Penyakit Degeneratif
Penyakit Degeneratif
Manifestasi klinis
Sekitar 1/3 pasien didiagnosis dengan manifestasi psikiatrik primer dan sisanya dengan
manifestasi neurologis. Manifestasi awal:
Kekakuan dan gait melambat
Iritabilitas, ansietas, agitasi
Apatis atau depresi
Abnormalitas gerakan mata
Delusi dan halusinasi
Seiring perkembangan penyakit, gangguan pergerakan lebih dominan dengan manifestasi
sebagai berikut:
Distonia dan korea
Gejala parkinsonian termasuk mask-like face dan hipofonia
Gait menjadi lambat dan kaku
Disfagia dan penurunan berat badan
Tremor bisa menonjol
Umumnya depresi dan ada ide-ide bunuh diri
Pada tahap yang lebih lanjut dapat terjadi manifestasi :
Rigiditas, bradikinesia berat
Disfagia, ketidakmampuan menelan, penurunan berat badan yang lebih parah
Kejang
Pada akhirnya, pasien tidak dapat berjalan atau berbicara
Diagnosis
MRI atrofi nucleus kaudatus dan putamen, seringkali sebelum onset gejala
Penatalaksanaan
Terapi bersifat simtomatik:
Baclofen dan diltiazem mengatasi rigiditas
Haloperidol atau antipsikotik atipikal mengatasi korea
Levodopa mengatasi gejala parkisonian karena dapat memperburuk korea
Valproate mengatasi mioklonus
b. Ataksia Spinoserebelar
Ataksia spinoserebelar atau disebut juga Autosomal Dominant Cerebellar Ataxia
(ADCA) merupakan suatu kelompok penyakit neurodegeneratif heterogen yang
diwariskan secara autosomal dominan. Karakteristik penyakit ini yaitu ataksia serebelar
progresif dengan beberapa gejala yaitu oftalmoplegia, pyramidal signs, gangguan
pergerakan, pigmentary retinopathy, neuropati perifer, disfungsi kognitif dan demensia.
Klasifikasi menurut Harding (1993) :
ADCA tipe I : Ataksia serebelar dengan berbagai tanda-tanda neurologis, termasuk
keterlibatan dari sistem saraf pusat dan/atau sistem saraf perifer
ADCA tipe II : Ataksia serebelar dengan adanya pigmentary maculopathy dan
striking anticipation (kecenderungan onset dini pada beberapa generasi berturut-
turut)
ADCA tipe III : Sindrom serebelar murni
Etiologi
Penyakit diwariskan secara autosomal dominan. Penyakit ini telah diidentifikasi dengan
adanya mutasi gen yang multipel. Penyebab dari mutasi ini dihubungkan dengan ekspansi
glutamin-encoding trinucleotide (CAG) secara berulang pada gen-gen kausatif.
Mekanisme patogenesis mencakup perubahan transkripsi gen, RNA spicling, dan
intracellular calcium handling.
Manifestasi klinis
Riwayat keluarga pada beberapa anggota keluarga
Onset lambat dan gradual
Fenotip yang heterogen
Ataksia serebelar, disartria, dismetria dan tremor serebelar, dengan atau tanpa:
o Oftalmoplegia supranuklear
o Atrofi optikus
o Pigmentary retinopathy
o Demensia
o Disfungsi ekstrapiramidal
Diagnosis
Sindrom klinis ataksia serebelar, riwayat dalam keluarga positif, analisis DNA positif
Patologi
Secara makroskopik terlihat adanya atrofi batang otak dan serebelum. Secara
mikroskopik terlihat kehilangan sel-sel saraf dan perubahan degeneratif mencakup :
Pons dan oliary nuclei
Nucleus dentatus serebelar
Sel-sel Purkinje serebelar
Ganglia basalis (substansia nigra, nukelus subatalmikus, nukleus merah)
Medulla spinalis (Clarke’s clomns, traktur spinoserebelar, anterior horn cells)
Saraf perifer (dorsal root ganglia)
Penatalaksanaan
Terapi bersifat suportif. Beberapa terapi simtomatis seperti:
Kolinergik : Physostigmine, lesitin, choline chloride
Obat-obatan GABAergic : baclofen, dan sodium valproate
Serotonergic coumpounds: L-5-hydroxytryptophan dikombinasikan dengan
peripheral decarboxylase inhibitor, dan buspirone hydrochloride
c. Penyakit Charcot-Marie-Tooth
Penyakit Charcot-Marie-Tooth (CMT) merupakan penyakit genetik yang terjadi akibat
neuropati perifer. Prevalensi penyakit ini sekitar 10-20 per 100000 populasi, dengan
kasus tersering CMT tipe 1.
Etiologi
Neuropati diklasifikasikan berdasarkan patologi (aksonal atau demielinisasi), pewarisan
(autosomal dominan, autosomal resesif, atau X-linked), dan mutasi gen spesifik.
Klasifikasi
CMT tipe 1 : autosomal dominan, demielinisasi. Mutasi yang terjadi mengganggu
fungsi mielin dan sel schwann mengakibatkan demielinisasi segmental dan
kehilangan akson sekunder. Terdiri dari CMT tipe 1A, 1B, 1C, 1D, dengan kasus
terbanyak adalah CMT tipe 1A (70%).
CMT tipe 2 : Kebanyakan autosomal dominan, aksonal. Kecepatan konduksi saraf >
38 m/s. Terdiri dari CMT tipe 2A2 dan 2B1, dengan kasus terbanyak adalah CMT
tipe 2A2 (33%)
CMT tipe 3 : Sindrom Dejerine-Sottas, demielinisasi berat atau hipomielinisasi, dapat
diwariskan secara autosomal dominan atau autosomal resesif.
CMT tipe 4 : Autosomal resesif, aksonal atau demielinisasi.
CMT tipe 1X : X-linked dominan, sekitar 12% dari semua kasus CMT; mutasi pada
connexin-32 pada kromosom X (Xq13)
Hereditary neuropathy with liability to pressure palsies (HNPP) : autosomal
dominan; kebanyakan kasus terjadi akibat delesi gen PMP-22 pada kromosom 17
(17p11.2)
Manifestasi klinis
CMT tipe 1
Onset pada remaja sampai usia 40-an. Pasien mengalami keluhan pergelangan kaki
terkilir
Pasien mungkin tidak mengeluhkan tanda-tanda gangguan sensoris, tapi pemeriksaan
sensoris (rasa getar, proprioseptif) menunjukkan adanya gangguan sensoris
Bagian yang terkena lebih dahulu yaitu kompartemen anterior pada bagian dista;
ekstremitas bawah, menyebabkan foot drop dan tungkai berbentuk ‘inverted
champagne bottle’
Atrofi bagian distal ekstremitas atas, terbentuk claw-hand
Generalized areflexia
Tremor tubuh bagian atas dan jika prominen dikenal dengan Roussy-Levy syndrome
Pes cavus dan hammer toes
CMT tipe 2 :
Onset lebih lambat
Pasien mungkin tidak mengeluhkan tanda-tanda gangguan sensoris, tapi pemeriksaan
sensoris (rasa getar, proprioseptif) menunjukkan adanya gangguan sensoris
Lebih sedikit keterlibatan tangan dan lebih sedikit terjadinya deformitas kaki
dibandingkan dengan tipe 1
Terkena sama atau seimbang baik pada kompartemen anterior dan posterior dari
bagian distal esktremitas bawah
CMT tipe 2A2: atrofi optik, ketulian, tanda-tanda piramidal, abnormalitas substansia
alba
CMT tipe 3 :
Kelemahan saat lahir (hypotonic infant); jika penyakit berat, dapat terjadi distress
pernafasan dan dapat menyebabkan kematian
Pada anak-anak terjadi keterlambatan perkembangan motorik yang signifikan
Semua modalitas sensorik terkena
Tuli sensorineural
Rekasi pupil abnormal
Saraf perifer membesar
Pes cavus dan kifoskoliosis
CMT tipe 4 :
Onset pada neonatus dengan keterlambatan perkembangan motorik
Kelemahan dan atrofi otot
Kehilangan fungsi sensoris ringan, arefleks, bisa mengalami skoliosis
CMT tipe 1X :
Pada pria yang terkena CMT tipe 1X memiliki presentasi klinis yang mirip dengan
CMT tipe 1
Wanita karier dapat menunjukkan neuropati ringan yang biasanya asimtomatik
Jarang keterlibatan sistem saraf pusat
Penatalaksanaan
Simtomatik
Ortosis ankle-foot untuk foot drop
Medikamentosa untuk mengatasi nyeri neuropatik yang memberat pada CMT
Pembedahan ortopedi pada deformitas kaki yang berat
Konseling genetic
Pada HNPP pasien harus menghindari duduk dengan kaki disilang, menggunakan tas
dukung, dan berlutut.
2. Jelaskan tentang neurotransmiter gulatamat: perannya dalam metabolisme,
jenis-jenis reseptornya, perannya sebagai neurotransmiter eksitatorik, dan
perannya sebagai agen eksitotoksik!
Glutamat merupakan suatu neurotransmiter eksitatorik dari sistem saraf pusat, yang
berperan di jaringan komunikasi yang kompleks, yang ditetapkan di antara semua sel-sel
yang mendiami otak, termasuk berbagai neuron, astrosit, oligodendrosit, dan mikroglia.
Glutamate dapat mempengaruhi semua fungsi fisiologis dan interaksi sel-sel otak.
Peran glutamat di berbagai jaringan dan sel-sel tubuh adalah sebagai berikut:
Sebagai neurotransmiter otak. Glutamat berperan sebagai major excitatory
transmitter di otak. Sedangkan major inhibitory transmitter di otak adalah GABA
Sel-sel piramidal adalah tipe “major excitatory” yang menggunakan glutamat sebagai
neurotransmiter
DI sel “spiny stellate” yang menyerupai sel piramidal dan menyediakan sinaps
asimetris yang dianggap bersifat excitatory, glutamat digunakan juga digunakan
sebagai neurotransmiter
Proses reuptake glutamat dilakukan sebagian besar oleh astrosit. Astrosit mengubah
glutamat menjadi glutamine, kemudian melepasnya ke ruang ekstraseluler. Glutamine
ditangkap/diambil oleh neuron yang menggunakannya untuk menghasilkan glutamat
dan GABA, secara berturut-turut
Karakteristik neurofilament adalah keberadaan daerah yang kaya akan glutamat
(glutamate-rich region) di bagian ujung (tail), berdekatan dengan tengah (core rod
domain). Glutamat menjadi dasar reaksi pewarnaan perak klasik (classic
neurofibrillary silver stains) untuk neuron.
Glutamat berperan dalam “alternative tryptophan metabolic pathways”
Glutamat berperan dalam neurotransmisi klasik. Contoh penting dari neurotransmiter
excitatory yang mengaktivasi “cation channels”, adalah glutamate dan asetilkolin.
Glutamate beraksi melalui berbagai reseptor ionotropik yang berbeda, sedangkan
asetilkolin beraksi melalui berbagai reseptor nicotinic.
Sebagian besar proses komunikasi di otak, melibatkan transmisi cepat pada sinaps-sinaps
excitatory yang diperantarai asam amino L-glutamat. Sekitar 80% ATP dikonsmusi oleh
ion sodium (Na+), K+-ATPase, suatu pompa membrane yang memperbaiki atau
memulihkan gradien ionik dan potensial membrane yang diubah oleh transmisi
excitatory. Pompa tergantung ATP (ATP-dependent pump) ini, juga mencegah akumulasi
berlebihan glutamat di ruang sinaptik dan aktivasi berlebihan dari reseptor-reseptor
postsinaptik, yang dapat menghasilkan akumulasi Ca2+ yang berlebihan di sitosol.
Sinaps listrik
Aktivitas sinaps mempengaruhi fungsi astrosit, yang merupakan komponen integral dari
unit sinaptik. Misalnya, sinaps membebaskan (me-release) neurotransmiter excitatory
(glutamate) bukan hanya mendatangkan /mendapatkan (meng- elicits) depolarisasi
neuron postsynaptic, melainkan juga menyediakan sinyal untuk astrosit yang
Reseptor Glutamat
Dua reseptor utama :
Reseptor iGlu (inotropic glutamate) : reseptor yang memediasi respon sinaptik cepat,
dengan membuka ion channels. Kelas-kelas utama dari berbagai reseptor iGlu yaitu:
o NMDA (N-methyl-D-aspartic acid). Reseptor NMDA adalah saluran ion non-
selektif. Setelah berikatan dengan glutamat, reseptor ini akan aktif dan terbuka
sehingga menyebabkan Ca2+ dan Na+ masuk ke dalam sel pascasinaps. Masuknya
kalsium mengaktifkan jalur pembawa pesan kedua dependen Ca2+ di neuron
pascasinaps. Jalur pembawa pesan kedua ini menyebabkan insersi fisik reseptor
AMPA tambahan di membrane pascasinaps.
o AMPA [(S)-alpha-amino-3-hydroxy-5-methylisoxazole-4-propionic acid].
Reseptor AMPA terutama berperan menghasilkan PPE sebagai respons terhadap
pengaktifan glutamat. Karena meningkatnya ketersediaan reseptor AMPA maka
sel pascasinaps memperlihatkan peningkatan respons PPE terhadap pengeluaran
glutamat lebih lanjut dari sel pascasinaps. Peningkatan kepekaan neuron
pascasinaps terhadap glutamat dari sel prasinaps ini membantu mempertahankan
PJP.
o Reseptor Kainate. Seperti reseptor-reseptor AMPA dan NMDA, ada dua ago-
nist-binding sites di setiap reseptor yang berkaitan erat dengan ion channel.
Keduanya, reseptor dengan afinitas rendah mau pun tinggi, telah teridentifikasi.
Semua reseptor secara luas didistribusikan dengan level ekspresi tinggi di
beberapa area forebrain. Forebrain adalah nama nonteknis untuk prosen-
cephalon, yaitu segmen otak dewasa yang berkembang dari forebrain embrionik
dan termasuk serebrum, talamus, dan hipotalamus.
Reseptor mGlu (metabotropic glutamate): reseptor yang menyebabkan efek sinaptik
yang lebih lambat, berkaitan dengan perubahan kimiawi. Berbagai reseptor ini secara
kuat mempengaruhi induksi, propagasi, dan terminasi aktivitas epilepsi di dalam
sistem saraf pusat. Sebagian karena peran mereka dalam regulasi neurotrans- misi
glutamatergic dan GABA-ergic. Berbagai reseptor mGlu, berkaitan dengan protein-
protein G dan terdiri dari tiga kelompok:
o Kelompok I terdiri dari mGlu1dan mGlu 5, terkait dengan aktivasi fosfolipase C
dan menyebabkan peningkatan konsentrasi inositol triphosphate intraseluler dan
mobilisasi kalsium. Kelompok ini secara umum berkaitan erat dengan respon-
respon sinaptik eksitatorik
o Kelompok II (mGlu2 dan mGlu3) sebagai pengendali pelepasan transmiter
(control of transmitter release), termasuk glutamat, GABA, dan 5HT.
o Kelompok III (mGlu4, mGlu6, mGlu7, mGlu8) yang menghambat aktivitas
adenyl cyclase, menghasilkan penurunan konsentrasi cAMP intraseluler.
Eksotoksisitas Glutamat
Hipotesis “eksitotoksisitas glutamate” (glutamate excitoto- xicity) melukiskan fenomena
yang terjadi, di mana kadar glutamat yang berlebihan menyebabkan degenerasi dan
disfungsi neuronal (gangguan sistem persarafan), mengaktivasi secara berlebihan
(overactivates) berbagai reseptor selulernya dan menginduksi kematian sel. Proses
eksotoksisitas glutamat terjadi akibat deplesi akut ATP yang memicu kerusakan neuronal
dari akumulasi L-glutamat yang berlebihan. Proses ini melibatkan aktivasi reseptor-
reseptor glutamat, akumulasi sitosol Ca2+, aktivasi kaskade yang dipicu oleh Ca2+,
generasi radikal bebas oksigen, dan kegagalan mitokondria.
Tanpa oksigen atau glukosa, produksi ATP mitokondria berhenti, persediaan ATP
dihabiskan dengan cepat. Akibatnya, beberapa fungsi terganggu atau menurun. Tanpa
kebutuhan energi untuk bahan bakar pompa Na+, K+, gradien ion tidak dapat
dipertahankan (maintained) dan neurons menjadi didepolarisasi. Ini menimbulkan
hilangnya “neuronal excitability” dan pembebasan (release) glutamate secara besar-
besaran (masif).
Kekurangan energi juga mengurangi uptake glutamate yang dilakukan oleh astrosit.
Timbunan (build-up) glutamate yang berlebihan di sinaps, mempercepat kematian
nekrotik dari berba- gai neuron yang merupakan target sinaps. Akibat kegagalan energi
pada mulanya fungsional dan berpotensi bersifat reversible.
Jika penyebabnya tidak dikoreksi, berbagai perubahan ini diikuti oleh akumulasi Ca2+ di
sitosol dan mitokondria, yang memicu perubahan irreversible seperti: kerusakan seluler,
mitokondria, dan membran-membran lainnya; disorganisasi sitoskeleton, dan degradasi
DNA.
Akumulasi Ca2+ di mitokondria mengganggu rantai respirasi dan produksi ATP, serta
memacu pembentukan radikal bebas oksigen. Kalsium mengaktivasi beberapa
fosfolipase, yang bersama dengan “oxidative stress”, merusak membran fosfolipid.
Kalsium mengaktifkan produksi nitric oxide, yang bereaksi dengan radikal bebas oksigen
dan menghasilkan oksidasi dan nitrasi lebih lanjut, serta proses nitrasi dari beberapa
protein esensial. Kalsium juga mengaktifkan calpain, di mana proteases merusak
submembrane cytoskeleton, mikrotubuli, neurofilamen, dan endonuklease yang
menyebabkan kerusakan DNA.
Hipotesis eksitotoksisitas glutamat ini juga berkaitan erat dengan gangguan neurode-
generative seperti: amyotrophic lateral sclerosis (ALS), mul- tiple sclerosis, penyakit
Parkinson, dan gangguan saraf lain.
Manifestasi klinis
Multiple Sclerosis. MS biasanya memiliki onset gejala subakut dalam beberapa jam
sampai beberapa hari. Gejala-gejala MS biasanya menunjukkan disfungsi nervus
optikus, batang otak, dan spinal cord.
o Penglihatan : penurunan ketajaman penglihatan, nyeri sekitar mata yang
dieksaserbasi dengan pergerakan mata atau saat menyentuh mata, skotoma
parasentralis, pembengkakan diskus optikus pada fase akut jika ada demielinisasi,
atrofi diskus optikus; internuklear oftalmoplegia (penglihatan ganda)
o Kelemahan : Terjadi pada satu atau lebih bagian tubuh atau wajah akibat
demielinisasi traktur kortikospinal, dengan gejala kelelahan, kekakuan.
Manifestasi lainnya yaitu perubahan sensasi pada wajah, badan, dan satu atau
lebih bagian tubuh; Lhermitte’s symptom. Dapat juga terjadi ketidakstabilan gaya
berjalan, kelemahan dan spastisitas, dll
o Vertigo
o Gangguan sfingter dan seksual
o Perubahan mental dan kejang
o Kelelahan dan nyeri
Penyakit Devic. Penyakit Devic disebut juga dengan Neuromyelitis optica (NMO)
dengan gejala klinis optic neuritis (bilateral) terjadi dengan transverse myelitis
(paresis simetris, gangguan sensoris, disfungsi sfingter). Perluasan penyakit sampai
ke batang otak dapat menimbulkan gejala nistagmus, tersedak, muntah, trigeminal
neuralgia, paralisis wajah, bahkan gangguan bernafas.
Pemeriksaan Penunjang
Cairan serebrospinalis : Pada NMO, CSS menunjukan iregularitas sell count, level
protein, dan oligoclonal bands (OCB). Pada pasien NMO, OCB lebih sedikit
dibandingkan pasien MS. Pada MS, analisis CSS juga jarang menunjukkan
pleositosis. Pada pasien NMO, konsentrasi neurofilamen (NH) dan fibrillar acidic
proteins (GFAP) lebih tinggi secara signifikan dibandingkan dengan pasien MS
MRI : Pada pasien NMO, MRI substansia alba otak normal hingga bertahun-tahun.
Pada spinal cord menunjukan lesi gadolinium-enhanced pada beberapa segmen
vertebra dengan mielitis transversa longitudinal ekstensif, yang berhubungan dengan
pembengkakan spinal cord atau atrofi pada fase akut. Diagnosis NMO berdasarkan
temuan setidaknya ada 3 atau lebih lesi pada spinal cord yang terutama berlokasi di
bagian servikal dan torakal. Pada MS dengan plak kronik terlihat hiperintens pada
sekuens T2WI, lebih jelas pada FLAIR; lesi yang telah mengalami kavitasi akan
terlihat hipointens pada T1WI; lesi hiperintens umumnya terlihat multiple, asimteris,
berbatas tegas, dan berlokasi di sekitar ventrikel (periventricular); adanya jari-jari
Dawson (Dawson’s fingers).
Terapi
Terapi suportif dengan antipiretik, terapi untuk mempertahankan intake cairan yang
adekuat, terapi kejang epileptik, dan menurunkan ICP. Setelah pasien didiagnosis dengan
ensefalitis diseminata akut terapi yang diberikan yaitu kortikosteroid dosis tinggi
diberikan secara intravena. Biasanya diberikan methylprednisolone 10-30 mg/kgBB/hari
intravena selama 3-5 hari.Titrasi turun dengan steroid oral biasanya diberikan jika pasien
terus memperlihatkan perbaikan klinis setelah pemberian steroid intravena. Terapi
alternatif utama adalah immunoglobulin intravena 2g/kgBB/hari selama 2-3 hari.