Makalah Lumpur
Makalah Lumpur
NAMA KELOMPOK:
SURABAYA
2019
BAB I
PENDAHULUAN
1
1.3 Maksud dan Tujuan
a. Mengidentifikasi konsep di lapangan, baik yang terkait dengan aspek
kelembagaan
b. Mengkaji kinerja instansi/ kelembagaan di IPLT
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
2.2 Pengelolaan Lumpur Tinja.
Dengan adanya sistem kontrol dan pengkoordinasian sumber daya, di
mana untuk mencapai sasaran secara efektif dan efisien terhadap pengelolaan
lumpur tinja Indonesia memiliki dua sistem sanitasi setempat (on-site
sanitation) dan sistem terpusat (off-site sanitation).
Indonesia memiliki dua sistem sanitasi setempat (on-site sanitation) dan
sistem terpusat (off-site sanitation). Pengelolaan air limbah rumah tangga yang
ada di Indonesia masih belum memenuhi syarat kesehatan,baik di perkotaan
maupun di pedesaan, yang masih menggunakan sistem pengolahan air limbah
sistem setempat (on-site) yang berupa tangki septik, yang selanjutnya akan
disalurkan ke dalam suatu jaringan saluran. Pelaksanaan dan pengopeasian
sistem setempat lebih sederhana dan tidak memerlukan biaya yang besar
sehingga dapat diterima dan dimanfaatkan oleh masyarakat baik secara
individual, keluarga ataupun sekelompok masyarakat (komunal).
Sedangkan untuk pengelolaan air limbah secara terpusat (off-site)
merupakan sistem pembuangan air limbah rumah tangga disalurkan melalui
sewer (saluran pengumpul air limbah) lalu kemudian masuk ke instalasi
pengolahan terpusat menggunakan salah satu dari jenis pengolahan. Pemerintah
Indonesia dalam menangani pengelolaan lumpur tinja melalui Menteri
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat membuat Peraturan yang mengatur
semua tentang pengelolaan limbah domestik. Yang mana ada pada peraturan
PerMenPUPR No 4 Tahun 2017 Lampiran 4, pada peraturan tersebut sudah
jelas tentang bagaimana standar layanan pengelolaan penyedotan lumpur tinja
hingga perawatan armada penyedotan lumpur tinja dan perawatan Instalasi
Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT). Hal ini diharapkan untuk instansi atau
masyarakat yang mengelola sarana dan prasarana lumpur tinja ini dapat bekerja
sesuai dengan standar yang ada sehingga meminimalisir terjadinya kesalahan
pada pengeoperasian sarana dan prasarana tersebut.
4
Pemerintah Indonesia dalam menangani pengelolaan lumpur tinja
melalui Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat membuat Peraturan
yang mengatur semua tentang pengelolaan limbah domestik. Yang mana ada
pada peraturan PerMenPUPR No 4 Tahun 2017 Lampiran 4, pada peraturan
tersebut sudah jelas tentang bagaimana standar layanan pengelolaan
penyedotan lumpur tinja hingga perawatan armada penyedotan lumpur tinja dan
perawatan Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT). Hal ini diharapkan untuk
instansi atau masyarakat yang mengelola sarana dan prasarana lumpur tinja ini
dapat bekerja sesuai dengan standar yang ada sehingga meminimalisir
terjadinya kesalahan pada pengeoperasian sarana dan prasarana tersebut.
Model layanan pengelolaan lumpur tinja di Indonesia mayoritas hampir
sama antara model pelayanan di daerah perkotaan dan untuk daerah kawasan
lainnya.Sistem sanitasi di Indonesia pada umumnya belum cukup optimal dan
masih banyak yang harus di perbaiki terkait pengelolaan lumpur tinja
(penggunaan tangki septik, penyelenggaraan layanan tidak terjadwal (on-call
desludging), dan pengolahan lumpur tinja). Hal ini karena banyak faktor yang
mempengaruhi hal tersebut misalnya laju pertumbuhan penduduk yang tidak
seimbang dengan layanan pengelolaan air limbah yang baik.
5
Gambar 2.1 Diagram Alir Air Limbah dan Lumpur Tinja di Indonesia
Sumber : The World Bank and Australian AID 2013
6
sistem sanitasi yang buruk. Sistem pengelolaan lumpur tinja sendiri masih
memakai sistem setempat. Oleh karena itu perlu adanya pengelolaan lanjutan
untuk menangani maalah tersebut yaitu dengan menggunakan sistem sanitasi
terpusat. Sistem terpusat di desain untuk mengelolah limbah domestik
khusunya lumpur tinja melalui proses pengurasan tangki septik, pengangkutan,
dan kemudian dialihkan ke Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT).
7
Tabel 2.1 Karakteristik Lumpur Tinja
Volatile Suspended
4. mg/l 10.000
Solid (VSS)
12. pH 6
MPN/100
15. Total Coliform 50.000.000
ml
8
NO PARAMETER SATUAN KONSENTRASI
MPN/100
16. Fecal Coliform 20.000.000
ml
9
● Proses yang dilakukan diusahakan secara alami dengan memanfaatkan
kemampuan mikroorganisme pengurai
10
padat seperti lumpur tinja. Kerugian operasi sistem ini karena membutuhkan
biaya operasi dan biaya investasi truk yang relatif tinggi.
11
2.5.3 Proses Pengolahan Biologi
• Lingkungan aerobik
• Lingkungan anaerobik
Lingkungan aerobik adalah lingkungan dimana oksigen terlarut
di dalam air terdapat cukup banyak sehingga oksigen bukan merupakan
faktor pembatas.
12
• Interval kemampuan kerja BOD relatif rendah dibanding lumpur
aktif
• Areal lahan yang digunakan cukup luas
• Lokasi instalasi yang dipilih sebaiknya berada jauh di luar
permukiman.
2.5.5 Kolam Anaerobik
13
Tabel 2.2 Kriteria Desain Kolam Anaerobik
Metcalf &
Waktu Detensi Hari 20 - 50 Eddy, 1991
Metcalf &
Temperatur ºC 15 - 30 Eddy, 1991
Metcalf &
Ukuran Kolam Ha 0,2 - 0,8 Eddy, 1991
Metcalf &
BOD5 Loading Kg/ha,hari 224,2 - 560,5 Eddy, 1991
Metcalf &
Efluen SS mg/l 80 - 160 Eddy, 1991
Metcalf &
pH - 6,5 - 7,2 Eddy, 1991
14
2.5.6 Kolam Fakultatif
Efisiensi
Penyisihan BOD5 % 70 - 90 Duncan Mara, 1977
Efisiensi
Penyisihan SS % 50 - 90 Metcalf & Eddy, 1991
15
2.5.7 Kolam Maturasi
Metcalf &
Kedalaman Kolam m 0,9 - 1,5 Eddy, 1991
Metcalf &
Waktu Detensi Hari 5 - 20 Eddy, 1991
16
Parameter Satuan Besaran Sumber
Metcalf &
Temperatur ºC 0 - 30 Eddy, 1991
Metcalf &
Ukuran Kolam Ha 0,8 - 4 Eddy, 1991
Metcalf &
BOD5 Loading Kg/ha,hari ≤ 16,8 Eddy, 1991
Metcalf &
pH - 6,5 - 10,5 Eddy, 1991
grBOD/Ha/ha Duncan
Surface Loading ri 100 - 424 Mara, 1977
17
2.5.9 Thickening (Pemekatan)
Belt filter press menggunakan satu atau dua belt yang bergerak
untuk menggambil air dari lumpur secara kontinu. Keuntungan sistem
18
ini adalah tingkat kekeringan cukup tinggi, kebutuhan energi sedikit,
dan pengoperasiannya kontinu. Namun, ini juga memiliki kekurangan
yaitu umur media pendek dan kecepatan filtrasi sangat sensitif
terhadap karakteristik lumpur.sssss (Qasim, 2000). Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada gambar berikut.
➢ Kerumitan sistem
➢ Memerlukan pengkondisian kimia
➢ Biaya operasi dan pemeliharaan yang tinggi.
19
Dalam filtrasi hampa udara, yang berkaitan dengan aplikasi hampa
udara pada tahap selanjutnya adalah kekuatan yang mengarahkan
cairan untuk bergerak menuju media berpori. Filter hampa udara
terdiri dari drum silinder horisontal yang berputar dengan sebagian
drum terendam dalam lumpur. Permukaan drum dilapisi oleh media
berpori, yang pada umumnya terbuat dari sabuk kain / gulungan pegas.
Permukaan hampa udara yang terpisah menghubungkan tiap bagian
menuju katup berputar, katup ini memungkinkan setiap bagian agar
berfungsi.
20
Kinerja filter hampa udara diukur dari berat kering kandungan
padatan hasil filtarsi yang diperlihatkan dalam kg/m2/jam. Kualitas
filter lumpur kering diukur dari berst basah kandungan padatan yang
diperlihatkan dalam %. Laju filtrasi yang didesaian sebesar 3,5
lb/ft2/jam (170 kg/m2/jam) sering digunakan apabila kualitas lumpur
harus diperkirakan (Metcalf & Eddy,1991).
21
itu, sistem ini tidak sensitif terhadap perubahan karakteristik lumpur.
(Metcalf & Eddy,1991).
Kelembaban lumpur
effluen % 60 - 70 Syed R. Qasim, 1985
Metcalf &
Rasio panjang : lebar m 6 : 6 - 30 Eddy, 1991
22
BAB III
23
Kinerja dan keberlanjutan LLTT perlu didukung oleh lembaga‐lembaga yang
memiliki fungsi spesifik, yaitu perencanaan, pengadaan infrastruktur, penaatan
peraturan, pengelola operasi (operator) dan pengawasan operasi. LLTT dapat saja
melibatkan mitra swasta untuk menjalankan sebagian tugasnya.
Organisasi UPTD PAL Kota Makasar dipimpin oleh seorang kepala yang
membawahi 4 bagian, yaitu 1) bagian pengelolaan layanan IPAL terpusat, 2) bagian
pengelolaan layanan IPLT, 3) bagian pengelolaan layanan IPAL yang tidak ditangani
masyarakat dan 4) bagian monitoring dan pembinaan. Urusan LLTT ada di bawah
bagian pengelolaan layanan IPLT.
24
Menindaklanjuti rencana pengembangan LLTT, UPTD PAL terus aktif
melakukan sosialisasi tangka septik SNI, penentuan wilayah layanan, pengembangan
data base dan penyiapan penggunaan Geographic Information System (GIS) untuk
pemantauan operasi LLTT. Kedepannya, UPTD PAL Kota Makassar mentargetkan
peningkatan bentunya menjadi UPTD dengan Pola Pengelolaan Keuangan Badan
Layanan Umum Daerah (PPK‐BLUD). Mereka merencanakan adanya penambahan
armada, sarana dan sumberdaya tenaga operasional. Bentuk kelembagaan UPT dinilai
tepat di saat operasi LLTT masih dalam tahap awalnya. Jika skala operasi LLTT sudah
lebih besar, UPT harus ditingkatkan kapasitasnya sehingga berwenang untuk
mengelola keuangannya secara mandiri. UPT demikian disebut sebagai UPT dengan
Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah (PPK‐ BLUD). Mereka
dapat menerima pemasukan dari pelanggan dan menggunakannya langsung untuk
kebutuhan operasionilnya. Pemasukan tidak perlu lagi disetorkan ke pemerintah kota.
Walau demikian, mengingat bentuknya sebagai lembaga pemerintah, UPT dengan
PPK‐BLUD tersebut masih tetap berhak untuk mendapatkan dukungan dana
operasional dari pemerintah kota. Opsi perusahaan daerah layak dipertimbangkan jika
suatu kota ingin memiliki suatu lembaga yang diserahi tanggungjawab pengelolaan air
limbah secara keseluruhan. Bukan hanya untuk mengelola operasi LLTT, tetapi juga
untuk mengelola system perpipaan air limbah, IPLT dan IPAL. Perusahaan daerah
dapat menyusun rencana operasi dan rencana bisnisnya sendiri, tanpa wajib melibatkan
pemerintah kota. Sebagai suatu perusahaan, lembaga ini dapat mengelola keuangannya
secara mandiri. Mereka berhak untuk mendapatkan laba dari operasinya. Di sisi lain,
mereka tidak berhak lagi untuk mendapatkan dukungan dana operasional dari
pemerintah kota.
Baik PDAM, UPT maupun perusahaan daerah air limbah (PDAL) memiliki
kelebihan dan kekurangannya masing‐masing. Berbeda dengan PDAM yang dapat
menyatukan tagihan LLTT dengan tagihan layanan air minum, UPT dan PDAL tidak
memiliki kekuatan yang mampu memaksa pelanggan untuk membayar rekening LLTT
25
pada waktunya. Sebaliknya PDAM belum tentu memiliki kemampuan teknis yang
cukup untuk menjalankan tugas penyedotan tangki septik. Oleh karena itu, kolaborasi
dari beberapa lembaga di suatu kota perlu dipertimbangkan agar pengelolaan operasi
LLTT secara keseluruhan dapat berlangsung dengan lebih efisien.
Sesuai Peraturan Walikota Surakarta No. 16A tentang Pengelolaan Lumpur Tinja,
satuan ‐ satuan kerja perangkat daerah (SKPD) yang terlibat dalam pengelolaan lumpur
tinja, termasuk dalam mendukung penyelenggaraan LLTT, adalah:
26
• Dinas Tata Ruang Kota; untuk pengawasan bangunan terkait pembangunan
dan penggunaan unit setempat
• Dinas Pekerjaan Umum; untuk standarisasi teknis dan pengadaan prasarana
(unit setempat, stasiun penerima dan fasilitas pengolahan lumpur tinja),
• Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informasi; untuk standarisasi dan
perizinan truk tinja serta pengawasan operasi pengangkutan lumpur tinja,
• Dinas Kesehatan Kota; untuk pemantauan perilaku sanitasi dan dampaknya
terhadap kesehatan lingkungan,
• Dinas Kebersihan dan Pertamanan; untuk pemeliharaan lahan dimana IPLT
Putri Cempo berada.
• Badan Lingkungan Hidup; untuk pemantauan dampak lingkungan,
khususnya menyangkut kualitas efluen IPAL dan IPLT, kualitas lumpur olahan,
timbulan bau dan dampak estetik lainnya. Pengelolaan operasi LLTT, sesuai
peraturan daerah pengelolaan air limbah yang berlaku, ditunjuk Perusahaan
Daerah Air Minum (PDAM) Kota Surakarta. Sesuai kerangka kelembagaan
demikian, peranan regulator dan operator perlu dipisahkan sehingga jelas siapa
yang mengatur dan siapa yang diatur.
27
28
Isu kelembagaan: Semakin banyaknya sarana sanitasi berbasis masyarakat akan
menuntut peran pemerintah daerah yang lebih besar dalam pembinaan, baik teknis
maupun non teknis. Penunjukkan lembaga pengelola/operator yang sesuai diperlukan
untuk mendukung sistem tersebut agar tetap berfungsi sesuai rencana dan memberi
manfaat dalam peningkatan pelayanana sanitasi kota. Kelembagaan pengelola harus
berjalan, karena sistem komunal/permukiman ini menjadi barang publik terutama
jaringan pipa dan IPALnya, sehingga perlu ada lembaga pengelola. Tentunya lembaga
pengelola ini harus disiapkan dan harus memahami apa saja tugasnya. Lembaga
pengelola ini kalau dalam konteks SANIMAS USRI harus dipilih dari pengguna. Dari
sudut pandang kelembagaan, sistem sanitasi skala permukiman dikelola oleh kelompok
masyarakat (Kelompok Pengguna dan Pemanfaat KSM/KPP) secara sukarela. Setelah
kota/kabupaten memiliki sistem sanitasi skala permukiman dalam jumlah besar,
pemerintah daerah disarankan mendorong terbentuknya asosiasi pengelola/operator,
misalnya AKSANSI1 atau forum KSM/KPP2. Sebagai landasan operasional sanitasi
skala permukimanl yang berkelanjutan, pemerintah daerah disarankan membangun
kesepakatan kerjasama antara AKSANSI dan operator air limbah milik pemerintah
daerah (UPTD, BLUD, PD). Untuk itu perlu didefinisikan tupoksi KPP/KSM, asosiasi
KPP/KSM, dan operator air dalam rangka mewujudkan operasi dan pemeliharaan
sistem sanitasi skala permukiman yang berkelanjutan.
Contoh daerah yang telah mengembangkan kesepakatan dengan masyarakat melalui
asosiasi KPP Sanitasi SANIMAS adalah Kota Makassar. Pembagian kerja antara
UPTD dan KPP dituangkan dalam bentuk matriks dapat dilihat pada lampiran
29
BAB IV
KESIMPULAN
30
DAFTAR PUSTAKA
31