Anda di halaman 1dari 54

BLOK KEDOKTERAN KOMUNITAS

MASALAH KESEHATAN DALAM KELUARGA

Tutor : dr. Andi Nurmawanti

Kelompok 2 :

Dewi Wulan Anugrah Sari K1A1 14 085


Luthfi Asyifa Harsa K1A1 16 026
Muhammad Akbar Syukur K1A1 16 027
Yelsi Beatrice Patandianan K1A1 16 028
Dana Augustina K1A1 16 084
Muhammad Zulfikarrahim K1A1 16 085
Widiyah Darmawan K1A1 16 088
Muhajir K1A1 16 089
Nur Azizah A. Difinubun K1A1 16 091
Qashri Ulya Janna Nadir K1A1 16 123

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
KENDARI
APRIL
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertandatangan di bawah ini, menyatakan bahwa :


Nama :Dewi Wulan Anugrah Sari
Luthfi Asyifa Harsa
Muhammad Akbar Syukur
Yelsi Beatrice Patandianan
Dana Augustina
Muhammad Zulfikarrahim
Widiyah Darmawan
Muhajir
Nur Azizah A. Difinubun
Qashri Ulya Janna Nadir
Judul Laporan :
Telah menyelesaikan tugas laporan dalam rangka tugas kepaniteraan klinik Bagian
Ilmu Kesehatan Masyarakat dan Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran
Universitas Halu Oleo.

Kendari, April 2019


Pembimbing

dr. Andi Nurmawanti


NIP. 19690730 200212 1 003

daftar isi

Lembar Pengesahan ..........................................................................ii

ii
BAB I ...................................................................................................1

Pendahuuan .......................................................................................1

A. Latar belakang .........................................................................3


B. Tujuan .......................................................................................3
C. Manfaat .....................................................................................3

BAB II ..................................................................................................5

Tinjauan Pustaka ................................................................................5

A. Definisi......................................................................................5
B. Epidemiologi ............................................................................5
C. Cara dan faktror-faktor yang berperan ..................................6
D. Patogenesis dan patologi .......................................................8
E. Tanda dan gejala klinis ...........................................................9
F. Langka-langka diagnosis ........................................................12
G. Penatalaksaan ..........................................................................18
H. penanganan .............................................................................21

BAB III .................................................................................................23

Analisis malash keluarga..................................................................23

Kalimat kunci ......................................................................................23

1. pengelolahan dan pelaporan penyakit ...................................25


a. identitas pasien ..................................................................25
b. riwayat penyakit .................................................................26
A. identifikasi factor interna dan eksterna ................................26
B. diagnosis keluarga .................................................................27
C. genogram ................................................................................28
D. skor APGAR ............................................................................28
E. pencegahan penularan penyakit ...........................................30
F. kegiatan promosi dan pencegahan penyakit .......................35
G. deteksi dini masalah kesehatan ............................................36
H. penanganan ............................................................................36

BAB IV ..........................................................................................41

A. kesimpulan ........................................................................41
B. saran ..................................................................................41

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Demam tifoid (selanjutnya disebut tifoid) merupakan penyakit infeksi akut
usus halus yang disebabkan oleh Salmonella typhi. Penyakit menular ini masih
merupakan masalah kesehatan masyarakat dengan jumlah kasus sebanyak
22 juta per tahun di dunia dan menyebabkan 216.000–600.000 kematian.
Di Indonesia, insidens demam tifoid banyak dijumpai pada populsi yang
berusia 3-19 tahun. Kejadian demam tifoid di Indonesia juga berkaitan dengan
rumah tangga, yaitu adanya anggota keluarga dengan riwayat terkena demam
tifoid, tidak ada sabun untuk mencuci tangan, menggunakan piring yang sama
untuk makan, dan tidak tersedianya tempat buang air besar dalam rumah.
Ditjen bina upaya kesehatan masyarakat departemen kesehatan RI tahun
2010, melaporkan demam tifoid menempati urutan ke-3 dari angka 10 pola
penyakit terbanyak pada pasien rawat inap di rumah sakit di Indonesia (41.081
kasus).
Di negara-negara maju seperti di Eropa, tidak ditemukan informasi yang
memadai tentang program pengendalian tifoid. Mengingat faktorrisiko kejadian
tifoid seperti akses air besih,higiene, dan sanitasi, serta kemiskinan bukan
merupakan masalah, maka pencegahan tifoid lebih difokuskan pada
pemberian vaksinasi pada wisatawan yang berkunjung ke negara-negara
endemis tifoid dengan melakukan vaksinasi. Negara lain seperti Fiji, program
pengendalian tifoid yang dikembangkan antara lain melakukan skrining tifoid
berbasis serologi, mengoptimalkan pasokan air di desa, penyimpanan dan
pengolahan air rumah tangga dan penyediaan sarana sanitasi yang
memenuhi syarat kesehatan, melakukan penyuluhan tentang pencegahan
tifoid, pelatihan tenaga kesehatan, dan vaksinasi tifoid.Di India,
dikembangkan kegiatan surveilans tifoid pada semua kelompok umur sebagai
bagian dari program integrasi surveilans. Di Thailand, kegiatan surveilans

1
dilakukan untuk semua kelompok umur terintegrasi dengan surveilans
penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi.
Berdasarkan Permenkes Nomor 1144/MENKES/PER/VIII/2010 tentang
Struktur Organisasi Kementerian Kesehatan, program pengendalian tifoid di
tingkat kementerian merupakan tanggung jawab Ditjen PP dan PL,
Kementerian Kesehatan RI, sedangkan pelaksana program adalah dinas
kesehatan provinsi, dinas kesehatan kabupaten/ kota, dan fasilitas pelayanan
kesehatan (fasyankes) seperti puskesmas dan rumah sakit di seluruh
Indonesia.
Tujuan pengendalian tifoid di Indonesia, yaitu: 1) Meningkatkan upaya
pencegahan tifoid terutama pada kelompok masyarakat berisiko tinggi 2)
Meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang tifoid serta 3)
Menurunkan angka kesakitan dan kematian.
Secara umum pengendalian tifoid didasari oleh 3 pilar: 1) Peran
pemerintah melalui pengembangan dan penguatan kegiatan pokok
pengendalian tifoid 2) Peran masyarakat sipil melalui pengembangan dan
penguatan jejaring kerja pengendalian tifoid dan 3) Peran masyarakat melalui
pengembangan dan penguatan kegiatan pencegahan dan penanggulangan
tifoid berbasis masyarakat.
Kegiatan pokok pengendalian tifoid, meliputi: 1) Melaksanakan review dan
memperkuat aspek legal pengendalian tifoid 2) Melaksanakan advokasi dan
sosialisasi termasuk Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) 3)
Melaksanakan kegiatan pencegahan karier, relaps dan resistensi tifoid; 4)
Melaksanakan kegiatan perlindungan khusus (vaksinasi tifoid) 5)
Melaksanakan deteksi dini karier tifoid 6) Melaksanakan pengamatan tifoid 7)
Memperkuat Sumber Daya Manusia (SDM) 8) Memperkuat pengelolaan
logistik pengendalian tifoid 9) Melaksanakan supervisi dan bimbingan teknis
10) Melaksanakan montoring dan evaluasi, dan 11) Melaksanakan kegiatan
pencatatan dan pelaporan.

2
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Melakukan pendekatan kedokteran keluarga terhadap pasien
faringitis dan keluarganya untuk mewujudkan keadaan sehat di
Kelurahan Bungkutoko, Kecamatan Abeli, Kota Kendari.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui karakteristik (fungsi keluarga, bentuk keluarga, dan
siklus keluarga) keluarga pasien faringitis
b. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya masalah
kesehatan pada pasien faringitis dan keluarganya.
c. Mendapatkan pemecahan masalah kesehatan pasien faringitis dan
keluarganya.
C. Manfaat
1. Bagi Penulis
Menambah pengetahuan penulis tentang kedokteran keluarga, serta
penatalaksanaan faringitis dengan pendekatan kedokteran keluarga.
2. Bagi Tenaga Kesehatan
Sebagai bahan masukan kepada tenaga kesehatan agar
memberikan pelayanan kesehatan terpadu dan penatalaksanaan
kepada pasien faringitis dilakukan secara holistik dan komprehensif
serta mempertimbangkan aspek keluarga dalam proses penyembuhan.
3. Bagi Pasien dan Keluarga
Memberikan informasi kepada pasien dan keluarganya bahwa
keluarga juga memiliki peranan yang cukup penting dalam kesembuhan
pasien.

Setiati,siti dkk. 2015. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi VI Jilid II. Semarang:
InternaPublishing.

3
Purba E, Ivan dkk. 2016. Program Pengendalian Demam Tifoid di Indonesia:
tantangan dan peluang. vol. 26 no.2. Universitas Sari Mutiara Indonesia.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi sistemik akut yang
mengenai system retikuloendotelial, kelenjar limfe saluran cerna, dan
kandung empedu.Disebabkan terutama oleh Salmonella enterica serovar
typhi (S.typhi) dan menular melalui jalur fekal-oral.(Sidabutar dkk. 2010).
Salmonella typhi (S. typhi) merupakan kuman pathogen penyebab
demam tifoid, yaitu suatu penyakit infeksi sistemik dengan gambaran
demam yang berlangsung lama, adanya bakteremia disertai inflamasi yang
dapat merusak usus dan organ-organ hati.(Yatnita. 2011).Salmonella
entericaserovar paratyphi A, B, dan C juga dapat menyebabkaninfeksi yang
disebut demamparatifoid.Demam tifoid dan paratifoid termasukke dalam
demam enterik.Pada daerahendemik, sekitar 90% dari demam enterik
adalahdemam tifoid (Nelwan. 2012).

B. Epidemiologi
Sejak awal abad ke 20, insidens demam tifoidmenurun di USA dan
Eropa dengan ketersediaanair bersih dan sistem pembuanganyang baik
yang sampai saat ini belum dimilikioleh sebagian besar negara
berkembang.Secara keseluruhan, demam tifoid diperkirakanmenyebabkan
21,6 juta kasus dengan216.500 kematian pada tahun 2000. Insiden demam
tifoid tinggi (>100 kasus per 100.000populasi per tahun) dicatat di Asia
Tengahdan Selatan, Asia Tenggara, dan kemungkinanAfrika Selatan; yang
tergolong sedang(10-100 kasus per 100.000 populasi per tahun)di Asia
lainnya, Afrika, Amerika Latin,dan Oceania (kecuali Australia dan
SelandiaBaru); serta yang termasuk rendah (<10 kasusper 100.000
populasi per tahun) di bagiandunia lainnya (Nelwan, 2012).

5
Demam tifoid endemis di negara berkembang khususnya
AsiaTenggara.Sebuah penelitian berbasis populasi yangmelibatkan 13
negara di berbagai benua, melaporkanbahwa selama tahun 2000 terdapat
21.650.974 kasusdemam tifoid dengan angka kematian 10%.
Insidensdemam tifoid pada anak tertinggi ditemukan padakelompok usia 5-
15 tahun. Indonesia merupakansalah satu negara dengan insidens demam
tifoid, padakelompok umur 5-15 tahun dilaporkan 180,3 per 100,000
penduduk (Sidabutar. 2010).
Di Indonesia, tifoid jarang dijumpai secara epidemis tapi bersifat
endemis dan banyak dijumpai di kota-kota besar. Tidak ada perbedaan
yang nyata insidens tifoid pada pria dengan wanita.Insiden tertinggi
didapatkan pada remaja dan dewasa muda.Simanjuntak (1990)
mengemukakan bahwa insiden tifoid di Indonesia masih sangat tinggi
berkisar 350-810 per 100.000 penduduk.Demikian juga dari telaah kasus
demam tifoid di rumah sakit besar di Indonesia, menunjukkan angka
kesakitan cenderung meningkat setiap tahun dengan rata-rata 500/100.000
penduduk. Angka kematian diperkirakan sekitar 0,6-5”6 sebagai akibat dari
keterlambatan mendapat pengobatan serta tingginya biaya
pengobatan.(Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2006).

C. Cara Penularan Dan Faktor-Faktor Yang Berperan

Basil Salmonella menular ke manusia melalui makanan dan


minuman.Jadi makanan atau minuman yang dikomsumsi manusia telah
tercemar oleh komponen feses atau urin dari pengidap tifoid. Beberapa
kondisi kehidupan manusia yang sangat berperan, pada penularan adalah :

 Higiene perorangan yang rendah, seperti budaya cuci tangan


yang tidak terbiasa. Hal ini jelas pada anak-anak, penyaji
makanan serta pengasuh anak.

6
 Higiene makanan dan minuman yang rendah Faktor ini paling
berperan pada penularan tifoid. Banyak sekali contoh untuk ini
diantaranya : makanan yang dicuci dengan air yang
terkontaminasi (seperti sayur-sayuran dan buah-buahan), sayuran
yang dipupuk dengan tinja manusia, makanan yang tercemar
dengan debu, sampah, dihinggapi lalat, air minum yang tidak
dimasak, dan sebagainya.

 Sanitasi lingkungan yang kumuh, dimana pengelolaan air limbah,


kotoran dan sampah yang tidak memenuhi syarat-syarat
kesehatan.

 Penyediaan air bersih untuk warga yang tidak memadai Jamban


keluarga yang tidak memenuhi syarat Pasien atau karier tifoid
yang tidak diobati secara sempurna.

 Belum membudaya program imunisasi untuk tifoid

(Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2006)

Demam tifoid erat kaitannyadengan hygiene pribadi dan


keadaanlingkungan, seperti lingkungan yangkumuh, sanitasi yang tidak
baik,kurangnya kebersihan makanan, dankebersihan tempat-tempat umum
yangkurang.(Hasil studi terakhir di AsiaTenggara menunjukkan
insidentertinggi terjadi pada anak-anak.Adanya faktor higienitas dimana
haltersebut erat kaitannya dengan PHBS,daya tahan tubuh dan
kontaminasisusu atau produk susu oleh carriermenyebabakan anak-anak
lebihbanyak terinfeksi bakteri Salmonellatyphi. Anak sekolah
merupakankelompok yang rentan terhadappenularan bakteri dan virus
yangdisebarkan melalui makanan atau dikenal dengan food borne
diseases.Food borne disease adalah suatupenyakit karena adanya agen
yangmasuk ke dalam tubuh manusiamelalui proses pencernaan
makanan.(Cahyani, Dwi Adi T dkk. 2018).

7
Hasil Riset Kesehatan Dasar(Riskesdas) tahun 2007
menunjukkanTyphoid pada kelompok anak usiasekolah menempati
prevalensitertinggi dibandingkan semuakelompok usia yang ada,
yaitusebesar 1,9%.

D. Patogenesis dan Patologi


Demam tifoid disebabkan oleh kuman Salmonella typhi atau
Salmonella para typhi.Penularan ke manusia melalui makanan dan atau
minuman yang tercemar dengan feses manusia. Setelah melewati lambung
kuman mencapai usus halus dan invasi ke jaringan limfoid (plak peyer) yang
merupakan tempat predileksi untuk berkembang biak. Melalui saluran limfe
mesenterik kuman masuk aliran darah sistemik (bakterimia I) dan mencapai
sel-sel retikulo endotelial dari hati dan limpa.Fase ini dianggap masa
inkubasi (7-14 hari).Kemudian dari jaringan ini kuman dilepas ke sirkulasi
sistemik (bakteremia II) melalui duktus torasikus dan mencapai organ-organ
tubuh terutama limpa, usus halus dan kandung empedu.
Kuman Salmonella menghasilkan endotoksin yang merupakan
kompleks lipopolisakarida dan dianggap berperan penting pada patogenesis
demam tifoid. Endotoksin bersifat pirogenik serta memperbesar reaksi
peradangan dimana kuman Salmonella berkembang biak. Di samping itu
merupakan stimulator yang kuat untuk memproduksi sitokin oleh sel-sel
makrofag dan sel lekosit di jaringan yang meradang.Sitokin ini merupakan
mediator-mediator untuk timbulnya demam dan gejala toksemia
(proinflamatory).Oleh karena basil salmonella bersifat intraseluler maka
hampir semua bagian tubuh dapat terserang dan kadang-kadang pada
jaringan yang terinvasi dapat timbul fokal-fokal infeksi.
Kelainan patologis yang utama terdapat di usus halus terutama
diileum bagian distal dimana terdapat kelenjar plak peyer.Pada minggu
pertama, pada plak peyer terjadi hiperpelasia berlanjut menjadi nekrosis
pada minggu ke 2 dan ulserasi pada minggu ke 3, akhirnya terbentuk

8
ulkus.Ulkus ini mudah menimbulkan perdarahan dan perforasi yang
merupakan komplikasi yang berbahaya.Hati membesar karena infiltrasi sel-
sel limfosit dan sel mononuklear lainnya serta nekrosis fokal. Demikian juga
proses ini terjadi pada jaringan retikuloendotelial lain seperti limpa dan
kelenjar mesentrika. Kelainan-kelainan patologis yang sama juga dapat
ditemukan pada organ tubuh lain seperti tulang, usus, paru, ginjal, jantung
dan selaput otak. Pada pemeriksaan klinis, sering ditemukan proses radang
dan abses-abses pada banyak organ, sehingga dapat ditemukan bronkhitis,
arthritis septik, pielonefritis, meningitis, dll. Kandung empedu merupakan
tempat yang disenangi basil Salmonella.Bila penyembuhan tidak sempurna,
basil tetap tahan di kandung empedu ini, mengalir ke dalam usus, sehingga
menjadi karier intestinal. (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2006).
Bakteremia dapat menetap selama beberapaminggu bila tidak diobati
dengan antibiotik.Pada tahapan ini, bakteri tersebar luas di hati,limpa,
sumsum tulang, kandung empedu,dan Peyer’s patches di mukosa ileum
terminal.Ulserasi pada Peyer’s patches dapat terjadimelalui proses infl
amasi yang meng-akibatkannekrosis dan iskemia.Komplikasi
perdarahandan perforasi usus dapat menyusul ulserasi.Kekambuhan dapat
terjadi bila kuman masihmenetap dalam organ-organ sistem
retikuloendotelialdan berkesempatan untuk
berproliferasikembali.Menetapnya Salmonelladalam tubuh manusia
diistilahkan sebagaipembawa kuman atau carrier.(Cahyani, Dwi Adi T dkk.
2018).

E. Tanda dan Gejala Klinis

Gambaran klinis tifoid sangat bervariasi, dari gejala yang ringan


sekali ( sehingga tidak terdiagnosis ), dan dengan gejala yang khas
(sindrom demam tifoid) sampai dengan gejala klinis berat yang disertai
komplikasi. Gambaran klinis juga bervariasi berdasarkan daerah atau
negara, serta menurut waktu. Gambaran klinis di negara berkembang dapat

9
berbeda dengan negara maju dan gambaran klinis tahun 2000 dapat
berbeda dengan tahun enam puluhan pada daerah yang sama. Demam
Tifoid pada anak balita jarang, tapi cukup sering semakin mendekati
pubertasGambaran klinis pada anak cenderung tak khas.Makin kecil anak,
gambaran klinis makin tak khas.Kebanyakan perjalanan penyakit
berlangsung dalam waktu pendek dan jarang menetap lebih dari 2 minggu.

Kumpulan gejala-gejala klinis tifoid disebut dengan sindrom demam


tifoid. Beberapa gejala klinis yang sering pada tifoid diantaranya adalah :

a. Demam

Demam atau panas adalah gejala utama Tifoid. Pada awal sakit,
demamnya kebanyakan samar- samar saja, selanjutnya suhu
tubuh sering turun naik. Pagi lebih rendah atau normal, sore dan
malam lebih tinggi (demam intermitten). Dari hari ke hari
intensitas demam makin tinggi yang disertai banyak gejala lain
seperti sakit kepala (pusing-pusing) yang sering dirasakan diarea
frontal, nyeri otot, pegal-pegal, insomnia, anoreksia, mual dan
muntah. Pada minggu ke 2 intensitas demam makin tinggi,
kadang-kadang terus menerus (demam kontinyu).Bila pasien
membaik maka pada minggu ke 3 suhu badan berangsur turun
dan dapat normal kembali pada akhir minggu ke 3.Perlu
diperhatikan terhadap laporan, bahwa demam yang khas tifoid
tersebut tidak selalu ada.Tipe demam menjadi tidak beraturan.Hal
ini mungkin karena intervensi pengobatan atau komplikasi yang
dapat terjadi lebih awal.Pada anak khususnya balita, demam
tinggi dapat menimbulkan kejang.

b. Gangguan Saluran Pencernaan

Sering ditemukan bau mulut yang tidak sedap karena demam


yang lama.Bibir kering dan kadang- kadang pecah-pecah.Lidah

10
kelihatan kotor dan ditutupi selaput putih.Ujung dan tepi lidah
kemerahan dan tremor (coated tongue atau selaput putih), dan
pada penderita anak jarang ditemukan.Pada umumnya penderita
sering mengeluh nyeri perut, terutama regio epigastrik (nyeri ulu
hati), disertai nausea, mual dan muntah.Pada awal sakit sering
meteorismus dan kontipasi.Pada minggu selanjutnya kadang-
kadang timbul diare.

c. Gangguan Kesadaraan

Umumnya terdapat gangguan kesadaran yang kebanyakan


berupa penurunan kesadaran ringan.Sering didapatkan
kesadaran apatis dengan kesadaran seperti berkabut (tifoid).Bila
klinis berat, tak jarang penderita sampai somnolen dan koma atau
dengan gejala-gejala psychosis (Organic Brain Syndrome).Pada
penderita dengan toksik, gejala delirium lebih menonjol.

d. Hepatosplenomegali

Hati dan atau limpa, ditemukan sering membesar.Hati terasa


kenyal dan nyeri tekan.

e. Bradikardia relatif dan gejala lain

Bradikardi relatif tidak sering ditemukan, mungkin karena teknis


pemeriksaan yang sulit dilakukan.Bradikardi relatif adalah
peningkatan suhu tubuh yang tidak diikuti oleh peningkatan
frekuensi nadi.Patokan yang sering dipakai adalah bahwa setiap
peningkatan suhu 1'C tidak diikuti peningkatan frekuensi nadi 8
denyut dalam 1 menit. Gejala-gejala lain yang dapat ditemukan
pada demam tifoid adalah rose spot yang biasanya ditemukan
diregio abdomen atas, serta sudamina, serta gejala- gejala klinis
yang berhubungan dengan komplikasi yang terjadi. Rose spot

11
pada anak sangat jarang ditemukan malahan lebih sering
epitaksis.

(Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2006)

F. Langkah-Langkah Diagnosis

1. Diagnosis klinis

Diagnosis klinis adalah kegiatan anamnesis dan pemeriksaan


fisik untuk mendapatkan sindrom klinis demam tifoid.Diantara gejala
klinis yang sering ditemukan pada tifoid, adalah :Demam, Insomnia,
Sakit Kepala, Hepatomegali, Kelemahan, Splenomegali, Nausea,
Penurunan Kesadaran, Nyeri abdomen, Bradikardi, relatif Anoreksia,
Kesadaran berkabut, Muntah, Feses berdarah, Gangguan gastro
intestinal

Sesuai dengan kemampuan mendiagnosis dan tingkat


perjalanan tifoid saat diperiksa, maka diagnosis klinis tifoid
diklasifikasikan atas 2 :

a. Suspek demam tifoid (Suspect Case)

Dengan anamnesis, pemeriksaan fisik didapatkan


gejala demam, gangguan saluran cerna dan petanda
gangguan kesadaran.Jadi sindrom tifoid didapatkan
belum lengkap.Diagnosis suspek tifoid hanya dibuat
pada pelayanan kesehatan dasar.

b. Demam tifoid klinis (Probable Case)

Telah didapatkan gejala klinis yang lengkap atau


hampir lengkap, serta didukung oleh gambaran
laboratorium yang menunjukkan tifoid.

12
2. Gambaran Laboratorium Tifoid
a. Gambaran Darah Tepi
Pada pemeriksaan hitung lekosit total terdapat
gambaran leukopeni (+- 3000-8000 /mm3), limfositosis
relatif, monositosis, an eosinofilia dan trombositopenia
ringan. Terjadinya leukopenia akibat depresi sumsum tulang
oleh endotoksin dan mediator endogen yang
ada.Diperkirakan kejadian leukopenia 25”6, Namun banyak
laporan bahwa dewasa ini hitung leukosit kebanyakan
dalam batas normal atau leukositosis ringan.Kejadian
trombositopenia sehubungan dengan produksi yang
menurun dan destruksi yang meningkat oleh sel-sel RES.
Sedangkan anemia juga disebabkan produksi hemoglobin
yang menurun serta kejadian perdarahan intestinal yang tak
nyata (occult bleeding).Perlu di waspadai bila terjadi
penurunan hemoglobin secara akut pada minggu ke 3-4,
yang bisanya disebabkan oleh perdarahan hebat dalam
abdomen.
b. Pemeriksaan Bakteriologis
Jenis pembiakan menurut spesimen
 Biakkan darah :
Lima sampai 10 ml darah penderita diambil secara
aseptik lalu dipindahkan kedalam botol biakkan darah
yang berisi 50-100 ml kaldu empedu (perbandingan
1:9) sesudah dieramkan selama 24- 48 jam pada 37” C,
lalu dipindahkan biakkan pada agar darah dan agar
Mac Conkey. Kuman tersebut tumbuh tanpa meragikan
laktosa , gram negatif, dan menunjukkan gerak
positif.Biakkan bekuan darah : Bekuan darah dibiakkan

13
pada botol berisi 15 ml kaldu empedu (mengandung
0,596 garam - garam empedu). Biakkan ini lebih sering
memberikan hasil positif.
 Biakan Tinja :
Positif selama masa sakit.Diperlukan biakkan berulang
untuk mendapatkan hasil postif.Biakkan tinja lebih
berguna pada penderita yang sedang diobati dengan
kloramfenikol, terutama untuk mendeteksi karier.
 Biakkan Cairan Empedu :
Penting untuk mendeteksi adanya karier (pembawa
kuman) dan pada stadium lanjut penyakit. Empedu
diisap melalui tabung duodenum dan diolah dengan
cara seperti tinja.
 Biakkan Air Kemih :
Kurang berguna dibandingkan dengan biakkan darah
dan tinja.Biakkan air kemih positif pada minggu sakit ke
2 dan 3.Air kemih yang diambil secara steril diputar dan
endapannya dibiakkan pada perbenihan diperkaya dan
selektif.

Biakan Salmonella typhi

Spesimen untuk biakan dapat diambil dari darah,


sumsum tulang, feses, urin.Spesimen darah diambil pada
minggu | sakit saat demam tinggi.Spesimen feses dan urin
pada minggu ke II dan minggu-minggu
selanjutnya.Pembiakan memerlukan waktu kurang lebih 5-
7 hari.Bila laporan hasil biakan.“Basil salmonella tumbuh”
maka penderita sudah pasti mengidap demam
tifoid.Spesimen ditanam dalam biakan empedu (gaal

14
Culture, biakan SS). Sensitifitas test ini rendah yang dapat
disebabkan oleh beberapa hal:

 Pasien telah dapat antibiotika sebelumnya

 Waktu pengambilan spesimen tak tepat

 Volume darah yang diambil kurang

 Darah menggumpal

Spesimen darah dari sumsum tulang mempunyai


sensitifitas yang lebih tinggi.Biakan untuk spesimen feses
dan urin dimulai pada minggu ke 2 demam yang
dilaksanakan setiap minggu.Bila pada minggu ke 4 biakan
feses masih positif maka pasien sudah tergolong karier.

Serologis Widal

Test serologi widal adalah reaksi antara antigen


(suspensi Salmonella yang telah dimatikan) dengan
aglutinin yang merupakan antibodi spesifik terhadap
komponen basil Salmonella didalam darah manusia (saat
sakit, karier atau pasca vaksinasi). Prinsip test adalah
terjadinya reaksi aglutinasi antara antigen dan aglutinin
yang dideteksi yakni aglutinin O dan H.

Aglutinin O mulai dibentuk pada akhir minggu pertama


demam sampai puncaknya pada minggu ke 3 sampai ke
5.Aglutinin ini dapat bertahan sampai lama 6-12
bulan.Aglutinin H mencapai puncak lebih lambat minggu ke
4-6 dan menetap dalam waktu lebih lama, sampai 2 tahun
kemudian.

Interpretasi Reaksi Widal :

15
 Belum ada kesepakatan tentang nilai titer patokan.
Tidak sama masing-masing daerah tergantung
endemisitas daerah masing-masing dan tergantung
hasil penelitiannya.

 Batas titer yang dijadikan diagnosis, hanya


berdasarkan kesepakatan atau perjanjian pada satu
daerah, dan berlaku untuk daerah tersebut.
Kebanyakan pendapat bahwa titer O 1/320 sudah
menyokong kuat diagnosis demam tifoid.

 Reaksi widal negatif tidak menyingkirkan diagnosis


tifoid.

 Diagnosis demam tifoid dianggap diagnosis pasti


adalah bila didapatkan kenaikan titer 4 kali lipat pada
pemeriksaan ulang dengan interval 5-7 hari. Perlu
diingat bahwa banyak faktor yangmempengaruhi
reaksi widal sehingga mendatangkan hasil yang keliru
baik negatif palsu atau positif palsu. Hasil test negatif
palsu seperti pada keadaan pembentukan anti bodi
yang rendahyang dapat ditemukan pada keadaan-
keadaan gizi jelek, konsumsi obat-obat imunosupresif,
penyakit agammaglobulinemia, leukemia, karsinoma
lanjut, dll. Hasil test positif palsu dapat dijumpai pada
keadaan pasca vaksinasi, mengalami infeksi subklinis
beberapa waktu yang lalu, aglutinasi silang, dll.

3. Diagnosis Komplikasi

Diagnosis untuk komplikasi tifoid adalah secara klinis, dibantu


oleh pemeriksaan penunjang sepertilaboratorium dan radiologi.

16
Monitor selama perawatan harus terlaksana dengan baik, agar
komplikasi dapat terdeteksi secara dini.

 Tifoid toksik adalah diagnosis klinis. Penderita dengan


sindrom demam tifoid dengan panas tinggi yang disertai
dengan kekacauan mental hebat, kesadaran menurun, mulai
dari delirium sampai koma.

 Syok septik Penderita dengan sindrom tifoid , panas tinggi


serta gejala-gejala toksemia yang berat. Didapatkangejala
gangguan hemodinamik seperti tensi turun, nadi halus dan
cepat, keringatan dan akral yang dingin.

 Perdarahan Dan Perforasi Komplikasi perdarahan di tandai


dengan hematoshezia. Tapi dapat juga diketahui dengan
pemeriksaan laboratorium terhadap feses (occult blood test).
Komplikasi perforasi ini ditandai dengan gejala-gejala akut
abdomen dan peritonitis. Didapatkan gas bebas dalam rongga
perut yang dibantu dengan pemeriksaan klinis bedah dan foto
polos abdomen 3 posisi.

 Hepatitis tifosa adalah diagnosis klinis, dimana didapatkan


kelainan yakni ikterus, hepatomegali dan kelainan test fungsi
hati.

 Pankreatitis tifosa adalah diagnosis klinis dimana didapatkan


petanda pankreatitis akut dengan peningkatan enzim lipase
dan amilase. Dapat dibantu dengan USG atau CT. Scan.

 Pneumonia dimana didapatkan petanda pneumonia.


Diagnosis dapat dibantu dengan foto polos toraks.

(Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2006)

17
G. Penatalaksanaan

18
19
(Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2006)

Terapi pada demam tifoid adalah untuk mencapai keadaan bebas demam
dan gejala, mencegah komplikasi, dan menghindari kematian.Yang juga tidak
kalah penting adalah eradikasi total bakeri untuk mencegah kekambuhan dan
keadaan carrier.Pemilihan antibiotik tergantung pada pola sensitivitas isolat
Salmonella typhi setempat.Munculnya galur Salmonella typhi yang resisten
terhadap banyak antibiotik (kelompok MDR) dapat mengurangi pilihan antibiotik
yang akandiberikan. Terdapat 2 kategori resistensi antibiotic yaitu resisten
terhadap antibiotik kelompok chloramphenicol, ampicillin, dan
trimethoprimsulfamethoxazole (kelompok MDR) dan resisten terhadap antibiotik fl
uoroquinolone.11 Nalidixicacid resistant Salmonella typhi (NARST) merupakan
petanda berkurangnya sensitivitas terhadap fl uoroquinolone. Terapi antibiotik
yang diberikan untuk demam tifoid tanpa komplikasi berdasarkan WHO tahun 2003
dapat dilihat pada tabel 1.11

20
(Nelwan. 2012)

H. Pencegahan
Strategi pencegahan yang dipakai adalah untukselalu menyediakan
makanan dan minumanyang tidak terkontaminasi, higiene
peroranganterutama menyangkut kebersihantangan dan lingkungan,
sanitasi yang baik,dan tersedianya air bersih sehari-
hari.Strategipencegahan ini menjadi penting seiring denganmunculnya
kasus resistensi.Selain strategi di atas, dikembangkan pulavaksinasi
terutama untuk para pendatangdari negara maju ke daerah yang endemic
demam tifoid.Vaksin-vaksin yang sudah adayaitu:
 Vaksin Vi Polysaccharide
Vaksin ini diberikan pada anak denganusia di atas 2 tahun
dengan dinjeksikansecara subkutan atau intra-muskuler. Vaksinini
efektif selama 3 tahun dan direkomendasikanuntuk revaksinasi
setiap 3tahun.Vaksin ini memberikan efikasi perlindungansebesar
70-80%.
 Vaksin Ty21a
Vaksin oral ini tersedia dalam sediaan salutenterik dan cair yang
diberikan padaanak usia 6 tahun ke atas. Vaksin diberikan3 dosis

21
yang masing-masing diselang2 hari.Antibiotik dihindari 7 hari
sebelumdan sesudah vaksinasi.Vaksin ini efektifselama 3 tahun
dan memberikan efi kasiperlindungan 67-82%.
 Vaksin Vi-conjugate
Vaksin ini diberikan pada anak usia 2-5 tahun di Vietnam dan
memberikan efi kasiperlindungan 91,1% selama 27 bulan
setelahvaksinasi. Efi kasi vaksin ini menetapselama 46 bulan
dengan efi kasi perlindungansebesar 89%.

(Nelwan. 2012)

22
BAB III

ANALISIS MASALAH KELUARGA

Seorang anak perempuan bernama elina berusia 8 tahun datang ke


Puskesmas wua-wua. dengan keluhan demam malam tinggi , keadaan umum
bagus, TD 90/60 suhu 37o, pemeriksaan rumpleled negativ, dokter memberi obat
paracetamol dan dexamethasone. Tiga hari kemudia pasien datang kembali
melakukan pemeriksaan di puskesmas wua-wua dengan keluhan demam disertai
mimisan, dilakukan pemeriksaan darah dan ditemukan hasil positif pada bakteri
Salmonella thypi Keadaan umum penderita nampak sakit ringan, masih dapat
melakukan aktivitasnya seperti biasa.
Sehari-hari elina di rumah mengonsumsi nasi dan air hangat saja, elina tidak
pernah mengonsumsi sayur-sayuran. Sekarang elina duduk di kelas 3 SD
Berdasarkan informasi dari ibu elina, elina senang jajan di sekolah , Berat badan
awal 19 kg dan turun menjadi 16 kg. Pemeriksaan fisik tampak kurus , lidah pasien
kotor. Pasien tinggal dirumah bersama kedua orang tuanya dan seorang adik.
Pekerjaan ayah pasien adalah wiraswasta dan ibu pasien bekerja sebagai ibu
rumah tangga. Dari hasil anamnesis ibu kandung elina, Keluarga dari ibu maupun
dari ayah tidak ada yang memiliki riwayat penyakit yang sama dan tidak memiliki
riwayat penyakit lainnya.
Hasil dari home visit yang kami lakukan, pasien tinggal dirumah dengan
ukuran lebar 6 meter dan panjang 10 meter. Terdapat 2 kamar tidur, ruang dapur
,ruang tamu dan 1 wc jongkok. Bagian belakang rumah pasien terdapat kandang
ayam yang bilamana terjadi hujan akan mengakibatkan air beserta kotoran dari
kandang ayam masuk kedalam rumah.

Kalimat Kunci:
1. Seorang anak perempuan bernama elina berusia 8 tahun
2. keluhan demam malam tinggi
3. TD 90/60 suhu 37o

23
4. pemeriksaan rumpleled negative
5. dokter memberi obat paracetamol dan dexamethasone
6. pasien datang kedua kali dengan keluhan demam disertai mimisan
7. positif pada bakteri Salmonella thypi
8. Keadaan umum penderita nampak sakit ringan
9. Pasien mengonsumsi nasi dan air hangat saja, elina tidak pernah
mengonsumsi sayur-sayuran
10. elina senang jajan di sekolah
11. Berat badan awal 19 kg dan turun menjadi 16 kg
12. Pemeriksaan fisik tampak kurus , lidah pasien kotor
13. Keluarga dari ibu maupun dari ayah tidak ada yang memiliki riwayat
penyakit yang sama

Indentifikasi Masalah Individu dan Keluarga


Data Keluarga
Identitas Pasien

Nama Pasien : Elina

Jenis Kelamin : Perempuan

Usia : 8 Tahun

Alamat :
Pekerjaan : pelajar
Jumlah Saudara : 2 orang
Anak ke :1

Identitas Orang Tua

Nama Ayah : Edisran


Usia : 41
Alamat : Jl. anawai

24
Pekerjaan : wiraswasta
Jumlah Saudara :3
Anak ke :2
Status Pernikahan : Menikah

Riwayat Penyakit :-

Nama Ibu : Lintar


Usia : 39
Alamat : Jl. anawai
Pekerjaan : IRT
Jumlah Saudara :4
Anak ke :3
Status Pernikahan : Menikah

Riwayat Penyakit :-

1. Pencatatan dan Pelaporan Penyakit


a. Identitas Pasien
Nama Pasien : Elina

Jenis Kelamin : Perempuan

Usia : 8 tahun

Alamat :
Pekerjaan : Pelajar
Jumlah Saudara : 2 orang
Anak ke :1
Riwayat Penyakit :

25
b. Riwayat Penyakit
a. Keluhan utama : demam pada malam hari
b. Riwayat perjalanan penyakit : Ibu pasien mengeluh anaknya
selalu mengalami demam yang tinggi pada malam hari, setelah
itu ibu dari pasien membawa anaknya ke puskesmas wua-wua
untuk melakukan pemeriksaan, tenaga kesehatan melakukan
pemeriksaan dan positive salmonella thypi.
c. Riwayat penyakit sekarang : Demam tifoid
d. Riwayat penyakit pernah diderita :-
e. Riwayat keluarga : tidak ada riwayat
f. Riwayat sosial ekonomi :
g. Pemeriksaan Fisik : Lidah yang kotor
h. Pemeriksaan Tanda Vital
Tekanan darah : 90/60

Suhu : 37oC

Pernapasan : 16x / menit

Nadi : 75x / menit

i. Pemeriksaan Penunjang : Tidak ada


j. Riwayat kesehatan setiap anggota keluarga
Tidak ada riwayat keluarga
k. Struktur dan fungsi keluarga

Struktur keluarga terdiri dari ayah, ibu, saudara berjumlah 2


orang

A. Identifikasi Faktor Internal dan Eksternal Terkait Masalah


Individu/Keluarga
1. Riwayat Imunisasi: lengkap
2. Riwayat keluarga: tidak ada keluarga yang menderita

26
Kondisi tempat tinggal: pasien tinggal dirumah berukuran lebar 6 meter dan
panjang 10 meter. Terdapat 2 kamar, dapur ,ruang tamu dan wc jongkok.
Bagian belakang rumah pasien terdapat kandang ayam
3. Lingkungan social : sepupu pasien yang bertempat tinggal disebelah rumah
pasien pernah menderita atau di diagnostik demam tifoid

B. Diagnostik Keluarga
1. Keluhan : demam tinggi malam hari, mimisan,muntah
2. Diagnosis kerja : demam tifoid
3. Aspek resiko internal : -
4. Aspek resiko eksternal
a. Riwayat keluarga : tidak ada
Kondisi tempat tinggal :
pasien tinggal dirumah berukuran lebar 6 meter dan panjang 10
meter. Terdapat 2 kamar, dapur ,ruang tamu dan wc jongkok. Bagian
belakang rumah pasien terdapat kandang ayam
5. Lingkungan social: sepupu pasien yang bertempat tinggal disebelah rumah
pasien pernah menderita atau di diagnostik demam tifoid
6. Skala fungsional pasien adalah pasien mampu melakukan kegiatan seperti
sebelum sakit

27
C. Genogram

Keterangan :
: Laki-laki
: Perempuan
: Penderita Demam Tifoid
: Garis perkawinan
: Garis keturunan
: Tinggal serumah

D. Skor APGAR

Indikator untuk mengukur sehat atau tidak sehatnya suatu keluarga


diukur dengan menggunakan APGAR KELUARGA. Penilaian ini dilakukan
pada semua anggota keluarga dan diambil rata-ratanya.

Tabel 4. Tabel APGAR Score

Sering/ Kadang- Jarang


No Pertanyaan Skor
selalu kadang / tidak
Saya puas kembali ke
1 keluarga saya bila saya
menghadapi masalah

28
Saya puas dengan cara
keluarga saya membahas dan
2.
membagi masalah dengan
saya
Saya puas dengan cara 2
keluarga saya menerima dan
mendukung keinginan saya
3.
untuk melakukan kegiatan
baru atau arah hidup yang
baru
Saya puas dengan cara
keluarga saya
mengekspresikan kasih
4.
sayangnya dan merespon
emosi saya seperti
kemarahan, perhatian dll
Saya puas dengan cara
keluarga saya dan saya
5.
membagi waktu bersama-
sama

Total 10

Apgar keluarga menilai 5 fungsi pokok keluarga yaitu :

1. Adaptasi
a. Dinilai tingkat kepuasan anggota keluarga dalam menerima bantuan
yang diperlukan dari anggota keluarga lainnya.
b. Pada kasus poin adaptasi bernilai 2
2. Kemitraan

29
a. Tingkat kepuasan dalam mengambil keputusan terhadap suatu masalah
yang sedang dihadapi dengan anggota keluarga lainnya.
b. Pada kasus, poin kemitraan bernilai 2
3. Pertumbuhan
a. Tingkat kepuasan anggota keluarga terhadap kebebasan yang diberikan
pada tiap anggota keluarganya.
b. Pada kasus, poin pertumbuhan bernilai 2
4. Kasih sayang
a. Tingkat kepuasan anggota keluarga terhadap kasih sayang serta
interaksi emosional dalam keluarga.
b. Pada kasus, poin kasih sayang bernilai 2
5. Kebersamaan
a. Tingkat kepuasan terhadap kebersamaan dalam membagi waktu,
kekayaan dan ruang antarkeluarga.
b. Pada kasus, poin kasih sayang bernilai 2
Interpretasi :
7 – 10 : sehat
4–6 : kurang sehat
0–3 : tidak sehat
Pada kasus total nilai bernilai 10 (sehat).

E. Pencegahan penularan penyakit pada keluarga


Pencegahan penyakit adalah tindakan yang di tujukan untuk mencegah,
menunda, mengurangi, membasmi, mengeliminasi penyakit dan kecacatan
dengan menerapkan sebuah atau sejumlah intervensi yang telah dibuktikan
efektif.

Pencegahan dapat didefinisikan sebagai upaya peningkatan dan


pemeliharaan kesehatan atau menhindari berjangkitnya penyakit yang

30
bertujuan untuk menghilangkan atau mengurangi risiko, diagnosis dini,
pengobatan cepat, membatasi terjadinya komplikasi, termasuk dalam upaya
ini adalah penyakit iatrogenik dan penyesuaian maksimal terhadap kecacatan.

1. Pencegahan Primer
Pencegahan primer merupakan upaya untuk mempertahankan orang
yang sehat agar tetap sehat atau mencegah orang yang sehat menjadi
sakit.
Pencegahan primer dapat dilakukan dengan cara imunisasi dengan vaksin
yang dibuat dari strain Salmonella typhi yang dilemahkan. Di Indonesia
telah ada 3 jenis vaksin tifoid, yaitu :
a. Vaksin oral Ty 21 a Vivotif Berna. Vaksin ini tersedia dalam kapsul
yang diminum selang sehari dalam 1 minggu satu jam sebelum
makan. Vaksin ini kontraindikasi pada wanita hamil, ibu menyusui,
demam, sedang mengkonsumsi antibiotik . Lama proteksi 5 tahun.
b. Vaksin parenteral sel utuh : Typa Bio Farma. Dikenal 2 jenis vaksin
yakni, K vaccine (Acetone in activated) dan L vaccine (Heat in
activated-Phenol preserved). Dosis untuk dewasa 0,5 ml, anak 6 –
12 tahun 0,25 ml dan anak 1 – 5 tahun 0,1 ml yang diberikan 2 dosis
dengan interval 4 minggu. Efek samping adalah demam, nyeri
kepala, lesu, bengkak dan nyeri pada tempat suntikan. Kontraindikasi
demam,hamil dan riwayat demam pada pemberian pertama.
c. Vaksin polisakarida Typhim Vi Aventis Pasteur Merrieux. Vaksin
diberikan secara intramuscular dan booster setiap 3 tahun.
Kontraindikasi pada hipersensitif, hamil, menyusui, sedang demam
dan anak umur 2 tahun. Indikasi vaksinasi adalah bila hendak
mengunjungi daerah endemik, orang yang terpapar dengan penderita
karier tifoid dan petugas laboratorium/mikrobiologi kesehatan.
Mengkonsumsi makanan sehat agar meningkatkan daya tahan tubuh, memberikan

31
pendidikan kesehatan untuk menerapkan prilaku hidup bersih dan sehat dengan
cara
budaya cuci tangan yang benar dengan memakai sabun, peningkatan higiene
makanan
dan minuman berupa menggunakan cara-cara yang cermat dan bersih dalam
pengolahan dan penyajian makanan, sejak awal pengolahan, pendinginan sampai
penyajian untuk dimakan, dan perbaikan sanitasi lingkungan

2. Pencegahan sekunder
Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan cara
mendiagnosa penyakit secara dini dan mengadakan pengobatan yang
cepat dan tepat.

Untuk mendiagnosis demam tifoid perlu dilakukan pemeriksaan


laboratorium.

Ada 3 metode untuk mendiagnosis penyakit demam tifoid, yaitu


a. Diagnosis klinik

Diagnosis klinis penyakit ini sering tidak tepat, karena gejala kilinis
yang khas pada demam tifoid tidak ditemukan atau gejala yang sama
dapat juga ditemukan pada penyakit lain. Diagnosis klinis demam tifoid
sering kali terlewatkan karena pada penyakit dengan demam beberapa
hari tidak diperkirakan kemungkinan diagnosis demam tifoid.

b. Diagnosis mikrobiologik/pembiakan kuman

Metode diagnosis mikrobiologik adalah metode yang paling spesifik


dan lebih dari 90% penderita yang tidak diobati, kultur darahnya
positip dalam minggu

32
pertama. Hasil ini menurun drastis setelah pemakaian obat antibiotika,
dimana hasil positip menjadi 40%. Meskipun demikian kultur sum-sum
tulang tetap memperlihatkan hasil yang tinggi yaitu 90% positip.
Pada minggu-minggu selanjutnya hasil kultur darah menurun, tetapi
kultur urin meningkat yaitu 85% dan

25% berturut-turut positip pada minggu ke-3 dan ke-4. Organisme dalam
tinja masih dapat ditemukan selama 3 bulan dari 90% penderita dan kira-
kira 3% penderita tetap mengeluarkan kuman Salmonella typhi dalam
tinjanya untuk jangka waktu yang lama.

c. Diagnosis serologi

Uji Widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan


antibodi (aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap Salmonella typhi
terdapat dalam serum penderita demam tifoid, pada orang yang pernah
tertular Salmonella typhi dan pada orang yang pernah mendapatkan
vaksin demam tifoid.

d. Antigen yang digunakan pada uij Widal adlah suspensi Salmonella


typhi yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan dari
uji Widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum
penderita yang diduga menderita demam tifoid. Dari ketiga
aglutinin (aglutinin O, H, dan Vi), hanya aglutinin O dan H
yang ditentukan titernya untuk diagnosis. Semakin tinggi titer
aglutininnya, semakin besar pula kemungkinan didiagnosis sebagai
penderita demam tifoid. Pada infeksi yang aktif, titer aglutinin akan
meningkat pada pemeriksaan ulang yang dilakukan selang waktu
paling sedikit 5 hari. Peningkatan titer aglutinin empat kali
lipat selama 2 sampai 3 minggu memastikan diagnosis demam
tifoid.

33
Daya aglutinasi suspensi antigen dari strain salmonella setempat
lebih baik daripada suspensi antigen dari strain lain.

. Uji Enzym-Linked Immunosorbent Assay (ELISA)

Uji ELISA untuk melacak antibodi terhadap antigen Salmonella


typhi belakangan ini mulai dipakai. Prinsip dasar uji ELISA yang
dipakai umumnya uji ELISA tidak langsung. Antibodi yang dilacak
dengan uji ELISA ini tergantung dari jenis antigen yang dipakai.

Uji ELISA untuk melacak Salmonella typhi

Deteksi antigen spesifik dari Salmonella typhi dalam


spesimen klinik (darah atau urine) secara teoritis dapat
menegakkan diagnosis demam tifoid secara dini dan cepat. Uji
ELISA yang sering dipakai untuk melacak adanya antigen
Salmonella typhi dalam spesimen klinis, yaitu double antibody
sandwich ELISA. Pencegahan sekunder dapat berupa :

a. Penemuan penderita maupun carrier secara dini melalui


penigkatan usaha surveilans demam tifoid.
b. Perawatan umum dan nutrisi
Penderita demam tifoid, dengan gambaran klinis jelas
sebaiknya dirawat di rumah sakit atau sarana kesehatan lain
yang ada fasilitas perawatan. Penderita yang dirawat harus
tirah baring dengan sempurna untuk mencegah komplikasi,
terutama perdarahan dan perforasi. Bila klinis berat,
penderita harus istirahat total. Bila penyakit membaik,
maka dilakukan mobilisasi secara bertahap, sesuai dengan
pulihnya kekuatan penderita.

34
Sedangkan diet harus mengandung kalori dan protein yang
cukup. Sebaiknya rendah serat untuk mencegah
perdarahan dan perforasi. Diet untuk penderita tifoid biasanya
diklasifikasikan atas : diet cair, bubur lunak, tim dan nasi biasa.

c. Pemberian anti mikroba (antibiotik)


d. Anti mikroba (antibiotik) segera diberikan bila diagnosa telah
dibuat. Kloramfenikol masih menjadi pilihan pertama,
berdasarkan efikasi dan harga. Kekurangannya adalah jangka
waktu pemberiannya yang lama, serta cukup sering
menimbulkan karier dan relaps.
Kloramfenikol tidak boleh diberikan pada wanita hamil, terutama
pada trimester III karena dapat menyebabkan partus prematur,
serta janin mati dalam kandungan. Oleh karena itu obat yang
paling aman diberikan pada wanita hamil adalah ampisilin atau
amoxilin
F. Kegiatan Promosi dan Pencegahan Penyakit
Rencana edukasi yang akan di berikan kepada pasien dan anggota
keluarga lainnya secara lengkap (sampak dari penyakit, upaya pencegahan).
Edukasi yang bisa diberikan kepada penderita yaitu:
1. Beristirahat total dari aktivitas fisik yang berat.
2. Memberikan informasi tentang faktor risiko pemberat penyakit.
3. Memberikan informasi, instruksi, dan peringatan kepada pasien dan
keluarganya tentang efek terapi dan efek samping yang mungkin timbul
selama pengobatan.
4. Memberikan edukasi kepada keluarga pasien bahwa obat harus di berikan
kepada pasien bahwa obat harus diberikan setiap hari secara teratur
dengan dosis dan dikonsumsi sampai selesai.
5. Edukasi tentang pentingnya ventilasi dan pencahayaan yang baik untuk
menciptakan rumah yang sehat.

35
6. Edukasi tentang asupan gizi yang bagi bagi pasien.
7. Edukasi tentang lingkungan sehat dan bersih untuk meningkatkan taraf
kesehatan.

G. Deteksi Dini Terjadinya Masalah Kesehatan pada Individu dan Keluarga


1. Mengunjungi rumah-rumah di wilayah kerja puskesmas
2. Melihat dan mengidentifikasi lingkungan masyarakat
3. Identifikasi data pasien yang menderita penyakit menular dan tidak menular
4. Skrining
5. Memberitahukan keluarga dan masyarakat bila mengalami gejala-gejala
penyakit agar segera di periksakan

H. Penanganan
Terapi farmakologis
Pasien penderita demam tifoid

Isolasi pasien (tetap dibawah pengawasan,


menjaga status hidrasi pasien dan pengobatan
demam) (Grouzard, et al., 2016)

 Perawatan di rumah dapat dilakukan apabila keadaan umum dan kesadaran


pasien lumayan baik, serta gejala dan tanda klinis tidak menunjukkan infeksi
tifoid berlanjut.
 Perawatan di rumah sakit dilakukan pada keadaan tertentu dapat dilakukan
di bangsal umum maupun ICU, tergantung pada keadaan klinis pasien.

36
Tabel . Terapi antibiotik penyakit demam tifoid kecuali untuk ibu dan ibu
menyus

Antibiotik Dosis Keterangan


Ciprofloxacin (Grouzard, PO 5-7 hari Dewasa: 1 Tidak direkomendasikan
et al., 2016) gram/hari dalam 2 dosis pada anak - anak usia
terbagi Anak – anak : 30 dibawah 15 tahun akan
mg/kg/hari dalam 2 dosis tetapi risiko yang
terbagi mengancam jiwa dari
tyfoid melebihi risiko efek
samping (alternatif 2, fully
sensitive multidrug
resistant)
Cefixime (Grouzard, et PO 7 hari Anak – anak Dapat menjadi alternatif
al., 2016) (lebih dari usia 3 bulan) : dari Ciprofloxacin bagi
20 mg/kg/hari dalam 2 anak – anak di bawah 15
dosis terbagi tahun
Amoksisilin (Grouzard, et PO 14 hari Dewasa : 3 Jika tidak adanya resisten
al., 2016) gram / hari dalam 3 dosis (fully sensitive
terbagi Anak- anak : 75-
100 mg/kg/hari dalam 3
dosis terbagi
Kloramfenikol (Grouzard, PO 10-14 hari Jika tidak adanya resisten
et al., 2016) (tergantung tingkat (pilihan utama, fully
keparahan) Anak – anak sensitive)
1-12 tahun : 100
mg/kg/hari dalam 3 dosis

37
terbagi ≥ 13 tahun : 3
gram/ hari dalam 3 dosis
terbagi
Tiamfenikol PO 5-6 hari 75 Efek samping hematologis
(Rampengan, 2013) mg/kgBB/hari pada penggunaan
tiamfenikol lebih jarang
daripada kloramfenikol
(alternatif 1)
Azitromisin (Rampengan, PO 6 hari 20 mg/kg/hari Azitromisin efektif dan
2013) aman diberikan pada
anak-anak dan dewasa
yang menderita demam
tifoid tanpa komplikasi
Ceftriaxone* IM/IV (3 menit) Infus (30 Salmonella typhi
(Grouzard, et al., 2016 menit) 10 – 14 hari dengan cepat
(tergantung tingkat berkembang resisten
keparahan) Dewasa : 2-4 terhadap kuinolon
gram sehari sekali Anak – (quinolone resistant).
anak: 75 mg/kg sehari Pada kasus ini gunakan
sekali ceftriaxone
Terapi Kortikosteroid

Dexamethasone

Dexamethasone merupakan salah satu obat kortikosteroid yang masuk ke


dalam kelompok glukokortikoid sintetik yang memiliki efek anti inflamasi dan
imunosupresif, yang mana hal tersebut mendorong semakin dikembangkannya
berbagai steroid sintetik dengan aktivitas anti inflamasi dan imunosupresif
Pemberian glukokortikoid direkomendasikan pada kasus demam tifoid berat

38
(halusinasi, perubahan kesadaran atau pendarahan usus). Hasil penelitian
menunjukan penurunan yang signifikan dalam mortalitas pada pasien demam tifoid
berat Penggunaan kortikosteroid seperti Dexamethasone yang tidak sesuai
dengan indikasi yang jelas dapat menyebabkan munculnya efek samping.
Pemberian Dexamethasone pada ibu hamil dapat beresiko kelahiran prematur,
meningkatkan aliran darah arteri uterina Penggunaan kortikosteroid memiliki
cakupan yang luas, akibatnya menyebabkan ketidaksesuaian dengan indikasi
maupun dosis serta lama pemberian.

Penggunaan berlebih akan berakibat fatal bagi tubuh, khususnya kerusakan


organ dalam rentang waktu tertentu. Organ yang dalam kerjanya banyak
berhubungan dengan proses penyaringan darah kemungkinan besar akan
mengalami kerusakan seperti halnya hepar dan ginjal. Jika jumlah Dexametasone
sudah melebihi jumlah maksimal, maka akan membuat hepar bekerja lebih keras.
Kerja hepar yang berlebihan akan merusak hepar dan menurunkan kinerjanya
serta menyebabkan nekrosis sel

Terapi Non Farmakologis

Tabel. Terapi non farmakologis demam tifoid

Non Farmakologis Keterangan


Tirah baring (Sakinah dan Indria, 2016) sampai minimal 7 hari bebas demam
atau kurang lebih sampai 14 hari
Diet lunak rendah serat (Sakinah dan Asupan serat maksimal 8 gram/hari,
Indria, 2016) menghindari susu, daging berserat
kasar, lemak, terlalu manis, asam,
berbumbu tajam serta diberikan dalam
porsi kecil

39
Menjaga kebersihan (Upadhyay, et al., Tangan harus dicuci sebelum
2015 menangani makanan, selama persiapan
makan, dan setelah menggunakan
toilet.

40
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Bentuk kelarga pasien adalah keluarga kecil terdiri ayah, ibu, dan dua orang
anak
2. Diagnosis ditegakkan bedasarkan keluhan utama pasien, kemudian ditentukan
diagnosis pada pasien dalah demam tifoid
3. Skor APGAR keluarga adalah 10
4. Pencegahan penyakit pada keluarga dilakukan mulai dari tingkat primer hingga
sekunder
5. pasien memiliki 1 saudari dan tingal bersama ayah dan ibu. terdapat kerabat
sepupu yang menderitapenyakit yang sama sebelumnya dan dilakukan rawat
inap pada sepupu pasien
6. Basil Salmonella menular ke manusia melalui makanan dan minuman.Jadi
makanan atau minuman yang dikomsumsi manusia telah tercemar oleh
komponen feses atau urin dari pengidap tifoid.
B. saran
1. Diharapkan mahasiswa :
a. Dalam mengimplementasikan ilmunya di lapangan, diharapkan mahasiswa
lebih memperdalam pemahamannya mengenai masalah kesehatan keluarga.
b. Lebih bersungguh-sungguh dalam melaksanakan kunjungan kerumah
keluarga.
2. diharapkan puskesmas.
a. meningkatakan pemahamanan masyarakat pentingnya kebersihan lingkunan
rumah.
b. meningkatkan pemahaman kepada masyarakat tentang pentingnya
memperhatikan pola makan anak kepada orang tua.

41
3. Diharapkan Keluarga
a. memperhatikan kebersihan lingkungan sekitar rumah
b. tidak membuarkan rumah menjadi lembab dan tertutup cahaya matahari
c. mengdukasi anak tata cara menjaga kebersihan dan mengajarkan untuk
mencuci tangan sebelum makan.
d. banayak mengonsumsi sayur dan buah.

42
DAFTAR PUSTAKA

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Nomor 364/Menkes/Sk/V/2006.


Tentang Pedoman Pengendalian Demam Tifoid. Menteri Kesehatan
Republik Indonesia.

Sidabutar, Sondang dkk. 2010. Pilihan Terapi Empiris Demam Tifoid pada Anak:
Kloramfenikol atau Seftriakson.Jakarta: Departemen Ilmu Kesehatan
Anak, RS Dr Cipto Mangunkusumo, Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.

Parama C, Yatnita. 2011. Bakteri Salmonella Typhi dan Demam Tifoid. Jakarta: Jurnal
Kesehatan Masyarakat, 6(1).

Cahyani D, Tutut dkk. 2018. Faktor – Faktor Yang Berhubungan Dengan Praktik Hidup
Bersih Dan Sehat Sebagai Upaya Pencegahan Demam TifoidPada Siswa
Di Sdn Genuksari 02 Semaran. Semarang :Bagian Pendidikan Kesehatan
dan Ilmu Perilaku, Fakultas KesehatanMasyarakat Universitas
Diponegoro.

Nelwan, RHH. 2012. Tata Laksana Terkini Demam Tifoid. Jakarta:Divisi Penyakit Tropik
dan Infeksi Departemen Ilmu Penyakit Dalam, FKUI/RSCM.

43
ldokumentas tempat tingal

halaman depan rumah

44
halman samping rumanh

45
46
dalam rumah

47
48
49
50
51

Anda mungkin juga menyukai