HAK ASASI MANUSIA DAN HAK and KEWAJIBAN
HAK ASASI MANUSIA DAN HAK and KEWAJIBAN
MAKALAH
diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Dasar Pendidikan Kewarga Negaraan
Dosen Pengampu :
oleh
Rizki Rismawan
Tessa Melaria
Tenya
2015
A. PENDAHULUAN
Makalah ini membahas tentang materi dan pembelajaran Hak Asasi Manusia (HAM)
serta Hak dan Kewajiban Warga Negara dalam mata pelajaran PKn sebagai salah satu Mata
Kuliah Dasar Umum yang perlu dikenalkan kepada semua mahasiswa.
Dalam bab ini pembaca khususnya mahasiswa diajak mengenal, memahami dan
menganalisis pengertian, karakteristik serta berbagai permasalahan yang berkaitan dengan
konsep serta pelaksanaan Hak Asasi Manusia (HAM) serta Hak dan Kewajiban Warga
Negara Indonesia. Sehingga dengan mempelajari materi dalam bab ini mahasiswa
diharapkan memiliki kemampuan sebagai berikut:
1. Dapat memahami materi tentang HAM.
2. Dapat memahamai materi Hak dan Kewajiban Warga Negara.
3. Dapat memahami dan menjelaskan pelaksanaan HAM di Indonesia.
Sebagai makhluk bermartabat, manusia memiliki sejumlah hak dasar yang wajib
dilindungi, seperti hak hidup, hak beropini, hak berkumpul, serta hak beragama dan hak
berkepercayaan. Nilai-nilai HAM mengajarkan agar hak-hak dasar yang asasi tersebut
dilindungi dan dimuliakan. HAM mengajarkan prinsip persamaan dan kebebasan manusia
sehingga tidak boleh ada diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan terhadap manusia dalam
bentuk apapun dan juga tidak ada pembatasan dan pengekangan apa pun terhadap
kebebasan dasar manusia. Oleh karena masalah Hak Asasi Manusia telah merambah di
dalam kehidupan masyarakat dan merupakan persoalan bersama, maka masyarakat atau
siswa, seyogyanya dikenalkan pada masalah HAM, agar mereka mengetahui dan menyadari
akan hak dan kewajiban asasi dirinya dan hak asasi orang lain sehingga mereka akan
terbiasa untuk menghormati diri dan hak-hak asasi orang lain.
2. Jenis-jenis HAM
a. Hak asasi pribadi / Personal Right
Hak kebebasan untuk bergerak, bepergian dan berpindah-pndah tempat
Hak kebebasan mengeluarkan atau menyatakan pendapat
Hak kebebasan memilih dan aktif di organisasi atau perkumpulan
Hak kebebasan untuk memilih, memeluk, dan menjalankan agama dan
kepercayaan yang diyakini masing-masing
b. Hak asasi politik / Political Right
Hak untuk memilih dan dipilih dalam suatu pemilihan
Hak ikut serta dalam kegiatan pemerintahan
Hak membuat dan mendirikan parpol / partai politik dan organisasi politik
lainnya
Hak untuk membuat dan mengajukan suatu usulan petisi
c. Hak azasi hukum / Legal Equality Right
Hak mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan
Hak untuk menjadi pegawai negeri sipil / pns
Hak mendapat layanan dan perlindungan hukum
d. Hak azasi Ekonomi / Property Rigths
Hak kebebasan melakukan kegiatan jual beli
Hak kebebasan mengadakan perjanjian kontrak
Hak kebebasan menyelenggarakan sewa-menyewa, hutang-piutang, dll
Hak kebebasan untuk memiliki susuatu
Hak memiliki dan mendapatkan pekerjaan yang layak
e. Hak Asasi Peradilan / Procedural Rights
Hak mendapat pembelaan hukum di pengadilan
Hak persamaan atas perlakuan penggeledahan, penangkapan, penahanan dan
penyelidikan di mata hukum.
f. Hak asasi sosial budaya / Sosial Culture Right
Hak menentukan, memilih dan mendapatkan pendidikan
Hak mendapatkan pengajaran
Hak untuk mengembangkan budaya yang sesuai dengan bakat dan minat
Secara ideal Negara tidak dibenarkan mencampuri HAM setiap Negara, apalagi
menundasnya atau menghilangkannya. Oleh karenanya sejalan dengan amanat konstitusi,
pelaksanaan HAM di Indonesia harus didasarkan kepada prinsip bahwa hak-hak sipil,
politik, ekonomi, sosial budaya, dan hak pembangunan, merupakan satu kesatuan yang
tidak dapat dipisah-pisahkan, baik dalam penerapan, pemantauan, maupun dalam
pelaksanaannya.
Hal ini sejalan dengan apa yang tertuang di dalam pasal 1 (3), pasal 55 dan 56
Piagam PBB, yang isinya bahwa, “Upaya pemajuan perlindungan HAM harus dilakukan
melalui suatu kerjasama internasional yang berdasarkan pada prinsip saling menghormati,
kesederajatan, dan hubungan antar Negara hukum internasional yang berlaku (Hasan
Wirajuda, 2005).
Indonesia adalah Negara multicultural yang menuntut adanya kesepahaman dari
seluruh elemen bangsa. Sehingga, multicultural yang secara alamiah ada dan hadir di bumio
pertiwi ini bisa menjadi pemersatu dan sebagai lahan untuk saling menghargai. Krisis HAM
di Indonesia perlu penyelesaian yang sistemik. Melalui pendidikan berbasis HAM, akan
lebih memudahkan dalam menyiapkan generasi yang faham tentang Hak Asasi Manusia
(HAM). Pemahaman yang mendalam dari siswa tentang HAM diharapkan akan
memperkuat posisi mereka (siswa) untuk memperjuangkan hak asasinya dalam kehidupan
bermasyarakat.
Keberadaan Badan Standar Nasional Pendidikan hanya mampu bekerja dan bertugas untuk
mengevaluasi pendidikan pada tataran kognitif belaka. Aspek psikomotorik dan afektif
sering kali diabaikan. Kemajuan pendidikan hanya diukur dari kemampuan akademis siswa
saja dengan mengabaikan aspek lainnya. Walaupun dalam regulasi sudah diatur sedemikian
rupa, tetapi dalam implementasinya tetap saja aspek kognitif yang dihandalkan. Dari sekian
banyak Kepala Sekolah, hanya salah seorang Kepala Sekolah di Yogyakarta saja yang
memberanikan diri untuk melakukan penilaian secara universal terhadap peserta didiknya.
Sehingga peserta yang tadinya lulus Ujian Nasional dan mendapat peringkat ketiga tertinggi
untuk mata pelajaran yang di-UN-kan tetapi tidak lulus dari segi afektinya. Akhirnya pihak
sekolah menyatakan tidak lulus pada peserta didik tersebut. Ini langkah baik yang dilakukan
sekolah untuk menilai secara komprehensif. Tetapi, sayangnya hal ini hanya dilakukan oleh
satu sekolah saja dari sejumlah sekolah yang ada di Indonesia.
Penilaian yang dilakukan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan tersebut secara logika
dapat dipahami juga melanggar HAM. Betapa tidak! Penilaian dengan memberikan soal
secara sama dan merata dengan tidak memperhatikan kemampuan peserta didik di setiap
daerah dan mengabaikan perkembangan pendidikan suatu daerah atau dengan kata lain
menyamaratakan potensi pendidikan secara nasional. Jelas hal ini melanggar HAM.
Indonesia yang luas dan beragam potensi ini dijadikan uniform oleh pemerintah dalam
mengevaluasinya.
Selain itu, yang harus kita cermati bersama adalah urgensinya penilaian yang dilakukan oleh
pemerintah tersebut. Kita telah mafhum bahwa Ujian Nasional dilakukan hanya semata-
mata untuk memetakan kondisi pendidikan secara nasional oleh pemerintah, yang mana
hasil pemetaan tersebut akan dijadikan input dalam proses agenda setting pemerintah untuk
memajukan kembali pendidikan di negara ini. Hal yang disayangkan adalah program
evaluasi yang akan dijadikan input kembali itu hanya sekadar saja, perbaikan sistem dan
pembenahan pendidikan di daerah tertinggal juga tak kunjung dilaksanakan. Mekanisme
pengambilan keputusan untuk membangun pendidikan masih tetap memakai gaya lama:
acak dan tender serta kolusi. Selain itu, korban dari kebijakan tersebut adalah pelajar
(sebagai objek Ujian Nasional). Sekali lagi hal ini juga melanggar HAM dalam proses
pendidikan kita.
Pendidikan kita pada kenyataannya masih menampilkan sistem yang tidak manusiawi,
dengan kecenderungan dehumanisasi. Kebijakan dalam pelaksanaan Ujian Nasional (UN)
yang di sinyalir melanggar HAM seharusnya tidak perlu terjadi. Pendidikan seharusnya
memperlakukan siswa didik sebagai manusia. Sehingga tujuan utama pendidikan untuk
menciptakan manusia yang bukan hanya unggul dalam bidang kognitif tetapi juga harus
bisa menjadikan siswa didik unggul secara afektif maupun psikomotorik. Karena
pendidikan (education) adalah proses belajar yang berlokasi di sekolah ataupun lingkungan
seperti sekolah, atau dalam arti luas adalah proses transmisi nilai-nilai dan pengetahuan
yang telah terakumulasi dalam suatu masyarakat (Britannica, 2003).
Untuk itu, pendidikan berbasis HAM ini sudah selayaknya dikemukakan kembali dan
benar-benar direalisasikan oleh pemerintah, tidak hanya sekadar lips service dalam retorika
kebijakan. Multitafsirnya pendidikan berbasis HAM ini juga harus dijelaskan. Sebenarnya
apa yang dimaksud dengan pendidikan berbasis HAM tersebut dan apa orientasi serta
harapannya.
Keperluan penjelasan tentang arti, fungsi, peran, posisi dan isi pendidikan berbasis HAM
relevan dengan perkembangan nasional dewasa ini yang sedang berusaha membangun
kepercayaan publik tentang penegakan HAM di Indonesia dan pendidikan yang sistemnya
bertentangan penegakan HAM tersebut. Kebijakan otonomi pendidikan pada dasarnya
merupakan pencerahan dan pemberdayaan pendidikan agar lebih bermakna. Kini lembaga
pendidikan dituntut mampu mengembangkan kepribadian peserta didik secara optimal,
selain berusaha untuk meningkatkan kemampuan akademis. Tetapi aksi untuk pencapaian
hal itu tidak direalisasikan oleh pemangku kebijakan atau pemerintah yang dalam hal ini
Departemen Pendidikan Nasional.
Pilihan pada pendidikan berbasis HAM mengacu pada pedagogik kritis dan transformatif.
Pedagogik kritis melihat masyarakat, pendidikan, persekolahan, merupakan arena-arena
dimana terjadi kontestasi kekuasaan dan kontrol dalam masyarakat. Kendati tidak bersifat
netral dalam kontestasi tersebut, namun pedagogik kritis mempunyai komitmen untuk
memberdayakan yang tertindas atau kelompok-kelompok yang disubordinasikan. Dalam
kaitan ini, pedagogik kritis adalah pedagogik transformatif yang bertujuan untuk mengubah
proses pendidikan sebagai proses yang mengubah status quo dan memberikan kesadaran
akan kebebasan manusia dari berbagai jenis penindasan (Tilaar, 2005).
Maka, mengacu pada pedagogik kritis, sasaran dari pendidikan berbasis HAM adalah pada
transformasi sosial baik pada level individu maupun kelompok. Transformasi di sini
mencakup perubahan dalam aspek pengetahuan (knowledge), keterampilan (skill), sikap
(attitude), perspektif (perspective) dan kesadaran diri (self awareness).
Kemudian, dalam suatu pendidikan berbasis HAM, nilai dan prinsip dasar yang
mendasarinya antara lain: persamaan (equality), keadilan (justice), kemerdekaan (freedom),
martabat manusia (dignity), universalitas (universality), tak dapat dikecualikan
(inalienability), tak dapat dipisahkan (indivisibility), dan tidak diskriminatif (non-
discriminative).
Tentu saja, dalam implementasinya pendidikan berbasis HAM ini harus melandaskan diri
pada penguatan nilai-nilai HAM secara universal. Potensi yang dimiliki masyarakat
Indonesia dengan ragam budaya yang dimiliki bisa dijadikan sebagai fondasi untuk
penguatan wilayah tersebut. Harapannya adalah pengetahuan yang dimiliki oleh peserta
didik akan tertanam tanggung jawabnya untuk senantiasa menjadi pelopor dalam
menegakkan HAM. Sehingga cita-cita dan tudingan UNESCO yang empiris terhadap
bangsa ini bisa terbantahkan kembali.
.
Sosialisasi pendidikan berbasis HAM ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya
dengan mengadakan pelatihan kepada siswa dan atau guru sebagai pendidik untuk
melakukan proses transformasi nilai-nilai HAM. Transformasi yang dilakukan tersebut
diharapkan akan menular kepada yang lainnya dengan berbagai cara diantaranya adanya
pola tingkah laku yang akan menjadi tauladan atau figur empiris HAM atau transfer
keilmuan dari hasil pelatihan tersebut. Selain itu, proses belajar yang menyenangkan
sebagai salah satu energi yang dihasilkan dari HAM dapat dinikmati dengan membebaskan
diri para pelajar dari ketertindasan dan tekanan pemerintah dalam proses belajar-mengajar.
UN adalah salah satu bentuk tekanan pemerintah terhadap pelajar dalam proses belajar
tersebut. UN menggambarkan pelanggaran HAM yang nyata oleh pemerintah karena
menimbulkan proses belajar yang tidak menyenangkan bagi pelajar. Penolakan UN yang
dilakukan selama ini dapat menjelaskan bahwa masyarakat berkeinginan keras menegakkan
nilai-nilai HAM dalam satuan pendidikan di Indonesia.
(Sumber: http://kampus.okezone.com/read/2010/05/19/95/334101/redirect)
Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikatnya dan
keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahnya
yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan
setiap orang demi kerhormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Hak dan kewajiban warga Negara yang diatur oleh UUD 1945 hendaknya seimbang
dalam pelaksanaannya agar tercipta implementasi Hak Asasi Manusia yang baik dan benar.
Tidak sedikit pelaksanaan HAM di Indonesia yang tidak baik. Krisis HAM di
Indonesia perlu solusi yang sistematik, di antaranya: pendidikan HAM di sekolah, model
pembelajaran HAM oleh guru, program-program dan berbagai badan atau lembaga penegak
HAM,