Anda di halaman 1dari 53

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 KONSEP TIDUR

2.1.1 Pengertian

Tidur adalah suatu keadaan relative tanpa sadar yang penuh ketenangan

tanpa kegiatan yang merupakan urutan siklus yang berulang-ulang dan masing-

masing menyatakan fase kegiatan otak dan badaniah yang berbeda (TWartonah,

2004).

Tidur merupakan sesuatu yang paling penting bagi manusia, sama halnya

seperti kesehatan yang baik secara umum (Chopra, 2003). Tiap individu

membutuhkan jumlah yang berbeda untuk tidur. Tanpa jumlah tidur yang cukup,

kemampuan untuk berkonsentrasi, membuat keputusan, dan berpartisipasi dalam

aktivitas harian akan menurun, dan meningkatkan iritabilitas (Potter & Perry, 2005).

2.1.2 Fisiologi Tidur

Pengaturan tidur dikarenakan adanya hubungan mekanisme serebral yang

secara bergantian untuk mengaktifkan dan menekan pusat otak agar dapat tidur

dan bangun. Salah satu aktivitas tidur ini diatur oleh system pengaktifan

retikularis yang merupakan system yang mengatur seluruh tingkatan kegiatan

susunan saraf pusat termasuk pengaturan system kewaspadaan dan tidur. Pusat

pengaturan kewaspadaan dan tidur terletak dalam mesensefalon dan bagian atas

pons. Selain itu, reticular activating system (RAS) dapat memberikan rangsangan

visual, pendengaran, nyeri dan perabaan juga dapat menerima stimulasi dari

korteks serebri ternasuk rangsangan emosi dan prooses pikir. Dalam keadaan

9
10

sadar, neuron dalam RAS akan melepasakan katekolamin seperti norepineprin.

Demikian juga pada saat tidur, kemungkinan disebabkan adanya pelepasan serum

serotonin dari sel khusus yang berada di pons dan batang otakk tengah, yaitu

bulbar synchronizing regional (BSR), sedangkan bangun tergantung dari

keseimbangan impuls yang diterima dipusat otak dan sistem limbik. dengan

demikian, sistem pada batang otak yang mengatur siklus atau perubahan dalam

tidur adalah RAS dan BSR ( Alimul, 2008).

2.1.3 Kualitas tidur

Makna dasar tidur adalah suatu keadaan dimana otak dan tubuh diberi

kesempatan untuk beristirahat.Definisi tidur sebenarnya yang diterima umum

adalah kualitas dan kuantitas tidur yang diperlukan untuk menjaga kesigapan

selama bangun tidur ( Amrita, 2009).Banyak ilmuwan mengatakan rata-rata tidur

yang disyaratkan adalah tujuh sampai dengan delapan jam. Namun yang menjadi

masalah adalah kualitas tidur, bukan kuantitasnya. Enam jam tidur nyenyak dan

terbangun dengan segar jauh lebih baik bagi daripada delapan jam tidur dengan

bantuan obat-obatan atau tidur tidak tenang (Rosemary, 1991) .Kualitas tidur

menunjukkan adanya kemampuan individu untuk tidur dan memperoleh jumlah

istirahat yang sesuai dengan kebutuhannya (Alimul, 2008).

Sebagian orang secara genetik tergolong aktif dipagi hari dan lainnya di

malam hari.Ada yang tidurnya pendek dan ada pula yang tidurnya panjang.

Sebagian orang membutuhkan tidur lebih banyak dari rata-rata orang, dan

sebagiannya lagi untuk kembali merasa segar dan bertenaga membutuhkan tidur

kurang dari rata-rata.Dalam tidur bukan hanya sekedar dilihat dari lamanya
11

seseorang tidur, tetapi kualitasnnya. Kendati tidur lama, belum tentu orang

tersebut merasa cukup tidur. Ketika seseorang terbangun dari tidurnya dan merasa

bugar, hal itu menandakan ia mendapatkan tidur yang berkualitas.

2.1.4 Klasifikasi Tidur

Terdapat berbagai tahap dalam tidur, dari tidur yang sangat ringan sampai

tidur yang sangat dalam; para peneliti tidur juga membagi tidur dalam dua tipe

yang secara keseluruhan berbeda, yang memiliki kualitas yang berbeda pula,

yaitu:

1) NREM (Non Rapid Eye Movement)

Tahap tidur ini dapat juga disebut sebagai tidur gelombang

lambat.Dinamakan tidur gelombang lambat karena pada tahap ini gelombang

otaknya sangat lambat, yang dapat dihubungkan dengan penurunan tonus,

penurunan darah perifer dan fungsi-fungsi vegeatif tubuh lainnya.Selain itu,

tekanan darah, frekwensi pernapasan, dan kecepatan metabolisme basal akan

berkurang 10- 30%. Ciri-ciri tidur non-REM yaitu betul-betul istirahat penuh,

tekanan darah menurun, frekwensi napas menurun, pergerakan bola mata

melambat, mimpi berkurang, dan metabolisme menurun.

Perubahan selama proses tidur gelombang lambat adalah melalui

elektroenchephalografi dengan memperlihatkan gelombang otak berada pada

setiap tahap tidur, yaitu: pertama, kewaspadaan penuh dengan gelombang betha

yang berfrekwensi tinggi dan bervoltase rendah; kedua, istirahat tenang yang

diperlihatkan pada gelombang alpha; ketiga, tidur ringan karena terjadi

perlambatan gelombang alpha sejenis tetha atau delta yang bervoltase rendah; dan
12

ke empat, tidur nyenyak karena gelombang lambat dengan gelombang delta

bervoltase tinggi dengan kecepatan 1-2/detik.

Tahapan tidur jenis gelombang lambat (Potter & Perry, 2006).

(1) Tahap I: NREM

a. Tahap meliputi tingkat paling dangkal dari tidur

b. Tahap berakhir beberapa menit

c. Pengurangan aktivitas fisiologi dimulai dengan penurunan secara bertahap

tanda-tanda vital dan metabolism.

d. Seseorang dengan mudah terbangun oleh stimulus sensori seperti suara .

e. Ketika terbangun, sesorang merasa seperti setelah melamun.

(2) Tahap II : NREM

a. Tahap 2 merupakan priode tidur bersuara

b. Untuk terbangun masih relative mudah.

c. Tahapan berakhir 10 hingga 20 menit

d. Kelanjutan tubuh menjadi lambat

(3) Tahap III : NREM

a. Tahap 3 meliputi tahap awal dari tidur yang dalam .

b. Orang yang tidur sulit dibangunkan dan jarang bergerak .

c. Otot – otot dalam keadaan santai penuh .

d. Tanda –tanda vital menurun tetapi tetap teratur.

e. Tahap berakhir 15 hingga 30 menit.

(4) Tahap IV : NREM

a. Tahap 4 merupakan tahap tidur terdalam


13

b. Sangat sulit untuk membangunkan orang yang tidur.

c. Jika terjadi kurang tidur, maka orang yang tidur akan menghabiskan porsi

malam yang seimbang pada tahap ini.

d. Tahap berakhir kurang lebih 15 hingga 30 menit.

e. Tidur sambil berjalan dan eneuresis dapat terjadi.

2) REM (Rapid Eye Movement)

Disebut juga sebagai tidur paradoks yang dapat berlangsung pada tidur

malam selama 5-20 menit, dan rata-rata timbul 90 menit. Periode pertama terjadi

selama 80-100 menit, akan tetapi apabila kondisi oang sangat lelah, maka awal

tidur sangat cepat bahkan jenis tidur ini tidak ada. Ciri dari tidur jenis ini adalah:

(1) Biasanya disertai dengan mimpi aktif.

(2) Lebih sulit dibangunkan daripada selama tidur nyenyak gelombang lambat.

(3) Tonus otot selama tidur nyenyak sangat tertekan, menunjukkan inhibisi kuat

proyeksi spinal atas sistem pengaktifasi retikularis.

(4) Frekwensi jantung dan pernapasan menjadi tidak teratur.

(5) Pada otot perifer terjadi beberapa gerakan otot yang tidak teratur.

(6) Mata cepat menutup dan terbuka, nadi cepat dan irregular, tekanan darah

meningkat atau berfluktuasi, sekresi gaster meningkat, dan metabolisme

meningkat.

(7) Tidur ini penting untuk keseimbangan mental, emosi, juga berperan dalam

belajar, memori, dan adaptasi.


14

Bangun

NREM I REM

NREM II NREM II NREM II

NREM III NREM III

NREM IV

Gambar 2.1Siklus tidur, sumber A. Aziz Alimul (2008)

2.1.5 Pengaturan Sistem Fisiologi yang dipengaruhi tidur

1) Perubaham kardiovaskuler

(1) Penurunan tekanan darah dan nadi selama NREM dan terutama tidur

gelombang lambat.

(2) Selama tidur REM, aktifitas fasie ( gerakan mata ) dihubungkan pada

vareabilitas nadi dan tekanan darah yang secara prinsip yang diperarantarai

oleh vagus.

(3) Disritmia jantung dapat terjadi secara selektif selama tidur REM.

2) Perubahan pernafasan

(1) Kecepatan pernafasan dan ventilasi menit menurun selama tidur REM dan

menjadi bervariasi selama tidur REM fisik.

(2) Respon ventilasi terhadap karbondioksida melemah selama tidur REM, yang

menyebabkan PCO2 lebih tinggi.


15

(3) Selama tidur REM, respon ventilasi terhadap hiperkapnia dan hipoksia

memperlihatkan ventilasi yang nyata.

(4) Otot pernapasan termasuk yang betanggung jawab untuk jalan napas atas

hipotonik sepanjang tidur dan selama tidur REM, yang menyebabkan

peningkantan resistensi jalan napas .

3) Perubahan endokrin

(1) Perubahan yang paling utama tampak pada parameter neuroendokrin.

(2) Tidur gelombang lambat dihubungkan dengan sekresi hormon pertumbuhan

pada lelaki muda, sementara tidur pada umumnya dihubungkan pada sekresi

prolaktin yang bertambah.

(3) Tidur yang mempunyai efek kompleks pada sekresi LH pada lutainizing

Hormon ( LH)

(4) Awitan tidur ( dan mungkin tidur gelombang lambat ) dihubungkan dengan

inhibisi Thyroid Setimulating Hormon (TSH) dan Adrenocorticotropik

Hormon (ACTH)- asik kortisol suatu efek yang tidak tergantung pada irama

sirkadia dalam dua sistem.

4) Perubahan termoregulasi

(1) Tidur NREM dihubungkan dalam perubahan respon termoregulasi terhadap

panas atau stres dingin.

(2) Tidur REM dihubungkan dengan tidak adanya respon termoregulasi yang

lengkap yang menyebabkan poikilotermi.


16

2.1.6 Mekanisme tidur bangun

Tidur merupakan aktifitas dari area tertentu di otak yang menyebabkan

tidur,dari pada masukan sensorik yang menurun dikortek serebri. Setimulus pada

area ini akan menghasilkan tidur.sebaliknya kerusakan akan mengakibatkan

gangguan tidur.

Siklus tidur-bangun dikontrol oleh aktifitas neuro didalam sistem reticular

activating system (RSA), RAS terdiri dari sistem retikularis batang otak,

posterior, hipotalamus dan basal otak depan. Mekanisme tidur-bangun ini

sesungguhnya belum diketahui secara pasti. Aktivitas neuron di pons mid brain,

dan posterior hipotalamus penting untuk keadadan bangun, sedangkan aktivitas

dimedula sangat penting untuk setimulasi keadaan tidur. Siklus tidur bangun ini

mungkin terintegrasi dibasal otak depan .

Terdapat pula mekanisme sepesifik otak yang dapat membangkitkan tidur

nonREM dan tidur REM. Lesi dianterior hipotalamus dan area yang berdekatan

dengan otak depan (basal otak depan ) akan mengakibatkan insomnia yang

berkepanjangan. Sebaliknya stimulasi kimia atau elektrik dibasal otak depan akan

menghasilkan tidur nonREM. Aktivitas neuron di area maksimal selama tidur

nonREM. Dan sangat kurang selama tidur REM dan keadaan bangun. Area lain

yang diduga sebagai regulator tidur nonREM adalah traktus solitarius.

Lateral pons dan area retikularis di media medulla merupakan area yang

sangat aktif selama periode tidur REM dan sangat kurang aktif pada tidur

nonREM . sel-sel neuron di medula yang mengontrol tidur REM, diduga


17

berpengaruh supresi terhadap tonus otot pada waktu tidur REM, yaitu melaluai

aktivitas neuron di batang otak dan inhibisi motorneuron dimedula spinalis .

Secara farmakologik, kini sudah ada bukti bahwah tidur nonREM sangat

berhubungan dengan mekanisme serotoninergik dan tidur REM dipengaruhi oleh

mekanisme adrenergik, sebagi contoh, pemberian serotonin dapat mengurangai

latensi mula tidur secara bermakna. Sebaliknya kerusakan area serotonin dipons

akan menyebabkan insomnia. Injeksi asetilkolin kedalam pons akan menimbulkan

tidur REM. Sistem katekolamin (noradneralin dan dopamine) juga mempunyai

peran penting pada keadaan bagun dan tidur REM. Konsentrasi norepineprindan

serotonin dikorteks mencapai puncak pada waktu bangun, terendah dalam tidur

REM dan intremediet pada tidur nonREM. Sebaliknya neuron kolinergik melepas

asetilkolin dengan kadar yang tinggi pada tidur REM dan waktu bangun dan

terendah pada waktu tidur nonREM.

Input sensori pada kontrol RAS dan BSR bekerja mengativasi serta

menekan pusat otak tertinggi intermilin untuk mengontrol tidur dan terbangun.

RAS berlokasi pada batang otak teratas terdiri dari sel khusus yang

mempertahankan kewaspadaan dan berjaga. RAS menerima stimulus sensori

visual, auditori, nyeri dan taktil. Aktifitas kontek serebral (misal pada proses

emosi atau fikiran) juga menstimulasi RAS. Saat terbangun merupakan hasil dari

neuron dalam RAS yang mengeluarkan ketakolamin seperti norepineprin. Tidur

dapat juga dihasilkan dari pengeluaran serotonin dari sel tertentu dalam sistem

tidur rophe pada pons dan otak depan bagian tegah. Daerah otak juga disebut

daerah sinkronisasi bulbar atau BSR. Keadaan terjaga atau tertidur tegantung pada
18

keseimbangan implus yang diterima dari pusat yang lebih tinggi (seperti pikiran ),

respon sensori perifer ( misal setimulus bunyi atau cahaya) dan sistem limbik.

(potter&perry,2006 ).

2.1.7 Fungsi dan Tujuan Tidur

Fungsi dan tujuan tidur secara jelas tidak diketahui, akan tetapi diyakini

bahwa tidur dapat digunakan untuk menjaga keseimbangan mental, emosional,

kesehatan, mengurangi stres pada paru, kardiovaskuler, endokrin, dan lain-lain.

Energi disimpan selama tidur, sehingga dapat diarahkan kembali pada fungsi

seluler yang penting. Secara umum terdapat dua efek fisiologis dari tidu, yaitur:

1) Efek pada sistem saraf, yang diperkirakan dapat memulihkan kepekaan

normal dan keseimbangan diantara berbagai susunan saraf.

2) Efek pada struktur tubuh, dengan memulihkan kesegaran dan fungsi dalam

organ tubuh, karena selama tidur terjadi penurunan(Hidayat, A. Aziz Alimul,

2006).

2.1.8 Tanda Klinis Gangguan Tidur

Menurut Hidayat, A. Aziz Alimul, 2006 tanda klinis dari ganggauan tidur

yaitu : hilangnya perasaan segar, gelisah, lesu, apatis, kehitaman daerah sekitar

mata, kelopak mata bengkak, konjungtiva mata merah, mata perih, tidak dapat

berkonsentrasi penuh, gangguan bicara dan proses pikir.

2.1.9 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tidur pada pasien DM

Terdapat beberapa faktor gangguan tidur yang dapat mempengaruhi

kualitas tidur pada penderita Diabetes Mellitus yaitu, faktor fisik, psiksosial, dan

lingkungan.
19

1) Faktor Fisik

Faktor fisik yang menyebabkan gangguan tidur pada penderita Diabetes

Mellitus meliputi nokturia, sering merasa haus, sering merasa lapar, gatal-gatal

pada kulit, kesemutan dan kram pada kaki, nyeri dan ketidaknyamanan fisik.

(1) Nokturia.Nokturia adalah berkemih pada malam hari yang mengganggu tidur

dan siklus tidur. Kondisi ini yang paling umum pada lansia dengan penurunan

tonus kandung kemih atau pada orang yang berpenyakit jantung, diabetes,

uretritis, atau penyakit prostat. Setelah seseorang berulang kali terbangun untuk

berkemih, menyebabkan sulit untuk kembali tidur (Potter & Perry, 2005).

(2) Sering merasa haus.Jika kadar gula darah sampai diatas 160 – 180mg/dl,

maka glukosa akan sampai ke air kemih. Jika kadarnya lebih tinggi lagi, ginjal

akan membuang air tambahan untuk mengencerkan sejumlah besar glukosa yang

hilang. Karena ginjal menghasilkan air kemih dalam jumlah yang berlebihan,

maka penderita sering berkemih dalam jumlah yang banyak. Akibatnya penderita

merasakan haus yang berlebihan sehingga penderita banyak minum. Dengan

kondisi yang seperti ini penderita sering terbangun untuk minum (Johnson, 1998).

(3) Sering merasa lapar.Sejumlah besar kalori hilang kedalam air kemih,

penderita Diabetes Mellitus mengalami penurunan berat badan. Untuk

mengkompensasikan hal ini penderita seringkali merasakan lapar yang luar biasa

Sehingga banyak makan. Hal ini dapat mengganggu tidur penderita pada malam

hari karena sering bangun (Johnson, 1998).


20

(4) Gatal-gatal pada kulit.Gatal-gatal pada kulit merupakan salah satu gejala

klinis penyakit diabetes mellitus. Hal ini membuat penderita DM tidak nyaman

untuk tidur dan dapat menyebabkan terbangun dari tidur (Johnson, 1998).

(5) Kesemutan dan kram pada kaki.Bila gula tidak dikontrol atau tidak diobati,

gejala kronis ini akan timbul dan ini akan menyebabkan penderita merasa tidak

nyaman dan susah untuk tidur (Nugroho, 2008).

(6) Nyeri.Keluhan nyeri pada ekstremitas merupakan keluhan umum pada

penderita diabetes mellitus, terutama pada penderita menahun apalagi dengan

kendali glukosa yang tidak baik. Sensasi yang dirasakan dapat bermacam-macam

seperti rasa terbakar, tertusuk. Hal ini ini menyebabkan penderita susah untuk

tidur (Manaf, 2010).

(7) Ketidaknyamanan fisik. Ketidaknyamanan fisik merupakan penyebab utama

kesulitan untuk tidur atau sering terbangun pada malam hari (Potter & Perry,

2005).

2) Faktor Psikososial

Gangguan tidur dilaporkan oleh 90% individu yang mengalami stres,

perasaan cemas, dan depresi (Chokroverty, 1999; Suryani, 2004). Hal ini terjadi

pada seseorang yang mempunyai penyakit(Potter & Perry, 2005).

(1) Stres.Seseorang dapat mengalami stres emosional karena penyakit. Oleh

karena itu emosi seseorang dapat mempengaruhi kemampuan untuk tidur. Stres

emosional menyebabkan seseorang menjadi tegang dan seringkali mengarah

frustasi apabila tidak tidur. Stres juga menyebabkan seseorang mencoba terlalu

keras untuk tertidur, sering terbangun selama siklus tidur, atau terlalu banyak
21

tidur. Stres yang berlanjut dapat menyebabkan kebiasaan tidur yang buruk (Potter

& Perry, 2005). Stres dapat mengubah pola tidur seseorang dalam beberapa

waktu. Selama adanya stres psikologis, waktu yang dibutuhkan untuk memulai

tidur dan tahap tidur NREM ke 1 dan 2 meningkat (Monroe, Simons, dan Thasle,

1992; Lee, 1997; Suryani, 2004).

(2) Cemas.Penderita penyakit yang memiliki resiko terhadap kecemasan adalah

mereka yang takut dan khawatir akan penyakitnya, diisolasi dari keluarga dan

kerabat, dan tidak familiar dengan lingkungan (Webster & Thompson, 1986).

Perasaan cemas menyebabkan waktu yang dibutuhkan untuk memulai tidur sangat

lama, tahap tidur NREM ke 4 dan tidur REM menurun, serta pasien lebih sering

terbangun pada malam hari (Karacan et al, 1968, 1978; Closs, 1988; Suryani,

2004).

(3) Depresi.Depresi merupakan suatu penyakit yang berpengaruh kepada efek

kejiwaan. Seseorang yang telah terkena depresi akan mengalami gangguan tidur

yang mana ciri khas seseorang yang terkena sindrome tersebut adalah susah untuk

tidur dan selalu murung (Septiyadi, 2005).

3) Faktor Lingkungan

Faktor lingkungan juga bisa mempengaruhi seseorang untuk tidur dan

dapat menyebabkan gangguan tidur pada setiap individu yaitu : suara/kebisingan,

ventilasi yang baik, ruang dan tempat tidur yang nyaman, cahaya/lampu yang

terlalu terang, dan suhu yang terlalu panas/terlalu dingin serta bau yang tidak

nyaman.
22

(1) Suara/kebisingan.Suara mempengaruhi tidur. Tingkat suara yang diperlukan

untuk membangunkan orang tergantung pada tahap tidur (Webster & Thompson,

1986). Suara yang rendah lebih sering membangunkan seseorang dari tidur tahap

1, sementara suara yang keras membangunkan orang pada tahap tidur 3 dan 4.

Level suara pada percakapan yang normal sekitar 50 dB (Potter & Perry, 2005).

Level suara dibawah 40 dB biasanya dibutuhkan oleh seseorang untuk tidur dan

peningkatan intensitas suara dapat menyebabkan seseorang terbangun dari

tidurnya (Baker, 1984 Freedman, 1999; Suryani, 2004).

(2) Ventilasi yang baik.Ventilasi yang baik adalah esensial untuk tidur yang

tenang (Potter & Perry, 2005). Kelembaban ruangan perlu diatur agar paru-paru

tidak kering karena apabila kelembaban ruangan tidak diatur maka seseorang

tidak akan dapat tidur, walaupun dapat tidur maka seseorang akan terbangun

dengan kerongkongan kering seakan-akan seseorang tersebut menderita radang

amandel (Septiyadi, 2005).

(3) Ruang dan tempat tidur yang nyaman.Ruang tidur merupakan tempat dimana

seseorang melepaskan pikiran-pikiran yang penat / lelah setelah seharian

melakukan aktifitas. Apabila ruang tidur kotor ataupun bau maka bisa dikatakan

itulah faktor utama dari susahnya tidur (Septiyadi, 2005). Ukuran, kekerasan dan

posisi tempat tidur mempengaruhi kualitas tidur (Potter & Perry, 2005).

(4) Cahaya/lampu yang terlalu terang.Tingkat cahaya dapat mempengaruhi

kemampuan untuk tidur (Potter dan Perry, 2005). Level cahaya yang normal

adalah cahaya disiang hari lebih terang apabila dibandingkan dengan malam hari

(Redeker, 1998; Retti Suryani, 2004). Seseorang yang terbiasa dengan lampu yang
23

redup disaat tidur akan mengalami kesulitan tidur jika sorot lampu yang terlalu

terang (Le, 1997; Potter dan Perry, 2001; Suryani, 2004).

(5) Suhu ruangan.Ruangan yang terlalu panas/terlalu dingin seringkali

menyebabkan seseorang gelisah. Keadaan ini akan mengganggu tidur seseorang

(Potter & Perry, 2005). Miller (2004) dalam Suryani (2004) tahap tidur REM

menurun jika suhu terlalu panas/terlalu dingin.

(6) Bau yang tidak nyaman.Hasil penelitian yang dilakukan oleh Suryani (2004)

melaporkan bahwa tidur responden terganggu akibat bau ruangan yang tidak

nyaman. Sementara hal yang sama juga dilaporkan oleh Karota-Bukit (2003)

bahwa 13% responden mengalami gangguan tidur pada tingkat sedang karena bau

yang tidak nyaman.

2.1.10 Masalah Kebutuhan Tidur

Menurut Hidayat, A. Aziz Alimul, 2006 macam-macam masalah

kebutuhan tidur yaitu :

1) Insomnia

Merupakan suatu keadaan ketidakmampuan mendapatkan tidur yang

adekuat, baik kualitas maupun kuantitas, dengan keadaan tidur yang sebentar atau

susah tidur. Insomnia terbagai menjadi tiga jenis, yaitu initial insomnia yang

merupakan ketidakmampuan untuk jatuh tidur atau mengawali tidur, intermiten

insomnia merupakan ketidakmampuan tetap tidur karena selalu terbangun pada

malam hari, dan terminal insomniayang merupakan ketidakmampuan untuk tidur

kembali setelah terbangun pada malam hari. Proses gangguan tidur ini
24

kemungkinan besar disebabkan oleh adanya rasa khawatir, tekanan jiwa, ataupun

stress.

2) Hipersomnia

Merupakan gangguan tidur dengan kriteria tidur berlebihan, pada

umumnya lebih dari sembilan jam pada malam hari, disebabkan oleh

kemungkinan adanya masalah psikologis, depresi, kecemasan, gangguan susunan

saraf pusat, ginjal, hati dan gangguan metabolisme.

3) Parasomnia

Merupakan kumpulan beberapa penyakit yang dapat mengganggu pola

tidur, seperti somnambulisme (berjalan-jalan saat tidur) yang banyak terjadi pada

anak-anak, yaitu pada tahap III dan IV dari tidur REM (Rapid Eye

Movement).Somnambulisme ini dapat menyebabkan cedera.

4) Enuresa

Merupakan buang air kecil yang tidak disengaja pada waktu tidur, atau

biasa juga disebut dengan istilah mengompol. Enuresa dibagi dalam dua jenis,

yaitu anuresa nocturnalyang merupakan mengompol di waktu tidur, dan enuresa

diurnalyang merupakan mengompol pada saat bangun tidur. Enuresa nocturnal

umumnya merupakan ganggguan pada tidur NREM (Non-Rapid Eye Movement).

5) Apnea tidur dan mendengkur

Mendengkur umumnya tidak termasuk dalam gangguan tidur, tetapi

mendengkur disertai dengan keadaan apnea dapat menjadi masalah.Mendengkur

sendiri disebabkan adanya rintangan dalam pengaliran udara di hidung atau mulut

pada waktu tidur, biasanya disebabkan oleh tonsilitis, atau mengendurnya otot
25

dibelakang multu.Terjadinya apnea dapat mengacaukan jalannya pernapasan

sehingga dapat mengakibatkan henti nafas. Bila kondisi ini berlangsung lama,

maka dapat menyebabkan kadar oksigen dalam darah menurun dan denyut nadi

menjadi tidak teratur.

6) Narcolepsi

Merupakan keadaan tidak dapat mengendalikan diri untuk tidur, misalnya

tertidur dalam keadaan berdiri, mengemudikan kendaraan, atau di saat sedang

membicarakan sesuatu.Hal ini merupakan suatu gangguan neurologis.

7) Mengigau

Mengigau dikategorikan dalam gangguan tidur bila terlalu sering dan

diluar kebiasaan. Dari hasil pengamatan, ditemukan bahwa hampir semua orang

pernah mengigau dan terjadi sebelum tidur REM (Rapid Eye Movement).

8) Gangguan pola tidur secara umum

Gangguan pola tidur secara umum merupakan suatu keadaan di mana

individu megalami atau mempunyai resiko perubahan dalam jumlah dan kualitas

pola istirahat yang menyebabkan ketidaknyamanan atau mengganggu gaya hidup

yang diinginkan (Carpenito, LJ, 1995). Gangguan ini telihat pada pasien dengan

kondisi yang memperlihatkan rasa lelah, mudah terangsang dan gelisah, lesu dan

apatis, kehitaman di daearah sekitar mata, kelopak mata bengkak, konjungtiva

merah, mata perih, perhatian tepecah-pecah, sakit kepala, dan sering menguat atau

mengantuk. Penyebab gangguann tidur ini antara lain kerusakan transport oksigen,

gangguan metabolisme, kerusakan eliminasi, pengaruh obat, immobilitas, nyeri

pada kaki, takut operasi, faktor lingkungan yang mengganggu, dan lain-lain.
26

2.2 Konsep ROM (Rage Of Motion)

2.2.1 Pengertian

Latihan aktif ROM (Rage of Motion) merupakan gerakan isotonik (terjadi

kontraksi dan pergerakan otot) yang dilakukan klien dengan menggerakkan

masing-masing persendiannya sesuai dengan rentang gerak yang normal. Selain

itu, latihan pasif ROM (Rage of Motion) adalah latihan pergerakan perawat atau

petugas lain yang menggerakkan persendian klien sesuai dengan rentang geraknya

(Kusyati, 2006).

Menurut Potter & Perry (2005), ROM adalah latihan yang dilakukan

untuk mempertahankan atau memperbaiki tingkat kesempurnaan kemampuan

menggerakkan persendian secara normal dan lengkap untuk meningkatkan massa

otot dan tonus otot. ROM adalah latihan gerakan sendi yang memungkinkan

terjadinya kontraksi dan pergerakan otot, dimana klien menggerakkan masing-

masing persendianya sesuai gerakan normal baik secara aktif maupun pasif

(Yusiko, 2010).

2.2.2 Tujuan

Menurut Kusyati (2006), tujuan ROM adalah:

1) Mempertahankan atau meningkatkan kekuatan dan kelenturan otot

2) Mempertahankan fungsi kardiorespirasi

3) Mencegah kontraktur dan kekakuan pada persendian

2.2.3 Jenis-jenis ROM (Range Of Motion)

1) ROM(Range Of Motion) Aktif


27

Menurut Yusiko (2010), ROM aktif adalah dimana perawat memberikan

motivasi, dan membimbing klien dalam melaksanakan pergerakan sendi secara

mandiri sesuai dengan rentang gerak sendi normal (klien aktif), kekuatan otot

75%. ROM merupakan latihan gerak isotonik (terjadi kontraksi dan pergerakan

otot) yang dilakukan kien dengan menggerakan masing-masing persendiannya

sesuai dengan rentang gerak yang normal (Kusyati, 2006).

2) ROM (Range Of Motion)Pasif

Menurut Yusiko (2010), ROM pasif adalah dimana perawat melakukan

gerakan persendian klien sesuai dengan rentang gerak yang normal (klien pasif),

kekuatan otot 50%. ROM merupakan latihan pergerakan perawat atau petugas lain

yang menggerakkan persendian klien sesuai dengan rentang geraknya (Kusyati,

2006).

2.2.4 Indikasi Pemberian

1) Stroke atau penurunan tingkat kesadaran

2) Kelemahan otot

3) Fase rehabilitasi fisik

4) Klien dengan tirah baring lama

2.2.5 Kontra Indikasi

1) Trombus/emboli pada pembuluh darah

2) Kelainan sendi atau tulang

3) Klien fase imobilisasi karena kasus penyakit (jantung)

2.2.6 Perhatian Khusus

1) Tanggap terhadap respon ketidak nyamanan klien


28

2) Ulangi gerakan sebanyak 4 kali

3) Monitor keadaan umum klien dan tanda-tanda vital sebelum dan setelah

latihan

2.2.7 Prosedur Pelaksanaan

1) Prosedur umum:

(1) Cuci tangan untuk mencegah transfer organisme.

(2) Jaga privasi klien dengan menutup pintu atau memasang sketsel.

(3) Beri penjelasan kepada klien mengenai apa yang akan di kerjaan dan minta

klien untuk dapat bekerjasama.

(4) Mengatur posisi pasien dengan nyaman

(5) Memberi kesempatan pada pasien untuk bertanya sebelum tindakan dimulai

(6) Gerakan dimulai dari atas

(7) Masing-masing gerakan diulangi sebanyak empat kali.

(8) Selama latihan pergerakan, kaji kemampuan untuk menoleransi gerakkan dan

rentang gerak (ROM/Rage Of Motion) dari masing-masing persendian yang

bersangkutan.

(9) Setelah latihan pergerakan, kaji denyut nadi dan ketahanan tubuh terhadap

latihan.

(10) Catat dan laporkan setiap masalah yang tidak diharapkan atau perubahan pada

gerakan klien, misalnya adanya kekakuan dan kontrantur

2) Prosedur Khusus

(1) Gerakan Leher

a. Fleksi
29

menggerakakan dagu menempel ke dada, dengan rentang 450

b. Ekstensi

Mengembalikan kepala ke posisi tegak, dengan rentang 450

c. Hiperekstensi

menekuk kepala ke belakang sejauh mungkin, dengan rentang 400-450

d. Fleksi leteral

Memiringkan kepala sejauh mungkin kearah setiap bahu, dengan rentang 400-

450.

e. Rotasi

Memutar kepala sejauh mungkin dalam gerakan sirkuler, rentang 1800.

Ulangi gerakan berturut-turut sebanyak 4 kali

Gambar 2.2: Gerakan ROM Pada Leher (Menurut potter & perry, 2006.)

(2) Gerakan Bahu

a. Fleksi

Menaikan lengan dari posisi disamping tubuh ke depan ke posisi diatas

kepala, dengan rentang 1800.

b. Ekstensi

Mengembalikan lengan keposisi di samping tubuh, dengan rentang 1800.


30

c. Hiperekstensi : Menggerakkan lengan kebelakang tubuh, siku tetap lurus,

dengan rentang 450-600.

d. Abduksi

Menaikan lengan ke posisi sampai diatas kepala dengan telapak tangan jauh

dari kepala, dengan rentang 1800.

e. Adduksi

Menurunkan lengan kesamping dan menyilang tubuh sejauh mungkin, dengan

rentang 3200.

f. Rotasi Dalam

Dengan siku fleksi, memutar bahu dengan menggerakkan lengan sampai ibu

jari menghadap ke dalam dan ke belakang, dengan rentang 900.

g. Rotasi luar : Dengan siku fleksi, menggerakkan lengan sampai ibu jari ke atas

dan samping kepala, dengan rentang 90 0.

h. Sirkumduksi

Menggerakkan lengan lingkar penuh, dengan rentang 3600.

Ulangi gerakan berturut-turut sebanyak 4 kali

Gambar 2.3 : Gerakkan ROM pada bahu (Menurut potter & perry, 2006.)

(3) Gerakan siku


31

a. Fleksi

Menggerakkan siku sehingga lengan bahu bergerak kedepan sendi bahu dan

tanggan sejajar bahu, dengan rentang 1500.

b. Ekstensi

Meluruskan siku dengan menurunkan tangan, dengan rentang 1500.

Gambar 2.4: Gerakkan ROM pada siku. (Menurut potter & perry, 2006.)

(4) Gerakan Lengan Bawah

a. Supinasi

Memutar lengan bawah dan tangan sehingga telapak tangan mengghadap ke

atas, dengan rentang 700-900.

b. Pronasi

Memutar lengan bawah sehingga telapak tangan menghadap ke bawah,

dengan rentang 700-900.


32

Gambar 2.5 : Gerakan ROM pada lengan bawah, (Menurut potter & perry,

2006.)

(5) Gerakan pergelangan tangan

a. Fleksi

Menggerakkan telapak tangan ke sisi bagian dalam lengan bawah, dengan

rentang 800-900.

b. Ekstensi

Menggerakkan jari tangan sehingga jari-jari, tangan, lengan bawah berada

diarah yang sama, dengan rentang 800-900.

c. Hiperekstensi

Membawa permukaan tangan dorsal ke belakang sejauh mungkin, dengan

rentang 890-900.

d. Abduksi

Menekuk pergelangan tangan miring ke ibu jari, dengan rentang 300.

e. Adduksi
33

Menekuk pergelangan tangan miring ke arah lima jari, dengan rentang 300-

500.

Ulagi gerakan berturut-turut sebanyak 4 kali

Gambar 2.6 : Gerakan ROM pada pergelangan tangan. (Menurut potter &

perry, 2006.)

(6) Gerakan jari tangan

a. Fleksi

Membuat genggaman dengan rentang 900.

b. Ekstensi

Meluruskan jari tangan dengan rentang 900.

c. Hiperekstensi

Menggerakkan jari jari tangan kebelakang sejauh mungkin dengan rentang

300-600.

d. Abduksi

Menggerakkan jari jari tangan yang satu dengan yang lain dengan rentang

300.
34

e. Adduksi

Merapatkan kembali jari jari tangan dengan rentang 300.

Ulangi gerakan berturut-turut sebanyak 4 kali

Gambar 2.7 : Gerakan ROM pada jari. (Menurut potter & perry, 2006.)

(7) Gerakkan ibu jari

a. Fleksi

Menggerakkan ibu jari menyilang permukaan telapak tangan dengan rentang

900.

b. Ekstensi

Menggerakkan ibu jari lurus menjauhi tangan dengan rentang 900.

c. Abduksi

Menjauhkan ibu jari ke samping, rentang dengan rentang 300.

d. Adduksi

Menggerakkan ibu jari kedepan tangan dengan rentang 300.


35

e. Oposisi Menyentuhkan ibu jari ke setiap jari-jari tangan pada tangan yang

sama.

Ulagi gerakan berturut-turut sebanyak 4 kali.

Gambar 2.8 : Gerakan ROM pada ibu jari. (Menurut potter & perry, 2006.)

(8) Gerakan pingul

a. Fleksi

Menggerakkan tungkai kedepan dan ke atas dengan rentang 900-1200.

b. Ekstensi

Menggerakkan kembali ke samping tungkai yang lain dengan rentang 900-

1200.

c. Hiperekstensi

Menggerakkan tungkai ke belakang tubuh dengan rentang 300-500.

d. Abduksi

Menggerakkan tungkai ke samping menjauhi tubuh dengan rentang 300-500.


36

e. Adduksi

menggerakkan tungkai kembali ke posisi media dan melebihi jika mungkin

dengan rentang 300-500.

f. Rotasi dalam

Memutar kaki dan tungkai ke tungkai lain, dengan rentang 900.

g. Rotasi luar

Memutar kaki dan tungkai jauhi tungkai lain, dengan rentang 900.

h. Sirkumduksi

Menggerakkan tungkai melingkar

Ulangi gerakan berturut-turut sebanyak 4 kali

Gambar 2.9 : Gerakan ROM pada pinggul. (Menurut potter & perry, 2006.)

(9) Gerakan lutut

a. Fleksi Menggerakkan tumit kebelakang paha dengan rentang 1200-1300.

b. Ekstensi Mengembalikan tungkai kelantai dengan rentang 1200-1300.

Ulangi gerakan berturut turut sebanyak 4 kali


37

Gambar 2.10 : Gerakan ROM pada lutut . (Menurut potter & perry, 2006.)

(10) Gerakan mata kaki

a. Dorsifleksi Menggerakkan kaki sehingga jari jari kaki menekuk ke atas

dengan rentang 200-300.

b. Flantarfleksi Menggerakkan kaki sehingga jari jari kaki menekuk ke bawah

dengan rentang 450-500.

Ulangi gerakan berturut-turut sebanyak 4 kali

Gambar 2.11 : Gerakan ROM pada mata kaki . (Menurut potter & perry,

2006.)
38

(11) Gerakan kaki

a. Inversi Memutar telapak kaki ke samping dalam dengan rentang 100

b. Eversi Memutar telapak kaki ke samping luar dengan rentang 100

Ulangi gerakan berturut-turut sebanyak 4 kali.

Gambar 2.12 : Gerakan ROM pada kaki . (Menurut potter & perry, 2006.)

(12) Gerakan jari jari kaki

a. Fleksi Menentukan jari jari ke bawah dengan rentang 300-600.

b. Ekstensi Meluruskan jari jari kaki dengan rentang 300-600.

c. Abduksi menggerakkan jari kaki satu dengan yang lain dengan rentang 150

d. Adduksi Merapatkan kembali bersama sama, dengan rentang 150

Ulangi gerakan berturut turut sebanyak 4 kali.


39

Gambar 2.13 : Gerakan ROM pada kaki . (Menurut potter & perry, 2006.)

2.3 Konsep Diabetes Melitus

2.3.1 Pengertian

Diabetes Melitus berasal dari kata diabetes yang berarti “mengalir terus”

dan mellitus yang berarti “manis”. Disebut diabetes karena selalu minum dan

dalam jumlah yang banyak (polidipsia) yang kemudian mengalir terus berupa

urine. Disebut DM karena urine penderita mengandung glukosa/manis ( Askandar,

2004).

Diabetes Melitus (DM) adalah gangguan metabolisme yang secara

genetis dan klinis termasuk heterogen dengan menifestasi berupa hilangnya

toleransi karbohidrat. Jika telah berkembang penuh secara klinis, maka ditandai

dengan hiperglikemia puasa dan postprandial, aterosklerotik, dan penyakit

vascular mikroangiopati, dan neuropati (Sylvia Anderson, 2005).

Diabetes Melitus (DM) adalah gangguan kronis metabolisme

karbohidrat, lemak, dan protein. Insufisiensi relatif atau absolut dalam respon
40

sekretorik insulin, yang diterjemahkan menjadi gangguan pamakaian karbohidrat

(Robbins, 2007).

Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu sindrom dengan terganggunya

metabolisme karbohidrat, lemak dan protein yang disebabkan oleh berkurangnya

sekresi insulin atau penurunan sensivitas jaringan terhadap insulin (Guyton,

2007).

2.3.2 Etiologi

Menurut Smeltzer (2001), faktor-faktor predisposisi terjadinya antara

lain:

1. Faktor genetik:

Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes itu sendiri, tetapi mewarisi

suatu predisposisi atau kecenderungan genetik kearah terjadinya diabetes.

Kecenderungan genetik ini ditemukan pada individu yang memiliki tipe antigen

HLA (human leucocyte antigen) tertentu. HLA merupakan kumpulan gen yang

bertanggung jawab atas antigen transplantasi dan proses imun lainnya. Sembilan

puluh lima persen pasien berkulit putih (caucasian) dengan diabetes

memperlihatkan tipe HLA yang spesifik (DR3 atau DR4). Risiko terjadi diabetes

meningkat tiga hingga lima kali lipat pada individu yang memiliki salah satu dari

kedua tipe HLA ini. Risiko tersebut meningkat sampai 10 hingga 20 kali lipat

pada individu yang memilki tipe HLA DR3 maupun DR4 (jika dibandingkan

dengan populasi umum).

1) Faktor imunologi
41

Pada penderita diabetes terdapat bukti adanya suatu respon autoimun.

Respon ini merupkan respon abnormal dimana antibody terarah pada jaringan

normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya

seolah-olah sebagai jaringan asing. Autoantibodi terhadap sel-sel pulau

Langerhans dan insulin endogen (internal) terdeteksi pada saat diagnosis dan

bahakan beberapa tahun sebelum tmbulnya tanda-tanda klinis.

2) Faktor lingkungan

Penyelidikan juga sedang dilakukan terhadap kemungkinan faktor

eksternal yang dapat memicu destruksi sel beta. Sebagi contoh, hasil penyelidikan

yang menyatakan bahwa virus atau toksin tertentu dapat memicu proses autoimun

yang menimbulkan destruksi sel beta.

3) Usia

Dengan bertambahnya umur, resistensi insulin cenderung meningkat.

Timbulnya resistensi insulin disebabkan oleh 4 faktor, yaitu:

1. Penurunan jumlah masa otot dari 19% menjadi 12 % dan peningkatan jumlah

jaringan lemak dari 14% menjadi 30%, mengakibatkan menurunnya jumlah

serta sensitivitas reseptor insulin.

2. Turunnya aktivitas fisik yang akan mengakibatkan penurunan jumlah reseptor

insulin yang siap berikatan dengan insulin.

3. Perubahan pola makan pada usia lanjut yang disebabkan oleh berkurangnya

gigi geligi sehingga prosentase bahan makanan karbohidrat akan meningkat.

4. Perubahan neuro-hormonal, khususnya insulin-like growth factor (IGF-1) dan

dehydroepandrosteron (DHEAS) plasma. Perubahan hormon ini akan


42

mengakibatkan penurunan ambilan glukosa karena menurunnya sensitivitas

reseptor insulin serta aksi insulin.

4) Obesitas

Pada kegemukan dan kehamilan sensitivitas insulin jaringan sasaran

yaitu lemak dan otot menurun (walaupun tidak terdapat diabetes), dan kadar

insulin serum mungkin meningkat untuk mengkompensasi resistensi insulin

tersebut. Obesitas maupun kegemukan dapat menyebabkan meningkatnya

resistensi insulin ke suatu tahap yang tidak dapat dikompensasi dengan

meningkatkan produksi insulin. Karena itu obesitas adalah salah satu factor risiko

yang penting dalam pathogenesis diabetes tipe II. (Robbins, 2007)

5) Riwayat keluarga

Riwayat keluarga berpengaruh pada terjadinya Diabetes Melitus.

Seseorang yang mempunyai riwayat keluarga mengidap (apalagi kalau kedua

orang tuanya mengidap jelas lebih besar kemungkinannya untuk mengidap

daripada orang normal). (Sidartawan, 2004)

6) Kelompok etnis

Kelompok etnis di Amerika Serikat, golongan Hispanik serta penduduk

asli Amerika tetentu memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk terjadinya

diabetes tipe II dibandinakan dengan golongan Afro-Amerika

2.3.3 Manifestasi Klinis

Menurut Sidartawan Soeganda (2004), beberapa tanda dan gejala yang

perlu mendapat perhatian adalah :

1. Keluhan Klasik
43

1) Banyak kencing (poliuri)

Karena sifatnya, kadar glukosa darah yang tinggi akan menyebabkan

banyak kencing. Kencing yang sering dan dalam jumlah banyak akan sangat

mengganggu penderita, terutama pada waktu malam hari.

2) Banyak minum (polidipsi)

Rasa haus amat sering dialami penderita karena banyaknya cairan yang

keluar melalui kencing.

3) Banyak makan (polifagi)

Kalori dari makanan yang dimakan, setelah dimetabolisme menjadi

glukosa dalam darah tidak seluruhnya dimanfaatkan, sehingga penderita selalu

merasa lapar.

4) Penurunan berat badan dan merasa lemah

Penurunan berat badan yang berlangsung dalam waktu relatif singkat

harus menimbulkan kecurigaan. Rasa lemah disebabkan karena glukosa dalam

darah tidak dapat masuk ke dalam sel, sehingga sel kekurangan bahan bakar untuk

menghasilkan tenaga. Untuk kelangsungan hidup, sumber tenaga diambil dari

cadangan lain yaitu sel lemak dan otot. Akibatnya penderita kehilangan jaringan

lemak dan otot sehingga menjadi kurus.

2. Keluhan Lain

1) Gangguan saraf tepi / kesemutan

Penderita mengeluh kesemutan terutama pada kaki di waktu malam

2) Gangguan penglihatan
44

Pada fase awal penyakit diabetes sering dijumpai gangguan penglihatan

yang mendoronng penderita untuk mengganti kacamatanya berulang kali agar

dapat tetap melihat dengan baik.

3) Gatal /bisul

Kelainan kulit berupa gatal, biasanya terjadi di daerah kemaluan atau

daerah lipatan kulit seperti ketiak dan payudara. Sering pula dikeluhkan timbulnya

bisul dan luka yang lama sembuhnya. Luka ini dapat timbul akibat hal yang sepele

seperti luka lecet karena sepatu atau tertusuk peniti.

4) Gangguan ereksi

Gangguan ereksi ini manjadi masalah yang tersembunyi karena tidak

dikemukakan penderitanya. Hal ini terkait dengan budaya masyarakat yang masih

merasa tabu membicarakan masalah seks, apalagi menyangkut kemampuan atau

kejantanan seseorang.

5) Keputihan

Pada wanita, keputihan dan gatal merupakan keluhan yang sering ditemukan

dan kadang-kadang merupakan satu-satunya gajala yang dirasakan.

2.3.4 Patofisiologi

Menurut smeltzer (2001), Pada diabetes tipe I terdapat ketidakmampuan

untuk menghasilkan insulin karena sel-sel beta pancreas telah dihancurkan oleh

proses autoimun. Hiperglikemi puasa terjadi akibat produksi glukosa yang tidak

terukur oleh hati. Disamping itu, glukosa yang berasal dari makanan tidak dapat

disimpan dalam hati dan tetap berada dalam darah yang menimbulkan

hiperglikemia postprandial (sesudah makan).


45

Jika konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi, ginjal tidak dapat

menyerap kembali semua glukosa yang tersaring keluar, akibatnya glukosa

tersebut muncul dalam urin (glukosuria). Ketika glukosa yang berlebihan di

ekskresikan ke dalam urin, ekskresi ini akan disertai pengeluaran cairan dan

elektrolit yang berlebihan. Keadaan ini dinamakan diuresis osmotik. Sebagai

akibatnya, pasien akan mengalami peningkatan dalam berkemih (poliuri) dan rasa

haus (polidipsi). Defisiensi insulin juga mengganggu metabolisme protein dan

lemak yang menyebabkan penurunan berat badan. Pasien dapat mengalami

peningkatan nafsu makan (polifagi) akibat menurunnya simpanan kalori. Gejala

lainnya mencakup kelelahan dan kelemahan.

Dalam keadaan normal insulin mengendalikan glikogenolisis

(pemecahan glukosa yang disimpan) dan glukoneogenesis (pembentukan glukosa

baru dari asam-asam amino serta substansi lain), namun pada penderita defisiensi

insulin, proses ini akan terjadi tanpa hambatan dan lebih lanjut turut menimbulkan

hiperglikemia. Disamping itu akan terjadi pemecahan lemak yang mengakibatkan

peningkatkan produksi badan keton yang merupakan produk samping pemecahan

lemak. Badan keton merupakan asam yang mengganggu keseimbangan asam-

basa tubuh apabila jumlahnya berlebihan. Ketoasidosis diabetik yang

diakibatkannya dapat menyebabkan tanda-tanda dan gejala seperti nyeri abdomen,

mual, muntah, hiperventilasi, napas berbau aseton, dan bila tidak ditangani akan

menimbulkan perubahan kesadaran, koma bahkan kematian. Pemberian insulin

bersama cairan dan elektrolit sesuai kebutuhan akan memperbaiki dengan cepat

kelainan metabolik tersebut dan mengatasi gejala hiperglikemia serta ketoasidosis.


46

Diet dan latihan disertai pemantauan kadar glukosa darah yang sering merupakan

komponen terapi yang penting.

Pada diabetes tipe II terdapat dua masalah utama yang berpengaruh

dengan insulin, yaitu: resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya

insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel. Sebagai akibat

terikatnya insulin dengan reseptor tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi dalam

metabolisme glukosa di dalam sel. Resistensi insulin pada diabetes tipe II disertai

dengan penurunan reaksi intrasel ini. Dengan demikian insulin menjadi tidak

efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan.

Untuk mengatasi resitensi insulin dan mencegah terbentuknya glukosa

dalam darah, harus terdapat peningkatan jumlah insulin yang disekresikan. Pada

penderita toleransi glukosa terganggu, keadaan ini terjadi akibat sekresi insulin

yang berlebihan, dan kadar glukosa akan dipertahankan pada tingkat yang normal

atau sedikit meningkat. Namun demikian, jika sel-sel beta tidak mampu

mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin, maka kadar glukosa akan

meningkat dan terjadi diabetes tipe II.

Meskipun terjadi gangguan sekresi insulin yang merupakan ciri khas

diabetes tipe II, namun masih terdapat insulin dengan jumlah yang adekuat untuk

mencegah pemecahan lemak dan produksi badan keton yang menyertainya.

Karena itu, ketoasidosis diabetik tidak terjadi pada diabetes tipe II. Meskipun

demikian, diabetes tipe II yang tidak terkontrol dapat menimbulkan masalah akut

lainnya yang dinamakan sindroma hiperglikemik hiperosmoler nonketotik

(HHNK).
47

2.3.5 Hubungan Diabetes Mellitus Dengan Tidur

Akademi Pengobatan Tidur Amerika (American Academy of Sleep

Medicine /AASM) melaporkan bertambahnya bukti berkaitan dengan kurangnya

tidur dan gangguan tidur dapat berkembang bahkan memperburuk diabetes.

Dr Lawrence Epstein, Direktur Medis Pusat Kesehatan Tidur, seorang

instruktur pengobatan di Fakultas Kedokteran Harvard, seorang mantan presiden

AASM dan anggota dewan direktur AASM, mengatakan ”Beberapa studi besar

menunjukkan bahwa orang yang tidak tidur dengan cukup memiliki risiko yang

lebih besar terkena diabetes”. Hal ini dikarenakan, kurangnya tidur memiliki efek

yang signifikan terhadap sistem endokrin, yang bertanggungjawab untuk

pelepasan dan penghambatan beberapa substansi termasuk insulin. Kurangnya

tidur juga mempengaruhi aktivitas kelenjar pituitary yaitu pengendali kelenjar

endokrin di seluruh tubuh. Mekanismenya terjadi melalui 2 jalan, yaitu sistem

saraf otonom dan kelenjar pituitary. Sistem saraf otonom disusun oleh sistem

aktivasi atau pengeluaran yang disebut sistem saraf simpatis dan penghambat

sistem disebut sistem parasimpatis (Sriwerdati, 2009

2.3.6 Klasifikasi

Menurut Guyton (2007), terdapat dua tipe utama Diabetes Melitus, yaitu :

1) DM Tipe I

Kerusakan sel beta pancreas atau penyakit-penyakit yang mengganggu

produksi insulin dapat menyebabkan timbulnya Diabetes Melitus tipe I. Infeksi

virus atau kelainan autoimun dapat menyebabkan kerusakan sel beta pancreas

pada banyak pasien Diabetes Melitus tipe I, meskipun faktor herediter juga
48

berperan penting untuk menentukan kerentanan sel-sel beta terhadap gangguan

tersebut. Pada beberapa kasus, kecenderungan faktor herediter dapat

menyebabkan degenerasi sel beta, bahkan tanpa adanya infeksi virus atau kelainan

autoimun.

Onset Diabetes Melitus tipe I biasanya dimulai pada umur sekitar 14 tahun, oleh

sebab itu diabetes ini sering disebut Diabetes Melitus juvenils. Diabetes Melitus

tipe I dapat timbul tiba-tiba dalam waktu beberapa hari atau minggu, dengan tiga

gejala sisa yang utama: naiknya kadar glukosa darah, peningkatan penggunaan

lemak sebagai sumber energi dan untuk pembentukan kolesterol oleh hati, dan

berkurangnya protein dalam jaringan tubuh.

2) DM Tipe II

Diabetes melitus tipe II lebih sering dijumpai dari Diabetes Melitus tipe I,

dan kira-kira ditemukan sebanyak 90 persen dari seluruh kasus . Pada kebanyakan

kasus, onset Diabetes Melitus tipe II terjadi di atas umur 30 tahun, sering kali di

antara umur 50 dan 60 tahun, dan penyakit ini timbul secara perlahan-lahan. Oleh

karena itu, sindrom ini sering disebut sebagai diabetes onset dewasa. Akan tetapi,

akhir-akhir ini dijumpai peningkatan kasus yang terjadi pada individu yang lebih

muda, sebagian berusia kurang dari 20 tahun dengan Diabetes Melitus tipe II.

Trend tersebut agaknya berkaitan terutama dengan peningkatan prevalensi

obesitas, yaitu faktor resiko terpenting untuk Diabetes Melitus tipe II.

Diabetes Melitus tipe II berbeda dengan Diabetes Melitus tipe I, dikaitkan

dengan peningkatan insulin plasma (hiperinsulinemia). Hal ini terjadi sebagai

upaya kompensasi oleh sel beta pancreas terhadap penurunan sensitivitas jaringan
49

terhadap efek metabolisme insulin, yaitu suatu kondisi yang dikenal sebagai

resistensi nsulin. Penurunan sensitivitas insulin mengganggu penggunaan dan

penyimpanan karbohidrat, yang akan meningkatkan sekresi insulin sebagai upaya

kompensasi.

2.3.7 Diagnosis

Menurut Guyton (2007). diagnosis harus didasarkan atas pemeriksaan

kadar glukosa darah dan tidak dapat ditegakkan hanya atas dasar glukosuria saja.

Dalam menentukan diagnosis harus diperhatikan asal bahan darah yang diambil

dan cara pemeriksaan yang dipakai. Pemeriksaan yang dianjurkan adalah

pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena.

Pemeriksaan gukosa darah seyogyanya dilakukan di laboratorium klinik yang

terpercaya (yang melakukan program pemantauan kendali mutu secara teratur).

Walaupun demikian sesuai dengan kondisi setempat dapat juga dipakai bahan

darah utuh (whole blood), vena ataupun kapiler dengan memperhatikan angka-

angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Untuk

pemantauan hasil pemantauan dapat diperiksa glukosa darah kapile

Tabel 2.1 Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan diagnosis

Diabetes Melitus Menurut WHO

Bukan Belum pasti


Diabetes
diabetes diabetes
melitus
melitus mellitus

Kadar glukosa darah Plasma vena < 110 110-199 ≥ 200

sewaktu (mg/dl) Darah kapiler <90 90-199 ≥200


50

Kadar glukosa darah Plasma vena <110 110-125 ≥126

spuasa (mg/dl) Darah kapiler <90 90-109 ≥110

Diagnosis klinis umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan khas berupa

poliuri, polidipsi, polifagi, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan

sebabnya. Jika keluhan khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dl

sudah cukup untuk menegakkan diagnosis. Hasil pemeriksaan kadar glukosa

darah puasa ≥126 mg/dl juga digunakan untuk patokan diagnosis, hasil

pemeriksaan glukosa darah yang baru satu kali saja abnormal, belum cukup kuat

untuk menegakkan diagnosis. Diperlukan pemastian lebih lanjut dengan mendapat

sekali lagi angka abnormal, baik kadar glukosa darah puasa maupun kadar

glukosa darah sewaktu pada hari yang lain, atau dari hasil tes toleransi glukosa

oral (TTGO) didapatkan kadar glukosa darah pasca pembebanan ≥200 mg/dl.

Cara Pelaksanaan TTGO :

1) Tiga hari sebelum pemeriksaan makan seperti biasa (karbohidrat cukup).

Kegiatan jasmani seperti yang biasa dilakukan

2) Puasa paling sedikit 8 jam mulai malam hari sebelum pemeriksaan, minum

air putih diperbolehkan

3) Diperiksa kadar glukosa darah puasa

4) Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa), atau 1,75 gram/kgBB (anak-

anak), dilarutkan dalam air 250 ml dan diminum dalam waktu 5 menit

5) Diperiksa kadar glukosa darah 2 jam sesudah beban glukosa


51

6) Selama proses pemeriksaan subyek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak

merokok

Kriteria diagnostik dan gangguan toleransi glukosa

1) Kadar glukosa darah sewaktu (plasma vena) ≥ 200 mg/dl, atau

2) Kadar glukosa darah puasa (plasma vena) ≥126 mg/dl

3) Kadar glukosa plasma ≥ 200 mg/dl pada 2 jam sesudah beban glukosa 75

gram pada TTGO

Keluhan klinis
diabetes

Keluhan khas (+) Keluhan khas (-)


(-)

GDP ≥ 126 < 126 GDP ≥ 126 110-125 <110


GDS ≥ 200 < 200 GDS ≥ 200
110-199

Ulang GDS atau GDP

GDP ≥126 < 126 TTGO


GDS ≥ 200 < 200 GD 2 jam

≥ 200 140-199 <140

Diabetes Melitus TGT GDPT Normal


52

Gambar 2.14 Langkah-langkah diagnosis diabetes melitus dan gangguan

toleransi glukosa

GDP = Glukosa Darah Puasa

GDS = Glukosa Darah Sewaktu

GDPT = Glukosa Darah Puasa Terganggu

TGT = Toleransi Glukosa Terganggu

2.3.8 Terapi

Menurut Smeltzer, (2001), tujuan terapeutik pada setiap tipe diabetes

adalah mencapai kadar glukosa darah normal (euglikemia) tanpa terjadi

hipoglikemia dan gangguan serius pada pola aktivitas pasien. Ada lima komponen

dalam penatalaksanaan diabetes, yaitu:

1) Penatalaksanaan diet

Diet dan pengaturan berat badan merupakan dasar dari penatalaksanaan

diabetes. Penatalaksanaan nutrisi pada penderita diabetes diarahkan untuk

mencapai tujuan berikut:

1. Memberikan semua unsur makanan esensial (misalnya vitamin dan mineral)

2. Mencapai dan mempertahankan berat badan ideal

3. Memenuhi kebutuhan energi

4. Mencegah fluktuasi kadar glukosa darah setiap harinya dengan

mengupayakan kadar glukosa darah mendekati normal melalui cara-cara yang

aman dan praktis

5. Menurunkan kadar lemak darah jika kadar ini meningkat.

2) Latihan jasmani
53

Latihan sangat penting dalam penatalaksanaan diabetes karena efeknya

dapat menurunkan kadar glukosa darah dan mengurangi faktor resiko

kardiovaskuler. Latihan akan menurunkan kadar glukosa darah dengan

meningkatkan pengambilan glukosa oleh lukosa darah dengan meningkatkan

pengambilan glukosa oleh otot dan memperbaiki pemakaian insulin. Latihan juga

akan merubah kadar lemak darah, yaitu meningkatkan kadar HDL-kolesterol dan

menurunkan kadar kolesterol total dan trigliserida.

Meskipun demikian, penderita diabetes dengan kadar glukosa darah lebih

dari 250 mg/dl dan menunjukkan adanya keton dalam urin tidak boleh melakukan

latihan sebelum pemeriksaan keton urin memperlihatkan hasil negative dan kadar

glukosa darah telah mendekati normal. Latihan dengan kadar glukosa darah tinggi

akan meningkatkan sekresi glucagon, growth hormone, dan katekolamin.

Peningkatan hormon ini membuat hati melepas lebih banyak glukosa sehingga

terjadi kenaikan kadar glukosa darah.

3) Pemantauan kadar glukosa darah

Dengan melakukan pemantauan kadar glukosa darah secara mandiri

(SMBG: self-monitoring of blood glucose), penderita diabetes kini dapat mengatur

terapinya untuk mengendalikan kadar glukosa darah secara optimal. Cara ini

memungkinkan deteksi dan pencegahan hipoglikemia dan hipergikemia, dan

berperan dalam menentukan kadar glukosa darah normal yang kemungkinan akan

mengurangi komplikasi diabetes jangka panjang.

4) Pemakaian obat hipoglikemi


54

Kegagalan pengendalian glikemia pada setelah melakukan perubahan gaya

hidup memerlukan intervensi farmakoterapi agar dapat mencegah terjadinya

komplikasi diabetes atau paling tidak dapat menghambatnya.

Menurut Sudoyo (2006), hal-hal yang perlu diperhatikan dalam memilih

obat hipoglikemi oral antara lain:

1. Dosis harus selalu dimulai dengan dosis rendah yang kemudian dinaikkan

secara bertahap.

2. Harus diketahui betul bagaimana cara kerja, lama kerja dan efek samping

obat-obatan tersebut.

3. Bila memberikannya bersama obat lain, pikirkan kemungkinan adanya

interaksi obat.

4. Pada kegagalan sekunder terhadap obat hipoglikemi oral, usahakan

menggunakan obat oral golongan lain, bila gagal baru beralih kepada insulin.

5. Usahakan agar harga obat terjangkau oleh pasien.

5) Edukasi atau penyuluhan

Pada dasarnya tujuan penyuluhan pada diabetes adalah perawatan mandiri

sehingga seakan-akan pasien menjadi dokternya sendiri dan juga mengetahui

kapan dia harus pergi ke dokter untuk mendapatkan pengarahan yang lebih lanjut.

Dengan demikian dapat dikatakan penyuluhan diabetes adalah suatu proses

pemberian pengetahuan dan ketrampilan bagi penderita diabetes, yang diperlukan

untuk dapat merawat diri sendiri, mengatasi krisis, serta mengubah gaya hidupnya

agar dapat menangani penyakit diabetes dengan sukses (Sidartawan, 2004).


55

2.3.9 Komplikasi

1. Komplikasi Akut

Menurut Smeltzer (2001), ada tiga komplikasi akut pada diabetes yang

penting dan berpengaruh dengan gangguan keseimbangan glukosa darah. Ketiga

komplikasi tersebut adalah:

1) Hipoglikemia

Hipoglikemia terjadi kalau kadar glukosa darah turun di bawah 60 hingga

50 mg/dl. Keadaan ini dapat terjadi akibat pemberian insulin atau preparat oral

yang berlebih, konsumsi makanan yang terlalu sedikit atau karena aktivitas fisik

yang berat.

2) Ketoasidosis diabetik

Diabetes ketoasidosis disebabkan oleh tidak adanya atau tidak cukupnya

jumlah insulin yang nyata. Akibat defisiensi insulin adalah pemecahan lemak

(lipolisis) menjadi asam-asam lemak bebas dan gliserol. Asam lemak bebas akan

diubah menjadi badan keton oleh hati. Pada ketoasidosis diabetik terjadi produksi

badan keton yang berlebihan sebagai akibat dari kekurangan insulin. Badan keton

bersifat asam, dan bila menumpuk dalam sirkulasi darah, badan keton akan

menimbulkan asidosis metabolik.

3) HHNK (hiperglikemik hiperosmoler nonketotik)

Sindrom hiperglikemik hiperosmoler nonketotik merupakan keadaan yang

didominasi oleh hiperosmolaritas dan hiperglikemia dan disertai perubahan

tingkat kesadaran (sense of awareness). Pada saat yang sama tidak ada atau terjadi

ketoasidosis ringan. Keadaan hiperglikemia persisten menyebabkan diuresis


56

osmotik sehingga terjadi kehilangan cairan dan elektrolit. Untuk mempertahankan

keseimbangan osmotik, cairan akan berpindah dari ruang intrasel ke dalam

ekstrasel. Dengan adanya glukosuria dan dehidrasi, akan dijumpai keadaan

hipernatremia dan peningkatan osmolaritas.

2. Komplikasi Jangka Panjang

Komplikasi jangka panjang diabetes dapat menyerang semua sistem organ

dalam tubuh. Kategori komplikasi kronis yang lazim digunakan adalah:

1) Komplikasi makrovaskuler

Berbagai tipe komplikasi makrovaskuler dapat terjadi, tergantung pada

lokasi lesi aterosklerotik

a) Penyakit arteri koroner

Perubahan aterosklerotik dalam pembuluh arteri koroner menyebabkan

peningkatan insiden infark miokard pada penderita diabetes. Salah satu ciri unik

pada penyakit arteri koroner yang diderita oleh pasien diabetes adalah tidak

terdapatnya gejala iskemik yang khas. Pasien mungkin tidak memperlihatkan

tanda-tanda awal penurunan aliran darah koroner dan dapat mengalami infark

miokard asimtomatik, dimana keluhan sakit dada tidak dialaminya. Infark

miokard asimtomatik ini hanya dijumpai melalui pemeriksaan elektrokardiogram.

Kurangnya gejala iskemik ini disebabkan oleh neuropati otonom.

b) Penyakit serebrovaskuler

Perubahan aterosklerotik dalam pembuluh darah serebral atau

pembentukan embolus di tempat lain dalam sistem pembuluh darah yang

kemudian terbawa aliran darah sehingga terjepit dalam pembuluh darah serebral
57

dapat menimbulkan serangan iskemia sepintas (TIA = transient ischemic attack)

dan stroke.

c) Penyakit vaskuler perifer

Perubahan aterosklerotik dalam pembuluh darah besar pada ekstremitas

bawah merupakan penyebab meningkatnya insiden (dua atau tiga kali lebih tinggi

dibandingkan pada pasien-pasien nondiabetes) penyakit oklusif arteri perifer pada

pasien diabetes. Tanda dan gejala penyakit vaskuler perifer dapat berupa

berkurangnya denyut nadi dan klaudikasio intermiten (nyeri pada pantat atau betis

ketika berjalan). Bentuk penyakit oklusif arteri yang parah pada ekstrimitas

bawah ini merupakan penyebab utama meningkatnya insiden gangren.

2) Komplikasi mikrovaskuler

a) Retinopati diabetik

Kelainan patologis mata yang disebut retinopati diabetik disebabkan oleh

perubahan dalam pembuluh-pembuluh darah kecil pada retina mata. Retina

merupakan bagian mata yang menerima bayangan dan mengirimkan informasi

tentang bayangan tersebut ke otak. Retina mengandung banyak sekali pembuluh

darah dari berbagai jenis pembuluh darah arteri serta vena yang kecil, arteriol,

venula, dan kapiler.

b) Komplikasi oftalmologi yang lain

a. Katarak

Opasitas lensa mata, katarak terjadi di usia yang lebih muda pada pasien-

pasien diabetes.

b. Perubahan lensa
58

Lensa mata dapat membengkak ketika kadar glukosa darah naik.

Pengendalaian kadar glukosa darah memerlukan waktu sampai 2 bulan sampai

pembengkakan hiperglikemia mereda dan penglihatan menjadi stabil kembali.

c. Kelumpuhan otot ekstraokuler

Kelumpuhan ini dapat terjadi akibat neuropati diabetik. Kelainan yang

mengenai berbagai nervus kranialis untuk gerakan bola mata dapat menimbulkan

diplopia. Biasanya keadaan ini sembuh spontan.

d. Glaukoma

Glaukoma dapat terjadi dengan frekuensi yang lebih tinggi pada populasi

diabetik.

c) Nefropati

Bukti menunjukkan bahwa setelah terjadi diabetes, khususnya bila kadar

glukosa darah meninggi, maka mekanisme filtrasi ginjal akan mengalami stress

yang menyebabkan kebocoran protein darah ke dalam urin. Sebagai akibatnya,

tekanan dalam pembuluh darah ginjal meningkat. Kenaikan tekanan tersebut

diperkirakan berperan sebagai stimulus untuk terjadinya nefropati.

3) Neuropati diabetes

Neuropati dalam diabetes mengacu kepada sekelompok penyakit yang

menyerang semua tipe saraf, termasuk saraf perifer (sensorimotor), otonom, dan

spinal. Penebalan membran basalis kapiler dan penutupan kapiler dapat dijumpai.

Disamping itu terdapat demielinisasi saraf yang diperkirakan berpengaruh dengan

hiperglikemia. Hantaran saraf akan terganggu apabila terdapat kelainan pada

selubung mielin.
59

3.4 Kerangka Konseptual

Faktor yang Senam aerobiki Sangat Baik


mempengaruhi tidur pada  San
Olah raga gat
pasien DM:
 Faktor Fisik Bai
Agak baik
ROM Kualitas tidur
 Faktor Pesikologi k
 Factor Lingkungan
Agak buruk

Factor yang mempengaruhi ROM Sangat buruk


 Mobilitas kapsul sendi &
ligament
 Fascia
 Kekuatan otot

Keterangan:

: Diteliti

: Tidak diteliti

: Ada hubungan
Gambar 2.15 Kerangka Konseptual Pengaruh pemberian aktivitas
ROM(Rage Of Motion) Terhadap Perubahan Kualitas Tidur
Pasien DM di Puskesmas Turi dengan menggunakan Konsep
Psikoneuroimunologi (Norma Risnasari, 2005).
.
Tidur merupakan kebutuhan dasar yang dibutuhkan oleh semua

manusia untuk dapat berfungsi secara optimal baik yang sehat maupun yang

sakit. Banyak sekali faktor yang mempengaruhi kualitas dan kuantitas tidur.

Faktor fisik meliputi rasa nyeri, sedangkan faktor psikologis meliputi


60

depresi, kecemasan, ketakutan dan tekanan jiwa. Klien yang sakit seringkali

membutuhkan lebih banyak tidur dan istirahat dibandingkan dengan klien

yang sehat. Dalam keadaan sakit apabila mengalami kurang tidur dapat

memperpanjang waktu pemulihan sakit (Hudak & Gallo, 1997). Pada pasien

DM, tidur mempunyai efek yang sangat erat teradap aktifitas pangkreas

dalam menghasilkan insulin. Salah satu faktor yang memberikan pengaruh

terhadap tidur klien, terutama pengaruh yang positif adalah latihan fisik dan

kelelahan. ROM (Rage of Motion) aktifmerupakan gerakan isotonic (terjadi

kontraksi dan pergerakan otot) yang dilakukan klien dengan menggerakkan

masing-masing persendiannya sesuai dengan rentang gerak yang normal

(Eni Kusyati, 2006). Kontraksi dan relaksasi otot berirama mengurangi

ketegangan dan menyiapkan tubuh untuk beristirahat (Hoch dan Reynolds,

1986). Hal ini dikarenakan keadaan lelah akan meningkatkan relaksasi

(Fundamental Keperawatan Vol. 2, 2005). Relaksasi memberi respon

melawan mass discharge (pelepasan impuls secara massal). Pada respon

stres dari sistem saraf simpatis, perasaan rileks akan diteruskan ke

hipotalamus untuk menghasilkan Corticotropin Releasing Factor (CRF).

Selanjutnya CRF (Corticotropin Releasing Factor) merangsang kelenjar

pituitary untuk meningkatkan produksi Proopioidmelanocortin (POMC)

sehingga produksi enkephalin oleh medulla adrenal meningkat. Kelenjar

pituitari juga menghasilkan  endorphin sebagai neurotransmiter yang

mempengaruhi suasana hati menjadi rileks (Mellysa, 2004).


61

3.5 Hipotesis Penelitian

Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada pengaruh pemberian ROM (Rage

Of Motion) aktif terhadap perubahan kualitas tidur pasien DM.

Anda mungkin juga menyukai