Anda di halaman 1dari 35

TUTORIAL KLINIK

PERAWATAN INTENSIF PADA PASIEN DENGAN SEPSIS

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti


Ujian Kepaniteraan Ilmu Anestesiology dan Terapi Intensif
RSUD Panembahan Senopati Bantul

Disusun oleh :
Devy Ayu Puspita Sari
Rizky Imannur Rahman
Nadena Majeda Dien Pratami

Pembimbing :
dr. Dedy Hartono, Sp. An

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2018
HALAMAN PENGESAHAN

PERAWATAN INTENSIF PADA PASIEN DENGAN SEPSIS

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti


Ujian Kepaniteraan Klinik di Bagian Anestesiology dan Terapi Intensif
RSUD Panembahan Senopati Bantul

Disusun Oleh:
Devy Ayu Puspita Sari
Rizky Imannur Rahman
Nadena Majeda Dien Pratami

Telah disetujui dan dipresentasikan pada tanggal Januari 2018


Oleh :

Dokter Pembimbing

dr. Dedy Hartono, Sp. An


BAB I
PENDAHULUAN

Kata sepsis berasal dari bahasa Yunani yang berarti dekomposisi atau
pembusukkan. Sepsis didefinisikan sebagai respons tubuh terhadap penyakit infeksi
ditandai dengan disfungsi organ yang mengancam nyawa dan merupakan masalah
kesehatan di dunia saat ini. Sepsis dimasukkan kedalam kategori penyakit darurat
karena ada gangguan dalam pemasukkan oksigen dan nutrisi ke jaringan sehingga
dibutuhkan penanganan kegawat daruratan segera. Hal tersebut yang menjadikan
sepsis sebagai penyebab tersering perawatan pasien di unit perawatan intensif (ICU).
Di Amerika insidensi sepsis berkisar 66-132 per 100000 populasi. Sepsis berat
hampir 25 % dirawat di ICU , umumnya diakibatkan usia lanjut, imunocompomisse,
dan penyakit berat yang mendasarinya. Sepsis merupakan penyebab kematian kedua
di ICU pada non-coronary disease (Halstead, 2011).
Sepsis dapat mengenai berbagai kelompok umur. Pada dewasa, sepsis
umumnya terdapat pada orang yang mengalami immunocompromised, yang
disebabkan karena adanya penyakit kronik maupun infeksi lainnya. Mortalitas sepsis
di negara yang sudah berkembang menurun hingga 9%, namun tingkat mortalitas
pada negara yang sedang berkembang, seperti Indonesia, masih tinggi yaitu 50-70%
dan apabila berlanjut pada syok sepsis dan disfungsi organ multiple, angka
mortalitasnya dapat mencapai 80% (Fink, 2003).
Langkah utama yang penting dalam penanganan sepsis adalah identifikasi dini.
Seringkali istilah systemic inflammatory response syndrome (SIRS) diartikan sama
dengan sepsis pada keadaan klinis. Padahal apabila diartikan, SIRS dapat timbul
sebagai hasil dari non-infeksi, sedangkan sepsis digunakan untuk inflamasi sistemik
yang muncul dari infeksi (Delilinger, 2012).
Oleh karena hal tersebut, sangatlah penting untuk dapat memahami sepsis dan
syok sepsis secara keseluruhan, mulai dari definisi, penyebab, diagnosis, hingga
penatalaksanaannya.
BAB II
LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien
Nama : An. R
Umur : 13 tahun
Alamat : Brosot RT1, Brosot, Galur, Kulon Progo
No. RM : 44-17-17
Tanggal Masuk RS : 29 Desember 2017
B. Anamnesis
1. Keluhan Utama
Pasien mengeluh muntah 2x, BAB cair 3x setelah makan mie instan, perut
terasa perih.
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD dengan keluhan mual, muntah 2x, BAB cair 3x setelah
makan mie instan. Pasien juga mengeluh perutnya terasa perih. BAB cair
tidak disertai lendir ataupun darah.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat kejang disangkal
Riwayat keluhan serupa disangkal
Riwayat asma/ alergi disangkal
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat penyakit serupa disangkal
Riwayat asma/ alergi disangkal

C. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum
Sedang, tampak lemas dan sulit bernapas
2. Kesadaran
GCS : E4V5M6
Compos Mentis
3. Vital Sign
Suhu badan : 380 C
Frekuensi Nadi : 104x/ menit
Frekuensi nafas : 22x/ menit
Tekanan darah : 110/60 mmHg
Skor nyeri : 5
SpO2 : 98%
4. Status Generalis
Tinggi badan : 140 cm
Berat badan : 42 Kg
Indeks Massa Tubuh: 21.4 kg/m2
Kepala :
Mata : Conjungtiva anemis : -/-, Sklera ikterik -/-
Hidung : Sekret -/-
Mulut : Obstruksi -, Tonsil T1-T1
Telinga : Serumen : -/-
Leher : Pembesaran limfonodi –
Thoraks :
Pulmo :
Inspeksi : Simetris +, Retraksi -, massa -
Palpasi :Ketinggalan gerak -, massa -
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Suara dasar vesikuler +/+ , Ronkhi -/-, Wh -/-
Jantung :
Inspeksi : Ictus cordis tak tampak
Palpasi : Ictus cordis tak teraba
Perkusi : Batas jantung tak melebar
Auskultasi : S1-S2 Reguler, Bising –
Abdomen :
Inspeksi : Distensi (+)
Auskultasi : Peristaltik (+)
Perkusi : Timpani
Palpasi : Nyeri tekan (+) seluruh lapang perut, Defans
muskular (+)
Ekstremitas : Akral hangat (+), nadi kuat (+), edem (-), CRT < 2
D. Pemeriksaan Penunjang
1. Foto Polos Abdomen 3 Posisi
Colon ascendens dan transversum nelebar dengan perselubungan.
Sistema usus halus tak melebar, psoas line kabur. Tak tampak udara
bebas
2. USG Whole Abdomen
Echostruktur vesica fellea, gaster dan kedua ren, normal
Appendiks: lumen normal, dinding menebal
Vesica urinaria: dinding mukosa tak menebal, tak tampak batu
Kesan: Peritonitis dengan susp. Appendicitis
3. Laboratorium
Nilai
satuan 29/12/17 2/01/2018
rujukan
Hematologi
Hemoglobin 14.0-18.0 g/dl 13.6 12.0
AL 4.00-11.00 103/ul 16.07 7.14
AE 4.50-5.50 106/ul 4.98 4.35
AT 150-450 103/ul 277 287
Hematokrit Vol% 39.3 34.5
Hitung jenis
Eosinofil 2-4 % 0 3
Basofil 0-1 % 0 0
Batang 2-5 % 22 5
Segmen 51-67 % 72 64
Limfosit 20-35 % 4 26
Monosit 4-8 % 2 2
Hemostasis
PPT 12.0-16.0 Detik 15.2
APTT 28.0-38.0 Detik 33.0
Control PPT 11.0-16.0 Detik 13.8
Control APTT 28.0-36.5 detik 30.6
Kimia Klinik
Fungsi Hati
Albumin 3.50-5.50 g/dl 4.25
Fungsi Ginjal
Ureum 17-43 Mg/dl 25
Creatinin 0.90-1.30 Mg/dl 0.78
Diabetes
GDS 80-200 Mg/dl 100 91
Elektrolit
137.0- 136.1 134.2
Natrium Mmol/l
145.0
Klorida 98.0-107.0 Mmol/l 99.4 97.9
Kalium 3.50-5.10 mmol/l 3.37 3.29
Hepatitis
HBsAg Negatip Negatip
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. Sepsis
1. Definisi

Sepsis merupakan penyakit yang mengancan nyawa ditandai


disfungsi organ yang disebabkan karena respon tubuh terhadap infeksi. Ini
merupakan definisi baru dari sepsis yang menekankan keutamaan respon
host nonhomeostatis terhadap infeksi, potensi mematikan jauh lebih besar
dari proses infeksi yang berlangsung dan membutuhkan penanganan segera
(Halstead, 2011).
Sepsis berat disebabkan oleh infeksi ataupun non-infeksi. Pasien
dengan penyebab infeksi biasanya akan menunjukan Systemic inflammatory
respon syndrome (SIRS). Infeksi nosokomial Rumah Sakit lebih berat
dibandingkan infeksi yang didapat dari masyarakat. Beberapa contoh infeksi
yang menyebabkan sepsis adalah infeksi Central nervous system ;
meningitis, ensepalitis, endokarditis, peritonitis, pyelonefritis. Penyebab
infeksi lain yang dapat menyebabkan sepsis sampai syok septik adalah virus
dan jamur (Delilinger, 2012).
Penyebab sepsis pada non-infeksi adalah trauma, perdarahan,
penyakit akut sistemik, termasuk infark miokard, emboli paru, akut
pankreatitis. (Delilinger, 2012)
Beberapa definisi yang berhubungan dengan sepsis:
Infeksi Suatu proses patologis yang disebabkan oleh
invasi dari jaringan normal steril atau cairan atau
rongga tubuh oleh mikroorganisme pathogen
yang berpotensi.
Bakteremia Adanya bakteri hidup dalam darah, yang mungkin
sementara, dan dapat berlanjut pada viremia,
fungemia, dan parasitemia.

Systemic Respon tubuh non spesifik terhadap kondisi yang


inflammatory menyebabkan inflamasi yang berupa infeksi, luka
response syndrome bakar, pancreatitis akut, trauma, atau yang
(SIRS) lainnya. Setidaknya terdapat dua poin dari berikut:
- Temperature >38.0C atau <36C
- Laju nadi >90 kali per menit
- Laju nafas >20 kali per menit atau
PaCo2<32 mmHg
- Jumlah sel darah putih >12.000/mm3 atau
<4.000/mm3 atau >10% sel imatur.
Sepsis SIRS yang disertai dengan sumber infeksi yang
dapat berasal dari bakteri, virus, atau parasit.
Hipotensi Tekanan sistolik <90 mmHg atau kurang dari 40
mmHg dari tekanan baseline.
Sepsis berat Sepsis yang disertai dengan disfungsi organ atau
hipoperfusi jaringan (dengan karakteristik
oligouria, gangguan status mental, dan/atau laktat
asidosis), atau hipotensi arteri.
Syok sepsis Sepsis yang disertai dengan kegagalan sirkulasi,
ditandai dengan hipotensi yang menetap
meskipun telah dilakukan resusitasi cairan.
Multiple organ Perubahan fungsi organ pada pasien sakit berat
dysfunction syndrome sehingga homeostatis tidak dapat dipertahankan
(MODS) walaupun dengan intervensi.
2. Kriteria Diagnostik Sepsis (Eissa D, 2010)
3. Etiologi

Penyebab bakteri umum sepsis adalah basil gram negatif (misalnya,


E. coli, P. aeruginosa, E. corrodens, dan Haemophilus influenzae pada
neonatus). Bakteri lain juga menyebabkan sepsis adalah S. aureus,
Streptococcus spesies, spesies Enterococcus dan Neisseria; Namun, ada
sejumlah besar genera bakteri yang telah diketahui menyebabkan sepsis.
Spesies Candida adalah beberapa dari jamur yang paling sering
menyebabkan sepsis. Secara umum, seseorang dengan sepsis dapat
menular, sehingga tindakan pencegahan seperti mencuci tangan, sarung
tangan steril, masker, dan cakupan pakaian harus dipertimbangkan
tergantung pada sumber infeksi pasien. (Eissa D, 2010)
Infeksi yang berhubungan dengan sepsis meliputi:
 Pneumonia
 Appendisitis
 Peritonitis
 Infeksi kandung kemih, uretra atau ginjal (infeksi saluran kemih)
 Infeksi kantong empedu (kolesistitis) atau saluran empedu (kolangitis)
 Infeksi kulit, seperti selulitis
 Infeksi pasca-bedah
 Infeksi pada otak dan sistem saraf, seperti meningitis atau ensefalitis
(Eissa D, 2010)
4. Patofisiologi
Bakteri gram positif maupun gram negatif dapat menimbulkan sepsis.
Pada bakteri gram negatif yang berperan adalah lipopolisakarida (LPS).
Suatu protein di dalam plasma, dikenal dengan LBP (Lipopolysacharide
binding protein) yang disintesis oleh hepatosit, diketahui berperan penting
dalam metabolisme LPS. LPS masuk ke dalam sirkulasi, sebagian akan
diikat oleh faktor inhibitor dalam serum seperti lipoprotein, kilomikron
sehingga LPS akan dimetabolisme. Sebagian LPS akan berikatan dengan
LBP sehingga mempercepat ikatan dengan CD14. Kompleks CD14-LPS
menyebabkan transduksi sinyal intraseluler melalui nuklear factor kappaB
(NFkB), tyrosin kinase(TK), protein kinase C (PKC), suatu faktor transkripsi
yang menyebabkan diproduksinya RNA sitokin oleh sel. Kompleks LPS-
CD14 terlarut juga akan menyebabkan aktivasi intrasel melalui toll like
receptor-2 (TLR2). (Nelwan, 2003)
Pada bakteri gram positif, komponen dinding sel bakteri berupa
Lipoteichoic acid (LTA) dan peptidoglikan (PG) merupakan induktor sitokin.
Bakteri gram positif menyebabkan sepsis melalui 2 mekanisme: eksotoksin
sebagai superantigen dan komponen dinding sel yang menstimulasi imun.
Superantigen berikatan dengan molekul MHC kelas II dari antigen
presenting cells dan Vβ-chains dari reseptor sel T, kemudian akan
mengaktivasi sel T dalam jumlah besar untuk memproduksi sitokin
proinflamasi yang berlebih. (Nelwan, 2003)
5. Diagnosis
Anamnesis mengenai riwayat penyakit akan memberikan informasi
mengenai faktor resiko potensial terjadinya infeksi, berhubunagn dengan
patogen spesifik pada area jaringan tertentu. Pemeriksaan fisik meliputi
keadaan umum pasien, tanda-tanda vital. Gambaran klasik sepsis berat
adalah pasien hipermetabolik dengan temperatur tinggi, takikardia, takipnea,
sirkulasi vasodilatasi hiperdinamik, tekanan diastolik rendah, dan suara
‘pistol shot’ pada arteri femoralis. Oliguria umum ditemukan dan pasien
dapat terlihat gelisah, pusing, atau mengantuk. Leukositosis biasanya
terkadi dan urea dapat meningkat tanpa diikuti kenaikan kadar kreatinin
plasma, yang menunjukkan katabolisme protein yang besar. Namun tidak
semua kasus memiliki gambaran-gambaran tersebut. Suhu tubuh dapat
normal, tinggi, atau rendah. Hipotensi, vasokonstriksi, dan sianosis perifer
(‘cold shock’) dapat ditemukan pada pasien septik yang hipovolemik atau
memang sudah memiliki disfungsi miokard, atau terlambat dirujuk dan tanpa
resusitasi awal. (RS, 2011)
a. Darah lengkap
Walaupun leukositosis dan peningkatan sel-sel batang lazim
dijumpai, leukopenia bisa saja terjadi. Seringkali laju endap darah
meningkat. Kadar laktat darah umumnya meningkat seperti halnya kadar
gula darah, namun hipoglisemia sering terjadi pada pasien dengan
disfungsi liver. Bukti gagal organ lain (ginjal, hepar, usus, miokardium, dan
koagulopati) dapat ditemukan. Tanda-tanda dan gejala-gejala lain dapat
berhubungan dengan sumber infeksi mula-mula. Pengambilan level laktat
harus dalam 3 jam.
b. Kultur
Sebaiknya dilakukan sebelum dilakukan terapi antimikrobial dan
proes pengambilan sebaikanya tidak menjadi penyebab penundaan
pemberian terapi antibiotik. Pengambilan kultur sebelum antimikrobial
berguna untuk konfirmasi infeksi dan mengetahui patogen penyebab.
Pengambilan kultur darah harus selesai dalam 3 jam. Untuk
mengoptimalisasi identifikasi organisme penyebab, direkomendasikan
untuk mengambil sedikitnya 2 set kultur darah (botol aerob dan anaerob),
dengan satu diambil decara perkutaneus dan satu diambil vascular
access device, jika device <48 jam digunakan. Darah ini dapat diambil
bersamaan waktu jika diambil dari tempat yang berbeda.
Kultur dapat dari urin, cerebrospinal fluid, luka, sekret pernafasan
dan cairan tubuh lain yang mungkin menjadi penyebab infeksi.
c. Gram stain
Terutama untuk spesimen pernafasan, untuk menentukan adanya
sel inflamatori.
d. Biomarker
Level prokalsitonin dan C reactive protein meningkat untuk
menentukan patern akut inflamasi dari sepsis.
e. Polymerase chain reaction, mass spectroscopy, microarray diharapkan
dapat menjadi cara identifikasi patogen yang lebih cepat.
f. CT-guided needle aspiration

B. MANAJEMEN ANESTESI

Dokter anestesi sering terlibat dalam perawatan pasien sepsis berat


di bagian emergensi, ruang operasi, ataupun ICU. Pengontrolan sumber
infeksi, yang melibatkan drainase abses secara bedah atau debridemen
jaringan nekrotik ditambah dengan terapi antimikroba awal yang efektif,
merupakan sumber keberhasilan penanganan pasien dengan sepsis berat.
Pada operasi dengan resiko tinggi atau pasien trauma dengan sepsis,
mengoptimalkan hemodinamik awal sebelum terjadinya perkembangan
kegagalan organ mengurangi angka kematian 23% dibandingkan dengan
mereka yang pengoptimalan hemodinamik setelah terjadinya kegagalan
organ (Russel, 2009).

1. Penilaian Praoperasi

Meskipun tidak semua pasien dengan sepsis berat memiliki fokus


infeksi, namun tetap penting untuk memeriksa pasien secara sistematis untuk
mencari sumber infeksi. Sumber utama mungkin jelas (seperti trauma, luka
bakar, pembedahan) atau malah mungkin lebih sulit untuk diidentifikasi
(seperti emfiema pada kantung empedu, pankreatitis, sepsis ginekologis,
infeksi jaringan lunak atau tulang) terlebih lagi pada pasien yang tidak
kooperatif. Pemeriksaan harus berfokus pada derajat keparahan SIRS,
keadaan hidrasi intravaskular, adanya tanda syok atau disfungsi multi organ,
dan resusitasi hemodinamik yang adekuat. (Eissa D, 2010)

a. Terapi Antibiotik

Sangat penting bahwa antibiotik intravena harus dimulai secepat


mungkin setelah didiagnosis dengan sepsis berat dan syok septik. Tidak
ada bukti yang menunjukkan bahwa menunda pemberian sampai awal
prosedur bedah atau sampai hasil kultur mikrobiologi tersedia memberikan
hasil yang lebih baik. Sampel yang sesuai untuk kultur harus didapatkan
terlebuh dahulu sebelum pemberian terapi antibiotik lini pertama. Obat-obat
antimikroba lebih baik diberikan secara intravena dan dengan dosis yang
cukup untuk mencapai konsentrasi terapetik. Pemilihan agen antimikroba
harus berdasarkan riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, pemberian optimal
obat antimikroba terhadap jaringan yang terinfeksi, dan pola sensitivitas
lokal agen antimikroba. Agen spektrum luas harus diberikan terlebih dahulu
dengan satu atau lebih agen aktif terhadap semua kemungkinan
bakteri/jamur patogen. (Handelsman, 2004)

b. Resusitasi Hemodinamik
Tujuan tindakan resusitasi preoperatif adalah untuk cepat
mengembalikan penghantaran oksigen ke jaringan perifer. Jika pasien
dalam kondisi hemodinamik tidak stabil, monitoring tekanan arteri secara
invasif, akses vena sentral, dan ICU atau unit dengan perawatan khusus
harus tersedia. Penempatan kateter vena sentral (CVC) memungkinkan
dilakukan pengukuran tekanan vena sentral (CVP), ditambah dengan
saturasi oksigen vena (SvO2), pemberian cairan intravena, dan obat-
obatan vasopresor. (Finfer, 2004) Tindakan resusitasi yang dimulai ketika
di ruang emergensi (IGD) dapat tetap dilanjutkan jika pasien membutuhkan
pemeriksaan diagnostik imaging atau jika pasien akan ditransfer ke
ruangan ICU sebelum dipindahkan ke ruang operasi. Resusitasi 6 jam
pertama pada pasien sepsis, disebut “golden hours”, yang penting dan
sering bertepatan dengan waktu pembedahan emergensi. Ada sedikit
perbedaan pendapat antara dokter bahwa pasien septik hipotensi dengan
laktat >3 mmol/liter, volume resusitasi menggunakan kristaloid atau koloid
harus digunakan terlebih dahulu, dengan tujuan untuk mencapai titik akhir
klinis: CVP 8-12 mmHg, tekanan arteri rata-rata 65 mmHg, urin output 0,5
ml/kg/jam, saturasi oksigen vena sentral: >70%. Tidak ada bukti yang
menunjukkan bahwa suatu jenis cairan intravena lebih baik dari jenis
lainnya sehubungan dengan perawatan selama di ICU, durasi ventilasi
mekanis, durasi terapi pengganti ginjal, dan 28 hari outcome. Terapi
dengan koloid dikaitkan dengan kejadian gagal ginjal akut yang lebih tinggi
dan terapi pengganti ginjal dibandingkan dengan ringer laktat dan
toksisitasnya meningkat sesuai dengan akumulasi dosis. (Brunkhorst,
2008)
Bantuan vasopresor dengan norepinefrin mungkin bisa juga
dipertimbangkan sebelum pengoptimalan pemberian cairan intravena
dicapai. Dosis rendah vasopresin (0,03 unit/menit) mungkin dapat
ditambahkan untuk mengurangi kebutuhan dosis norepinefrin itu sendiri.
Inotropik ditambahkan kedalam volume resusitasi dan vasopresor, jika
terdapat bukti curah jantung tetap rendah meskipun dengan resusitasi
cairan dan pengisian jantung yang adekuat. Kampanye sepsis survival
merekomendasikan dobutamin sebagai terapi inotropik lini pertama yang
ditambahkan pada vasopresor pasien septik. (Eissa D, 2010) Namun,
penelitian pada pasien septik menunjukkan tidak ada perbedaan efektifitas
dan keamanan dengan hanya epinefrin dibandingkan dengan norepinefrin
ditambah dobutamin dalam manajemen syok septik. Tidak ada bukti yang
mendukung bahwa penggunaan dobutamin untuk mencapai penghantaran
oksigen yang luar biasa dalam hal meningkatkan outcome. Upaya
resusitasi harus tetap diberikan selama perbaikan hemodinamik pada
setiap tahapnya. Lebih lanjut pemberian cairan intravena harus dihentikan
ketika tekanan sudah terlalu tinggi dan tidak ada perbaikan yang terlihat
pada perfusi jaringan (misalnya serum laktat tidak menurun). Transfusi sel
darah merah juga dapat dipertimbangkan jika penghantaran oksigen ke
jaringan tidak adekuat. (JD, 2010)
Levosimendan mungkin berguna sebagai tambahan terapi
konvensional inotropik pada kasus disfungsi miokardial refraktori pada
sepsis. Efek inotropik meningkatkan sensitivitas troponin C jantung
terhadap kalsium. Efek vasodilator sistemik dan pulmonal berkaitan
dengan pembukaan chanel pottasium dependent-ATP. Uji acak terkontrol
pada 28 pasien dengan syok septik dan fraksi ejeksi <45% menetap
>48jam setalah terapi konvensional ditemukan bahwa indeks jantung dan
fungsi ginjal mengindikasikan perbaikan setelah pemberian levosimendan,
dibandingkan dengan dobutamin. Namun, studi lebih besar dibutuhkan
sebelum levosimendan diterima secara luas sebagai terapi syok septik.
(JD, 2010)
Terapi oksigen tambahan juga memperbaiki kondisi pada pasien
sepsis berat bahkan jika mereka tidak memiliki tanda-tanda gangguan
pernapasan. Segera intubasi trakea dan ventilasi mekanik paru dapat
dipertimbangkan jika derajat kesadaran pasien rendah atau jika ada
distress yang progresif dan hipoksia. Jika respon inadekuat terhadap
tindakan resusitasi, penting untuk mempertimbangkang kemungkinan
diagnosis lain. Non-infeksi menyebabkan SIRS atau komplikasi iatrogenik
seperti contoh tension pneumothorax setelah pemasangan CVC, harus
juga diperhatikan. (Eissa D, 2010) (Hayes, 1994)

c. Diagnostik Imaging (Eissa D, 2010)


Diagnostik imaging semakin penting dalam menentukan fokus
infeksi, termasuk juga patologi alternatif dan membantu mengarahkan
dalam prosedur radiologi atau pembedahan. Jika dari studi diagnostik
imaging dianggap sudah tepat, hal ini penting bahwa semua langkah-
langkah terapi lain (misalnya resusitasi cairan, terapi antimikroba, ventilasi
mekanis) dapat dilanjutkan secara komprehensif. CT-Scan merupakan
modalitas imaging paling berguna untuk infeksi jaringan lunak yang
kompleks dan infeksi mendalam di perut dan dada. USG dari saluran
empedu dan saluran kemih juga dapat dipertimbangkan. Interpretasi ahli
dari semua studi imaging harus dicari untuk membantu dalam perencanaan
strategi pengelolaan yang optimal.

d. Kontrol Sumber

Tindakan pengontrolan sumber termasuk drainase atau prosedur


debridemen dan koreksi definitif kelainan anatomi yang menyebabkan
kontaminasi pada jaringan yang sebelumnya steril. Prosedur drainase
diterapkan pada infeksi yang dapat di drainase baik secara perkutaneus
dibawah arahan imaging atau dengan pembedahan terbuka. Debridemen
mengacu kepada pembuangan jaringan padat yang tidak viabel lagi
biasanya dengan pembedahan terbuka. Intervensi bedah definitif ditujukan
untuk memperbaiki kelainan anatomi dan mencegah kontaminasi lebih
lanjut. Seorang ahli bedah dengan pengalaman dalam menangani infeksi
yang kompleks pada pasien penyakit kritis bagus untuk dilibatkan dalam
pengambilan keputusan mengenai prosedur kontrol sumber ini. Tujuan
langsung adalah untuk mencapai kontrol yang adekuat terhadap sumber
infeksi. Intervensi kontrol sumber dapat menyebabkan komplikasi lebih
lanjut seperti perdarahan, fistula, atau cedera organ. Waktu optimal dalam
intervensi pembedahan bergantung pada diagnosis dan perjalanan klinis
pasien. Pada beberapa pasien, pembedahan segera atau dalam jangka
waktu 1-2 jam dari presentasi ( sepert infeksi saluran napas atas yang
menyebabkan gangguan jalan napas, nekrotik) dapat menyelamatkan
nyawa. Ada juga sejumlah infeksi sering terjadi berat (abses intaabdomen,
infeksi terkait dengan intravaskular, endokarditis infektif dengan kerusakan
jantung struktural yang mengarah ke syok kardiogenik) yang mungkin
memerlukan intervensi bedah segera. Pengecualian untuk aturan ini
adalah nekrosis peripankreatik terkait dengan pankreatitis akut, dimana
drainase perkutaneus dan fasilitas terapi suportif penuh dapat menunda
tindakan bedah dimana hal ini berkaitan dengan perbaikan outcome.
Komunikasi yang jelas antara dokter anestesi, dokter bedah, ahli
mikrobiologi-penyakit infeksi, dan ahli radiologi dibutuhkan untuk rencana
penerapan terapi yang segera dan efektif, yang dapat didiskusikan dengan
pasien dan keluarganya. Sangat penting untuk mengasumsikan dokter
anestesi memiliki peran sentral dalam tim multidisiplin ini (Eissa D, 2010)
(Marshall, 2009).

2. Manajemen Intraoperatif

Tujuan utama dari dokter anestesi selama dalam periode intraoperatif


adalah memberikan keamanan dan perawatan yang optimal untuk pasien-
pasien sepsis dengan penyakit kritis, sehingga mereka mendapatkan
manfaat yang maksimal dari prosedur kontrol sumber baik secara operasi
atau radiologikal. Kebanyakan prosedur kontrol sumber secara pembedahan
dilakukan di ruang operasi di bawah anestesi umum.
a. Sebelum induksi
Banyak prosedur kontrol sumber yang dilakukan selama hitungan
jam, sehingga sangat penting bahwa dokter anestesi membantu dalam
ruang operasi. Beberapa pemikiran harus disampaikan pada pasien
seperti kebutuhan akan ICU sebagai manajeman setelah operasi.
Perhatikan pengiriman sample mikrobiologi untuk kultur, kapan memulai
pemberian agen antimikroba, dan waktu untuk jadwal pemberian dosis
berikutnya merupakan hal-hal yang penting dalam mengoptimalkan terapi
antimikroba intraoperatif. Konsentrasi terapetik dari agen antimikroba
yang efektif harus dipertahankan selama intraoperatif, karena prosedur itu
sendiri dapat menyebabkan bakterimia dan kerusakan klinis. Monitoring
hemodinamik invasif cendrung ditambahkan sebagai standar dalam
monitoring intraoperatif. Pengukuran secara berkala terhadap gas darah
arteri dan konsentrasi laktat harus harus disediakan peralatan
pemeriksaannya di dekat pasien. Kehilangan banyak volume darah harus
dapat diantisipasi selama prosedur operasi, sehingga perlu
dipertimbangkan untuk menyiapkan peralatan resusitasi intravaskular. (A,
2009)

b. Induksi Anestesi dan Inisiasi Ventilasi Mekanik


Pasien yang menjalani prosedur kontrol sumber dalam kondisi
kardiovaskular tidak stabil dapat diakibatkan dari kondisi sepsis, anestesi,
kehilangan volume intravaskular, perdarahan, dan stres pembedahan.
Denitrogenasi paru, pernapasan O2 100% melalui facemask selama 3
menit, dapat dipertimbangkan sebelum induksi anestesi. Karena banyak
prosedur operasi pada pasien sepsis berat terjadi kondisi emergensi,
diperlukan modifikasi cepat urutan induksi, mungkin dengan
menggunakan recuronium dibandingkan dengan succinylcholine untuk
memfasilitasi intubasi trakea, mungkin dibutuhkan. Pilihan untuk teknik
induksi sangat banyak, termasuk ketamine, etomidate, dan pemberian
lambat sering digunakan pada agen seperti propofol. Kebanyakan agen
anestesi intravena atau inhalasi menyebabkan vasodilatasi atau
mempengaruhi kontraktilitas ventrikel. Induksi anestesi idealnya
menggunakan proses dimana penggunaan agen anestesi intravena
dalam dosis kecil, titrasi untuk respon klinis. Pilihan agen induksi atau
narkotik kurang dipertimbangkan. Ketamine atau midazolam dapat
memberikan tingkat hemodinamik stabil dan opioid jangka pendek seperti
fentanyl atau alfentanil dapat mengurangi dosis agen induksi anestesi.
Dengan pengecualian pada remifentanil, efek dan durasi kerja dari opioid
intravena ini meningkatkan kerusakan perfusi hepar dan ginjal.
Remifentanil infus, baik sebagai agen primer atau sebagai tambahan lain
dalam induksi obat, direkomendasikan dalam induksi anestesi pada
pasien septik, pasien tidak stabil. Meskipun hal ini dapat menyebabkan
bradikardi, kebanyakan dari pasien mengalami takikardi, dan berefek
pada kontraktilitas miokard menjadi minimal. Lebih lanjut, remifentanil
menghindari reduksi tiba-tiba pada resistensi vaskular sistemik.
Penggunaan tabung trakeal cuffed difasilitasi dengan penggunaan agen
blok neuromuskular (sebaiknya agen yang melepaskan non-histamin).
(Eissa D, 2010)
Resusitasi volume dan peningkatan dosis vasopresor membantu
mencegah efek hipotensi dari agen anestesi dan tekanan positif ventilasi
mekanik. Pilihan penggunaan vasopresor termasuk efedrin, penilefrin,
dan metaraminol, tapi tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa
penggunaan yang satu lebih baik dari pada penggunaan yang lain. Infus
norepinefrin mungkin dapat digunakan untuk efek yang lebih lama. Tujuan
dari ventilasi mekanik pada pasien dengan sepsis berat adalah untuk
membantu peningkatan fraksi konsentrasi oksigen insipirasi (FIO2) untuk
mempertahankan oksigen yang memadai (Pa O2 12 kPa). Terdapat
baukti baru yang kuat strategi ventilasi volume tidal, untuk meminimalisir
dampak ventilasi tekanan positif pada jaringan paru itu sendiri, dan juga
aliran balik vena dan kardiak output. Gaya geser yang disebabkan oleh
tingginya volume tidal atau tekanan insirasi yang tinggi akan
menyebabkan cedera pada paru. Oleh karena itu, oksigenasi yang
adekuat, konsep “hiperkapnia permisif” timbul, dimana ventilasi permenit
alveolar yang rendah dapat meminimalisir kerusakan ventilasi paru
menghasilkan derajat hiperkapnia (biasanya PaCO2 8-9 kPa), dimana hal
ini dapat ditoleransi dan aman dalam jangka pendek. (lebih dari 3-4 hari).
(Eissa D, 2010)

c. Anestesi Menetap
Tidak ada bukti yang menunjukkan yang satu lebih baik dari yang
lainnya dari segi outcome dalam tindakan anestesi menetap melalui rute
inhalasi atau intravena. Pilihan untuk anestesi menetap termasuk agen
inhalasi, agen intravena, dan opioids, sebagai contoh, remifentanil infus
penggunaannya 0,25-0,5 mg/kg/menit. Dokter anestesi harus memilih
teknik yang dipercayai terbaik yang sesuai dengan penilaian mereka
terhadap faktor resiko pada pasien dan komorbid, dan berdasarkan
keahlian dan pengalaman mereka. MAC agen anestesi inhalasi berkurang
pada sepsis berat. (Allauochiche, 2001) Pada pasien dengan disfungsi
paru yang signifikan, mempertahankan konsentrasi stabil dari agen
anestesi pada otak dapat lebih andal dicapai bila menggunakan intravena
bukan agen inhalasi. Apapun teknik yang digunakan, kedalaman anestesi
yang dicapai dapat diperkirakan dengan menggunakan monitoring indeks
bispektral. Selama operasi, status hemodinamik mungkin dapat
berkomplikasi akibat dari kehilangan darah atau pelepasan bakteri atau
endotoksin ke sistemik. Transfusi darah harus dilakukan pada prosedur
bedah yang rumit dan mengakibatkan kehilangan darah yang banyak.
(Eissa D, 2010)
Resusitasi volume intravaskuler harus tetap sesuai dengan
prosedur pembedahan keseluruhan. Meskipun CVP 8-12 cm H2O sering
digunakan sebagai tujuan dalam mempertahankan hemodinamik pada
resusitasi awal pasien septik, hasil CVP intraoperatif dapat meningkat
dengan tekanan intra-toraks dan intra-abdomen. Perubahan pada marker
dinamik (variasi tekanan nadi, variasi struk volum) menunjukkan prediksi
volume lebih akurat dari tekanan berdasarkan perkiraan (CVP atau
tekanan oklusi arteri pulmonal). Perubahan marker dinamik pada volume
responsif dapat digunakan dalam intraoperatif untuk memandu terapi
volume intravena, khususnya pada pasien dengan ritme sinus jantung
reguler dan ventilasi paru dikontrol oleh ventilasi mekanik. Bersamaan
dengan ekokardiografi transesofagus atau dopler esofagus dapat
digunakan untuk menentukan perubahan variasi struk volum. (Eissa D,
2010)
Ada banyak alat untuk memantau perubahan pada curah jantung
secara terus-menerus ( kateter arteri pulmonal, dopler esofagus,
pletismografi impedan) atau diskrit interval waktu (ekokardiografi
transthorak atau transesofagus, atau serial pengukuran saturasi O2 vena
campuran). Sepanjang prosedur pembedahan, parameter kardiovaskular
(denyut jantung, tekanan pengisian jantung, status inotropik, tekanan
arteri sistemik) dapat disesuaikan untuk optimalisasi penghantaran
oksigen ke jaringan dibandingkan dengan untuk mncapai nilai curah
jantung atau tekanan arteri. Adekuatnya penghantaran oksigen secara
keseluruhan dapat dinilai dengan laktat serum <2 mmol/liter dan sturasi
O2 vena campuran >70%. (Eissa D, 2010)
Oksigenasi dapat terganggu oleh edema paru non-kardiogenik,
yang disebabkan permeabilitas kapiler meningkat pada saat sepsis.
Pilihan manajemen untuk hipoksemia selama anestesi menetap termasuk
meningkatkan konsentrasi oksigen inspirasi dan secara bertahap
meningkatkan PEEP. Konsentrasi oksigen inspirasi dapat ditingkatkan
sampai SaO2 paling kurang 90% dan penggunaan PEEP dapat
dipertimbangkan selama prosedur pembedahan. PEEP dapat
meningkatkan stabilitas hemodinamik pasien yang akan meningkatkan
tekanan intrakranial, kompensasi asidosis metabolik, atau tahap akhir
kehamilan. Pada semua keadaan lain, hiperkarbia dapat ditoleransi dan
terdapat beberapa bukti bahwa hiperkapnia permisif memiliki efek
protektif yang melekat. (Eissa D, 2010)
Strategi perlindungan paru dianjurkan dalam ventilasi mekanik
paru. Perbedaan tekanan di dalam dan di luar dari ruang udara alveolus
pada akhir inspirasi adalah tekanan transpulmonal. Plateau tekanan
udara, diukur selama volume-kontrol ventilasi mekanik ketika jeda akhir
inspirasi, merupakan indikator dari tekanan maksimal di dalam kantung
alveolar. Tekanan di luar kantung alveolar tidak dapat diukur secara
langsung namun dapat diperkirakan secara klinis dengan menilai
perubahan pada tekanan pleura. Tekanan luar alveolar atau tekanan
pleura dapat tiba-tiba meningkat dengan menempatkan pasien dalam
posisi Trendelenberg atau dengan meningkatkan tekanan intrandominal
terkait dengan inflasi dari pneumoperitonium untuk operasi laparoskopi.
Pertukaran gas paru dapat memburuk jika tekanan pleura meningkat dan
tekanan plateu tetap konstan (yaitu penurunan tekanan transpulmonal).
Disisi lain, tekanan transpulmonal tinggi berkaitan dengan cedera paru.
Pada pasien early akut lung injury, strategi ventilasi harus bertujuan untuk
mencapai keseimbangan antara penurunan yang signifikan dalam
tekanan udara transpulmonal (misalnya, <20-25 cm H2O, dengan
penurunan ventilasi alveolar), dan tekanan transpulmonal berlebihan
(misalnya >25-30 cm H2O, dan berkaitan dengan barotrauma).
Penanganan alveoli yang kolaps adalah dengan ventilasi manual pada
pasien untuk mencapai tekanan puncak jalan napas sekitar 30-40 mmHg
untuk periode jangka pendek dapat mengurangi aliran balik dan
memperbaiki oksigenasi intraoperatif. Hati-hati dalam melakukan
manuver ini pada pasien dengan resiko pneumothoraks, seperti pasien
dengan bula emfisematus atau penyakit paru obstruktif kronis yang berat.
Selama proses operasi, penghitungan analisis gas darah, penghitungan
darah lengkap, koagulasi, elektrolit, laktat, dan konsentrasi glukosa
sangat dianjurkan. Setiap upaya harus dilakukan untuk menghindari
hipotermi intraoperatif yang berkaitan dengan gangguan platelet dan
disfungsi faktor koagulasi. (Eissa D, 2010)

e. Akhir prosedur operasi


Pada akhir prosedur bedah, pemberian agen blok neuromuskular
untuk memfasilitasi penutupan dari bedah abdomen atau thorak dapat
dipertimbangkan. Tingkat kehilangan darah harus minimal sebelum
meninggalkan ruang operasi. Dosis tambahan agen antimikroba dapat
dipertimbangkan juga. Pada pasien yang membutuhkan operasi lebih
lanjut dan semua pasien penyakit kritis, analgesi, sedasi, dan ventilasi
mekanis dipertahankan sampai akhir operasi. Keamanan pemindahan
pasien ke ICU sangat penting. Sebuah laporan operasi sangat membantu
petugas ICU dalam memantau klinis yang muncul, penilaian terhadap
respon resusitasi, penggunaan agen antimikroba, detail tentang prosedur
operasi, produk darah yang digunakan selama intraoperatif, dan masalah
khusus yang harus diantisipasi dalam periode postoperatif. (Eissa D,
2010)

3. Manajemen Post Operatif Pasien dengan Sepsis Berat


Penting untuk dicatat bahwa penilaian pre-resusitasi harus
digunakan untuk menghitung skor APACHE kebutuhan perawatan intensif,
bukan orang-orang yang telah membaik setelah resusitasi dan prosedur
pembedahan. Infus obat vasopresor berkelanjutan harus disesuaikan agar
cocok dengan volume intravaskular dan pengaturan ventilasi mekanik baru.
Setelah mengamankan jalan napas pasien, pengaturan ventilasi mekanik
dapat dihentikan, dengan tujuan meminimalkan volutrauma dan
barotrauma pada paru. Hal ini kemungkinan besar akan dicapai dengan
menggunakan pengaturan tekanan rendah, konsentrasi oksigen inspirasi
fraktional tinggi (FIO2), dan penyesuaian batas sesuai limit. Volume tidal
yang rendah (lebih dari 6 ml/kg berdasarkan perkiraan berat badan) dan
hiperkapnia permisif dapat dipertimbangkan, asalkan pH arteri tidak
menurun di bawah 7,20. Kontrol tekanan dan kontrol volume ventilasi
mekanik dapat digunakan. Ketika jeda inspirasi akhir termasuk siklus
respirasi pada model kontrol volume, tekanan transpulmonal yang dicapai
(tekanan plateu-tekanan pleura) harus mencapai batas 25-30 cm H2O
untuk meminimalisir kerusakan ventilasi parenkim paru. Penggunaan
PPEP tinggi (10-15 cm H2O) mungkin dibatasi oleh tingkat ketidakstabilan
hemodinamik terkait. FiO2 dapat menurun (<60%) untuk mencapai SpO2
93-95%. (Delilinger, 2012) (Eissa D, 2010)

Hal ini penting bahwa terapi antimikroba, yang dimulai sebelum


operasi, harus dilanjutkan di ICU dan jadwal waktu pemberian dosis
berikutnya tercatat. Regimen antimikroba dapat ditinjau kembali setiap hari
sesuai dengan hasil kultur mikrobiologi, dan disesuaikan untuk memastikan
keberhasilan, mencegah resistensi, dan menghindari toksisitas. Durasi
terapi harus dibatasi 7-10 hari. Hal ini telah dibuktikan bahwa pasien yang
menjalani strategi transfusi sel darah merah (transfusi dihindari kecuali
Hb<7 g/dl) memiliki angka kematian yang lebih rendah ( 22% vs 28%)
daripada mereka yang dilakukan transfusi pada nilai Hb yang lebih tinggi,
dengan pengecualian pada pasien infark miokard akut dan angina tidak
stabil. Plasma beku yang masih segar dapat digunakan untuk memperbaiki
pembekuan laboratorium yang abnormal hanya jika ada klinis perdarahan
atau prosedur invasif direncanakan. Platelet ditransfusikan jika nilainya ≤
5.000/mm3 tanpa perdarahan, atau jika antara 5.000 – 30.000/mm3 dengan
resiko perdarahan yang signifikan. Trombosis vena tromboprofilaksis harus
dipertimbangkan masalah koagulopati telah ditangani. Recombinant
human activated protein C (rhAPC) dapat dipertimbangkan pada pasien
dewasa dengan sepsis yang dapat menginduksi disfungsi organ dengan
penilaian resiko klinis yang tinggi terhadap kematian (khususnya skor
APACHE >25 atau gagal organ multipel) jika tidak ada kontraindikasi
terhadap rhAPC. Pasien dewasa dengan sepsis berat dan resiko kematian
yang rendah (khususnya, APACHE II <20 atau satu gagal organ) tidak
harus menerima rhAPC. (Eissa D, 2010)
Kontrol glikemia adekuat yang berkelanjutan ( <8,5 mmol/liter)
penting dalam kontrol proses sepsis. Lebih luas, internasional, uji acak
pada pasien ICU, tidak terdapat perbedaan signifikan antara kontrol glikemi
ketat (glukosa darah 4-6 mmol/liter) dan kontrol glikemi bebas (glukosa
darah 6-10 mmol/liter) di tingkat kematian atau rata-rata skor kegagalan
organ. Namun, tingkat keparahan hipoglikemia (kadar glukosa ≤2,2 mmol
/liter) lebih tinggi pada kelompok terapi intensif dibandingkan dengan
kelompok terapi konvensional (1,7% vs 4%, p<0,001), dan rata-rata
kejadian adverse event yang serius. Oleh karena itu, pada pasien septik
berat, glukosa darah harus dipertahankan dalam rentang 6-10 mmol/liter.
(Eissa D, 2010)
Nutrisi adalah merupakan salah satu pilar manajemen dalam pasien
septik penyakit kritis. Nutrisi enteral melalui selang nasogastrik merupakan
pilihan yang terbaik untuk mempertahankan integritas enterocyte dan
pemelihaaran pasien. Langkah perlindungan gastrointestinal (profilkasis
stres ulcer) dan obat antiemetik juga ditentukan. Total nutrisi perenteral
(TPN) harus dipertimbangkan jika ada kontaindikasi pembedahan terhadap
nutrisi enteral atau jika kebutuhan nutrisi tidak dapat tercukupi hanya
dengan nutrisi enteral saja. Pasien bisa menjadi hipoglikemia dalam waktu
cepat jika TPN atau nutrisi enteral dihentikan selama periode perioperatif.
(Delilinger, 2012)
Hidrokortison intravena dipertimbangkan ketika respon hipotensi
sangat buruk terhadap resusitasi cairan dan vasopresor. Percobaan
selama 7 hari dengan hidrokortison dosis rendah dan fludokortison
signifikan mengurangi resiko kematian pada pasien syok septik dan
insufisiensi adrenal relatif tanpa peningkatan adverse event (P<0,05). Pada
studi ini, terdapat 81 kematian (70%) pada kelompok plasebo dan 66
kematian (58%) pada kelompok kortikosteroid pada akhir rawatan di ICU.
Meskipun penelitian ini dilakukan di ICU, tampaknya tepat untuk
mengekstrapolasi temuan pada pasien yang dipilih dalam periode
perioperatif. (Eissa D, 2010)
Hidrokortison pada dosis 200mg per hari dibagi dalam 4 dosis
ataupun infus menetap dengan dosis 240mg per hari (10 mg/jam) selama
7 hari direkomendasikan untuk syok septik di ICU. Apakah pemberian
steroid dosis rendah selama manajemen intraoperatif pasien septik akan
meningkatkan stabilitas hemodinamik atau outcome yang tidak diketahui
dan tampaknya tidak mungkin. Peran glukokortikoid dalam pengelolaan
pasien dengan sepsis berat membutuhkan penyelidikan lebih lanjut. Dalam
multisenter, acak, blinded, uji kontrol pasien dengan syok septik yang
ditangani dengan kortikosteroid, terdapat penurunan signifikan terhadap
kematian pada pasien yang menerima vasopresin dibandingkan dengan
norepinefrin. Sebaliknya, pada pasien septik yang tidak menerima
kortikosteroid, penggunaan vasopressin dikaitkan dengan peningkatan
angka kematian dibandingkan dengan norepinefrin. Tampaknya ada
manfaat dalam penggunaan dosis rendah glukokortikoid (misalnya
hidrokortison 50 mg, 4 kali sehari, dimana pasien septik normovolemik
tampaknya refrakter terhadap terapi vasopressor untuk mempertahankan
perfusi organ utama dan stabilitas hemodinamik). (Eissa D, 2010)
Gagal ginjal akut terjadi pada 23% pasien dengan sepsis berat.
Terapi pengganti ginjal dapat dilakukan untuk memperbaiki asidosis,
hiperkalemia, atau kelebihan cairan dan dapat dilanjutkan sampai nekrosis
tubular akut telah pulih. Natrium biakrbonat tidak dianjurkan untuk
mengoreksi asidosis kecuali pH <7,1. Filtrasi hemodial vena tidak memberi
manfaat apapun terhadap kelangsungan hidup bila dibandingkan dengan
hemodialisis intermiten, kematian diamati menjadi 67% untuk
hemodialiasis intermiten vs 65% untuk hemodiafiltrasi terus menerus,
dengan RR 1,03. Namun, penggantian ginjal lebih praktis pada pasien yang
hemodinamik tidak stabil. Sebuah studi menemukan bahwa hemodialisis
harian menghasilkan kontol yang baik terhadap uremia, episode hipotensi
selama hemodialisis, dan resolusi yang cepat terhadap gagal ginjal akut
dibandingkan dengan hemodialiasis menetap konvensional. Meskipun
bukti yang berat saat ini menunjukkan bahwa dosis yang lebih tinggi dari
pengganti ginjal dapat berhubungan dengan perbaikan outcome, hasil ini
tidak dapat diterapkan pada pasien dengan sepsis berat. (Eissa D, 2010)
Sebagai kesimpulan, sepsis berat merupakan isu kesehatan yang lebih
sering, dengan angka kematian yang lebih tinggi. Pasien dengan sindrom
sepsis berat sering membutuhkan tindakan pembedahan untuk
penanganan kontrol sumber infeksi. Dokter anestesi memiliki peranan yang
penting dalam mengkoordinasi dan resusitasi dan strategi terapeutik untuk
mengoptimalkan angka harapan hidup pasien. Pemberian segera terapi
antimikroba efektif secara intravena sangatlah penting. Resusitasi
preoperatif, bertujuan untuk mengoptimalkan perfusi organ mayor,
berdasarkan jenis penggunaan cairan, vasopressor, dan inotropik.
Manajemen intraoperatif membutuhkan tindakan induksi anestesi yang
hati-hati, menggunakan dosis efektif yang paling rendah diantara agen.
Anestesi menetap merupakan tantangan , membutuhkan pencapaian
status volume yang optimal, mencegah injury paru selama ventilasi
mekanik, dan montoring analisa gas darah arteri, indeks hematologi dan
renal, dan derajat elektrolit. Perawatan post operasi tumpang tindih dengan
manajemen berkelanjutan dari pasien sepsis berat di ICU. Perawatan
pasien sepsis penyakit kritis membutuhkan anestesi dan operasi akan lebih
ditingkatkan dengan menguji strategi terapi yang lebih baik, misalnya
penggunaan levosimendan untuk dukungan inotropik intraoperatif, dalam
uji klinis yang dirancang dengan baik. (Eissa D, 2010)

C. Ruang Perawatan Intensif (Intensive Care Unit)


1. Definisi

Ruang Perawatan Intensif (Intensive Care Unit = ICU) adalah bagian


dari bangunan rumah sakit dengan kategori pelayanan kritis, selain instalasi
bedah dan instalasi gawat darurat (Depkes RI 2012). Pelayanan kesehatan
kritis diberikan kepada pasien yang sedang mengalami keadaan penyakit
yang kritis selama masa kedaruratan medis dan masa krisis. Pelayanan
intensif adalah pelayanan spesialis untuk pasien yang sedang mengalami
keadaan yang mengancam jiwanya dan membutuhkan pelayan an yang
komprehensif dan pemantauan terus menerus.
Pelayanan kritis atau intensif biasanya dilakukan pada Intensive Care
Unit atau ICU, untuk anak-anak biasanya disebut Paediatric Intensive Care
Unit atau PICU(Murti 2009).
ICU digunakan untuk memenuhi kebutuhan pelayanan observasi,
perawatan dan terapi pasien-pasien yang menderita penyakit, cedera atau
penyulit-penyulit yang mengancam nyawa atau potensial mengancam
nyawa dengan prognosis dubia yang diharapkan masih reversible
(Kemenkes RI, 2010).
2. Jenis Pasien di ICU

Adapun pasien yang layak dirawat di ICU antara lain (Kemenkes RI 2011):
- Pasien yang memerlukan intervensi medis segera oleh tim intensive care
- Pasien yang memerlukan pengelolaan fungsi sistem organ tubuh secara
terkoordinasi dan berkelanjutan sehingga dapat dilakukan pengawasan
yang konstan terus menerus dan metode terapi titrasi
- Pasien sakit kritis yang memerlukan pemantauan kontinyu dan tindakan
segera untuk mencegah timbulnya dekompensasi fisiologis.

3. Klasifikasi Pelayanan di ICU

Pelayanan di ICU dapat diklasifikasikan menjadi 3 (tiga), yaitu (Nelly BR


Barus 2014):
a. ICU Primer
Ruang perawatan intensif primer memberikan pelayanan pada
pasien yang memerlukan perawatan ketat (high care). ICU primer
mampu melakukan resusitasi jantung paru dan memberikan ventilasi
bantu 24-48 jam. Kekhususan yang dimiliki ICU primer adalah:
- Ruang tersendiri, letaknya dekat dengan kamar bedah, ruang darurat
dan ruang rawat pasien lain;
- Memiliki kebijakan/kriteria pasien yang masuk dan yang keluar
- Memiliki seseorang anestesiologi sebagai kepala
- Ada dokter jaga 24 jam dengan kemampuan resusitasi jantung paru;
- Konsulen yang membantu harus siap dipanggil
- Memiliki 25% jumlah perawat yang cukup telah mempunyai sertifikat
pelatihan perawatan intensif, minimal satu orang per shift
- Mampu dengan cepat melayani pemeriksaan laboratorium tertentu,
Rontgen untuk kemudahan diagnostik selama 24 jam dan fisioterapi.
b. ICU Sekunder
Pelayanan ICU sekunder adalah pelayanan yang khusus yang
mampu memberikan ventilasi bantu lebih lama, mampu melakukan
bantuan hidup lain tetapi tidak terlalu kompleks. Kekhususan yang
dimiliki ICU sekunder adalah:
- Ruangan tersendiri, berdekatan dengan kamar bedah, ruang darurat,
dan ruang rawat lain
- Memiliki kriteria pasien yang masuk, keluar, dan rujukan;
- Tersedia dokter spesialis sebagai konsultan yang dapat
menanggulangi setiap saat bila diperlukan
- Memiliki seorang kepala ICU yaitu seorang dokter konsultan intensive
care
atau bila tidak tersedia oleh dokter spesialis anestesiologi, yang
bertanggung jawab secara keseluruhan dan dokter jaga yang minimal
mampu melakukan resusitasi jantung paru (bantuan hidup lanjut)
- Memiliki tenaga keperawatan lebih dari 50% bersertifikat ICU dan
minimal berpengalaman kerja di unit penyakit dalam dan bedah selama
3 tahun
- Kemampuan memberikan bantuan ventilasi mekanis beberapa lama
dan dalam batas tertentu, melakukan pemantauan invasif dan usaha-
usaha penunjang hidup
- Mampu dengan cepat melayani pemeriksaan laboratorium tertentu,
rontgen untuk kemudahan diagnostik selama 24 jam dan fisioterapi.
c. ICU Tersier
Ruang perawatan ini mampu melaksanakan semua aspek
intensif, mampu memberikan pelayanan tinggi termasuk dukungan atau
bantuan hidup multi sistem yang kompleks dalam jangka waktu yang
tidak terbatas serta mampu melakukan bantuan renal ekstrakorporal dan
pemantauan kardiovaskuler invasif dalam jangka waktu terbatas.
Kekhususan yang dimiliki ICU tersier adalah:
- Tempat khusus tersendiri dalam rumah sakit;
- Memiliki kriteria pasien yang masuk, keluar, dan rujukan
- Memiliki dokter spesialis dan sub spesialis yang dapat dipanggil setiap
saat bila diperlukan
- Dikelola oleh seorang ahli anestesiologi konsultan intensive care atau
dokter ahli konsultan intensive care yang lain, yang bertanggung jawab
secara keseluruha. Dan dokter jaga yang minimal mampu resusitasi
jantung paru (bantuan hidup dasar dan bantuan hidup lanjut)
- Memiliki lebih dari 75% perawat bersertifikat ICU dan minimal
berpengalaman kerja di unit penyakit dalam dan bedah selama 3 tahun
- Mampu melakukan semua bentuk pemantauan dan perawatan intensif
baik invasif maupun non invasif
- Mampu dengan cepat melayani pemerikaan laboratorium tertentu,
Rontgen untuk kemudahan diagnostik selama 24 jam dan fisioterapi
- Memiliki paling sedikit seorang yang mampu mendidik medik dan
perawat agar dapat memberikan pelayanan yang optimal pada pasien;
- Memiliki staf tambahan yang lain misalnya tenaga administrasi, tenaga
rekam medik, tenaga untuk kepentingan ilmiah dan penelitian.

4. Indikasi Masuk ICU


a. Prioritas 1
Penyakit atau gangguan akut pada organ vital yang memerlukan terapi
intensif dan agresif.
- Gangguan atau gagal nafas akut
- Gangguan atau gagal sirkulasi
- Gangguan atau gagal susunan syaraf
- Gangguan atau gagal ginjal
b. Prioritas 2
Pementauan atau observasi intensif secara ekslusif atas keadaan-keadaan
yang dapat menimbulkan ancaman gangguan pada sistem organ vital
Misal :
- Observasi intensif pasca bedah operasi : post trepanasi, post open heart,
post laparatomy dengan komplikasi,dll.
- Observasi intensif pasca henti jantung dalam keadaan stabil
- Observasi pada pasca bedah dengan penyakit jantung.
c. Prioritas 3
Pasien dalam keadaan sakit kritis dan tidak stabil yang mempunyai
harapan kecil untuk penyembuhan (prognosa jelek). Pasien kelompok ini
mugkin memerlukan terapi intensif untuk mengatasi penyakit akutnya,
tetapi tidak dilakukan tindakan invasif Intubasi atau Resusitasi Kardio
Pulmoner.

5. Indikasi Keluar ICU

 Penyakit atau keadaan pasien telah membaik dan cukup stabil.


 Terapi dan perawatan intensif tidak memberi hasil pada pasien.
 Dan pada saat itu pasien tidak menggunakan ventilator.Pasien mengalami
mati batang otak.
 Pasien mengalami stadium akhir (ARDS stadium akhir)
 Pasien/keluarga menolak dirawat lebih lanjut di ICU (pl.paksa)
 Pasien/keluarga memerlukan terapi yang lebih gawat mau masuk ICU dan
tempat penuh.

6. Prioritas pasien keluar dari ICU


a. Prioritas I dipindah apabila pasien tidak membutuhkan perawatan intensif
lagi, terapi mengalami kegagalan, prognosa jangka pendek buruk sedikit
kemungkinan bila perawatan intensif dilanjutkan misalnya : pasien yang
mengalami tiga atau lebih gagal sistem organ yang tidak berespon terhadap
pengelolaan agresif.
b. Prioritas II pasien dipindah apabila hasil pemantuan intensif menunjukkan
bahwa perawatanintensif tidak dibuthkan dan pemantauan intensif selanjutnya
tidak diperlukan lagi
c. Prioritas III tidak ada lagi kebutuhan untuk terapi intensive jika diketahui
kemungkinan untuk pulih kembali sangat kecil dan keuntungan terapi hanya
sedikit manfaatnya misal : pasien dengan penyakit lanjut penyakit paru kronis,
liver terminal, metastase carsinoma
BAB IV
PENUTUP

Sepsis merupakan penyakit yang mengancan nyawa ditandai disfungsi organ


yang disebabkan karena respon tubuh terhadap infeksi
Tahap perkembangan sepsis diawali dengan SIRS yang kemudian berlanjut
pada sepsis, kemudian sepsis akan menyebabkan kerusakan organ sehingga
mengakibatkan sepsis berat dan pada akhirnya terjadi syok sepsis yang akan
mengancam nyawa. Dokter anestesi memiliki peranan yang penting dalam
mengkoordinasi dan resusitasi dan strategi terapeutik untuk mengoptimalkan angka
harapan hidup pasien
DAFTAR PUSTAKA

A, K. (2009). Optimizing antimicrobial therapy in sepsis and septic shock. Crit Care
Clin, 733-51.
Allauochiche. (2001). Influence of sepsis on sevoflurane minimum alveolar
concentration in porcine model. Br J Anaesth, 832-6.

Barretti P, Montelli AC, Batalha JE, Caramori JC, Cunha Mde L. The role of virulence
factors in the outcome of staphylococcal peritonitis in CAPD patients.BMC
Infect Dis. Dec 22 2009;9:212.

Brunkhorst, E. (2008). German competence Network Sepsis. Intensive insulin


therapy and pentastarch rescucitation in severe sepsis. N Engl J Med, 125-
39.

Depkes RI. 2010. Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta: Depkes RI


Delilinger, L. a. (2012). Surviving sepsis campaign : International guidelines for
management of severe sepsis and septic syok. Intensive Care Med.

Eissa D, C. (2010). Anaesthetic management of patient with severe sepsis. CME.

Finfer, B. (2004). the Safety Study : a comparison of albumin and saline for fluid
rescucitation in the intensive care unit. N Engl J Med, 2247-56.

Fink, L. a. (2003). International Sepsis Definition Conference. Crit Care Med.

Halstead, R. M. (2011). Definition , Epidemiology and Pathophysiology. The Open


Inflammation Journal.

Handelsman. (2004). Does combination antimicrobial therapy reduce mortality in


gram negative bacteremia ? A meta-analysis. Lancet Infect Dis, 519-27.

Hayes. (1994). Elevation of systemic oxygen delivery in the treathmen of critically ill
patient. N Engl J Med, 1717-22.

Hoyt. D. B., Mackersie. R. C., 2009, Abdominal Injuries In Essential Surgical


Practice, 2ndEd,JohnBright,Bristol
JD, H. (2010). Sepsis and the heart. Br J Anaesth.
Lata J, Stiburek O, Kopacova M. Spontaneous bacterial peritonitis: a severe
complication of liver cirrhosis.World J Gastroenterol. Nov28 2009;15(44):5505-
10.
Marshall. (2009). Principle of source control in the management sepsis. Crit Care
Clin, 753-68.

Nelwan. (2003). Patofisiologi dan deteksi dini sepsis dalam : Pertemuan Ilmiah
Tahunan Ilmu Penyakit Dalam. 15-18.

Nouri-Majalan N, Najafi I, Sanadgol H, Ganji MR, Atabak S, Hakemi M,et al.


Description of an outbreak of acute sterile peritonitis in Iran. Perit Dial Int. Jan-
Feb 2010;30(1):19-22.

Rotstein. O. D., Simmins.R. L.,2010, Peritonitis dan Abses Intra-abdomen dalam


Terapi Bedah Mutakhir, Jilid 2, Ed.4, alih bahasa dr. Widjaja Kusuma, Binarupa
Aksara, Jakarta

Runyon B. Ascites and spontaneous bacterial peritonitis. In: Feldman M,Friedman LS,
Sleisenger MH, eds.Sleisenger & Fordtran's Gastrointestinal and Liver Disease.
Vol 2. 8thed. Philadelphia, Pa:Saunders; 2004:1935-64.

Russel, W. (2009). Interaction of vasopressin infusion, corticosteroid treathmen, and


mortality of septic shock. Crit Care Med, 811-8.

Schrock. T. R., 2008,Peritonitis dan Massa abdominaldalam Ilmu Bedah,Ed.7, alih


bahasa dr. Petrus Lukmanto, EGC, Jakarta.

Schwartz. S.J., Shires. S. T. S., Spencer. F.C., 2009, Peritonitis dan Abces
Intraabdomen dalam Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah,Ed.6, alih bahasa dr.
Laniyati, EGC, Jakarta
Wilson. L. M., Lester. L .B., 2008, Usus kecil Dalam Patofisiologi Konsep Klinis Proses
- Proses Penyakit, Ed.4, alih bahasa dr. Peter Anugrah, EGC, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai