NASKAH PUBLIKASI
Diajukan oleh :
Muhamad Firdaus Aditama
NIM : 20111030149
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2014
EVALUASI PELAKSANAAN INFORMED CONSENT
DI PUSKESMAS DTP PLUMBON
KABUPATEN CIREBON
INTISARI
ABSTRACT
Background: the increasing of society’s knowledge along with the rapid of
technology development and the ease of obtaining information, make the society
mod critism toward the service given by the doctor. The demand of health service
by the society is increasing significantly along with the enactment of National
Health Guarantee or Jaminan Kesehatan National (JKN) by the government.
Puskesmas as a health service provider in first level becomes important to
improve quality if the service toward the society. One of the element in the service
given by medical staff to the patients is informed consent.
Method: this research includes into qualitative research with case study design
which is exploratory concern with informed consent implementation at Puskesmas
With Treatment Place (DTP) of Plumbon.
METODE
Jenis Penelitian dalam penulisan tesis ini termasuk jenis penelitian kualitatif
dengan rancangan studi kasus yang ekploratori mengenai pelaksanaan informed
consent Puskesmas Dengan Tempat Perawatan (DTP) Plumbon. Populasi dalam
penelitian ini adalah semua dokter yang melakukan pelayanan medis di
puskesmas yaitu tujuh orang dokter.
3.1.1 Sample
Dalam penelitian ini digunakan sampel dari semua populasi karena jumlah
dokter yang melaksanakan pelayanan medis 7 orang dokter.
Informed consent yang merupakan bagian dari pelayanan medik dokter
kepada pasien harus benar dilakukan sesuai Permenkes No
290/Menkes/Per/III/2008. Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan informed
consent di Puskesmas Plumbon maka dilakukan observasi, wawancara, dan focus
group discussion terhadap semua dokter yang memeberikan pelayanan medis.
HASIL.
Informed consent yang merupakan bagian dari unsur-unsur pelayanan
medis yang diberikan kepada pasien, secara umum belum berjalan optimal di
Puskesmas DTP Plumbon. Semua unit pelayanan yang ada di Puskesmas DTP
Plumbon belum memasukkan dan mencantumkan unsur informed consent dalam
Standar Operasional Prosedur yang dibuat sebagai acuan dalam memberikan
pelayanan kepada pasien. Informed consent masih dipandang sebagai kebutuhan
pihak tenaga medis untuk menghindari risiko hukum yang mungkin dapat terjadi
akibat dari tindakan medis yang dilakukan. Manajemen puskesmas belum
menjadikan unsur informed consent sebagai upaya minimal yang harus ada dalam
rangka memberikan pelayanan medis sesuai Undang-undang dan Peraturan yang
berlaku. Kontrol pengawasan pelayanan medis terutama dalam hal pelaksanaan
informed consent yang diberikan oleh dokter pada pasien di Puskesmas DTP
Plumbon tidak optimal karena belum ada acuan prosedur baku yang dibuat
khususnya mengenai pelaksanaan informed consent. Puskesmas belum memiliki
mekanisme kontrol dan pengawasan terhadap kwalitas pelayanan medis kepada
pasien menyangkut administrasi khususnya mengenai informed consent. Setiap
pemberi pelayanan medis di Puskesmas bekerja berdasarkan standar pelayanan
minimal yang dibuat sesuai diagnosa masing-masing penyakit sesuai tupoksi
profesinya. Tidak ada prosedur baku khususnya terkait informed consent yang
dibuat oleh manajemen sehingga pelaksanaan informed consent menjadi inisiatif
masing-masing tenaga kesehatan, bukan bagian dari prosedur baku yang harus
dilengkapi.
Pembahasan
Dari hasil observasi, wawancara, dan hasil dari focus group discussion
dengan para dokter pelaksana layanan medis dapat dibuat pengkodean
sebagai berikut:
No Responden Koding awal
1 Responden 1 Waktu untuk periksa pasien terbatas, latar belakang
pendidikan pasien, kurangnya kemampuan komunikasi
dokter, tempat tidak kondusif, isi informed consent
belum lengkap
2 Responden 2 Waktu untuk periksa pasien terbatas, jumlah dokter
sedikit, latar belakang pendidikan pasien, isi informed
consent belum lengkap
3 Responden 3 Latar belakang pendidikan pasien, kemampuan
komunikasi dokter, isi informed consent belum lengkap
4 Responden 4 Waktu untuk periksa pasien terbatas, latar belakang
pendidikan pasien, kemampuan komunikasi dokter, isi
informed consent belum lengkap
5 Responden 5 Waktu untuk periksa pasien terbatas, latar belakang
pendidikan pasien, tempat tidak kondusif, isi informed
consent belum lengkap
6 Responden 6 Waktu periksa untuk pasien sedikit, jumlah pasien
banyak, latar belakang pendidikan pasien, jumlah dokter
sedikit, isi informed consent belum lengkap
7 Responden 7 Waktu untuk periksa pasien sedikit, jumlah pasien
banyak, latar belakang pendidikan pasien, isi informed
consent belum lengkap
Dari pengkodean awal dapat diperoleh dua kelompok data koding akhir
yang menjadi kendala dalam pelaksanaan informed consent di Puskesmas:
No Koding awal Koding akhir
1 Waktu untuk periksa pasien sedikit, jumlah pasien Beban kerja dokter
banyak, jumlah dokter sedikit
2 Latar belakang pendidikan pasien, kemampuan Wawasan hukum
komunikasi dokter, isi informed consent belum
lengkap
3 Menjelaskan alternatif Sr K K K Sr Sr K
tindakan lain dan resikonya
5 Menjelaskan prognosis Sr Sr Sr Sr K K Sr
tindakan yang dilakukan
1. Semua responden mengaku menjelaskan diagnosis dan tata cara medis kepada
pasien.
2. Satu responden mengaku selalu menjelaskan tujuan tindakan medis, enam
responden mengaku sering menjelaskan tujuan tindakan medis.
3. Tiga pasien mengaku sering menjelaskan alternatif tindakan lain dan
resikonya, empat responden mengaku kadang-kadang menjelaskan alternatif
tindakan lain dan resikonya.
4. Tujuh responden mengaku sering menjelaskan komplikasi yang mungkin
terjadi.
5. Lima responden mengaku sering menjelaskan prognosis tindakan yang
dilakukan, dua responden mengaku kadang-kadang menjelaskan prognosis
tindakan yang dilakukan.
Dalam masalah informed consent dokter sebagai pemberi pelayanan
tindakan medis, disamping terikat oleh KODEKI (Kode Etik Kedokteran
Indonesia) bagi dokter, juga tetap tidak dapat melepaskan diri dari ketentuan-
ketentuan hukun perdata, hukum pidana maupun hukum administrasi, sepanjang
hal itu dapat diterapkan.
Kesimpulan
1. Informed consent merupakan salah satu indikator baik-tidaknya kualitas
pelayanan yang diberikan oleh dokter pada pasien. Pelaksanaan informed
consent di Puskesmas DTP Plumbon Kabupaten Cirebon belum optimal
dikarenakan manajemen puskesmas belum memasukkan unsur informed
consent dalam pembuatan standar operasional prosedur di setiap unit
pelayanan.
2. Sistem kontrol manajemen mengenai pelaksanaan informed consent tidak
dapat dilakukan karena tidak ada standar operasional prosedur baku sebagai
acuan dokter dalam memberikan pelayanan medis khususnya terkait informed
consent.
3. Kurangnya jumlah dokter umum dan dokter gigi membuat beban kerja yang
relatif berat sehingga menyulitkan manajemen membuat suatu standar
operasional prosedur baku terkait informed consent. Beban kerja dokter umum
dan dokter gigi yang terlalu tinggi mengakibatkan kualitas pelayanan kepada
pasien tidak optimal.
4. Sebagian dokter memandang bahwa informed consent hanya bertujuan untuk
melindungi dirinya dari aspek hukum atas kemungkinan terjadinya hal-hal yg
tidak diinginkan. Sebagian dokter lupa bahwa sebetulnya informed consent
adalah hak pasien.
5. Dalam melakukan tindakan-tindakan medis terhadap pasien seringkali dokter
menjadikan pengalaman empiris sebagai alasan diabaikannya pelaksanaan
informed consent.
Saran
1. Jumlah dokter umum yang memberikan pelayanan di Puskesmas Plumbon
harus ditambah untuk mencapai kualitas pelayanan yang memenuhi standar
pelayanan minimal.
2. Manajemen Puskesmas harus membuat standar operasional prosedur
pelayanan yang didalamnya memenuhi semua aspek yang mendukung
terhadap kualitas pelayanan kepada pasien.
12
3. Manajemen Puskesmas harus membentuk tim yang bertanggung jawab
terhadap terjaminnya kualitas pelayanan medis kepada pasien di Puskesmas.
4. Manajemen Puskesmas harus mendorong peningkatan kualitas sumber daya
manusia khususnya para dokter dengan cara memfasilitasi dokter–dokter
untuk mengikuti pendidikan kedokteran berkelanjutan, sehingga diharapkan
dokter mampu memberikan pelayanan yang optimal sesuai dengan
kompetensinya.
5. Membuat standar pelayanan minimal yang baku pada setiap tindakan medis di
setiap unit layanan.
6. Revitalisasi Puskesmas dengan cara Pemerintah harus membuat regulasi
kebijakan yang relevan dengan kebutuhan pelayanan kesehatan di era Jaminan
Kesehatan Nasional.
7. Menjadikan puskesmas sebagai Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) akan
membantu manajemen puskesmas membuat kebijakan dan aturan internal
yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing puskesmas.
DAFTAR PUSTAKA
Anny Isfandyarie (2005), Malpraktek dan Resiko Medik, Jakarta: Prestasi Pustaka
Publisher.
Dinajani S Abidin Mahdi (2008), Quo Vadis Kliniko Mediko Legal Indonesia,
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Guwandi (2006). Dugaan Malpraktek Medik & Draft RPP “ Perjajjian Terapetik
Antara Dokter dan Pasien”. Jakarta: BP Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
Jusuf Hanafiah (1999), Etika kedokteran dan Hukum Kesehatan, Jakarta, Penerbit
Buku Kesehatan EGC
Kansil CST (1989). Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta.:
Balai Pustaka
Tjetjep Rohendi (1992) Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: PT. Ctra Aditya
Bakti
Utrecht E (1983) Pengantar Dalam Hukum Indonesia (disadur oleh Moh Sidik
Djindang). Jakarta: Ichtiar Baru