Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH PARASITOLOGI

Trichuris trichuria

OLEH :
KELOMPOK VIII

Chenme Juwianti (1308505001)


Ni Kadek Sintia Deviyanthi (1308505002)
Ryche Dewata Sari` (1308505003)
Luh Vida Sasmitha (1308505004)
Putu Putri Kertanjali Vedawati (1308505007)

JURUSAN FARMASI
FAKULTAS MATEMATIIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS UDAYANA
2014

1
BAB I
PENDAHULUAN

Parasit usus masih merupakan permasalahan kesehatan utama di banyak


negara berkembang tak terkecuali Indonesia. Indonesia yang merupakan negara
beriklim tropis merupakan tempat berkembang yang baik dan subur bagi parasit
terutama cacing yang dapat menyebabkan infeksi pada manusia (Helmy dkk.,
2000). Prevalensi parasit usus di Indonesia masih tergolong tinggi terutama pada
penduduk miskin dan hidup di lingkungan padat penghuni dengan sanitasi yang
buruk, tidak mempunyai jamban dan fasilitas air bersih tidak mencukupi. Di
daerah tersebut, warga terutama anak-anak, defekasi di halaman rumah atau di got
sehingga tanah dapat tercemar telur cacing. Prevalensi kecacingan di daerah-
daerah di Indonesia berkisar antara 60%-90% tergantung pada lokasi dan sanitasi
lingkungan. Infeksi cacing usus umumnya ditularkan melalui tanah yang tercemar
telur cacing dan tempat tinggal yang tidak saniter (Mardiana dan Djarismawati,
2008).
Diantara berbagai jenis cacing usus yang ada, yang seringkali menimbulkan
masalah kesehatan adalah soil transmitted helminth atau cacing yang ditularkan
melalui tanah. Contoh soil transmitted helminth antara lain Trichuris trichiura,
Ascaris lumbricoides,dan Anclyostoma sp. (Mardiana dan Djarismawati, 2008).
Penularan cacing yang tergolong STH umumnya terjadi melalui telur infeksius
atau larva menembus kulit seperti cacing tambang yang tertelan. Disebut sebagai
STH karena bentuk infektif cacing tersebut berada di tanah (Staf Pengajar
Departemen Parasitologi FKUI, 2008).
Dari contoh cacing yang tergolong dalam STH tersebut, yang terpenting dan
yang akan dibahas berikutnya adalah Trichuris trichiura. Hospes definitive
Trichuris trichiura (whip worm) adalah manusia dan sering ditemukan bersama
Ascaris lumbricoides. Cacing dewasa Trichuris trichiurahidup di dalam usus
besar (sekum dan kolon), apendiks dan ileum bagian distal. Nama penyakit yang
disebabkan oleh cacing ini disebut trikuriasis. Distribusi geografik secara

2
kosmopolit, terutama pada daerah iklim tropik yang lembab dan panas (Muslim,
2009).
Infeksi Trichuris trichiura atau cacing cambuk terjadi di seluruh dunia, yaitu
paling sering di daerah tropis dan prevalensinya sangat tinggi (diperkirakan
jumlah infeksi lebih dari satu miliar, menjadikannya nematoda ketiga yang paling
umum menginfeksi manusia). Di Amerika Serikat, cacing cambuk merupakan
nematoda kedua yang paling umum menginfeksi manusia (setelah Enterobius).
Umumnya, cacing ini ditemukan di daerah beriklim hangat, hujan deras, dan
kondisi sanitasi yang kondusif dengan polusi tanah. Anak-anak akan lebih sering
terinfeksi cacing cambuk daripada orang dewasa dikarenakan anak-anak memiliki
kecenderungan lebih besar untuk kontak fisik dengan tanah yang terkontaminasi
(Bogitsh et al., 2012).

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Taksonomi dan Morfologi


Menurut Chandler dan Read (1959) dan Faust dan Russel (1964), Trichuris
trichiura diklasifikasikan sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Nemathelminthes
Kelas : Nematoda
Sub-kelas : Aphasmida
Ordo : Enoplida
Super famili : Trichuroidea
Famili : Trichuridae
Genus : Trichuris
Spesies : Trichuris trichiura Linnaeus (1771) (Irianto, 2011).
Sinonim menurut Piekarski (1954):
Trichocephalus trichiuris, Blanchard (1895)
Trichocephalus dispar, Rud (1802)
Cacing ini mendapat sebutan sebagai cacing cambuk karena bentuknya yang
menyerupai cambuk. Cacing jantan Trichuris trichiura panjangnya 30 sampai 45
mm, bagian anterior halus seperti cambuk, bagian ekor melingkar, cacing betina
panjangnya 35 sampai 50 mm, bagian anterior halus seperti cambuk, bagian ekor
lurus berujung tumpul. Telur T. trichiura berukuran lebih kurang 50 x 22 mikron,
bentuk seperti tempayan dengan kedua ujung menonjol, berdinding tebal dan
berisi ovum kemudian berkembang menjadi larva setelah 10 sampai 14 hari
(Pasaribu dan Lubis, 2008). Bagian ‘cambuk’ Trichuris trichiura terlihat
sepanjang 3/5 dari panjang tubuh seluruhnya. Bagian posterior cacing ini lebih
gemuk. Berikut gambar morfologi dari Trichuris trichiura:

4
Gambar 1. Morfologi Trichuris trichiura; bagian cacing dewasa betina (kiri),
cacing dewasa jantan (kanan) (Enie, 2013).

Gambar 2. Morfologi Trichuris trichiura; telur belum matang (tidak infektif)


(kiri) telur sudah matang (kanan) (Natadisastra dan Ridad, 2009).

2.2 Siklus Hidup

Gambar 3. Siklus hidup dari Trichuris trichiura (di kutip dari WHO).

5
Dari gambar siklus hidup Trichuris trichiura di atas, dapat dijelaskan
sebagai berikut. Trikuriasis merupakan penyakit yang dapat terjadi jika manusia
menelan telur cacing Trichuris trichiura. Misalnya melalui makanan yang
terkontaminasi telur cacing (tidak dicuci dengan bersih atau dimasak kurang
matang). Di dalam duodenum (bagian dari usus halus) larva akan menetas,
menembus dan berkembang di mukosa usus halus dan menjadi dewasa di sekum,
akhirnya melekat pada mukosa usus besar. Siklus ini berlangsung selama lebih
kurang 3 bulan; cacing dewasa akan hidup selama 1 sampai 5 tahun dan cacing
betina dewasa akan menghasilkan 3.000 sampai 20.000 telur setiap harinya
(Lubis, 2012).
Telur yang telah dibuahi kemudian akan dikeluarkan dari tubuh manusia
atau hospes bersama dengan tinja. Telur tersebut akan matang dalam waktu 3
sampai 6 minggu pada lingkungan yang sesuai, yaitu pada tanah yang lembab dan
tempat yang teduh. Telur matang adalah telur yang berisi larva dan merupakan
bentuk infektif dari Trichuris trichiura. Masa pertumbuhan mulai dari telur yang
tertelan sampai cacing dewasa betina meletakkan telur kurang lebih selama 30
sampai 90 hari (Staf Pengajar Departemen Parasitologi FKUI, 2008).
Hospes definitive cacing ini adalah manusia dan T.trichiura tidak
membutuhkan hospes intermediet (Natadisastra dan Ridad, 2009). Telur yang
dihasilkan tidak akan berkembang bila berada di lingkungan yang terpapar sinar
matahari secara langsung dan akan mati bila berada pada suhu dibawah -9 oC atau
diatas 52oC. Cacing dewasa umumnya bisa ditemukan pada epitel sekum atau
kolon. Namun, pada infeksi berat cacing dewasa juga bisa ditemukan pada
apendiks, rektum, atau bagian distal ileum (Stephenson et al., 2000).

2.3 Epidemiologi dan Prevalensi


T. trichiura umumnya ditemukan pada daerah hangat, lembab, tropis dan
subtropis dimana angka prevalensi infeksi T. trichiura pada anak bisa melebihi
90%, namun juga dapat ditemukan pada daerah beriklim sedang (Stephenson et
al., 2000). Daerah endemik infeksi T. trichiura adalah negara tropis dan subtropis,

6
namun sedikit kasus sporadis juga terjadi di daerah non endemik sebagai akibat
dari adanya migrasi penduduk (Ok et al., 2009).
Tichuris trichiura bersifat kosmopolit. Spesies ini banyak ditemukan di
daerah yang panas dan lembab, seperti di Indonesia. Suhu dan kelembaban
lingkungan ada iklim tropis sangat sesuai bagi perkembangan cacing cambuk.
Cacing cambuk memerlukan tanah untuk mematangkan telurnya sehingga cacing
cambuk dikelompokan ke dalam STH. Faktor yang mempengaruhi trikuriasis
adalah sanitasi. Pada negara berkembang, sistem sanitasi belum terjaga dengan
cukup baik, sehingga infeksi trikuriasis dapat menyebar dengan mudah.
Penyebaran trikuriasis yang paling banyak adalah pada lingkungan pedasaan dan
daerah kumuh di perkotaan (Putri, 2012).
Diperkirakan 1.049 juta orang terinfeksi T. trichiura, termasuk di dalamnya
114 juta anak usia prasekolah dan 233 juta anak usia sekolah 5-14 tahun
(Stephenson et al., 2000). Sedangkan, pada tahun 1987, WHO memperkirakan
terdapat 500 juta kasus infeksi T. trichiura di seluruh dunia. Sementara itu
menurut Knopp et al (2010) diperkirakan terdapat 604 juta sampai 795 juta kasus
infeksi T. trichiura. Di beberapa negara, prevalensi infeksi T. trichiura tergolong
tinggi khususnya pada populasi anak. Di El Salvador kasus infeksi T. trichiura
mencapai 31% dari total populasi anak (Smith et al, 2001). Sementara itu, 60 %
penduduk di daerah terpencil Guatemala terinfeksi T. trichiura (Smith et al,
2001).
Pada beberapa daerah di Indonesia, prevalensi masih tinggi seperti yang
diungkapkan oleh Kementrian Kesehatan pada tahun 1990/1991 antara lain 53%
pada masyarakat Bali, 36,2% di perkebunan Sumatra Selatan, 51,6% pada
sejumlah sekolah di Jakarta. Prevalensi dibawah 10% ditemukan pada pekerja
pertambangan di Sumatra Barat (2,84%) dan di sekolah-sekolah di Sulawesi Utara
(7,42%). Pada tahun 1996 di Musi Banyuasin, Sumatra Selatan infeksi T.
trichiura ditemukan sebanyak 60% di antara 365 anak sekolah dasar (Staf
Pengajar Departemen Parasitologi FKUI, 2008). Bahkan, pada periode
sebelumnya yaitu tahun 1972-1979, angka prevalensi T. trichiura di beberapa
daerah berada di atas 80%. Daerah tersebut yaitu Sulawesi Selatan (82,5%),

7
Kalimantan Barat (90%), Sumatra Utara (87%), Jawa Barat (91%), NTB (84%),
dan Irian Jaya (91%) (Marleta dkk., 2005).
Trikuriasis ini bisa terjadi pada segala usia, namun puncak prevalensinya
berada pada rentang 5 sampai 25 tahun. Hal ini disebabkan anak-anak belum
memiliki kesadaran yang cukup mengenai pentingnya menjaga kebersihan diri
sendiri, seperti kurangnya kebiasaan mencuci tangan (Putri, 2012).

2.4 Transmisi
Transmisi cacing T. trichiura kepada manusia dapat terjadi secara langsung
atau tidak langsung. Penyebaran T. trichiura melalui transmisi faeco-oral.
Transmisi secara langsung terjadi karena kebiasaan bermain di tanah atau di
halaman sekitar rumah, sehingga telur matang yang mencemari tanah atau limbah
dapat menginfeksi manusia secara langsung, bila anak-anak bermain di tanah yang
tercemar dengan telur matang, sehingga telur yang melekat pada jari tangan akan
tertelan pada waktu anak menghisap jari tangannya atau tidak mencuci tangan
sebelum makan sehingga infeksi melalui oral terjadi (Helmy dkk., 2000).
Infeksi secara tidak langsung bisa terjadi bila telur yang infektif melekat
pada badan atau kaki lalat dari tinja manusia yang terdapat di tanah dan sudah
mengandung telur matang, karena lalat dan kecoa secara tidak langung akan
mencemari makanan yang dihidangkan di meja yang tidak ditutup dengan tudung
penutup makanan (Helmy dkk., 2000).

2.5 Patologi, Gejala Klinis dan Diagnosis


Cacing akan memasukan bagian anteriornya kedalam mukosa usus dan
menyebabkan trauma serta iritasi pada mukosa usus. Pada tempat perlekatan ini
terjadi pendarahan. Cacing akan mengkonsumsi sekresi dari jaringan mukosa
usus. Diketahui juga bahwa cacing ini akan menghisap darah hospesnya sehingga
dapat menyebabkan anemia dan defisiensi zat besi (Staf Pengajar Departemen
Parasitologi FKUI, 2008).
Cacing dewasa terutama hidup di sekum namun dapat juga ditemukan di
kolon asendens. Derajat keparahan trikuriasis ditentukan oleh intensitas infeksi
pada saluran gastrointestinal dan variabel lain yang mempengaruhi keadaan

8
hospes seperti usia, kesehatan umum, dan asupan zat besi. Pada orang yang sangat
sensitif, infeksi dapat menyebabkan respon yang tidak spesifik, seperti gugup,
anoreksia, dan urtikaria (Putri, 2012).
Pada infeksi ringan, trikuriasis umumnya tidak menunjukkan gejala. Pada
infeksi sedang, dimana terdapat sekitar 20 cacing dewasa dalam tubuh, akan
terlihat gejala nyeri perut, diare (jarang terdapat darah), muntah, kembung,
kehilangan berat badan, serta anemia dan defesiensi zat besi. Pada infeksi berat
trikuriasis dapat ditemukan sekitar 200 cacing dewasa di dalam tubuh. Gejala
klinis yang tampak adalah diare yang disertai darah, nyeri perut, tenesmus, anemia
berat, prolapsus rekti, dan eosinofilia derajat sedang (Putri, 2012).
Infeksi berat pada anak-anak dapat menyebabkan terhambatnya
pertumbuhan dan rendahnya kesehatan fisik serta status nutrisi. Infeksi trikuriasis
berat pada anak-anak akan memperlihatkan persebaran cacing di seluruh kolon
dan rektum (Putri, 2012). Infeksi berat T. trichiura juga sering disertai dengan
infeksi cacing lainnya atau protozoa (Staf Pengajar Departemen Parasitologi
FKUI, 2008). Infeksi cacing dan protozoa yang biasanya menyertai infeksi T.
trichiura antara lain Ascaris lumbricoides, cacing tambang, dan Entamoeba
hystolica. Pada orang dengan infeksi T. trichiura seringkali ditemukan juga
infeksi Ascaris lumbricoides (Stephenson et al., 2000).
Trikuriasis dapat didiagnosis ketika ditemukannya telur T. trichiura pada
pemeriksaan tinja (Putri, 2012). Data yang didapat dari hasil pemeriksaan tinja
adalah jumlah telur yang dinyatakan dalam satuan telur per gram (eggs per gram /
epg). WHO menetapkan klasifikasi infeksi T. trichiura pada individu dengan
didasarkan pada hasil pemeriksaan tinja, sesuai tabel berikut:
Tabel 1. Klasifikasi Infeksi T. trichiura menurut WHO (Stephenson et al., 2000).

Selain dengan pemeriksaan tinja, diagnosis T. trichiura dapat dilakukan


dengan teknik colonoscopy. Namun, colonoscopy merupakan teknik yang kurang
biasa digunakan. Colonoscopy biasanya dilakukan untuk evaluasi jika muncul

9
gejala gastrointestinal non-spesifik seperti sakit perut, diare, dan anemia.
Colonoscopy dilakukan seperti pada endoskopi, yaitu melihat keadaan pada usus
individu dengan bantuan alat yang akan memvisualisasikan keadaan usus di dalam
tubuh individu. Jika terdapat infeksi, maka hasil colonoscopyakan menunjukkan
adanya cacing T. trichiura yang menempel pada usus, seperti gambar berikut:

Gambar 4. Hasil colonoscopyyang menunjukkan adanya T.trichiura pada usus


(Ok et al., 2009).

2.6 Pengaruh infeksi Trichuris trichiura


Mekanisme pasti bagaimana cacing ini menimbulkan kelainan pada manusia
belum diketahui, akan tetapi diketahui ada dua proses yang berperan, yaitu trauma
oleh cacing dan efek toksik (Siregar, 2006). Trauma pada dinding usus terjadi
karena cacing ini membenamkan bagian kepalanya pada dinding sekum yang
menyebabkan reaksi anafilaksis lokal yang dimediasi oleh imunoglobulin E (Ig
E), terlihat infiltrasi lokal eosinofil di submukosa usus dan dapat terjadi edema
pada dinding usus. Pada keadaan ini mukosa mudah berdarah. Pada infeksi berat,
dapat dijumpai mencret yang mengandung darah dan lendir (sindrom disentri),
menimbulkan intoksikasi sistemik dan anemia (Pasaribu dan Lubis, 2008).
Trichuris trichiura akan menyebabkan host kehilangan darah, seekor cacing
dewasa menghisap 0,005 mL darah per hari (Siregar, 2006).
Dari studi yang dilakukan pada tikus yang terinfeksi Trichuris
trichiuramuris, yaitu Nematoda yang berhubungan dekat dengan Trichuris
trichiura pada manusia ditemukan juga adanya peran beberapa sitokin seperti
interleukin (IL)-18.22 dan IL-10.23. Interleukin 18 memegang peranan penting
saat terjadinya gangguan saluran cerna yang kronik sedangkan interleukin 10

10
berperan dalam pemeliharaan fungsi pertahanan kolon (colon barrier), sehingga
bila terjadi defisiensi IL 10, fungsi penghalang (barrier) kolon akan terganggu dan
dapat terjadi diare kronik (sindrom disentri trikuris) (Siregar, 2006).
Efek infeksi Trichuris trichiura dapat menyebabkan menurunnya insulin
like growth factor (IGF-1) suatu hormon pertumbuhan bersifat anabolik yang
berfungsi pada pertumbuhan skeletal dan hematopoesis. Plasma IGF-1 meningkat
pada masa anak dan mencapai puncaknya pada pubertas. Hormon ini merupakan
marker biokimia yang baik untuk menilai gangguan pertumbuhan dan menilai
gangguan nutrisi pada seorang anak. Dari suatu penelitian terhadap 14 anak usia
sekolah dasar dengan sindrom disentri trikuris, didapatkan kadar plasma insulin
like growth factor (IGF-1) rendah, kadar serum tumor necrosis factor a (TNF-a)
meningkat, serum albumin normal, konsentrasi hemoglobin rendah, dan sintesis
kolagen menurun (Siregar, 2006).
Secara keseluruhan infeksi Trichuris trichiura dapat menyebabkan diare
kronik berat, serta hilangnya darah dalam jumlah besar, pernah dilaporkan kadar
hemoglobin mencapai 3 g/dl pada seorang pasien sehingga menyebabkan plasma
IGF-1 menurun, kadar TNF-a meningkat dan sintesis kolagen menurun.
Disamping itu, umur Trichuris trichiura relatif panjang (umumnya 5 tahun),
semua keadaan ini secara tidak langsung akan mengakibatkan gangguan
pertumbuhan pada host (Siregar, 2006).

2.7 Tatalaksana dan Pencegahan


WHO memberikan empat daftar anthelmintik esesial yang aman dalam
penanganan dan kontrol STH, yaitu albendazole, mebendazole, levamisole dan
pirantel pamoat. Jika diberikan secara regular pada komunitas yang terinfeksi,
obat-obat ini efektif dalam mengontrol morbiditas yang berhubungan dengan
infeksi cacing yang endemis (Keisser and Utzinger, 2008).
Penatalaksanaan infeksi T. trichiura dilaksanakan dengan pemberian terapi
antihelmintik, diantaranya yang paling banyak digunakan adalah mebendazole dan
albendazole. Kedua obat ini termasuk ke dalam kelompok obat benzimidazole
yang bekerja menghambat polimerisasi dari mikrotubulus parasit yang
menyebabkan kematian dari cacing dewasa dalam beberapa hari. Tujuan utama

11
dari pemberian obat antihelmintik ini adalah mengeluarkan semua cacing dewasa
dari saluran gastrointestinal (Bogitsh et al., 2012; Suriptiastuti, 2006).
Albendazole memiliki efek larvasidal (pembunuh larva) dan efek ovisidal
(pembunuh telur). Albendazole tersedia dalam bentuk tablet dan cairan, sediaan
200 mg dan 400 mg (Enie, 2013). Albendazole diberikan melalui dosis tunggal
sebanyak 400 mg. Efisiensi albendazole untuk pengobatan trikuriasis lebih rendah
dibandingkan dengan mebendazole. Mebendazole diberikan sebanyak 100 mg
yang dikonsumsi dua kali sehari selama tiga hari berturut-turut. Efektifitas
mebendazole ini terbukti menyembuhkan 40-75% infeksi trikuriasis. Penggunaan
albendazole dan mebendazole pada wanita hamil dapat menyebabkan
kontraindikasi relatif. Jika wanita hamil sudah mencapai usia kehamilan lewat dari
trimester pertama pengobatan mendazole tidak dapat dilakukan. Umumnya,
wanita hamil yang mengalami trikuriasis dapat ditangani menggunakan oksantel
pamoat (Putri, 2012).
Trikuriasis erat kaitannya dengan sanitasi diri dan lingkungan. Pencegahan
primer trikuriasis dilakukan dengan menjaga kebersihan diri dan lingkungan, yaitu
dengan cara menumbuhkan kebiasan pola hidup bersih dan sehat. Cara
pencegahan sekunder adalah dengan mencegah rantai penularan, pencegahan
tersebut dilakukan melalui pengobatan bagi penderita trikuriasis agar tidak
menjadi agen penyebaran. Penderita juga harus buang air besar dijamban agar
tidak terjadi kontaminasi ke tanah (Putri, 2012).
Pencegahan yang dapat dilakukan guna menghindari terjangkitnya T.
trichiura antara lain dengan menjaga sanitasi lingkungan agar tetap bersih,
mencuci tangan sebelum makan atau sebelum menyentuh makanan, dan
melindungi makanan terhadap lalat. Kebersihan merupakan pencegahan yang
terbaik untuk infeksi T. trichiura. Walaupun obat-obatan dapat melenyapkan
cacing tersebut, infeksi dapat kambuh kembali jika kebersihan (perorangan) tidak
diperhatikan (Muslim, 2009).
Di daerah yang sangat endemik infeksi dapat dicegah dengan pengobatan
penderita trikuriasis, pembuatan jamban yang baik, pendidikan tentang sanitasi
dan kebersihan perorangan, terutama anak. Mencuci tangan sebelum makan, dan

12
mencuci sayuran yang dimakan mentah adalah penting apalagi di negeri yang
memakai tinja sebagai pupuk (Staf Pengajar Departemen Parasitologi FKUI,
2008).

13
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Trichuris trichiura (cacing cambuk) merupakan nematoda usus jenis soil
transmitted helminth yang menyebabkan penyakit trikuriasis. Hospes definit
cacing ini adalah manusia dan tidak membutuhkan hospes intermediet. T.
trichiura biasanya berada di dalam caecum, kolon dan apendiks manusia. Telur T.
trichiura dikeluarkan dari hospes bersama dengan tinja. Telur tersebut menjadi
matang dalam waktu 3 sampai 6 minggu dalam lingkungan tanah yang lembab
dan tempat yang teduh. Infeksi langsung T. trichiuraterjadi apabila hospes
menelan telur matang dari cacing tersebut.
Transmisi cacing T. trichiura kepada manusia dapat terjadi secara langsung
atau tidak langsung. Di beberapa negara, prevalensi infeksi T. trichiura tergolong
tinggi khususnya pada populasi anak. Pada tempat perlekatan T. trichiura dapat
terjadi pendarahan karena cacing ini menghisap darah hospesnya dan
menimbulkan iritasi. Terinfeksi T. trichiura biasanya tidak memberikan gejala
klinis yang jelas. Diagnosis dapat dilakukan dengan pemeriksaan ada tidaknya
telur T. trichiurapada sampel tinja dan menggunakan teknik colonoscopy.
Mebendazole dan albendazole adalah pilihan terapi antihelmintik yang dapat
digunakan untuk mengobati infeksi T. trichiura.

14
DAFTAR PUSTAKA

Bogitsh, B., J. Clint, E. Carter, Thomas, and N. Oeltmann. 2012. Human


Parasitology. 4th ed. Oxford: Academic Press.
Enie. 2013. Perbandingan Efektivitas Dosis Tunggal Albendazole Selama 2 dan 3
Hari pada Infeksi Trichuris trichiura pada Anak SDN 102052 Tanjung
Beringin, Kabupaten Serdang Bedagai. Medan: Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara.
Helmy, D. dkk. 2000. Penyakit Cacing di Unit Pemukiman Transmigasi Provinsi
Bengkulu pada Anak Sekolah Dasar. Media Litbang Kesehatan. Vol. 10,
No. 2, hal. 32-36.
Irianto, K. 2011. Parasitologi: Berbagai Penyakit yang Mempengaruhi Kesehatan
Manusia. Bandung: Yrama Widya.
Keisser, J. and J. Utzinger. 2008. Efficacy of Current Drugs Againts Soil-
Transmitted Helminth Infection, Systematic Review and Meta-Analysis.
JAMA. 299: 1937-48.
Knopp, S.et al. 2010. Albendazole and Mebendazole Administered Alone or in
Combination with Ivermectin against Trichuris trichiura: A Randomized
Controlled Trial. Clinical Infectious Diseases. Vol. 51, No. 12, hal 1420-
1428.
Lubis, A. D. 2012. Perbandingan Efektivitas Albendazole 5 dan 7 Hari pada
Infeksi Trichuris trichiura. Medan: Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara.
Mardiana dan Djarismawati. 2008. Prevalensi Cacing Usus pada Murid Sekolah
Dasar Wajib Belajar Pelayanan Gerakan Terpadu Pengentasan Kemiskinan
Daerah Kumuh di Wilayah DKI Jakarta. Jurnal Ekologi Kesehatan. Vol. 7,
No. 2, hal. 769-774.
Marleta, R. dkk. 2005. Faktor Lingkungan dalam Pemberantasan Cacing Usus di
Indonesia. Jurnal Ekologi Kesehatan. Vol. 4, No.3, hal 290-295.
Muslim, H. M. 2009. Parasitologi untuk Kedokteran. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.

15
Natadisastra, D. dan A. Ridad. 2009. Parasitologi Kedokteran: Ditinjau dari
Organ Tubuh yang Diserang. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Ok, K. S. et al. 2009. Trichuris trichiura Infection Diagnosed by Colonoscopy:
Case Reports and Review of Literature. Korean Journal of Parasitology.
Vol. 47, No. 3, hal. 275-280.
Pasaribu, S. dan C. P. Lubis. 2008. Trichuriasis (infeksi cacing cambuk):
BukuAjar Infeksi dan Pediatric Tropis. Edisi 2. Jakarta: Ikatan Dokter
Anak Indonesia.
Putri, E. 2012. Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Mengenai Trichuris
trichiura dan Karakteristik Guru SD di Jakarta pada Tahun 2011. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Program Studi Pendidikan Dokter Universitas
Indonesia.
Siregar, C. D. 2006. Pengaruh Infeksi Cacing Usus yang Ditularkan Melalui
Tanah pada Pertumbuhan Fisik Anak Usia Sekolah Dasar. Sari Pediatri.
Vol. 8, No. 2: 112-117.
Smith, H. M. et al. 2001. Prevalence and Intensity of Infections of Ascaris
lumbricoides and Trichuris trichiura and Associated Socio-demographic
Variables in Four Rural HonduranCommunities. Memorias de Intituto
Oswaldo Cruz Rio de Janeiro. Vol. 96, No. 3, hal. 303-314.
Staf Pengajar Departemen Parasitologi FKUI. 2008.Parasitologi Kedokteran.
Edisi Keempat. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Stephenson, L.S. et al. 2000. The public health significance of Trichuris trichiura.
Parasitology. Vol. 121, hal S73-S95.
Suriptiastuti. 2006. Infeksi soil-transmitted helminth: ascariasis, trichiuriasis dan
cacing tambang. Universa Medicina. Vol. 25, No. 2, hal 84-93.

16

Anda mungkin juga menyukai