Sejarah
Sejarah
Sejarah
2 Pendekatan Sejarah
Dengan pendekatan sejarah diharapkan dapat terlihat dengan jelas proses pertumbuhan
dan perlembagaan nilai-nilai pancasila dalam kehidupan (pribadi-masyarakat-negara).
Pendekataan sejarah ini perlu mengingat sifat dari nilai-nilai pancasila yang abstrak,sehingga
menjadi jelas seakan-akan konkrit nilai tersebut dalam pikiran kita.
Konkret adalah hal yang abstrak yang akan sangat menolong memudahkan kita berpikir.
Disamping hal tersebut sejarah memiliki jarak waktu dan tempat, misalnya suatu kejadian
perang dari zaman Sriwijaya dan Majapahit. Sudah dapat dipastikan antara kita tidak ada
yang mengetahui kejadian-kejadian tersebut secara nyata. Dengan cerita sejarah,kejadian-
kejadian seakan-akan nyata dalam pikiran kita. Demikianlah kegunaan sejarah sebagai
pengetahuan faktual dalam arti diketahui sendiri.
Perlu ditegaskan bahwa pembahasan aspek historis bukanlah sama dengan pelajaran ilmu
sejarah murni,tetapi terbatas hanya pada pengungkapan fakta sejarah yang ada kaitannya
langsung dengan proses pertumbuhan serta pelaksanaan nilai-nilai pancasila.dengan kata lain
kita tidak akan mengikuti bagaimana peristiwa terbunuhnya putra mahkota F.Ferdinand di
Sarajewo sebagai permulaan pecahnya perang dunia 1, ataupun Hilter Nazi membantai orang-
orang Yahudi di Erpa dalam perang duunia II, tetapi hanya membicarakan sejarah yang ada
sangkut pautnya dengan pancasila. Pembahsan lebih mendalam mengenai pendekatan sejarah
ini dapat pelajari pada penjelasan berikutnya.
b. Bersifat terdalam
Yang dimaksud berpikir terdalam adalah sampai kepengertian tentang inti mutlak
permasalahannya. Berpikir terdalam hanya merumuskan fakta yang sifatnya khusus dan
empiris, namun pada hakekatnya atau pengertian yang fundamental. Berfikir terdalam akan
mengetahui sesuatu permasalahan sampai pada akarnya, sehingga merupakan pengetahuan
yang sifatnya umum universal.(nor ms. Bakry ,1994:15)
c. Bersifat konseptual
Perenungan kefilsafatan merupakan kegiatan akal budi dan mental manusia menyusun
suatu bagan yang bersifat koseptual yang merupakan suatu hasil generalisasi dan abstraksi
dari pengalaman-pengalaman yang sifatnya sangat husus dan individual ( kattsoff,1986:7 ).
Berpikir konseptual tidak dimaksudkan untuk berpikir secara terkait dengan masalah-masalah
konkrit yang dihadapi oleh umat manusia, dengan membuat konsep-konsep yang jelas dan
tepat mengenai pokok persoalan. Oleh karena itu tidaklah cukup menyimpulkan persoalan
hanya dengan bukti-bukti yang empiris dan kuantitatif atau partikular saja ( kaelan,1986:9).
d. Bersifat Koheren
Berpikir secara kefilsafatan juga menuntut adanya sifat koheren yakni keruntutan.
Pemikiran filsafat bukan pemikiran yang acak,kacau, dan fragmentasi. Runtut berarti tidak
ada pertentangan koradiktif,kontrakdisi interminis dalam rumusan-rumusanya satu sama lain.
Sifat koheren tersebut didukung oleh pemikiran logis dalam tata cara penyimpulan (
berdasarkan logika yang memang sejak dulu dikembangkan oleh para filsuf ).
e. Bersifat Konperhensif
Pemikiran kefilsafatan tidak hanya didasarkan pada suatu fakta yang khusus dan
individual saja yang melahirkan kesimpulan yang khusus dan individual juga,melainkan
pemikiran filsafat ingin sampai pada kesimpulan yang bersifat umum, sehingga dituntut
untuk untuk berpikir secara komperhensif,yaitu menyeluruh (luas). Menyeluruh berarti tidak
ada sesuatu pun yang di luar jangkaunya ( kattsoff,1986:12), misalnya,mengenai objekmateri
manusia, jika dipandang salah satu dari aspek-aspeknya, aspek ekonomi,atau aspek fisik
tentulah tidak cukup untuk memaknai manusia, memecahkan persoalan-persoalan hidup
manusia, maka perlu manusia itu dilihat dari berbagai segi sehingga kesimpulannya dapat
diterima seluas-luasnya karena sifatnya yang menyeluruh itu.
f. Bersivat Universal
Berpikir kefilsafatan termasuk sebagai upaya untuk menyapai suatu kesimpulan yang
bersifat umum ( universal) yang dapat digunakan oleh manusia pada umumnya, manusia
dimana pun, dan dalam keadaan bagaimanapun.
g. Bersifat Spekulatif
Bersifat sepekualatif memiliki sifat mereka-reka,mereka menduga, tetapi bukan
sembarang perekaan. Perekaan yang dimaksud disini adalah pengajuan dugaan-dugaan yang
masuk akal (rasional) yang mendahului atau melampau fakta-fakta. Ini merupakan kegiatan
akal budi manusia dengan melalui kemampuan dalam imaginasi yang berdisiplin menghadapi
persoalan-persoalan yang menuntut pemecahan yang bijaksana secara menyeluruh hasil-hasil
dari ilmu pengetahuan dan demikan diharapkan dicapai kemajuan-kemajuan dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan pada umumnya. Hal ini telah dibuktikan oleh para filsuf
dahulu dengan mengajukan dugaan yang cerdas dan dapat dibuktikan kemudian.
h. Bersifat sistematis
Pemikiran kefilsafatan yang pada dasarnya menuntut keruntutan, koperhensif dan
universal serta tidak bersifat fragmentaris, tidak acak, merupakan keseluruhan yang
bersistem, sistematis. Berpikir sistematis dimaksudkan bahwa dalam berpikir terrdapat
bagian-bagian yang senantiasa berhubungan antara satu dengan yang lainya. Sistem adalah
satu kesatuan keadaan atau barang suatu yang bagian-bagiannya saling berhubungan secara
fungsional dalam rangka mencapai suatu tujuan bersama ( soejono seomargono,1983:6 ).
i. Bersifat Bebas dan Bertanggung Jawab
Dalam berfilsafat manusia bebas memikirkan apa saja sehingga aspek kreativitas
dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Tetapi kebebasan harus dipertanggung
jawabkan, misalnya pertama-tama dipertangung jawabkan kepada suara hati,hati nuraninya.
Dengan kebebasan bertanggung jawab berpikir yang dimiliki, secara langsung maupun tidak
langsung orang tidak terkekang dan terjajah oleh pendapat oerang lain. Itulah bebrapa ciri
berpikir secara kefilsafatan dan masih banyak lagi jika hendak memerincinya.
Salah satu contoh pendekatan pancasila dari sisi filsafat yang dapat diajukan adalah
pendekatan etika,sebab etika adalah cabang dari filsafat yang erat kaitannya dengan
moral,misalnya ketentuan hukum yang diwajibkan warga negaranya membayar pajak.