Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

Otitis Media Akut (OMA) merupakan inflamasi akut telinga tengah yang
berlangsung kurang dari tiga minggu. Yang dimaksud dengan telinga tengah adalah
ruang di dalam telinga yang terletak antara membran timpani dengan telinga dalam
serta berhubungan dengan nasofaring melalui tuba Eustachius. Perjalanan OMA
terdiri atas beberapa aspek yaitu efusi telinga tengah yang akan berkembang
menjadi pus oleh karena adanya infeksi mikroorganisme, adanya tanda inflamasi
akut, serta munculnya gejala otalgia, iritabilitas, dan demam (Armah, 2014).
Dalam realita yang ada, OMA merupakan salah satu dari berbagai penyakit
yang umum terjadi di berbagai belahan dunia, termasuk di negara-negara dengan
ekonomi rendah dan Indonesia, serta memiliki angka kejadian yang cukup
bervariasi pada tiap-tiap negara (Umar, 2013).
Faktor usia merupakan salah satu faktor resiko yang cukup berkaitan dengan
terjadinya OMA. Kasus OMA secara umum banyak terjadi pada anak-anak
dibandingkan kalangan usia lainnya. Kondisi demikian terjadi karena faktor
anatomis, dimana pada fase perkembangan telinga tengah saat usia anak-anak, tuba
Eustachius memang memiliki posisi yang lebih horizontal dengan drainase yang
minimal dibandingkan dengan usia lebih dewasa. Hal inilah yang membuat
kecenderungan terjadinya OMA pada usia anak-anak lebih besar dan lebih ekstrim
dibandingkan usia dewasa (Umar, 2013).
Di Indonesia sendiri, belum ada data akurat yang ditemukan untuk
menunjukkan angka kejadian, insidensi, maupun prevalensi OMA. Suheryanto
menyatakan bahwa OMA merupakan penyakit yang sering dijumpai dalam praktek
sehari-hari. Penyakit ini telah menimbulkan beban lain yang cukup berarti,
diantaranya waktu dan biaya (Armah, 2014).

1
BAB II
STATUS PASIEN

II.1 Identitas Pasien


Nama : Tn. AC
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 30 tahun
Pekerjaan : Supir
Status : Menikah
Agama : Islam
Alamat : Kebondowo, Banyubiru, Kab. Semarang
No. RM : 046*** - 2013
Tanggal Periksa : 4 Desember 2018

II.2 Anamnesis
Anamnesis dilakukan autoanamnesis pada tanggal 4 Desember 2018.
II.2.1 Keluhan Utama
Keluar cairan dari telinga kanan sejak dua hari sebelum masuk Rumah Sakit.
II.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan keluar cairan dari telinga kanan sejak dua hari yang
lalu, cairan berwarna kekuningan. Saat itu cairan keluar bersama dengan darah,
sekarang sudah tidak bercampur darah lagi. Keluhan telinga keluar cairan juga
disertai penurunan pendengaran dan telinga berdenging. Awalnya pasien
mengeluhkan hidung berair sejak dua minggu yang lalu, cairan berwarna kuning
dan agak kental, tidak ada darah, sekarang keluhan hidung berair sudah tidak ada
lagi. Terdapat demam yang muncul empat hari lalu, demam tidak tinggi, tidak naik
turun, dan tidak disertai keringat di malam hari, namun saat ini pasien sudah tidak
merasa demam. Bersamaan dengan demam yang muncul, telinga juga terasa penuh
dan nyeri. Saat ini keluhan telinga terasa penuh dan nyeri sudah berkurang. Riwayat
telinga berair sebelumnya, riwayat trauma pada telinga, nyeri pada dahi dan wajah,
serta nyeri tenggorok disangkal.

2
II.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mengatakan tidak pernah mengalami hal yang sama sebelumnya. Riwayat
bersin-bersin di pagi hari, alergi terhadap makanan, obat, atau alergi terhadap debu,
angin, cuaca dingin dan sebagainya disangkal. Pasien juga tidak memiliki riwayat
asma.
II.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan yang sama. Riwayat darah
tinggi, penyakit gula, asma, dan alergi disangkal.
II.2.5 Riwayat Pekerjaan, Sosial Ekonomi dan Kebiasaan
Pasien seorang supir, sehari-hari tinggal bersama istrinya. Biaya pengobatan pasien
ditanggung oleh BPJS.
Pasien memiliki kebiasaan merokok satu bungkus per hari.

II.3 Pemeriksaan Fisik


Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
Tanda vital
- TD : 110/85 mmHg
- Nadi : 72 x/menit
- Pernapasan : 20 x/menit
- Suhu : 37,3oC
Status Generalisata
- Kepala : normocephal
- Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
- Leher : KGB tak teraba membesar
- Thorax :
Paru : Suara napas vesikuler, ronkhi (-), wheezing (-)
Jantung : dalam batas normal
- Abdomen : dalam batas normal
- Ekstremitas : dalam batas normal

3
Pemeriksaan Lokalis
Telinga
Pemeriksaan AD AS
Preaurikula Inspeksi Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Massa (-) Massa (-)
Palpasi Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)
Aurikula Inspeksi Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Massa (-) Massa (-)
Palpasi Nyeri tarik aurikula (-) Nyeri tarik aurikula (-)
Nyeri tekan tragus (-) Nyeri tekan tragus (-)
Retro Inspeksi Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Aurikula Massa (-) Massa (-)
Palpasi Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)
Perkusi Nyeri ketok mastoid (-) Nyeri ketok mastoid (-)
CAE Inspeksi Mukosa hiperemis (+) Mukosa hiperemis (-)
Bau (+) Bau (-)
Sekret (++) coklat kekuningan Sekret (-)
Edema (-) Edema (-)
Massa (-) Massa (-)
Lesi (-) Lesi (-)
Membran Inspeksi Perforasi sentral, pinggir Intak
Timpani tidak rata
Warna suram Warna putih mutiara
Bulging (-) Bulging (-)
Refleks cahaya (-) Refleks cahaya (+)
Retraksi (-) Retraksi (-)
Atrofi (-) Atrofi (-)
Tes Garpu Rinne (-) (+)
Tala Webber Lateralisasi ke arah telinga kanan
Schwabach Memanjang Sama dengan pemeriksa
Kesimpulan: Tuli konduktif telinga kanan

4
Hidung dan Sinus Paranasal
Pemeriksaan Dextra Sinistra
Hidung Warna kulit Sama dengan kulit Sama dengan kulit
sekitar sekitar
Massa (-) (-)
Lesi (-) (-)
Deformitas (-) (-)
Sinus Nyeri tekan (-) (-)
Paranasal Nyeri ketok (-) (-)
Rinoskopi Anterior
Cavum nasi Sekret (-) (-)
Mukosa Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Konka (-) (-)
Septum Deviasi (-) Deviasi (-)
Massa (-) (-)
Lesi (-) (-)
Rinoskopi Posterior
Koana Mukosa Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Massa (-) (-)
Nasofaring Post nasal drip (-)
Mukosa Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Massa (-) (-)

Tenggorok
Pemeriksaan Kanan Kiri
Bibir Sianosis (-) (-)
Kering (-) (-)
Stomatitis (-) (-)
Mulut Tanda (-) (-)
peradangan
Gigi Jumlah 16 16

5
Caries (-) (-)
Tambalan (-) (-)
Nyeri ketok (-) (-)
Gusi Abses (-) (-)
Lidah kotor (-) (-)
Atrofi papil (-) (-)
Arcus faring Mukosa Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Massa (-) (-)
Uvula Lokasi Simetris di tengah
Tonsil Ukuran T1 T1
Warna Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Kripta (-) (-)
Detritus (-) (-)
Dinding Mukosa Hiperemis (-)
posterior Jaringan granulasi (-)
faring

II.4 Resume
II.4.1 Anamnesis
- Keluar cairan dari telinga kanan sejak dua hari yang lalu, cairan berwarna
kekuningan, dua hari lalu cairan bercampur darah, telinga terasa penuh,
penurunan pendengaran
- Hidung berair sejak dua minggu lalu, berwarna bening dan agak kental,
tidak ada darah
- Demam empat hari lalu
- Riwayat trauma telinga disangkal
- Riwayat leluar cairan dari telinga disangkal
II.4.2 Pemeriksaan Fisik
- Telinga kanan: perforasi membran timpani sentral dengan pinggir tidak rata,
refleks cahaya (-), sekret kuning kecoklatan jumlah banyak dan berbau

6
II.5 Diagnosis
Otitis media akut AD stadium perforasi

II.6 Tatalaksana
Non-Farmakologi :
- Auricular suction
Farmakologi :
- Antibiotik
 Amoxycillin tab 2 x 500 mg selama 5 hari
 Ofloxacyn ear drop 2 x 3 tetes selama 7 hari pada telinga kanan
- Metil prednisolone tab 2 x 4 mg selama 5 hari
Edukasi :
- Menjelaskan penyakit otitis media akut, penyebab, faktor risiko, dan
komplikasi yang mungkin terjadi
- Menjaga hygiene telinga
- Jangan sampai masuk air ke telinga
- Kontrol setelah obat habis
- Jika batuk, pilek, cepat berobat

II.7 Prognosis
Quo ad vitam : bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam
Quo ad fungsionam : dubia ad bonam

7
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

III.1 Anatomi Telinga


Sistem organ pendengaran perifer terdiri dari struktur organ pendengaran
yang berada di luar otak dan batang otak yaitu telinga luar, telinga tengah, telinga
dalam dan saraf kokhlearis sedangkan organ pendengaran sentral adalah struktur
yang berada di dalam batang otak dan otak yaitu nukleus koklearis, nukleus
olivatorius superior, lemnikus lateralis, kolikulus inferior dan kortek serebri lobus
temporalis area Wernicke (Nugroho dan Wiyadi, 2012).
Telinga luar merupakan bagian telinga yang terdapat di lateral dari
membran timpani, terdiri dari aurikulum, meatus akustikus eksternus (MAE) dan
membran timpani (MT) (gambar 1).

Gambar 1. Anatomi Telinga


Sumber: Nugroho dan Wiyadi, 2012

III.1.1 Anatomi Telinga Luar


Aurikulum merupakan tulang rawan fibro elastis yang dilapisi kulit,
berbentuk pipih dan permukaannya tidak rata. Melekat pada tulang temporal

8
melalui otot-otot dan ligamen. Bagiannya terdiri heliks, antiheliks, tragus,
antitragus dan konka. Daun telinga yang tidak mengandung tulang rawan ialah
lobulus (gambar 2) (Nugroho dan Wiyadi, 2012).

Gambar 2. Anatomi Aurikulum


Sumber: Nugroho dan Wiyadi, 2012

Aurikulum dialiri arteri aurikularis posterior dan arteri temporalis


superfisialis. Aliran vena menuju ke gabungan vena temporalis superfisialis, vena
aurikularis posterior dan vena emissary mastoid. Inervasi oleh cabang nervus
cranial V, VII, IX dan X. MAE merupakan tabung berbentuk S, dimulai dari dasar
konka aurikula sampai pada membran timpani dengan panjang lebih kurang 2,5 cm
dan diameter lebih kurang 0,5 cm. MAE dibagi menjadi dua bagian yaitu pars
cartilage yang berada di sepertiga lateral dan pars osseus yang berada di dua
pertiganya. Pars cartilage berjalan ke arah posterior superior , merupakan perluasan
dari tulang rawan daun telinga, tulang rawan ini melekat erat di tulang temporal,
dilapisi oleh kulit yang merupakan perluasan kulit dari daun telinga , kulit tersebut
mengandung folikel rambut, kelenjar serumen dan kelenjar sebasea. Kelenjar
serumen memproduksi bahan seperli lilin berwarna coklat merupakan
pengelupasan lapisan epidermis, bahan sebaseus dan pigmen disebut serumen atau
kotoran telinga. Pars osseus berjalan ke arah antero inferior dan menyempit di
bagian tengah membentuk ismus. Kulit pada bagian ini sangat tipis dan melekat
erat bersama dengan lapisan subkutan pada tulang. Didapatkan glandula sebasea
dan glandula seruminosa, tidak didapatkan folikel rambut (gambar 3) (Nugroho dan
Wiyadi, 2012).

9
Gambar 3. Gambar Kelenjar pada Liang Telinga
Sumber: Nugroho dan Wiyadi, 2012

MAE dialiri arteri temporalis superfisialis dan arteri aurikularis posterior


serta arteri aurikularis profundus. Darah vena mengalir ke vena maksilaris, jugularis
eksterna dan pleksus venosus pterygoid. Aliran limfe menuju ke lnn. aurikularis
anterior, posterior dan inferior. Inervasi oleh cabang aurikularis dari n. vagus dan
cabang aurikulotemporalis dari n. mandibularis. MT berbentuk kerucut dengan
puncaknya disebut umbo , dasar MT tampak sebagai bentukan oval. MT dibagi dua
bagian yaitu pars tensa memiliki tiga lapisan yaitu lapisan skuamosa, lapisan
mukosa dan lapisan fibrosa. Lapisan ini terdiri dari serat melingkar dan radial yang
membentuk dan mempengaruhi konsistensi MT. Pars flasida hanya memiliki dua
lapis saja yaitu lapisan skuamosa dan lapisan mukosa. Sifat arsitektur MT ini dapat
menyebarkan energi vibrasi yang ideal (gambar 4). MT bagian medial disuplai
cabang arteri aurikularis posterior, lateral oleh ramus timpanikus cabang arteri
aurikularis profundus. Aliran vena menuju ke vena maksilaris, jugularis eksterna
dan pleksus venosus pterygoid. Inervasi oleh nervus aurikularis cabang nervus
vagus, cabang timpanikus nervus glosofaringeus of Jacobson dan nervus
aurikulotemporalis cabang nervus mandibularis (Nugroho dan Wiyadi, 2012).

10
Gambar 4. Anatomi Membran Timpani
Sumber: Nugroho dan Wiyadi, 2012

III.1.2 Anatomi Telinga Tengah


Ruang telinga tengah disebut juga kavum tympani (KT) atau tympanic
cavity. Dilapisi oleh membran mukosa, topografinya di bagian medial dibatasi oleh
promontorium, lateral oleh MT, anterior oleh muara tuba Eustachius, posterior oleh
aditus ad antrum dari mastoid, superior oleh tegmen timpani fossa kranii, inferior
oleh bulbus vena jugularis. Batas superior dan inferior MT membagi KT menjadi
epitimpanium atau atik, mesotimpanum dan hipotimpanum. Telinga tengah
terdapat tiga tulang pendengaran, susunan dari luar ke dalam yaitu maleus, incus
dan stapes yang saling berikatan dan berhubungan membentuk artikulasi. Prosesus
longus maleus melekat pada membran timpani, maleus melekat pada inkus dan
inkus melekat pada stapes. Stapes terletak tingkap lonjong atau foramen ovale yang
berhubungan dengan koklea (gambar 5) (Nugroho dan Wiyadi, 2012).

Gambar 5. Skema Hubungan antara Membran Timpani Osikel


Sumber: Nugroho dan Wiyadi, 2012

11
Telinga tengah terdapat dua buah otot yaitu m. tensor timpani dan m.
stapedius. M tensor timpani berorigo di dinding semikanal tensor timpani dan
berinsersio di bagian atas tulang maleus, inervasi oleh cabang saraf trigeminus. Otot
ini menyebabkan membran timpani tertarik ke arah dalam sehingga menjadi lebih
tegang dan meningkatkan frekuensi resonansi sistem penghantar suara dan
melemahkan suara dengan frekuensi rendah. M. stapedius berorigo di dalam
eminensia pyramid dan berinsersio di ujung posterior kolumna stapes, hal ini
menyebabkan stapes kaku, memperlemah transmini suara dan meningkatkan
resonansi tulang-tulang pendengaran. Kedua otot ini berfungsi mempertahankan ,
memperkuat rantai osikula dan meredam bunyi yang terlalu keras sehingga dapat
mencegah kerusakan organ koklea. Telinga tengah berhubungan dengan
nasopharing melalui tuba Eustahcius. Suplai darah untuk kavum timpani oleh arteri
timpani anterior, arteri stylomastoid, arteri petrosal superficial, arteri timpani
inferior. Aliran darah vena bersama dengan aliran arteri dan berjalan ke dalam sinus
petrosal superior dan pleksus pterygoideus (Nugroho dan Wiyadi, 2012).
III.1.3 Anatomi Telinga Dalam
Telinga dalam (TD) terletak di dalam tulang temporal bagian petrosa, di
dalamnya dijumpai labirin periotik yang mengelilingi struktur TD yaitu labirin,
merupakan suatu rangkaian berkesinambungan antara tuba dan rongga TD yang
dilapisi epitel. Labirin terdiri dari labirin membran berisi endolim yang merupakan
satu-satunya cairan ekstraselular dalam tubuh yang tinggi kalium dan rendah
natrium. Labirin membran ini di kelilingi oleh labirin tulang ,di antara labirin tulang
dan membran terisi cairan perilim dengan komposisi elektrolit tinggi natrium
rendah kalium. Labirin terdiri dari tiga bagian yaitu pars superior, pars inferior dan
pars intermedia. Pars superior terdiri dari utrikulus dan saluran semisirkularis, pars
inferior terdiri dari sakulus dan koklea sedangkan pars intermedia terdiri dari duktus
dan sakus endolimpaticus (gambar 6) (Nugroho dan Wiyadi, 2012).

12
Gambar 6. Skema Labirin
Sumber: Netter, 2006

Fungsi TD ada dua yaitu koklea yang berperan sebagai organ auditus atau
indera pendengaran dan kanalis semisirkularis sebagai alat keseimbangan. Kedua
organ tersebut saling berhubungan sehingga apabila salah satu organ tersebut
mengalami gangguan maka yang lain akan terganggu. TD disuplai oleh arteri
auditorius interna cabang dari arteri cerebelaris inferior. Aliran darah vena bersama
dengan aliran arteri (Nugroho dan Wiyadi, 2012).
a. Koklea
Koklea adalah organ pendengaran berbentuk menyerupai rumah siput
dengan dua dan satu setengah putaran pada aksis memiliki panjang lebih
kurang 3,5 sentimeter. Sentral aksis disebut sebagai modiolus dengan tinggi
lebih kurang 5 milimeter, berisi berkas saraf dan suplai arteri dari arteri
vertebralis. Struktur duktus koklea dan ruang periotik sangat kompleks
membentuk suatu sistem dengan tiga ruangan yaitu skala vestibuli, skala
media dan skala timpani. Skala vestibuli dan skala tympani berisi cairan

13
perilim sedangkan skala media berisi endolimf. Skala vestibuli dan skala
media dipisahkan oleh membran Reissner, skala media dan skala timpani
dipisahkan oleh membran basilar (gambar 7).

Gambar 7. Skema Labirin


Sumber: Netter, 2006

b. Organon Corti
Organon corti (OC) terletak di atas membran basilaris dari basis ke apeks,
yang mengandung organel penting untuk mekanisme saraf pendengaran
perifer. Terdiri bagi tiga bagian sel utama yaitu sel penunjang, selaput
gelatin penghubung dan sel-sel rambut yang dapat membangkitkan impuls
saraf sebagai respon terhadap getaran suara (gambar 8). OC terdiri satu baris
sel rambut dalam yang berjumlah sekitar 3 000 dan tiga baris sel rambut
luar yang berjumlah sekitar 12 000.12 Rambut halus atau silia menonjol ke
atas dari sel-sel rambut menyentuh atau tertanam pada permukaan lapisan
gel dari membran tektorial. Ujung atas sel-sel rambut terfiksasi secara erat
dalam struktur sangat kaku pada lamina retikularis. Serat kaku dan pendek
dekat basis koklea mempunyai kecenderungan untuk bergetar pada
frekuensi tinggi sedangkan serat panjang dan lentur dekat helikotrema
mempunyai kecenderungan untuk bergetar pada frekuensi rendah.

14
Gambar 8. Organo Corti
Sumber: Nugroho dan Wiyadi, 2012

15
c. Saraf Koklearis
Sel-sel rambut di dalam OC diinervasi oleh serabut aferen dan eferen dari
saraf koklearis cabang dari nervus VIII, 88% Serabut aferen menuju ke sel
rambut bagian dalam dan 12% sisanya menuju ke sel rabut luar. Serabut
aferen dan eferen ini akan membentuk ganglion spiralis yang selanjutnya
menuju ke nuleus koklearis yang merupakan neuron primer, dari nucleus
koklearis neuron sekunder berjalan kontral lateral menuju lemnikus lateralis
dan ke kolikulus posterior dan korpus genikulatum medialis sebagai neuron
tersier, selanjutnya menuju ke pusat pendengaran di lobus temporalis
tepatnya di girus transversus.

III.2 Fisiologi Pendengaran


Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun
telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke
koklea. Getaran tersebut menggetarkan membran timpani diteruskan ke telinga
tengah melalui rangkaian tulang pendengaran yang akan mengamplifikasi getaran
melalui daya ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas membran
timpani dan tingkap lonjong. Energi getar yang telah diamplifikasi ini akan
diteruskan ke stapes yang menggerakkan tingkap lonjong sehingga perilimfa pada
skala vestibuli bergerak. Getaran diteruskan melalui membran Reissner yang
mendorong endolimfa sehingga akan menimbulkan gerak relatif antara membran
basilaris dan membran tektoria. Proses ini merupakan rangsang mekanik yang
menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion
bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel
rambut sehingga melepaskan neurotransmitter ke dalam sinapsis yang akan
menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke korteks
pendengaran (area 39-40) di lobus temporalis (Soepardi dkk, 2007).

III.3 Otitis Media


Otitis media ialah peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah,
tuba Eustachius, antrum mastoid dan sel-sel mastoid. Berikut ini klasifikasi otitis
media (Soepardi dkk, 2007):

16
Bagan 1. Klasifikasi Otitis Media
Sumber: Soepardi dkk, 2007

Akut (OMA)
Supuratif
Kronik
(OMSK)

Akut
(Barotrauma =
Non-supuratif Aerotitis)
(Serosa)
Kronik
Otitis Media

Tuberkulosa

Spesifik Sifilika

Adhesiva dll

III.4 Otitis Media Akut


Telinga tengah biasanya steril, meskipun terdapat mikroba di nasofaring dan
faring. Secara fisiologik terdapat mekanisme pencegahan masuknya mikroba ke
dalam telinga tengah oleh silia mukosa tuba Eustachius, enzim dan antibodi
(Soepardi dkk, 2007).
OMA terjadi karena faktor pertahanan tubuh terganggu. Sumbatan tuba
Eustachius merupakan faktor penyebab utama dari otitis media. Karena fungsi tuba
Eustachius terganggu, pencegahan invasi kuman ke dalam telinga tengah juga
terganggu, sehingga kuman masuk ke dalam telinga tengah dan terjadi peradangan.
Dikatakan juga bahwa pencetus terjadinya OMA ialah infeksi saluran pernapasan
atas (Soepardi dkk, 2007).

17
Pada anak, makin sering anak terserang infeksi saluran napas, makin besar
kemungkinan terjadinya OMA. Pada bayi terjadinya OMA dipermudah oleh karena
tuba Eustachiusnya pendek, lebar, dan letaknya horizontal (Soepardi dkk, 2007).
III.4.1 Patologi
Kuman penyebab utama pada OMA adalah bakteri piogenik, seperti
Streptococcus haemolythicus, Staphylococcus aureus, Pneumococcus. Selain itu
kadang ditemukan juga Haemophyllus influenza, Escherichia colli, Streptococcus
anhaemolythicus, Proteus vulgaris, dan Pseudomonas aeruginosa. Haemophyllus
influenza sering ditemukan pada anak yang berusia di bawah 5 tahun (Soepardi dkk,
2007).
III.4.2 Stadium OMA
Perubahan mukosa telinga tengah sebagai akibat infeksi dapat dibagi atas 5
stadium (Soepardi dkk, 2007):
a. Stadium Oklusi Tuba Eustachius
Tanda adanya oklusi tuba Eustachius ialah gambaran retraksi membran
timpani akibat tekanan negative di dalam telinga tengah, akibat absorpsi
udara. Kadang-kadang membrane timpani tampak normal (tidak ada
kelainan) atau berwarna keruh pucat . Efusi mungkin telah terjadi, tetapi
tidak dapat dideteksi. Stadium ini sukar dibedakan dengan otitis media
serosa yang disebabkan oleh virus atau alergi.
b. Stadium Hiperemis (Stadium Pre-Supurasi)
Tampak pembuluh darah yang melebar di membran timpani atau
seluruh membran timpani tampak hiperemis serta edem. Sekret yang
telah terbentuk mungkin masih bersifat eksudat yang serosa sehingga
sukar dilihat.
c. Stadium Supurasi
Edema yang hebat pada mukosa telinga tengah dan hancurnya sel epitel
superfisial, serta terbentuknya eksudat yang purulent di kavum timpani,
menyebabkan membran timpani menonjol (bulging) ke arah liang
telinga luar. Pada keadaan ini pasien tampak sangat sakit, nadi dan suhu
meningkat, serta rasa nyeri di telinga bertambah hebat. Apabila tekanan
nanah di kavum timpani tidak berkurang, maka terjadi iskemia, akibat

18
tekanan pada kapiler-kapiler, serta timbul tromboflebitis pada vena-
vena kecil dan nekrosis mukosa dan submukosa. Nekrosis ini pada
membran timpani tampak sebagai daerah yang lebih lembek dan
berwarna kekuningan. Di tempat ini akan terjadi ruptur. Bila tidak
dilakukan insisi membran timpani (miringotomi) pada stadium ini,
maka kemungkinan besar membran timpani akan ruptur dan nanah
keluar ke liang telinga luar.
d. Stadium Perforasi
Karena beberapa sebab seperti terlambatnya pemberian antibiotika atau
virulensi kuman tinggi, maka dapat terjadi ruptur membran timpani dan
nanah keluar mengalir dari telinga tengah ke liang telinga luar. Anak
yang tadinya gelisah sekarang menjadi tenang, suhu badan turun dan
anak dapat tertidur nyenyak.
e. Stadium Resolusi
Bila membran timpani tetap utuh, maka keadaan membran timpani
perlahan-lahan akan normal kembali. Bila sudah terjadi perforasi maka
secret akan berkurang dan akhirnya kering. Bila daya tahan tubuh baik
atau virulensi kuman rendah, maka resolusi dapat terjadi walaupun
tanpa pengobatan. OMA berubah menjadi OMSK bila perforasi
menetap dengan secret yang keluar terus-menerus atau hilang-timbul.
OMA dapat menimbulkan gejala sisa (sequele) berupa otitis media
serosa bila sekret menetap di kavum timpani tanpa terjadinya perforasi.

19
Gambar 9. Pemeriksaan membran timpani pada otoskopi
Sumber: Donaldson, 2018

III.4.3 Gejala Klinik


Gejala klinik OMA bergantung pada stadium penyakit serta umur pasien.
Pada anak yang sudah dapat berbicara keluhan utama adalah rasa nyeri di dalam
telinga, keluhan di samping suhu tubuh yang tinggi. Biasanya terdapat riwayat
batuk-pilek sebelumnya (Soepardi dkk, 2007).
Pada anak yang lebih besar atau pada orang dewasa, selain rasa nyeri
terdapat pula gangguan pendengaran berupa rasa penuh di telinga atau rasa kurang

20
dengar. Pada bayi dan anak kecil gejala khas OMA ialah suhu tubuh tinggi dapat
sampai 39,5oC (pada stadium supurasi), anak gelisah dan sukar tidur, tiba-tiba anak
menjerit waktu tidur, diare, kejang-kejang dan kadang anak memegang telinga yang
sakit. Bila terjadi ruptur membran timpani, maka sekret mengalir ke liang telinga,
suhu tubuh menurun dan anak tertidur tenang (Soepardi dkk, 2007).
III.4.4 Terapi
Menurut Soepardi dkk (2007), pengobatan OMA tergantung pada stadium
penyakitnya. Pada stadium oklusi pengobatan terutama bertujuan untuk membuka
kembali tuba Eustachius, sehingga tekanan negatif di telinga tengah hilang. Untuk
ini diberikan obat tetes hidung. HCl efedrin 0,5% dalam larutan fisiologik (anak
<12 tahun) atau HCl efedrin 1% dalam larutan fisiologik untuk yang berumur >12
tahun dan pada orang dewasa.
Selain itu sumber infeksi harus diobati, Antibiotik diberikan apabila
penyebab penyakit adalah kuman, bukan oleh virus atau alergi.
Terapi pada stadium hiperemis adalah antibiotik, obat tetes hidung, dan
analgetik. Antibiotik yang dianjurkan ialah dari golongan penisilin atau ampisilin.
Terapi awal diberikan penisilin intramuskular agar didapatkan konsentrasi yang
adekuat di dalam darah, sehingga tidak terjadi mastoiditis yang terselubung,
gangguan pendengaran sebagai gejala sisa, dan kekambuhan. Pemberian antibiotika
dianjurkan minimal selama 7 hari. Bila pasien alergi terhadap penisilin, maka
berikan eritromisin.
Pada anak, ampisilin diberikan dengan dosis 50-100 mg/kgBB/hari dibagi
dalam 3 dosis, atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari.
Pada stadium supurasi selain diberikan antibiotik, idealnya harus disertai
dengan miringotomi, bila membran timpani masih utuh. Dengan miringotomi
gejala-gejala klinis lebih cepat hilang dan ruptur dapat dihindari.
Pada stadium perforasi sering terlihat sekret banyak keluar dan kadang
terlihat sekret keluar secara berdenyut (pulsasi). Pengobatan yang diberikan adalah
obat cuci telinga H2O2 3% selama 3-5 hari serta antibiotik yang adekuat. Biasanya
sekret akan hilang dan perforasi dapat menutup kembali dalam waktu 7-10 hari.
Pada stadium resolusi maka membran timpani berangsur normal kembali,
sekret tidak ada lagi dan perforasi membran timpani menutup.

21
Bila tidak terjadi resolusi biasanya akan tampak sekret mengalir di liang
telinga luar melalui perforasi di membran timpani. Keadaan itu dapat disebabkan
karena berlanjutnya edema mukosa telinga tengah. Pada keadaan demikian
antibiotika dapat dilanjutkan sampai 3 minggu. Bila 3 minggu setelah pengobatan
sekret tetap banyak, kemungkinan telah terjadi mastoiditis.
Bila OMA berlanjut dengan keluarnya sekret dari telinga lebih dari 3
minggu, maka keadaan ini disebut otitis media supuratif subakut.
Bila perforasi menetap dan sekret tetap keluar lebih dari satu setengah bulan
atau dua bulan, maka keadaan ini disebut otitis media supuratif kronis (OMSK).
III.4.5 Komplikasi
Sebelum ada antibiotik, OMA dapat menimbulkan komplikasi, yaitu abses
sub-periosteal sampai komplikasi yang berat (meningitis dan abses otak). Setelah
ada antibiotik, semua jenis komplikasi itu biasanya didapatkan sebagai komplikasi
dari OMSK (Soepardi dkk, 2007).

22
DAFTAR PUSTAKA

Armah, RO. 2014. “Karakteristik Penderita Otitis Media Akut di RSUP H. Adam
Malik Medan pada tahun 2014”. Karya Tulis Ilmiah Universitas Sumatra
Utara 2014. Diakses pada 6 Desember 2018.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/56349/Chapter%20
I.pdf?sequence=5&isAllowed=y
Donaldson, JD. 2018. “Acute Otitis Media”. Medscape: Otolaryngology and Facial
Plastic Surgery. April 2018. Diakses pada 7 Desember 2018.
https://emedicine.medscape.com/article/859316-overview
Netter, FH. 2006. Atlas of Human Anatomy: Anatomy of the Ear. E-book edisi ke-
4. Elsevier Saunders co. Philadelphia.
Nugroho, PS dan Wiyadi, HMS, 2012. Anatomi dan Fisiologi Pendengaran Perifer.
Jurnal THT-KL, vol.2, no.2, hlm. 76 – 85. Mei – Agustus 2012. Universitas
Airlangga. Surabaya. Diakses pada 6 Desember 2018.
http://journal.unair.ac.id/download-fullpapers-thtklada99f6a28full.pdf
Soepardi, EA dkk. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorokan,
Kepala & Leher. Edisi ke-6. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta.
Umar, S dkk. 2013. Prevalensi dan Faktor Risiko Otitis Media Akut pada Anak-
anak di Kotamadya Jakarta Timur. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta. Diakses pada 6 Desember 2018.
http://lib.ui.ac.id/naskahringkas/2015-09/SP-Sakina%20Umar

23

Anda mungkin juga menyukai