Kelompok 2 :
daftar isi
ii
BAB I ...................................................................................................1
Pendahuuan .......................................................................................1
BAB II ..................................................................................................5
A. Definisi......................................................................................5
B. Epidemiologi ............................................................................5
C. Cara dan faktror-faktor yang berperan ..................................6
D. Patogenesis dan patologi .......................................................8
E. Tanda dan gejala klinis ...........................................................9
F. Langka-langka diagnosis ........................................................12
G. Penatalaksaan ..........................................................................18
H. penanganan .............................................................................21
BAB IV ..........................................................................................41
A. kesimpulan ........................................................................41
B. saran ..................................................................................41
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Demam tifoid (selanjutnya disebut tifoid) merupakan penyakit infeksi akut
usus halus yang disebabkan oleh Salmonella typhi. Penyakit menular ini masih
merupakan masalah kesehatan masyarakat dengan jumlah kasus sebanyak
22 juta per tahun di dunia dan menyebabkan 216.000–600.000 kematian.
Di Indonesia, insidens demam tifoid banyak dijumpai pada populsi yang
berusia 3-19 tahun. Kejadian demam tifoid di Indonesia juga berkaitan dengan
rumah tangga, yaitu adanya anggota keluarga dengan riwayat terkena demam
tifoid, tidak ada sabun untuk mencuci tangan, menggunakan piring yang sama
untuk makan, dan tidak tersedianya tempat buang air besar dalam rumah.
Ditjen bina upaya kesehatan masyarakat departemen kesehatan RI tahun
2010, melaporkan demam tifoid menempati urutan ke-3 dari angka 10 pola
penyakit terbanyak pada pasien rawat inap di rumah sakit di Indonesia (41.081
kasus).
Di negara-negara maju seperti di Eropa, tidak ditemukan informasi yang
memadai tentang program pengendalian tifoid. Mengingat faktorrisiko kejadian
tifoid seperti akses air besih,higiene, dan sanitasi, serta kemiskinan bukan
merupakan masalah, maka pencegahan tifoid lebih difokuskan pada
pemberian vaksinasi pada wisatawan yang berkunjung ke negara-negara
endemis tifoid dengan melakukan vaksinasi. Negara lain seperti Fiji, program
pengendalian tifoid yang dikembangkan antara lain melakukan skrining tifoid
berbasis serologi, mengoptimalkan pasokan air di desa, penyimpanan dan
pengolahan air rumah tangga dan penyediaan sarana sanitasi yang
memenuhi syarat kesehatan, melakukan penyuluhan tentang pencegahan
tifoid, pelatihan tenaga kesehatan, dan vaksinasi tifoid.Di India,
dikembangkan kegiatan surveilans tifoid pada semua kelompok umur sebagai
bagian dari program integrasi surveilans. Di Thailand, kegiatan surveilans
1
dilakukan untuk semua kelompok umur terintegrasi dengan surveilans
penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi.
Berdasarkan Permenkes Nomor 1144/MENKES/PER/VIII/2010 tentang
Struktur Organisasi Kementerian Kesehatan, program pengendalian tifoid di
tingkat kementerian merupakan tanggung jawab Ditjen PP dan PL,
Kementerian Kesehatan RI, sedangkan pelaksana program adalah dinas
kesehatan provinsi, dinas kesehatan kabupaten/ kota, dan fasilitas pelayanan
kesehatan (fasyankes) seperti puskesmas dan rumah sakit di seluruh
Indonesia.
Tujuan pengendalian tifoid di Indonesia, yaitu: 1) Meningkatkan upaya
pencegahan tifoid terutama pada kelompok masyarakat berisiko tinggi 2)
Meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang tifoid serta 3)
Menurunkan angka kesakitan dan kematian.
Secara umum pengendalian tifoid didasari oleh 3 pilar: 1) Peran
pemerintah melalui pengembangan dan penguatan kegiatan pokok
pengendalian tifoid 2) Peran masyarakat sipil melalui pengembangan dan
penguatan jejaring kerja pengendalian tifoid dan 3) Peran masyarakat melalui
pengembangan dan penguatan kegiatan pencegahan dan penanggulangan
tifoid berbasis masyarakat.
Kegiatan pokok pengendalian tifoid, meliputi: 1) Melaksanakan review dan
memperkuat aspek legal pengendalian tifoid 2) Melaksanakan advokasi dan
sosialisasi termasuk Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) 3)
Melaksanakan kegiatan pencegahan karier, relaps dan resistensi tifoid; 4)
Melaksanakan kegiatan perlindungan khusus (vaksinasi tifoid) 5)
Melaksanakan deteksi dini karier tifoid 6) Melaksanakan pengamatan tifoid 7)
Memperkuat Sumber Daya Manusia (SDM) 8) Memperkuat pengelolaan
logistik pengendalian tifoid 9) Melaksanakan supervisi dan bimbingan teknis
10) Melaksanakan montoring dan evaluasi, dan 11) Melaksanakan kegiatan
pencatatan dan pelaporan.
2
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Melakukan pendekatan kedokteran keluarga terhadap pasien
faringitis dan keluarganya untuk mewujudkan keadaan sehat di
Kelurahan Bungkutoko, Kecamatan Abeli, Kota Kendari.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui karakteristik (fungsi keluarga, bentuk keluarga, dan
siklus keluarga) keluarga pasien faringitis
b. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya masalah
kesehatan pada pasien faringitis dan keluarganya.
c. Mendapatkan pemecahan masalah kesehatan pasien faringitis dan
keluarganya.
C. Manfaat
1. Bagi Penulis
Menambah pengetahuan penulis tentang kedokteran keluarga, serta
penatalaksanaan faringitis dengan pendekatan kedokteran keluarga.
2. Bagi Tenaga Kesehatan
Sebagai bahan masukan kepada tenaga kesehatan agar
memberikan pelayanan kesehatan terpadu dan penatalaksanaan
kepada pasien faringitis dilakukan secara holistik dan komprehensif
serta mempertimbangkan aspek keluarga dalam proses penyembuhan.
3. Bagi Pasien dan Keluarga
Memberikan informasi kepada pasien dan keluarganya bahwa
keluarga juga memiliki peranan yang cukup penting dalam kesembuhan
pasien.
Setiati,siti dkk. 2015. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi VI Jilid II. Semarang:
InternaPublishing.
3
Purba E, Ivan dkk. 2016. Program Pengendalian Demam Tifoid di Indonesia:
tantangan dan peluang. vol. 26 no.2. Universitas Sari Mutiara Indonesia.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi sistemik akut yang
mengenai system retikuloendotelial, kelenjar limfe saluran cerna, dan
kandung empedu.Disebabkan terutama oleh Salmonella enterica serovar
typhi (S.typhi) dan menular melalui jalur fekal-oral.(Sidabutar dkk. 2010).
Salmonella typhi (S. typhi) merupakan kuman pathogen penyebab
demam tifoid, yaitu suatu penyakit infeksi sistemik dengan gambaran
demam yang berlangsung lama, adanya bakteremia disertai inflamasi yang
dapat merusak usus dan organ-organ hati.(Yatnita. 2011).Salmonella
entericaserovar paratyphi A, B, dan C juga dapat menyebabkaninfeksi yang
disebut demamparatifoid.Demam tifoid dan paratifoid termasukke dalam
demam enterik.Pada daerahendemik, sekitar 90% dari demam enterik
adalahdemam tifoid (Nelwan. 2012).
B. Epidemiologi
Sejak awal abad ke 20, insidens demam tifoidmenurun di USA dan
Eropa dengan ketersediaanair bersih dan sistem pembuanganyang baik
yang sampai saat ini belum dimilikioleh sebagian besar negara
berkembang.Secara keseluruhan, demam tifoid diperkirakanmenyebabkan
21,6 juta kasus dengan216.500 kematian pada tahun 2000. Insiden demam
tifoid tinggi (>100 kasus per 100.000populasi per tahun) dicatat di Asia
Tengahdan Selatan, Asia Tenggara, dan kemungkinanAfrika Selatan; yang
tergolong sedang(10-100 kasus per 100.000 populasi per tahun)di Asia
lainnya, Afrika, Amerika Latin,dan Oceania (kecuali Australia dan
SelandiaBaru); serta yang termasuk rendah (<10 kasusper 100.000
populasi per tahun) di bagiandunia lainnya (Nelwan, 2012).
5
Demam tifoid endemis di negara berkembang khususnya
AsiaTenggara.Sebuah penelitian berbasis populasi yangmelibatkan 13
negara di berbagai benua, melaporkanbahwa selama tahun 2000 terdapat
21.650.974 kasusdemam tifoid dengan angka kematian 10%.
Insidensdemam tifoid pada anak tertinggi ditemukan padakelompok usia 5-
15 tahun. Indonesia merupakansalah satu negara dengan insidens demam
tifoid, padakelompok umur 5-15 tahun dilaporkan 180,3 per 100,000
penduduk (Sidabutar. 2010).
Di Indonesia, tifoid jarang dijumpai secara epidemis tapi bersifat
endemis dan banyak dijumpai di kota-kota besar. Tidak ada perbedaan
yang nyata insidens tifoid pada pria dengan wanita.Insiden tertinggi
didapatkan pada remaja dan dewasa muda.Simanjuntak (1990)
mengemukakan bahwa insiden tifoid di Indonesia masih sangat tinggi
berkisar 350-810 per 100.000 penduduk.Demikian juga dari telaah kasus
demam tifoid di rumah sakit besar di Indonesia, menunjukkan angka
kesakitan cenderung meningkat setiap tahun dengan rata-rata 500/100.000
penduduk. Angka kematian diperkirakan sekitar 0,6-5”6 sebagai akibat dari
keterlambatan mendapat pengobatan serta tingginya biaya
pengobatan.(Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2006).
6
Higiene makanan dan minuman yang rendah Faktor ini paling
berperan pada penularan tifoid. Banyak sekali contoh untuk ini
diantaranya : makanan yang dicuci dengan air yang
terkontaminasi (seperti sayur-sayuran dan buah-buahan), sayuran
yang dipupuk dengan tinja manusia, makanan yang tercemar
dengan debu, sampah, dihinggapi lalat, air minum yang tidak
dimasak, dan sebagainya.
7
Hasil Riset Kesehatan Dasar(Riskesdas) tahun 2007
menunjukkanTyphoid pada kelompok anak usiasekolah menempati
prevalensitertinggi dibandingkan semuakelompok usia yang ada,
yaitusebesar 1,9%.
8
ulkus.Ulkus ini mudah menimbulkan perdarahan dan perforasi yang
merupakan komplikasi yang berbahaya.Hati membesar karena infiltrasi sel-
sel limfosit dan sel mononuklear lainnya serta nekrosis fokal. Demikian juga
proses ini terjadi pada jaringan retikuloendotelial lain seperti limpa dan
kelenjar mesentrika. Kelainan-kelainan patologis yang sama juga dapat
ditemukan pada organ tubuh lain seperti tulang, usus, paru, ginjal, jantung
dan selaput otak. Pada pemeriksaan klinis, sering ditemukan proses radang
dan abses-abses pada banyak organ, sehingga dapat ditemukan bronkhitis,
arthritis septik, pielonefritis, meningitis, dll. Kandung empedu merupakan
tempat yang disenangi basil Salmonella.Bila penyembuhan tidak sempurna,
basil tetap tahan di kandung empedu ini, mengalir ke dalam usus, sehingga
menjadi karier intestinal. (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2006).
Bakteremia dapat menetap selama beberapaminggu bila tidak diobati
dengan antibiotik.Pada tahapan ini, bakteri tersebar luas di hati,limpa,
sumsum tulang, kandung empedu,dan Peyer’s patches di mukosa ileum
terminal.Ulserasi pada Peyer’s patches dapat terjadimelalui proses infl
amasi yang meng-akibatkannekrosis dan iskemia.Komplikasi
perdarahandan perforasi usus dapat menyusul ulserasi.Kekambuhan dapat
terjadi bila kuman masihmenetap dalam organ-organ sistem
retikuloendotelialdan berkesempatan untuk
berproliferasikembali.Menetapnya Salmonelladalam tubuh manusia
diistilahkan sebagaipembawa kuman atau carrier.(Cahyani, Dwi Adi T dkk.
2018).
9
berbeda dengan negara maju dan gambaran klinis tahun 2000 dapat
berbeda dengan tahun enam puluhan pada daerah yang sama. Demam
Tifoid pada anak balita jarang, tapi cukup sering semakin mendekati
pubertasGambaran klinis pada anak cenderung tak khas.Makin kecil anak,
gambaran klinis makin tak khas.Kebanyakan perjalanan penyakit
berlangsung dalam waktu pendek dan jarang menetap lebih dari 2 minggu.
a. Demam
Demam atau panas adalah gejala utama Tifoid. Pada awal sakit,
demamnya kebanyakan samar- samar saja, selanjutnya suhu
tubuh sering turun naik. Pagi lebih rendah atau normal, sore dan
malam lebih tinggi (demam intermitten). Dari hari ke hari
intensitas demam makin tinggi yang disertai banyak gejala lain
seperti sakit kepala (pusing-pusing) yang sering dirasakan diarea
frontal, nyeri otot, pegal-pegal, insomnia, anoreksia, mual dan
muntah. Pada minggu ke 2 intensitas demam makin tinggi,
kadang-kadang terus menerus (demam kontinyu).Bila pasien
membaik maka pada minggu ke 3 suhu badan berangsur turun
dan dapat normal kembali pada akhir minggu ke 3.Perlu
diperhatikan terhadap laporan, bahwa demam yang khas tifoid
tersebut tidak selalu ada.Tipe demam menjadi tidak beraturan.Hal
ini mungkin karena intervensi pengobatan atau komplikasi yang
dapat terjadi lebih awal.Pada anak khususnya balita, demam
tinggi dapat menimbulkan kejang.
10
kelihatan kotor dan ditutupi selaput putih.Ujung dan tepi lidah
kemerahan dan tremor (coated tongue atau selaput putih), dan
pada penderita anak jarang ditemukan.Pada umumnya penderita
sering mengeluh nyeri perut, terutama regio epigastrik (nyeri ulu
hati), disertai nausea, mual dan muntah.Pada awal sakit sering
meteorismus dan kontipasi.Pada minggu selanjutnya kadang-
kadang timbul diare.
c. Gangguan Kesadaraan
d. Hepatosplenomegali
11
pada anak sangat jarang ditemukan malahan lebih sering
epitaksis.
F. Langkah-Langkah Diagnosis
1. Diagnosis klinis
12
2. Gambaran Laboratorium Tifoid
a. Gambaran Darah Tepi
Pada pemeriksaan hitung lekosit total terdapat
gambaran leukopeni (+- 3000-8000 /mm3), limfositosis
relatif, monositosis, an eosinofilia dan trombositopenia
ringan. Terjadinya leukopenia akibat depresi sumsum tulang
oleh endotoksin dan mediator endogen yang
ada.Diperkirakan kejadian leukopenia 25”6, Namun banyak
laporan bahwa dewasa ini hitung leukosit kebanyakan
dalam batas normal atau leukositosis ringan.Kejadian
trombositopenia sehubungan dengan produksi yang
menurun dan destruksi yang meningkat oleh sel-sel RES.
Sedangkan anemia juga disebabkan produksi hemoglobin
yang menurun serta kejadian perdarahan intestinal yang tak
nyata (occult bleeding).Perlu di waspadai bila terjadi
penurunan hemoglobin secara akut pada minggu ke 3-4,
yang bisanya disebabkan oleh perdarahan hebat dalam
abdomen.
b. Pemeriksaan Bakteriologis
Jenis pembiakan menurut spesimen
Biakkan darah :
Lima sampai 10 ml darah penderita diambil secara
aseptik lalu dipindahkan kedalam botol biakkan darah
yang berisi 50-100 ml kaldu empedu (perbandingan
1:9) sesudah dieramkan selama 24- 48 jam pada 37” C,
lalu dipindahkan biakkan pada agar darah dan agar
Mac Conkey. Kuman tersebut tumbuh tanpa meragikan
laktosa , gram negatif, dan menunjukkan gerak
positif.Biakkan bekuan darah : Bekuan darah dibiakkan
13
pada botol berisi 15 ml kaldu empedu (mengandung
0,596 garam - garam empedu). Biakkan ini lebih sering
memberikan hasil positif.
Biakan Tinja :
Positif selama masa sakit.Diperlukan biakkan berulang
untuk mendapatkan hasil postif.Biakkan tinja lebih
berguna pada penderita yang sedang diobati dengan
kloramfenikol, terutama untuk mendeteksi karier.
Biakkan Cairan Empedu :
Penting untuk mendeteksi adanya karier (pembawa
kuman) dan pada stadium lanjut penyakit. Empedu
diisap melalui tabung duodenum dan diolah dengan
cara seperti tinja.
Biakkan Air Kemih :
Kurang berguna dibandingkan dengan biakkan darah
dan tinja.Biakkan air kemih positif pada minggu sakit ke
2 dan 3.Air kemih yang diambil secara steril diputar dan
endapannya dibiakkan pada perbenihan diperkaya dan
selektif.
14
Culture, biakan SS). Sensitifitas test ini rendah yang dapat
disebabkan oleh beberapa hal:
Darah menggumpal
Serologis Widal
15
Belum ada kesepakatan tentang nilai titer patokan.
Tidak sama masing-masing daerah tergantung
endemisitas daerah masing-masing dan tergantung
hasil penelitiannya.
3. Diagnosis Komplikasi
16
Monitor selama perawatan harus terlaksana dengan baik, agar
komplikasi dapat terdeteksi secara dini.
17
G. Penatalaksanaan
18
19
(Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2006)
Terapi pada demam tifoid adalah untuk mencapai keadaan bebas demam
dan gejala, mencegah komplikasi, dan menghindari kematian.Yang juga tidak
kalah penting adalah eradikasi total bakeri untuk mencegah kekambuhan dan
keadaan carrier.Pemilihan antibiotik tergantung pada pola sensitivitas isolat
Salmonella typhi setempat.Munculnya galur Salmonella typhi yang resisten
terhadap banyak antibiotik (kelompok MDR) dapat mengurangi pilihan antibiotik
yang akandiberikan. Terdapat 2 kategori resistensi antibiotic yaitu resisten
terhadap antibiotik kelompok chloramphenicol, ampicillin, dan
trimethoprimsulfamethoxazole (kelompok MDR) dan resisten terhadap antibiotik fl
uoroquinolone.11 Nalidixicacid resistant Salmonella typhi (NARST) merupakan
petanda berkurangnya sensitivitas terhadap fl uoroquinolone. Terapi antibiotik
yang diberikan untuk demam tifoid tanpa komplikasi berdasarkan WHO tahun 2003
dapat dilihat pada tabel 1.11
20
(Nelwan. 2012)
H. Pencegahan
Strategi pencegahan yang dipakai adalah untukselalu menyediakan
makanan dan minumanyang tidak terkontaminasi, higiene
peroranganterutama menyangkut kebersihantangan dan lingkungan,
sanitasi yang baik,dan tersedianya air bersih sehari-
hari.Strategipencegahan ini menjadi penting seiring denganmunculnya
kasus resistensi.Selain strategi di atas, dikembangkan pulavaksinasi
terutama untuk para pendatangdari negara maju ke daerah yang endemic
demam tifoid.Vaksin-vaksin yang sudah adayaitu:
Vaksin Vi Polysaccharide
Vaksin ini diberikan pada anak denganusia di atas 2 tahun
dengan dinjeksikansecara subkutan atau intra-muskuler. Vaksinini
efektif selama 3 tahun dan direkomendasikanuntuk revaksinasi
setiap 3tahun.Vaksin ini memberikan efikasi perlindungansebesar
70-80%.
Vaksin Ty21a
Vaksin oral ini tersedia dalam sediaan salutenterik dan cair yang
diberikan padaanak usia 6 tahun ke atas. Vaksin diberikan3 dosis
21
yang masing-masing diselang2 hari.Antibiotik dihindari 7 hari
sebelumdan sesudah vaksinasi.Vaksin ini efektifselama 3 tahun
dan memberikan efi kasiperlindungan 67-82%.
Vaksin Vi-conjugate
Vaksin ini diberikan pada anak usia 2-5 tahun di Vietnam dan
memberikan efi kasiperlindungan 91,1% selama 27 bulan
setelahvaksinasi. Efi kasi vaksin ini menetapselama 46 bulan
dengan efi kasi perlindungansebesar 89%.
(Nelwan. 2012)
22
BAB III
Kalimat Kunci:
1. Seorang anak perempuan bernama elina berusia 8 tahun
2. keluhan demam malam tinggi
3. TD 90/60 suhu 37o
23
4. pemeriksaan rumpleled negative
5. dokter memberi obat paracetamol dan dexamethasone
6. pasien datang kedua kali dengan keluhan demam disertai mimisan
7. positif pada bakteri Salmonella thypi
8. Keadaan umum penderita nampak sakit ringan
9. Pasien mengonsumsi nasi dan air hangat saja, elina tidak pernah
mengonsumsi sayur-sayuran
10. elina senang jajan di sekolah
11. Berat badan awal 19 kg dan turun menjadi 16 kg
12. Pemeriksaan fisik tampak kurus , lidah pasien kotor
13. Keluarga dari ibu maupun dari ayah tidak ada yang memiliki riwayat
penyakit yang sama
Usia : 8 Tahun
Alamat :
Pekerjaan : pelajar
Jumlah Saudara : 2 orang
Anak ke :1
24
Pekerjaan : wiraswasta
Jumlah Saudara :3
Anak ke :2
Status Pernikahan : Menikah
Riwayat Penyakit :-
Riwayat Penyakit :-
Usia : 8 tahun
Alamat :
Pekerjaan : Pelajar
Jumlah Saudara : 2 orang
Anak ke :1
Riwayat Penyakit :
25
b. Riwayat Penyakit
a. Keluhan utama : demam pada malam hari
b. Riwayat perjalanan penyakit : Ibu pasien mengeluh anaknya
selalu mengalami demam yang tinggi pada malam hari, setelah
itu ibu dari pasien membawa anaknya ke puskesmas wua-wua
untuk melakukan pemeriksaan, tenaga kesehatan melakukan
pemeriksaan dan positive salmonella thypi.
c. Riwayat penyakit sekarang : Demam tifoid
d. Riwayat penyakit pernah diderita :-
e. Riwayat keluarga : tidak ada riwayat
f. Riwayat sosial ekonomi :
g. Pemeriksaan Fisik : Lidah yang kotor
h. Pemeriksaan Tanda Vital
Tekanan darah : 90/60
Suhu : 37oC
26
Kondisi tempat tinggal: pasien tinggal dirumah berukuran lebar 6 meter dan
panjang 10 meter. Terdapat 2 kamar, dapur ,ruang tamu dan wc jongkok.
Bagian belakang rumah pasien terdapat kandang ayam
3. Lingkungan social : sepupu pasien yang bertempat tinggal disebelah rumah
pasien pernah menderita atau di diagnostik demam tifoid
B. Diagnostik Keluarga
1. Keluhan : demam tinggi malam hari, mimisan,muntah
2. Diagnosis kerja : demam tifoid
3. Aspek resiko internal : -
4. Aspek resiko eksternal
a. Riwayat keluarga : tidak ada
Kondisi tempat tinggal :
pasien tinggal dirumah berukuran lebar 6 meter dan panjang 10
meter. Terdapat 2 kamar, dapur ,ruang tamu dan wc jongkok. Bagian
belakang rumah pasien terdapat kandang ayam
5. Lingkungan social: sepupu pasien yang bertempat tinggal disebelah rumah
pasien pernah menderita atau di diagnostik demam tifoid
6. Skala fungsional pasien adalah pasien mampu melakukan kegiatan seperti
sebelum sakit
27
C. Genogram
Keterangan :
: Laki-laki
: Perempuan
: Penderita Demam Tifoid
: Garis perkawinan
: Garis keturunan
: Tinggal serumah
D. Skor APGAR
28
Saya puas dengan cara
keluarga saya membahas dan
2.
membagi masalah dengan
saya
Saya puas dengan cara 2
keluarga saya menerima dan
mendukung keinginan saya
3.
untuk melakukan kegiatan
baru atau arah hidup yang
baru
Saya puas dengan cara
keluarga saya
mengekspresikan kasih
4.
sayangnya dan merespon
emosi saya seperti
kemarahan, perhatian dll
Saya puas dengan cara
keluarga saya dan saya
5.
membagi waktu bersama-
sama
Total 10
1. Adaptasi
a. Dinilai tingkat kepuasan anggota keluarga dalam menerima bantuan
yang diperlukan dari anggota keluarga lainnya.
b. Pada kasus poin adaptasi bernilai 2
2. Kemitraan
29
a. Tingkat kepuasan dalam mengambil keputusan terhadap suatu masalah
yang sedang dihadapi dengan anggota keluarga lainnya.
b. Pada kasus, poin kemitraan bernilai 2
3. Pertumbuhan
a. Tingkat kepuasan anggota keluarga terhadap kebebasan yang diberikan
pada tiap anggota keluarganya.
b. Pada kasus, poin pertumbuhan bernilai 2
4. Kasih sayang
a. Tingkat kepuasan anggota keluarga terhadap kasih sayang serta
interaksi emosional dalam keluarga.
b. Pada kasus, poin kasih sayang bernilai 2
5. Kebersamaan
a. Tingkat kepuasan terhadap kebersamaan dalam membagi waktu,
kekayaan dan ruang antarkeluarga.
b. Pada kasus, poin kasih sayang bernilai 2
Interpretasi :
7 – 10 : sehat
4–6 : kurang sehat
0–3 : tidak sehat
Pada kasus total nilai bernilai 10 (sehat).
30
bertujuan untuk menghilangkan atau mengurangi risiko, diagnosis dini,
pengobatan cepat, membatasi terjadinya komplikasi, termasuk dalam upaya
ini adalah penyakit iatrogenik dan penyesuaian maksimal terhadap kecacatan.
1. Pencegahan Primer
Pencegahan primer merupakan upaya untuk mempertahankan orang
yang sehat agar tetap sehat atau mencegah orang yang sehat menjadi
sakit.
Pencegahan primer dapat dilakukan dengan cara imunisasi dengan vaksin
yang dibuat dari strain Salmonella typhi yang dilemahkan. Di Indonesia
telah ada 3 jenis vaksin tifoid, yaitu :
a. Vaksin oral Ty 21 a Vivotif Berna. Vaksin ini tersedia dalam kapsul
yang diminum selang sehari dalam 1 minggu satu jam sebelum
makan. Vaksin ini kontraindikasi pada wanita hamil, ibu menyusui,
demam, sedang mengkonsumsi antibiotik . Lama proteksi 5 tahun.
b. Vaksin parenteral sel utuh : Typa Bio Farma. Dikenal 2 jenis vaksin
yakni, K vaccine (Acetone in activated) dan L vaccine (Heat in
activated-Phenol preserved). Dosis untuk dewasa 0,5 ml, anak 6 –
12 tahun 0,25 ml dan anak 1 – 5 tahun 0,1 ml yang diberikan 2 dosis
dengan interval 4 minggu. Efek samping adalah demam, nyeri
kepala, lesu, bengkak dan nyeri pada tempat suntikan. Kontraindikasi
demam,hamil dan riwayat demam pada pemberian pertama.
c. Vaksin polisakarida Typhim Vi Aventis Pasteur Merrieux. Vaksin
diberikan secara intramuscular dan booster setiap 3 tahun.
Kontraindikasi pada hipersensitif, hamil, menyusui, sedang demam
dan anak umur 2 tahun. Indikasi vaksinasi adalah bila hendak
mengunjungi daerah endemik, orang yang terpapar dengan penderita
karier tifoid dan petugas laboratorium/mikrobiologi kesehatan.
Mengkonsumsi makanan sehat agar meningkatkan daya tahan tubuh, memberikan
31
pendidikan kesehatan untuk menerapkan prilaku hidup bersih dan sehat dengan
cara
budaya cuci tangan yang benar dengan memakai sabun, peningkatan higiene
makanan
dan minuman berupa menggunakan cara-cara yang cermat dan bersih dalam
pengolahan dan penyajian makanan, sejak awal pengolahan, pendinginan sampai
penyajian untuk dimakan, dan perbaikan sanitasi lingkungan
2. Pencegahan sekunder
Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan cara
mendiagnosa penyakit secara dini dan mengadakan pengobatan yang
cepat dan tepat.
Diagnosis klinis penyakit ini sering tidak tepat, karena gejala kilinis
yang khas pada demam tifoid tidak ditemukan atau gejala yang sama
dapat juga ditemukan pada penyakit lain. Diagnosis klinis demam tifoid
sering kali terlewatkan karena pada penyakit dengan demam beberapa
hari tidak diperkirakan kemungkinan diagnosis demam tifoid.
32
pertama. Hasil ini menurun drastis setelah pemakaian obat antibiotika,
dimana hasil positip menjadi 40%. Meskipun demikian kultur sum-sum
tulang tetap memperlihatkan hasil yang tinggi yaitu 90% positip.
Pada minggu-minggu selanjutnya hasil kultur darah menurun, tetapi
kultur urin meningkat yaitu 85% dan
25% berturut-turut positip pada minggu ke-3 dan ke-4. Organisme dalam
tinja masih dapat ditemukan selama 3 bulan dari 90% penderita dan kira-
kira 3% penderita tetap mengeluarkan kuman Salmonella typhi dalam
tinjanya untuk jangka waktu yang lama.
c. Diagnosis serologi
33
Daya aglutinasi suspensi antigen dari strain salmonella setempat
lebih baik daripada suspensi antigen dari strain lain.
34
Sedangkan diet harus mengandung kalori dan protein yang
cukup. Sebaiknya rendah serat untuk mencegah
perdarahan dan perforasi. Diet untuk penderita tifoid biasanya
diklasifikasikan atas : diet cair, bubur lunak, tim dan nasi biasa.
35
6. Edukasi tentang asupan gizi yang bagi bagi pasien.
7. Edukasi tentang lingkungan sehat dan bersih untuk meningkatkan taraf
kesehatan.
H. Penanganan
Terapi farmakologis
Pasien penderita demam tifoid
36
Tabel . Terapi antibiotik penyakit demam tifoid kecuali untuk ibu dan ibu
menyus
37
terbagi ≥ 13 tahun : 3
gram/ hari dalam 3 dosis
terbagi
Tiamfenikol PO 5-6 hari 75 Efek samping hematologis
(Rampengan, 2013) mg/kgBB/hari pada penggunaan
tiamfenikol lebih jarang
daripada kloramfenikol
(alternatif 1)
Azitromisin (Rampengan, PO 6 hari 20 mg/kg/hari Azitromisin efektif dan
2013) aman diberikan pada
anak-anak dan dewasa
yang menderita demam
tifoid tanpa komplikasi
Ceftriaxone* IM/IV (3 menit) Infus (30 Salmonella typhi
(Grouzard, et al., 2016 menit) 10 – 14 hari dengan cepat
(tergantung tingkat berkembang resisten
keparahan) Dewasa : 2-4 terhadap kuinolon
gram sehari sekali Anak – (quinolone resistant).
anak: 75 mg/kg sehari Pada kasus ini gunakan
sekali ceftriaxone
Terapi Kortikosteroid
Dexamethasone
38
(halusinasi, perubahan kesadaran atau pendarahan usus). Hasil penelitian
menunjukan penurunan yang signifikan dalam mortalitas pada pasien demam tifoid
berat Penggunaan kortikosteroid seperti Dexamethasone yang tidak sesuai
dengan indikasi yang jelas dapat menyebabkan munculnya efek samping.
Pemberian Dexamethasone pada ibu hamil dapat beresiko kelahiran prematur,
meningkatkan aliran darah arteri uterina Penggunaan kortikosteroid memiliki
cakupan yang luas, akibatnya menyebabkan ketidaksesuaian dengan indikasi
maupun dosis serta lama pemberian.
39
Menjaga kebersihan (Upadhyay, et al., Tangan harus dicuci sebelum
2015 menangani makanan, selama persiapan
makan, dan setelah menggunakan
toilet.
40
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Bentuk kelarga pasien adalah keluarga kecil terdiri ayah, ibu, dan dua orang
anak
2. Diagnosis ditegakkan bedasarkan keluhan utama pasien, kemudian ditentukan
diagnosis pada pasien dalah demam tifoid
3. Skor APGAR keluarga adalah 10
4. Pencegahan penyakit pada keluarga dilakukan mulai dari tingkat primer hingga
sekunder
5. pasien memiliki 1 saudari dan tingal bersama ayah dan ibu. terdapat kerabat
sepupu yang menderitapenyakit yang sama sebelumnya dan dilakukan rawat
inap pada sepupu pasien
6. Basil Salmonella menular ke manusia melalui makanan dan minuman.Jadi
makanan atau minuman yang dikomsumsi manusia telah tercemar oleh
komponen feses atau urin dari pengidap tifoid.
B. saran
1. Diharapkan mahasiswa :
a. Dalam mengimplementasikan ilmunya di lapangan, diharapkan mahasiswa
lebih memperdalam pemahamannya mengenai masalah kesehatan keluarga.
b. Lebih bersungguh-sungguh dalam melaksanakan kunjungan kerumah
keluarga.
2. diharapkan puskesmas.
a. meningkatakan pemahamanan masyarakat pentingnya kebersihan lingkunan
rumah.
b. meningkatkan pemahaman kepada masyarakat tentang pentingnya
memperhatikan pola makan anak kepada orang tua.
41
3. Diharapkan Keluarga
a. memperhatikan kebersihan lingkungan sekitar rumah
b. tidak membuarkan rumah menjadi lembab dan tertutup cahaya matahari
c. mengdukasi anak tata cara menjaga kebersihan dan mengajarkan untuk
mencuci tangan sebelum makan.
d. banayak mengonsumsi sayur dan buah.
42
DAFTAR PUSTAKA
Sidabutar, Sondang dkk. 2010. Pilihan Terapi Empiris Demam Tifoid pada Anak:
Kloramfenikol atau Seftriakson.Jakarta: Departemen Ilmu Kesehatan
Anak, RS Dr Cipto Mangunkusumo, Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
Parama C, Yatnita. 2011. Bakteri Salmonella Typhi dan Demam Tifoid. Jakarta: Jurnal
Kesehatan Masyarakat, 6(1).
Cahyani D, Tutut dkk. 2018. Faktor – Faktor Yang Berhubungan Dengan Praktik Hidup
Bersih Dan Sehat Sebagai Upaya Pencegahan Demam TifoidPada Siswa
Di Sdn Genuksari 02 Semaran. Semarang :Bagian Pendidikan Kesehatan
dan Ilmu Perilaku, Fakultas KesehatanMasyarakat Universitas
Diponegoro.
Nelwan, RHH. 2012. Tata Laksana Terkini Demam Tifoid. Jakarta:Divisi Penyakit Tropik
dan Infeksi Departemen Ilmu Penyakit Dalam, FKUI/RSCM.
43
ldokumentas tempat tingal
44
halman samping rumanh
45
46
dalam rumah
47
48
49
50
51