Anda di halaman 1dari 8

Nama : Nadya Oktavia

NIM : 165120607111022

Prodi/Kelas/no. absen : IPM/B5/35

Mata kuliah : Lembaga Kepresidenan

Tugas :1

DINAMIKA SBY SEBAGAI PRESIDEN 2004

(Problematika Pemerintahan SBY dan Koalisi Antar Partai)

A. Pendahuluan

Pemilihan umum adalah proses dimana para pemilih memilih calon-calon yang telah
diusung sebelumnya untuk menduduki jabatan politik tertentu. Dalam hal ini jabatan politik
tersebut tertuju pada pemilihan umum presiden dan wakil presiden atau pemilihan eksekutif. Pada
pemilihan presiden dan wakil presiden di Indonesia terbilang memiliki dinamika yang sangat
signifikan. Pada masa orde baru sampai pasca reformasi, pemilihan presiden masih dilakukan
melalui voting oleh MPR.

Hal ini ditekankan dengan dikeluarkannya ketetapan MPR No.II/MPR/1973 tentang tata
cara pemilihan presiden dan wakil presiden Republik Indonesia. Oleh karena itu, pada masa orde
baru MPR dikuasai oleh satu kelompok dengan kekuatan politik yang sangat dominan yakni
Golongan Karya (Golkar). Hal itulah yang tidak memungkinkan adanya pelembagaan oposisi
dimana mekanisme pemilihan presiden tidak kompetitif. Dengan demikian, dapat dikatakan dalam
pemilihan presiden masa orde baru terdapat rekayasa yang dibuat oleh MPR.

Adanya penyimpangan dan dominannya partai tunggal di masa pemilihan presiden oleh
MPR tersebut. maka pada tahun 2004 Indonesia mulai menerapkan pemilihan presiden secara
langsung oleh rakyat. Hal ini bertujuan agar pemilihan presiden lebih demokratis dan memberikan
hak kepada masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam memilih presiden. Serta dalam upaya
memaksimalkan kedaulatan rakyat dan penegakkan prinsip Negara hukum di Indonesia. Presiden
mempertanggungjawabkan tindakannya secara politik kepada rakyat/badan perwakilan rakyat dan
secara hukum kepada badan peradilan yang independen (public accountability).1

Oleh karena itu pada masa Presiden Megawati adanya perubahan dalam UUD 1945 dan
perubahan Amandemen Ketiga di UUD 1945. Dalam pasal 6A ayat (1) Undang-undang Dasar
1945 Amandemen Ketiga, dijelaskan Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan
secara langsung oleh rakyat.2 Dijelaskan dan diperkuat lagi pada pasal 6A ayat (2) Undang-undang
Dasar 1945 Amandemen Ketiga, dijelaskan Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden
diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu pelaksaan pemilu.3
Dengan kata lain, pemilihan presiden 2004 melibatkan rakyat sebagai pemegang kekuasaan
tertinggi dalam suatu Negara. Rakyatlah yang menentukan corak dan cara pemerintahan
diselenggarakan.4

Penerapan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung lantas tidak berjalan
dengan mudah. Menjelang pemilihan 2004 dinamika politik Indonesia menunjukkan perubahan-
prubahan yang cukup menarik seklaigus menyedihkan. Dinamika pra pilpres pun terlihat sangat
menonjol di dalam pemerintahan Megawati saat itu dikarenakan SBY yang saatitu menjabat
sebagai Menteri Koordinator Politik dan Keamanan secara tidak langsung ingin mencalonkan
dirinya sebagai presiden di pemilihan 2004. Maka dari itu, penulis akan membahas mengenai
dinamika SBY menuju pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tahun 2004 yang fokus pada
problematika Susilo Bambang Yudhono dalam Partai Demokrat hingga memenangkan suara
terbanyak di pemilihan Presiden 2004.

B. Analisis

Pada pemilihan presiden tahun 2004 banyak mengalami problematika dari berbagai partai
yang mengusungkan calonnya. Salah satunya terdapat konflik serta ketegangan antara partai
Demokrat dan PDI-P yang terjadi pada SBY dan Megawati. Awal mula terjadinya perselisihan

1
Triwahyuningsih, 2001, Pemilihan Presiden Langsung (dalam kerangka Negara Demokrasi Indonesia), Yogyakarta:
Tiara Wacana Yogya, Hlm 135
2
UUD 1945
3
Ibid
4
Thamrin, Abu, 2013, Urgensi Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Secara Langsung di Era Reformasi, Jurnal Cita
Hukum, Vol. I No. 2, Hlm 188
dari keinginan SBY secara diam-diam untuk menjadi presiden saat berada di Kabinet Gotong
Royong Presiden Megawati. Hal tersebut lantas terdengar oleh Megawati dan membuatnya geram
dengan keinginan SBY untuk mencalonkan dirinya pada pemilihan presiden 2004. Konflik lantas
muncul ketika keberadaan SBY yang berada di China dalam kunjungan kerjanya sebagai Menteri
Koordinator Politik dan Keamanan. Keberadaannya di China tersebut lantas digunakan Megawati
untuk melakukan rapat kementerian Polkam dalam agenda membahas persiapan pemilu di
sejumlah daerah. Tidak adanya pemberitahuan yang diterima SBY tersebut membuatnya terlihat
dikucilkan oleh Megawati pada ketidaklibatannya dalam proses penentuan kebijakan di
bidangnya.

Situasi yang diterima SBY saat itu membuatnya melakukan keputusan untuk
mengundurkan diri dari kabinet Gotong Royong. Lantas hal tersebut disetujui oleh Megawati
dalam pengunduran dirinya dijabatan Menteri Koordinator Politik dan Keamanan. Sehari setelah
pengunduran dirinya dari Kabinet Gotong Royong tersebut SBY dan anggotanya di partai
Demokrat mulai menyusun strategi politiknya untuk mengusung SBY sebagai calon Presiden
dikarenakan beliau yang memberikan inspirasi nama dan lambang pembentukan partai Demokrat.

Langkah selanjutnya yang dilakuka SBY denga partai Demokratnya tersebut secara aktif
terlibat dalam penyelenggaraan sejumlah kampanye. Peran dan keterlibatan pada masa kampanye
diharapkan akan membawa pengaruh besar terhadap perolehan suara partai Demokrat di pemilu
legislative 2004. Kerja keras partai Demokrat dan SBY pun menghasilkan pencapaian yang sangat
tinggi di dalam pemilu legislative, pasalnya dalam mencalonkan presiden partai politik harus
menduduki minimal 3 % suara di kursi legislative. Lantas dari hasil pemilu leislatif partai
Demokrat berhasil memperoleh 7, 45% suara atau 57 kursi di DPR-RI.

Tibalah pada kompetisi politik pertama kalinya yakni pemilihan presiden dan wakil
presiden scara langsung pada 5 Juli 2004. Pada pelaksanaannya tercatat oleh Komisi Pemilihan
Umum (KPU) lima pasangan calon yang diusung masing-masing partai. Antara lain yakni:

 H. Wiranto, SH. Dan Ir. H. Salahuddin Wahid (partai Golkar).


 Hj. Megawati Soekarnoputri dan KH. Ahmad Hasyim Muzadi (partai PDI-P).
 Prof. Dr. HM. Amien Rais dan Dr. Ir. H. Siswono Yudo Husodo (partai PAN).
 H. Susilo Bambang Yudhoyono dan Drs. H. Muhammad Jusuf Kalla (gabungan dari partai
Demokrat, PBB, serta PKPI).
 Dr. H. Hamzah Haz dan H. Agum Gumelar, M.Sc. (partai PPP).
Persaingan lima pasangan calon semakin ketat dalam menggaet hati rakyat. Hasil
perolehan suara pada putaran pertama setiap pasangan tidak dapat memenuhi 50% sesuai
ketentuan yang berlaku. Oleh karena itu dilakukannya putaran kedua dengan melihat hasil putaran
pertama yang memperoleh jumlah suara terbanyak. Calon yang mendapatkan suara terbanyak
tsebut adanya Megawati dan Ahmad Hasyim dengan perolehan suara 26,61% beserta SBY dan
Jusuf Kalla dengan perolehan suara 33,57%.
Dalam putaran kedua, pasangan calon tersbut mulai menyusun strategi untuk
memenangkan kompetisi. Oleh karenanya, partai pengusung melakukan koalisi antar partai lain
yang tidak ikut di dalam mengusungkan pasangan calon presiden di putara kedua tersebut. Hal ini
menjadi alternative utama dalam menggalang kekuatan pada masing-masing pasangan calon.
Maka dari itu, pembentukan koalisi lebih soal strategi kepemimpinan presiden dalam memastikan
stabilitas pemerintahannya dan dukungan dari parlemen.5
Koalisi yang dibentuk oleh pasangan calon SBY-JK menghasilka komposisi partai koalisi
Golongan Karya, PKS, PAN, PBB, PKPI, dan PPP. Dalam koalisinya terdapat kompromi politik
yang telah disepakati oleh masing-masing partai politik. Setelah melalui proses perhitungan suara
pada putaran kedua, didapati hasil suara 60,26% diperoleh pasangan calon SBY-JK dengan
perbedaan suara yang didapat pasangan calon Megawati dan Hasyim dengan perolehan suara
39,38%. Kemenangan tersebut disambut dengan hangat oleh masyarakat Indonesia. Sekaligus
berharap, bahwa presiden pilihan mereka tersebut dapat membawa bangsa ini keluar dari krisis
multidimensional yang berkepanjangan.6

Dinamika yang dilalui SBY tak berakhir begitu saja. Kompleksitas hubungan antara
presiden dan wakil presiden ini akan semakin problematic ketika porses berjalan. Selama
pemerintahannya berpotensi memicu ketidakstabilan dalam sistem presidensial di Indonesia. Maka
dari itu koalisi harus terjalin untuk mengimbangi potensi ketidakstabilan tersebut. Dari hal ini,

5
Hanan, Djayadi, 2014, Menakar Presidensialisme Multipartai di Indonesia (Upaya Mencari Format Demokrasi
yang Stabil dan Dinamis Dalam Konteks Indonesia), Bandung: Al-Mizan, Hlm 178
6
Simanjuntak, D. Danny Hamonangan, 2008, “Rival-rival” Politik SBY, Yogyakarta: Narasi, Hlm 39
dapat dilihat bahwa SBY-JK bukanlah berasal dari partai yang sama tetapi partai gabungan yang
dimana SBY berasal dari partai Demokrat dan JK berasal dari partai Golkar.

JK yang menjabat menjadi wakil presiden tersebut sekaligus menduduki jabtan sebagai
ketua umum di partai Golkar. Hal ini justru JK berasal dari partai yang lebih besar dan mayoritas
daripada presiden SBY. Topangan politik inilah yang menjadi pegangan SBY untuk berkoalisi
oleh JK karna melihat kekuatan Golkar di kursi DPR yang kuat. Ketidakserasian inilah yang
memunculkan keretakan dari pihak SBY dalam melakukan hak prereogatifnya yang dimana sisi
JK sebagai wakil presiden memiliki kekuatan politik di parlemen yang lebih besar.

Hal inilah yang membuat harus dilakukannya koalisi pragmatis. Sejauh ini SBY berhasil
melakukan koalisi dan sikap akomodatif di kalangan elite politik. Koalisi juga bekerja dengan baik
karena institusi-institusi formal dan informal yang ada bisa menyediakan alat (dalam kotak
perkakas presiden) yang bisa dipakai oleh presiden dalam beragam situasi ketika berurusan dengan
DPR.7 SBY sadar dan percaya bahwa dengan koalisi bisa melancarkan hubungannya dengan
legislative. Salah seorang mantan anggota DPR yakni A. Lie dalam wawanca langsung Djayadi
Hanan, pernah menyinggung perihal asingnya koalisi bagi sistem presidensial, mengatakan, “Di
periode pertama, saya masih bisa memahami pilihan koalisi dari SBY karena saat itu memang
partainya masih kecil di DPR, yaitu di bawah sepuluh persen.” Koalisi tersebut diharapkan mampu
membantu SBY untuk mendapatkan dukungan DPR atas berbagai kebijakannya. Tetapi
banyaknya partai politik membuat negosiasi untuk kompromi semakin sulit. Jusuf Kalla
mengatakan,

Politik adalah negosiasi untuk mencapai tujuan tertentu atau jalan menggapai tujuan bersama. Tapi,
banyaknya partai politik membuat upaya mencapai consensus semakin sulit karena butuh banyak
diskusi, musyawarah, dan perdebatan yang juga butuh waktu lama. Ketika Golkar masih menjadi
partai mayoritas, selama jabatan saya sebagai wakil presiden, kompromi mudah sekali dicapai.8

Keputusan SBY dalam membentuk koalisi dianggap pemikiran strategis guna mendukung
pemerintahannya serta pendekatan kepemimpinannya yang cenderung akomadatif demi
mendapatkan dukungan parlemen. Salah satu pendekatan akomodatif SBY yakni keputusan untuk

7
Hanan, Djayadi, 2014, Menakar Presidensialisme Multipartai di Indonesia (Upaya Mencari Format Demokrasi
yang Stabil dan Dinamis Dalam Konteks Indonesia), Bandung: Al-Mizan, Hlm175
8
Ibid, Hlm 177
merangkul Partai Golkar dalam koalisinya yang sejak itu Golkar masih masuk di dalam koalisi
kebangsaan bersama PDI-P. Partai Golkar pun tak menyetujui ajakan koalisi dengan melihat
pendekatan SBY terhadap Golkar. Tetapi Golkar melihat dari sisi Jusuf Kalla yang pada saat itu
menjadi wakil presiden dan perlunya mendapat dukungan sebagai penggerak agendanya. SBY tak
hanya mengimplementasikan pendekatan akomodatifnya pada DPR saja, tetapi dalam mengelola
kabinetnya, beliau berupaya menyeimbangkan antara profesionalisme, pembagian kekuasaan
politik dengan partai politik dan akomodasi tekanan public pada masanya.

Banyaknya pendekatan akomodatif yang dilakukan SBY dengan partai-partai, membut


terjadinya penggemukan di kabinetnya. Koalisi dan kompromi yang dibuat malah membuat
kritikan bermunculan dari kepemimpinannya. Ketidaktegasannya dalam memberi keputusanpun
menjadi salah satu dari banyaknya kritikan yang beliau terima. Akomodasi besar-besaran dan
consensus buth waktu yang lama, prosesnya pun berlarut-larut, dan dalam beberapa hal tertentu
bisa dipandang sebagai ketidakcakapan atau keengganan untuk membuat keputusan.9 Sikap beliau
dalam berkomunikasi dinilai sangat baik tetapi banyak menuai masalah dalam melakukan
komunikasi antar partai dan elite politik. Indikasi sistem presidensial kompromis di era
Pemerintahan Yudhoyono tergolong dalam presidensialis setengah hati terlihat dari beberap aspek
kompromi eksternal berikut ini:10

pertama, kompromi dalam pembentukan dan perombakan kabinet yaitu adanya intervensi partai
politik mitra koalisi pemerintah terhadap Presiden Yudhoyono dan akomodasi presiden terhadap
kepentingan partai politik dalam proses pengangkatan/pemberhentian anggota kabinet. Kedua,
rapuhnya ikatan koalisi partai, meskipun kekuatan koalisi partai pendukung pemerintah di parlemen
secara kuantitas besar, koalisi yang terbangun sangat cair dan rapuh. Ketiga, adanya control
parlemen terhadap pemerintahan secara berlebihan (kebablasan) sehingga mengganggu efektivitas
pemerintahan. keempat, perjalanan Pemerintahan Yudhoyono-Kalla dibayangi ancaman
Impeachment dari DPR.

Problematika tersebut tak hanya sampai disitu, karna dalam jabatan yang diberikan di
dalam Kabinet tersebut, para menteri memiliki loyalitas di dalam partainya. Format koalisi antar
partai politik inilah yang cenderung tidak terbentuk melalui kesamaan platform maupun ideologi

9
Ibid, Hlm 196
10
Yuda, Hanta, 2010, Presidensialisme Setengah Hati, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, Hlm 134
partai. Bahkan kondisi dimana menteri berasal dari partai akan mendua. Hal inilah yang
menjadikan menteri memiliki loyalitas yang ganda dari unsur partai politik yang telah
merekomendasikannya serta dari presiden yang menteri tersebut menduduki kabinet
kepemimpinannya.

Disharmoni relasi pun terjadi antara SBY dan JK di dalam proses pemerintahannya.
Pasalnya dalam menjalankan tugas sebagai wakil presiden, sosok JK tidak begitu menjalankannya
dengan benar dan bahkan mendahului serta mengambil tupoksi yang seharusnya itu dijalankan
oleh presiden SBY. Adanya indikasi rivalitas terselubung yang dilakukan JK ini walaupun tidak
secara langsung mendapatkan imbasnya, tetapi dalam rapat kabinet ataupun perbedaan arahan
yang diberikan oleh SBY dan JK membuat menteri-menteri di dalam kabinet kesulitan dalam
menjalankan kerjanya.

Disharmoni tersebut juga terlihat pada JK yang banyak mengambil alih tugas SBY dalam
menyelesaikan beberapa permasalahan di daerah-daerah tertentu. Semisalnya permasalahan yang
ada di Aceh, penyusunan kabinet, persoaan kenaikan BBM, serta kasus pemilihan gubernur Bank
Indonesia. Fenomena terganggunya harmonisasi hubungan presiden dan wakil presiden ini
kembali meneguhkan bahwa rumusan normative presidensialisme mengalami dilema dan
berbenturan dengan realitas politik multipartai.11

C. Kesimpulan

Dari penjelasan yang telah dijelaskan di dalam analisi dapat disimpulkan bahwasanya
kemenangan SBY dalam pemilihan presiden secara langsung, baik dari proses pencalonan serta
proses pelaksanan pemerintahan di masa kepemimpinannya terdapat banyak dinamika yang telah
terjadi. Dapat dikatakan proses pra pemilu beberapa tindakan dan keputusan yang dilakukan SBY
dibilang bagus dan melancarkan pelaksanaannya menuju Presiden 2004. Tetapi dilihat dari proses
koalisi dan kompromi yang dilakukannya dengan partai-partai lainnya masih belum tepat dan
bahkan memunculkan berbagai permasalahan. Serta ketidak matangan dalam mengambil sikap
baik dari pemilihan pasangan yakni melihat dari sector banyaknya partai tersebut menduduki kursi
parlemen. Hal inilah yang harus ditelaah lagi dalam melihat dinamika SBY saat periode kedua

11
Ibid,Hlm 230
kepemimpinannya sebagai presiden Indonesia. Karna perlunya perbaikan serta pembaharuan
dalam proses pra pemilihan yakni kompromi politik dalam koalisi antar partai. Serta setelah proses
pemilihan dan pelaksanaan pemerintahan.

D. Daftar Pustaka

Hanan, Djayadi. 2014. Menakar Presidensialisme Multipartai di Indonesia (Upaya Mencari


Format Demokrasi yang Stabil dan Dinamis Dalam Konteks Indonesia). Bandung: Al-Mizan

Simanjuntak, D. Danny Hamonangan. 2008. “Rival-rival” Politik SBY. Yogyakarta: Narasi

Triwahyuningsih. 2001. Pemilihan Presiden Langsung (dalam kerangka Negara Demokrasi


Indonesia). Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya

UUD 1945

Thamrin, Abu. 2013. Urgensi Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Secara Langsung di Era
Reformasi. Jurnal Cita Hukum. Vol. I No. 2

Yuda, Hanta. 2010. Presidensialisme Setengah Hati. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Anda mungkin juga menyukai