Disusun oleh :
Devy Ayu Puspita Sari
Rizky Imannur Rahman
Nadena Majeda Dien Pratami
Pembimbing :
dr. Dedy Hartono, Sp. An
Disusun Oleh:
Devy Ayu Puspita Sari
Rizky Imannur Rahman
Nadena Majeda Dien Pratami
Dokter Pembimbing
Kata sepsis berasal dari bahasa Yunani yang berarti dekomposisi atau
pembusukkan. Sepsis didefinisikan sebagai respons tubuh terhadap penyakit infeksi
ditandai dengan disfungsi organ yang mengancam nyawa dan merupakan masalah
kesehatan di dunia saat ini. Sepsis dimasukkan kedalam kategori penyakit darurat
karena ada gangguan dalam pemasukkan oksigen dan nutrisi ke jaringan sehingga
dibutuhkan penanganan kegawat daruratan segera. Hal tersebut yang menjadikan
sepsis sebagai penyebab tersering perawatan pasien di unit perawatan intensif (ICU).
Di Amerika insidensi sepsis berkisar 66-132 per 100000 populasi. Sepsis berat
hampir 25 % dirawat di ICU , umumnya diakibatkan usia lanjut, imunocompomisse,
dan penyakit berat yang mendasarinya. Sepsis merupakan penyebab kematian kedua
di ICU pada non-coronary disease (Halstead, 2011).
Sepsis dapat mengenai berbagai kelompok umur. Pada dewasa, sepsis
umumnya terdapat pada orang yang mengalami immunocompromised, yang
disebabkan karena adanya penyakit kronik maupun infeksi lainnya. Mortalitas sepsis
di negara yang sudah berkembang menurun hingga 9%, namun tingkat mortalitas
pada negara yang sedang berkembang, seperti Indonesia, masih tinggi yaitu 50-70%
dan apabila berlanjut pada syok sepsis dan disfungsi organ multiple, angka
mortalitasnya dapat mencapai 80% (Fink, 2003).
Langkah utama yang penting dalam penanganan sepsis adalah identifikasi dini.
Seringkali istilah systemic inflammatory response syndrome (SIRS) diartikan sama
dengan sepsis pada keadaan klinis. Padahal apabila diartikan, SIRS dapat timbul
sebagai hasil dari non-infeksi, sedangkan sepsis digunakan untuk inflamasi sistemik
yang muncul dari infeksi (Delilinger, 2012).
Oleh karena hal tersebut, sangatlah penting untuk dapat memahami sepsis dan
syok sepsis secara keseluruhan, mulai dari definisi, penyebab, diagnosis, hingga
penatalaksanaannya.
BAB II
LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien
Nama : An. R
Umur : 13 tahun
Alamat : Brosot RT1, Brosot, Galur, Kulon Progo
No. RM : 44-17-17
Tanggal Masuk RS : 29 Desember 2017
B. Anamnesis
1. Keluhan Utama
Pasien mengeluh muntah 2x, BAB cair 3x setelah makan mie instan, perut
terasa perih.
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD dengan keluhan mual, muntah 2x, BAB cair 3x setelah
makan mie instan. Pasien juga mengeluh perutnya terasa perih. BAB cair
tidak disertai lendir ataupun darah.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat kejang disangkal
Riwayat keluhan serupa disangkal
Riwayat asma/ alergi disangkal
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat penyakit serupa disangkal
Riwayat asma/ alergi disangkal
C. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum
Sedang, tampak lemas dan sulit bernapas
2. Kesadaran
GCS : E4V5M6
Compos Mentis
3. Vital Sign
Suhu badan : 380 C
Frekuensi Nadi : 104x/ menit
Frekuensi nafas : 22x/ menit
Tekanan darah : 110/60 mmHg
Skor nyeri : 5
SpO2 : 98%
4. Status Generalis
Tinggi badan : 140 cm
Berat badan : 42 Kg
Indeks Massa Tubuh: 21.4 kg/m2
Kepala :
Mata : Conjungtiva anemis : -/-, Sklera ikterik -/-
Hidung : Sekret -/-
Mulut : Obstruksi -, Tonsil T1-T1
Telinga : Serumen : -/-
Leher : Pembesaran limfonodi –
Thoraks :
Pulmo :
Inspeksi : Simetris +, Retraksi -, massa -
Palpasi :Ketinggalan gerak -, massa -
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Suara dasar vesikuler +/+ , Ronkhi -/-, Wh -/-
Jantung :
Inspeksi : Ictus cordis tak tampak
Palpasi : Ictus cordis tak teraba
Perkusi : Batas jantung tak melebar
Auskultasi : S1-S2 Reguler, Bising –
Abdomen :
Inspeksi : Distensi (+)
Auskultasi : Peristaltik (+)
Perkusi : Timpani
Palpasi : Nyeri tekan (+) seluruh lapang perut, Defans
muskular (+)
Ekstremitas : Akral hangat (+), nadi kuat (+), edem (-), CRT < 2
D. Pemeriksaan Penunjang
1. Foto Polos Abdomen 3 Posisi
Colon ascendens dan transversum nelebar dengan perselubungan.
Sistema usus halus tak melebar, psoas line kabur. Tak tampak udara
bebas
2. USG Whole Abdomen
Echostruktur vesica fellea, gaster dan kedua ren, normal
Appendiks: lumen normal, dinding menebal
Vesica urinaria: dinding mukosa tak menebal, tak tampak batu
Kesan: Peritonitis dengan susp. Appendicitis
3. Laboratorium
Nilai
satuan 29/12/17 2/01/2018
rujukan
Hematologi
Hemoglobin 14.0-18.0 g/dl 13.6 12.0
AL 4.00-11.00 103/ul 16.07 7.14
AE 4.50-5.50 106/ul 4.98 4.35
AT 150-450 103/ul 277 287
Hematokrit Vol% 39.3 34.5
Hitung jenis
Eosinofil 2-4 % 0 3
Basofil 0-1 % 0 0
Batang 2-5 % 22 5
Segmen 51-67 % 72 64
Limfosit 20-35 % 4 26
Monosit 4-8 % 2 2
Hemostasis
PPT 12.0-16.0 Detik 15.2
APTT 28.0-38.0 Detik 33.0
Control PPT 11.0-16.0 Detik 13.8
Control APTT 28.0-36.5 detik 30.6
Kimia Klinik
Fungsi Hati
Albumin 3.50-5.50 g/dl 4.25
Fungsi Ginjal
Ureum 17-43 Mg/dl 25
Creatinin 0.90-1.30 Mg/dl 0.78
Diabetes
GDS 80-200 Mg/dl 100 91
Elektrolit
137.0- 136.1 134.2
Natrium Mmol/l
145.0
Klorida 98.0-107.0 Mmol/l 99.4 97.9
Kalium 3.50-5.10 mmol/l 3.37 3.29
Hepatitis
HBsAg Negatip Negatip
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. Sepsis
1. Definisi
B. MANAJEMEN ANESTESI
1. Penilaian Praoperasi
a. Terapi Antibiotik
b. Resusitasi Hemodinamik
Tujuan tindakan resusitasi preoperatif adalah untuk cepat
mengembalikan penghantaran oksigen ke jaringan perifer. Jika pasien
dalam kondisi hemodinamik tidak stabil, monitoring tekanan arteri secara
invasif, akses vena sentral, dan ICU atau unit dengan perawatan khusus
harus tersedia. Penempatan kateter vena sentral (CVC) memungkinkan
dilakukan pengukuran tekanan vena sentral (CVP), ditambah dengan
saturasi oksigen vena (SvO2), pemberian cairan intravena, dan obat-
obatan vasopresor. (Finfer, 2004) Tindakan resusitasi yang dimulai ketika
di ruang emergensi (IGD) dapat tetap dilanjutkan jika pasien membutuhkan
pemeriksaan diagnostik imaging atau jika pasien akan ditransfer ke
ruangan ICU sebelum dipindahkan ke ruang operasi. Resusitasi 6 jam
pertama pada pasien sepsis, disebut “golden hours”, yang penting dan
sering bertepatan dengan waktu pembedahan emergensi. Ada sedikit
perbedaan pendapat antara dokter bahwa pasien septik hipotensi dengan
laktat >3 mmol/liter, volume resusitasi menggunakan kristaloid atau koloid
harus digunakan terlebih dahulu, dengan tujuan untuk mencapai titik akhir
klinis: CVP 8-12 mmHg, tekanan arteri rata-rata 65 mmHg, urin output 0,5
ml/kg/jam, saturasi oksigen vena sentral: >70%. Tidak ada bukti yang
menunjukkan bahwa suatu jenis cairan intravena lebih baik dari jenis
lainnya sehubungan dengan perawatan selama di ICU, durasi ventilasi
mekanis, durasi terapi pengganti ginjal, dan 28 hari outcome. Terapi
dengan koloid dikaitkan dengan kejadian gagal ginjal akut yang lebih tinggi
dan terapi pengganti ginjal dibandingkan dengan ringer laktat dan
toksisitasnya meningkat sesuai dengan akumulasi dosis. (Brunkhorst,
2008)
Bantuan vasopresor dengan norepinefrin mungkin bisa juga
dipertimbangkan sebelum pengoptimalan pemberian cairan intravena
dicapai. Dosis rendah vasopresin (0,03 unit/menit) mungkin dapat
ditambahkan untuk mengurangi kebutuhan dosis norepinefrin itu sendiri.
Inotropik ditambahkan kedalam volume resusitasi dan vasopresor, jika
terdapat bukti curah jantung tetap rendah meskipun dengan resusitasi
cairan dan pengisian jantung yang adekuat. Kampanye sepsis survival
merekomendasikan dobutamin sebagai terapi inotropik lini pertama yang
ditambahkan pada vasopresor pasien septik. (Eissa D, 2010) Namun,
penelitian pada pasien septik menunjukkan tidak ada perbedaan efektifitas
dan keamanan dengan hanya epinefrin dibandingkan dengan norepinefrin
ditambah dobutamin dalam manajemen syok septik. Tidak ada bukti yang
mendukung bahwa penggunaan dobutamin untuk mencapai penghantaran
oksigen yang luar biasa dalam hal meningkatkan outcome. Upaya
resusitasi harus tetap diberikan selama perbaikan hemodinamik pada
setiap tahapnya. Lebih lanjut pemberian cairan intravena harus dihentikan
ketika tekanan sudah terlalu tinggi dan tidak ada perbaikan yang terlihat
pada perfusi jaringan (misalnya serum laktat tidak menurun). Transfusi sel
darah merah juga dapat dipertimbangkan jika penghantaran oksigen ke
jaringan tidak adekuat. (JD, 2010)
Levosimendan mungkin berguna sebagai tambahan terapi
konvensional inotropik pada kasus disfungsi miokardial refraktori pada
sepsis. Efek inotropik meningkatkan sensitivitas troponin C jantung
terhadap kalsium. Efek vasodilator sistemik dan pulmonal berkaitan
dengan pembukaan chanel pottasium dependent-ATP. Uji acak terkontrol
pada 28 pasien dengan syok septik dan fraksi ejeksi <45% menetap
>48jam setalah terapi konvensional ditemukan bahwa indeks jantung dan
fungsi ginjal mengindikasikan perbaikan setelah pemberian levosimendan,
dibandingkan dengan dobutamin. Namun, studi lebih besar dibutuhkan
sebelum levosimendan diterima secara luas sebagai terapi syok septik.
(JD, 2010)
Terapi oksigen tambahan juga memperbaiki kondisi pada pasien
sepsis berat bahkan jika mereka tidak memiliki tanda-tanda gangguan
pernapasan. Segera intubasi trakea dan ventilasi mekanik paru dapat
dipertimbangkan jika derajat kesadaran pasien rendah atau jika ada
distress yang progresif dan hipoksia. Jika respon inadekuat terhadap
tindakan resusitasi, penting untuk mempertimbangkang kemungkinan
diagnosis lain. Non-infeksi menyebabkan SIRS atau komplikasi iatrogenik
seperti contoh tension pneumothorax setelah pemasangan CVC, harus
juga diperhatikan. (Eissa D, 2010) (Hayes, 1994)
d. Kontrol Sumber
2. Manajemen Intraoperatif
c. Anestesi Menetap
Tidak ada bukti yang menunjukkan yang satu lebih baik dari yang
lainnya dari segi outcome dalam tindakan anestesi menetap melalui rute
inhalasi atau intravena. Pilihan untuk anestesi menetap termasuk agen
inhalasi, agen intravena, dan opioids, sebagai contoh, remifentanil infus
penggunaannya 0,25-0,5 mg/kg/menit. Dokter anestesi harus memilih
teknik yang dipercayai terbaik yang sesuai dengan penilaian mereka
terhadap faktor resiko pada pasien dan komorbid, dan berdasarkan
keahlian dan pengalaman mereka. MAC agen anestesi inhalasi berkurang
pada sepsis berat. (Allauochiche, 2001) Pada pasien dengan disfungsi
paru yang signifikan, mempertahankan konsentrasi stabil dari agen
anestesi pada otak dapat lebih andal dicapai bila menggunakan intravena
bukan agen inhalasi. Apapun teknik yang digunakan, kedalaman anestesi
yang dicapai dapat diperkirakan dengan menggunakan monitoring indeks
bispektral. Selama operasi, status hemodinamik mungkin dapat
berkomplikasi akibat dari kehilangan darah atau pelepasan bakteri atau
endotoksin ke sistemik. Transfusi darah harus dilakukan pada prosedur
bedah yang rumit dan mengakibatkan kehilangan darah yang banyak.
(Eissa D, 2010)
Resusitasi volume intravaskuler harus tetap sesuai dengan
prosedur pembedahan keseluruhan. Meskipun CVP 8-12 cm H2O sering
digunakan sebagai tujuan dalam mempertahankan hemodinamik pada
resusitasi awal pasien septik, hasil CVP intraoperatif dapat meningkat
dengan tekanan intra-toraks dan intra-abdomen. Perubahan pada marker
dinamik (variasi tekanan nadi, variasi struk volum) menunjukkan prediksi
volume lebih akurat dari tekanan berdasarkan perkiraan (CVP atau
tekanan oklusi arteri pulmonal). Perubahan marker dinamik pada volume
responsif dapat digunakan dalam intraoperatif untuk memandu terapi
volume intravena, khususnya pada pasien dengan ritme sinus jantung
reguler dan ventilasi paru dikontrol oleh ventilasi mekanik. Bersamaan
dengan ekokardiografi transesofagus atau dopler esofagus dapat
digunakan untuk menentukan perubahan variasi struk volum. (Eissa D,
2010)
Ada banyak alat untuk memantau perubahan pada curah jantung
secara terus-menerus ( kateter arteri pulmonal, dopler esofagus,
pletismografi impedan) atau diskrit interval waktu (ekokardiografi
transthorak atau transesofagus, atau serial pengukuran saturasi O2 vena
campuran). Sepanjang prosedur pembedahan, parameter kardiovaskular
(denyut jantung, tekanan pengisian jantung, status inotropik, tekanan
arteri sistemik) dapat disesuaikan untuk optimalisasi penghantaran
oksigen ke jaringan dibandingkan dengan untuk mncapai nilai curah
jantung atau tekanan arteri. Adekuatnya penghantaran oksigen secara
keseluruhan dapat dinilai dengan laktat serum <2 mmol/liter dan sturasi
O2 vena campuran >70%. (Eissa D, 2010)
Oksigenasi dapat terganggu oleh edema paru non-kardiogenik,
yang disebabkan permeabilitas kapiler meningkat pada saat sepsis.
Pilihan manajemen untuk hipoksemia selama anestesi menetap termasuk
meningkatkan konsentrasi oksigen inspirasi dan secara bertahap
meningkatkan PEEP. Konsentrasi oksigen inspirasi dapat ditingkatkan
sampai SaO2 paling kurang 90% dan penggunaan PEEP dapat
dipertimbangkan selama prosedur pembedahan. PEEP dapat
meningkatkan stabilitas hemodinamik pasien yang akan meningkatkan
tekanan intrakranial, kompensasi asidosis metabolik, atau tahap akhir
kehamilan. Pada semua keadaan lain, hiperkarbia dapat ditoleransi dan
terdapat beberapa bukti bahwa hiperkapnia permisif memiliki efek
protektif yang melekat. (Eissa D, 2010)
Strategi perlindungan paru dianjurkan dalam ventilasi mekanik
paru. Perbedaan tekanan di dalam dan di luar dari ruang udara alveolus
pada akhir inspirasi adalah tekanan transpulmonal. Plateau tekanan
udara, diukur selama volume-kontrol ventilasi mekanik ketika jeda akhir
inspirasi, merupakan indikator dari tekanan maksimal di dalam kantung
alveolar. Tekanan di luar kantung alveolar tidak dapat diukur secara
langsung namun dapat diperkirakan secara klinis dengan menilai
perubahan pada tekanan pleura. Tekanan luar alveolar atau tekanan
pleura dapat tiba-tiba meningkat dengan menempatkan pasien dalam
posisi Trendelenberg atau dengan meningkatkan tekanan intrandominal
terkait dengan inflasi dari pneumoperitonium untuk operasi laparoskopi.
Pertukaran gas paru dapat memburuk jika tekanan pleura meningkat dan
tekanan plateu tetap konstan (yaitu penurunan tekanan transpulmonal).
Disisi lain, tekanan transpulmonal tinggi berkaitan dengan cedera paru.
Pada pasien early akut lung injury, strategi ventilasi harus bertujuan untuk
mencapai keseimbangan antara penurunan yang signifikan dalam
tekanan udara transpulmonal (misalnya, <20-25 cm H2O, dengan
penurunan ventilasi alveolar), dan tekanan transpulmonal berlebihan
(misalnya >25-30 cm H2O, dan berkaitan dengan barotrauma).
Penanganan alveoli yang kolaps adalah dengan ventilasi manual pada
pasien untuk mencapai tekanan puncak jalan napas sekitar 30-40 mmHg
untuk periode jangka pendek dapat mengurangi aliran balik dan
memperbaiki oksigenasi intraoperatif. Hati-hati dalam melakukan
manuver ini pada pasien dengan resiko pneumothoraks, seperti pasien
dengan bula emfisematus atau penyakit paru obstruktif kronis yang berat.
Selama proses operasi, penghitungan analisis gas darah, penghitungan
darah lengkap, koagulasi, elektrolit, laktat, dan konsentrasi glukosa
sangat dianjurkan. Setiap upaya harus dilakukan untuk menghindari
hipotermi intraoperatif yang berkaitan dengan gangguan platelet dan
disfungsi faktor koagulasi. (Eissa D, 2010)
Adapun pasien yang layak dirawat di ICU antara lain (Kemenkes RI 2011):
- Pasien yang memerlukan intervensi medis segera oleh tim intensive care
- Pasien yang memerlukan pengelolaan fungsi sistem organ tubuh secara
terkoordinasi dan berkelanjutan sehingga dapat dilakukan pengawasan
yang konstan terus menerus dan metode terapi titrasi
- Pasien sakit kritis yang memerlukan pemantauan kontinyu dan tindakan
segera untuk mencegah timbulnya dekompensasi fisiologis.
A, K. (2009). Optimizing antimicrobial therapy in sepsis and septic shock. Crit Care
Clin, 733-51.
Allauochiche. (2001). Influence of sepsis on sevoflurane minimum alveolar
concentration in porcine model. Br J Anaesth, 832-6.
Barretti P, Montelli AC, Batalha JE, Caramori JC, Cunha Mde L. The role of virulence
factors in the outcome of staphylococcal peritonitis in CAPD patients.BMC
Infect Dis. Dec 22 2009;9:212.
Finfer, B. (2004). the Safety Study : a comparison of albumin and saline for fluid
rescucitation in the intensive care unit. N Engl J Med, 2247-56.
Hayes. (1994). Elevation of systemic oxygen delivery in the treathmen of critically ill
patient. N Engl J Med, 1717-22.
Nelwan. (2003). Patofisiologi dan deteksi dini sepsis dalam : Pertemuan Ilmiah
Tahunan Ilmu Penyakit Dalam. 15-18.
Runyon B. Ascites and spontaneous bacterial peritonitis. In: Feldman M,Friedman LS,
Sleisenger MH, eds.Sleisenger & Fordtran's Gastrointestinal and Liver Disease.
Vol 2. 8thed. Philadelphia, Pa:Saunders; 2004:1935-64.
Schwartz. S.J., Shires. S. T. S., Spencer. F.C., 2009, Peritonitis dan Abces
Intraabdomen dalam Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah,Ed.6, alih bahasa dr.
Laniyati, EGC, Jakarta
Wilson. L. M., Lester. L .B., 2008, Usus kecil Dalam Patofisiologi Konsep Klinis Proses
- Proses Penyakit, Ed.4, alih bahasa dr. Peter Anugrah, EGC, Jakarta.