Anda di halaman 1dari 12

RAMADHAN DENGAN POLA

KONSUMSI ISLAM

DI SUSUN OLEH :

DIAN KHOLIDA ELTARI (A1B114051)

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS MATARAM
BAB I

PENDAHULUAN

Dalam teori ekonomi, sebuah perekonomian akan berjalan jika unsur-unsur dalam
ekonomi berjalan dan saling memanfaatkan satu sama lain sebab pada prinsipnya manusia adalah
makhluk social yang saling ketergantungan antar sesama. Adanya produsen dikarenakan adanya
konsumen. Begitu pula adanya sesuatu yang dihasilkan karena adanya permintaan dari
masyarakat yang memerlukan, sebab konsumen adalah setiap pemakai atau pengguna barang
atau jasa baik untuk kepentingan diri sendiri dan atau kepentingan orang lain. Namun secara
sederhana dapat diartikan sebagai pengguna barang dan atau jasa, Masing-masing konsumen
merupakan pribadi unik dimana antara konsumen yang satu dengan yang lain memiliki
kebutuhan yang berbeda juga perilaku yang berbeda dalam memenuhi kebutuhannya. Namun,
dari perbedaan-perbedaan yang unik tersebut ada satu persamaan yakni setiap saat konsumen
akan berusaha untuk memaksimalkan kepuasannya pada saat mengkonsumsi suatu barang
ataupun jasa. Tingkat kepuasan yang diperoleh konsumen dalam mengkonsumsi barang disebut
dengan utilitas.

Kepuasan adalah hasrat yang tidak bisa diukur dengan nilai, masing-masing orang
memiliki cita rasa yang berbeda namun jika yang diinginkan terpenuhi maka akan menghasilkan
sebuah kepuasan tersendiri. Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin tidak membatasi
konsumsi umatnya. Islam hanya mengatur etika konsumsi sebagai wujud kebersinambungan
antara sang makhluk (hablu minan nas) dan antara sang tuhan (hablu minallah). Konsumsi pada
hakikatnya adalah mengeluarkan sesuatu dalam rangka memenuhi kebutuhan.

Page 2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Arti dan Tujuan Konsumsi Islam


Nilai ekonomi tertinggi dalam Islam adalah falah atau kebahagiaan umat di dunia dan
di akhirat yang meliputi material, spritual, individual dan sosial. Kesejahteraan itu menurut
Al Ghazali adalah mashlaha (kebaikan). Karena itu, falah adalah manfaat yang diperoleh
dalam memenuhi kebutuhan ditambah dengan berkah (falah = manfaat + berkah ). Jadi yang
menjadi tujuan dari ekonomi Islam adalah tercapainya atau didapatkannya falah oleh setiap
individu dalam suatu masyarakat. Ini artinya dalam suatu masyarakat seharusnya tidak ada
seorangpun yang hidupnya dalam keadaan miskin.
Dalam upaya mencapai atau mendapatkan falah tersebut, manusia menghadapi
banyak permasalahan. Permasalahan yang dihadapi untuk mendapatkan atau upaya mencapai
falah menjadi masalah dasar dalam ekonomi Islam. Mendapatkan falah dapat dilakukan
melalui konsumsi, produksi dan distribusi berdasarkan syariat Islam. Hal itu berarti bahwa
setiap aktivitas yang berhubungan dengan konsumsi, produksi dan distribusi harus selalu
mengacu pada fiqih Islam, mana yang boleh, mana yang diharamkan dan mana yang
dihalalkan. Eksistensi keimanan dalam prilaku ekonomi Islam manusia menjadi titik krusial
termasuk dalam konsumsi, produksi maupun distribusi.
Pengertian konsumsi dalam ekonomi Islam adalah memenuhi kebutuhan baik jasmani
maupun rohani sehingga mampu memaksimalkan fungsi kemanusiaannya sebagai hamba
Allah SWT untuk mendapatkan kesejahteraan atau kebahagiaan di dunia dan akhirat (falah) .
Dalam melaku-kan konsumsi maka prilaku konsumen terutama Muslim selalu dan
harus di dasarkan pada Syariah Islam. Dasar prilaku konsumsi itu antara lain :
1. Al Qur’an surat Al-Maidah (87-88) yang artinya “Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu meng-haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi
kamu, dan janganlah melampaui batas. Dan makanlah yang halal lagi baik dari apa
yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertaqwalah kepada Allah yang kamu
beriman kepada-Nya ”

Page 3
2. Al Qur’an surat al Isra’ ayat 28 yang artinya “Sesungguh-nya pemboros-pemboros itu
adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada
Tuhannya. Dan jika kamu berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari
Tuhanmu yang kamu harapkan, maka katakanlah kepada mereka ucapan yang
pantas”. (al-Isra’ :27-28 ).
3. Hadist yang menyatakan “Makanlah sebelum lapar dan berhentilah sebelum kenyang
” Hadist ini menerangkan bahwa Islam mengajarkan pada manusia untuk
menggunakan barang dan jasa yang dibutuhkan secukupnya (hemat) tidak rakus atau
serakah sebab keserakahanlah yang menghancurkan bumi ini.

Berdasarkan ayat Al Qur’an dan Hadist di atas dapat dijelaskan bahwa yang
dikonsumsi itu adalah barang atau jasa yang halal, bermanfaat, baik, hemat dan tidak
berlebih-lebihan (secukupnya). Tujuan mengkonsumsi dalam Islam adalah untuk
memaksimalkan maslahah, (kebaikan) bukan memaksimalkan kepuasan (maximum utility )
(P3EI UII. 2008) seperti di dalam ekonomi konvensional. Utility merupakan kepuasan yang
dirasakan seseorang yang bisa jadi kontradiktif dengan kepentingan orang lain. Sedang-kan
maslahah adalah kebaikan yang dirasakan seseorang bersama pihak lain.

Dalam memenuhi kebutuhan, baik itu berupa barang maupun dalam bentuk jasa atau
konsumsi, dalam ekonomi Islam harus menurut syariat Islam. Konsumsi dalam Islam bukan
berarti “memenuhi ” keinginan libido saja, tetapi harus disertai dengan “niat” supaya bernilai
ibadah. Dalam Islam, manusia bukan homo economicus tapi homo Islamicus . Homo
Islamicus yaitu manusia ciptaan Allah SWT yang harus melakukan segala sesuatu sesuai
dengan syariat Islam, termasuk prilaku konsum-sinya.

Dalam ekonomi Islam semua aktivitas manusia yang bertujuan untuk kebaikan
merupakan ibadah, termasuk konsumsi. Karena itu menurut Yusuf Qardhawi (1997), dalam
melakukan konsumsi, maka konsumsi tersebut harus dilakukan pada barang yang halal dan
baik dengan cara berhemat (saving), berinfak (mashlahat) serta men-jauhi judi, khamar,
gharar dan spekulasi. Ini berarti bahwa prilaku konsumsi yang dilakukan manusia (terutama
Muslim) harus menjauhi kemegahan, kemewahan, kemubadziran dan menghindari hutang.
Konsumsi yang halal itu adalah konsumsi terhadap barang yang halal, dengan proses yang
halal dan cara yang halal, sehingga akan diperoleh man-faat dan berkah.

Page 4
Parameter kepuasan seseorang (terutama Muslim) dalam hal konsumsi tentu saja
parameter dari definisi manusia terbaik yang mempunyai keimanan yang tinggi, yaitu
memberikan kemanfaatan bagi lingkungan. Manfaat lingkungan ini merupakan amal shaleh.
Artinya dengan mengkonsumsi barang dan jasa selain mendapat manfaat dan berkah untuk
pribadi juga lingkungan tetap terjaga dengan baik bukan sebaliknya. Lingkungan disini
menyangkut masyarakat dan alam. Menyangkut masya-rakat, maka setiap Muslim dalam
mengkonsumsi tidak hanya memperhatikan kepentingan pribadi tetapi juga kepentingan
orang lain tetangga, anak yatim dan lain sebagainya.

Mengkonsumsi barang dan jasa merupakan asumsi yang given karena sekedar
ditujukan untuk dapat hidup dan beraktifitas. Maksudnya bahwa konsumsi dilakukan agar
manusia tetap hidup, bukan hidup untuk meng-konsumsi. Dalam memenuhi tuntutan
konsumsi, setiap orang diminta untuk tetap menjaga adab-adab Islam dan melihat
pengaruhnya terhadap kesejahteraan masa depan.

Islam melarang umatnya melakukan konsumsi secara berlebihan. Sebab konsumsi


diluar dari tingkat kebutuhan adalah pemborosan. Pemborosan adalah perbuatan yang sia-sia
dan menguras sumber daya alam secara tidak terkendali.

A. Prinsip Konsumsi Dalam Islam

Etika ilmu ekonomi Islam berusaha untuk mengurangi kebutuhan materi yang luar
biasa sekarang ini, untuk mengurangi energy manusia dalam mengejar cita-cita spiritualnya.
Perkembangan batiniah yang bukan perluasan lahiriah telah dijadikan cita-cita tertinggi
manusia dalam hidup. Tetapi semangat modern dunia barat sekalipun tidak merendahkan
nilai kebutuhan akan kesempurnaan batin, namun rupanya mengalihkan tekanan kea rah
perbaikan kondisi-kondisi kehidupan material. Dalam ekonomi Islam, konsumsi dikendalikan
oleh lima prinsip dasar, antara lain;

1. Prinsip Keadilan
Syarat ini mengandung arti ganda yang penting mengenai mencari reaeki secara
halal dan tidak dilarang hokum. Dalam soal makanan dan minuman, yang dilarang
adalah darah,daging binatang yang telah mati sendiri,daging babi dan daging binatang
yang ketika disembelih tidak disebutkan nama selain Allah, seperti yang tertulis

Page 5
dalam al-Qur’an surat Albaqarah ayat 173. Tiga golongan pertama yang dilarang
karena hewan-hewan itu berbahaya bagi tubuh, sebab yang berbahaya bagi tubuh juga
berbahaya bagi jiwa. Larangan terakhir berkaitan dengan segala sesuatu yang
langsung membahyakan moral dan spiritual, karena seolah-olah hal ini sama dengan
mempersekutukan Allah. Kelonggaran diberikan kepada orang-orang yang terpaksa
dan bagi orang-orang yang pada suatu ketika tidak mempunyai makanan untuk
dimakan. Ia boleh makan makanan yang terlarang itu sekedar yang dianggap perlu
untuk kebutuhan saat itu juga.
2. Prinsip Kebersihan
Syarat yang ke dua ini tercantum dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah tentang
makanan. Makanan yang akan dikonsumsi haruslah baik dan cocok untuk dimakan,
yang berarti tidak kotor ataupun menjijikkan sehingga merusak selera. Karena itu,
tidak semua yang diperkenankan boleh dimakan dan diminum dalam semua keadaan.
Prinsip ini memiliki manfaat bagi kesehatan, karena bila semua orang menerapkan
prinsip ini denga baik maka akan kecil kemungkinan tubuhnya terkena penyakit.
Dengan makan makanan yang bersih badan akan menjadi sehat dan tentunya akan
tumbuh jiwa yang kuat. Dengan tubuh dan jiwa yang kuat tentunya orang muslim
tidak akan terhalang dalam melakukan ibadah sehari-hari. Selain itu kebersihan juga
merupakan sebagian dari iman.
3. Prinsip Kesederhanaan
Prinsip ini mengatur perilaku manusia dalam melakukan konsumsi. Dalam prinsip
ini diajarkan bahwa tidak baik bila seseorang itu berlebihan. Seperti yang tercantum
dalam al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 87, yang artinya; “hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi
kamu, dan janganlah kamu melampaui batas”. Arti penting dalam ayat ini adalah
kurang maka adalah dapat mempengaruhi pembangunan jiwa dan tubuh, demikian
juga bila perut diisi secara berlebihan tentu akan ada pengaruhnya bagi perut. Maka
hendaklah orang-orang muslim hidup sederhana saja. Baik itu dalam makanan
ataupun dalam belanja sehari-hari. Karena dengan hidup sederhana tidak akan
menjadikan seseorang bersikap sombong terhadap yang lain. Hendaklah kebutuhan

Page 6
hidup dipenuhi sesuai dengan tingkat kebutuhannya, yang berarti tidak
membelanjakan harta untuk barang-barang yang tidak perlu.
4. Prinsip Kemurahan Hati
Dengan menaati perintah Islam yang tidak ada bahaya maupun dosa ketika kita
memakan dan meminum makanan halal yang disediakan Tuhan karena kemurahan
hatinya. Selama maksudnya adalah untuk kelangsungan hidup dan dan kesehatan
yang lebih baik, dengan tujuan untuk menunaikan perintah Tuhan dengan keimanan
yang kuat dalam tuntutan-Nya. Kemurahan hati Allah tercermin dari Qs.Almaidah
ayat 93, yang artinya; “Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang
berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu dan bagi orang-orang dalam
perjalanan, dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat, selama kamu
dalam ihram. Dan bertakwalah kepada Allah yang kepadaNya lah kamu akan
dikumpulkan. Dari ayat ini dapat diambil kesimpulan bahwa, hendaknya seseorang
senantiasa bersyukur atas kemmurahan hati Allah. Karena dengan kemurahannya kita
dapat makan dan minum makanan yang lezat, dimana itu merupakan kebutuhan
pokok dalam hidup. Dan dengan prinsip ini tidak akan menjadikan manusia lupa
bahwa semua kenikmatan yang didapat adalah berasal dari Allah karena kemurahan
hati-Nya.
5. Prinsip Moralitas
Prinsip ini menekankan pada tujuan akhir dalam konsumsi, yaitu bukan hanya
sekedar terpenuhinya kebutuhan tubuh, melainkan untuk peningkatan nilai-nilai
moral dan spiritual. Seseorang muslim diajarkan untuk menyebut nama Allah
sebelum makan, dan berterimakasih kepada-Nya setelah makan. Dengan demikian ia
akan measakan kehadiran Tuhan pada waktu memenuhi keinginan-keinginan
fisiknya. Hal ini sangat penting karena Islam menghendaki perpaduan nilai-nilai
hidup material dan spiritual yang seimbang.

B. Teori Konsumsi Dalam Islam


Barang-barang kebutuhan dasar dapat didefinisikan sebagai barang dan jasa yang
mampu memenuhi suatu kebutuhan atau mengurangi kesulitan hidup sehingga
memberikan perbedaan yang nyata dalam kehidupan konsumen. Barang-barang mewah

Page 7
sendiri dapat didefinisikan sebagai semua barang dan jasa yang diinginkan baik untuk
kebanggaan diri ataupun untuk sesuatu yang sebenarnya tidak memberikan peubahan
yang berarti bagi kehidupan konsumen.
Lebih lanjut Chapra mengatakan bahwa konsumsi agregat yang sama mungkin
memiliki proporsi kebutuhan dasar dan barang mewah yang berbeda, dan tercapai
tidaknya pemenuhan suatu kebutuhan tidak bergantung pada proporsi sumberdaya yang
dialokasikan kepada masing-masing konsumsi. Semakin banyak sumberdaya masyarakat
yang digunakan untuk konsumsi dan produksi barang barang dan jasa mewah, semakin
sedikit sumberdaya yang tersedia untuk pemenuhan kebutuhan dasar. Dengan demikian,
meski terjadi peningkatan pada konsumsi agregat, ada kemungkinan bahwa kehidupan
masyarakat tidak menjadi lebih baik dilihat dari tingkat pemenuhan kebutuhan dasar
penduduk miskin, jika semua peningkatan yang terjadi pada konsumsi tersebut lari ke
penduduk kaya untuk pemenuhan kebuuhan barang-barang mewah.
Fungsi konsumsi dalam ilmu makroekonomi konvensional tidak
memperhitungkan komponen-komponen konsumsi agreget ini. Yang lebih banyak
dibicarakan dalam ilmu ekonomi konvensional terutama mengenai pengaruh dan tingkat
harga dan pendapatan terhadap konsumsi. Hal ini dapat memperburuk analisis, karena
saat tingkat harga dan pendapatan benar-benar memainkan peran yang substansi dalam
menentukan konsumsi agregat.

C. Ramadhan dengan Pola Konsumsi Islami


Pada bulan suci Ramadhan ini, selain diwajibkan berpuasa (tidak makan minum
sejak fajar hingga terbenam matahari), kita umat Islam juga diperintahkan untuk
senantiasa menjaga hawa nafsunya. Dalam hal ini termasuk nafsu yang dikategorikan
oleh Syaikh Muhammad Nawawi (seorang ulama legendaris Indonesia), sebagai nafsu al-
Hirsh atau sifat tamak dan rakus.
Dengan berdasarkan hal tersebut, maka seharusnya selama bulan Ramadhan, konsumsi
yang dilakukan umat muslim dapat lebih terjaga dan tidak berlebih-lebihan. Namun
demikian, terdapat kontradiksi antara praktik fikih dan ekonomi selama Ramadhan.
Berdasarkan data terkini, nilai konsumsi rumah tangga selalu saja melonjak pada
bulan Ramadhan, baik konsumsi bahan makanan, sandang maupun jasa. Fenomena ini

Page 8
dapat kita amati pada lingkungan sekitar kita; warung-warung penjaja panganan ta’jil
tidak pernah sepi pembeli, hingar-bingar di pasar semakin riuh dan pengunjung pusat
perbelanjaan semakin membludak. Eskalasi konsumsi tanpa diikuti oleh peningkatan
pasokan barang berdampak pada melonjaknya angka inflasi (kenaikan harga barang
secara serentak), yang terjadi secara persisten setiap bulan Ramadhan.
Ada banyak alasan, mengapa tingkat konsumsi masyarakat di bulan Ramadhan
cenderung melonjak tajam. Sebagian beralasan “menumpuk” energi saat sahur agar tetap
segar sepanjang hari dan “balas dendam” dengan makan sebanyak-banyaknya dengan
beraneka menu makanan pada saat berbuka untuk memuaskan perut yang lapar. Beberapa
beranggapan bahwa terdapat kewajiban untuk mengenakan pakaian serba baru saat
menyambut Idul Fitri. Beberapa berpendapat bahwa peningkatan belanja di bulan
Ramadhan adalah suatu hal yang wajar karena terjadinya surplus kekayaan seiring
dengan pencairan bonus hari raya.
Fenomena seperti ini dapat mengakibatkan makna Ramadhan menjadi terdistorsi.
Ibadah puasa yang seharusnya dimaknai sebagai upaya pembelajaran untuk menahan
nafsu, namun malah menyeret kita untuk mengonsumsi secara berlebihan dan akhirnya
berujung pada kemubaziran. Padahal konsumsi yang berlebihan adalah sifat yang tidak
disukai Allah sebagaimana firman-Nya: “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang
indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-
lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS.
Al-A’raf: 31).
Menurut Imam Ghazali dan Shatibi, pemenuhan kebutuhan dasar manusia seperti
sandang, pangan dan papan sejatinya dilaksanakan untuk mendukung pelaksanaan
ibadah. Namun jika kita mengonsumsi kebutuhan dasar tersebut secara berlebihan, maka
akan menjadi kontraproduktif dengan tujuan akhir tersebut. Makan secara berlebihan saat
berbuka puasa seringkali menyebabkan kita mengantuk dan malas untuk melaksanakan
ibadah. Mengonsumsi pakaian secara berlebihan dapat menjerumuskan umat pada
perilaku ujub dan tabarujj (berlebihan dalam berhias) yang dilarang oleh Allah Swt.
Jika ditinjau dari sisi filsafat normatif, kegiatan mengkonsumsi berlebihan untuk
memaksimalkan kebahagiaan atau mengurangi kebahagiaan termasuk ke dalam pola
konsumsi utilitiarisme yang merupakan satu cabang dari aliran pemikiran hedonisme

Page 9
yang berorientasi kepentingan dunia saja. Sebagai umat muslim, kita hendaknya
membentuk pola konsumsi yang islami, yaitu pola konsumsi yang berorientasi tidak
hanya pada aspek duniawi, namun juga memperhatikan aspek pencapaian di akhirat.
Konsumsi kebutuhan dasar yang dilakukan pada pola konsumsi islami dilakukan
secara secukupnya, tidak berlebihan dan menghindari kemubaziran dengan tujuan akhir
untuk meningkatkan kualitas ibadah kita kepada Allah Swt. Mengonsumsi penganan
berbuka secara cukup dan tidak berlebihan seyogyanya dapat meningkatkan energi untuk
melaksanakan ibadah di kala malam seperti shalat Tarawih, mengaji/tadarus Alquran,
shalat malam dan sebagainya. Paradigma berpakaian pun tidak harus selalu berorientasi
memakai baju baru, namun cukup menggunakan pakaian yang indah, bersih dan layak
pakai.
Ajaran Islam juga telah menyediakan tiga instrumen penting sebagai outlet
konsumsi yang berorientasi kepada akhirat, yaitu zakat, infaq dan shadaqah. Mayoritas
masyarakat masih menganggap ketiga hal tersebut di atas sebagai beban. Namun dalam
sudut pandang lain, zakat, infaq dan shadaqah dapat dipandang sebagai aktivitas
konsumsi untuk memenuhi kebutuhan umat muslim, selayaknya pangan dan sandang
yang merupakan kebutuhan dasar bagi manusia untuk melangsungkan kehidupan dan
kebahagiaan di dunia.
Zakat, infaq dan shadaqah juga dapat dianggap sebagai upaya konsumsi untuk
memenuhi kebutuhan dasar manusia dalam mencapai kebahagiaan di akhirat. Tidak ada
alasan untuk tidak ber-shadaqah kepada sesama, karena shadaqah tidaklah harus berupa
harta, bisa berupa ilmu, tenaga, pemikiran, bahkan senyuman.
Sebagaimana dijelaskan dalam teori Pareto, setiap rumah tangga memiliki pilihan
untuk mengalokasikan resource/hartanya dalam rangka memenuhi kebutuhan dan
kebahagiaannya. Namun, dengan pola konsumsi islami seperti yang menyeimbangkan
alokasi untuk aspek duniawi dan aspek akhirat seperti sebagaimana dimaksud, Insya
Allah umat Islam terhindar dari kerakusan yang hanya mementingkan kepuasan di dunia,
namun akan mencapai kepuasan maksimum dalam bentuk kebahagiaan di dunia dan
akhirat.

Page
10
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Pengertian konsumsi dalam ekonomi Islam adalah memenuhi kebutuhan baik jasmani
maupun rohani sehingga mampu memaksimalkan fungsi kemanusiaannya sebagai hamba Allah
SWT untuk mendapatkan kesejahteraan atau kebahagiaan di dunia dan akhirat (falah) .
Berdasarkan ayat Al Qur’an dan Hadist di dapat dijelaskan bahwa yang dikonsumsi itu
adalah barang atau jasa yang halal, bermanfaat, baik, hemat dan tidak berlebih-lebihan
(secukupnya). Tujuan mengkonsumsi dalam Islam adalah untuk memaksimalkan maslahah,
(kebaikan) bukan memaksimalkan kepuasan (maximum utility ).
Oleh karena itu, Islam melarang umatnya melakukan konsumsi secara berlebihan. Sebab
konsumsi diluar dari tingkat kebutuhan adalah pemborosan. Pemborosan adalah perbuatan yang
sia-sia dan menguras sumber daya alam secara tidak terkendali.

SARAN
Mari kita jalankan ibadah puasa sebagai upaya pembelajaran untuk menahan nafsu, dan
tidak tidak terjerumus untuk mengonsumsi secara berlebihan dan akhirnya berujung pada
kemubaziran. Karena konsumsi yang berlebihan adalah sifat yang tidak disukai Allah SWT.

Page
11
DAFTAR PUSTAKA

www.google.com
Akhmad Farid, Ramadhan dengan pola Islam

Al-Haritsi, Jaribah bin Ahmad. Fikih Ekonomi Umar bin Al-Khathab . Jakarta: Khalifa (Pustaka
Al-Kautsar Group), 2006.

Anto, Hendrie. Pengantar Ekonomi Mikro Islam ,Yogyakarta: Ekonosia, 2003.

Agus, Bustanuddin. Islam dan Ekonomi (Suatu Tinjauan Sosiologi Agama). Padang: Andalas
University Press, 2006.

Joesron, Tati Suhartati. Teori Ekonomi Mikro, Jakarta: Salemba Empat, 2003.

Kahf, Monzer. Ekonomi Islam (Telaah Analitik Terhadap Fungsi Sistem Ekonomi Islam ), 1995.

Karim, Adiwarman. Ekonomi Mikro Islami, Edisi Ketiga, Jakarta: Rajawali Pers, 2007.

Muflih, Muhammad. Perilaku Konsumen dalam Perspektif Ilmu Ekonomi Islam , Jakarta:
Rajawali Press, 2005.

Page
12

Anda mungkin juga menyukai