Anda di halaman 1dari 15

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT, shalawat
dan salam juga disampaikan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW.
Serta sahabat dan keluarganya, seayun langkah dan seiring bahu dalam
menegakkan agama Allah. Dengan kebaikan beliau telah membawa kita dari
alam kebodohan ke alam yang berilmu pengetahuan.

Dalam rangka melengkapi tugas dari mata kuliah Hukum Agraria pada
Program Studi Hukum Agraria dengan ini penulis mengangkat judul “Sengketa
Tanah dalam Masyarakat”.

Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa makalah ini masih
jauh dari kesempurnaan, baik dari cara penulisan, maupun isinya.

Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritikan dan saran-saran yang
dapat membangun demi kesempurnaan makalah ini.

Surabaya, April 2019

Penulis,

Muhammad Aria Madha

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................... i

DAFTAR ISI........................................................................................................ ii

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah....................................................................... ........ 2

C. Tujuan Penulisan......................................................................... ........ 2

BAB II : PEMBAHASAN

A. Pengertian Hukum Agraria.......................................................... ........ 3

B. Pengertian Sengketa Tanah........................................................ ........ 4

C. Contoh dalam masyarakat tentang sengketa tanah.......................... 6

BAB III : PENUTUP

A. Kesimpulan..................................................................................... ....... 10

DAFTARPUSTAKA................................................................................. ........ 11

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Indonesia adalah negara hukum. Semua yang menyangkut
kesejahteraan umum sudah diatur dalam undang-undang dalam bentuk
peraturan-peraturan tertulis. Dengan begitu sebuah kepastian hukum untuk
seseorang sejahtera hakikatnya telah terjamin oleh konstitusi yang ada di
Indonesia.

Hukum di Indonesia tidak bisa berdiri secara netral, pasti ada


beberapa kepentingan-kepentingan yang menyangkut didalamnya seperti
kepentingan negara. Dengan begitu maka politik untuk hukum bisa dikatakan
sebagai alat atau sarana dan langkah yang dapat digunakan oleh pemerintah
untuk menciptakan sistem hukum nasional guna mencapai cita-cita bangsa dan
tujuan negara.

Jadi perlunya hukum untuk negara kita yaitu untuk mengatur supaya
bisa mencapai cita-cita bangsa dan tujuan negara, untuk melaksanakan hal
tersebut diperlukan suatu kejelasan atau kepastian hukum di dalamnya.
Seseorang yang sudah memliki kepastian hukum pasti akan lebih mudah dalam
melakukan lalulintas hukum atau kegiatan-kegiatan hukum, misalnya dalam
kepemilikan tanah.

Tanah adalah suatu aset negara yang sangat banyak sekali, sumber
penghasilan negara juga sebagian besar dari pajak dan salah satu pajak yaitu
pajak dari tanah, baik itu pajak bangunan maupun pajak-pajak yang lain misalnya
sewa, hak pakai, daln lain sebagainya.

Tanah lama kelamaan pasti akan habis dengan setiap tanah bermilik
atau berpenghuni karena semakin banyaknya penduduk Indonesia. Bisa jadi
lama-kelamaan tanah kita habis dan semua untuk dimanfaatkan sudah tidak ada
lahan yang kosong atau terlantar.

iii
Maka dari itu, diperlukan suatu peraturan hukum atau kaedah hukum
yaitu peraturan hidup kemasyarakatan yang bersifat mengatur dan memaksa
untuk menjamin tata tertibdalam masyarakat. Hukum tersebut haruslah berupa
hukum yang jelas demi memberi kepastian hukum untuk pemilik-pemilih sah dari
tanah-tanah tertentu. Dengan begitu merupakan salah satu cara untuk
meminimalisasi konflik-konflik dari masyarakat maupun dari pemerintah yang
dilator belakangi oleh sengketa tanah.

B. Rumusan Masalah
Di dalam makalah ini, terdapat beberapa hal yang akan dibahas untuk
kelengkapan suatu tulisan yang dibuat oleh penulis.
1. Pengertian dari Hukum Agraria,
2. Pengertian dari Sengketa Tanah,
3. Contoh dalam masyarakat secara nyata,

C. Tujuan Penulisan Makalah


Tujuan dari penulisan makalah ini adalah demi mendapatkan suatu ilmu
yang berharga untuk pengalaman dari contoh kasus-kasus yang terjadi di
masyarakat. Dengan makalah ini lah penulis bisa lebih mengerti akan suatu
hal yang terjadi dalam masyarakat sekarang ini yaitu mengenai sengketa
tanah dengan pihak pemerintah atau lembaga negara. Bagaimana hal
tersebut bisa terjadi, maupun langkah hukum yang dilakukan akan dibahas di
makalah ini.

iv
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Hukum Agraria


Istilah tanah (agraria) berasal dari beberapa bahasa, dalam bahasa
latin agre berarti tanah atau sebidang tanah. Agrarius berarti persawahan,
perladangan, pertanian. Menurut kamus besar Bahasa Indonesia agraria
berarti urusan pertanahan atau tanah pertanian juga urusan pemilikan tanah,
dalam bahasa inggris agrarian selalu diartikan tanah dan dihubungkan usaha
pertanian, sedang dalam UUPA mempunyai arti sangat luas yaitu meliputi
bumi, air dan dalam batas-batas tertentu juga ruang angkasa serta kekayaan
alam yang terkandung didalamnya.
Hukum agraria secara sempit ialah bidang hukum yang mengatur yang
mengatur mengenai hak-hak penguasaan tanah.
Pengertian hukum agraria secara luas adalah sekelompok bidang
hukum yang masing-masing mengatur hak-hak penguasaan atas sumber-
sumber daya alam tertentu yang meliputi;
 Hukum tanah, yaitu bidang hukum yang mengatur penguasaan atas
tanah(permukaan bumi),
 Hukum air (hukum pengairan), yaitu bidang hukum yang mengatur hak-
hak penguasaan atas air,
 Hukum pertambangan, yaitu bidang hukum yang mengatur hak-hak
penguasaan atas bahan-bahan galian,
 Hukum kehutanan, yaitu bidang hukum yang mengatur hak-hak
penguasaan atas hutan dan hasil hutan,
 Hukum perikanan, yaitu bidang hukum yang mengatur hak-hak
penguasaan atas kekayaan alam yang terkandung di dalam air,Hukum
penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa, yaitu
bidang hukum yang mengatur hak-hak penguasaan atas tenaga dan
unsur-unsur dalam ruang angkasa.

v
B. Pengertian Sengketa Tanah
Sengketa pertanahan adalah proses interaksi antara dua orang atau
lebih atau kelompok yang masing-masing memperjuangkan kepentingannya
atau objek yang sama, yaitu tanah dan benda-benda lain yang berkaitan
dengan tanah seperti air, tanaman, tambang juga udara yang berada dibatas
tanah yang bersangkutan.
Secara umum ada beberapa macam sifat permasalahan dari suatu
sengketa tanah antara lain :
1. Masalah yang menyangkut prioritas dapat ditetapkan sebagai pemegang
hak yang sah atas tanah yang berstatus hak atau atas tanah yang belum
ada haknya.
2. Bantahan terhadap sesuatu alasan hak atau bukti perolehan yang
digunakan sebagai dasar pemberian hak.
3. Kekeliruan / kesalahan pemberian hak yang disebabkan penerapan
peraturan yang kurang atau tidak benar.
4. Sengketa atau masalah lain yang mengandung aspek-aspek social.

Berdasarkan penjelasan diatas, maka konflik pertanahan sesungguhnya


bukanlah hal baru. Namun dimensi konflik makin terasa meluas di masa kini bila
dibandingkan pada masa kolonial. Beberapa penyebab terjadinya konflik
pertanahan adalah :

1. Pemilikan/Penguasaan tanah yang tidak seimbang dan tidak merata;


2. Ketidakserasian penggunaan tanah pertanian dan tanah nonpertanian;
3. Kurangnya keberpihakan kepada masyarakat golongan ekonomi lemah;
4. Kurangnya pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat atas tanah
(hak ulayat);
5. Lemahnya posisi tawar masyarakat pemegang hak atas tanah dalam
pembebasan tanah.

Mengenai konflik pertanahan adalah merupakan bentuk ekstrim dan


keras dari persaingan. Secara makro sumber konflik besifat struktural misalnya
beragam kesenjangan. Secara mikro sumber konflik/sengketa dapat timbul
karena adanya perbedaan/benturan nilai (kultural), perbedaan tafsir mengenai

vi
informasi, data atau gambaran obyektif kondisi pertanahan setempat (teknis),
atau perbedaan/benturan kepentingan ekonomi yang terlihat pada kesenjangan
struktur pemilikan dan penguasaan tanah. Masalah tanah dilihat dari segi yuridis
merupakan hal yang tidak sederhana pemecahannya. Timbulnya sengketa
hukum tentang tanah adalah bermula dari pengaduan satu pihak (orang/badan)
yang berisi tentang keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah baik
terhadap status tanah ataupun prioritas kepemilikannya dengan harapan dapat
memperoleh penyelesaian secara administrasi sesuai dengan ketentuan
peraturan yang berlaku.

Menurut Maria S.W. Sumardjono secara garis besar peta


permasalahan tanah dikelompokkan yaitu :

1. Masalah penggarapan rakyat atas tanah areal perkebunan, kehutanan,


proyek perumahan yang ditelantarkan dan lain-lain.
2. Masalah yang berkenaan dengan pelanggaran ketentuan Landerform
3. Ekses-ekses penyediaan tanah untuk keperluan pembangunan
4. Sengketa perdata berkenaan dengan masalah tanah
5. Masalah yang berkenaan dengan hak Ulayat masyarakat Hukum Adat.

Melihat penjelasan di atas, maka alasan sebenarnya yang menjadi


tujuan akhir dari sengketa bahwa ada pihak yang lebih berhak dari yang lain atas
tanah yang disengketakan oleh karena itu penyelesaian sengketa hukum
terhadap sengketa tanah tersebut tergantung dari sifat permasalahannya yang
diajukan dan prosesnya akan memerlukan beberapa tahap tertentu sebelum
diperoleh sesuatu keputusan.

Tanah mempunyai posisi yang strategis dalam kehidupan masyarakat


Indonesia yang bersifat agraris. Sedemikian istimewanya tanah dalam kehidupan
masyarakat Indonesia telihat dan tercermin dalam sikap bangsa Indonesia
sendiri yang juga memberikan penghormatan kepada kata tanah, dengan
penyebutan istilah seperti Tanah air, Tanah tumpah darah, Tanah pusaka dan
sebagainya. Bahkan dalam UUPA juga dinyatakan adanya hubungan abadi
antara bangsa Indonesia dengan tanah (Pasal 1 ayat (3) UUPA).

vii
Tanah tidak hanya sebagai tempat berdiam, juga tempat bertani, lalu lintas,
perjajian, dan pada akhirnya tempat manusia dikubur. Akan tetapi, selama kurun
waktu 52 tahun usia Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No 5 Tahun 1960,
masalah tanah bagi manusia tidak ada habis-habisnya. Konflik pertanahan ini
ditimbulkan karena laju penduduk yang sangat signifikan. Berdasarkan laju
penduduk tersebut, maka menyebabkan kebutuhan penduduk akan tanah seperti
untuk pembangunan dan pengembangan wilayah pemukiman, industri maupun
pariwisata juga terus bertambah, sedangkan ketersediaan tanah itu tidak
bertambah atau lebih tepatnya bersifat tetap, sehingga mengakibatkan konflik-
konflik pertanahan secara horizontal maupun vertikal sering terjadi.

Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, bahwa penyebab


terjadinya konflik di bidang pertanahan antara lain adalah keterbatasan
ketersediaan tanah, ketimpangan dalam struktur penguasaan tanah, ketiadaan
persepsi yang sama antara sesama pengelola negara mengenai makna
penguasaan tanah oleh negara, inkonsistensi, dan ketidaksinkronisasian. Maka

dari itu, untuk dapat memenuhi berbagai kebutuhan penduduk akan tanah
terhadap tanah yang bersifat tetap, maka pemerintah berupaya mengoptimalkan
peruntukan dari penggunaan tanah dengan berbagai cara, diantaranya dengan
mengeluarkan berbagai bentuk peraturan pertanahan seperti peraturan
penyediaan tanah untuk kepentingan perorangan dan Badan Hukum atas tanah-
tanah Negara dan/atau atas tanah-tanah hak.

Namun dalam kenyataannya, bagi bangsa Indonesia salah satu


masalah pokok hingga kini belum mendapat pengaturan yang tuntas adalah
masalah tanah. Permasalahan tanah yang dari segi empiris sangat lekat dengan
peristiwa sehari-hari, tampak semakin kompleks dengan terbitnya berbagai
kebijakan deregulasi dan debirokratisasi di bidang pertanahan menyongsong era
perdagangan bebas.

Munculnya berbagai konflik atau sengketa pertanahan tersebut tidak


dapat dilepaskan dari konteks kebijakan pemerintah yang banyak bersifat ad
hoc, inkonsisten dan ambivalen antara satu kebijakan dengan yang lain, atau
bahkan tidak jarang berbau politis. Struktur hukum tanah menjadi tumpang tindih.
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960 yang awalnya

viii
merupakan payung hukum bagi kebijakan pertanahan di Indonesia, menjadi tidak
berfungsi dan bahkan secara substansial terdapat pertentangan dengan
diterbitkannya berbagai peraturan perundangan sektoral. Perbedaan antara
undang-undang itu tidak hanya dapat memberikan peluang pada perbedaan
interpretasi para birokrat, tetapi juga secara substansial undang-undang tersebut
tidak integratif.

Sebagai contohnya banyak konflik-konflik dari sengketa tanah itu


misalnya sengketa tanah oleh lembaga negara dengan masyarakat, misalnya
antara TNI dan masyarakat. Dengan memiliki bekal bahwa TNI adalah ijin latihan
dan menganggap tanah itu tanah negara dan mereka juga menjalankan tugas
negara maka mereka sangat kuat untuk mengambil tanah itu tetapi dari
masyarakat juga dikuatkan dari faktor sejarah yang dari turun-temurun
keluarganya sudah memakai tanah tersebut.

C. Contoh Dalam Masyarakat Tentang Sengketa Tanah Yang Terjadi


Yang pertama yaitu konflik pertanahan yang terjadi akhir-akhir ini,
terutama dalam 13 tahun terakhir sejak reformasi bergulir, cukup banyak
yang melibatkan warga dan TNI. Salah satu persoalan sengketa tanah
antara warga dan anggota TNI tersebut yaitu terjadi antara warga Desa
Harjokuncaran dengan Pusat Koperasi Angkatan Darat KODAM V Brawijaya
terhadap lahan di Desa Harjokuncaran, Kecamatan Sumber Majing,
Kabupaten Malang, Jawa Timur. Sejauh pemberitaan di media sampai saat
ini belum mencapai titik penyelesaian. Warga mengklaim lahan tersebut milik
warga setempat, sementara TNI menyatakan milik negara. Akibat peristiwa
tersebut, sebanyak 8 warga menjadi korban, sementara 5 personel TNI AD
mengalami luka di kepala.
Sengketa warga Harjokuncaran dengan TNI sudah berlangsung sekitar
34 tahun. Konflik itu juga sudah memakan korban berkali-kali. Lahan yang
menjadi sengketa tersebut awalnya bekas perkebunan karet C.O. Telogorejo
milik Belanda. Begitu Belanda hengkang dari Indonesia, para petani
menggarap lahan seluas sekitar 1.118 hektare itu. Pada 1964-1973, tanah
yang digarap warga dan masuk wilayah Harjokuncaran dijadikan obyek land

ix
reform. Harjokuncaran resmi menjadi desa definitif pada 1974 lewat surat
keputusan Gubernur Jawa Timur. Wilayahnya dinyatakan seluas 650 hektare
yang diambil dari tanah perkebunan.
Persoalan terjadi saat Kodam Brawijaya mengklaim tanah yang
selama ini digarap dan dihuni warga itu sebagai milik mereka. Dasar
hukumnya Surat Keputusan Menteri Pertanian 2 Juni 1973, yang
menyerahkan perkebunan Telogorejo kepada mereka. Menurut juru bicara
Kodam, Letnan Kolonel Totok Sugiharto, Kodam juga sudah membayar uang
ganti rugi ke negara untuk pengambilalihan tanah tersebut. akan tetapi
warga menolak klaim tersebut. Mereka menunjuk dasar kepemilikan Kodam
cacat hukum. Menurut Fathurozi, warga Harjokuncaran-lah pemilik sah
lahan tersebut. Dia menunjuk Surat Keputusan Direktorat Jenderal Agraria 1
Desember 1981, yang menyatakan tanah sengketa itu obyekland
reform dengan verponding (tanda hak milik zaman Belanda) yang
seharusnya diberikan kepada warga di Desa Harjokuncaran. Desa ini
memiliki empat dusun: Banaran, Wonosari, Margomulyo, dan Mulyosari.
Sementara itu, TNI yang merupakan lembaga pemerintah di bawah
Departemen Pertahanan yang bertugas sebagai alat utama sistem
pertahanan negara dalam melaksanakan tugasnya TNI memerlukan sumber
daya alam. Yang dimaksud sumber daya alam dalam hal ini adalah potensi
yang terkandung dalam bumi, air, dan dirgantara yang dapat digunakan
untuk kepentingan pertahanan negara. Salah satu sumber daya alam yang
penting adalah tanah. Tanah merupakan unsur yang digunakan untuk
pembangunan kekuatan pertahanan yang meliputi perkantoran, tempat
latihan, dan tempat beraktivitas bagi kegiatan pertahanan negara.
Sebagaimana tertuang didalam Pasal 1 Undang-Undang No. 3 tahun
2002 tentang pertahanan negara disebutkan bahwa pertahanan negara
mempunyai komponen utama, komponen cadangan dan komponen
pendukung dalam pelaksanaannya. Komponen utama pertahanan negara
adalah Tentara Nasional Indonesia yang siap digunakan untuk
melaksanakan tugas-tugas pertahanan. Sedangkan komponen cadangan
adalah sumber daya nasional yang telah disiapkan untuk dikerahkan melalui
mobilisasi guna memperbesar dan memperkuat kekuatan dan kemampuan
komponen utama. Komponen pendukung adalah sumber daya nasional yang

x
dapat digunakan untuk meningkatkan kekuatan dan kemampuan komponen
utama dan komponen cadangan. Sedangkan sumber daya nasional adalah
sumber daya manusia, sumber daya alam, dan sumber daya buatan.
Sementara itu, permasalahan yang terjadi diakibatkan oleh belum
optimalnya pelaksanaan administrasi pertanahan di Indonesia serta
ketidakpahaman pihak masyarakat dan pihak TNI mengenai sumber hukum
pertanahan yang berlaku di Indonesia khususnya tentang hak atas tanah.
Pihak masyarakat tidak mengetahui pengaturan penguasaan dan
pemanfaatan tanah yang diatur dalam Undang-Undang No. 5 tahun 1960
tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria, atau yang dikenal dengan
istilah UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) sebagai salah satu hukum
pertanahan nasional.
Pada dasarnya baik pihak TNI maupun pihak masyarakat
menggunakan satu sumber peraturan pertanahan yang sama yaitu UUPA,
namun pada pelaksanaannya masih terdapat perbedaan penafsiran atas
peraturan tersebut yang mengakibatkan munculnya konflik tanah yang
menimbulkan korban dari kedua belah pihak. Untuk menghindari konflik
pertanahan yang terjadi antara TNI dan masyarakat umum ini, maka perlu
dilaksanakan identifikasi status tanah TNI terlebih dahulu dalam hukum
pertanahan nasional yang mengatur seluruh hak atas tanah TNI. Disamping
itu, untuk memperkuat bukti hukum atas penggunaan tanah TNI tersebut
maka TNI memerlukan suatu bukti hukum hak atas tanah yang
digunakannya.
Contoh sengketa yang kedua yaitu sama dengan kasus yang diatas
yaitu antara TNI Angkatan Udara Pangkalanbun, Kotawaringin Barat,
Kalimantan Tengah dengan bupati Ujang Iskandar. Memperebutkan tanah
seluas 30,2 hektar yang berada di sekitar tanah milik Lanud Iskandar
Pangkalanbun.
Dengan sengketa yang dari pertengahan tahun 2012 setelah bupati
ujang diangkat dan setelah kerusuhan yang terjadi, tanah sengketa ini akan
dibangun sebuah kompleks pertokoan, tetapi ternyata sudah ada yang
memiliki lebih dahulu yaitu TNI dengan akta tanah tahun 1980an serta
terdapat beberapa patok tanah yang masih menancap milik Lanud. Karena
keadaan lokasi yang semi hutan, di Kalimantan itu kebanyakan tanah

xi
bentuknya yaitu seperti hutan dan seperti alam liar yang tidak ada yang
mengurusnya.
Karena pemanfaatan yang kurang dari pihak TNI AU, tanah sengketa
menjadi seperti tanah terlantar dan di daftarkan kepada sekertaris PPAT dan
mendapat nomor pendaftaran akta tanah tahun 2005 tanpa melihat secara
langsung di lokasi yang di sengketakan tersebut. Kesalahan pada masalah
ini yaitu tentang pendaftarannya dari pihak pembuat akta tanah yang tidak
serta merta mengecek lahan yang menjadi sengketa ke lapangan secara
langsung. Dengan kelalaian tersebut maka terjadilah pemilik ganda dari
tanah tersebut.
Tujuan pendaftaran tanah yaitu untuk menjamin kepastian hukum dan
kepastian hak atas tanah. Dengan diselenggarakannya pendaftaran tanah,
maka fihak-fihak yang bersangkutan dengan mudah dapat mengetahui
status atau kedudukan hukum daripada tanah tertentu yang dihadapinya,
letak, luas dan batas-batasnya, siapa yang empunya dan beban-beban apa
yang ada diatas tanahnya.
Dengan begitu maka cara untuk mendaftarkan tanah sudah benar
yaitu melalui notaris didaftarkan melalui kantor pendaftaran tanah setempat
tetapi pegawai pembuat akta tanah tersebut kurang cermat dalam
pembuatan serta tidak teliti dalam mengecek apakah tanah itu sudah ada
yang punya atau belum, begitu juga pihak lanud yang tidak serta merta
dengan merawat tanah tersebut dan alasannya yaitu mereka memiliki tanah
yang sangat luas dan belum mampu untuk selalu merawat tanahnya. Tetapi
sering tanah-tanah tersebut dibuat latihan bagi para prajurit TNI AU yang
bertugas.
Dengan alasan yang kuat dari pihak lanud yaitu tanah akan digunakan
sebagai lahan untuk latihan prajurit tentara serta mereka juga melaksanakan
tugas negara sudah ada kewajiban untuk menggunakannya karena
merupakan amanah dari negara untuk memperkuat kesatuan wilayah
Indonesia. Akirnya pihak dari TNI menggugat di pengadilan untuk
memperkarakan secara hukum sengketa tanah ini.
Hak atas tanah yang dilekatkan pada tanah-tanah yang dimanfaatkan
oleh TNI adalah hak pakai. Pasal 41 UUPA menerangkan definisi hak pakai,
yaitu hak menggunakan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai

xii
langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang
dan kewajiban yangditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat
yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik
tanahnya, yang bukan perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengolahan
tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-
ketentuan undang-undang ini.
Hak pakai dapat diberikan selama jangka waktu yang tertentu atau
selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan yang tertentu, dengan
cuma-cuma, dengan pembayaran atau pemberian jasa berupa apapun.
Pemberian hak pakai tidak boleh disertai syarat-syarat yang mengandung
unsur-unsur pemerasan.
Jangka waktu hak pakai ini diterangkan dalam Pasal 43 UUPA, yaitu:
 Sepanjang mengenai tanah yang dikuasai oleh negara maka hak
pakai hanya dapat dialihkan kepada pihak lain dengan ijin pejabat
yang berwenang.
 Hak pakai atas tanah hak milik hanya dapat dialihkan kepada
pihak lain,jika hal itu dimungkinkan dalam perjanjian yang
bersangkutan.
 TNI merupakan lembaga pemerintah dibawah Departemen
Pertahanan, hak atas tanah-tanah yang digunakan untuk
kepentingan TNI adalah hak pakai.
Hak pakai adalah suatu hak benda dari seoarang yang telah
ditentukan yang dibebankan atas benda orang lain, untuk “dengan
memelihara bentuk dan sifatnya serta selaras dengan maksudnya“ memakai
sendiri benda itu dan mengambil hasil-hasilnya jika ada, akan tetapi sekedar
buat keperluan sendiri.

xiii
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, maka dalam menyingkapi setiap
permasalahan pertanahan kita harus mengidentifikasi terlebih dahulu tanah
tersebut termasuk hak atas tanah apa, serta siapa subyeknya. Proses
identifikasi itu penting, karena memberikan konsekuensi hukum yang
berbeda-beda pada masing-masing Hak Atas Tanah. Hal ini tentunya
berguna untuk dalam penyelesaian sengketa di Pengadilan Negeri. Dalam
sengketa tanah antara Sipil dengan TNI maka, di sini jelaslah bahwa TNI
sebagai lembaga atau institusi tidak boleh mempunyai hak milik atas tanah.
Namun sebagai Warga Negara Indonesia, anggota TNI boleh mempunyai
hak milik atas tanah. Sebagai lembaga atau institusi, TNI hanya boleh
mempunyai hak pakai atas tanah sebagai mana diatur dalam Pemanfaatan
Tanah oleh TNI. Kemudian penentuan di setiap keputusan Pengadilan
Negeri dalam setiap sengeketa tanah antara Sipil dengan TNI, sudah
seharusnya hakim memperhatikan kepentingan umum. Alapagi, apabila
sengketa tersebut yang melibatkan TNI yang notabene dalam Pasal 1
Undang-Undang No. 3 tahun 2002 tentang pertahanan negara menyebutkan
bahwa tanah merupakan komponen utama dalam pertahanan negara. Pasal
ini hendaknya menjadi bahan pertimbangan bagi keputusan hakim. Hal ini
bertujuan agar isi amar putusan hakim tidak merugikan para pihak yang
bersengketa.
Tanah milik negara digunakan demi kepentingan negara, begitu juga
dengan kasus diatas yang merupakan sengketa dengan masyarakat tetapi
hukum itu milik negara dan haruslah kembali pada negara dengan
berlandaskan untuk kepentingan umum dan untuk kepentingan negara.

xiv
DAFTAR PUSTAKA

Adrian, Sutedi, Peralihan Hak atas Tanah dan Pendaftarannya, Jakarta: Penerbit
Sinar Grafika, 2009

H. Ali, Achmad C., Hukum Agraria(pertanahan Indonesia) jilid 1, Jakarta: Prestasi


Pustaka, 2004

Boedi, Harsono, Hukum Agaria Indonesia; Sejarah Pembentukan Undang-


Undang Pokok Agraria,isi dan pelaksanaannya, Jakarta: penerbit Djambatan,
2005

C.S.T.Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai
Pustaka, 1986

Efendi, Perangin, Hukum Agraria di Indonesia, Jakarta: Rajagrafindo Persada;


1994

Mahfud ,Moh. MD, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo


Persada, 2012

Maria, Rita R., Sesat Pikir (Politik Hukum Agraria), Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2000

Maria, SW Sumardjono, Mediasi Sengketa Tanah, Jakarta: Penerbit Buku


Kompas, 2009

Soedigdo, Hardjosudarmo, Masalah Tanah di Indonesia, Jakarta: Penerbit


Bhratara, 1970

Urip, Santoso, Hukum Agraria dan Hak-hak atas Tanah, Jakarta: Prenada Media,
2005

xv

Anda mungkin juga menyukai