Anda di halaman 1dari 19

TUGAS MANDIRI

MODUL PENYAKIT DEGENERATIF

Madeleine Nadya Wilhelmina Senduk


15011101051

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SAM RATULANGI
MANADO
2018
1. Jelaskan secara singkat tentang:
a. Korea Huntington
Korea Huntington disebut juga dengan penyakit Huntington. Penyakit Huntington
merupakan penyakit dengan kelainan genetik yang mengakibatkan terjadinya demensia
progresif, gangguan motorik seperti korea, distonia, serta gangguan psikiatri. Penyakit ini
diwariksan secara autosomal dominan. Lebih dari 90% kasus dikonfirmasi besifat
familial. Penyakit ini disebabkan oleh instabilitas atau ekspansi CAG yang berulang pada
exon 1 pada kromosom 4q16, dan mengkode protein huntingtin yang fungsinya belum
diketahui. Onset rata-rata pada usia 35 sampai 40 tahun, sama pada laki-laki dan
perempuan.

Manifestasi klinis
Sekitar 1/3 pasien didiagnosis dengan manifestasi psikiatrik primer dan sisanya dengan
manifestasi neurologis. Manifestasi awal:
 Kekakuan dan gait melambat
 Iritabilitas, ansietas, agitasi
 Apatis atau depresi
 Abnormalitas gerakan mata
 Delusi dan halusinasi
Seiring perkembangan penyakit, gangguan pergerakan lebih dominan dengan manifestasi
sebagai berikut:
 Distonia dan korea
 Gejala parkinsonian termasuk mask-like face dan hipofonia
 Gait menjadi lambat dan kaku
 Disfagia dan penurunan berat badan
 Tremor bisa menonjol
 Umumnya depresi dan ada ide-ide bunuh diri
Pada tahap yang lebih lanjut dapat terjadi manifestasi :
 Rigiditas, bradikinesia berat
 Disfagia, ketidakmampuan menelan, penurunan berat badan yang lebih parah
 Kejang
 Pada akhirnya, pasien tidak dapat berjalan atau berbicara
Diagnosis
 MRI  atrofi nucleus kaudatus dan putamen, seringkali sebelum onset gejala

Penatalaksanaan
Terapi bersifat simtomatik:
 Baclofen dan diltiazem  mengatasi rigiditas
 Haloperidol atau antipsikotik atipikal  mengatasi korea
 Levodopa  mengatasi gejala parkisonian karena dapat memperburuk korea
 Valproate  mengatasi mioklonus

b. Ataksia Spinoserebelar
Ataksia spinoserebelar atau disebut juga Autosomal Dominant Cerebellar Ataxia
(ADCA) merupakan suatu kelompok penyakit neurodegeneratif heterogen yang
diwariskan secara autosomal dominan. Karakteristik penyakit ini yaitu ataksia serebelar
progresif dengan beberapa gejala yaitu oftalmoplegia, pyramidal signs, gangguan
pergerakan, pigmentary retinopathy, neuropati perifer, disfungsi kognitif dan demensia.
Klasifikasi menurut Harding (1993) :
 ADCA tipe I : Ataksia serebelar dengan berbagai tanda-tanda neurologis, termasuk
keterlibatan dari sistem saraf pusat dan/atau sistem saraf perifer
 ADCA tipe II : Ataksia serebelar dengan adanya pigmentary maculopathy dan
striking anticipation (kecenderungan onset dini pada beberapa generasi berturut-
turut)
 ADCA tipe III : Sindrom serebelar murni

Etiologi
Penyakit diwariskan secara autosomal dominan. Penyakit ini telah diidentifikasi dengan
adanya mutasi gen yang multipel. Penyebab dari mutasi ini dihubungkan dengan ekspansi
glutamin-encoding trinucleotide (CAG) secara berulang pada gen-gen kausatif.
Mekanisme patogenesis mencakup perubahan transkripsi gen, RNA spicling, dan
intracellular calcium handling.
Manifestasi klinis
 Riwayat keluarga  pada beberapa anggota keluarga
 Onset lambat dan gradual
 Fenotip yang heterogen
 Ataksia serebelar, disartria, dismetria dan tremor serebelar, dengan atau tanpa:
o Oftalmoplegia supranuklear
o Atrofi optikus
o Pigmentary retinopathy
o Demensia
o Disfungsi ekstrapiramidal

Diagnosis
Sindrom klinis ataksia serebelar, riwayat dalam keluarga positif, analisis DNA positif

Patologi
Secara makroskopik terlihat adanya atrofi batang otak dan serebelum. Secara
mikroskopik terlihat kehilangan sel-sel saraf dan perubahan degeneratif mencakup :
 Pons dan oliary nuclei
 Nucleus dentatus serebelar
 Sel-sel Purkinje serebelar
 Ganglia basalis (substansia nigra, nukelus subatalmikus, nukleus merah)
 Medulla spinalis (Clarke’s clomns, traktur spinoserebelar, anterior horn cells)
 Saraf perifer (dorsal root ganglia)

Penatalaksanaan
Terapi bersifat suportif. Beberapa terapi simtomatis seperti:
 Kolinergik : Physostigmine, lesitin, choline chloride
 Obat-obatan GABAergic : baclofen, dan sodium valproate
 Serotonergic coumpounds: L-5-hydroxytryptophan dikombinasikan dengan
peripheral decarboxylase inhibitor, dan buspirone hydrochloride
c. Penyakit Charcot-Marie-Tooth
Penyakit Charcot-Marie-Tooth (CMT) merupakan penyakit genetik yang terjadi akibat
neuropati perifer. Prevalensi penyakit ini sekitar 10-20 per 100000 populasi, dengan
kasus tersering CMT tipe 1.

Etiologi
Neuropati diklasifikasikan berdasarkan patologi (aksonal atau demielinisasi), pewarisan
(autosomal dominan, autosomal resesif, atau X-linked), dan mutasi gen spesifik.

Klasifikasi
 CMT tipe 1 : autosomal dominan, demielinisasi. Mutasi yang terjadi mengganggu
fungsi mielin dan sel schwann mengakibatkan demielinisasi segmental dan
kehilangan akson sekunder. Terdiri dari CMT tipe 1A, 1B, 1C, 1D, dengan kasus
terbanyak adalah CMT tipe 1A (70%).
 CMT tipe 2 : Kebanyakan autosomal dominan, aksonal. Kecepatan konduksi saraf >
38 m/s. Terdiri dari CMT tipe 2A2 dan 2B1, dengan kasus terbanyak adalah CMT
tipe 2A2 (33%)
 CMT tipe 3 : Sindrom Dejerine-Sottas, demielinisasi berat atau hipomielinisasi, dapat
diwariskan secara autosomal dominan atau autosomal resesif.
 CMT tipe 4 : Autosomal resesif, aksonal atau demielinisasi.
 CMT tipe 1X : X-linked dominan, sekitar 12% dari semua kasus CMT; mutasi pada
connexin-32 pada kromosom X (Xq13)
 Hereditary neuropathy with liability to pressure palsies (HNPP) : autosomal
dominan; kebanyakan kasus terjadi akibat delesi gen PMP-22 pada kromosom 17
(17p11.2)

Manifestasi klinis
CMT tipe 1
 Onset pada remaja sampai usia 40-an. Pasien mengalami keluhan pergelangan kaki
terkilir
 Pasien mungkin tidak mengeluhkan tanda-tanda gangguan sensoris, tapi pemeriksaan
sensoris (rasa getar, proprioseptif) menunjukkan adanya gangguan sensoris
 Bagian yang terkena lebih dahulu yaitu kompartemen anterior pada bagian dista;
ekstremitas bawah, menyebabkan foot drop dan tungkai berbentuk ‘inverted
champagne bottle’
 Atrofi bagian distal ekstremitas atas, terbentuk claw-hand
 Generalized areflexia
 Tremor tubuh bagian atas dan jika prominen dikenal dengan Roussy-Levy syndrome
 Pes cavus dan hammer toes

CMT tipe 2 :
 Onset lebih lambat
 Pasien mungkin tidak mengeluhkan tanda-tanda gangguan sensoris, tapi pemeriksaan
sensoris (rasa getar, proprioseptif) menunjukkan adanya gangguan sensoris
 Lebih sedikit keterlibatan tangan dan lebih sedikit terjadinya deformitas kaki
dibandingkan dengan tipe 1
 Terkena sama atau seimbang baik pada kompartemen anterior dan posterior dari
bagian distal esktremitas bawah
 CMT tipe 2A2: atrofi optik, ketulian, tanda-tanda piramidal, abnormalitas substansia
alba

CMT tipe 3 :
 Kelemahan saat lahir (hypotonic infant); jika penyakit berat, dapat terjadi distress
pernafasan dan dapat menyebabkan kematian
 Pada anak-anak terjadi keterlambatan perkembangan motorik yang signifikan
 Semua modalitas sensorik terkena
 Tuli sensorineural
 Rekasi pupil abnormal
 Saraf perifer membesar
 Pes cavus dan kifoskoliosis

CMT tipe 4 :
 Onset pada neonatus dengan keterlambatan perkembangan motorik
 Kelemahan dan atrofi otot
 Kehilangan fungsi sensoris ringan, arefleks, bisa mengalami skoliosis

CMT tipe 1X :
 Pada pria yang terkena CMT tipe 1X memiliki presentasi klinis yang mirip dengan
CMT tipe 1
 Wanita karier dapat menunjukkan neuropati ringan yang biasanya asimtomatik
 Jarang keterlibatan sistem saraf pusat

Hereditary neuropathy with liability to pressure (HNPP) :


 Terjadi pada decade kedua atau ketiga
 Kehilangan sensoris (painless) dan kelemahan pada saraf setelah diberikan kompresi
eksternal yang ringan pada saraf tersebut.
 Saraf yang paling sering terkena yaitu nervus medianus pada pergelangan tangan,
nervus ulnaris pada siku, nervus radialis pada spiral groove, nervus peroneal pada
caput fibulae. Dapat juga mengenai nervus kranialis (pada wajah dan pendengaran)
 Penurunn fungsi sensoris pada semua modalitas, refeleks yang berkurang atau normal,
pes cavus, hammer toes

Penatalaksanaan
 Simtomatik
 Ortosis ankle-foot untuk foot drop
 Medikamentosa untuk mengatasi nyeri neuropatik yang memberat pada CMT
 Pembedahan ortopedi pada deformitas kaki yang berat
 Konseling genetic
 Pada HNPP pasien harus menghindari duduk dengan kaki disilang, menggunakan tas
dukung, dan berlutut.
2. Jelaskan tentang neurotransmiter gulatamat: perannya dalam metabolisme,
jenis-jenis reseptornya, perannya sebagai neurotransmiter eksitatorik, dan
perannya sebagai agen eksitotoksik!
Glutamat merupakan suatu neurotransmiter eksitatorik dari sistem saraf pusat, yang
berperan di jaringan komunikasi yang kompleks, yang ditetapkan di antara semua sel-sel
yang mendiami otak, termasuk berbagai neuron, astrosit, oligodendrosit, dan mikroglia.
Glutamate dapat mempengaruhi semua fungsi fisiologis dan interaksi sel-sel otak.

Peran glutamat di berbagai jaringan dan sel-sel tubuh adalah sebagai berikut:
 Sebagai neurotransmiter otak. Glutamat berperan sebagai major excitatory
transmitter di otak. Sedangkan major inhibitory transmitter di otak adalah GABA
 Sel-sel piramidal adalah tipe “major excitatory” yang menggunakan glutamat sebagai
neurotransmiter
 DI sel “spiny stellate” yang menyerupai sel piramidal dan menyediakan sinaps
asimetris yang dianggap bersifat excitatory, glutamat digunakan juga digunakan
sebagai neurotransmiter
 Proses reuptake glutamat dilakukan sebagian besar oleh astrosit. Astrosit mengubah
glutamat menjadi glutamine, kemudian melepasnya ke ruang ekstraseluler. Glutamine
ditangkap/diambil oleh neuron yang menggunakannya untuk menghasilkan glutamat
dan GABA, secara berturut-turut
 Karakteristik neurofilament adalah keberadaan daerah yang kaya akan glutamat
(glutamate-rich region) di bagian ujung (tail), berdekatan dengan tengah (core rod
domain). Glutamat menjadi dasar reaksi pewarnaan perak klasik (classic
neurofibrillary silver stains) untuk neuron.
 Glutamat berperan dalam “alternative tryptophan metabolic pathways”
 Glutamat berperan dalam neurotransmisi klasik. Contoh penting dari neurotransmiter
excitatory yang mengaktivasi “cation channels”, adalah glutamate dan asetilkolin.
Glutamate beraksi melalui berbagai reseptor ionotropik yang berbeda, sedangkan
asetilkolin beraksi melalui berbagai reseptor nicotinic.
Sebagian besar proses komunikasi di otak, melibatkan transmisi cepat pada sinaps-sinaps
excitatory yang diperantarai asam amino L-glutamat. Sekitar 80% ATP dikonsmusi oleh
ion sodium (Na+), K+-ATPase, suatu pompa membrane yang memperbaiki atau
memulihkan gradien ionik dan potensial membrane yang diubah oleh transmisi
excitatory. Pompa tergantung ATP (ATP-dependent pump) ini, juga mencegah akumulasi
berlebihan glutamat di ruang sinaptik dan aktivasi berlebihan dari reseptor-reseptor
postsinaptik, yang dapat menghasilkan akumulasi Ca2+ yang berlebihan di sitosol.

Sinaps listrik
Aktivitas sinaps mempengaruhi fungsi astrosit, yang merupakan komponen integral dari
unit sinaptik. Misalnya, sinaps membebaskan (me-release) neurotransmiter excitatory
(glutamate) bukan hanya mendatangkan /mendapatkan (meng- elicits) depolarisasi
neuron postsynaptic, melainkan juga menyediakan sinyal untuk astrosit yang

mengelilingi sinaps. Sinyal ini menghasilkan sebagian dari K+ ekstraseluler yang


terakumulasi dari aksi potensial di neuron postsynaptic, oleh efek-efek glutamate yang
terdapat di astrosit, proses reuptake aktif glutamate oleh astrosit. Aktivitas sinaptik

menghasilkan depolarisasi, meningkatkan Ca2+ intraseluler, dan meningkatkan


metabolisme energi di astrosit. Semua sinyal ini ditransmisikan melalui “gap junctions”
yang berada di dalam jaringan astrosit. Sebagian besar proses komu- nikasi yang berada
di sistem saraf, terjadi melalui sinaps kimiawi.

Reseptor Glutamat
Dua reseptor utama :
 Reseptor iGlu (inotropic glutamate) : reseptor yang memediasi respon sinaptik cepat,
dengan membuka ion channels. Kelas-kelas utama dari berbagai reseptor iGlu yaitu:
o NMDA (N-methyl-D-aspartic acid). Reseptor NMDA adalah saluran ion non-
selektif. Setelah berikatan dengan glutamat, reseptor ini akan aktif dan terbuka
sehingga menyebabkan Ca2+ dan Na+ masuk ke dalam sel pascasinaps. Masuknya
kalsium mengaktifkan jalur pembawa pesan kedua dependen Ca2+ di neuron
pascasinaps. Jalur pembawa pesan kedua ini menyebabkan insersi fisik reseptor
AMPA tambahan di membrane pascasinaps.
o AMPA [(S)-alpha-amino-3-hydroxy-5-methylisoxazole-4-propionic acid].
Reseptor AMPA terutama berperan menghasilkan PPE sebagai respons terhadap
pengaktifan glutamat. Karena meningkatnya ketersediaan reseptor AMPA maka
sel pascasinaps memperlihatkan peningkatan respons PPE terhadap pengeluaran
glutamat lebih lanjut dari sel pascasinaps. Peningkatan kepekaan neuron
pascasinaps terhadap glutamat dari sel prasinaps ini membantu mempertahankan
PJP.
o Reseptor Kainate. Seperti reseptor-reseptor AMPA dan NMDA, ada dua ago-
nist-binding sites di setiap reseptor yang berkaitan erat dengan ion channel.
Keduanya, reseptor dengan afinitas rendah mau pun tinggi, telah teridentifikasi.
Semua reseptor secara luas didistribusikan dengan level ekspresi tinggi di
beberapa area forebrain. Forebrain adalah nama nonteknis untuk prosen-
cephalon, yaitu segmen otak dewasa yang berkembang dari forebrain embrionik
dan termasuk serebrum, talamus, dan hipotalamus.
 Reseptor mGlu (metabotropic glutamate): reseptor yang menyebabkan efek sinaptik
yang lebih lambat, berkaitan dengan perubahan kimiawi. Berbagai reseptor ini secara
kuat mempengaruhi induksi, propagasi, dan terminasi aktivitas epilepsi di dalam
sistem saraf pusat. Sebagian karena peran mereka dalam regulasi neurotrans- misi
glutamatergic dan GABA-ergic. Berbagai reseptor mGlu, berkaitan dengan protein-
protein G dan terdiri dari tiga kelompok:
o Kelompok I terdiri dari mGlu1dan mGlu 5, terkait dengan aktivasi fosfolipase C
dan menyebabkan peningkatan konsentrasi inositol triphosphate intraseluler dan
mobilisasi kalsium. Kelompok ini secara umum berkaitan erat dengan respon-
respon sinaptik eksitatorik
o Kelompok II (mGlu2 dan mGlu3) sebagai pengendali pelepasan transmiter
(control of transmitter release), termasuk glutamat, GABA, dan 5HT.
o Kelompok III (mGlu4, mGlu6, mGlu7, mGlu8) yang menghambat aktivitas
adenyl cyclase, menghasilkan penurunan konsentrasi cAMP intraseluler.

Eksotoksisitas Glutamat
Hipotesis “eksitotoksisitas glutamate” (glutamate excitoto- xicity) melukiskan fenomena
yang terjadi, di mana kadar glutamat yang berlebihan menyebabkan degenerasi dan
disfungsi neuronal (gangguan sistem persarafan), mengaktivasi secara berlebihan
(overactivates) berbagai reseptor selulernya dan menginduksi kematian sel. Proses
eksotoksisitas glutamat terjadi akibat deplesi akut ATP yang memicu kerusakan neuronal
dari akumulasi L-glutamat yang berlebihan. Proses ini melibatkan aktivasi reseptor-
reseptor glutamat, akumulasi sitosol Ca2+, aktivasi kaskade yang dipicu oleh Ca2+,
generasi radikal bebas oksigen, dan kegagalan mitokondria.

Tanpa oksigen atau glukosa, produksi ATP mitokondria berhenti, persediaan ATP
dihabiskan dengan cepat. Akibatnya, beberapa fungsi terganggu atau menurun. Tanpa

kebutuhan energi untuk bahan bakar pompa Na+, K+, gradien ion tidak dapat
dipertahankan (maintained) dan neurons menjadi didepolarisasi. Ini menimbulkan
hilangnya “neuronal excitability” dan pembebasan (release) glutamate secara besar-
besaran (masif).

Kekurangan energi juga mengurangi uptake glutamate yang dilakukan oleh astrosit.
Timbunan (build-up) glutamate yang berlebihan di sinaps, mempercepat kematian
nekrotik dari berba- gai neuron yang merupakan target sinaps. Akibat kegagalan energi
pada mulanya fungsional dan berpotensi bersifat reversible.

Jika penyebabnya tidak dikoreksi, berbagai perubahan ini diikuti oleh akumulasi Ca2+ di
sitosol dan mitokondria, yang memicu perubahan irreversible seperti: kerusakan seluler,
mitokondria, dan membran-membran lainnya; disorganisasi sitoskeleton, dan degradasi
DNA.

Akumulasi Ca2+ di mitokondria mengganggu rantai respirasi dan produksi ATP, serta
memacu pembentukan radikal bebas oksigen. Kalsium mengaktivasi beberapa
fosfolipase, yang bersama dengan “oxidative stress”, merusak membran fosfolipid.
Kalsium mengaktifkan produksi nitric oxide, yang bereaksi dengan radikal bebas oksigen
dan menghasilkan oksidasi dan nitrasi lebih lanjut, serta proses nitrasi dari beberapa
protein esensial. Kalsium juga mengaktifkan calpain, di mana proteases merusak
submembrane cytoskeleton, mikrotubuli, neurofilamen, dan endonuklease yang
menyebabkan kerusakan DNA.

Akumulasi laktat dari glukolisis anaerobik memicu penurunan pH intraseluler, yang


menekan aktivitas neuronal, menimbulkan pembengkakan sel, dan meningkatkan
produksi radikal bebas. Nekrosis melibatkan mekanisme glutamate-in- duced
excitotoxicity.

Hipotesis eksitotoksisitas glutamat ini juga berkaitan erat dengan gangguan neurode-
generative seperti: amyotrophic lateral sclerosis (ALS), mul- tiple sclerosis, penyakit
Parkinson, dan gangguan saraf lain.

3. Apa yang dimaksud dengan fasikulasi otot? Bagaimana membedakannya


dengan mioklonus dan miokimia?
 Fasikulasi otot adalah kontraksi sekelompok serabut otot yang dapat terlihat dan
secara subjektif terasa juga sebagai getaran atau denyutan (kedutan) di bawah kulit.
Fasikulasi melambangkan suatu lepas muatan spontan sejumlah serabut yang
dipersarafi satu filament saraf motorik. Fasikulasi dapat dilihat di bawah kulit, tetapi
kontraksinya tidak cukup untuk menggerakkan anggota tubuh.
 Mioklonus merupakan suatu kontraksi sekelompok otot yang sangat cepat, shock-like
cotractions, ritme dan amplitude yang irregular, tidak sinkron dan distribusi asimetris.
 Miokimia adalah kontraksi otot spontan secara simultan atau berurutan yang
menyebabkan gerakan otot vermicular atau gerakan berdesir yang terus menerus.

Fasikulasi, mioklonus dan miokimia dapat dibedakan dengan melakukan pemeriksaan


fisik (inspeksi) serta dengan pemeriksaan EMG (Electromyography).

4. Jelaskan tentang perbedaan secara patologi, manifestasi klinis, pemeriksaan


penunjang, dan respons terhadap terapi dari MS dan penyakit Devic!
Patologi
 Multiple Sclerosis : ditemukan plak multipel akibat demielinisasi pada substansia
alba. Lokasi plak yang khas adalah di daerah periventricular, jukstakortikal,
infratentorial, nervus optikus, dan medulla spinalis
o Lesi akut : demielinisasi serabut saraf pada substansia alba; kehilangan
oligodendrosit, Infiltrasi perivenular limfosit T dan limfosit B, makrofag, dan sel-
sel plasma; degenrasi aksonal
o Lesi kronik : Terlihat beberapa kehilagan akson (axonal loss) dan remielinisasi;
proliferasi sel glial mengahasilkan sclerosis atau plak
 Penyakit Devic
o Fase akut : pembengkakan spinal cord, pengurangan beberapa segmen spinal cord
dan kadang-kadang panjang dari spinal cord
o Histopatologi : nekrosis pada substansia nigra dan substansia alba; inflamasi
perivaskular dengan infiltrasi neutrofil dan eosinofil, menyebabkan teraktivasinya
faktor komplemen
o Lama-kelamaan akan terjadi kavitasi dan atrofi; segmen dari spinal cord dan
nervus optikus yang terkena ditandai dengan gliosis dan cystic degeneration

Manifestasi klinis
 Multiple Sclerosis. MS biasanya memiliki onset gejala subakut dalam beberapa jam
sampai beberapa hari. Gejala-gejala MS biasanya menunjukkan disfungsi nervus
optikus, batang otak, dan spinal cord.
o Penglihatan : penurunan ketajaman penglihatan, nyeri sekitar mata yang
dieksaserbasi dengan pergerakan mata atau saat menyentuh mata, skotoma
parasentralis, pembengkakan diskus optikus pada fase akut jika ada demielinisasi,
atrofi diskus optikus; internuklear oftalmoplegia (penglihatan ganda)
o Kelemahan : Terjadi pada satu atau lebih bagian tubuh atau wajah akibat
demielinisasi traktur kortikospinal, dengan gejala kelelahan, kekakuan.
Manifestasi lainnya yaitu perubahan sensasi pada wajah, badan, dan satu atau
lebih bagian tubuh; Lhermitte’s symptom. Dapat juga terjadi ketidakstabilan gaya
berjalan, kelemahan dan spastisitas, dll
o Vertigo
o Gangguan sfingter dan seksual
o Perubahan mental dan kejang
o Kelelahan dan nyeri
 Penyakit Devic. Penyakit Devic disebut juga dengan Neuromyelitis optica (NMO)
dengan gejala klinis optic neuritis (bilateral) terjadi dengan transverse myelitis
(paresis simetris, gangguan sensoris, disfungsi sfingter). Perluasan penyakit sampai
ke batang otak dapat menimbulkan gejala nistagmus, tersedak, muntah, trigeminal
neuralgia, paralisis wajah, bahkan gangguan bernafas.

Pemeriksaan Penunjang
 Cairan serebrospinalis : Pada NMO, CSS menunjukan iregularitas sell count, level
protein, dan oligoclonal bands (OCB). Pada pasien NMO, OCB lebih sedikit
dibandingkan pasien MS. Pada MS, analisis CSS juga jarang menunjukkan
pleositosis. Pada pasien NMO, konsentrasi neurofilamen (NH) dan fibrillar acidic
proteins (GFAP) lebih tinggi secara signifikan dibandingkan dengan pasien MS
 MRI : Pada pasien NMO, MRI substansia alba otak normal hingga bertahun-tahun.
Pada spinal cord menunjukan lesi gadolinium-enhanced pada beberapa segmen
vertebra dengan mielitis transversa longitudinal ekstensif, yang berhubungan dengan
pembengkakan spinal cord atau atrofi pada fase akut. Diagnosis NMO berdasarkan
temuan setidaknya ada 3 atau lebih lesi pada spinal cord yang terutama berlokasi di
bagian servikal dan torakal. Pada MS dengan plak kronik terlihat hiperintens pada
sekuens T2WI, lebih jelas pada FLAIR; lesi yang telah mengalami kavitasi akan
terlihat hipointens pada T1WI; lesi hiperintens umumnya terlihat multiple, asimteris,
berbatas tegas, dan berlokasi di sekitar ventrikel (periventricular); adanya jari-jari
Dawson (Dawson’s fingers).

Respons terhadap terapi


Obat-obatan untuk MS antara lain kortikostreoid, Siklofosfamid, kopolimer, interferon ,
mitoxantron dan natalizumab. Kortikosteroid dosis tinggi efektif mengatasi serangan akut
namun memberi efek cukup serius jika digunakan dalam waktu lama. Interferon 
digunakan dalam terapi MS jangka panjang, terutama untuk bentuk relaps-remitting.
Pilihan lainnya yaitu natalizumab dengan efek samping yang lebih sedikit.
Pada penyakit Devic atau NMO, diberikan kortikosteroid dosis tinggi pada keadaan akut.
Pasien dengan defisit berat yang tidak berespon dengan kortikosteroid atau pasien dengan
defisit yang terus memburuk meski telah diberikan terapi merupakan kandidat
plasmafaresis. Resiko plasmafaresis mencakup infeksi, thrombosis, dan perdarahan.

5. Jelaskan tentang ensfalomielitis diseminata akut (acute disseminated


encephalomyelitis = ADEM): hubungannya dengan infeksi virus, manifestasi
klinis, dan terapinya!
Ensefalomielitis diseminata akut merupakan penyakit demielinisasi inflamasi akut pada
otak dan spinal cord yang dikarakteristikan dengan inflamasi perivaskular yang tersebar
luas dan demielinisasi yang disebabkan oleh serangan autoimun pada otak yang
umumnya sebagai reaksi akibat infeksi virus yang mengaktifkan sel T autoreaktif yang
mengenali protein spesifik myelin. Penyakit ini lebih mengarah pada kegagalan
imunoregulatory dibandingkan dengan imunosupresi.

Hubungan dengan infeksi


Pada ensefalitis diseminata akut dipercaya bahwa infeksi virus mengaktifkan sel T
autoreaktif yang mengenali protein spesifik myelin, dan sel T ini bermigrasi ke sistem
saraf pusat dan melepaskan neutrofil, memicu destruksi jaringan multifocal yang masif.
Mekanisme aktivasi sel T ini masih belum diketahui.
Manifestasi klinis
 Pada umumnya didahului oleh infeksi saluran pernapasan atas atau traktus
gastrointestinal
 Interval laten antara penyakit akut akibat virus dan onset neurologis dari beberapa
hari sampai 2-3 minggu
 Onset akut/subakut
 Demam, sakit kepala, malaise
 Gangguan kesadaran
 Meningismus
 Kejang
 Tanda neruologi fokal progresif: hemiparesis atau paraparesis, defek sensoris
(tergantung pada lokasi lesi di otak dan medulla spinalis), ataksia, neuritis optic
(biasnya bilateral), palsi nervus kranialis, peningkatan ICP (Sakit kepala, muntah,
papilledema)

Terapi
Terapi suportif dengan antipiretik, terapi untuk mempertahankan intake cairan yang
adekuat, terapi kejang epileptik, dan menurunkan ICP. Setelah pasien didiagnosis dengan
ensefalitis diseminata akut terapi yang diberikan yaitu kortikosteroid dosis tinggi
diberikan secara intravena. Biasanya diberikan methylprednisolone 10-30 mg/kgBB/hari
intravena selama 3-5 hari.Titrasi turun dengan steroid oral biasanya diberikan jika pasien
terus memperlihatkan perbaikan klinis setelah pemberian steroid intravena. Terapi
alternatif utama adalah immunoglobulin intravena 2g/kgBB/hari selama 2-3 hari.

6. Apa saja aspek penatalaksanaan medikamentosis yang perlu diperhatikan pada


MS? Apa tujuan utama penatalaksanaan menurut anda?
Tatalaksanan MS meliputi: terapi fisik, penggunaan alat bantu, pola hidup sehat pola
olahraga terpogram, suplemen vitamin D, serta obat-obatan. Aspek penting dalam
tatalaksana MS yaitu tatalaksana relaps akut, modifikasi perjalanan penyakit, dan control
gejala. Pemilihan obat didasarkan pada perjalanan klinis penyakit, defisit utama yang
timbul, pertimbangan efek samping, dan ketersediaan obat
Menurut saya, pentalakasanaan MS harus dilakukan secara holistik dengan tujuan utama
untuk mencegah kecacatan dan meningkatkan kualitas hidup pasien.

7. Perempuan, 21 tahun, datang dengan keluhan utama kelemahan tungkai kanan.


Kelemahan tungkai kanan dirasakan pertama kali satu tahun lalu. Saat itu
penderita mengeluh sering keseleo tungkai kanan karena kaki kanannya
menjadi lemah. Tidak ada riwayat trauma saat itu. Kelemahan ini berangsur-
angsur membaik dalam 2 minggu dan penderita dapat kembali berjalan. Sejak
itu, penderita pernah mengalami sekali kelemahan tungkai kanan yang ringan
sekitar 3 bulan dengan pola yang sama. Satu minggu lalu, setelah bekerja di
lapangan seharian, penderita beristirahat tidur. Pagi harinya, penderita
terbangun dan merasa tungkai kanannya baal. Rasa baal diikuti oleh kelemahan
kaki kanan yang kemudian diikuti kelemahan tungkai kanan. Kelemahan ini
dirasakan makin memberat. Dua hari berikutnya, tungkai kiri penderita juga
terasa baal dan sulit digerakkan. Pada pemeriksaan didapatkan paraparesis
dengan tonus otot sedikit meningkat, reflex patologis Babinsky (+) di kedua kaki.
Terdapat hipestesi mulai dari lipat paha ke bawah untuk modalitas raba halus
dan nyeri. Tes Lhermitte (-). Pemeriksaan neurologis lain dalam batas normal
a. Jika anda mencurigai ini sebagai MS, pemeriksaan apa yang anda sarankan?
Pada pasien MS, diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis.
Penegakkan diagnosis MS dapat dilakukan dengan mengguanakn kriteria
diagnostik McDonald (revisi 2017). Adapun kriteria diagnostik Diagnosis MS
perlu dipikirkan apabila didapatkan gejala-gejala neurologis dengan episode
remisi dan eksaserbasi ataupun progresif dan tidak ditemukan sebab lain yang
dapat menjelaskan gejala tersebut. Pemeriksaan yang perlu dilakukan untuk
menyingkirkan diagnosis banding yaitu pungsi lumbal (analisis CSS) dan MRI.
b. Apa yang anda harapkan dari pemeriksaan tersebut untuk memenuhi
kriteria McDonald?
Pemeriksaan dilakukan untuk menyingkirkan diagnosis banding. Pada
pemeriksaan MRI dapat ditemukan gambaran radiologis MS untuk menegakkan
diagnosis MS sesuai dengan table kriteria McDonald (revisi 2017) berikut:
Daftar Pustaka
1. Tjan A, Widhiasih NM, Sitanggan FP. Penyakit Pre-Huntington dan Huntington:
Kajian Molekular & Neuroradiologi. Jurnal Radiologi Indonesia. 2016; 2(1): 59-65
2. Bicknese AR. Metabolic and Degenerative diseases in adults. In: Gorelick PB, Testai
FD, Hankey GJ, Wardlaw JM. Hankey’s Clinical Neurology. Second edition. Boca
Raton: Taylor & Francis Group, an informa business. 2014
3. Teive HA. Spinocerebellar Ataxias. Arquivos de neuro-psiquiatria. 2009;
674(4):1133-42
4. Anugro D, Ikrar T. The Neuroscience of Glutamate. Medical Journal of Indonesia.
2014; 120: 56-61
5. Sherwood L. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 6. Jakarta: ECG. 2012
6. Ropper AH, Samuels MA, Klein JP. Adam anda Victor’s Principles of Neurology.
Tenth edition. McGraw Hill Education. 2014
7. Estiasari R. Sklerosis Multipel. CDK-217. 2014; 41(6): 425-427
8. National Multiple Sclerosis Society. 2017. Updated McDonald Criteria Expected to
Speed the Diagnosis of MS and Reduce Misdiagnosis. [Accesed on October 27th
2018]. Available from: https://www.nationalmssociety.org

Anda mungkin juga menyukai