Anda di halaman 1dari 13

BAB V.

Hasil dan Pembahasan

Secara umum bagian ini membahas tentang distribusi pupuk dan pengadaan gabah dan
beras berdasarkan analisis masing-masing provinsi sampel penelitian. Untuk menjawab
tujuan pertama yakni faktor-faktor yang memengaruhi peran koperasi dalam menunjang
ketahanan pangan, dilakukan analisis perilaku. Analisis perilaku adalah analisis terhadap
faktor-faktor yang memengaruhi distribusi pupuk dari Lini II atau level provinsi hingga ke
petani, kemudian penggunaan pupuk petani memengaruhi produksi gabah mereka, dan
produksi gabah tersebut memengaruhi pendapatan petani. Dengan demikian, menganalisis
faktor-faktor yang memengaruhi peran koperasi dalan menunjang ketahanan pangan akan
dimulai dari analisis terhadap faktor-faktor yang memengaruhi distribusi pupuk.

Untuk menjawab tujuan kedua dan ketiga dilakukan analisis simulasi. Simulasi dibagi
atas dua kelompok, yaitu: (1) kelompok simulasi untuk evaluasi kebijakan; dan (2) kelompok
simulasi alternatif. Tujuan kedua skenario tersebut adalah untuk melihat dampak yang
ditimbulkan pada nilai-nilai peubah di dalam model. Jika hasil yang ditimbulkan skenario
tersebut adalah baik (positif), dikatakan skenario tersebut efektif meningkatkan nilai peubah
endogen model. Sebaliknya jika hasil yang ditimbulkan adalah buruk (negatif), skenario
tersebut tidak efektif atau berdampak menurunkan nilai peubah endogen model.

Simulasi alternatif untuk menjawab tujuan ketiga dimaksudkan untuk menemukan


kebijakan alternatif dalam upaya mengatasi kelangkaan pupuk, meningkatkan produksi gabah
dan pendapatan petani, meningkatkan produksi beras koperasi untuk menunjang ketahanan
pangan serta meningkatkan kinerja koperasi dalam bidang pangan. Hasil skenario alternatif
tersebut digunakan sebagai landasan untuk membentuk model alternatif (tujuan keempat)
yang dapat diimplementasikan oleh koperas dalam menunjang ketahanan pangan.

5.1 Faktor-faktor yang Memengaruhi Pengadaan Pupuk, Produksi Gabah dan Beras,
dan Usaha Koperasi

5.1.1 Faktor yang Memengaruhi Pengadaan Pupuk Level Provinsi hingga Pengecer,
Harga Pupuk dan Penggunaan Pupuk Tingkat Petani

5.1.1.1 Pengadaan Pupuk Level Provinsi hingga Pengecer

Pengadaan pupuk setiap tahun pada level provinsi ditetapkan dengan Surat Keputusan
Menteri Pertanian. Jumlah pupuk yang ditetapkan disesuaikan dengan kebutuhan daerah
masing-masing. Secara alami kebutuhan pupuk ditentukan oleh permintaan atau kebutuhan
semua kabupaten-kabupaten yang ada, dan diasumsikan dari waktu-waktu kebutuhan tersebut
terus meningkat.

Pada masing-masing provinsi sampel (Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jawa Barat,
Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Jawa Tengah), kegiatan penyaluran pupuk
memiliki pasar terintegrasi antara pasar level atas (level provinsi) dan pasar level bawah
(level petani). Para pengecer yang menyalurkan pupuk kepada petani, menyediakan jumlah
pupuk sesuai kebutuhan petani. Jumlah kebutuhan pupuk level petani memengaruhi jumlah
yang harus disediakan level kabupaten dan provinsi.

Pada Lini III atau level kabupaten, jumlah pengadaan pupuk ditentukan oleh jumlah
pengadaan yang dilakukan oleh para pengecer swasta dan pengecer koperasi, dan harga harga
pupuk level kabupaten dan level pengecer.

Pada level pengecer (Lini IV), sesuai kebijakan pupuk saat ini di mana penyaluran
pupuk bersubsidi diserahkan kepada pasar, para pengecer swasta mengambil peran sangat
dominan dalam penyaluran pupuk kepada petani.

Hasil estimasi menunjukkan pengadaan pupuk level Provinsi Sumatera Utara secara
signifikan dipengaruhi positif oleh pengadaan level kabupaten (S3KAB) dan level pengecer
swasta (S4ECNKO), tetapi tidak dipengaruhi oleh pengadaan pengecer koperasi. Sebaliknya
pengadaan level provinsi tersebut dipengaruhi negatif oleh harga pupuk level provinsi (P2).
Peubah S3KAB bersifat elastis (1.05), sedangkan peubah lainnya hanya bersifat inelastis.

Pengadaan pupuk level Provinsi Sumatera Barat dan Nusa Tenggara Barat secara
signifikan dipengaruhi positif oleh pengadaan level kabupaten, level pengecer dan harga
pupuk level provinsi (S3KAB, S4ECKOP, S4ECNKO dan P2). Hasil estimasi pada Provinsi
Jawa Tengah juga sama dengan kedua provinsi di atas, tetapi tidak dipengaruhi oleh harga
pupuk.

Hasil estimasi pada Provinsi Jawa Barat, Jawa Timur, dan Bali, pengadaan level
provinsi secara signifikan dipengaruhi positif oleh pengadaan level kabupaten dan pengecer
(S3KAB, S4ECKOP, dan S4ECNKO), dan dipengaruhi negatif oleh harga pupuk (P2).

Pada Lini III atau level kabupaten di Provinsi Sumatera Utara, hasil estimasi
menunjukkan bahwa pengadaan pupuk secara signifikan dipengaruhi positif olehi peubah
harga pupuk lini tersebut (P3KAB) dan dipengaruhi negatif oleh harga pupuk level pengecer
(P4KOP).

Pada Provinsi Sumatera Barat dan Nusa Tenggara Barat, pengadaan pupuk level
kabupaten secara signifikan dipengaruhi positif oleh pengadaan para pengecer dan harga
pupuk lini tersebut (S4ECKOP, S4ECNKO dan P3KAB).

Pada Provinsi Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah dan Bali, pengadaan pupuk level
kabupaten di keempat provinsi secara signifikan dipengaruhi positif oleh pengadaan pengecer
koperasi dan pengecer swasta (S4ECKOP dan S4ECNKO). Khusus Jawa Timur, Jawa
Tengah, dan Bali, pengadaan pupuk level kabupaten juga secara signifkan dipengaruhi negatif
oleh harga pupuk lini tersebut (P3KAB).

Pada Lini IV atau level pengecer di Provinsi Sumatera Utara, pengadaan pupuk pengecer
swasta (S4ECNKO) secara signifikan dipengaruhi negatif oleh permintaan pupuk petani
(DPPETNKO). Sementara itu, peubah harga pupuk tingkat petani tidak signifikan
memengaruhi keputusan pengadaan pupuk pengecer swasta.

Pengadaan pupuk pengecer swasta di Provinsi Sumatera Barat signifikan dipengaruhi


negatif oleh permintaan pupuk para petani (DPPETNKO), dan dipengaruhi positif oleh
jumlah SISA pupuk. Pada Provinsi Jawa Barat, pengadaan pengecer swasta secara signifikan
dipengaruhi negatif oleh permintaan pupuk para petani (DPPETNKO), dan dipengaruhi
positif oleh peubah harga pupuk tingkat petani (PPETNKO).

Sementara itu, di Provinsi Jawa Tengah, pengadaan pengecer swasta secara signifikan
dipengaruhi positif oleh permintaan pupuk petani anggota dan non anggota koperasi, dan
harga pupuk level pengecer swasta (DPPETKOP, DPPETNKO dan P4NKO). DI Jawa Timur,
pengadaan pupuk terecbut juga dipengaruhi postif oleh permintaan para petani (DPPETKOP
dan DPPETNKO), tetapi tidak dipengaruhi oleh peubah harga pupuk tingkat petani.

Pada Provinsi Bali, pengadaan pengecer swasta secara signifikan dipengaruhi positif
oleh permintaan pupuk petani anggota dan nonanggota koperasi dan peubah SISA
(DPPETKOP, DPPETNKO, dan SISA), dan tidak dipengaruhi oleh peubah harga pupuk
tingkat petani.

Pada Provinsi Nusa Tenggara Barat, pengadaan pengecer swasta secara signifikan
dipengaruhi positif oleh peubah SISA dan harga pupuk level petani nonanggota koperasi
(SISA, PPETNKO) dan dipengaruhi negatif oleh permintaan pupuk petani anggota dan non-
anggota koperasi dan harga pupuk tingkat petani anggota koperasi (DPPETKOP,
DPPETNKO, dan PPETKOP). Pada Provinsi Jawa Tengah, pengadaan pengecer swasta
secara signifikan dipengaruhi positif oleh permintaan pupuk petani anggota dan nonanggota
koperasi dan harga pupuk level pengecer swasta (DPPETKOP, DPPETNKO, dan P4NKO),

Dari hasil-hasil estimasi yang ditunjukan di atas, pada Provinsi Sumatera Utara
pengadaan pupuk dipengaruhi oleh permintaan-permintaan level kabupaten dan pengecer
swasta. Pengecer koperasi belum memiliki pengaruh terhadap pengadaan level provinsi.

Selanjutnya pada level kabupaten, pengadaan pupuk tidak lagi dipengaruhi oleh
permintaan level pengecer, tetapi lebih kuat dipengaruhi positif oleh harga pupuk level
kabupaten.

Pada Provinsi Sumatera Barat dan Nusa Tenggara Barat, pengadaan pupuk level
provinsi maupun level kabupaten secara positif dipengaruhi oleh permintaan level kabupaten
dan para pengecer (swasta dan koperasi) serta faktor harga masing-masing lini.

Sementara itu, pada Nusa Tenggara Barat, indikasi kelangkaan pupuk pada level
pengecer semakin kuat ditunjukkan baik oleh peubah SISA dan permintaan pupuk para
petani, juga ditunjukkan oleh harga-harga pupuk tingkat petani anggota dan nonanggota
koperasi. Pengadaan pupuk pengecer swasta semakin tinggi jika harga pupuk pada petani
nonanggota koperasi meningkat. Sedangkan ketika petani anggota koperasi membeli pupuk
dengan harga tinggi, pupuk tidak tersedia di pasar (pengadaan pengecer swasta menurun).

Pada Provinsi Jawa Barat, Jawa Timur dan Bali, pengadaan pupuk pada level provinsi
dan kabupaten secara positif dipengaruhi oleh permintaan level kabupaten dan level pengecer
(swasta dan koperas) dan dipengaruhi negatif oleh peubah harga masing-masing ini.
Hubungan negatif dari peubah harga pupuk memilki arti harga berperan sebagai faktor
koreksi.

Sedangkan pada level pengecer Provinsi Jawa Timur kelangkaan pupuk tidak terlihat
dengan jelas karena peubah-peubah harga pupuk dan SISA tidak memberikan hasil yang
signifikan sehingga kedua peubah dikeluarkan dari persamaan. Pada persamaan pengecer,
terdapat hubungan positif antara pengadaan pengecer swasta dengan permintaan pupuk
petani. Artinya semakin tinggi permintaan pupuk oleh petani, semakin tinggi pula pengadaan
para pengecer. Sebalilknya pengadaan pengecer swasta tidak dipengaruhi oleh peubah harga
pupuk tingkat petani.

Pada Provinsi Jawa Tengah, pengadaan pupuk level provinsi dan kabupaten secara
positif dipengaruhi oleh permintaan level kabupaten dan para pengecer swasta dan pengecer
koperasi. Sebaliknya harga pupuk tidak memengaruhi pengadaan dimaksud. Artinya
pengadaan pupuk level provinsi berlangsung bukan karena tarikan faktor harga.

Pada level kabupaten, harga pupuk bersifat koreksi yakni harga pupuk melebihi HET,
maka pengadaan akan dikurangi. Pada level pengecer, semakin tinggi permintaan pupuk para
petani dan semakin tinggi harga, maka pengadaan pengecer swasta semakin tinggi. Hal ini,
mengindikasikan bahwa para pengecer tertarik dengan faktor harga sehingga pengadaan
mereka akan bertambah besar jika harga pupuk mengalami kenaikan. Kemungkinan kenaikan
harga pupuk di sini disebabkan karena kekurangan persediaan pupuk pada pengecer.

5.1.2. Harga Pupuk Tingkat Petani

Penelitian ini menggolongkan para petani atas dua kelompok yaitu petani anggota
koperasi dan petani non-angota koperasi. Umumnya harga pupuk yang berlaku pada kedua
kelompok petani ini relatif sama. Harga pupuk di tingkat petani seharusnya sebesar Harga
Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah. Akan tetapi, harga tersebut hanya
berlaku jika pemerintah berhasil mengendalikan pasar yakni mengendalikan jumlah
persediaan agar sesuai permintaan konsumen. Jika tidak, pasar akan terdistorsi, yakni terjadi
excess demand dan atau sortage supply. Maka, harga pupuk akan berubah sesuai kondisi
pasar yang ada.

Kondisi empiris menunjukkan para petani sering kesulitan mendapatkan pupuk pada saat
musim tanam. Kondisi ini sudah pasti memengaruhi harga pupuk yang seharusnya berlaku di
tingkat petani yakni sebesar HET. Fakta di lapangan, petani membeli pupuk dengan harga
yang jauh di atas HET. Juga pupuk sering langka di pasar. Jadi, harga pupuk di tingkat petani
koperasi di sini digunakan untuk mengetahui kondisi riil di lapangan.

Harga pupuk di tingkat petani ditentukan oleh jumlah pupuk yang disediakan baik oleh
pengecer koperasi maupun pengecer swasta. Juga harga pupuk ditentukan oleh kondisi
kekurangan persediaan pupuk di tingkat petani yang dalam hal ini dapat dijelaskan oleh
peubah SISA. Peubah SISA adalah selisih jumlah pupuk antara pengadaan level provinsi dan
jumlah yang disediakan para pengecer. Harga pupuk di tingkat petani juga ditentukan oleh
perbedaan harga yang terjadi antara HET dan harga tebusan pupuk di tingkat pengecer.

Hasil estimasi menunjukkan harga pupuk tingkat petani di Provinsi Sumatera Utara
secara signifikan dipengaruhi positif oleh selisih harga antara HET dan harga tebusan di
tingkat pengecer, tetapi tidak dipengaruhi oleh pengadaan pupuk para pengecer dan peubah
kelangkaan pupuk (SISA). Pada Provinsi Sumatera Barat harga pupuk tingkat petani secara
signifikan dipengaruhi positif oleh peubah selisih harga pupuk (SELHETEC) dan dipengaruhi
negatif oleh pengadaan pupuk level kabupaten dan level para pengecer (S3KAB, S4ECKOP
dan S4ECNKO).

Pada Provinsi Jawa Barat harga pupuk tingkat petani secara signifikan dipengaruhi
positif oleh pengadaan pengecer koperasi, dan dipengaruhi negatif oleh pengadaan pengecer
swasta. Sementara itu, di Jawa Timur, harga pupuk petani secara signifikan dipengaruhi
positif oleh peubah SELHETEC, dan dipengaruhi negatif oleh pengadaan pupuk pengecer
swasta.

Pada Provinsi Bali dan Nusa Tenggara Barat harga pupuk tingkat petani secara
signifikan dipengaruhi positif oleh peubah SISA, dan dipengaruhi negatif oleh pengadaan
pengecer koperasi dan pengecer swasta. Sebaliknya harga pupuk tingkat petani tidak
dipengaruhi oleh peubah SELHETEC. Semua peubah signifikan pada kedua provinsi hanya
bersifat inelastis.

Pada Provinsi Jawa Tengah harga pupuk tingkat petani secara signifikan dipengaruhi
positif oleh pengadaan pengecer swasta dan peubah SELHETEC, tetapi dipengaruhi negatif
oleh pengadaan pengecer koperasi.

Sesuai hasil-hasil estimasi yang ditunjukkan di atas, harga pupuk di tingkat petani di
Provinsi Sumatera Utara dipengaruhi positif oleh selisih antara HET dan harga tebusan pupuk
level pengecer. Ini menunjukkan bahwa harga pupuk semakin bergerak naik dari level
provinsi hingga level pengecer. Pergerakan kenaikan harga inilah yang mendorong kenaikan
harga pupuk pada level petani

Pada Provinsi Sumatera Barat, harga pupuk di tingkat petani akan menurun jika jumlah
pengadaan pupuk para pengecer meningkat. Pada Provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur, ketika
pengadaan pengecer swasta meningkat, akan menurunkan harga pupuk di tingkat petani.
Pada Provinsi Bali dan Nusa Tenggara Barat, harga pupuk di tingkat petani akan
menurun jika jumlah pengadaan pupuk para pengecer meningkat.. Hal ini disebabkan karena
harga pupuk tingkat petani juga dipengaruhi oleh kenaikan peubah kelangkaan pupuk yaitu
peubah SISA.

Pada Provinsi Jawa Tengah, meskipun pengadaan pupuk pada level provinsi dan
kabupaten relatif berlangsung normal dan tidak menunjukkan gejala kelangkaan, tetapi pada
level petani terdapat kecenderungan kenaikan harga pupuk.

5.1.1.3. Penggunaan Pupuk oleh Petani

Jumlah permintaan pupuk baik petani anggota maupun non-anggota koperasi ditentukan
oleh luas areal sawah masing-masing, ketersediaan pupuk yang disuplai oleh para pengecer
dan harga pupuk di tingkat petani. Di sini, harga pupuk diwakili oleh harga pada petani
anggota koperasi karena harga pupuk di tingkat petani anggota maupun non-anggota koperasi
relatif sama.

Petani Anggota Koperasi

Hasil estimasi menunjukkan permintaan pupuk petani anggota koperasi (DPPETKOP) di


Provinsi Sumatera Utara secara signifikan dipengaruhi positif oleh luas areal sawah petani,
pengadaan pupuk koperasi, dan harga pupuk di tingkat petani (AREALKOP, S4ECKOP, dan
PPETKOP), dan dipengaruhi negatif oleh pengadaan swasta (S4ECNKO).

Hasil estimasi pada Provinsi Sumatera Barat menunjukkan permintaan pupuk petani
anggota koperasi (DPPETKOP) secara signifikan dipengaruhi positif oleh luas areal sawah
petani dan pengadaan pupuk koperasi (AREALKOP dan S4ECKOP), dan dipengaruhi negatif
oleh pengadaan swasta dan harga pupuk di tingkat petani (S4ECNKO dan PPETKOP).

Permintaan pupuk petani anggota koperasi (DPPETKOP) di Provinsi Jawa Barat secara
signifikan dipengaruhi positif oleh luas areal sawah petani dan pengadaan pupuk swasta
(AREALKOP dan S4ECNKO), tetapi tidak dipengaruhi oleh pengadaan koperasi dan harga
pupuk di tingkat petani.

Berbeda dengan Jawa Barat, di Provinsi Jawa Timur permintaan pupuk petani anggota
koperasi (DPPETKOP) secara signifikan dipengaruhi positif oleh luas areal sawah petani,
pengadaan pupuk koperasi dan swasta (AREALKOP, S4ECKOP dan S4ECNKO), dan
dipengaruhi negatif oleh harga pupuk di tingkat petani (PPETKOP).
Pada Provinsi Bali dan Nusa Tenggara Barat, permintaan pupuk petani anggota koperasi
(DPPETKOP) secara signifikan dipengaruhi positif oleh luas areal sawah petani masing-
masing. Sedangkan peubah-peubah harga pupuk dan pengadaan para pengecer tidak
memengaruhi permintaan pupuk petani.

Pada Provinsi Jawa Tengah, permintaan pupuk petani anggota koperasi (DPPETKOP)
secara signifikan dipengaruhi positif oleh luas areal sawah petani, pengadaan pupuk koperasi
dan oleh harga pupuk petani, sedangkan peubah-peubah harga pupuk dan pengadaan para
pengecer tidak memengaruhi permintaan pupuk petani.

Secara keseluruhan hasil-hasil estimasi di atas menunjukkan pada dasarnya jumlah


penggunan pupuk oleh petani anggota koperasi di semua provinsi sampel sangat kuat
dipengaruhi luas areal sawah mereka. Ketika pengadaan swasta meningkat, penggunaan
pupuk oleh petani menurun. Secara normal penggunaan pupuk oleh petani akan meningkat
sejalan dengan semakin besarnya jumlah pupuk yang disediakan pengecer swasta di pasar.
Karena itu kondisi tidak normal ini menunjukkan petani menghadapi kelangkaan pupuk.

Pada Provinsi Sumatera Barat jumlah penggunaan pupuk petani anggota koperasi akan
meningkat sejalan meningkatnya areal sawah petani dan jumlah pupuk yang.disediakan
pengecer koperasi. Namun, jika pengadaan pupuk swasta meningkat, penggunaan pupuk
petani koperasi menurun.

Di Provinsi Jawa Barat, penggunaan pupuk petani koperasi akan meningkat sejalan
dengan peningkatan areal sawah mereka dan peningkatan pengadaan pupuk swasta. Ini
adalah suatu perilaku normal yakni kenaikan pengadaan pupuk swasta mendorong kenaikan
penggunaan pupuk oleh petani. Kondisi ini menunjukkan kemungkinan petani anggota
kolerasi tidak menghadapi kesulitan ketika membutuhkan pupuk.

Petani anggota koperasi di Provinsi Jawa Timur juga relatif tidak menghadapi kesulitan
saat membutuhkan pupuk. Selain dipengaruhi oleh luas areal sawah petani, jumlah
penggunaan pupuk petani juga akan meningkat sejalan dengan kenaikan pengadaan pupuk
koperasi dan swasta.

Sedangkan pada Provinsi Bali dan Nusa Tenggara Barat penggunaan pupuk oleh petani
semata-mata hanya dipengaruhi oleh luas areal petani masing-masing. Sementara harga
pupuk tingkat petani tidak memengaruhi lagi jumlah penggunaan pupuk petani. Ini dapat
berarti berapapun harga pupuk yang tercipta di pasar, kemungkinan petani tetap membeli
pupuk untuk memenuhi kebutuhannya.

Pada Provinsi Jawa Tengah, selain dipengaruhi oleh luas areal petani, jumlah
penggunaan pupuk petani juga akan meningkat sejalan dengan kenaikan pengadaan pupuk
pengecer operasi. Meskipun kedua kondisi di atas memberikan indikasi normal, namun
kenaikan permintaan pupuk berlangsung searah kenaikan harga pupuk.

Petani Nonanggota Koperasi

Hasil estimasi menunjukkan bahwa permintaan pupuk petani non-anggota koperasi


(DPPETNKO) di Provinsi Sumatera Utara secara signifikan dipengaruhi positif oleh luas
areal sawah petani, pengadaan pupuk swasta, dan harga pupuk di tingkat petani
(AREALNKO, S4ECNKO dan PPETKOP), dan dipengaruhi negatif oleh pengadaan koperasi
(S4ECKOP).

Pada Provinsi Sumatera Barat, permintaan pupuk petani nonanggota koperasi


(DPPETNKO) secara signifikan dipengaruhi positif oleh luas areal sawah petani dan
pengadaan pupuk koperasi (AREALNKO dan S4ECKOP), dan dipengaruhi negatif oleh
pengadaan swasta dan harga pupuk di tingkat petani (S4ECNKO dan PPETKOP).

Permintaan pupuk petani nonanggota koperasi (DPPETNKO) di Provinsi Jawa Barat


secara signifikan dipengaruhi positif oleh luas areal sawah petani dan harga pupuk di tingkat
ani (AREALNKO dan PPETNKO), dan tidak dipengaruhi oleh pengadaan pupuk swasta.

Pada Provinsi Jawa Timur permintaan pupuk petani nonanggota koperasi (DPPETNKO)
secara signifikan dipengaruhi positif oleh luas areal sawah petani dan pengadaan pupuk
koperasi dan swasta (AREALNKO, S4ECKOP dan S4ECNKO) dan tidak dipengaruhi oleh
harga pupuk di tingkat petani.

Pada Provinsi Bali dan Nusa Tenggara Barat, permintaan pupuk petani non-anggota
koperasi (DPPETNKO) secara signifikan dipengaruhi positif oleh luas areal sawah petani dan
harga pupuk petani (AREALNKO dan PPETNKO), dan dipengaruhi negatif oleh pengadaan
swasta (S4ECNKO).

Pada Provinsi Jawa Tengah, permintaan pupuk petani nonanggota pkoperasi


(DPPETNKO) secara signifikan dipengaruhi positif oleh luas areal sawah petani dan
pengadaan swasta (AREALNKO dan S4AECNKO), dan dipengaruhi negatif oleh pengadaan
koperasi (S4ECKOP) tetapi tidak dipengaruhi oleh harga pupuk. Semua peubah penjelas
dalam masing-masing persamaan hanya bersifat inelastis.

Berdasarkan hasil-hasil estimasi di atas, umumnya jumlah penggunaan pupuk petani


nonanggota koperasi di semua provinsi sampel sangat kuat dipengaruhi luas areal sawah
mereka. Ini berarti banyaknya jumlah penggunaan pupuk masih dominan ditentukan oleh luas
areal sawah yang dimiliki masing-masing petani. Meskipun demikian, data lapangan
menunjukkan bahwa sering petani menyesuaikan penggunaan pupuk mereka dengan
persediaan pupuk di pasar dan harga pupuk yang berlaku.

Di Provinsi Sumatera Utara, jumlah penggunaan pupuk petani nonanggota koperasi


makin bertambah mengikuti gerak kenaikan pengadaan pupuk swasta. Juga jumlah
penggunaan pupuk akan bergerak naik seiring kenaikan harga pupuk level petani. Meskipun
dalam respons yang lemah, perilaku seperti ini menunjukkan adanya keadaan yang tidak
normal pada pasar pupuk.

Pada Provinsi Sumatera Barat, jumlah penggunaan pupuk petani nonanggota koperasi
meningkat sejalan dengan kenaikan luas areal sawah mereka. Tetapi ketika kebutuhan pupuk
meningkat, pengadaan pupuk para pengecer swasta menurun. Ini menunjukkan perilaku tidak
normal antara penggunaan pupuk petani dan ketersediaan pupuk di pasar yang disediakan
pengecer swasta. Oleh karena itu, petani nonanggota mengalami kelangkaan pupuk sama
seperti yang dialami petani anggota koperasi.

Di Provinsi Jawa Barat, penggunaan pupuk petani nonanggota koperasi akan meningkat
sejalan dengan peningkatan areal sawah mereka, tetapi jumlah penggunaan pupuk ini tidak
dipengaruhi secara nyata oleh banyak atau sedikitnya pupuk yang disediakan para pengecer
di pasar. Ini memberikan indikasi bahwa jumlah kebutuhan pupuk oleh petani non-anggota
koperasi tidak banyak terganggu oleh jumlah persediaan pasar yang ditawarkan pengecer
swasta.

Sama seperti petani anggota koperasi, petani nonanggota koperasi di Provinsi Jawa
Timur juga relatif tidak menghadapi kesulitan saat membutuhkan pupuk. Selain dipengaruhi
oleh luas areal petani, jumlah penggunaan pupuk petani akan meningkat sejalan dengan
kenaikan pengadaan pupuk koperasi dan swasta.

Pada Provinsi Bali dan Nusa Tenggara Barat penggunaan pupuk oleh petani nonanggota
koperasi akan bergerak naik seiring kenaikan luas areal sawah mereka. Akan tetapi, ketika
kebutuhan pupuk petani meningkat, jumlah pupuk yang disediakan swasta di pasar menurun.
Di sini, petani menghadapi kelangkaan pupuk, dan kelangkaan ini akan mendorong kenaikan
harga pupuk. Petani terpaksa harus membeli dalam harga yang lebih tinggi.

Sedangkan di Jawa Tengah penggunaan pupuk oleh petani non-anggota koperasi akan
bergerak naik seiring kenaikan luas areal sawah mereka dan jumlah pupuk yang disediakan
swasta. Jumlah permintaan pupuk petani di sini tidak dipengaruhi harga pupuk. Hal ini
menunjukkan petani kemungkinan tetap mampu membeli pupuk meskipun harganya
meningkat.

5.1.2. Faktor yang Memengaruhi Produksi Gabah, Jumlah Penjualan dan Pendapatan
Petani; Harga Gabah Koperasi dan Tengkulak; dan Pembelian Gabah, Produksi dan
Kapasitas Produksi Beras Koperasi

5.1.2.1. Produksi Gabah, Jumlah Penjualan, dan Pendapatan Petani

Jumlah produksi gabah para petani ditentukan oleh luas areal sawah mereka masing-
masing, jumlah penggunaan pupuk, dan tingkat harga gabah di pasar. Secara teoretis, sebuah
produksi dipengaruhi oleh jumlah penggunaan input yang dalam hal ini adalah luas areal
sawah dan jumlah pupuk, dan tingkat harga jual produk yang dihasilkan.

Jumlah penjualan gabah petani anggota dan nonanggota koperasi ditentukan oleh jumlah
produksi gabah mereka masing-masing dan harga gabah koperasi dan tengkulak. Sedangkan
pendapatan petani anggota dan nonanggota koperasi ditentukan oleh jumlah penjualan gabah
mereka, harga gabah yang ditetapkan koperasi dan para tengkulak, dan besar biaya produksi
masing-masing petani.

Petani Anggota Koperasi

Hasil estimasi pada menunjukkan jumlah produksi gabah petani anggota koperasi
(GPETKOP) di Provinsi Sumatera Utara secara signifikan dipengaruhi positif oleh luas areal
sawah petani, jumlah penggunaan pupuk mereka dan harga gabah koperasi (AREALKOP,
DPPETKOP dan PGKOP). Selanjutnya, jumlah penjualan gabah petani anggota koperasi
(JGPETKOP) secara signifikan dipengaruhi positif oleh jumlah produksi gabah dan harga
gabah koperasi (GPETOP dan PGKOP.

Pada Provinsi Sumatera Barat, jumlah produksi gabah petani anggota koperasi
(GPETKOP) secara signifikan dipengaruhi positif oleh luas areal sawah petani,.jumlah
penggunaan Pupuk mereka dan harga gabah koperasi (AREALKOP, DPPETKOP dan
PGKOP). Jumlah penjualan gabah petani anggota koperasi (JGPETKOP) secara signifikan
dipengaruhi positif oleh jumlah produksi gabah, harga gabah koperasi dan harga gabah
tengkulak (GPETKOP, PGKOP dan PGNKO).

Pada Provinsi Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, dan Nusa Tenggara Barat, jumlah produksi
gabah petani anggota koperasi (GPETKOP) masing-masing secara signifikan dipengaruhı
positif oleh luas areal sawah petani dan jumlah penggunaan pupuk petani masing-masing
(AREALKOP dan DPPETKOP). Sementara itu, peubah harga gabah tidak memengaruhi
produksi gabah petani.

Hasil estimasi menunjukkan jumlah produksi gabah petani anggota koperasi


(GPETKOP) di Provinsi Jawa Tengah secara signifikan dipengaruhi positif oleh luas areal
sawah petani dan jumlah penggunaan pupuk mereka (AREALKOP dan DPPETKOP).
Selanjutnya jumlah penjualan gabah petani anggota koperasi (JGPETKOP) secara signifikan
dipengaruhi positif oleh jumlah produksi gabah dan harga gabah koperasi (GPETKOP dan
PGKOP). Keempat peubah dalam kedua persamaan tersebut hanya bersifat inelastis.

Untuk pendapatan petani hasil estimasi menunjukan di Provinsi Sumatera Utara besaran
pendapatan petani angota koperasi (IPETKOP) secara signifikan dipengaruhi postif oleh
jumlah penjualan gabah, harga gabah koperasi dan tengkulak (JPETKOP, PGKOP dan
PGNKO), dan dipengaruhi negatif oleh biaya produksi petani (CPETKOP).

Hasil estimasi menunjukkan pendapatan petani di Provinsi Sumatera Barat (IPETKOP)


secara signifikan dipengaruhi positif oleh jumlah penjualan gabah dan harga gabah pihak
koperasi (JGPETKOP dan PGKOP). Sebaliknya pendapatan petani tidak dipengaruhi oleh
harga gabah tengkulak dan biaya produksi petani.

Pada Provinsi Jawa Barat, sesuai hasil estimasi pada, pendapatan petani (PETKOP)
secara signifikan dipengaruhi positif oleh jumlah penjualan gabah (JGPETKOP), dan
dipengaruhi negatif oleh biaya produksi petani (CPETKOP). Besaran pendapatan petani tidak
dipengaruhi oleh harga gabah koperasi maupun tengkulak.

Hasil estimasi pada menunjukan pendapatan petani (IPETKOP) di Provinsi Jawa Timur
dan Jawa Tengah secara signifikan dipengaruhi positif oleh jumlah penjualan gabah dan harga
gabah koperasi (JGPETKOP dan PGKOP), dan dipengaruhi negatif oleh biaya produksi
petani (CPETKOP).
Hasil estimasi pada menunjukkan pendapatan petani (IPETKOP) di Provinsi Bali dan
Nusa Tenggara Barat secara signifikan dipengaruhi positif oleh jumlah penjualan gabah
petani masing-masing (JGPETKOP), dan dipengaruhi negatif oleh biaya produksi petani
(CPETKOP).

Dalam hal produksi gabah, di Provinsi Sumatera Utara produksi gabah petani anggota
koperasi tergantung pada luas areal sawah petani, jumlah penggunaan pupuk dan signal harga
gabah koperasi.

Anda mungkin juga menyukai