Anda di halaman 1dari 12

SEKOLAH TINGGI FARMASI INDONESIA

LABORATORIUM TEKNOLOGI FARMASI

LAPORAN PRAKTIKUM TEKNOLOGI

FORMULASI SEDIAAN STERIL

SEMESTER VI - 2019

Zat aktif : Sodium Thiosulfate


Sediaan : Injeksi
Jumlah sediaan : 5 mL/ampul

1. Formula
R/ Sodium Thiosulfate 10%
Disodium Hydrogen Phosphate 0,9%
Sodium Dihydrogen Phosphate 0,04%
Aqua pro injection ad 5 mL

2. Kegunaan Zat dalam Formula


Tabel 2.1 Kegunaan Zat dalam Formula
Zat Kegunaan
Sodium Thiosulfate Zat aktif
Disodium Hydrogen Phosphate Penyesuai pH
Sodium Dihydrogen Phosphate Penyesuai pH
Aqua pro injection Pembawa

3. Alasan Pemilihan Formula


3.1 Sodium Thiosulfate
Dapat digunakan sebagai zat aktif dalam formula digunakan
sebanyak 500 mg/mL.

3.2 Disodium Hydrogen Phosphate


Ditambahkan dalam formulasi sebagai penyesuai pH, agar sediaan
yang dihasilkan memiliki pH yang sesuai dengan sifat zat aktifnya yaitu
pH 8.
3.3 Sodium Dihydrogen Phosphate

1
Ditambahkan dalam formulasi sebagai penyesuai pH, agar sediaan
yang dihasilkan memiliki pH yang sesuai dengan sifat zat aktifnya yaitu
pH 8.
3.4 Aqua Pro Injection
Dapat digunakan sebagai cairan pembawa sediaan injeksi
intravena. Selain itu, penambahan aqua pro injection juga berfungsi
sebagai pelarut zat dalam sediaan.

4. Monografi
4.1 Zat Aktif

Gambar 4.1. Struktur Kimia Sodium Thiosulfate

Nama zat : Sodium Thiosulfate


Rumus Kimia : Na2S2O35H2O
Berat Molekul : 248,17
Pemerian : Hablur besar, tidak berwarna atau serbuk hablur
besar. Mengkilap dalam udara lembab dan mekar
dalam udara kering pada suhu lebih dari 33o.
Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air, tidak larut dalam
etanol.
pH : 6 – 9,5
(Farmakope Indonesia Edisi IV, hal. 605)
4.2 Zat Tambahan
4.2.1 Dinatrium Hydrogen Phosphate
Rumus Molekul : Na2HPO4.12H2O
Bobot Molekul : 358,14
Pemerian : Hablur tidak berwarna; tidak
berbau; rasa asin. Dalam udara
kering merapuh.

2
Kelarutan : Larut dalam 5 bagian air,
sukar larut dalam etanol (95%) P.
pH :9,0 – 9,2.
Stabilitas : Higroskopis.
(Farmakope Indonesia Edisi III, hal.227)

4.2.2 Sodium Dihydrogen Phosphate


Rumus Molekul : NaH2PO4.2H2O
Bobot Molekul : 156,01
Pemerian : Hablur tidak berwarna atau serbuk
hablur putih, tidak berbau, rasa
asam atau asin.
Kelarutan : Larut dalam 1 bagian air.
pH : 4,2 – 4,6.
Stabilitas : Stabil secara kimiawi, meskipun
sedikit deliquescent.
(Farmakope Indonesia Edisi III, hal.409)

4.2.3 Aqua pro injection


Pemerian : Cairan jernih, tidak berwarna, tidak
berbau.
(Farmakope Indonesia Edisi V, hal.64)

3
5. PERHITUNGAN
5.1 Perhitungan Konsentrasi Zat
Tabel 5.1 Perhitugan Konsentrasi Zat
ΔTB
Zat Perhitungan Konsentrasi C
atau E

Sodium Thiosulfate x 100 mL=10 g/100 mL 10% 0,18

Disodium Hydrogen
x 800 mg =40 mg/100 mL 0,9% 0,126
Phosphate
Sodium Dihydrogen
x 947 mg=899,6 mg/100 mL 0,04% 0,202
Phosphate
5.2 Perhitungan Tonisitas
Tabel 5.2 Perhitungan Tonisitas
Perhitungan Tonisitas
Zat
a = ΔTB x C
Sodium Thiosulfate 0,18 x 10% = 1,8
Disodium Hydrogen Phosphate 0,126 x 0,9% = 0,1134
Sodium Dihydrogen Phosphate 0,202 x 0,04% = 0,00808
a total 1,92148

W = = -2,4331 g/100 mL

Tonisitas sebenarnya = 0,9 - (-2,4331) = 3,3331 g/100 mL


NaCl yang ditambahkan = 0,9 - 3,3331 = -2.4331 g/100 mL
5.3 Perhitungan Vial
Vial = (n + 2) c + 2 mL
= (2 + 2) 5,3 + 2 mL
= (4) 5,3 + 2 mL
= 23,2 mL
= 25 mL

4
6. PENIMBANGAN
Tabel 6.1 Penimbangan Bahan
Jumlah yang diperlukan
Nama Bahan Baku Jumlah per 1 unit untuk 1 batch
( 25 mL )
Sodium Thiosulfate 0,5 g/mL 2,5 g/mL
Disodium Hydrogen
Phosphate 0,045 g/mL 0,225 g/mL
Sodium Dihydrogen
Phosphate 0,002 g/mL 0,01 gmL
Aqua pro injection ad 5 mL ad 25 mL

7. PROSEDUR
7.1 Prosedur Kerja
Pada pembuatan injeksi dengan zat aktif Sodium Thiosulfate, pertama
disiapkan alat dan bahan. Lalu dimasukkan larutan Dapar Phospat pH 7,4
2 mL. Larutan campuran tersebut ditambahkan Aqua Pro Injection ad 25
mL. Kemudian di cek pH ad 8-9,5. Setelah itu dimasukkan ke dalam
ampul masing-masing 5 mL menggunakan spuit dan bakteri filter. Sediaan
dilas dan disterilkan dalam autoklaf 115o-116oC selama 30 menit. Sediaan
siap dikemas.
7.2 Prosedur Evaluasi
7.2.1 Uji Kejernihan
Pemeriksaan dilakukan secara visual biasanya dilakukan oleh
seseorang yang memeriksa wadah bersih dari luar di bawah
penerangan cahaya yang baik, terhalang terhadap refleksi ke dalam
matanya, dan berlatar belakang hitam dan putih, dengan rangkaian
isi dijalankan dengan suatu aksi memutar, harus benar-benar bebas
dari partikel kecil yang dapat dilihat dengan mata (Lachman, dkk.
1994).
7.2.2 Uji Kebocoran
Ampul disimpan secara terbalik didalam wadah, kemudian
permukaan bawahnya diletakan tisu. Kemusian dimasukan
kedalam autoklaf selama 15 menit pada suhu 121oC. Apabila

5
sediaan bocor maka volume pada ampul berkurang(Lachman, dkk.
1994).
7.2.3 Uji Keseragaman Volume
Ampul diletakkan pada permukaan yang rata secara sejajar lalu
dilihat keseragaman volume secara visual(Lachman, dkk. 1994).
7.2.4 Uji Penampilan Fisik Wadah
Pemeriksaan dilakukan secara visual dengan diperhatikan bentuk
wadah atau ampul yang digunakan pada sediaan yang sudah jadi
(Lachman, dkk. 1994).

8. DATA PENGAMATAN
Tabel 8.1 Hasil Evaluasi Sediaan
Jenis Evaluasi Hasil
Kejernihan -
Penampilan fisik wadah -
Kebocoran ampul -
Jumlah sediaan -
Keseragaman volume -

9. PEMBAHASAN

6
Pada praktikum kali ini dilakukan pembuatan sediaan parenteral berupa
injeksi dengan menggunakan zat aktif natrium thiosulfat. Natrium thiosulfat
merupakan garam yang dapat diberikan secara empiris pada pasien yang
mengalami keracunan sianida, zat ini pun stabil dalam larutan pembawa air.
Natrium thiosulfat biasa digunakan sebagai zat aktif yang memiliki khasiat
sebagai antidotum atau penawar racun. Injeksi natrium thiosulfat dikemas dalam
wadah dosis tunggal.
Terdapat berbagai rute pemberian parenteral yaitu intravena, intraspinal,
intramuscular, subkutis, dan intradermal. Rute yang digunakan pada sediaan
parenteral kali ini yaitu rute intravena. Rute intravena ini sangat tepat untuk
sediaan injeksi natrium thiosulfat karena natrium thiosulfat ini digunakan sebagai
antidotum zat sianida. Pemberian obat secara intravena ini tidak ada fase absorpsi,
obat langsung masuk ke dalam vena, onset of action nya cepat, sehingga sangat
baik digunakan untuk sediaan antidotum.
Pembuatan sediaan injeksi natrium thiosulfat ini dibuat dengan
menggunakan pelarut aqua pro injeksi. Menurut Farmakope Indonesia, natrium
thiosulfat sangat mudah larut dalam air, sehingga pembuatannya juga lebih stabil
dengan pelarut tersebut. Pembawa air yang digunakan pun aqua pro injeksi.
Sebelum membuat sediaan injeksi natrium thiosulfat, perlu dilakukan perhitungan
tonisitas. Syarat sediaan steril adalah isotonis. Maka dari itu perlu diketahui
terlebih dahulu tonisitas dari sediaan injeksi natrium thiosulfat tersebut. Isotonis
adalah tekanan yang dihasilkan sediaan sama dengan tekanan dalam cairan tubuh.
Pada proses pembuatan sediaan ini, pertama natrium thiosulfat dilarutkan
terlebih dahulu ke dalam sebagian aqua pro injeksi. Setelah itu ditambahkan
larutan dapar. Pada pembuatan injeksi natrium thiosulfat ini digunakan NaH₂PO₄
dan Na₂HPO₄ sebagai larutan penyangga atau buffer. Larutan penyangga sangat
penting dalam pembuatan sediaan injeksi, karena kultur jaringan dan bakteri
mengalami proses yang sangat sensitive terhadap perubahan pH. Selain itu, darah
dalam tubuh manusia mempunyai kisaran pH 7,35 sampai 7,45 dan apabila pH
sediaan injeksi di atas kisaran pH normal tubuh manusia akan menyebabkan organ
tubuh manusia menjadi rusak, sehingga harus dijaga pH nya dengan larutan
penyangga.

7
Dapar fosfat mempunyai selisih pH yang tidak boleh melebihi dari 3,
dikarenakan dapar harus mempunyai rentang tipis yang berupa penyangga agar
tidak terjadi lingkungan yang terlalu asam, sebab dapar fosfat mempunyai sifat
yang agak sedikit basa yang fungsinya untuk menstabilkan pH sediaan injeksi
natrium thiosulfat yaitu 8 - 9,5.
Dalam pembuatan sediaan injeksi perlu dilakukan penyaringan dengan
menggunakan kertas saring yang bertujuan untuk menyaring partikel-partikel
yang berukuran besar sehingga pada saat disaring dengan bakteri filter tidak akan
terjadi penyumbatan. Setelah disaring dengan kertas saring selanjutnya disaring
dengan menggunakan bakteri filter berukuran 0.45 µm. Penyaringan ini berfungsi
untuk menyaring partikel-partikel yang tidak bisa tersaring oleh kertas saring dan
juga untuk menyaring mikroba yang mungkin terdapat pada larutan yang terbawa
dari udara ataupun dari alat-alat yang digunakan. Larutan yang telah disaring
kemudian dimasukkan ke dalam wadah ampul, masing-masing berisi 5 mL.
Ampul yang telah diisi kemudian dilas. Kemudian sediaan disterilkan.
Metode sterilisasi yang digunakanuntuk membuat injeksi natrium
thiosulfat ini dibuat dengan metode sterilisasi cara A yaitu menggunakanuap basah
dengan autoklaf dan menggunakan uap air dengan tekanan tinggi. Metode ini
dipilih karena natrium thiosulfat memiliki karakteristik tahan terhadap pemanasan.
Mekanisme penghancuran bakteri oleh uap air panas adalah karena terjadinya
denaturasi dan koagulasi beberapa protein esensial organisme tersebut. Adanya
uap air yang panas dalam sel mikroba, menimbulkan kerusakan pada temperatur
yang relatifrendah.
Setelah sediaan selesai dibuat, seharusnya dilakukan evaluasi sediaan yaitu
evaluasi kejernihan, kebocoran, uji penampilan fisik wadah, dan uji keseragaman
volume.Akan tetapi dikarenakan seluruh sediaan bocor setelah disterilisasi,
sehingga tidak ada satupun sediaan yang dapat dievaluasi. Kebocoran sediaan
kemungkinan dikarenakan teknik pengelasan yang kurang tepat, sehingga ampul
tidak tertutup sempurna dan tahan terhadap tekanan uap dari autoklaf tersebut.

9. KESIMPULAN

8
Sediaan steril injeksi natrium thiosulfat yang telah dibuat dengan teknik
sterilisasi uap menggunakan autoklaf dinyatakan tidak cukup baik. Hal ini
didasarkan pada bocornya seluruh sediaan yang telah disterilisasi.

DAFTAR PUSTAKA

9
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1979. Farmakope Indonesia
Edisi 3. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1995. Farmakope Indonesia
Edisi 4. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Farmakope Indonesia
Edisi 5. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Lachman dkk. 1994. Teori Dan Praktek Farmasi Industri. Jakarta: UI
Press.Priyambodo, B. 2007. Manajemen Farmasi Industri.
Yogayakarta : Global Pustaka Utama.
Rowe, Raymond C., et. al. 2009. Handbook of Pharmaceutical
Excipients Sixth Edition. London: Pharmaceutical Press.

Lampiran

10
1. Kemasan Primer

2. Kemasan Sekunder

3. Brosur

11
4. Label

12

Anda mungkin juga menyukai