Anda di halaman 1dari 10

PENGERTIAN BANK SENTRAL

Sebuah bank tempat bank-bank lain menaruh dana/rekening dan mempergunakan dana tersebut untuk penyelesaian akhir dari transaksi
antar bank

STATUS DAN KEDUDUKAN BANK INDONESIA


:: Lembaga Negara yang Independen
Babak baru dalam sejarah Bank Indonesia sebagai Bank Sentral yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya
dimulai ketika sebuah undang-undang baru, yaitu UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia, dinyatakan berlaku pada tanggal 17 Mei 1999
dan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia No. 6/ 2009. Undang-undang ini memberikan status dan
kedudukan sebagai suatu lembaga negara yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan
Pemerintah dan/atau pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam undang-undang ini.
Bank Indonesia mempunyai otonomi penuh dalam merumuskan dan melaksanakan setiap tugas dan wewenangnya sebagaimana
ditentukan dalam undang-undang tersebut. Pihak luar tidak dibenarkan mencampuri pelaksanaan tugas Bank Indonesia, dan Bank
Indonesia juga berkewajiban untuk menolak atau mengabaikan intervensi dalam bentuk apapun dari pihak manapun juga.
Status dan kedudukan yang khusus tersebut diperlukan agar Bank Indonesia dapat melaksanakan peran dan fungsinya sebagai otoritas
moneter secara lebih efektif dan efisien.
:: Sebagai Badan Hukum
Status Bank Indonesia baik sebagai badan hukum publik maupun badan hukum perdata ditetapkan dengan undang-undang. Sebagai
badan hukum publik Bank Indonesia berwenang menetapkan peraturan-peraturan hukum yang merupakan pelaksanaan dari undang-
undang yang mengikat seluruh masyarakat luas sesuai dengan tugas dan wewenangnya. Sebagai badan hukum perdata, Bank Indonesia
dapat bertindak untuk dan atas nama sendiri di dalam maupun di luar pengadilan.

VISI, MISI DAN NILAI STRATEGIS


Visi
Menjadi bank sentral yang berkontribusi secara nyata terhadap perekonomian Indonesia dan terbaik diantara negara emerging markets.
Misi
1. Mencapai dan memelihara stabilitas nilai Rupiah melalui efektivitas kebijakan moneter dan bauran kebijakan Bank Indonesia.
2. Turut menjaga stabilitas sistem keuangan melalui efektivitas kebijakan makroprudensial Bank Indonesia dan sinergi dengan
kebijakan mikroprudensial Otoritas Jasa Keuangan.
3. Turut mengembangkan ekonomi dan keuangan digital melalui penguatan kebijakan sistem pembayaran Bank Indonesia dan sinergi
dengan kebijakan Pemerintah serta mitra strategis lain.
4. Turut mendukung stabilitas makroekonomi dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan melalui sinergi bauran kebijakan Bank
Indonesia dengan kebijakan fiskal dan reformasi struktural pemerintah serta kebijakan mitra strategis lain.
5. Memperkuat efektivitas kebijakan Bank Indonesia dan pembiayaan ekonomi, termasuk infrastruktur, melalui akselerasi pendalaman
pasar keuangan.
6. Turut mengembangkan ekonomi dan keuangan syariah di tingkat nasional hingga di tingkat daerah.
7. Memperkuat peran internasional, organisasi, sumber daya manusia, tata kelola dan sistem informasi Bank Indonesia.

Nilai-Nilai Strategis
Nilai-nilai strategis Bank Indonesia adalah: (i) kejujuran dan integritas (trust and integrity); (ii) profesionalisme (professionalism); (iii)
keunggulan (excellence); (iv) mengutamakan kepentingan umum (public interest); dan (v) koordinasi dan kerja sama tim (coordination
and teamwork) yang berlandaskan keluhuran nilai-nilai agama (religi).

TUJUAN DAN TUGAS BANK INDONESIA

:: Tujuan Tunggal

Dalam kapasitasnya sebagai bank sentral, Bank Indonesia mempunyai satu tujuan tunggal, yaitu mencapai dan memelihara
kestabilan nilai rupiah. Kestabilan nilai rupiah ini mengandung dua aspek, yaitu kestabilan nilai mata uang terhadap barang dan jasa, serta
kestabilan terhadap mata uang negara lain. Aspek pertama tercermin pada perkembangan laju inflasi, sementara aspek kedua tercermin
pada perkembangan nilai tukar rupiah terhadap mata uang negara lain. Perumusan tujuan tunggal ini dimaksudkan untuk memperjelas
sasaran yang harus dicapai Bank Indonesia serta batas-batas tanggung jawabnya. Dengan demikian, tercapai atau tidaknya tujuan Bank
Indonesia ini kelak akan dapat diukur dengan mudah.
:: Tiga Pilar Utama
Untuk mencapai tujuan tersebut Bank Indonesia didukung oleh tiga pilar yang merupakan tiga bidang tugasnya. Ketiga bidang tugas
tersebut perlu diintegrasi agar tujuan mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah dapat dicapai secara efektif dan efisien. berikut
tugas dan fungsi Bank Indonesia yang telah dituangkan dalam bentuk gambar berisi tiga pilar.
Hubungan Kelembagaan
KEDUDUKAN BANK INDONESIA SEBAGAI LEMBAGA NEGARA
Dilhat dari sistem ketatanegaraan Republik Indonesia, kedudukan BI sebagai lembaga negara yang independen tidak sejajar dengan
lembaga tinggi negara seperti Dewan Perwakilan Rakyat, Badan Pemeriksa Keuangan, dan Mahkamah Agung. Kedudukan BI juga tidak
sama dengan Departemen karena kedudukan BI berada di luar pemerintahan. Status dan kedudukan yang khusus tersebut diperlukan agar
BI dapat melaksanakan peran dan fungsinya sebagai Otoritas Moneter secara lebih efektif dan efisien. Meskipun BI berkedudukan sebagai
lembaga negara independen, dalam melaksanakan tugasnya, BI mempunyai hubungan kerja dan koordinasi yang baik dengan DPR, BPK,
Pemerintah dan pihak lainnya.
Dalam hubungannya dengan Presiden dan DPR, BI setiap awal tahun anggaran menyampaikan informasi tertulis mengenai evaluasi
pelaksanaan kebijakan moneter dan rencana kebijakan moneter yang akan datang. Khusus kepada DPR, pelaksanaan tugas dan wewenang
setiap triwulan dan sewaktu-waktu bila diminta oleh DPR. Selain itu, BI menyampaikan rencana dan realiasasi anggaran tahunan kepada
Pemerintah dan DPR. Dalam hubungannya dengan BPK, BI wajib menyampaikan laporan keuangan tahunan kepada BPK.
:: Hubungan BI dengan Pemerintah : Hubungan Keuangan
Dalam hal hubungan keuangan dengan Pemerintah, Bank Indonesia membantu menerbitkan dan menempatkan surat-surat hutang
negara guna membiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tanpa diperbolehkan membeli sendiri surat-surat hutang
negara tersebut. Bank Indonesia juga bertindak sebagai kasir Pemerintah yang menatausahakan rekening Pemerintah di Bank Indonesia,
dan atas permintaan Pemerintah, dapat menerima pinjaman luar negeri untuk dan atas nama Pemerintah Indonesia.
Namun demikian, agar pelaksanaan tugas Bank Indonesia benar-benar terfokus serta agar efektivitas pengendalian moneter tidak
terganggu, pemberian kredit kepada Pemerintah guna mengatasi deficit spending - yang selama ini dilakukan oleh Bank Indonesia
berdasarkan undang-undang yang lama - kini tidak dapat lagi dilakukan oleh Bank Indonesia.
:: Hubungan BI dengan Pemerintah : Independensi dalam Interdependensi
Meskipun Bank Indonesia merupakan lembaga negara yang independen, tetap diperlukan koordinasi yang bersifat konsultatif dengan
Pemerintah, sebab tugas-tugas Bank Indonesia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan-kebijakan ekonomi nasional
secara keseluruhan.Koordinasi di antara Bank Indonesia dan Pemerintah diperlukan pada sidang kabinet yang membahas masalah
ekonomi, perbankan dan keuangan yang berkaitan dengan tugas-tugas Bank Indonesia. Dalam sidang kabinet tersebut Pemerintah dapat
meminta pendapat Bank Indonesia.
Selain itu, Bank Indonesia juga dapat memberikan masukan, pendapat serta pertimbangan kepada Pemerintah mengenai Rancangan
APBN serta kebijakan-kebijakan lain yang berkaitan dengan tugas dan wewenangnya. Di lain pihak, Pemerintah juga dapat menghadiri
Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia dengan hak bicara tetapi tanpa hak suara. Oleh sebab itu, implementasi independensi justru sangat
dipengaruhi oleh kemantapan hubungan kerja yang proporsional di antara Bank Indonesia di satu pihak dan Pemerintah serta lembaga-
lembaga terkait lainnya di lain pihak, dengan tetap berlandaskan pembagian tugas dan wewenang masing-masing.
:: Kerjasama BI dengan Lembaga Lain
Menyadari pentingnya dukungan dari berbagai pihak bagi keberhasilan tugasnya, BI senantiasa bekerja sama dan berkoordinasi
dengan berbagai lembaga negara dan unsur masyarakat lainnya. Beberapa kerjasama ini dituangkan dalam nota kesepahaman (MoU),
keputusan bersama (SKB), serta perjanjian-perjanjian, yang ditujukan untuk menciptakan sinergi dan kejelasan pembagian tugas antar
lembaga serta mendorong penegakan hukum yang lebih efektif.
Beberapa Kerjasama dimaksud adalah dengan pihak-pihak sbb :
1. Departemen Keuangan (MoU tentang Mekanisme Penetapan Sasaran, Pemantauan, dan Pengendalian Inflasi di Indonesia, MoU
tentang BI sebagai Process Agent di bidang pinjaman dan hibah luar negeri Pemerintah, SKB tentang Penatausahaan Penerbitan
Surat Utang Negara (SUN) dalam rangka penyehatan perbankan)
2. Kejaksaan Agung & Kepolisian Negara : SKB tentang kerjasama penanganan tindak pidana di bidang perbankan
3. Kepolisian Negara RI dan Badan Intelijen Negara : MoU tentang Pemberantasan uang palsu
4. Menkokesra, Kementrian Koperasi dan UKM : MoU bidang Pemberdayaan dan Pengembangan UMKM
5. Perhimpunan Pedagang SUN (Himdasun) : MoU tentang Penyusunan Master Repurchase Agreement (MRA)
6. Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia tentang Koordinasi Pengelolaan Uang Negara (.pdf)

Tujuan Kebijakan Moneter


Tujuan Kebijakan Moneter Bank Indonesia
Bank Indonesia memiliki tujuan untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Tujuan ini sebagaimana tercantum dalam
UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, yang sebagaimana diubah melalui UU No. 3 Tahun 2004 dan UU No. 6 Tahun 2009 pada
pasal 7. Kestabilan rupiah yang dimaksud mempunyai dua dimensi. Dimensi pertama kestabilan nilai rupiah adalah kestabilan terhadap
harga-harga barang dan jasa yang tercermin dari perkembangan laju inflasi. Sementara itu, dimensi kedua terkait dengan perkembangan
nilai tukar rupiah terhadap mata uang negara lain.
Dalam konteks perkembangan nilai rupiah terhadap mata uang negara lain, Indonesia menganut sistem nilai tukar mengambang (free
floating). Peran kestabilan nilai tukar sangat penting dalam mencapai stabilitas harga dan sistem keuangan. Oleh karena itu, Bank
Indonesia juga menjalankan kebijakan untuk menjaga kestabilan nilai tukar agar sesuai dengan nilai fundamentalnya dengan tetap
menjaga bekerjanya mekanisme pasar.
Dalam upaya mencapai tujuan rersebut, Bank Indonesia sejak 1 Juli 2005 menerapkan kerangka kebijakan moneter Inflation
Targeting Framework (ITF). Kerangka kebijakan tersebut dipandang sesuai dengan mandat dan aspek kelembagaan yang diamanatkan
oleh Undang-Undang. Dalam kerangka ini, inflasi merupakan sasaran yang diutamakan (overriding objective). Bank Indonesia secara
konsisten terus melakukan berbagai penyempurnaan kerangka kebijakan moneter, sesuai dengan perubahan dinamika dan tantangan
perekonomian yang terjadi, guna memperkuat efektivitasnya.
Kerangka Kebijakan Moneter
Kerangka Kebijakan Moneter
Dalam melaksanakan kebijakan moneter, Bank Indonesia menganut kerangka kerja yang dinamakan Inflation Targeting
Framework (ITF) dengan penggunaan suku bunga sebagai sasaran operasional. Kerangka kerja ini diterapkan secara formal sejak 1 Juli
2005, setelah sebelumnya menggunakan kebijakan moneter yang menerapkan uang primer (base money) sebagai sasaran kebijakan
moneter.Berpijak pada pengalaman krisis keuangan global 2008/2009, salah satu pelajaran penting yang mengemuka adalah
diperlukannya fleksibilitas yang cukup bagi bank sentral untuk merespons perkembangan ekonomi yang semakin kompleks dan peran
sektor keuangan yang semakin kuat dalam memengaruhi stabilitas ekonomi makro. Berdasarkan perkembangan tersebut, Bank Indonesia
memperkuat kerangka ITF menjadi Flexible ITF.

Flexible ITF dibangun dengan tetap berpijak pada elemen-elemen penting ITF yang telah terbangun. Elemen-elemen pokok ITF termasuk
pengumuman sasaran inflasi kepada publik, kebijakan moneter yang ditempuh secara forward looking, dan akuntabilitas kebijakan kepada
publik tetap menjadi bagian inherent dalam Flexible ITF. Kerangka Flexible ITF dibangun berdasarkan 5 (lima) elemen pokok.
1. Pertama, inflasi tetap merupakan target utama kebijakan moneter.
2. Kedua, pengintegrasian kebijakan moneter dengan kebijakan makroprudensial untuk memperkuat transmisi kebijakan dan
mendukung stabilitas makroekonomi.
3. Ketiga, penguatan kebijakan nilai tukar dan arus modal dalam mendukung stabilitas makroekonomi.
4. Keempat, penguatan koordinasi kebijakan antara Bank Indonesia dengan Pemerintah baik untuk pengendalian inflasi maupun
stabilitas sistem keuangan.
5. Kelima, penguatan komunikasi kebijakan sebagai bagian dari instrumen kebijakan.

Definisi inflasi
Secara sederhana inflasi diartikan sebagai kenaikan harga secara umum dan terus menerus dalam jangka waktu tertentu. Kenaikan
harga dari satu atau dua barang saja tidak dapat disebut inflasi kecuali bila kenaikan itu meluas (atau mengakibatkan kenaikan harga) pada
barang lainnya. Kebalikan dari inflasi disebut deflasi.
Indikator yang sering digunakan untuk mengukur tingkat inflasi adalah Indeks Harga Konsumen (IHK). Perubahan IHK dari waktu
ke waktu menunjukkan pergerakan harga dari paket barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat. Penentuan barang dan jasa dalam
keranjang IHK dilakukan atas dasar Survei Biaya Hidup (SBH) yang dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Kemudian, BPS
akan memonitor perkembangan harga dari barang dan jasa tersebut secara bulanan di beberapa kota, di pasar tradisional dan modern
terhadap beberapa jenis barang/jasa di setiap kota.
Indikator inflasi lainnya berdasarkan international best practice antara lain:
1. Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB).
Harga Perdagangan Besar dari suatu komoditas ialah harga transaksi yang terjadi antara penjual/pedagang besar pertama dengan
pembeli/pedagang besar berikutnya dalam jumlah besar pada pasar pertama atas suatu komoditas.
2. Indeks Harga Produsen (IHP)
Indikator ini mengukur perubahan rata-rata harga yang diterima produsen domestik untuk barang yang mereka hasilkan.
3. Deflator Produk Domestik Bruto (PDB)
menunjukkan besarnya perubahan harga dari semua barang baru, barang produksi lokal, barang jadi, dan jasa. Deflator PDB
dihasilkan dengan membagi PDB atas dasar harga nominal dengan PDB atas dasar harga konstan.
4. Indeks Harga Aset
Indeks ini mengukur pergerakan harga aset antara lain properti dan saham yang dapat dijadikan indikator adanya tekanan terhadap
harga secara keseluruhan.

Pengelompokan Inflasi
Inflasi yang diukur dengan IHK di Indonesia dikelompokan ke dalam 7 kelompok pengeluaran (berdasarkan the Classification of
individual consumption by purpose - COICOP), yaitu :
1. Kelompok Bahan Makanan
2. Kelompok Makanan Jadi, Minuman, Rokok dan Tembakau
3. Kelompok Perumahan, Air, Listrik, Gas, dan Bahan Bakar
4. Kelompok Sandang
5. Kelompok Kesehatan
6. Kelompok Pendidikan, Rekreasi, dan Olahraga
7. Kelompok Transpor, Komunikasi, dan Jasa Keuangan

Disamping pengelompokan berdasarkan COICOP tersebut, BPS saat ini juga mempublikasikan inflasi berdasarkan pengelompokan yang
lainnya yang dinamakan disagregasi inflasi. Disagregasi inflasi tersebut dilakukan untuk menghasilkan suatu indikator inflasi yang lebih
menggambarkan pengaruh dari faktor yang bersifat fundamental.
Di Indonesia, disagegasi inflasi IHK tersebut dikelompokan menjadi:
1. Inflasi Inti, yaitu komponen inflasi yang cenderung menetap atau persisten (persistent component) di dalam pergerakan inflasi dan
dipengaruhi oleh faktor fundamental, seperti:
o Interaksi permintaan-penawaran
o Lingkungan eksternal: nilai tukar, harga komoditi internasional, inflasi mitra dagang
o Ekspektasi Inflasi dari pedagang dan konsumen
2. Inflasi non Inti, yaitu komponen inflasi yang cenderung tinggi volatilitasnya karena dipengaruhi oleh selain faktor fundamental.
Komponen inflasi non inti terdiri dari :
o Inflasi Komponen Bergejolak (Volatile Food) : Inflasi yang dominan dipengaruhi oleh shocks (kejutan) dalam kelompok bahan
makanan seperti panen, gangguan alam, atau faktor perkembangan harga komoditas pangan domestik maupun perkembangan
harga komoditas pangan internasional.
o Inflasi Komponen Harga yang diatur Pemerintah (Administered Prices) : Inflasi yang dominan dipengaruhi
oleh shocks (kejutan) berupa kebijakan harga Pemerintah, seperti harga BBM bersubsidi, tarif listrik, tarif angkutan, dll.
Determinan Inflasi
Inflasi timbul karena adanya tekanan dari sisi supply (cost push inflation), dari sisi permintaan (demand pull inflation), dan dari ekspektasi
inflasi. Faktor-faktor terjadinya cost push inflation dapat disebabkan oleh depresiasi nilai tukar, dampak inflasi luar negeri terutama
negara-negara partner dagang, peningkatan harga-harga komoditi yang diatur pemerintah (administered price), dan terjadi negative supply
shocks akibat bencana alam dan terganggunya distribusi.
Faktor penyebab terjadi demand pull inflation adalah tingginya permintaan barang dan jasa relatif terhadap ketersediaannya. Dalam
konteks makroekonomi, kondisi ini digambarkan oleh output riil yang melebihi output potensialnya atau permintaan total (agregate
demand) lebih besar dari pada kapasitas perekonomian. Sementara itu, faktor ekspektasi inflasi dipengaruhi oleh perilaku masyarakat dan
pelaku ekonomi dalam menggunakan ekspektasi angka inflasi dalam keputusan kegiatan ekonominya. Ekspektasi inflasi tersebut apakah
lebih cenderung bersifat adaptif atau forward looking. Hal ini tercermin dari perilaku pembentukan harga di tingkat produsen dan
pedagang terutama pada saat menjelang hari-hari besar keagamaan (lebaran, natal, dan tahun baru) dan penentuan upah minimum provinsi
(UMP). Meskipun ketersediaan barang secara umum diperkirakan mencukupi dalam mendukung kenaikan permintaan, namun harga
barang dan jasa pada saat-saat hari raya keagamaan meningkat lebih tinggi dari kondisi supply-demand tersebut. Demikian halnya pada
saat penentuan UMP, pedagang ikut pula meningkatkan harga barang meski kenaikan upah tersebut tidak terlalu signifikan dalam
mendorong peningkatan permintaan.

Pentingnya Kestabilan Harga


Inflasi yang rendah dan stabil merupakan prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan yang pada akhirnya memberikan
manfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pentingnya pengendalian inflasi didasarkan pada pertimbangan bahwa inflasi yang
tinggi dan tidak stabil memberikan dampak negatif kepada kondisi sosial ekonomi masyarakat.
Pertama, inflasi yang tinggi akan menyebabkan pendapatan riil masyarakat akan terus turun sehingga standar hidup dari masyarakat
turun dan akhirnya menjadikan semua orang, terutama orang miskin, bertambah miskin.
Kedua, inflasi yang tidak stabil akan menciptakan ketidakpastian (uncertainty) bagi pelaku ekonomi dalam mengambil keputusan.
Pengalaman empiris menunjukkan bahwa inflasi yang tidak stabil akan menyulitkan keputusan masyarakat dalam melakukan konsumsi,
investasi, dan produksi, yang pada akhirnya akan menurunkan pertumbuhan ekonomi.
Ketiga, tingkat inflasi domestik yang lebih tinggi dibanding dengan tingkat inflasi di negara tetangga menjadikan tingkat bunga domestik
riil menjadi tidak kompetitif sehingga dapat memberikan tekanan pada nilai rupiah.

DEFINISI STABILITAS SISTEM KEUANGAN


Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) sebenarnya belum memiliki definisi baku yang telah diterima secara internasional. Oleh karena
itu, muncul beberapa definisi mengenai SSK yang pada intinya mengatakan bahwa suatu sistem keuangan memasuki tahap tidak
stabil pada saat sistem tersebut telah membahayakan dan menghambat kegiatan ekonomi. Di bawah ini dikutip beberapa definisi SSK
yang diambil dari berbagai sumber:
” Sistem keuangan yang stabil mampu mengalokasikan sumber dana dan menyerap kejutan (shock) yang terjadi sehingga dapat mencegah
gangguan terhadap kegiatan sektor riil dan sistem keuangan.”
” Sistem keuangan yang stabil adalah sistem keuangan yang kuat dan tahan terhadap berbagai gangguan ekonomi sehingga tetap mampu
melakukan fungsi intermediasi, melaksanakan pembayaran dan menyebar risiko secara baik.”
” Stabilitas sistem keuangan adalah suatu kondisi dimana mekanisme ekonomi dalam penetapan harga, alokasi dana dan pengelolaan
risiko berfungsi secara baik dan mendukung pertumbuhan ekonomi.”
Arti stabilitas sistem keuangan dapat dipahami dengan melakukan penelitian terhadap faktor-faktor yang dapat menyebabkan instabilitas
di sektor keuangan. Ketidakstabilan sistem keuangan dapat dipicu oleh berbagai macam penyebab dan gejolak. Hal ini umumnya
merupakan kombinasi antara kegagalan pasar, baik karena faktor struktural maupun perilaku. Kegagalan pasar itu sendiri dapat bersumber
dari eksternal (internasional) dan internal (domestik). Risiko yang sering menyertai kegiatan dalam sistem keuangan antara lain risiko
kredit, risiko likuiditas, risiko pasar dan risiko operasional.
Meningkatnya kecenderungan globalisasi sektor finansial yang didukung oleh perkembangan teknologi menyebabkan sistem keuangan
menjadi semakin terintegrasi tanpa jeda waktu dan batas wilayah. Selain itu, inovasi produk keuangan semakin dinamis dan beragam
dengan kompleksitas yang semakin tinggi. Berbagai perkembangan tersebut selain dapat mengakibatkan sumber-sumber pemicu
ketidakstabilan sistem keuangan meningkat dan semakin beragam, juga dapat mengakibatkan semakin sulitnya mengatasi ketidakstabilan
tersebut.
Identifikasi terhadap sumber ketidakstabilan sistem keuangan umumnya lebih bersifat forward looking (melihat kedepan). Hal ini
dimaksudkan untuk mengetahui potensi risiko yang akan timbul serta akan mempengaruhi kondisi sistem keuangan mendatang. Atas
dasar hasil identifikasi tersebut selanjutnya dilakukan analisis sampai seberapa jauh risiko berpotensi menjadi semakin membahayakan,
meluas dan bersifat sistemik sehingga mampu melumpuhkan perekonomian.
PENTINGNYA STABILITAS SISTEM KEUANGAN
Sistem keuangan memegang peranan yang sangat penting dalam perekonomian. Sebagai bagian dari sistem perekonomian, sistem
keuangan berfungsi mengalokasikan dana dari pihak yang mengalami surplus kepada yang mengalami defisit. Apabila sistem keuangan
tidak stabil dan tidak berfungsi secara efisien, pengalokasian dana tidak akan berjalan dengan baik sehingga dapat menghambat
pertumbuhan ekonomi. Pengalaman menunjukkan, sistem keuangan yang tidak stabil, terlebih lagi jika mengakibatkan terjadinya krisis,
memerlukan biaya yang sangat tinggi untuk upaya penyelamatannya.
Pelajaran berharga pernah dialami Indonesia ketika terjadi krisis keuangan tahun 1998, dimana pada waktu itu biaya krisis sangat
signifikan. Selain itu, diperlukan waktu yang lama untuk membangkitkan kembali kepercayaan publik terhadap sistem keuangan. Krisis
tahun 1998 ini membuktikan bahwa stabilitas sistem keuangan merupakan aspek yang sangat penting dalam membentuk dan menjaga
perekonomian yang berkelanjutan. Sistem keuangan yang tidak stabil cenderung rentan terhadap berbagai gejolak sehingga mengganggu
perputaran roda perekonomian.
Secara umum dapat dikatakan bahwa ketidakstabilan sistem keuangan dapat mengakibatkan timbulnya beberapa kondisi yang tidak
menguntungkan seperti:
 Transmisi kebijakan moneter tidak berfungsi secara normal sehingga kebijakan moneter menjadi tidak efektif.
 Fungsi intermediasi tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya akibat alokasi dana yang tidak tepat sehingga menghambat
pertumbuhan ekonomi.
 Ketidakpercayaan publik terhadap sistem keuangan yang umumnya akan diikuti dengan perilaku panik para investor untuk menarik
dananya sehingga mendorong terjadinya kesulitan likuiditas.
 Sangat tingginya biaya penyelamatan terhadap sistem keuangan apabila terjadi krisis yang bersifat sistemik.
Atas dasar kondisi di atas, upaya untuk menghindari atau mengurangi risiko kemungkinan terjadinya ketidakstabilan sistem keuangan
sangatlah diperlukan, terutama untuk menghindari kerugian yang begitu besar lagi.

PERAN BANK INDONESIA DALAM STABILITAS KEUANGAN


Sebagai otoritas moneter, perbankan dan sistem pembayaran, tugas utama Bank Indonesia tidak saja menjaga stabilitas moneter,
namun juga stabilitas sistem keuangan (perbankan dan sistem pembayaran). Keberhasilan Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas
moneter tanpa diikuti oleh stabilitas sistem keuangan, tidak akan banyak artinya dalam mendukung pertumbuhan ekonomi yang
berkelanjutan. Stabilitas moneter dan stabilitas keuangan ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Kebijakan moneter
memiliki dampak yang signifikan terhadap stabilitas keuangan begitu pula sebaliknya, stabilitas keuangan merupakan pilar yang
mendasari efektivitas kebijakan moneter. Sistem keuangan merupakan salah satu alur transmisi kebijakan moneter, sehingga bila terjadi
ketidakstabilan sistem keuangan maka transmisi kebijakan moneter tidak dapat berjalan secara normal. Sebaliknya, ketidakstabilan
moneter secara fundamental akan mempengaruhi stabilitas sistem keuangan akibat tidak efektifnya fungsi sistem keuangan. Inilah yang
menjadi latar belakang mengapa stabilitas sistem keuangan juga masih merupakan tugas dan tanggung jawab Bank Indonesia.
Pertanyaannya, bagaimana peranan Bank Indonesia dalam memelihara stabilitas sistem keuangan? Sebagai bank sentral, Bank Indonesia
memiliki lima peran utama dalam menjaga stabilitas sistem keuangan. Kelima peran utama yang mencakup kebijakan dan instrumen
dalam menjaga stabilitas sistem keuangan itu adalah:
Pertama, Bank Indonesia memiliki tugas untuk menjaga stabilitas moneter antara lain melalui instrumen suku bunga dalam operasi
pasar terbuka. Bank Indonesia dituntut untuk mampu menetapkan kebijakan moneter secara tepat dan berimbang. Hal ini mengingat
gangguan stabilitas moneter memiliki dampak langsung terhadap berbagai aspek ekonomi. Kebijakan moneter melalui penerapan suku
bunga yang terlalu ketat, akan cenderung bersifat mematikan kegiatan ekonomi. Begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu, untuk
menciptakan stabilitas moneter, Bank Indonesia telah menerapkan suatu kebijakan yang disebut inflation targeting framework.
Kedua, Bank Indonesia memiliki peran vital dalam menciptakan kinerja lembaga keuangan yang sehat, khususnya perbankan.
Penciptaan kinerja lembaga perbankan seperti itu dilakukan melalui mekanisme pengawasan dan regulasi. Seperti halnya di negara-negara
lain, sektor perbankan memiliki pangsa yang dominan dalam sistem keuangan. Oleh sebab itu, kegagalan di sektor ini dapat menimbulkan
ketidakstabilan keuangan dan mengganggu perekonomian. Untuk mencegah terjadinya kegagalan tersebut, sistem pengawasan dan
kebijakan perbankan yang efektif haruslah ditegakkan. Selain itu, disiplin pasar melalui kewenangan dalam pengawasan dan pembuat
kebijakan serta penegakan hukum (law enforcement) harus dijalankan. Bukti yang ada menunjukkan bahwa negara-negara yang
menerapkan disiplin pasar, memiliki stabilitas sistem keuangan yang kokoh. Sementara itu, upaya penegakan hukum (law enforcement)
dimaksudkan untuk melindungi perbankan dan stakeholder serta sekaligus mendorong kepercayaan terhadap sistem keuangan. Untuk
menciptakan stabilitas di sektor perbankan secara berkelanjutan, Bank Indonesia telah menyusun Arsitektur Perbankan Indonesia dan
rencana implementasi Basel II.
Ketiga, Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran. Bila terjadi gagal bayar
(failure to settle) pada salah satu peserta dalam sistem sistem pembayaran, maka akan timbul risiko potensial yang cukup serius dan
mengganggu kelancaran sistem pembayaran. Kegagalan tersebut dapat menimbulkan risiko yang bersifat menular (contagion risk)
sehingga menimbulkan gangguan yang bersifat sistemik. Bank Indonesia mengembangkan mekanisme dan pengaturan untuk mengurangi
risiko dalam sistem pembayaran yang cenderung semakin meningkat. Antara lain dengan menerapkan sistem pembayaran
yang bersifat real time atau dikenal dengan nama sistem RTGS (Real Time Gross Settlement) yang dapat lebih meningkatkan keamanan
dan kecepatan sistem pembayaran. Sebagai otoritas dalam sistem pembayaran, Bank Indonesia memiliki informasi dan keahlian untuk
mengidentifikasi risiko potensial dalam sistem pembayaran.
Keempat, melalui fungsinya dalam riset dan pemantauan, Bank Indonesia dapat mengakses informasi-informasi yang dinilai
mengancam stabilitas keuangan. Melalui pemantauan secara macroprudential, Bank Indonesia dapat memonitor kerentanan sektor
keuangan dan mendeteksi potensi kejutan (potential shock) yang berdampak pada stabilitas sistem keuangan. Melalui riset, Bank
Indonesia dapat mengembangkan instrumen dan indikatormacroprudential untuk mendeteksi kerentanan sektor keuangan. Hasil riset dan
pemantauan tersebut, selanjutnya akan menjadi rekomendasi bagi otoritas terkait dalam mengambil langkah-langkah yang tepat untuk
meredam gangguan dalam sektor keuangan.
Kelima, Bank Indonesia memiliki fungsi sebagai jaring pengaman sistim keuangan melalui fungsi bank sentral sebagai lender of the
last resort (LoLR). Fungsi LoLR merupakan peran tradisional Bank Indonesia sebagai bank sentral dalam mengelola krisis guna
menghindari terjadinya ketidakstabilan sistem keuangan. Fungsi sebagai LoLR mencakup penyediaan likuiditas pada kondisi normal
maupun krisis. Fungsi ini hanya diberikan kepada bank yang menghadapi masalah likuiditas dan berpotensi memicu terjadinya krisis yang
bersifat sistemik. Pada kondisi normal, fungsi LoLR dapat diterapkan pada bank yang mengalami kesulitan likuiditas temporer namun
masih memiliki kemampuan untuk membayar kembali. Dalam menjalankan fungsinya sebagai LoLR, Bank Indonesia harus menghindari
terjadinya moral hazard. Oleh karena itu, pertimbangan risiko sistemik dan persyaratan yang ketat harus diterapkan dalam penyediaan
likuiditas tersebut.
KERANGKA STABILITAS SISTEM KEUANGAN
Dalam kapasitasnya menjaga stabilitas sistem keuangan, tidak seluruh cakupan dalam sistem keuangan berada dalam wewenang Bank
Indonesia. Di sisi lain, sebagai sebuah sistem, stabilitas keuangan harus dilakukan secara utuh. Oleh karena itu, dalam menjaga stabilitas
sistem keuangan secara menyeluruh diperlukan kerangka kerjasama dengan lembaga terkait yaitu pemerintah dan otoritas jasa keuangan.
Hal ini dimaksudkan untuk menghindari duplikasi dan gesekan kepentingan dari masing-masing lembaga terkait. Gambaran umum
kerangka stabilitas sistem keuangan ini dapat dijelaskan sebagai berikut:

Misi dan Tujuan


Penetapan misi dan tujuan dimaksudkan untuk memberikan landasan yang jelas bagi lembaga yang memonitor stabilitas sistem
keuangan. Di banyak negara, misi untuk menjaga stabilitas keuangan dilakukan oleh bank sentral (misal: Inggris, Australia, Korea dan
Malaysia). Di Indonesia sendiri, tugas ini sudah termasuk dalam tugas pokok Bank Indonesia, yaitu mencapai dan memelihara stabilitas
Rupiah melalui stabilitas moneter dan didukung oleh stabilitas keuangan. Jadi dalam prakteknya, fungsi untuk menjaga stabilitas moneter
tidak dapat terlepas dari fungsi menjaga stabilitas sistem keuangan.

Strategi

Dalam menjaga stabilitas sistem keuangan diperlukan strategi monitoring stabilitas sistem keuangan dan solusi bila terjadi krisis. Strategi
tersebut mencakup koordinasi dan kerjasama, pemantauan, pencegahan krisis dan manajemen krisis.

1. Koordinasi dan kerjasama


Upaya untuk menjaga stabilitas sistem keuangan, selain dilakukan oleh Bank Indonesia juga oleh instansi terkait lainnya. Jadi
berbagai instrumen dalam stabilitas sistem keuangan, tidak hanya ditentukan oleh bank sentral, tetapi juga oleh otoritas lainnya. Untuk
pengelolaan informasi dan efektivitas kebijakan dalam stabilisasi sistem keuangan, maka perlu adanya koordinasi antara lembaga tersebut.
Hal ini dimaksudkan agar setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh otoritas yang terlibat dalam stabilitas sistem keuangan, dapat terhindar
dari pertentangan dan dampak negatif. Pengalaman di negara lain menunjukkan bahwa koordinasi sulit terjadi apabila fungsi pengawasan
& pengaturan perbankan dipisahkan dari bank sentral. Namun jika pemisahan terpaksa harus dilakukan, maka koordinasi dapat dilakukan
melalui pembentukan Forum Stabilitas Sistem Keuangan yang beranggotakan bank sentral (Bank Indonesia), otoritas pengawas sistem
keuangan, dan pemerintah yang didukung oleh kekuatan hukum.

2. Pemantauan
Pemantauan terhadap stabilitas keuangan penting dilakukan untuk mampu mengukur tekanan risiko yang akan timbul, khususnya
gangguan yang bersifat sistemik atau dapat menciptakan krisis. Melalui deteksi dini ini, pencegahan terjadinya instabilitas keuangan yang
mematikan perekonomian dapat dilakukan melalui kebijakan bank sentral maupun pemerintah. Pemantauan stabilitas keuangan
merupakan tugas bank sentral yang merupakan satu kesatuan dalam menjaga stabilitas keuangan. Ada dua indikator utama yang menjadi
target pemantauan, yakni indikator microprudential dan indikator makroekonomi. Kedua indikator tersebut saling melengkapi sebagai aksi
dan reaksi dalam sistem keuangan dan ekonomi. Pemantauan indikator microprudential dilakukan terhadap kondisi mikro institusi
keuangan dalam sistem keuangan. Melalui pemantauan ini dapat diketahui potensi risiko likuiditas, risiko pasar, risiko kredit dan
rentabilitas institusi keuangan, yang dimaksudkan untuk mengukur ketahanan sistem keuangan. Pemantauan indikator makroekonomi juga
perlu dilakukan terhadap kondisi makroekonomi domestik maupun internasional yang berdampak signifikan terhadap stabilitas keuangan.
Berdasarkan hasil pemantauan tersebut, selanjutnya dilakukan analisis guna memprediksi kondisi stabilitas sistem keuangan.
3. Pencegahan Krisis
Pencegahan krisis dilakukan dengan cara mencegah ketidakstabilan dalam sistem keuangan. Terdapat berbagai langkah kebijakan
untuk mengatasi ketidakstabilan dalam sistem keuangan. Langkah-langkah tersebut diadopsi dari standar/regulasi yang dikeluarkan oleh
lembaga-lembaga internasional, seperti International Monetary fund (IMF), Bank for International Settlement (BIS), maupun asosiasi
profesional lainnya.
4. Manajemen krisis
Meskipun pendekatan untuk mencegah timbulnya krisis cukup banyak, namun tidak ada jaminan bahwa krisis tidak akan terjadi lagi.
Karena potensi terjadinya krisis selalu ada, maka perlu adanya pengelolaan krisis. Manajemen krisis ini berisi prosedur penyelesaian krisis
dan kejelasan peran serta tanggung jawab dari masing-masing institusi yang terlibat didalamnya. Apabila suatu bank dinyatakan dalam
kesulitan misalnya, maka diperlukan langkah-langkah di bawah ini:
 Institusi yang berwenang harus menetapkan apakah bank yang dinyatakan dalam kesulitan itu tergolong sistemik atau tidak.
 Proses penyelamatan harus ditetapkan secara hukum mengingat adanya penggunaan dana publik dalam proses penyelamatan tersebut.
 Peran Bank Indonesia, otoritas pengawasan, dan pemerintah harus ditetapkan secara jelas.

SISTEM PEMBAYARAN DI INDONESIA


:: Apa Itu Sistem Pembayaran (SP)?
Apa itu SP? SP adalah sistem yang mencakup seperangkat aturan, lembaga, dan mekanisme yang dipakai untuk melaksanakan
pemindahan dana guna memenuhi suatu kewajiban yang timbul dari suatu kegiatan ekonomi. Lantas, apa saja komponen dari SP? Sudah
barang tentu harus ada alat pembayaran, ada mekanisme kliring hingga penyelesaian akhir (settlement). Nah, selain itu juga ada
komponen lain seperti lembaga yang terlibat dalam menyelenggarakan sistem pembayaran. Termasuk dalam hal ini adalah bank, lembaga
keuangan selain bank, lembaga bukan bank penyelenggara transfer dana, perusahaan switching bahkan hingga bank sentral (lihat
Perkembangan).
:: Evolusi Alat Pembayaran
Alat pembayaran boleh dibilang berkembang sangat pesat dan maju. Kalau kita menengok kebelakang yakni awal mula alat
pembayaran itu dikenal, sistem barter antarbarang yang diperjualbelikan adalah kelaziman di era pra moderen. Dalam perkembangannya,
mulai dikenal satuan tertentu yang memiliki nilai pembayaran yang lebih dikenal dengan uang. Hingga saat ini uang masih menjadi salah
satu alat pembayaran utama yang berlaku di masyarakat. Selanjutnya alat pembayaran terus berkembang dari alat pembayaran tunai (cash
based) ke alat pembayaran nontunai (non cash) seperti alat pembayaran berbasis kertas (paper based), misalnya, cek dan bilyet giro. Selain
itu dikenal juga alat pembayaran paperless seperti transfer dana elektronik dan alat pembayaran memakai kartu (card-based) (ATM, Kartu
Kredit, Kartu Debit dan Kartu Prabayar).
:: Alat Pembayaran Tunai
Alat pembayaran tunai lebih banyak memakai uang kartal (uang kertas dan logam). Uang kartal masih memainkan peran penting
khususnya untuk transaksi bernilai kecil. Dalam masyarakat moderen seperti sekarang ini, pemakaian alat pembayaran tunai seperti uang
kartal memang cenderung lebih kecil dibanding uang giral. Pada tahun 2005, perbandingan uang kartal terhadap jumlah uang beredar
sebesar 43,3 persen.
Namun patut diketahui bahwa pemakaian uang kartal memiliki kendala dalam hal efisiensi. Hal itu bisa terjadi karena biaya
pengadaan dan pengelolaan (cash handling) terbilang mahal. Hal itu belum lagi memperhitungkan inefisiensi dalam waktu pembayaran.
Misalnya, ketika Anda menunggu melakukan pembayaran di loket pembayaran yang relatif memakan waktu cukup lama karena antrian
yang panjang. Sementara itu, bila melakukan transaksi dalam jumlah besar juga mengundang risiko seperti pencurian, perampokan dan
pemalsuan uang.
Menyadari ketidak-nyamanan dan inefisien memakai uang kartal, BI berinisiatif dan akan terus mendorong untuk membangun masyarakat
yang terbiasa memakai alat pembayaran nontunai atau Less Cash Society (LCS).
:: Alat Pembayaran Nontunai
Alat pembayaran nontunai sudah berkembang dan semakin lazim dipakai masyarakat. Kenyataan ini memperlihatkan kepada kita
bahwa jasa pembayaran nontunai yang dilakukan bank maupun lembaga selain bank (LSB), baik dalam proses pengiriman dana,
penyelenggara kliring maupun sistem penyelesaian akhir (settlement) sudah tersedia dan dapat berlangsung di Indonesia. Transaksi
pembayaran nontunai dengan nilai besar diselenggarakan Bank Indonesia melalui sistem BI-RTGS (Real Time Gross Settlement) dan
Sistem Kliring. Sebagai informasi, sistem BI-RTGS adalah muara seluruh penyelesaian transaksi keuangan di Indonesia.
Bisa dibayangkan, hampir 95 persen transaksi keuangan nasional bernilai besar dan bersifat mendesak (urgent) seperti transaksi di Pasar
Uang AntarBank (PUAB), transaksi di bursa saham, transaksi pemerintah, transaksi valuta asing (valas) serta settlement hasil kliring
dilakukan melalui sistem BI-RTGS. Pada tahun 2010, BI-RTGS melakukan transaksi sedikitnya Rp174,3 triliun per hari. Sedangkan
transaksi nontunai dengan alat pembayaran menggunakan kartu (APMK) dan uang elektronik masing-masing nilai transaksinya hanya
Rp8,8 triliun per hari yang dilakukan bank atau LSB.
Melihat pentingnya peran BI-RTGS dalam sistem pembayaran nasional, sudah barang tentu harus dijaga kontinuitas dan stabilitasnya.
Bila sesaat saja sistem BI-RTGS ini ngadat atau mengalami gangguan jelas akan sangat menganggu kelancaran dan stabilitas sistem
keuangan di dalam negeri. Hal itu belum memperhitungkan dampak material dan nonmaterial dari macetnya sistem BI-RTGS tadi. Untuk
itulah BI sangat peduli menjaga stabilitas BI-RTGS yang dikategorikan sebagai Systemically Important Payment System (SIPS).
SIPS adalah sistem yang memproses transaksi pembayaran bernilai besar dan bersifat mendesak (urgent).Adalah wajar saja apabila Bank
Indonesia sangat peduli menjaga kestabilan SIPS dengan mengelola risiko, desain, kehandalan teknologi, jaringan pendukung dan aturan
main dalam SIPS. Selain SIPS dikenal pula System Wide Important Payment System (SWIPS), yaitu sistem yang digunakan oleh
masyarakat luas. Sistem Kliring dan APMK termasuk dalam kategori SWIPS ini. BI juga peduli dengan SWIPS karena sifat sistem yang
digunakan secara luas oleh masyarakat. Apabila terjadi gangguan maka kepentingan masyarakat untuk melakukan pembayaran akan
terganggu pula, termasuk kepercayaan terhadap sistem dan alat-alat pembayaran yang diproses dalam sistem.
Perlu diketahui bahwa BI bukan semata peduli akan terciptanya efisiensi dalam sistem pembayaran, tapi juga kesetaraan akses hingga ke
urusan perlindungan konsumen. Yang dimaksud terciptanya sistem pembayaran, itu artinya memberi kemudahan bagi pengguna untuk
memilih metode pembayaran yang dapat diakses ke seluruh wilayah dengan biaya serendah mungkin. Sementara yang dimaksud dengan
kesetaraan akses, BI akan memperhatikan penerapan asas kesetaraan dalam penyelenggaraan sistem pembayaran. Sedangkan aspek
perlindungan konsumen dimaksudkan penyelenggara wajib mengadopsi asas-asas perlindungan konsumen secara wajar dalam
penyelenggaraan sistemnya.

SISTEM PEMBAYARAN
Sistem Pembayaran merupakan sistem yang berkaitan dengan pemindahan sejumlah nilai uang dari satu pihak ke pihak lain. Media
yang digunakan untuk pemindahan nilai uang tersebut sangat beragam, mulai dari penggunaan alat pembayaran yang sederhana sampai
pada penggunaan sistem yang kompleks dan melibatkan berbagai lembaga berikut aturan mainnya. Kewenangan mengatur dan menjaga
kelancaran sistem pembayaran di Indonesia dilaksanakan oleh Bank Indonesia yang dituangkan dalam Undang Undang Bank Indonesia.
Dalam menjalankan mandat tersebut, BI mengacu pada empat prinsip kebijakan sistem pembayaran, yakni keamanan, efisiensi,
kesetaraan akses dan perlindungan konsumen. Aman berarti segala risiko dalam sistem pembayaran seperti risiko likuiditas, risiko kredit,
risiko fraud harus dapat dikelola dan dimitigasi dengan baik oleh setiap penyelenggaraan sistem pembayaran. Prinsip efisiensi
menekankan bahwa penyelanggaran sistem pembayaran harus dapat digunakan secara luas sehingga biaya yang ditanggung masyarakat
akan lebih murah karena meningkatnya skala ekonomi. Kemudian prinsip kesetaraan akses yang mengandung arti bahwa BI tidak
menginginkan adanya praktek monopoli pada penyelenggaraan suatu sistem yang dapat menghambat pemain lain untuk masuk. Terakhir
adalah kewajiban seluruh penyelenggara sistem pembayaran untuk memperhatikan aspek-aspek perlindungan konsumen. Sementara itu
dalam kaitannya sebagai lembaga yang melakukan pengedaran uang, kelancaran sistem pembayaran diejawantahkan dengan terjaganya
jumlah uang tunai yang beredar di masyarakat dan dalam kondisi yang layak edar atau biasa disebut clean money policy.

DETAIL FITUR KARTU KREDIT DENGAN CHIP


Tampak Depan :
1. Chip pada kartu kredit yang selalu diletakkan di bagian depan sisi kartu, chip ini telah ditambahkan berbagai aplikasi yang dapat
mengenkripsi data sehingga data dapat tersimpan lebih aman.
2. Nomor kartu yang terdiri atas 16 digit.
3. Nama pemegang kartu.
4. Nama penerbit kartu kredit.
5. Masa berlaku kartu kredit.
6. Logo Jaringan Kartu kredit.

Tampak Belakang :
1. Magnetic stripe yang masih dapat digunakan jika kartu kredit tersebut digunakan untuk bertransaksi di luar negeri.
2. Signature panel adalah tempat pembubuhan tanda tangan pemilik kartu pada kartu kredit yang dimiliki.
3. Nomor verifikasi yang terdiri atas tiga digit.
4. Alamat Bank penerbit kartu kredit.
5. Nama / Logo penerbit kartu kredit.

MEKANISME PENGGUNAAN KARTU KREDIT DENGAN MENGGUNAKAN CHIP


Mekanisme Penggunaan Kartu Kredit dengan menggunakan chip tidak banyak mengalami perubahan dengan mekanisme sebelumnya.
Ketika bertransaksi, hal-hal yang harus diperhatikan dalam menggunakan kartu kredit chip adalah:
1. Kartu kredit yang Anda serahkan ke kasir akan diproses dengan cara memasukkan kartu ke dalam mesin EDC yang telah dilengkapi
chip atau dikenal dengan istilah di-dip. Pada saat di-dip, kartu mengalami proses enkripsi terlebih dahulu sebelum akhirnya secara
online di-link-an dan di verifikasi dengan penerbit kartu kredit yang dipakai.
2. Setelah proses verifikasi selesai, mesin EDC yang telah dilengkapi chip akan mengeluarkan bukti transaksi yang akan ditandatangani
oleh pemegang kartu yang melakukan transaksi.
3. Transaksi selesai.

Mekanisme yang sama mudahnya dengan teknologi sebelumnya yang dikenal dengan magnetic stripe. Yang perlu diingat adalah,
transaksi tidak lagi digesek tapi di-dip, jika dalam bertransaksi kartu kredit Anda masih menggunakan mekanisme yang lama yaitu
digesek, itu berarti kartu kredit dan mesin EDC belum menggunakan Chip.
Cek harus memenuhi syarat formal sebagai berikut :
1. Nama "Cek" harus termuat dalam teks;
2. Perintah tidak bersyarat untuk membayar sejumlah uang tertentu;
3. Nama pihak yang harus membayar (tertarik);
4. Penunjukan tempat dimana pembayaran harus dilakukan;
5. Pernyataan tanggal beserta tempat Cek ditarik;
6. Tanda tangan orang yang mengeluarkan Cek (penarik).

Setiap Bilyet Giro harus memenuhi syarat formal sebagai berikut :


1. Nama "Bilyet Giro" dan nomor Bilyet Giro yang bersangkutan;
2. Nama tertarik;
3. Perintah yang jelas dan tanpa syarat untuk memindahbukukan dana atas beban rekening penarik;
4. Nama dan nomor rekening pemegang;
5. Nama bank penerima;
6. Jumlah dana yang dipindahkan baik dalam angka maupun dalam huruf selengkap-lengkapnya;
7. Tempat dan tanggal penarikan;
8. Tanda tangan, nama jelas dan atau dilengkapi dengan cap/stempel dengan persyaratan pembukaan rekening.

TUGAS BANK INDONESIA DALAM SISTEM PEMBAYARAN


Menjaga stabilitas nilai tukar rupiah adalah tujuan Bank Indonesia sebagaimana diamanatkan Undang-Undang No. 23 tahun 1999
tentang Bank Indonesia. Untuk menjaga stabilitas rupiah itu perlu disokong pengaturan dan pengelolaan akan kelancaran Sistem
Pembayaran Nasional (SPN). Kelancaran SPN ini juga perlu didukung oleh infrastruktur yang handal (robust). Jadi, semakin lancar dan
hadal SPN, maka akan semakin lancar pula transmisi kebijakan moneter yang bersifat time critical. Bila kebijakan moneter berjalan lancar
maka muaranya adalah stabilitas nilai tukar.
BI adalah lembaga yang mengatur dan menjaga kelancaran SPN. Sebagai otoritas moneter, bank sentral berhak menetapkan dan
memberlakukan kebijakan SPN. Selain itu, BI juga memiliki kewenangan memeberikan persetujuan dan perizinan serta melakukan
pengawasan (oversight) atas SPN. Menyadari kelancaran SPN yang bersifat penting secara sistem (systemically important), bank sentral
memandang perlu menyelenggarakan sistem settlement antar bank melalui infrastruktur BI-Real Time Gross Settlement (BI-RTGS).
Selain itu masih ada tugas BI dalam SPN, misalnya, peran sebagai penyelenggara sistem kliring antarbank untuk jenis alat-alat
pembayaran tertentu. Bank sentral juga adalah satu-satunya lembaga yang berhak mengeluarkan dan mengedarkan alat pembayaran tunai
seperti uang rupiah. BI juga berhak mencabut, menarik hingga memusnahkan uang rupiah yang sudah tak berlaku dari peredaran.
Berbekal kewenangan itu, BI pun menetapkan sejumlah kebijakan dari komponen SPN ini. Misalnya, alat pembayaran apa yang boleh
dipergunakan di Indonesia. BI juga menentukan standar alat-alat pembayaran tadi serta pihak-pihak yang dapat menerbitkan dan/atau
memproses alat-alat pembayaran tersebut. BI juga berhak menetapkan lembaga-lembaga yang dapat menyelenggarakan sistem
pembayaran. Ambil contoh, sistem kliring atau transfer dana, baik suatu sistem utuh atau hanya bagian dari sistem saja. Bank sentral juga
memiliki kewenangan menunjuk lembaga yang bisa menyelenggarakan sistem settlement. Pada akhirnya BI juga mesti menetapkan
kebijakan terkait pengendalian resiko, efisiensi serta tata kelola (governance) SPN.
Di sisi alat pembayaran tunai, Bank Indonesia merupakan satu-satunya lembaga yang berwenang untuk mengeluarkan dan
mengedarkan uang Rupiah serta mencabut, menarik dan memusnahkan uang dari peredaran. Terkait dengan peran BI dalam
mengeluarkan dan mengedarkan uang, Bank Indonesia senantiasa berupaya untuk dapat memenuhi kebutuhan uang kartal di masyarakat
baik dalam nominal yang cukup, jenis pecahan yang sesuai, tepat waktu, dan dalam kondisi yang layak edar (clean money policy). Untuk
mewujudkan clean money policy tersebut, pengelolaan pengedaran uang yang dilakukan oleh Bank Indonesia dilakukan mulai dari
pengeluaran uang, pengedaran uang, pencabutan dan penarikan uang sampai dengan pemusnahan uang.Sebelum melakukan pengeluaran
uang Rupiah, terlebih dahulu dilakukan perencanaan agar uang yang dikeluarkan memiliki kualitas yang baik sehingga kepercayaan
masyarakat tetap terjaga. Perencanaan yang dilakukan Bank Indonesia meliputi perencanaan pengeluaran emisi baru dengan
mempertimbangkan tingkat pemalsuan, nilai intrinsik serta masa edar uang. Selain itu dilakukan pula perencanaan terhadap jumlah serta
komposisi pecahan uang yang akan dicetak selama satu tahun kedepan. Berdasarkan perencanaan tersebut kemudian dilakukan pengadaan
uang baik untuk pengeluaran uang emisi baru maupun pencetakan rutin terhadap uang emisi lama yang telah dikeluarkan.Uang Rupiah
yang telah dikeluarkan tadi kemudian didistribusikan atau diedarkan di seluruh wilayah melalui Kantor Bank Indonesia. Kebutuhan uang
Rupiah di setiap kantor Bank Indonesia didasarkan pada jumlah persediaan, keperluan pembayaran, penukaran dan penggantian uang
selama jangka waktu tertentu. Kegitan distribusi dilakukan melalui sarana angkutan darat, laut dan udara. Untuk menjamin keamanan
jalur distribusi senantiasa dilakukan baik melalui pengawalan yang memadai maupun dengan peningkatan sarana sistem monitoring.
Kegiatan pengedaran uang juga dilakukan melalui pelayanan kas kepada bank umum maupun masyarakat umum. Layanan kas kepada
bank umum dilakukan melalui penerimaan setoran dan pembayaran uang Rupiah. Sedangkan kepada masyarakat dilakukan melalui
penukaran secara langsung melalui loket-loket penukaran di seluruh kantor Bank Indonesia atau melalui kerjasama dengan perusahaan
yang menyediakan jasa penukaran uang kecil.
Lebih lanjut, kegiatan pengelolaan uang Rupiah yang dilakukan Bank Indonesia adalah pencabutan uang terhadap suatu pecahan
dengan tahun emisi tertentu yang tidak lagi berlaku sebagai alat pembayaran yang sah. Pencabutan uang dari peredaran dimaksudkan
untuk mencegah dan meminimalisasi peredaran uang palsu serta menyederhanakan komposisi dan emisi pecahan. Uang Rupiah yang
dicabut tersebut dapat ditarik dengan cara menukarkan ke Bank Indonesia atau pihak lain yang telah ditunjuk oleh Bank Indonesia.
Sementara itu untuk menjaga menjaga kualitas uang Rupiah dalam kondisi yang layak edar di masyarakat, Bank Indonesia melakukan
kegiatan pemusnahan uang. Uang yang dimusnahkan tersebut adalah uang yang sudah dicabut dan ditarik dari peredaran, uang hasil cetak
kurang sempurna dan uang yang sudah tidak layak edar. Kegiatan pemusnahan uang diatur melalui prosedur dan dilaksanakan oleh jasa
pihak ketiga yang dengan pengawasan oleh tim Bank Indonesia (BI).
Berbagai tugas Bank Indonesia di bidang Sistem Pembayaran dilaksanakan dalam satu struktur organisasi sistem pembayaran yang
menangani sistem pembayaran dan pengedaran uang sebagai berikut :

SECURITY FEATURES RUPIAH


I. Ciri-ciri Keaslian Uang Rupiah
Dalam melaksanakan tugas pokok di bidang pengedaran uang, Bank Indonesia selalu berupaya agar uang yang dikeluarkan dan
diedarkan memiliki ciri-ciri dan unsur pengaman yang cukup mudah dikenali oleh masyarakat namun di pihak lain dapat melindungi
uang dari unsur pemalsuan.
Keaslian uang dapat dikenali melalui ciri-ciri yang terdapat baik pada bahan yang digunakan untuk membuat uang (kertas, plastik
atau logam), disain dan warna masing-masing pecahan uang, maupun pada teknik pencetakan uang tersebut. Dalam penetapan ciri-
ciri uang dianut suatu prinsip bahwa semakin besar nilai nominal uang maka semakin banyak unsur pengaman (Security Features)
dari uang tersebut sehingga aman dari usaha pemalsuan.
Security features selain berfungsi sebagai alat pengamanan, baik dalam bentuk kasat mata maupun tidak kasat mata juga memiliki
beberapa fungsi lain, yaitu :
1. Fungsi estetika, agar uang tampak menarik.
2. Untuk membedakan antara satu pecahan dengan pecahan lainnya, atau antara satu mata uang dengan mata uang lainnya.

II. Unsur Pengaman pada Uang Kertas Rupiah


Unsur pengaman pada uang kertas meliputi bahan uang dan teknik cetak. Pemilihan unsur pengaman merupakan suatu aspek yang
penting agar uang sulit dipalsukan. Perlu disadari bahwa sulitnya uang untuk dipalsukan tidak semata-mata tergantung pada unsur
pengaman, tetapi juga dipengaruhi oleh gambar disain, warna maupun teknik cetak.
Unsur pengaman pada uang kertas Rupiah dapat dibedakan berdasarkan unsur pengaman yang terbuka (covert security features) dan
tidak terbuka (covert security features). Kebanyakan unsur pengaman adalah yang terbuka dan dapat dilihat dengan mudah oleh
masyarakat. Pendeteksian unsur pengaman tersebut dapat dilakukan dengan mata telanjang (kasat mata), perabaan tangan (kasat
raba), maupun dengan menggunakan peralatan sederhana seperti kaca pembesar dan ultra violet. Pendeteksian unsur pengaman yang
tidak terbuka hanya dapat dilakukan dengan suatu mesin yang memiliki sensor tertentu yang memiliki tingkat kepastian dan
kecepatan yang cukup tinggi untuk mengetahui unsur pengaman tersebut.
Dalam melakukan pemilihan unsur pengaman uang kertas, pada umumnya mempertimbangkan 2 hal utama yaitu:
a. Semakin besar nominal pecahan diperlukan unsure pengaman yang lebih baik, kompleks, dan canggih.
b. Unsur pengaman yang dipilih didasarkan pada hasil penelitian dan mempertimbangkan perkembangan teknologi.

III. Karakteristik Uang Logam Rupiah


Beberapa karakteristik tertentu yang perlu diperhatikan dalam uang logam Rupiah antara lain:
a. Setiap pecahan uang logam mudah dikenali baik secara kasat mata dan kasat raba.
b. Uang logam menggunakan bahan yang tahan lama dan tidak mengandung zat yang membahayakan.
c. Uang logam yang dikeluarkan dalam ukuran yang sesuai, tidak terlalu besar atau tidak terlalu berat.
d. Uang logam Rupiah berbentuk bulat, dengan bagian samping bergerigi atau tidak bergerigi.

Anda mungkin juga menyukai