Anda di halaman 1dari 42

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tujuan utama rumah sakit adalah memberikan perawatan pasien. Proses perawatan

pasien bersifat dinamis dan melibatkan banyak praktisi kesehatan serta dapat melibatkan

berbagai jenis perawatan, departemen, dan layanan. Integrasi dan koordinasi kegiatan

perawatan pasien akan menghasilkan proses-proses perawatan yang efisien, penggunaan

sumber daya manusia dan lainnya yang efektif, serta kemungkinan kondisi akhir pasien yang

lebih baik. Oleh karena itu, pemimpin menerapkan berbagai sarana dan teknik untuk

mengintegrasi dan mengkoordinasikan perawatan pasien dengan lebih baik misalnya,

perawatan diberikan oleh tim, kunjungan terhadap pasien dilaksanakan oleh berbagai

departemen, formulir perencanaan perawatan bersama, rekam medis yang terintegrasi,

manajer-manajer kasus (Frelita et al., 2011).

Peningkatan mutu pelayanan secara global saat ini terarah kepada asas efektivitas

biaya (cost effectiveness), kepuasan pasien (patient satisfaction), dan menjaga mutu

pelayanan (quality assurance), yang harus terus menerus dilakukan melalui perbaikan yang

berkesinambungan (Kasim, 2010).

Proses profesionalisme bidang perawatan merupakan proses berubah jangka panjang

yang melibatkan berbagai pihak baik dari kalangan keperawatan sendiri maupun di luar

keperawatan. Hal ini berarti bahwa perawat harus mau berubah ke arah yang lebih baik. Salah

satu proses perubahan atau pergeseran yang dialami oleh bidang keperawatan adalah Model

asuhan keperawatan yang diterapkan saat memberikan pelayanan kesehatan di rumah sakit.
Yang awalnya para profesional perawat hanya mengenal model asuhan keperawatan

tradisional, tetapi sekarang model asuhan keperawatan sudah mengalami perkembangan

seiring sejalan dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi.

Model Asuhan keperawatan terhadap pasien dapat bervariasi dari satu unit

keperawatan ke unit keperawatan lainnya, tergantung pada jenis pasien, persyaratan

perawatan, dan sumber daya yang tersedia. Fokus dari model pemberian asuhan perawatan

adalah pada pasien dan bagaimana layanan perawatan dikembangkan dan disediakan.

Pengambilan keputusan klinis perawat, alokasi kerja (beban kerja), komunikasi, dan

manajemen dimasukkan dalam model pemberian asuhan perawatan. Pilihan model yang

digunakan tergantung pada bebrapa faktor-faktor , dikombinasikan dengan kekuatan sosial

dan ekonomi yang berbeda. (Tiedeman at all 2004) dalam (Jones rebecca 2007).

Menurut Gillies (1996) mengatakan bahwa terdapat beberapa metode pemberian

asuhan keperawatan , yaitu metode kasus ( Total care), metode fungsional, metode tim dan

metode Keperawatan primer. ( Suni Arsad 2018). Beberapa metode tersebut disebut juga

sebagai model asuhan keperawatan tradisional.

Model asuhan keperawatan yang sekarang sedang dikembangkan adalah model

asuhan keperawatan terintegrasi. Asuhan keperawatan terintegrasi tergambar dalam rekam

medis pasien. Secara khusus, setiap praktisi kesehatan: perawat, dokter, ahli terapi, ahli gizi

dan professional kesehatan lainnya mencatat pengamatan, pengobatan, hasil atau kesimpulan

dari pertemuan/ diskusi tim perawatan pasien dalam catatan perkembangan yang berorientasi

masalah dalam bentuk SOAP dengan formulir yang sama dalam rekam medis, dengan ini

diharapkan dapat meningkatkan komunikasi antar professional kesehatan (Frelita,

Situmorang., & Silitonga, 2011; Iyer Patricia & Camp Nancy, 2004).
Suatu rencana perawatan tunggal dan terintegrasi yang mengidentifikasi

perkembangan terukur yang diharapkan oleh masing-masing disiplin adalah lebih baik

daripada rencana perawatan terpisah yang disusun oleh masing-masing praktisi. Rencana per

awatan pasien harus mencerminkan sasaran perawatan yang khas untuk masing-masing

individu, objektif, dan realistis sehingga nantinya penilaian ulang dan revisi rencana dapat

dilakukan.

Asuhan keperawatan terintegrasi adalah suatu kegiatan tim yang terdiri dari dokter,

perawat/bidan, nutrisionis dan farmasi dalam melaksanakan asuhan yang terintegrasi dalam

satu lokasi rekam medis, yang dilaksanakan secara kolaborasi dari masing-masing profesi.

Pelayanan terintegrasi berorientasi pada kepentingan pasien dan tidak didominasi oleh satu

profesi saja. Dan hal ini berdampak positif terhadap mutu pelayanan kesehatan (Sutoto,

2015).

Dokumentasi yang terintegrasi dapat dijadikan bukti tertulis dari kegiatan yang telah

dilakukan oleh tenaga kesehatan multidisiplin yang ada di sebuah ruang rawat. Dokumentasi

yang disebut lengkap apabila pencatatan yang dilakukan oleh dokter, perawat, farmasi dan

gizi sesuai standar yang telah ditetapkan oleh rumah sakit, sehingga bisa melindungi tenaga

kesehatan terhadap permasalahan hukum yang terjadi (Hariyati, 2014).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam makalah ini yaitu:

1. Apa yang dimaksud dengan model asuhan keperawatan tradisional ?

2. Apa saja model asuhan keperawatan tradisional ?

3. Apa kelebihan atau kekurangan dari model asuhan keperawatan tradisional ?

4. Apa yang dimaksud dengan model asuhan keperawatan terintegrasi ?


5. Apa saja model asuhan keperawatan terintegrasi ?

6. Apa kelebihan atau kekurangan dari model asuhan keperawatan terintegrasi ?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian dan jenis-jenis dari model asuhan keperawatan tradisional

2. Untuk mengetahui pengertian dan jenis-jenis dari model asuhan keperawatan terintegrasi

3. Untuk mengetahui kelebihan atau kekurangan dari model asuhan keperawatan tradisional

4. Untuk mengetahui kelebihan atau kekurangan dari model asuhan keperawatan

terintegrasi
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Model Asuhan Keperawatan Tradisional

1. Model asuhan keperawatan dengan metode kasus atau total

Metode Kasus atau total perawatan pasien adalah model tertua dalam mengatur

perawatan pasien. Dengan total perawatan kepada pasien, perawat memikul tanggung

jawab total selama bertugas untuk memenuhi semua kebutuhan pasien yang ditugaskan.

Pada pergantian abad ke-19, perawatan total pasien adalah model pemberian perawatan

yang dominan. Perawatan umumnya dilakukan di rumah pasien, dan perawat

bertanggung jawab untuk memasak, membersihkan rumah, dan kegiatan lain yang khusus

untuk pasien dan keluarga selain perawatan tradisional. Namun, selama tahun 1930-an,

orang tidak bisa lagi menggunakan perawatan total ini di rumah dan mulai

menggunakannya rumah sakit. Seiring dengan pertumbuhan rumah sakit selama tahun

1930-an dan 1940-an, penyediaan perawatan total terus menjadi sarana utama untuk

mengorganisasikan perawatan pasien. (Jones rebecca 2007).

Dalam metode total atau kasus dimana setiap perawat ditugaskan untuk melayani

seluruh kebutuhan pasien saat ia dinas. Pasien akan dirawat oleh perawat yang berbeda

untuk setiap sif, dan tidak ada jaminan bahwa pasien akan dirawat oleh orang yang sama

pada hari berikutnya. Metode penugasan kasus biasa diterapkan satu pasien satu perawat,

dan hal ini umumnya dilaksanakan untuk perawat privat/pribadi dalam memberikan

asuhan keperawatan khusus seperti kasus isolasi dan perawatan intensif (intensive care). (

Nursalam 2014)
Adapun kelebihan dari metode ini adalah belum dapat di identifikasi perawat

penanaggung jawab dan perlu tenaga yang cukup banyak dengan kemampuan dasar yang

sama. Adapun kelebihan dari pada metode ini adalah perawat lebih memahami kasus per

kasus per kasus dan sistem evaluasi dapat di lakukan secara terus menerus. ( Suni 2018).

Struktur Organisasi Metode Total/Kasus :

Kepala Ruangan

Staf Perawat Staf Perawat Staf Perawat

Pasien Pasien
Pasien

2. Model asuhan keperawatan dengan metode fungsional

Metode fungsional ini berkembang dari Perang Dunia II dan pembangunan

rumah sakit yang cepat sebagai hasil dari Undang-Undang Hill Burton. Karena perawat

banyak diminati di luar negeri dan di pekerjakan di rumah, maka terjadi kekurangan

perawat, sehingga tenaga tambahan diperlukan untuk membantu dalam perawatan pasien.

Para pekerja yang relatif tidak terlatih ini dilatih untuk melakukan tugas-tugas sederhana

dan memperoleh kecakapan dengan pengulangan. Setiap oarang ditugaskan untuk

menyelesaikan tugas-tugas tertentu dari pada merawat pasien tertentu. (Marquis. L.

Bessie 2012)

Setiap perawat di beri satu atau beberapa tugas untuk dilaksanakan kepada semua

klien di suatu ruangan. Seorang perawat dapat bertanggung jawab dalam pemberian obat,

mengganti balutan, memantau pemasangan infus dan kegiatan lainnya. Dalam hal ini,
setiap setiap perawat hanya melakukan 1-2 jenis intervensi keperawatan pada semua

pasien yang berda di bangsal. Contoh ada perawat yang yang hanya bertanggungjawab

pada perawatan luka, pemberian obat, ada yang mengatur pemberian intervena. Dalam

hal ini tidak perawat yang bertanggungjawab penuh pada seorang klien. ( Suni 2018)

Pada metode ini, kepala ruangan terlebih dahulu mengidentifikasi tingkat

kesulitan tindakan, lalu menentukan perawat yang akan bertanggungjawab melakukan

tindakan keperawatan tersebut. Kemudian perawat akan melaporkan apa yang di

kerjakannya kepada kepala ruangan lalu kepala ruangan akan bertanggungjawab dan

membuat laporan pasien. (Suni 2018)

Adapun kekurangan dan kelebihan dalam metode fungsional yaitu :

Kelebihan:

a. Manajemen klasik yang menekankan efisiensi, pembagian tugas yang jelas dan

pengawasan yang baik;

b. Sangat baik untuk rumah sakit yang kekurangan tenaga;

c. Perawat senior menyibukkan diri dengan tugas manajerial, sedangkan perawat pasien

diserahkan kepada perawat junior dan/atau belum berpengalaman.

Kelemahan :

a. Tidak memberikan kepuasan pada pasien maupun perawat;

b. Pelayanan keperawatan terpisah-pisah, tidak dapat menerapkan proses keperawatan;

c. Persepsi perawat cenderung pada tindakan yang berkaitan dengan keterampilan saja.

( Nursalam 2014 )
Struktur Organisasi Metode Total/Kasus :

Kepala ruangan

Perawat: Perawat: Penyimpanan


merawat luka Instrument Kebutuhan dasar
pengobatan

Pasien

3. Model asuhan keperawatan dengan metode tim

Model keperawatan tim berkembang sejak tahun 1950-an, Berbagai pemimpin

keperawatan berupaya untuk mengembangkan sistem perawatan pasien dari model

keperawatan fungsional menjadi metode keperawatan tim. Dalam keperawatan tim,

personil berkolaborasi dalam memberikan perawatan kepada sekelompok pasien di

bawah arahan seorang perawat profesional. Sebagai ketua tim, perawat bertanggung

jawab untuk mengetahui kondisi dan kebutuhan semua pasien yang ditugaskan dalam tim

dan untuk merencanakan perawatan individu. Tugas ketua tim bervariasi tergantung pada

kebutuhan pasien dan beban kerja. Tugas-tugas ini dapat mencakup membantu anggota

tim, memberikan perawatan pribadi langsung kepada pasien, mengajar, dan

mengoordinasikan kegiatan pasien. ( Marquis. L. Bessie 2012)

Menurut Douglas (1992) Metode tim merupakan metode pemberian asuhan

keperawatan, dengan seorang perawat professional memimpin sekelompok tenaga

keperawatan dalam memberikan asuhan keperawatan pada sekelompok klien, melalui

kooperatif dan kolaborasi. Kelompok ini di pimpin oleh perawat yang yang berijazah

minimal D3 keperawatan dan perpengalam kerja serta memiliki pengetahuan di


bidangnya. Pembagian tugas dalam kelompok di lakukan oleh ketua tim

bertanggungjawab untuk mengarahkan anngota timnya. (Suni, 2018)

Metode ini menggunakan tim yang terdiri atas anggota yang berbeda-beda dalam

memberikan asuhan keperawatan terhadap sekelompok pasien. Perawat ruangan dibagi

menjadi 2–3 tim/grup yang terdiri atas tenaga profesional, teknikal, dan pembantu dalam

satu kelompok kecil yang saling membantu. Metode ini biasa digunakan pada pelayanan

keperawatan di unit rawat inap, unit rawat jalan, dan unit gawat darurat.

Adapun kelebihan dari metode tim ini adalah :

1. Memungkinkan pelayanan keperawatan yang menyeluruh;

2. Mendukung pelaksanaan proses keperawatan;

3. Memungkinkan komunikasi antartim, sehingga konflik mudah di atasi dan memberi

kepuasan kepada anggota tim.

Adapun kelemahan dari metode tim ini adalah komunikasi antaranggota tim

terbentuk terutama dalam bentuk konferensi tim, yang biasanya membutuhkan waktu,

yang sulit untuk dilaksanakan pada waktu-waktu sibuk. ( Nursalam, 2014)

Struktur Organisasi Metode Tim :

Kepala Ruangan

Ketua Tim Ketua Tim Ketua Tim

Anggota Anggota Anggota

Pasien/Klien Pasien/Klien Pasien/Klien


4. Metode Asuhan Keperawatan Primer

Keperawatan primer, dikembangkan pada akhir 1960-an. Dalam keperawatan

primer, perawat primer memikul tanggung jawab 24 jam untuk merencanakan perawatan

satu atau lebih pasien mulai dari masuk perawatan untuk keluar atau akhir perawatan.

Selama jam kerja, perawat utama memberikan perawatan langsung total untuk pasien itu.

Ketika perawat utama tidak bertugas, perawat asosiasi yang mengikuti rencana perawatan

yang ditetapkan oleh perawat primer untuk memberikan perawatan. ( Marquis. L. Bessie

2012)

Selain dapat meningkatkan kepuasan klien atas kualitas layanan asuhan

keperawatan, metode keperawatan primer juga dapat mendororng praktik kemandirian

perawat. Hal ini di tandai dengan adanya keterkaitan kuat dan terus menerus antara klien

dan perawatyang di beri tugan dalam merencanakan, malakukan dan berkoordinasi

dalam asuhan keperawatan selama klien di rawat. Perawat primer bertanggung jawab

untuk membangun komunikasi yang efektif antara klien, dokter, perawat pelaksana dan

anggota tim kesehatan lainnya. Pearwat primer harus mempunyai beberpa kriteria yang

berhubungan dengan kemampuannya, yaitu kemampuan asertif, self direction,

kemampuan mengambil keputusan yang tepat, menguasai keperawatan klinik, akuntabel,

serta mampu berkolaborasi dengan berbagai disiplin ilmu. Pada umumnya perawat

primer adalah perawat yang mempunyai spesialis daam klinik yang memiliki kualifikasi

master dalam keperawatan. (Suni, 2018)

Adapun metode ini mempunyai kekurangan dan kelebihan adalah keuntungan

yang dirasakan adalah pasien merasa dimanusiawikan karena terpenuhinya kebutuhan

secara individu. Selain itu, asuhan yang diberikan bermutu tinggi, dan tercapai pelayanan
yang efektif terhadap pengobatan, dukungan, proteksi, informasi, dan advokasi. Dokter

juga merasakan kepuasan dengan model primer karena senantiasa mendapatkan informasi

tentang kondisi pasien yang selalu diperbarui dan komprehensif.

Kelemahannya adalah hanya dapat dilakukan oleh perawat yang memiliki

pengalaman dan pengetahuan yang memadai dengan kriteria asertif, self direction,

kemampuan mengambil keputusan yang tepat, menguasai keperawatan klinis, penuh

pertimbangan, serta mampu berkolaborasi dengan berbagai disiplin ilmu. ( Nursalam

2014).

Struktur Organisasi Metode Primer :

Kepala
ruangan
Dokter
Sarana RS

Perawat
Primer

Pasien
Perawat Perawat
Pelaksana Pelaksana
( Evening) jika di
Perawat perlukan
Pelaksana
( Night)
B. Model Asuhan Keperawatan Terintegrasi

1. Practice partnerships

a. Definisi

Kemitraan adalah upaya yang melibatkan berbagai sektor, kelompok masyarakat,

lembaga pemerintah maupun non pemerintah, untuk bekerjasama dalam mencapai

suatu tujuan bersama berdasarkan kesepakatan prinsip dan peran masing-masing.

Dengan demikian untuk membangun kemitraan harus memenuhi beberapa

persyaratan yaitu persamaan perhatian, saling percaya dan saling menghormati, harus

saling menyadari pentingnya kemitraan, harus ada kesepekatan misi, visi, tujuan dan

nilai yang sama harus berpijak pada landasan yang sama, kesediaan untuk berkorban

(Yoder-Wise, P. S. 2011).

Partnership/kemitraan adalah hubungan yang terjalin antara profesi kesehatan dan

partnernya yaitu individu, keluarga dan masyarakat yang memiliki kekuatan atau

power, hubungan ini bersifat fleksibel, mengutamakan negosiasi, saling

menguntungkan dalam rangkaian proses perubahan dan meningkatkan kapasitas

dalam kemampuan individu, keluarga dan masyarakat untuk mencapai dan atau

memperbaiki kesehatan masyarakat (Eigti, Guire & Stone. 2002).

b. Syarat Kemitraan

1) Kesamaan perhatian ( common interest )

Dalam membangun kemitraan, masing-masing anggota harus merasa mempunyai

perhatian dan kepentingan bersama. Tanpa adanya perhatian dan kepentingan

yang sama terhadap suatu masalah niscaya kemitraan tidak akan terjadi. Sektor

kesehatan harus mampu menimbulkan perhatian terhadap masalah kesehatan bagi


sektor-sektor non kesehatan, dengan upaya-upaya informasi dan advokasi secara

intensif.

2) Saling mempercayai dan menghormati

Kepercayaan (trust) adalah modal dasar setiap relasi/hubungan antar manusia,

kesehatan harus mampu menimbulkan trust bagi partnernya.

3) Saling menyadari pentingnya arti kemitraan

Arti penting dari kemitraan adalah mewujudkan kebersamaan antar anggota untuk

menghasilkan sesuatu yang menuju ke perbaikan kesehatan masyarakat pada

khususnya, kesejahteraan masyarakat pada umumnya.

4) Kesepakatan visi, misi, tujuan dan nilai

Visi, misi, tujuan dan nilai tentang kesehatan perlu disepakati bersama, dan akan

sangat memudahkan untuk timbulnya komitmen bersama untuk menanggulangi

masalah kesehatan bersama, hal ini harus meliputi semua tingkatan organisasi

sampai petugas lapangan.

c. Prinsip Kemitraan

1) Saling menguntungkan (mutual benefit)

Saling menguntungkan disini bukan hanya materi tetapi juga non materi, yaitu

dilihat dari kebersamaan atau sinergisme dalam mencapai tujuan.

2) Pendekatan berorientasi hasil

Tindakan kemanusiaan yang efektif harus didasari pada realitas dan berorientasi

pada tindakan. Hal ini membutuhkan koordinasi yang berorientasi hasil dan

berbasis pada kemampuan efektif dan kapasitas operasional yang konkrit.

3) Keterbukaan (transparansi)
Apa yang menjadi kelebihan dan kekurangan masing-masing anggota mitra harus

diketahui oleh anggota yang lain. Transparansi dicapai melalui dialog (pada

tingkat yang setara) dengan menekankan konsultasi dan pembagian informasi

terlebih dahulu. Komunikasi dan transparansi, termasuk transparansi finansial,

membantu meningkatkan kepercayaan antar organisasi.

4) Kesetaraan

Masing-masing pihak yang bermitra harus merasa duduk sama rendah dan berdiri

sama tinggi, tidak boleh satu anggota memaksakan kehendak kepada yang lain.

Kesetaraan membutuhkan rasa saling menghormati antar anggota kemitraan tanpa

melihat besaran dan kekuatan. Para peserta harus saling menghormati serta

memahami keterbatasan dan komitmen yang dimiliki satu sama lain. Sikap saling

menghormati tidak menghalangi masing-masing olrganisasi untuk terlibat dalam

pertukaran pendapat yang konstruktif.

5) Tanggung Jawab

Organisasi kemanusiaan memiliki tanggung jawab etis terhadap satu sama lain

dalam menempuh tugas-tugasnya secara bertanggung jawab dengan integritas dan

cara yang relevan dan tepat. Organisasi kemanusiaan harus meyakinkan bahwa

mereka hanya akan berkomitmen terhadap sesuatu kegiatan ketika mereka

memang memiliki alat, kompetensi, keahlian dan kapasitas untuk mewujudkan

komitmen tersebut. Pencegahan yang tegas dan jelas terhadap penyelewengan

yang dilakukan oleh para pekerja kemanusiaan harus menjadi usaha yang

berkelanjutan.

6) Saling melengkapi
Keragaman dari komunitas kemanusiaan adalah sebuah aset bila dibangun atas

kelebihan-kelebihan komparatif dan saling melengkapi kontribusi yang satu

dengan yang lain. Kapasitas lokal adalah salah satu aset penting untuk

ditingkatkan dan menjadi dasar pengembangan. Ketika memungkinkan,

organisasi-organisasi kemanusiaan harus berjuang untuk menjadikan aset lokal

sebagai bagian integral dari tindakan tanggap darurat dimana hambatan budaya

dan bahasa harus diatasi.

d. Model Kemitraan

Menurut (Efendi, 2009) terdapat lima model kemitraan yang cenderung

dapat dipahami sebagai sebuah ideologi kemitraan, sebab model tersebut merupakan

azas dan nafas kita dalam membangun kemitraan dengan anggota masyarakat lainnya.

Model kemitraan tersebut antara lain:

1) Kepemimpinan (manageralism) (Rees, 2005),

2) Pluralisme baru (new-pluralism),

3) Radikalisme berorientasi pada negara (state-oriented radicalism),

4) Kewirausahaan (entrepreneurialism) dan

5) Membangun gerakan (movement-building) (Batsler dan Randall, 1992).

e. Practice Partnership (Praktik Kemitraan) Perawat Dengan Teman Sejawat Dan

Tenaga Kesehatan Lainnya.

Kemitraan antara tenaga kesehatan sudah ada selama ini walaupun kemitraan

yang ada belum sebagai “mitra”tetapi perawat sering masih dianggap sebagai

pembantu. Maka dari itu perawat harus berubah ke yang lebih baik terutama untuk

ilmu keperawatan dan praktik keperawatan. Keperawatan dapat dilihat dari berbagai
aspek, antara lain keperawatan sebagai bentuk asuhan profesional kepada masyarakat,

keperawatan sebagai ilmupengetahuan dan teknologi (iptek), serta keperawatan

sebagai kelompok masyarakat ilmuwan dan kelompok masyarakat profesional.

Dengan terjadinya perubahan atau pergeseran dari berbagai faktor yang memengaruhi

keperawatan, akan berdampak pada perubahan dalam pelayanan/asuhan keperawatan,

perkembangan Iptek keperawatan, maupun perubahan dalam masyarakat

keperawatan, baik sebagai masyarakat ilmuwan maupun sebagai masyarakat

professional (Nursalam, 2015).

Prinsip melakukan aktivitas/pemberian asuhan keperawatan adalah harus dapat

bekerja sama dengan teman sejawat dan tenaga kesehatan lainnya, khususnya tim

medis sebagai mitra kerja dalam memberikan asuhan kepada pasien. Aktivitas

tersebut harus ditunjang dengan menunjukkan kesungguhan, empati, dan sikap

bertanggung jawab terhadap setiap tugas yang diemban. Hal ini diperlukan pada saat

ini dan masa yang akan datang dalam upaya mewujudkan jati diri perawat dan

menghilangkan masa lalu keperawatan yang hanya bekerja seperti robot dan berada

pada posisi inferior dari tim kesehatan lainnya (Nursalam, 2015).

American Medical Asosiason (AMA), (1994) mengemukakan bahwa

kolaborasi (praktek kemitraan) adalah proses dimana dokter dan perawat

merencanakan dan praktik bersama sebagai kolega, bekerja saling ketergantungan

dalam batas-batas lingkup praktik mereka dan saling mengakui dan menghargai setiap

orang yang berkontribusi untuk merawat individu, keluarga dan masyarakat.

Di Indonesia salah satu intervensi keperawatan yang belum banyak digali

adalah kemampuan keperawatan komunitas dalam membangun jejaring kemitraan di


masyarakat. Padahal membina dan bekerjasama dengan elemen lain dalam

masyarakat merupakan salah satu pendekatan yang memiliki pengaruh signifikan

pada keberhasilan program pengembangan kesehatan masyarakat (Efendi, 2009).

2. Case Management

Manajemen kasus (Case Management) adalah strategi intervensi yang

digunakan oleh beberapa penyedia layanan kesehatan dan sistem untuk menganjurkan

klien, penyampaian layanan kesehatan, dan memfasilitasi hasil dari biaya dan kualitas.

Berawal dari tekanan untuk penahanan biaya, dan kemudian dinilai untuk pengendalian

kualitas di tengah kesalahan medis yang mengkhawatirkan, CM terlihat oleh rencana

kesehatan, dan kemudian rumah sakit, sebagai solusi utama untuk masalah misi dan

margin yang serius. Sebelumnya digunakan sebagai strategi dalam pelayanan sosial,

rehabilitasi, dan kesehatan masyarakat, pada tahun 1990-an (Hubber, 2010).

a. Definisi

Pengertian dari manajemen kasus menurut American Case Management

Association (AMCA) adalah pengelolaan kasus di rumah sakit dan sistem pelayanan

kesehatan adalah model praktik kolaboratif yang mencakup pasien, perawat, pekerja

sosial, dokter, tenaga kese-hatan, dan komunitas. Pengelolaan kasus ini mencakup

komunikasi dan memfasilitasi pelayanan menjadi satu kontinum melalui koordinasi

sumber daya yang efektif. Tujuan pengelolaan kasus mencakup pencapaian

kesehatan optimal. Akses ke pelayanan kesehatan, dan utilisasi sumber daya yang

tepat, seimbang dengan hak pasien untuk menentukan nasibnya sendiri (ACMA,

2013). Case management merupakan sebuah strategi intervensi yang digunakan oleh

penyedia dan sistem layanan kesehatan untuk menyokong klien, mengkordinasikan


layanan kesehatan, dan memfasilitasi hasil baik dalam harga maupun kualitas (Huber,

2010).

b. Komponen proses manajemen kasus (Case Management)

Case management dilakukan dalam bidang etika dan hukum dari praktik case

manager, menggunakan cara berpikir kritis dan pengetahuan berbasis bukti. Case

management bersifat tidak linier atau latihan satu arah. Misalnya, tanggung jawab

untuk pengkajian akan terjadi pada semua titik dalam proses, dan fungsi seperti

fasilitasi, koordinasi, dan kolaborasi selama perawatan kesehatan klien. Langkah

utama dalam case management meliputi (Powell & Tahan, 2008) :

1) Identifikasi klien dan seleksi :

Langkah pertama yakni fokus pada identifikasi klien yang akan mendapatkan

manfaat dari layanan case management. Langkah ini termasuk pada proses

memperoleh persetujuan untuk layanan case management jika sesuai.

2) Pengkajian dan identifikasi masalah/kesempatan

Langkah kedua dimulai setelah pemilihan klien case management di tahap

pertama selesai. Proses ini dilakukan secara bertahap selama kasus berlangsung.

3) Pengembangan rencana case management

Langkah ketiga yakni menetapkan tujuan dari intervensi dan memprioritaskan

kebutuhan klien, begitu pula dalam menentukan jenis layanan dan sumber daya

yang tersedia dalam rangka memenuhi tujuan atau hasil yang diinginkan klien.

4) Pelaksanaan dan koordinasi kegiatan perawatan

Langkah keempat yakni menempatkan rencana case management ke dalam

tindakan atau tahap implementasi dari perencanaan sebelumnya.


5) Evaluasi rencana case management dan tindak lanjut

Langkah kelima ini berupa evaluasi yang melibatkan evaluasi status klien dan

tujuan serta hasil terkait.

6) Pemutusan proses case management

Langkah terakhir ini mengindikasikan bahwa fase sakitnya klien telah

berakhir. Proses ini berfokus pada menghentikan case management ketika transisi

klien ke level fungsi tertinggi, pencapaian hasil terbaik, atau berubahnya

kebutuha/ keinginan klien (Whitaker, 2010 dalam Aeni, 2014).

c. Pelaksanaan Manajemen Kasus

Empat prinsip dasar panduan keperawatan manajemen kasus :

1) Koordinasi dan integrasi rangkaian perawatan holistik

2) Promosi dan pelestarian kesehatan melalui masa transisi dan risiko

3) Konservasi dan alokasi sumber daya yang langka

4) Penyediaan perawatan lanjutan yang melacak dan membimbing pengiriman

layanan selama jangka panjang dan melintasi episode dan setting.

Koordinasi dan kontinuitas adalah kunci untuk mengelola perawatan melalui

rangkaian perawatan kesehatan dan lintas batas organisasi. Dengan demikian

perawatan harus dikelola dengan hati-hati di setiap area atau unit dan antara area

perawatan kesehatan. Manajemen kasus berfokus pada kontinuitas penyedia

Perawatan yang dikelola berfokus pada kelangsungan rencana. Keduanya harus

diintegrasikan ke dalam sistem pengiriman perawatan dengan menggunakan

perspektif sistem (Falk & Bower, 1994 dalam Hubber, 2010)


d. Implementasi di Indonesia

Pertanyaan yang relevan diajukan di Indonesia adalah apakah pengelolaan kasus

oleh pengelola kasus ini benar dapat meningkatkan mutu pelayanan dan berkontribusi

pada pendapatan rumah sakit ? Jawabannya belum bisa disimpulkan pada saat ini,

karena konsep pelayanan pengelolaan kasus ini belum dilakukan di sebagian besar

rumah sakit di Indonesia. Beberapa rumah sakit pendidikan dan rumah sakit besar

yang melakukannya itupun terbatas pada kriteria tertentu yang masih sangat khusus

misalnya pasien Jamkesmas, pasien kanker, dan pasien dengan kasus high risk dan

high cost (Datusanantyo, 2013).

3. Critical Pathways

Critical Pathways atau yang biasa dikenal dengan Integrasi clinical pathway adalah

resimen pengobatan termasuk fungsi bergantung waktu yang digunakan untuk

menstandarisasi proses perawatan selama kurun waktu pengobatan. Jalur kritis adalah

alat praktik terbaik untuk mengatur dan mengintegrasikan berbagai tingkat perawatan

kesehatan yang dilakukan oleh penyedia layanan dari sejumlah disiplin ilmu.

a. Defenisi Integrasi Clinical Pathway

Wilson (1995) mendefinisikan “care pathway” sebagai proses multidisiplin yang

berfokus pada perawatan pasien, yang terjadi tepat waktu untuk menghasilkan hasil

terbaik yang telah ditentukan, dalam sumber daya dan kegiatan yang tersedia, untuk

sebuah episode perawatan yang tepat.

Jhonson (1997) memperkenalkan ide menggunakan ICP sebagai alat untuk

meningkatkan kualitas dan mendefinisikan ICP sebagai semua elemen perawatan dan

pengobatan yang diantisipasi dari semua anggota tim multidisiplin, bagi pasien
dengan kasus tertentu dalam jangka waktu yang disepakati untuk pencapaian outcome

yang telah disepakati.

Sedangkan menurut Middleton (2000), ICP harus mencakup serangkaian

intervensi yang diharapkan, ditempatkan dalam kerangka waktu yang tepat, ditulis

dan disepakati oleh tim multidisiplin, untuk membantu pasien dengan kondisi tertentu

melalui diagnosis pengalaman klinis untuk hasil yang positif. Clinical pathway adalah

alur yang menunjukkan secara detail tahap-tahap penting dari pelayanan kesehatan

termasuk hasil yang diharapkan. Secara sederhana dapat dibilang bahwa clinical

pathway adalah sebuah alur yang menggambarkan proses mulai saat penerimaan

pasien hingga pemulangan pasien. Clinical pathway menyediakan standar pelayanan

minimal dan memastikan bahwa pelayanan tersebut tidak terlupakan dan

dilaksanakan tepat waktu. Clinical pathway memiliki banyak nama lain seperti:

Critical care pathway, Integrated care pathway, Coordinated care pathway, Caremaps

(alur perawatan, alur kritis, alur perawatan terintegrasi atau peta perawatan).

b. Prinsip dalam penyusunan crinical pathway

Dalam membuat Clinical Pathways penanganan kasus pasien rawat inap di rumah

sakit harus bersifat :

1) Seluruh kegiatan pelayanan yang diberikan harus secara terpadu/integrasi dan

berorientasi fokus terhadap pasien (patient focused care)

serta berkesinambungan (continuing of care).

2) Melibatkan seluruh profesi (dokter, perawat/bidan, penata, laboratoris dan

farmasi)
3) Dalam batasan waktu yang telah ditentukan sesuai dengan keadaan perjalanan

penyakit pasien dan dicatat dalam bentuk periode harian (untuk kasus rawat inap)

atau jam (untuk kasus gawat darurat di unit emergensi).

4) Pencatatan CP seluruh kegiatan pelayanan yang diberikan kepada pasien secara

terpadu dan berkesinambungan tersebut dalam bentuk dokumen yang merupakan

bagian dari Rekam Medis.

5) Setiap penyimpangan langkah dalam penerapan CP dicatat sebagai varians dan

dilakukan kajian analisis dalam bentuk audit.

6) Varians tersebut dapat terjadi karena kondisi perjalanan penyakit, penyakit

penyerta atau komplikasi maupun kesalahan medis (medical errors) dan

dipergunakan sebagai salah satu parameter dalam rangka mempertahankan dan

meningkatkan mutu pelayanan. Pada akhirnya CP dapat merupakan suatu Standar

Prosedur Operasional yang merangkum:

 Profesi medis: Standar Pelayanan Medis dari setiap kelompok staf medis/staf

medis fungsional (SMF)klinis dan penunjang.

 Profesi keperawatan: asuhan keperawatan

 Profesi farmasi: unit dose daily dan stop ordering

 Alur Pelayanan Pasien Rawat Inap dan Operasi dari Sistem Kelompok Staf

Medis/Staf Medis Fungsional (SMF), Instalasi dan Sistem Manajemen Rumah

Sakit.

c. Langkah- angkah penyusunan Clinical Pathway

Langkah langkah dalam menyusun Format CP yang harus diperhatikan :

1) Komponen yang harus dicakup sebagaimana definisi dari Clinical Pathways


2) Manfaatkan data yang telah ada di rumah sakit data Laporan RL2 (data keadaan

morbiditas pasien) yang dibuat setiap rumah sakit berdasarkan Buku Petunjuk

Pengisian, Pengolahan dan Penyajian Data Rumah Sakit dan sensus harian untuk

penetapan judul/topik Clinical Pathways yang akan dibuat dan penetapan lama

hari rawat.

3) Untuk variabel tindakan dan obat-obatan mengacu pada Standar Pelayanan Medis,

Standar Prosedur Operasional dan Daftar Standar Formularium yang telah ada di

rumah sakit setempat. Bila perlu standar-standar tersebut dapat dilakukan revisi.

4) Pergunakan Buku ICD 10 untuk hal kodefikasi diagnosis dan ICD 9 CM untuk

hal tindakan prosedur sesuai dengan profesi/SMF masing masing.

d. Karakteristik Clinical Pathway

Menurut International Journal of Care Pathways (Panella & Vanhaecht, 2010),

karakteristik Clinical Pathway/Care Pathways terdiri dari sebuah pernyataan tujuan

dan “key elements” dari care based on evidence, best practice, dan harapan pasien

dan karakteristik semuanya, memfasilitasi komunikasi diantara anggota tim dengan

pasien dan keluarga, mengkoordinasikan proses perawatan dengan peran koordinasi

dan rangkaian aktifitas tim perawatan multidisiplin, pasien dan keluarganya.

Komponen yang ada di Clinical Pathway/ Care Pathways, terdiri dari :

1) The Pathway: Paparan visual tentang intervensi spesifik yang harus dikerjakan

pada waktu tertentu

2) Variance Sheet: Formulir yang berisi: tanggal, masalah varians yang terjadi,

intervensi, outcome, dan tanda tangan.


3) Practice Guidelines: uraian rinci langkah kegiatan yang harus dilaksanakan dari

pathway

e. Penerapan Integrasi Clinical Pathway (ICP)

1) Keputusan untuk mengembangkan Adanya keputusan untuk mengembangkan ICP

tergantung dari area klinis yang menjadi prioritas. Karena untuk mengembangkan

ICP perlu kesepakatan multidisiplin.

2) Identifikasi stakeholder dan pimpinan Stakeholder adalah semua pihak yang tekait

dengan pengembangan ICP dan outcomenya. Stakeholder ini bisa berupa internal

stakeholder seperti user (pasien, tim multidisiplin, perawat primer) dan external

stakeholder seperti asuransi, organisasi profesi, dan lain-lain.

3) Identifikasi pimpinan dan tim yang bertanggungjawab Juga penting untuk

membentuk tim ICP yang mendorong dan mempertahankan proses perubahan.

4) Proses mapping : Proses mapping akan menghasilkan sebuah peta perjalanan

pasien berdasarkan berbagai perspektif. Dari peta ini tim multidisiplin dapat

mengkaji masalah dan langkah-langkah yang akan dipakai. Proses mapping

merupakan tahap yang paling penting.

5) Audit awal dan pengumpulan data : Audit awal untuk ICP harus dilakukansebagai

permulaan project. Hasil yang didapat tidak hanya mengidentifikasikan adanya

gap dalam pelayanan, tetapi juga sebagai evaluasi dasar ICP.

6) Pengembangan isi ICP : ICP harus berisi 4 hal yaitu kegiatan dalam bentuk

elemen rencana perawatan, detail alat yang dibutuhkan seperti grafik

keseimbangan cairan, hasil yang harus dicapai misalnya dicapai dengan target

hari rawat, dan pelacakan variasi sebagai elemen unik dari ICP. Isi klinis ICP
tidak dapat didikte, hal ini akan ditentukan oleh tim dengan keahlian dalam

mengelola kelompok tertentu dari pasien, dan untuk siapa dokumen ini dirancang.

7) Pilot project dan implementasi : Komunikasi yang kuat dan rencana pendidikan

sangat penting untuk pendukung sukses proyek ICP.Tujuan komunikasi dan

pendidikan adalah untuk memastikan bahwa pesan yang tepat disampaikan

kepada orang-orang yang tepat, dengan cara dan tempat yang tepat.

8) Review ICP secara teratur Ketika meninjau ulang (mereview) ICP harus

difokuskan kepada 3 pertanyan utama yaitu:

a) Penyelesaian ICP : Apakah ICP digunakan pada kasus yang tepat? Apakah

ada informasi yang hilang? Apakah staf memerlukan catatan sampingan yang

tidak ada dalam ICP?

b) Jenis variasi yang dicatat Apakah variasi yang ada dicatat? Apakah staf paham

bagaimana mencatat variasi tersebut?

c) Kepuasan staf Dapat dilakukan menggunakan kuesioner, tren apa yang

terlihat?

f. Kelebihan dan Kekurangan penggunaan ICP

Kelebihan Penggunaan ICP Banyak rumah sakit mulai menerapkan ICP dalam

pemberian pelayanan kesehatan kepada pasien, karena penggunaan ICP memiliki

kelebihan antara lain sebagai berikut :

1) ICP merupakan format pendokumentasian multidisiplin. Format ini dapat

memberikan efisiensi dalam pencatatan, dimana tidak terjadi pengulangan atau

duplikasi penulisan, sehingga kemungkinan salah komunikasi dalam tim

kesehatan yang merawat pasien dapat dihindarkan.


2) Meningkatkan peran dan komunikasi dalam tim multidisiplin sehingga masing –

masing anggota tim termotivasi dalam peningkatan pengetahuan dan kompetensi.

3) Terdapat standarisasi outcome sesuai lamanya hari rawat, sehingga akan tercapai

effective cost dalam perawatan.

4) Dapat meningkatkan kepuasan pasien karena pelaksanaan discharge planning

kepada pasien lebih jelas.

Selain mempunyai kelebihan dalam penggunaan ICP, perlu dicermati juga

kekurangan yang ditemui dalam penerapan format ICP ini, antara lain sebagai

berikut:

1) Dokumentasi ICP ini membutuhkan waktu yang relative lama dalam

pembentukan dan pengembangannya.

2) Tidak terlihat proses keperawatan secara jelas karena harus menyesuaikan dengan

tahap perencanan medis, pengobatan, dan pemeriksaan penunjang lainnya.

3) Format dokumentasi hanya digunakan untuk masalah spesifik, contoh format ICP

untuk bedah tulang tidak dapat digunakan untuk unit bedah syaraf. Sehingga akan

banyak sekali format yang harus dihasilkan untuk seluruh pelayanan yang

tersedia.

4. Differentiated Practice

National League for Nursing (NLN) dalam kozier et al., (1995) menjelaskan

bahwa differentiated practice adalah suatu pendekatan yang bertujuan menjamin mutu

asuhan melalui pemanfaatan sumber-sumber keperawatan yang tepat. Terdapat dua

model yaitu model kompetensi dan model pendidikan. Pada model kompetensi, perawat

terdaftar (registered nurse) diberi tugas berdasarkan tanggung jawab dan struktur peran
yang sesuai dengan kemampuannya. Pada model pendidikan, penetapan tugas

keperawatan didasarkan pada tingkat pendidikan. Bedasarkan pendidikan, perawat akan

ditetapkan apa yang menjadi tnggung jawab setiap perawat dan bagaimana hubungan

antar tenaga tersebut diatur (Sitorus, 2006).

Differentiated practice mengacu pada filosofi yang menyusun peran dan fungsi

perawat sesuai dengan pendidikan, pengalaman, dan kompetensi (Boston, 1990). Sistem

Differentiated practice membagi tanggung jawab kerja dari perawatan klien di tiga peran

keperawatan yang berbeda: (1) perawat ADN memberikan asuhan keperawatan untuk

klien selama periode kerja tertentu m dalam pengaturan terstruktur dan/atau lingkungan

situasional dimana kebijakan dan prosedur penyediaan perawatan kesehatan ditetapkan;

(2) perawat BSN mengenalkan perawatan kesehatan untuk klien dari penyampaian

pascabayar dan fungsi dalam lingkungan geografis dan/atau situasional terstruktur dan

tidak terstruktur yang mungkin tidak memiliki kebijakan dan prosedur yang ditetapkan,

dengan menggunakan penilaian keperawatan independen saat mengintegrasikan

kesehatan; dan (3) perawat MSN menyediakan kepemimpinan yang mempromosikan

hasil dan fungsi klien/perawatan holistik secara holistik dalam berbagai orientasi waktu

dan pengaturan dengan batasan dinamis, dengan menggunakan pertimbangan

keperawatan independen berdasarkan teori, pencarian, dan pengetahuan khusus.

Kompetensi sampel meliputi:

a. Penyediaan Care

1) ADN: Pantau dan evaluasi tanggapan pasien segera terhadap perawatan dan

perawatan medis. Contoh: Berikan obat sakit sesuai dan tentukan respon klien dan

dokumen secara jelas.


2) BSN: Pantau, evaluasi, dan tren tanggapan pasien terhadap perawatan dan

perawatan medis selama tinggal di rumah sakit. Contoh: Beritahu dokter bahwa

klien telah menerima pengobatan narkotika selama 3 hari dan perhatikan

frekuensi pemberian obat nyeri dan sarankan perubahan dosis atau agen sesuai

kondisi pasien.

3) MSN: Analisis sistem pengiriman dan perawatan klien melalui penggunaan

kerangka teoritis untuk mempromosikan penyampaian perawatan holistik.

Contoh: Terapkan teori Newman (Newman, 1986) untuk mengidentifikasi

respons pola hidup klien terhadap rasa sakit dan stres, memasukkan temuan ke

dalam rencana jangka panjang untuk manajemen nyeri kronis.

b. Komunikasi

1) ADN: Terapkan interaksi yang diarahkan pada tujuan untuk mendorong ekspresi

kebutuhan sambil mendukung perilaku koping yang aman. Contoh: Berikan

pengalihan frustrasi yang dialami remaja laki-laki saat dirawat di rumah sakit

yang berkepanjangan melalui pengalihan dan dialog yang tepat.

2) BSN: Memfasilitasi interaksi yang diarahkan pada sasaran untuk mempromosikan

mekanisme penanganan jangka panjang yang efektif dan perubahan gaya hidup.

Contoh: Tidak ada riwayat keluarga penyakit koroner dan kanker, rencanakan

pengajaran klien tentang diet kolesterol dan pemeriksaan diri saat dirawat di

rumah sakit.

3) MSN: Menampilkan kepemimpinan dalam penilaian, pengembangan, dan

penerapan strategi pengajaran dan konseling dalam situasi yang kompleks.

Contoh: Saat menemukan populasi berisiko (kanker testis remaja), susun


sekelompok perawat yang berminat dan pimpin pengembangan program

pemeriksaan mandiri dan strategi pelaksanaannya.

c. Pengelolaan

1) ADN: Bernegosiasi dengan klien untuk menetapkan tujuan jangka pendek yang

sesuai dengan keseluruhan rencana perawatan. Contoh: Pantau asupan makanan

dari pasien diabetes yang baru didiagnosis dan mengkorelasikan pemberian

insulin ke tingkat gula darah.

2) BSN: Gunakan pandangan ke depan untuk menegosiasikan tujuan jangka panjang

dengan klien dalam mengembangkan rencana perawatan holistik. Contoh: Jika

penderita diabetes adalah orang Amerika dengan pilihan makanan khas budaya,

bantulah modifikasi pengajaran diatur untuk mengatasi kebutuhan dan preferensi

ini.

3) MSN: Evaluasi keefektifan dan efisiensi sistem melalui pemantauan hasil klien.

Contoh: Jika orang Amerika asli penderita diabetes adalah wanita hamil, kasus

tersebut mengatur perawatannya pada reservasi untuk memastikan hasil yang

sehat bagi ibu dan bayi.

5. Patient Centered Care

a. Definisi

Patient centered care adalah mengelola pasien dengan merujuk dan menghargai

individu pasien meliputi preferensi, keperluan, nilai-nilai, dan memastikan bahwa

semua pengambilan keputusan klinik telah mempertimbangkan dari semua nilai-nilai

yang diingini pasien.


Patient centred care didefinisikan sebagai sebagai perawatan yang menghormati

dan responsif terhadap individu preferensi pasien, kebutuhan dan nilai-nilai, dan

memastikan bahwa nilai-nilai pasien memandu semua keputusan klinis.

b. Prinsip Patient Centered Care

Pelayanan dokter keluarga yang berpusat pada pasien pada prinsipnya adalah

memberikan pelayanan multidimensi pada manusia yang menderita sakit atau

berisiko sakit dengan tujuan menyelesaikan permasalahan pasien dalam

polakemitraan.

Patient Centered Care setelah sekian lama dilupakan, kini menjadi concern serius

dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan. Dahulu, dokter adalah captainof the

ship yang menjadi center dalam segala hal yang terkait dengan pengambilan

keputusan dan tanggung jawab dalam pelayanan kesehatan kepada pasien.

Perubahan paradigma ini tidak lain bertujuan untuk mendapatkan outcomes

pelayanan kesehatan yang lebih baik, pegalokasian semberdaya yang tepat, dan

mencapai kepuasaan pasien dan keluarga yang lebih besar.

Hal penting dari Patient Centered Care adalah sebagai berikut :

1) Martabat dan kehormatan

Tenaga kesehatan mendengarkan dan menghormati pilihan pasien.

Pengetahuan, nilai-nilai yang dianut, dan backround budaya pasien ikut berperan

penting selama perawatan pasien dan menentukan outcome pelayanan kesehatan

kepada pasien.
2) Information Sharing

Tenaga kesehatan mengkomunikasikan dan menginformasikan secara

lengkap mengenai kondisi pasien dan hal-hal yang berkaitan dengan pasien,

maupun program perawatan dan intervensi yang akan diberikan kepada pasien.

Memberikan Informasi secara lengkap dapat membantu dalam perawatan pasien

dan pembuatan keputusan.

c. Penerapan Patient Centered Care

Dalam metode asuhan pasien, perawat pun wajib melakukan edukasi, bukan

hanya berorientasi pada pengobatan. Namun, perawat tentunya harus memahami

bahwa pasiennya sangat heterogen, baik itu dalam pengetahuannya, tingkat

pendidikan hingga latar belakang ekonomi. Langkah-langkahnya adalah, metode

assessment untuk mengetahui kedalaman pengetahuan pasien, lalu setelah diberi tahu

kemudian konfirmasi kembali apakah mereka sudah paham atau belum.

Nutritio
nist

Radiolo
Nurse
gy

Patient
Pharma
Doctor
cy

Behavio
Doctor ral
Specialis Health
t Specialis
t
6. Clinical macrosystems

Clinical Microsystems merupakan sekelompok professional yang bekerja sama secara

teratur atau bila diperlukan untuk memberikan perhatian terhadap pasien. Tujuan terkait

proses perawatan yaitu menghasikan layanan perawatan yang terukur dan dimanfaatkan

sebagai hasil kinerja. Sistem ini berevolusi dari waktu ke waktu dan tertanam dalam

sistem yang lebih besar. Mereka adalah sistem adaptif yangkompleks,oleh karena itu

mereka harus melakukan pekerjaan utama yang terkait dengan tujuan inti. Mikrosistem

klinis adalah unit klinis terkecil yang dapat direplikasi yang memberikan perawatan

kepada pasien.

Clinical Mesosystems merupakan perhubungan mikrosistem yang secara bersama

memindahkan dari unit yang berbeda ke tempat yang mendukung pasien selama

perawatan. Clinical macrosystem merupakan paduan antara microsystem dan

mesosystems. Wadah yang menampung mikro dan mesosystems ( Likosky, 2014).

Menyatukan makrosistem, mesosistem dan mikrosistem dalam pengembangan

keselarasan, kemampuan dan akuntabilitas untuk memadukan kerjasama di semuatingkat

dalam organisasi rumah sakit. Infrastruktur organisasi dikembangkan secara strategis

untuk mendukung peningkatan sistem, adapun tindakan yang berdasarkan pengalaman

organisasi yang bisa di aplikasikan, yaitu sebagai berikut ( Godfrey, 2008);

1) Macrosystem

Mendesain ulang infrastruktur untuk mendukung strategi misalnya sistem informasi

klinis, rekam medis.

 Strategi dan anggaran organisasi sebagai prioritas utama dalam pelayanan yang

tinggi
 Keterlibatan pemimpin; bagaimana mereka mendukung usaha dan

mempromosikan perubahan dan mengharapkan pengembangan staf

 Kolaborasi petugas pelayanan kesehatan

 Pemimpin memberikan pengawasan dan memantau kemajuan sistem dan

mengidentifikasi hambatan dan kesulitan yang ada

 Merencanakan proses perbaikan disemua tingkat

 Menetapkan seperangkat tujuan strategis yang menjangkau sistem meso-makro

dengan tujuan kesempurnaan

 Meningkatkan keterampilan dan pengeahuan tim

 Memberi dukungan dan kesempatan untuk melakukan benchmarking dan

kesempatan melanjutkan studi

 Melibatkan alhi eksternal untuk merangsang dan mendukung strategi perbaikan

 Menetapkan model dan bahasa yang digunakan di seluruh organisasi

 Mengembangkan “Quality College” untuk terus mendukung pengembangan

organisasi.

2) Micro-Meso-Macrosystem

Mengembangkan sistem data secara jelas dengan menunjukkan kemajuan menuju

sasaran strategis di tingkat mikro/meso/makro.

 Memprioritaskan tujuan pada tingkat mikrosistem sebagai proses berulang

 Mengembangkan rencana dengan memperluas jumlah tim yang mengerjakan

pengembangan sistem mikro

 Mengembangkan rencana komunikasi multimedia untuk mencapai semua tingkat

 Mengembangkan sumber daya manusia


3) Microsystem

 Menetapkan pemimpin untuk semua mikrosistem klinis

 Melatih rekan pemimpin dan staf dalam meningkatkan sistem yang berfokus pada

tujuan utama

 Melibatkan pasien dan keluarga dalam meningkatkan strategis pelayanan.

7. Other Innovative Systems

Sistem inovasi pada dasarnya merupakan suatu kesatuan dari sehimpunan

kelembagaan, jaringan, hubungan, interaksi dan proses produktif yang mempengaruhi

arah perkembangan dan kecepatan inovasi dan difusinya (termasuk teknologi dan praktik

baik/terbaik), serta proses pembelajaran (Mulyani, 2016).

Sistem inovasi informasi keperawatan adalah kombinasi ilmu komputer, ilmu

informasi dan ilmu keperawatan yang disusun untuk memudahkan manajemen dan proses

pengambilan informasi dan pengetahuan yang digunakan untuk mendukung pelaksanaan

asuhan keperawatan. Menurut (Dickerson et all., 2010) bahwa menjembatani gap

informasi untuk menjamin keberlangsungan pelayanan keperawatan adalah suatu

komponen yang besar dari peran perawat.

Dokumentasi keperawatan yang berlaku di rumah sakit saat ini umumnya

dilakukan secara tertulis (paper based documentation).Metode ini mempunyai kelemahan

yaitu memerlukan waktu yang cukup lama untuk mengisi form yang tersedia,

membutuhkan biaya pencetakan form yang cukup mahal, sering hilang atau terselip,

memerlukan tempat penyimpanan yang luas dan menyulitkan pencarian kembali saat

diperlukan. Disamping itu masih banyak perawat yang belum menyadari bahwa tindakan

yang dilakukan harus dipertanggungjawabkan. Perawat juga banyak yang tidak tahu data
apa yang harus dimasukkan dan bagaimana dokumentasi keperawatan yang benar, untuk

itu perlu adanya inovasi pencatatan dengan menggunakan pencatatan berbasis elektronik.

Model asuhan keperawatan terintegrasi: other innovative system merupakan salah

satu trend inovasi yang paling diminati dalam pendokumentasian asuhan keperawatan

yaitu pencatatan dengan inovasi aplikasi sistem komputerisasi dalam sistem informasi di

Rumah Sakit meliputi seluruh kegiatan untuk mendokumentasikan keberadaan pasien

sejak pasien masuk Rumah Sakit sampai pulang, sejak registrasi, pengkajian data,

rencana pengobatan, rencana perawatan, rencana asuhan, pelaksanaan asuhan

keperawatan, laporan hasil pengobatan, klasifikasi pasien, dan catatan perkembangan

pasien.

Kemajuan sistem inovasi di bidang teknologi informasi ini memberikan

keuntungan yang besar bagi profesi keperawatan. Peran pemimpin perawat sangat

dibutuhkan untuk menjadikan teknologi informasi menjadi sangat berguna dalam

pelayanan keperawatan. Industri kesehatan terus dituntut untuk memiliki inovasi baru

dalam meningkatkan efektivitas pelayanan kesehatan. Karena itulah penerapan teknologi

informasi di bidang keperawatan sangat diperlukan dan terus dikembangkan agar dapat

meningkatkan kualitas asuhan keperawatan seoptimal mungkin. Proses

pendokumentasian yang efektif, efisien, akurat dan benar menjadi kunci pelaksanaan

proses keperawatan sehingga efektif dan efisien. Dengan mengadopsi catatan kesehatan

kesehatan electronic health record (EHR) / electronic nursing record (ENR) / electronic

medical record (EMR) / electronic patient record (EPR), maka proses pendokumentasian

akan efektif, efisien, akurat dan benar menjadi kunci pelaksanaan proses keperawatan

yang efektif dan efisien, dalam upaya meningkatkan perbaikan mutu. Dampak sistem
catatan kesehatan berbasis elektronik ini (EHR/ENR/EMR/EPR) adalah mencapai proses

perawatan yang lebih efektif. Kemajuan ini akan lebih jauh memperbaiki hasil/catatan

kesehatan dan mengurangi duplikasi, sehingga merampingkan alur kerja dan mengurangi

biaya (Joyce, 2010)

EHR/ENR/EMR/EPR adalah kumpulan sistematis informasi kesehatan pasien

berbasis elektronik yang terhubung dan terintegrasi dengan sistem informasi dalam

jejaring rumah sakit. Bermacam data dapat dimasukkan untuk mempermudah akses baik

oleh tim kesehatan maupun pasien, data tersebut meliputi data demografi, riwayat medis,

pengobatan, hasil uji laboratorium dan radiologi, proses keperawatan, discharge planning

dan bahkan informasi penagihan.

Menurut ( Joyce, 2010) Sistem EHR/ENR/EMR/EPR ini memberikan keuntungan

antara lain:

a. Penurunan biaya baik biaya oleh pasien maupun administrasi rumah sakit karena

semua tersimpan dalam sistem tanpa sheet

b. Meningkatkan kualitas pelayanan, pelaksanaan sistem ini akan membantu

mengurangi penderitaan pasien karena kesalahan medis dan ketidakmampuan para

analis untuk menilai suatu kualitas kesehatan

c. Mendukung bukti pengobatan, artinya pasien dengan leluasa mendapatkan

pengetahuan tentang praktik medis yang efektif

d. Menjaga catatan dan mobilitas pasien, dengan sistem ini akan mempermudah klien

mengakses seluruh kebutuhan bahkan sampai janji pengobatan dan perawatan serta

mengikuti suatu prosedur.

Sebagai suatu sistem, EHR/ENR/EMR/EPR ini mempunyai kerugian diantaranya:


a. Membutuhkan banyak waktu untuk memahami cara memasukkan data

b. Biaya banyak untuk menyediakan provider dan staf teknologi termasuk kemungkinan

menurunkan cost dokter dan perawat.

Menurut Joyce (2010) Kesuksesan mengadopsi teknologi informasi dan inovasi

bergantung pada manjemen yang mengerti pentingnya menciptakan sebuah pencatatan

kesehatan elektronik (EHR/ENR/EMR/EPR) yang berfokus pada pasien dengan

komitmen untuk menyediakan kualitas pelayanan yang bermutu.


BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan tujuan makalah ini maka dapat ditarik kesimpulan, antara lain :

1. Dengan adanya perubahan paradigma keperawatan dengan memusatkan pelayanan

kesehatan pada pasien berarti saat ini tidak lagi menempatkan pelayanan pada satu

profesi melainkan di butuhkan adanya integrasi asuhan dari berbagai profesi, oleh itu

dibutuhkan pula Model asuhan keperawatan terintegrasi yang akan digunakan dalam

proses pelayanan kesehatan di rumah sakit.

2. Asuhan keperawatan terintegrasi adalah suatu kegiatan tim yang terdiri dari dokter,

perawat/bidan, nutrisionis dan farmasi dalam melaksanakan asuhan yang terintegrasi

dalam satu lokasi rekam medis, yang dilaksanakan secara kolaborasi dari masing-masing

profesi.

3. Model Asuhan Keperawatan Tradisional & Terintegrasi ini apabila dikombinasikan di

dalam proses pelayanan keperawatan , maka akan membawa dampak yang positif bagi

pasien, keluarga, petugas, dan bagi organisasi rumah sakit. Walaupun demikian model

asuhan ini juga masih memiliki kekurangan.

B. Saran

1. Diharapkan bagi pembaca khususnya bagi perawat yang bekerja dirumah sakit setelah

mendapat informasi tentang model asuhan keperawatan terintegrasi ini dapat

mengadopsinya dan kelak dapat menerapkannya di rumah sakit.


2. Makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu diharapkan kepada para pembaca

untuk mencari referensi lain sebagai pembanding informasi mengenai model asuhan

keperawatan terintegrasi.
DAFTAR PUSTAKA

Aeni, W. N. (2014). Case manager. Jurnal Manajemen Keperawatan ., 2(2), 126–134.

Australian Commission on Safety and Quality in Health Care. (2011). Patien centred care:

Improving quality and safety through partnerships with patients and consumers,

ACSQHC, Sydney.

Datusanantyo, R. A. (2013). Case Manager : Profesi Baru di Rumah Sakit Indonesia. RAD

Journal, 11(8), 1–3.

Dickerson, Audrey. E., & Joyce, Sensmeier. (2010). Sharing data to ensure continuity of

care. Nursing Management Article.

Efendi, F. (2009). Keperawatan Kesehatan Komunitas (teori dan praktik dalam

keperawatan) (pertama). jakarta: Salemba medika.

Friedman, M. M. (1998), Keperawatan Keluarga; Teori dan Praktik; Jakarta: EGC.

Frelita, G, Situmorang TJ., Silitonga,D.S. (2011) Joint Commission International

Accreditation Standards for Hospitals, 4 th ed.Oakbrook Terrace, Illinois 60181

U.S.A. Hubber, D. L. (2010). Leadership and Nursing Care Management (4th

ed). Missouri: Elsevier Inc.

Godfrey, M. M., Melin, C. N., & Muething, S.E. (2008). Clinical Microsystems, Part 3.

Transformation of two hospitals using microsystem, mesosystem, and

macrosystem strategies. The Joint Commission Journal on Quality and Patient

Safety. 3 (10).

Hariyati, T. S. (2014). Perencanaan Pengembangan dan Utilisasu Tenaga

Keperawatan..Jakarta: Rajawali Pers.

Iyer Patricia W,. & Nancy, H. Camp. (2004).Dokumentasi Keperawatan , Jakarta: EGC.
Institute of Medicine, (2001). Crossing the Quality Chasm: A New Health System for the

Twenty-first Century. Washington: National Academies Press.

Kasim, F. (2010). Pengembangan Model Manajer Kasus dan Dampaknya Terhadap

Kepuasan dan Mutu Pelayanan Klinik di Rumah Sakit. Bandung: FK Unpad.

Longtin, Y., Sax, H., Leape, L. L., Sheridan, S. E., Donaldson, L., Pittet, D., (2010).

Patient Participation: Current Knowledge and Applicability to Patient Safety.

Mayo Clinic Proceedings; 85(1):53-62.

Likosky, D. S. (2014). Clinical Microsystems: A Critical Framework for Crossing the

Quality Chasm. Journal of Extra-corporeal Technolog. 46 (1) : 33 – 37.

McWhinney, I. R., & Freeman, T. (2009). Textbook of family medicine 3rd ed, Oxford

University Press, Inc,. pp 13 – 16.

Mulyani, S. (2016). Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit: Analisis dan Perancangan

. bandung: abdi sistematika.

Nursalam. (2014). Manajemen Keperawatan (3th ed.). jakarta: Penerbit Salemba Medika.

Nursalam. (2015). Manajemen Keperawatan (4th ed.). jakarta: Penerbit Salemba Medika.

Picker Institute Europe. (2014). Review of Evidence for Consumer Engagement diperoleh

dari www.investinegagment.info.

Schillinger, D., Piette, J., Grumbach, K., Wang, F., Wilson, C., Daher, C ., Leong-Grotz,

K., Castro, C., & Bindman, A. (2003). Closing the loop: physician

communication with diabetic patients who have low health literacy. Archives

Internal Medicine, 163 (1), 83-90.

Sutoto. (2015). Pedoman Penyusunan Panduan Praktik Klinis dan Clinical Pathway dalam

Asuhan Terintegrasi sesuai Standar Akreditasi Rumah Sakit. Jakarta.


Stewart, M. A . (1995). Effective physician-patient communication and health outcomes:

a review. Canadian Medical Association Journal, 152(9),1423-1433.

Sensmeier, Joyce. (2010). Meaningful use:Making IT matter.Ensure that the right clinical

data are captured in the right format at the point of care. IT Solutions.

Weiss, B. D. (2007). Health literacy and patient safety: help patients understand. A

Manual for Clinicians, 2nd ed. Chicago, IL: American Medical Association

Foundation and American Medical Association.

Yoder-Wise, P. S. (2011). Leading and Managing In Nursing (5th ed.). United States Of

America: Elsevier Inc.

Anda mungkin juga menyukai