah penuh (3-5 tahun sekali). Pada suhu < 15 ºC kolam
anaerobik hanya berfungsi sebagai bak penyimpan lumpur.

13
Tabel 2.2 Kriteria Desain Kolam Anaerobik

Parameter Satuan Besaran Sumber

Kedalaman Duncan Mara,


Kolam m 2-5 1977

Efisiensi Metcalf &


Penyisihan BOD5 % 50 - 85 Eddy, 1991

Efisiensi N.J. Horan,


Penyisihan SS % 50 - 80 1990

Metcalf &
Waktu Detensi Hari 20 - 50 Eddy, 1991

Metcalf &
Temperatur ºC 15 - 30 Eddy, 1991

Metcalf &
Ukuran Kolam Ha 0,2 - 0,8 Eddy, 1991

Metcalf &
BOD5 Loading Kg/ha,hari 224,2 - 560,5 Eddy, 1991

Metcalf &
Efluen SS mg/l 80 - 160 Eddy, 1991

Metcalf &
pH - 6,5 - 7,2 Eddy, 1991

Volumetrik Duncan Mara,


Loading grBOD/m3/hari 100 - 300 1977

14
2.5.6 Kolam Fakultatif

Kolam fakultatif merupak kolam oksidasi yang paling umum.


Hal yang utama dalam sistem ini adalah selalu diikuti oleh dua atau lebih
kolam maturasi. Kolam fakultatif dapat digunakan untuk penyisihan
BOD. Sebutan fakultatif didasarkan pada suatu campuran kondisi
aerobik dan anaerobik atau kolam fakultatif berada antara kolam
anaerobik dan aerobik, dan dalam suatu kolam fakultatif kondisi aerobik
dipertahankan dalam lapisan atas sementara kondisi anaerobik berada di
bagian bawah.

Tabel 2.3 Kriteria Desain Kolam Fakultatif


Parameter Satuan Besaran Sumber

Kedalaman Kolam m 1 - 1,5 Duncan Mara, 1977

Efisiensi
Penyisihan BOD5 % 70 - 90 Duncan Mara, 1977

Surface Loading grBOD/Ha/hari 100 - 424 Duncan Mara, 1977

Waktu Detensi Hari 5 - 30 Metcalf & Eddy, 1991

Temperatur ºC 0 - 50 Metcalf & Eddy, 1991

Ukuran Kolam Ha 0,8 - 4 Metcalf & Eddy, 1991

pH - 6,5 - 8,5 Metcalf & Eddy, 1991

Efisiensi
Penyisihan SS % 50 - 90 Metcalf & Eddy, 1991

15
2.5.7 Kolam Maturasi

Tahapan akhir pengolahan lumpur tinja yaitu menurunkan


jumlah organisme patogen yang terkandung dalam air hasil olahan. Cara
penurunan jumlah mikroorganisme dalam air hasil olahan ini dapat
dilakukan dengan desinfeksi (menggunakan bahan kimia seperti kaporit
atau gas chlorine) atau dengan menggunakan bak/kolam maturasi.

Kolam maturasi berfungsi untuk membiarkan mikroorganisme


mati dengan sendirinya akibat kekurangan zat organik sebagai sumber
energi hidupnya. Kematian mikroorgnisme dalam bak maturasi akan
terjadi karena jumlah zat organik yang masuk ke bak maturasi sudah
cukup rendah, sementara jumlah populasi mikroorganismenya masih
tinggi, sehingga terjadi kelaparan yang selanjutnya menyebabkan
kematian mikroorganisme.

Tabel 2.4 Kriteria Desain Kolam Maturasi

Parameter Satuan Besaran Sumber

Metcalf &
Kedalaman Kolam m 0,9 - 1,5 Eddy, 1991

Efisiensi Metcalf &


Penyisihan BOD5 % 60 - 80 Eddy, 1991

Efisiensi N.J. Horan,


Penyisihan SS % 20 - 75 1990

Metcalf &
Waktu Detensi Hari 5 - 20 Eddy, 1991

16
Parameter Satuan Besaran Sumber

Metcalf &
Temperatur ºC 0 - 30 Eddy, 1991

Metcalf &
Ukuran Kolam Ha 0,8 - 4 Eddy, 1991

Metcalf &
BOD5 Loading Kg/ha,hari ≤ 16,8 Eddy, 1991

Metcalf &
pH - 6,5 - 10,5 Eddy, 1991

grBOD/Ha/ha Duncan
Surface Loading ri 100 - 424 Mara, 1977

2.5.8 Proses Pengolahan Lumpur

Lumpur mengandung sebagian besar pencemar yang


mempunyai sifat-sifat berbahaya dari air limbah yang belum diolah.
Oleh karena itu harus diolah atau diproses sehingga pembuangan akhir
ke lingkungan dapat dilakukan tanpa dampak yang membahayakan.

Proses pengolahan lumpur dimaksudkan untuk mengolah


lumpur agar tidak menimbulkan bau yang dapat mengganggu kesehatan
dan lingkungan. Pada umumnya unit pengolahan lumpur meliputi
thickening (Pemekatan), digestion (stabilisasi), dan dewatering
(pengeringan).

17
2.5.9 Thickening (Pemekatan)

Proses thickening dimaksudkan untuk mereduksi volume


lumpur dengan mengurangi kandungan air yang terdapat di dalam
lumpur dan untuk meningkatkan kandungan solid yang terkandung
pada lumpur.

2.5.10 Digestion (Stabilisasi Lumpur)

Stabilisasi lumpur bertujuan untuk mereduksi mikroorganisme


patogen, bau dan pembusukan dari materi organik. Proses ini merubah
karakter dari yang tidak stabil menjadi stabil, toksik menjadi tidak
toksik, sehingga tidak membahayakan lingkungan.

2.5.11 Dewatering (Pengeringan)

. Proses dewatering bertujuan untuk mengurangi kadar air


dalam lumpur sebelum dibuang ketempat pembuangan akhir. Metode
dewatering yang dapat digunakan ialah sludge drying bed, vacuum
filter dan belt filter press.

➢ Belt filter press


Proses pengeringan dilakukan secara mekanik. Unit ini
bertujuan untuk mengurangi kandungan air dalam lumpur yang telah
tersisihkan dari semua proses, diharapkan kandungan air sekitar 20-
30%. (Metcalf & Eddy,1991). Pengoperasian belt filter press
dilakukan secata intermitten dengan siklus : pengkondisian lumpur,
pengisian lumpur ke dalam chamber dan pemompaan udara sehingga
terjadi pengeprasan lumpur dalam chamber. Lumpur diletakkan diatas
belt yang bergerak dan air berlebih akan dibuang.

Belt filter press menggunakan satu atau dua belt yang bergerak
untuk menggambil air dari lumpur secara kontinu. Keuntungan sistem

18
ini adalah tingkat kekeringan cukup tinggi, kebutuhan energi sedikit,
dan pengoperasiannya kontinu. Namun, ini juga memiliki kekurangan
yaitu umur media pendek dan kecepatan filtrasi sangat sensitif
terhadap karakteristik lumpur.sssss (Qasim, 2000). Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada gambar berikut.

Gambar 2.2 Three basic of belt press dewatering

(Metcalf & Eddy,1991)

➢ Vacuum Filter (Filtrasi hampa udara)


Filtarsi hampa udara telah digunakan untuk pengeringan lumpur
skala perkotaan selama lebih dari 60 tahun, tetapi pengunaannya
menurun selama 10 tahun terakhir karena pengembangan dan
peningkatan alternatif peralatan pengering mekanis. Beberapa dasar
penurunan ini pada umumnya adalah :

➢ Kerumitan sistem
➢ Memerlukan pengkondisian kimia
➢ Biaya operasi dan pemeliharaan yang tinggi.

19
Dalam filtrasi hampa udara, yang berkaitan dengan aplikasi hampa
udara pada tahap selanjutnya adalah kekuatan yang mengarahkan
cairan untuk bergerak menuju media berpori. Filter hampa udara
terdiri dari drum silinder horisontal yang berputar dengan sebagian
drum terendam dalam lumpur. Permukaan drum dilapisi oleh media
berpori, yang pada umumnya terbuat dari sabuk kain / gulungan pegas.
Permukaan hampa udara yang terpisah menghubungkan tiap bagian
menuju katup berputar, katup ini memungkinkan setiap bagian agar
berfungsi.

Filter hampa udara biasanya terdiri dari pompa pengisi lumpur,


peralatan penambahan bahan kimia, tangki pengkondisian lumpur,
filter drum, saluran pembawa / corong lumpur kering, sistem hampa
udara dan sistem pembungan hasil filtrasi. Diagram skematis sistem
filtasi hampa udara tipikal dapat dilihat pada gambar berikut.

Gambar 2.3 Typical Vaccum Filtration System

(Metcalf & Eddy,1991)

20
Kinerja filter hampa udara diukur dari berat kering kandungan
padatan hasil filtarsi yang diperlihatkan dalam kg/m2/jam. Kualitas
filter lumpur kering diukur dari berst basah kandungan padatan yang
diperlihatkan dalam %. Laju filtrasi yang didesaian sebesar 3,5
lb/ft2/jam (170 kg/m2/jam) sering digunakan apabila kualitas lumpur
harus diperkirakan (Metcalf & Eddy,1991).

➢ Sludge drying bed


Sludge drying bed merupakan metoda pengolahan
lumpur yang digunakan pada instalasi yang berukuran kecil dan
sedang (Qasim, 1985). Unit ini berfungsi untuk mengurangi kadar air
dari endapan lumpur tinja yang telah distabilkan sehingga mudah
untuk dibuang atau dimanfaatkan. Lumpur ini selain mempunyai
volume yang besar juga mengandung zat organik yang tinggi, sehingga
tidak memenuhi syarat apabila dibuang langsung tanpa melalui
pengolahan terlebih dahulu. Lumpur yang dihasilkan unit ini diangkut
menuju tempat pembuangan, sedangkan supernatan hasil proses
dikembalikan lagi ke unit pengolahan bilogis untuk diolah kembali.
Hal ini dikarenakan supernatan masih mengandung zat organik yang
cukup tinggi.

Sludge drying bed terdiri atas lapisan pasir kasar dengan


kedalaman 15-25 cm, lapisan kerikil dengan ukuran yang berbeda-
beda, dan pipa yang berlubang-lubang sebagai jalan aliran air.
(Siregar, 2005).

Metode ini paling banyak digunakan secara luas karena


pengoperasian yang mudah, murah dan konsentrasi solid lumpur yang
cukup tinggi dengan kualitas yang baik. Konsentrasi lumpur dapat
ditingkatkan dengan cara memperpanjang waktu pengeringan. Selain

21
itu, sistem ini tidak sensitif terhadap perubahan karakteristik lumpur.
(Metcalf & Eddy,1991).

Tabel 3.5 Kriteria Desain Sludge Drying Bed

Parameter Satuan Besaran Sumber

Periode pengeringan Hari 10 - 15 Syed R. Qasim, 1985

Kelembaban lumpur
effluen % 60 - 70 Syed R. Qasim, 1985

Kandungan solid lumpur % 30 - 40 Syed R. Qasim, 1985

Solid capture % 90 - 100 Syed R. Qasim, 1985

Solid loading kg/m2.hari 0,27 - 0,82 Syed R. Qasim, 1985

Tebal lumpur mm 200 - 300 Metcalf & Eddy, 1991

Koefisien keseragaman - <4 Metcalf & Eddy, 1991

Efektif size mm 0,3 - 0,78 Metcalf & Eddy, 1991

Slope % >1 Metcalf & Eddy, 1991

Metcalf &
Rasio panjang : lebar m 6 : 6 - 30 Eddy, 1991

22
BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

Terkait kelembagaan yang dibutuhkan untuk kondisi kelembagaan pengelolaan


SPALD pada Kabupaten/Kota, antara lain: Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa
(LMKD), Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), koperasi, pemuka agama/adat,
program perbaikan kampung yang ada, peran lembaga pendidikan, dan kesehatan
(Puskesmas). Masing – masing memiliki penjelasan pembagian tugas dan tanggung
jawab pihak-pihak yang berperanserta dalam penyelenggaraan (pengembangan dan
pengelolaan) IPLT. Konsep lembaga pengelola yang akan diterapkan pada pelayanan
lumpur tinja menjelaskan tupoksi pengelolaan air limbah di kabupaten/Kota yang
bersangkutan, struktur organisasi pengelola, jumlah dan kualifikasi SDM, deskripsi
tugas SDM, dengan penekanan pada penanggung jawab untuk pengelolaan lumpur
tinja . (Usaid, 2016)

Berdasarkan pembelajaran di kota‐kota Indonesia, The World Bank


memberikan masukan ke Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
(PUPERA) terkait konsep‐konsep kebijakan pengelolaan lumpur tinja di wilayah
perkotaan. Saat ini, Kementerian PUPERA mensyaratkan suatu kota untuk memiliki
lembaga yang bertanggungjawab terhadap layanan sanitasi terlebih dahulu sebelum
dapat memperoleh bantuan pusat. Pembangunan IPLT harus disertai kesiapan
pemerintah setempat untuk mengembangkan manajemen administrasi layanan lumpur
tinja yang lebih baik. Kementerian PUPERA juga menyediakan dana bantuan berbasis
pencapaian (output‐based aid) untuk membantu daerah dalam menyediakan tangki
septik bagi masyarakatnya. WB juga merekomendasikan agar LLTT dapat
diujicobakan di kota‐kota Indonesia asalkan kota‐kota tersebut sebelumnya sudah
meningkatkan dulu kapasitasnya dalam mengelola layanan lumpur tinja tidak
terjadwal.

23
Kinerja dan keberlanjutan LLTT perlu didukung oleh lembaga‐lembaga yang
memiliki fungsi spesifik, yaitu perencanaan, pengadaan infrastruktur, penaatan
peraturan, pengelola operasi (operator) dan pengawasan operasi. LLTT dapat saja
melibatkan mitra swasta untuk menjalankan sebagian tugasnya.

Kota Makasar mempercayakan pengelolaan operasi LLTT ke lembaga Unit


Pelaksana Teknis Dinas Pengelolaan Air Limbah (UPTD PAL). Memang sudah
selayaknya demikian karena UPT yang berada di bawah Dinas Pekerjaan Umum itu
sudah terlibat penuh menyiapkan LLTT sejak layanan tersebut mulai diperkenalkan di
Kota Makasar oleh program IUWASH. Sebelum mengelola operasi LLTT, UPTD PAL
memiliki tugas untuk mengelola operasi IPAL komunal dan IPLT selain menyediakan
layanan on‐ call. Berbagai tahap sudah dilalui oleh UPTD PAL sebelum LLTT
diluncurkan oleh Wakil Walikota Makasar, Dr. Syamsu Rizal, MI. di bulan Agustus
2013, khususnya untuk wilayah percontohan Kawasan Perumahan BTP Tamalanrea.
Termasuk melakukan sosialisasi konsep LLTT ke berbagai pihak berkepentingan dan
melakukan advokasi ke pemerintah kota. Di bulan Juli – Agustus 2013, UPTD PAL
melakukan survei calon pelanggan di 300 rumah terpilih. Seluruh tahapan proses
tersebut melibatkan hampir semua staf UPTD PAL. IUWASH memberikan dukungan
dalam bentuk pendampingan teknis, pembuatan SOP, pelatihan, permodelan tarif dan
pengelolaan pendapatan, data base pelanggan dan serta penyusunan business plan.
UPTD PAL bertanggung jawab atas pembuatan kebijakan dan penarikan retribusi
untuk layanan penyedotan lumpur tinja yang terjadwal.

Organisasi UPTD PAL Kota Makasar dipimpin oleh seorang kepala yang
membawahi 4 bagian, yaitu 1) bagian pengelolaan layanan IPAL terpusat, 2) bagian
pengelolaan layanan IPLT, 3) bagian pengelolaan layanan IPAL yang tidak ditangani
masyarakat dan 4) bagian monitoring dan pembinaan. Urusan LLTT ada di bawah
bagian pengelolaan layanan IPLT.

24
Menindaklanjuti rencana pengembangan LLTT, UPTD PAL terus aktif
melakukan sosialisasi tangka septik SNI, penentuan wilayah layanan, pengembangan
data base dan penyiapan penggunaan Geographic Information System (GIS) untuk
pemantauan operasi LLTT. Kedepannya, UPTD PAL Kota Makassar mentargetkan
peningkatan bentunya menjadi UPTD dengan Pola Pengelolaan Keuangan Badan
Layanan Umum Daerah (PPK‐BLUD). Mereka merencanakan adanya penambahan
armada, sarana dan sumberdaya tenaga operasional. Bentuk kelembagaan UPT dinilai
tepat di saat operasi LLTT masih dalam tahap awalnya. Jika skala operasi LLTT sudah
lebih besar, UPT harus ditingkatkan kapasitasnya sehingga berwenang untuk
mengelola keuangannya secara mandiri. UPT demikian disebut sebagai UPT dengan
Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah (PPK‐ BLUD). Mereka
dapat menerima pemasukan dari pelanggan dan menggunakannya langsung untuk
kebutuhan operasionilnya. Pemasukan tidak perlu lagi disetorkan ke pemerintah kota.
Walau demikian, mengingat bentuknya sebagai lembaga pemerintah, UPT dengan
PPK‐BLUD tersebut masih tetap berhak untuk mendapatkan dukungan dana
operasional dari pemerintah kota. Opsi perusahaan daerah layak dipertimbangkan jika
suatu kota ingin memiliki suatu lembaga yang diserahi tanggungjawab pengelolaan air
limbah secara keseluruhan. Bukan hanya untuk mengelola operasi LLTT, tetapi juga
untuk mengelola system perpipaan air limbah, IPLT dan IPAL. Perusahaan daerah
dapat menyusun rencana operasi dan rencana bisnisnya sendiri, tanpa wajib melibatkan
pemerintah kota. Sebagai suatu perusahaan, lembaga ini dapat mengelola keuangannya
secara mandiri. Mereka berhak untuk mendapatkan laba dari operasinya. Di sisi lain,
mereka tidak berhak lagi untuk mendapatkan dukungan dana operasional dari
pemerintah kota.

Baik PDAM, UPT maupun perusahaan daerah air limbah (PDAL) memiliki
kelebihan dan kekurangannya masing‐masing. Berbeda dengan PDAM yang dapat
menyatukan tagihan LLTT dengan tagihan layanan air minum, UPT dan PDAL tidak
memiliki kekuatan yang mampu memaksa pelanggan untuk membayar rekening LLTT

25
pada waktunya. Sebaliknya PDAM belum tentu memiliki kemampuan teknis yang
cukup untuk menjalankan tugas penyedotan tangki septik. Oleh karena itu, kolaborasi
dari beberapa lembaga di suatu kota perlu dipertimbangkan agar pengelolaan operasi
LLTT secara keseluruhan dapat berlangsung dengan lebih efisien.

Tabel berikut menunjukkan contoh‐contoh kerangka kelembagaan operasi


LLTT, termasuk pilihan kolaborasi antar lembaga. Sebagai pelengkap, tabel ini juga
menunjukkan kelembagaan untuk komponen pengolahan lumpur tinja.

KELEMBAGAAN PENGELOLAAN LUMPUR TINJA KOTA SURAKARTA

Sesuai Peraturan Walikota Surakarta No. 16A tentang Pengelolaan Lumpur Tinja,
satuan ‐ satuan kerja perangkat daerah (SKPD) yang terlibat dalam pengelolaan lumpur
tinja, termasuk dalam mendukung penyelenggaraan LLTT, adalah:

• Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda); untuk penyusunan


rencana bantuan pemerintah dalam pengembangan layanan lumpur tinja

26
• Dinas Tata Ruang Kota; untuk pengawasan bangunan terkait pembangunan
dan penggunaan unit setempat
• Dinas Pekerjaan Umum; untuk standarisasi teknis dan pengadaan prasarana
(unit setempat, stasiun penerima dan fasilitas pengolahan lumpur tinja),
• Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informasi; untuk standarisasi dan
perizinan truk tinja serta pengawasan operasi pengangkutan lumpur tinja,
• Dinas Kesehatan Kota; untuk pemantauan perilaku sanitasi dan dampaknya
terhadap kesehatan lingkungan,
• Dinas Kebersihan dan Pertamanan; untuk pemeliharaan lahan dimana IPLT
Putri Cempo berada.
• Badan Lingkungan Hidup; untuk pemantauan dampak lingkungan,
khususnya menyangkut kualitas efluen IPAL dan IPLT, kualitas lumpur olahan,
timbulan bau dan dampak estetik lainnya. Pengelolaan operasi LLTT, sesuai
peraturan daerah pengelolaan air limbah yang berlaku, ditunjuk Perusahaan
Daerah Air Minum (PDAM) Kota Surakarta. Sesuai kerangka kelembagaan
demikian, peranan regulator dan operator perlu dipisahkan sehingga jelas siapa
yang mengatur dan siapa yang diatur.

27
28
Isu kelembagaan: Semakin banyaknya sarana sanitasi berbasis masyarakat akan
menuntut peran pemerintah daerah yang lebih besar dalam pembinaan, baik teknis
maupun non teknis. Penunjukkan lembaga pengelola/operator yang sesuai diperlukan
untuk mendukung sistem tersebut agar tetap berfungsi sesuai rencana dan memberi
manfaat dalam peningkatan pelayanana sanitasi kota. Kelembagaan pengelola harus
berjalan, karena sistem komunal/permukiman ini menjadi barang publik terutama
jaringan pipa dan IPALnya, sehingga perlu ada lembaga pengelola. Tentunya lembaga
pengelola ini harus disiapkan dan harus memahami apa saja tugasnya. Lembaga
pengelola ini kalau dalam konteks SANIMAS USRI harus dipilih dari pengguna. Dari
sudut pandang kelembagaan, sistem sanitasi skala permukiman dikelola oleh kelompok
masyarakat (Kelompok Pengguna dan Pemanfaat KSM/KPP) secara sukarela. Setelah
kota/kabupaten memiliki sistem sanitasi skala permukiman dalam jumlah besar,
pemerintah daerah disarankan mendorong terbentuknya asosiasi pengelola/operator,
misalnya AKSANSI1 atau forum KSM/KPP2. Sebagai landasan operasional sanitasi
skala permukimanl yang berkelanjutan, pemerintah daerah disarankan membangun
kesepakatan kerjasama antara AKSANSI dan operator air limbah milik pemerintah
daerah (UPTD, BLUD, PD). Untuk itu perlu didefinisikan tupoksi KPP/KSM, asosiasi
KPP/KSM, dan operator air dalam rangka mewujudkan operasi dan pemeliharaan
sistem sanitasi skala permukiman yang berkelanjutan.
Contoh daerah yang telah mengembangkan kesepakatan dengan masyarakat melalui
asosiasi KPP Sanitasi SANIMAS adalah Kota Makassar. Pembagian kerja antara
UPTD dan KPP dituangkan dalam bentuk matriks dapat dilihat pada lampiran

29
BAB IV

KESIMPULAN

Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT) merupakan salah satu sistem


pengolahan tinja di Indonesia. Sebagian besar IPLT di Indonesia masih belum
beroperasi secara optimal atau tidak beroperasi lagi. Suatu lembaga dibentuk untuk
memenuhi kebutuhan manusia sehingga lembaga mempunyai fungsi, selain itu
lembaga merupakan suatu konsep yang terpadu dengan struktur, artinya tidak saja
melibatkan pola aktivitas yang lahir dari segi sosial untuk memenuhi kebutuhan
manusia tetapi juga pola organisasi untuk melaksanakannya.

Terkait kelembagaan yang dibutuhkan untuk kondisi kelembagaan pengelolaan


SPALD pada Kabupaten/Kota, antara lain: Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa
(LMKD), Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), koperasi, pemuka agama/adat,
program perbaikan kampung yang ada, peran lembaga pendidikan, dan kesehatan
(Puskesmas). Kementerian PUPERA merekomendasikan agar LLTT dapat
diujicobakan di kota‐kota Indonesia, asalkan kota‐kota tersebut sebelumnya sudah
meningkatkan dulu kapasitasnya dalam mengelola layanan lumpur tinja tidak
terjadwal. Kinerja dan keberlanjutan LLTT perlu didukung oleh lembaga‐lembaga
yang memiliki fungsi spesifik, yaitu perencanaan, pengadaan infrastruktur, penaatan
peraturan, pengelola operasi (operator) dan pengawasan operasi

30
DAFTAR PUSTAKA

Eddy, M. (1991). Waste Water and Engineering. International Engineering.

Qasim, S. M.–H. (2000). Water Works Engineering : Planning, Design, and


Operation. London: London: Prentice–Hall.

Suyudi, H. N. (210-226). Peran Kelembagaan Dalam Pengembangan Agribisnis


Mendong . Jurnal Pemikiran Masyarakat ilmiah Berwawasan Agribisnis,
2018.

Usaid. (2016). Indonesia Urban Water Sanitayion and Hygiene Penyehatan


Lingkungan untuk Semua (IUWASH PLUS). Jakarta: USAID.

31

Anda mungkin juga menyukai