Anda di halaman 1dari 10

AKIBAT HUKUM HAK MEWARIS ANAK HASIL PERKAWINAN SIRI

BERBASIS NILAI KEADILAN

Erni Agustina
erniagustina00@yahoo.com

Abstract
Siri marriage or marriages underhand still occur in Indonesian society. Unregistered
marriage is a marriage conducted in accordance with the religion or belief, just unregistered.
Registration of marriage does not determine the validity of the marriage. However, registration
of marriage would provide legal certainty for the husband, wife and child from the marriage.
The child of a valid marriage would get their rights, including inheritance rights. Different with
the children of the siri marriage, which did not obtain their rights.
Keywords : Inheritance, Siri Marriage Siri, and Justice

Abstrak
Perkawinan siri atau perkawinan di bawah tangan, masih terjadi di dalam masyarakat
Indonesia. Nikah siri adalah perkawinan yang dilaksanakan sesuai dengan agama atau
kepercayaan, hanya tidak dicatatkan. Pencatatan perkawinan tidak menentukan sah atau
tidaknya perkawinan. Akan tetapi, pencatatan perkawinan akan memberikan kepastian hukum
bagi suami, istri, dan anak hasil perkawinan. Anak hasil perkawinan yang sah akan mendapatkan
hak-haknya, termasuk hak waris. Berbeda dengan anak dari anak hasil perkawinan siri, yang
tidak memperoleh hak-haknya.
Kata Kunci : Waris, Perkawinan Siri, Keadilan

A. PENDAHULUAN terhadap adanya variasi berdasarkan agama


Perkawinan merupakan ikatan lahir dan kepercayaan yang berKetuhanan Yang
batin antara laki-laki dan perempuan yang Maha Esa, sehingga tidak ada perkawinan
bertujuan untuk membina keluarga yang di luar hukum masing-masing agama dan
bahagia, ikatan ini berdasarkan Ketuhanan kepercayaannya itu yang tidak sesuai dengan
Yang Maha Esa. Pengertian perkawinan Undang-undang Dasar 1945 hasil aman-
tersebut erat sekali kaitannya dengan orientasi demen
agama, sehingga perkawinan bukan hanya Suasana perjalanan kehidupan aturan
mengandung unsur jasmani saja tetapi juga hukum demikian ber-akibat terjadinya tarik-
mengandung unsur rohani. menarik antara sistem hukum adat sebagai
Hukum yang berlaku bagi semua tonggak awal dengan sistem hukum Islam
warga negara Indonesia terhadap perkawinan yang telah membudaya dan atau sistem
diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun hukum nasional yang wajib dipatuhi sebagai
1974 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun budaya hukum. Akibatnya terjadi pergeseran
1975 merujuk kepada hukum masing-masing perubahan kultural dalam bidang hukum
agama dan kepercayaan para pemeluknya perkawinan, tegasnya di tengah-tengah
(Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 masyarakat yang men-jadi responden objek
jo. Pasal 10 ayat (3) Peraturan Pemerintah penelitian melakukan perkawinan tidak ber-
Nomor 9 Tahun 1975). Dengan demikian, dasarkan ketentuan undang-undang nasional.
undang-undang tersebut merupakan suatu Istilah nikah siri disebut juga sebagai
unifikasi yang menghormati secara penuh nikah di bawah tangan. Perkawinan siri

Jurnal Pembaharuan Hukum


Volume II No. 2 Mei - Agustus 2015 381
merupakan hal yang biasa terjadi di Indonesia. Perkawinan sesuai hukum negara,
Nikah siri tidak diatur dalam peraturan perbuatan perkawinan tersebut tidak sah
perundang-undangan negara. Istilah nikah siri status hukumnya oleh hukum negara, serta
atau nikah di bawah tangan biasa digunakan membawa dampak hukum terhadap istri
oleh masyarakat Indonesia untuk orang-orang dan anak yang kemudian akan lahir dari
yang melakukan perkawinan tanpa prosedur perkawinan. Dampak dari perkawinan yang
yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 1 tidak dicatatkan pada Pegawai Pencatat
Tahun 1974 tentang Perkawinan. Perkawinan Nikah terhadap anak yang dilahirkan dalam
di bawah tangan dilaksanakan berdasarkan perkawinan yang tidak dicatatkan tersebut
agama atau adat istiadat calon suami dan sebagai anak luar kawin.
calon istri. Nikah siri, karena dilangsungkann
secara agama atau adat, maka per-kawinan B. METODE PENELITIAN
tersebut sah secara agama atau adat. Baik Metode pendekatan yang digunakan
Undang-Undang Perkawinan maupun pada dalam penulisan hukum ini adalah yuridis
peraturan-peraturan yang ada sebelumnya, normatif. Penelitian yuridis normatif adalah
tidak mengatur mengenai perkawinan di penelitian yang difokuskan untuk mengkaji
bawah tangan atau per-kawinan siri. penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma
Secara hukum agama dan adat, dalam hukum positif, 2 yang dalam hal ini
perkawinan di bawah tangan dinyatakan berkaitan dengan aspek akibat hukum hak
sah. Namun secara hukum positif, perkawinan mewaris anak hasil perkawinan siri berbasis
tersebut tidak diakui secara resmi oleh negara. nilai keadilan. Spesifikasi penelitian yang
Perkawinan siri dianggap tidak pernah ada, digunakan adalah penelitian deskriptif
sehingga dampaknya sangat merugikan bagi analitis, karena hanya menggambarkan
istri atau anak yang dilahirkan dari perkawinan objek yang menjadi permasalahan yang
tersebut. Istri tidak berhak mendapat nafkah kemudian menganalisa dan akhirnya ditarik
warisan dari suami yang telah meninggal, jika kesimpulan dari hasil penelitian tersebut.
terjadi perpisahan, serta tidak mendapatkan Dalam penelitian ini digunakan data
nafkah dan harta gono-gini. Anak yang sah sekunder, yaitu data yang diperoleh dari bahan-
berdasarkan Undang-Undang Perkawinan bahan pustaka melalui studi kepustakaan, dan
adalah anak yang dilahirkan dalam atau data ini juga diperoleh dari instansi/lembaga
sebagai akibat perkawinan yang sah.1 terkait. Data sekunder diperoleh dari studi
Meskipun secara agama atau adat pustaka (library research), yakni pengkajian
istiadat dianggap sah, namun perkawinan informasi tertulis mengenai hukum yang berasal
siri dapat merupakan delik pelanggaran yaitu dari pelbagai sumber dan dipublikasikan secara
perkawinan yang dilakukan tanpa izin istri luas serta dibutuhkan dalam penelitian hukum
pertama dan di luar pengetahuan pengawasan normatif, yakni penulisan yang didasarkan pada
Pegawai Pencatat Nikah, sehingga tidak data-data yang dijadikan objek penelitian, seperti
memiliki kekuatan hukum dan dianggap tidak peraturan perundang-undangan, buku-buku
sah di mata hukum negara atau tidak pernah pustaka, majalah, artikel, surat kabar, buletin
ada perkawinan tersebut, hal ini diatur dalam tentang segala permasalahan yang sesuai
Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan Nomor dengan penulisan hukum, yakni mengenai akibat
1 Tahun 1974. hukum hak mewaris anak hasil perkawinan
Di dalam kenyataan, masyarakat siri berbasis nilai keadilan, yang akan disusun
Indonesia banyak melakukan perkawinan dan dikaji secara kompre-hensif.3
yang hanya dilakukan secara agama, tetapi 2 Jhonny Ibrahim, 2011, Teori dan Metodologi
tidak didaftarkan di Pegawai Pencatatan Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia, Malang,
hlm. 295.
1 http://www.gresnews.com/berita./detail-print.
php?seo=138249-hukum-nikah-siri-d--indonesia, 3 Sanapiah Faisal, 1990, Penelitian Kualitatif : Dasar-
selasa 24 september 2013, 01:38:03 WIB. Dasar dan Aplikasi, YA3, Malang, hlm. 39.

Jurnal Pembaharuan Hukum


382 Volume II No. 2 Mei - Agustus 2015
Analisis yang dipergunakan dalam Dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2)
penulisan hukum ini adalah analisis kualitatif, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
yaitu suatu tata cara penelitian yang tentang Perkawinan, dinyatakan bahwa :
menghasilkan data deskriptif analitis, yaitu apa (1) Perkawinan adalah sah, apabila
yang diperoleh dari penelitian kepustakaan dilakukan menurut hukum masing-
atau dinyatakan oleh narasumber secara masing agamanya dan kepercayaannya
tertulis atau lisan dan juga perilakunya yang itu;
nyata, yang diteliti dan dipelajari sebagai (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut
sesuatu yang utuh.4 peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
C. HASIL DAN PEMBAHASAN Kemudian dalam Pasal 4 Kompilasi
Pengertian perkawinan menurut Hukum Islam bahwa : “Perkawinan adalah
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam
Perkawinan di dalam Pasal 1, yaitu : “Ikatan lahir sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-
batin antara seorang pria dengan seorang wanita Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk Perkawinan”.
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan Sesuai dengan ketentuan Pasal 2
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Esa”. Sedangkan menurut Kompilasi Hukum dan Pasal 4 Kompilasi Hukum Islam, telah
Islam (KHI), pengertian perkawinan adalah : diletakkan fundamentum yuridis perkawinan
“Pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau nasional, yaitu : 6
miitsaaqan ghaliizhan, untuk menaati perintah 1. Dilakukan menurut hukum agama; dan
Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah, 2. Dicatat menurut perundang-undangan
dan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan yang berlaku.
kehidupan rumah tangga yang sakinah, Perkawinan yang sah adalah
mawaddah, dan rahmah”. perkawinan yang dilaksanakan sesuai dengan
Perkawinan sebagai salah satu hak agama dan kepercayaannya masing-masing,
asasi manusia, harus di-laksanakan sesuai sekaligus dilakukan pencatatan oleh Pegawai
dengan hukum yang berlaku. Pemerintah Pencatat Nikah.
Republik Indonesia telah mengeluarkan Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) dan ayat
kebijaksanaan pembangunan nasional di (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
bidang hukum dengan menyusun unifikasi 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
hukum, terutama dalam kaitan ini hukum Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
perdata dan telah berhasil menyeragamkan bahwa pencatatan perkawinan dari mereka
hukum perkawinan dalam bentuk tertulis, yang melangsungkan perkawinannya
yaitu Undang-Undang tentang Perkawinan menurut agama Islam, dilakukan oleh
(Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974).5 Pegawai Pencatat. Sedangkan, pencatatan
Hukum positif atau hukum nasional perkawinan selain agama Islam, dilakukan
tentang perkawinan yang berlaku di Indonesia oleh Pegawai Pencatat perkawinan pada
sekarang ini telah diatur dalam Undang- kantor catatan sipil.
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Sebagai bukti telah dilangsungkannya
Perkawinan dan bagi umat Islam juga sebuah perkawinan, dengan dicatatkannya
berpedoman pada Kompilasi Hukum Islam perkawinan tersebut, maka kedua mempelai
sebagaimana yang termuat di dalam Instruksi akan mendapatkan akta nikah atau buku
Presiden Nomor 1 Tahun 1991. nikah dari Pegawai Pencatat Nikah. Di dalam
Pasal 7 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam
4 Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum,
Universitas Indonesia Press, Jakarta, hlm. 250. 6 M. Yahya Harahap, 2005, Kedudukan Kewenangan
5 Sudirman Tebba, 2003, Sosiologi Hukum Islam, UII dan Acara Peradilan Agama Undang-undang Nomor
Press, Yogyakarta, hlm. 104. 7 Tahun 1989, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 38.

Jurnal Pembaharuan Hukum


Volume II No. 2 Mei - Agustus 2015 383
dinyatakan bahwa : “Perkawinan hanya dapat 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan”, yang
dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat dinyatakan dalam pasal dan Undang-
oleh Pegawai Pencatat Nikah”. Undang itu sebagai berikut : “Perkawinan
Perkawinan itu adalah suatu akad sah apabila dilakukan menurut hukum
(perjanjian), seperti halnya juga perdagangan masing-masing agamanya dan
dan utang-piutang adalah muamalah atau kepercayaannya itu”;
akad. Sedangkan perjanjian jual-beli atau 2. Pasal 5 ayat (1) Kompilasi Hukum
perdagangan, utang-piutang saja harus Islam menyatakan bahwa : “Agar
dituliskan dan dengan dua orang saksi, terjamin ketertiban perkawinan bagi
betapa lagi melakukan perkawinan yang masyarakat Islam setiap perkawinan
miitsaaqan ghaliizhan suatu perjanjian yang harus dicatat”, Pasal 5 ayat (2) bahwa
suci dan memerlukan kepastian hukum bagi : “Pencatatan perkawinan tersebut pada
generasi penerusnya kelak, baik terhadap ayat (1) dilakukan oleh Pegawai Pencatat
anak cucu maupun harta benda. Juga Nikah sebagaimana yang diatur dalam
pengumuman dan pendaftaran itu penting Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946
dan perlu untuk menghindari akibat hukum jo. Undang-Undang Nomor 32 Tahun
yang timbul dan perkawinan di bawah tangan 1954”;
itu dalam hubungan dengan pihak ketiga, 3. Pasal 6 ayat (1) menyatakan bahwa :
misalnya tentang sahnya anak, wali nikah, “Untuk memenuhi ketentuan dalam Pasal
tentang waris mal waris (kewarisan). Bahwa 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan
pengumuman dan pendaftaran itu penting di hadapan dan di bawah pengawasan
bagi kemaslahatan kedua belah pihak dan Pegawai Pencatat Nikah, Pasal 6 ayat
kepastian hukum bagi masyarakat, demikian (2) bahwa : “Perkawinan yang dilakukan
juga baik suami maupun istri tidak demikian di luar pengawasan Pegawai Pencatat
saja dapat mengingkari perjanjian perkawinan Nikah tidak rnempunyai kekuatan hukum”;
yang suci tersebut, dan tidak dengan mudah 4. Pasal 7 ayat (1) menyatakan bahwa :
menjatuhkan talak, sesuai dengan analogi “Perkawinan hanya dapat dibuktikan
(qias) Al Qur’an Surah Al Baqarah ayat 282. dengan akta nikah yang dibuat oleh
Apalagi bila dihubungkan dengan Undang- Pegawai Pencatat Nikah, dan Pasal 7
Undang Nomor 22 Tahun 1946 jo. Undang- ayat (2) bahwa : “Dalam hal perkawinan
Undang Nomor 32 Tahun 1954 jo. Pasal tidak dapat dibuktikan dengan akta
2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, nikah, dapat diajukan itshat nikahnya
yang merupakan ijma’ sebagian besar ulama ke Pengadilan Agama”.
Islam, dan demi kemaslahatan umat Islam Pencatatan perkawinan bukan
sendiri patutlah bahkan wajib ditaati.7 merupakan unsur konstitutif yang menimbulkan
Akhmad Khisni menyebutkan bahwa kesahan perkawinan, tetapi unsur deklaratif
ukuran mengenai sah tidaknya perkawinan administratif sebagai alat bukti yang
dinyatakan dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, menyatakan bahwa mereka (orang-orang
dan Pasal 7 Kompilasi Hukum Islam sebagai itu) memang suami-istri. Namun, segera
berikut : 8 perlu dikemukakan dalam sistem hukum
1. Pasal 4 yang menegaskan bahwa : perkawinan Indonesia sekarang, pencatatan
“Perkawinan adalah sah apabila dilakukan perkawinan kendatipun bukan merupakan
menurut hukum Islam sesuai dengan rukun menurut hukum fiqih Islam klasik,
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor berdasarkan maslahah mursalah, merupakan
7 Mohd. Idris Ramulyo, 2006, Hukum Perkawinan, condisio sin qua non (syarat mutlak) bagi
Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama suami-istri dan anak-anaknya, terutama ber-
dan Zakat Menurut Hukum Islam, Cetakan Keempat,
Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 22. kenaan dengan kewarisan nanti.9
8 A. Khisni, 2010, Hukum Islam, Cetakan Pertama, 9 Sulaikin Lubis dkk., 2005, Hukum Acara Perdata Peradilan
Unissula Press, Semarang, hlm. 60 dan 61. Agama di Indonesia, Kencana, Jakarta, hlm. 14.

Jurnal Pembaharuan Hukum


384 Volume II No. 2 Mei - Agustus 2015
Akan tetapi, saat ini masih ada Mohd. Idris Ramulyo berpendapat
sebagian masyarakat yang melangsungkan bahwa nikah dan talak yang dilakukan di
perkawinan meskipun telah dilakukan sesuai bawah tangan lebih cenderung dinyatakan
dengan syarat-syarat yang ditentukan tidak sah menurut hukum Islam, dan nikahnya
agama dan kepercayaannya, masih saja batal sekurang-kurangnya dapat dibatalkan
ada perkawinan yang tidak dicatatkan, yang (vernietigbaar).12
dikenal dengan nikah siri atau perkawinan Setiap orang yang sudah
di bawah tangan. melangsungkan perkawinan sangatlah wajar
Perkawinan di bawah tangan atau siri, kalau ingin segera mendapatkan anak untuk
maksudnya ialah bahwa perkawinan itu tetap meneruskan keturunannya. Maksud dari
dilakukan dengan baik rukun-rukun maupun keturunan ialah hubungan antara anak dan
syarat-syarat yang telah ditentukan menurut orang tua, atau lebih luas antara anak-anak
hukum Islam, hanya pelaksanaannya tidak di satu pihak dan orang tua dan voorouder
dilakukan melalui pendaftaran atau pencatatan di lain pihak. Keturunan adalah basis dari
di Kantor Uru­san Agama yang mewilayahi pertalian darah (bloedverwantschap).
tempat tinggal mereka. Menurut istilah beberapa Keturunan dapat sah (wettig) atau tidak sah
hakim di Pengadilan Agama dikatakan bahwa (onwettig). Keturunan mempunyai akibat-
perkawinan di bawah tangan atau perkawinan akibat hukum dan akibat hukum yang paling
liar tersebut oleh sebagian besar umat Islam sempurna melekat pada keturunan yang sah.13
dianggap sah menurut hukum agama, walaupun Dari suatu perkawinan yang sah akan
tidak didaftarkan atau dicatat pada Kepala menimbulkan akibat hukum diantaranya adalah
Kantor Uru­san Agama setempat.10 anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan
Bila dipermasalahkan tentang itu menjadi anak sah, timbul kewajiban suami
perkawinan di bawah tangan atau siri ini, untuk membiayai dan mendidik anak-anak
mungkin ada yang berasumsi bahwa yang dan istrinya serta mengusahakan tempat
dipersoalkan adalah : “hidup bersama tanpa tinggal bersama, berhak saling mewarisi
nikah” yang sering diberitakan dalam media antara suami istri dan anak-anak dengan
pers, baik itu majalah maupun surat kabar, orang tua, bapak berhak menjadi wali nikah
seperti lazimnya telah merupakan mode masa bagi anak perem-puannya, dan bila diantara
kini di Eropa, lebih konkret lagi di Swedia. Di suami atau istri meninggal salah satunya,
mana para remaja (putra-putri) melakukan maka yang lainnya berhak menjadi pengawas
observasi (menjajaki) sampai seberapa jauh terhadap anak-anak dan hartanya.14
di antara mereka terdapat per-sesuaian Pencatatan perkawinan masih
paham, baik ideal maupun praktis dalam dianggap beberapa kalangan masyarakat
membina rumah tangga yang harmonis sebagai masalah kecil. Akan tetapi, sangat
kelak. Untuk itu, mereka melakukan proof besar dampaknya terhadap akibat hukum dari
marriage (kawin percobaan), dalam jangka perkawinan itu, terutama yang menyangkut
waktu tertentu (samen leven). Bila ternyata di dengan pembuktian nasab (hubungan darah
antara mereka dalam jangka waktu tertentu atau keturunan), masalah harta bersama
itu, baik dalam soal kesukaan (hobby) pribadi antara suami-istri, hak saling mewaris antara
maupun dalam masalah seksual terdapat anak dan orang tua, demikian juga suami
keserasian atau persesuaian paham, maka istri. Akan bertambah kusut lagi apabila
hubungan mereka secara formal ditingkatkan perkawinan di bawah tangan itu dilakukan
dalam ikatan perkawinan. Bila tidak, mereka 12 Ibid.
mencoba lagi dengan pasangan yang lain 13 H.F.A.Vollmar, 1981, Hukum Keluarga (Menurut
dan seterusnya dan seterusnya.11 KUHPerdata), Tarsito, Bandung, hlm. 89.
14 Mohd. Idris Ramulyo, 1999, Hukum Perkawinan Islam,
10 Ibid. Suatu Analisis Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
11 Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum dan Kompilasi Hukum Islam, Bumi Aksara, Jakarta,
Kewarisan…, op.cit., hlm. 39. hlm. 248.

Jurnal Pembaharuan Hukum


Volume II No. 2 Mei - Agustus 2015 385
untuk beristri lebih dari satu (perkawinan manapun di dunia ini, wajib memberikan
kedua, ketiga, dan seterusnya).15 perhatian serta perlindungan yang cukup
Perkawinan siri mengandung banyak terhadap hak-hak anak, yang antara lain
risiko dan sangat merugi-kan, terutama berupa hak-hak sipil, ekonomi, sosial dan
bagi pihak perempuan dan anak hasil budaya.18
perkawinan, ketika terjadi perselisihan Perkawinan siri tidak mendapat
hingga menyebabkan per-ceraian. Beberapa kepastian hukum bagi dan tidak ada
kasus yang terjadi akibat dari perkawinan akibat hukumnya. Hal ini akan memberikan
siri, antara lain perempuan yang diterlantarkan dampak negatif bagi status hukum anak
suaminya, istri tidak bisa mendapatkan hak- yang dilahirkan. Status hukum anak yang
haknya dan tidak dapat menuntut secara dilahirkan akibat dari perkawinan siri
hukum di Pengadilan Agama, sebab tidak dianggap sebagai anak tidak sah atau
memiliki surat akta perkawinan, anak hasil anak luar kawin. Sebagai konsekuensinya,
perkawinan dianggap sebagai anak di luar maka anak hanya mempunyai hubungan
nikah, istri dan anak tidak dapat mewarisi perdata dengan ibu dan keluarga ibunya,
dari suami atau ayahnya, dan kasus-kasus dan si anak tidak mempunyai hubungan
lainnya sehingga perkawinan siri ini lebih hukum dengan ayahnya.19
berpotensi menimbulkan banyak mafsadah Pasal 42 Undang-Undang Nomor
(dampak negatif), terutama bagi perempuan 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa : “Anak
dan anak. yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam
Akibat hukum dari perkawinan siri atau sebagai akibat perkawinan yang sah”.
tidak menggambarkan ada-nya kepastian Jadi anak sah tersebut dilahirkan setelah
hukum bagi generasi penerus. Demikian pula perkawinan orang tuanya yang telah sesuai
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 telah dengan syarat-syarat dalam ajaran agama
merupakan ijma’ para ulama yang wajib diikuti atau kepercayaannya masing-masing, yang
oleh umat Islam demi menjamin kepastian kemudian dicatatkan untuk mendapatkan
hukum dan kemaslahatan umum.16 kepastian hukum. Bukti dari perkawinan
Sebagaimana diketahui bahwa tersebut adalah adanya akta perkawinan
salah satu akibat hukum dari perkawinan atau buku nikah. Setelah anak tersebut
siri adalah anak yang dilahirkan merupakan dilahirkan, maka kedua orang tuanya
anak luar nikah atau tidak sah, dan tidak akan mencatatkan kelahiran si anak di
berhak mendapatkan waris dari ayahnya. Kantor Catatan Sipil untuk men-dapatkan
Pembagian warisan dalam agama akta kelahiran. Untuk mendapatkan akta
Islam merupakan suatu kemestian (infaq kelahiran tersebut, dibuktikan dengan buku
ijbary). Penetapan dan pembagian warisan nikah atau akta perkawinan dari orang
yang telah tercantum dalam Al Qur’an tidak tuanya yang membuktikan bahwa anak
boleh ditolak oleh ahli waris yang berhak tersebut adalah hasil perkawinan dari
menerimanya sebelum dilakukan pembagian orang tuanya. Perkawinan yang tidak
warisan.17 dicatatkan, tidak mempunyai kekuatan
Anak merupakan bagian dari hukum serta akibat hukum, maka anak
masyarakat, mereka mempunyai hak yang yang dilahirkan bukan merupakan anak
sama dengan masyarakat lain yang harus 18 Tresilia Dwitamara, Pengaturan dan Implementasi
Mengenai Hak Anak yang Berkonflik Dengan Hukum Di
dilindungi dan dihormati. Setiap negara di
Indonesia (Studi Di Pengadilan Negeri Surabaya dan
15 Ibid. Rumah Tahanan Medaeng), Perspektif, Vol. XVIII No.
16 Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum 2 Tahun 2013 Edisi Mei, Fakultas Hukum Universitas
Kewarisan…, op.cit., hlm. 23. Airlangga, Surabaya, 2013, hlm. 98.
17 Amin Husein Nasution, 2012, Hukum Kewarisan, Suatu 19 Jawade Hafidz, 2014, Status Hukum Anak Biologis Di
Analisis Komparatif Pemikiran Mujtahid dan Kompilasi Luar Nikah, Kontroversi Putusan MK RI Nomor : 46/
Hukum Islam, Cetakan Kedua, Raja Grafindo Persada, PUU/VIII/2010, Makalah, Fakultas Hukum Universitas
Jakarta, , hlm. 51. Islam Sultan Agung, Semarang, hlm. 3.

Jurnal Pembaharuan Hukum


386 Volume II No. 2 Mei - Agustus 2015
sah tetapi merupakan anak tidak sah atau Konstitusi Nomor : 46/PUU/ VIII/2010, maka
anak luar kawin.20 status hukum anak luar nikah mengalami
Pasal Pasal 99 KHI juga memberikan perubahan. Mahkamah Konstitusi melalui
pengertian tentang anak sah, yakni : putusannya tersebut  pada tanggal 17
Anak yang sah adalah : Februari 2012 telah melakukan terobosan
a. Anak yang dilahirkan dalam atau akibat hukum yang revolusioner. Putusan tersebut
perkawinan yang sah; atas permohonan Pengujian Undang-Undang
b. Hasil pembuahan suami-istri yang sah Nomor 1 Tahun 1974 yang diajukan oleh Hj.
diluar rahim dan dilahirkan oleh istri Aisyah Mochtar alias Machica dan Muhammad
tersebut. Iqbal Ramadhan (anak dari Machica). Dalam
Pengertian anak luar nikah di dalam salah satu permohonannya, disebutkan
Pasal 100 KHI adalah : “Anak yang lahir di bahwa Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang
luar perkawinan hanya mempunyai hubungan Nomor 1 Tahun 1974 telah menimbulkan
nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya”. perlakuan yang tidak sama di hadapan hukum
Di sini mengenai masalah waris anak hanya serta menciptakan perlakuan yang bersifat
dapat berwaris kepada ibunya dan tidak diskri-minatif. Pasal 43 ayat (1) dianggap
dapat berwaris kepada ayahnya disebabkan bertentangan dengan ketentuan Pasal 28B
putusnya hubungan di antara keduanya. 21 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28D ayat
Apakah anak itu dilahirkan di dalam (1) UUD 1945.24
ataupun di luar perkawinan, anak tetaplah Dengan adanya putusan Mahkamah
anak. Apa yang terjadi padanya, yang Konstitusi tersebut, maka anak luar nikah
dianggap sebagai anak di luar nikah, hal mempunyai hak waris dari ayah biologisnya.
itu bukanlah keinginannya. Memang tidak Bukan berarti putusan Mahkamah Konstitusi
adil bagi si anak jika dianggap sebagai ini melegalkan hubungan perempuan dan
anak luar kawin. Tetapi dalam Pasal 43 laki-laki di luar nikah. Hal ini semata-mata
ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun untuk memberikan kepastian dan perlindungan
1974 telah disebutkan mengenai status hukum bagi setiap anak. Sebagaimana
hukum anak di luar nikah, yakni bahwa anak disebutkan dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-
yang dilahirkan di luar perkawinan hanya Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya Perlindungan Anak yang menyatakan bahwa
dan keluarga ibunya. Anak tersebut hanya : “Setiap anak berhak untuk mengetahui
berhak mewaris dari ibunya dan keluarga orang tuanya, dibesarkan dan diasuh oleh
ibunya, dia tidak mempunyai hak waris dari orang tuanya sendiri”. Anak mempunyai hak
pihak keluarga ayahnya.22 untuk mengetahui identitas dari kedua orang
Melihat ketentuan, baik dari Undang- tuanya, dan akan memperjelas status serta
Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan di atas, hubungan hukum antara anak dengan orang
anak luar kawin tidak mempunyai hubungan tuanya.25
nasab dengan pihak ayah, dan hak-haknya Putusan Mahkamah Konstitusi ini
tidak didapatkan sepenuhnya. Kalau si jika dilihat bertentangan dengan fikih Islam,
anak dilahirkan di luar pernikahan, bukan di mana anak di luar nikah menurut fatwa
merupakan kesalahannya. Sebagai manusia, MUI tidak mempunyai hubungan nasab (wali
anak juga mendapatkan perlindungan nikah/waris) dengan lelaki yang menyebabkan
terhadap hak-haknya.23 kelahirannya. Anak zina hanya mempunyai
Setelah adanya Putusan Mahkamah hubungan nasab dengan ibu dan keluarga
20 Ibid., hlm. 8.
24 Prianter Jaya Hairi, Status Keperdataan Anak Di Luar
21 Ahmad Abd Madjid, 1993, Masa’il Fiqhiyyah, Garoeda Nikah Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
Buana Indah, Pasuruan Jawa Timur, hlm. 29. 46/PUU-VIII/2010, Info Singkat Hukum, Vol. IV No.
22 Ibid. 06/II/P3DI/Maret 2012, hlm. 1.
23 Jawade Hafidz, op.cit., hlm. 12. 25 Jawade Hafidz, op.cit., hlm. 18.

Jurnal Pembaharuan Hukum


Volume II No. 2 Mei - Agustus 2015 387
ibunya, seperti untuk mencukupi kebutuhan dan kepercayaannnya itu”. 28
anak tersebut yang disebut wasiat.26 Untuk perlindungan hukum anak luar
Selain itu, ditakutkan putusan nikah, maka dalam Pasal 43 Undang-Undang
Mahkamah Konstitusi tersebut melegalisasikan Nomor 1 Tahun 1974 ditambahkan satu ayat
perzinahan. Padahal tidak demikian adanya. yang secara khusus mengikat orang tua
Mahfud M.D. berpendapat bahwa putusan biologis anak tersebut untuk ber-tanggung
Mahkamah Konstitusi terkait uji materil jawab memberikan perlindungan terhadap
Undang-Undang Perkawinan justru bermaksud anak biologisnya. Sehingga walaupun
menghindari semakin meluasnya perzinahan, agama anak atau ayah biologis anak
semangat yang digunakan hakim Mahkamah tersebut menentukan tidak ada hubungan
Konstitusi dalam memutus perkara tersebut keperdataan antara anak luar perkawinan
adalah semangat menghindari perzinahan. dengan ayah biologisnya, tetapi secara asas
Dengan adanya putusan tersebut, maka kemanusiaan dia dibebani kewajiban untuk
laki-laki tentunya akan menjadi takut untuk memberikan perlindungan terhadap anak
melakukan per-buatan zina, sebab dapat biologisnya dari diskriminasi, eksploitasi baik
dituntut tanggung jawab secara hukum.27 ekonomi maupun seksual, penelantaran,
Terkait kontroversi terhadap putusan kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan,
MK tersebut, melihat anak sebagai manusia ketidak-adilan, dan perlakuan salah lainnya.
yang masih suci dan tidak berdosa sehingga Setidaknya poin tersebut berbunyi :
hak-haknya perlu dilindungi oleh negara, “Anak di luar perkawinan berhak mendapat
maka putusan Mahkamah Konstitusi telah perlindungan dari diskriminasi, eksploitasi
memberikan kepastian dan perlindungan baik ekonomi maupun seksual, penelantar-
hukum anak di luar nikah. Putusan Mahkamah an, kekejaman, kekerasan, penganiayaan,
Konstitusi hanya memberikan kejelasan ketidakadilan, dan per-lakuan salah lainnya
terhadap hubungan keperdataan antara dari laki-laki sebagai ayahnya yang dapat
anak dan ayahnya, bukan hubungan nasab dibukti-kan secara ilmu pengetahuan dan/
dengan ayahnya. Jika putusan Mahkamah atau teknologi serta bukti lain yang sah
Konstitusi tersebut untuk kemaslahatan dan menurut hukum beserta dari keluarga laki-
kebaikan bersama, maka putusan Mahkamah laki sebagai ayahnya tersebut”.29 Dengan
Konstitusi tersebut harusnya dapat diterima demikian, putusan Mahkamah Konstitusi
oleh masyarakat. tersebut tidak akan bertentangan dengan
Jawade Hafidz menyetujui pendapat hukum agama dan dapat memberikan
dari Hakim Pengadilan Agama Sengeti Rio kepastian dan perlindungan hukum terhadap
Satria dalam Kritik analisis tentang putusan anak luar nikah.
Mahkamah Konstitusi mengenai uji materil
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 D. PENUTUP
[Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1)] 1. Kesimpulan
bahwa : Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Menurut Undang-Undang Nomor
Nomor 1 Tahun 1974 jika diuji dengan UUD 1 Tahun 1974 dan KHI bahwa anak yang
Tahun 1945 seharusnya berbunyi : “Anak dilahirkan dari nikah siri atau perkawinan
yang dilahirkan di luar perkawinan memiliki di bawah tangan dianggap sebagai
hubungan keperdataan dengan ibunya dan anak tidak sah atau anak luar nikah,
keluarga ibunya, sedangkan dengan laki- sebagai konsekuensinya maka anak
laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan 28 Rio Satria, Tinjauan Tentang Kedudukan Anak Luar
secara ilmu pengetahuan dan/atau bukti lain Kawin Dalam Sistem Hukum Perkawinan di Indonesia,
yang sah secara hukum beserta keluarga Kritik analisis tentang putusan Mahkamah Konstitusi
mengenai uji materil Undang-Undang Nomor 1 Tahun
ayahnya ditetapkan sesuai dengan agama 1974 [Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1)], Diskusi
26 Prianter Jaya Hairi, op.cit., hlm. 3. Ilmiah, hlm. 18. dalam Jawade Hafidz, op.cit., hlm. 19.
27 Ibid. 29 Ibid.

Jurnal Pembaharuan Hukum


388 Volume II No. 2 Mei - Agustus 2015
hanya mempunyai hubungan perdata setelah dilakukan pembuktian. Putusan
dengan ibu dan keluarga ibunya. Dengan Mahkamah Konstitusi memberikan
demikian, anak tidak berhak atas biaya kepastian, keadilan, dan perlindungan
kehidupan, pendidikan, nafkah, dan hak hukum atas status atau kedudukan serta
waris dari ayahnya. hak-haknya.
Putusan MK Nomor : 46/PUU- 2. Saran
VIII/2010 telah memberikan kejelasan Sebagai pelaksanaan dari
terhadap status hukum anak nikah putusan MK Nomor : 46/PUU-VIII/2010,
siri, yakni anak yang dilahirkan di luar maka perlu dilakukan revisi terhadap
perkawinan mempunyai hubungan perdata Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
dengan ibunya dan keluarga ibunya dan peraturan yang terkait lainnya.
serta dengan laki-laki sebagai ayahnya Perlu disebutkan pula mengenai cara
yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu agar anak memperoleh akta kelahiran
pengetahuan dan teknologi dan/atau alat setelah mendapatkan pengakuan dari
bukti lain menurut hukum mempunyai ayah biologisnya, dan cara agar si ayah
hubungan darah, termasuk hubungan biologis mau mengakui si anak setelah
perdata dengan keluarga ayahnya. dilakukan pembuktian serta sanksinya
Dengan Putusan Mahkamah Konstitusi jika tidak mau mengakui si anak setelah
tersebut, maka anak mendapatkan hak dilakukan pembuktian.
waris dari ayah biologis yang mengakuinya

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-buku :
A. Khisni, 2010, Hukum Islam, Cetakan Pertama, Unissula Press, Semarang.
Ahmad Abd Madjid, 1993, Masa’il Fiqhiyyah, Garoeda Buana Indah, Pasuruan Jawa Timur.
Amin Husein Nasution, 2012, Hukum Kewarisan, Suatu Analisis Komparatif Pemikiran Mujtahid
dan Kompilasi Hukum Islam, Cetakan Kedua, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
H.F.A.Vollmar, 1981, Hukum Keluarga (Menurut KUHPerdata), Tarsito, Bandung.
Jhonny Ibrahim, 2011, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia, Malang.
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1989, Sinar Grafika, Jakarta, 2005.
Mohd. Idris Ramulyo, 1999, Hukum Perkawinan Islam, Suatu Analisis Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, Bumi Aksara, Jakarta.
Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama
dan Zakat Menurut Hukum Islam, Cetakan Keempat, Sinar Grafika, Jakarta, 2006.
Sanapiah Faisal, 1990, Penelitian Kualitatif : Dasar-Dasar dan Aplikasi, YA3, Malang.
Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta.
Sudirman Tebba, 2003, Sosiologi Hukum Islam, UII Press, Yogyakarta.
Sulaikin Lubis dkk., 2005, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, Kencana,
Jakarta.
Tresilia Dwitamara, Pengaturan dan Implementasi Mengenai Hak Anak yang Berkonflik
Dengan Hukum Di Indonesia (Studi Di Pengadilan Negeri Surabaya dan Rumah
Tahanan Medaeng), Perspektif, Vol. XVIII No. 2 Tahun 2013 Edisi Mei, Fakultas
Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 2013.

Jurnal Pembaharuan Hukum


Volume II No. 2 Mei - Agustus 2015 389
B. Peraturan Perundang-Undangan :
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Kompilasi Hukum Islam.
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk.

C. Jurnal Hukum :
Prianter Jaya Hairi, Status Keperdataan Anak Di Luar Nikah Pasca Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, Info Singkat Hukum, Vol. IV No. 06/II/P3DI/
Maret 2012.

D. Makalah :
Jawade Hafidz, 2014, Status Hukum Anak Biologis Di Luar Nikah, Kontroversi Putusan MK
RI Nomor : 46/PUU/VIII/2010, Makalah, Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan
Agung, Semarang.

E. Internet :
http://www.gresnews.com/berita./detail-print.php?seo=138249-hukum -nikah-siri-d--indonesia,
selasa 24 september 2013, 01:38:03 WIB.

Jurnal Pembaharuan Hukum


390 Volume II No. 2 Mei - Agustus 2015

Anda mungkin juga menyukai