dalam Komik
Abstrak
Pemilu merupakan sebuah momentum yang memiliki nilai berita tinggi sehingga
berita mengenai peristiwa Pemilu selalu menjadi sajian utama media massa, tak terkecuali
tentang perilaku politik para elitenya. Wacana mengenai perilaku politik para elite selama masa
Pemilu tidak hanya berupa artikel pada media cetak saja, melainkan juga dalam bentuk teks
komik. Dalam komik, penggambaran perilaku elite politik dilakukan secara implisit. Hal ini
sesuai dengan sifat komik yang sarat dengan tanda-tanda dan menggunakan metafora. Bahkan
ada ungkapan bahwa komik strip dalam surat kabar merupakan rubrik opini dari surat kabar
itu sendiri. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji representasi perilaku politik para
elite dalam Pemilu 2014 di komik strip Panji Koming pada rubrik komik Harian Kompas.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dengan paradigma konstruktivis
dan menggunakan metode semiotika Charles Sanders Peirce dengan menganalisis tanda ikon,
simbol, dan indeks yang ada pada komik. Hasil temuan menunjukkan perilaku politik para elite
dalam Pemilu 2014 cenderung paternalistik, feodalisme, dan pragmatis yang mana perilaku
politik tersebut sangat dipengaruhi oleh budaya dan relasi kekuasaan Jawa.
Kata Kunci: Semiotika, Representasi, Perilaku Politik, Elite Politik, Budaya Jawa, Komik,
Panji Koming
Bagus Prasetiyo
komik dan memberikan wawasan tentang realitas, karena media memproduksi kata-
politik, khususnya melalui media komik. kata dan gambar yang setidaknya menjadi
bagian realitas itu. Burton (2011, h. 286-
Kerangka Teoritis 292) menuliskan bahwa terdapat beberapa
unsur yang membentuk representasi di
Representasi Media Massa media massa, antara lain: stereotip, identitas,
perbedaan, pengalamiahan, dan ideologi.
Menurut Eriyanto (2009, h. 113) Dengan begitu, representasi merupakan
representasi menunjuk pada bagaimana sese- hasil dari suatu proses pemaknaan melalui
orang, satu kelompok, gagasan atau pendapat penyeleksian yang berdasarkan faktor-
tertentu ditampilkan dalam pemberitaan. faktor tertentu, di mana makna dibangun
Representasi menurut Hall (2003, h. 17) dan dibagikan setelah diinterpretasikan
adalah sebuah proses produksi makna dari sebelumnya. Representasi bersifat dinamis
konsep yang ada dalam pikiran manusia dan terbuka, tergantung dari konteks dimana
melalui bahasa. Representasi merupakan tanda tersebut berada. Hal ini membuat
jembatan antara konsep dan bahasa yang makna berubah dan selalu melalui proses
memungkinkan kita untuk mengacu pada negosiasi serta disesuaikan dengan situasi
suatu objek yang real atau imajinasi. yang ada. Representasi dan media massa
Sedangkan konsep representasi menjadi dua hal yang tidak dapat dipisahkan
menurut Danesi (2010, h. 16) adalah karena media massa mengonstruksi realitas
penggunaan tanda (gambar, suara, dan lainnya) dan menjadikannya suatu representasi dari
untuk menghubungkan, menggambarkan, sesuatu.
melukiskan atau meniru sesuatu yang dapat
dirasakan dan dibayangkan dalam beberapa Semiotika
oleh budaya di mana tanda itu dibuat. Danesi Eco (1979 dikutip dalam Sobur,
menjelaskannya lebih lanjut dalam fungsi XY, 2009, h.95), mengatakan bahwa secara
di mana X sebagai proses membangun bentuk etimologis, istilah semiotik berasal dari kata
dengan rangka mengarahkan perhatian Yunani Semeion yang berarti tanda. Tanda
ke sesuatu, yaitu Y. Meskipun demikian, itu sendiri dapat mewakili sesuatu yang atas
penggambaran konsep Y sebagai representasi dasar konvensional sosial telah terbangun
dari konsep X bukan suatu hal yang mudah. sebelumnya atau telah disepakati bersama.
Maksud dari pembuat bentuk, konteks historis Semiotika adalah ilmu yang mengkaji tanda
dan sosial terkait dengan terbuatnya bentuk dalam kehidupan manusia. Artinya, semua
ini, tujuan pembuatannya, dan seterusnya yang hadir dalam kehidupan manusia dilihat
merupakan faktor-faktor kompleks yang sebagai tanda, yakni sesuatu yang harus diberi
berpengaruh dalam memasuki gambaran makna (Hoed, 2011, h. 3).
tersebut (Danesi, 2010, h. 3). Menurut Peirce dikutip dalam Hoed
Dalam arti luas, komunikasi (2011, h. 4) tanda adalah sebagai ‘sesuatu
mengonstruksi representasi dan setiap satu yang mewakili sesuatu’. Menariknya,
representasi merupakan bagian kompleks ‘sesuatu’ itu dapat berupa hal yang konkret
dari representasi lainnya (Burton, 2011, yang kemudian, melalui suatu proses,
h.284). Media sebagai medium dari mewakili ‘sesuatu’ yang ada di dalam
komunikasi pun melakukan hal demikian. kognisi manusia. Peirce dikutip dalam Fiske
Burton (2011, h. 286) mengatakan bahwa
media mengonstruksi gagasan perihal segitiga antara tanda, pengguna, dan realitas
Menyimak Pemilu dan Perilaku Elite Politik Bagus Prasetiyo
dalam Komik
eksternal sebagai suatu keharusan model h. 23) mengatakan bahwa dalam kehidupan
untuk dikaji. politik bangsa Indonesia terjadi proses saling
Kriyantono (2009, h.265) berpendapat mempengaruhi antar sub-subbudaya dan hanya
satu atau dua saja yang relatif dominan
dalam masyarakat. Salah satu budaya yang
panca indera manusia dan merupakan sesuatu dominan dalam kultur politik di Indonesia
yang merujuk atau mewakili sesuatu yang adalah budaya Jawa. Dengan begitu suku-
lain. Sesuatu yang diwakili oleh tanda suku non-Jawa cenderung selalu berusaha
ini kemudian akan disebut sebagai objek. untuk mengadaptasi diri dengan nilai-nilai
Objek memiliki arti sebagai konteks kejawaan atau menjadikan nilai- nilai Jawa
sosial yang diwakili oleh suatu tanda atau sebagai basis persepsi politik mereka. Dengan
sesuatu yang dirujuk oleh tanda tersebut. demikian, dapat dikatakan bahwa perilaku
Berdasarkan objeknya, Peirce dikutip dalam politik masyarakat Indonesia, termasuk para
Sobur (2006, h.41-42) membagi tanda elite politiknya, dipengaruh oleh nilai-nilai
menjadi tiga, yakni ikon (tanda di mana hidup dalam kelompok etnis Jawa.
ada hubungan kemiripan antara penanda dan Dalam masyarakat Jawa, pemerintahan
yang ditandakan (objeknya)), indeks (tanda dalam masyarakatnya dipegang oleh kaum
yang menunjukkan adanya hubungan sebab- priyayi dan kelas di atasnya, yaitu raja.
akibat antara penanda dan yang ditandakan), Kaum priyayi menempati posisi atas dalam
symbol (tanda yang menunjukkan hubungan
yang telah dibentuk berdasarkan konvensi posisi bawahnya ditempati oleh para kawula.
(perjanjian) oleh masyarakat antara penanda Ariyanto (2013, h. 9) menambahkan bahwa
dan objeknya). kawula memiliki jarak sosial-budaya yang
sangat jauh dari priyayi dan raja. Hal ini
Perilaku Politik Elite menyebabkan relasi yang terjalin menjadi
timpang karena keterlibatan kaum kawula
dalam pemerintahan, seperti perumusan
kan perilaku politik sebagai interaksi antara kebijakan, brirokrasi dan lain-lain sangatlah
pemerintah dan masyarakat, antarlembaga minim.
pemerintah dan antara kelompok dan individu
dalam masyarakat dalam rangka proses Komik
pembuatan, pelaksanaan, dan penegakan
keputusan politik. Komik merupakan bagian dari kartun.
Elite politik sendiri memiliki Hal ini terkait dengan komik yang merupakan
pengertian sekelompok orang yang secara salah satu jenis kartun (Ahmad dan Amin,
langsung atau karena posisinya sangat kuat 2010, h. 74). Kartun berasal dari bahasa Italia,
pengaruhnya dalam menjalankan kekuasaan cartone, yang artinya kertas. Awalnya kartun
politik (Pareto dan Mosca dikutip dalam adalah penamaan untuk sketsa saja. Namun
Sastroatmodjo, 1995, h. 145). pada perkembangannya, kartun memiliki
Perilaku politik para elite sangat pengertian gambar yang bersifat humor dan
dipengaruhi oleh berbagai dimensi latar satir. Sedangkan Setiawan (2002, h. 22)
belakang. Almond (1966 dikutip dalam mengatakan pengertian komik secara umum
Sastroatmodjo, 1995, h. 21) mengatakan faktor adalah cerita bergambar dalam majalah,
yang mempengaruhi perilaku politik adalah surat kabar, atau berbentuk buku yang pada
budaya politik yang dianut. Muhaimin umumnya mudah dicerna dan lucu.
(1990 dikutip dalam Sastroatmodjo, 1995, Berdasarkan jenisnya, komik dapat
Bagus Prasetiyo Menyimak Pemilu dan Perilaku Elite Politik
dalam Komik
petanda). Ada dua jenis referen, yaitu referen Penelitian ini menggunakan para-
kongkret dan referen abstrak. digma konstruktivis. Tujuan penelitian adalah
Sedangkan makna, seperti yang untuk memahami dan mengkronstruksi
dikemukakan oleh Fisher (1986, h. 343 dikutip yang sebelumnya dipegang orang (termasuk
dalam Sobur, 2009, h. 19), merupakan penulis), yang berusaha ke arah konsensus
sebuah konsep abstrak. Pengertian lain namun masih terbuka terhadap interpretasi
diungkapkan DeVito, menurutnya, makna baru seiring dengan perkembangan informasi
itu tidak terletak pada kata-kata melainkan dan kecanggihan. Sifat ilmu pengetahuan
pada manusia. Dalam konteks wacana, dalam paradigma ini terdiri atas berbagai
makna kata dapat dibatasi sebagai ‘hubungan konstruksi yang memiliki konsensus relatif
antara bentuk dengan hal atau barang yang (atau sekurang-kurangnya gerakan tertentu
diwakilinya (referen- nya)’ (Keraf, 1994, h. 25 menuju konsensus) di antara pihak-pihak yang
dikutip dalam Sobur, 2009, h. 24). berkompeten (dan dalam kasus yang berkaitan
dengan bahan-bahan penelitian yang bersifat
Metodologi rahasia, dipercaya) untuk menginterpretasikan
isi konstruksi (Denzin dan Lincoln, 2009, h.
Jenis dan Sifat Penelitian 140).
sejumlah media yang dinilai bertentangan dan lain-lain. Semakin terbukanya kebebasan
dengan pemerintahan. Harian Kompas mengemukakan pikiran sebagai imbas dari
dapat terhindar karena sikap moderatnya kemajuan proses demokratisasi di Indonesia
yang tidak secara frontal berlawanan dengan meneguhkan eksistensi Kompas sebagai
pemerintah. Namun sayangnya pada tahun media nasioanl yang berkualitas.
1978 Kompas tidak bisa menghindarkan diri Dengan motto ‘Amanat Hati Nurani
dari pembredelan akibat pemberitaan seputar Rakyat’, Kompas menggambarkan visi dan
penolakan terhadap pencalonan kembali misi bagi disuarakannya hati nurani rakyat.
Soeharto sebagai Presiden Indonesia pada Kompas ingin berkembang sebagai institusi
periode 1978-1983. Kemudian Jakob Oetama pers yang mengedepankan keterbukaan,
pun mengambil alih Kompas dengan menan- meninggalkan pengkotakan latar belakang
datangani surat permintaan maaf kepada suku, agama, ras, dan golongan. Ingin
pemerintah Orde Baru. berkembang sebagai ‘Indonesia mini’,
Belajar dari pembredelan pada tahun karena Kompas sendiri adalah lembaga yang
1978 tersebut, Kompas kemudian berkembang terbuka kolektif. Ingin ikut serta dalam
menjadi koran dengan gaya yang halus, upaya mencerdaskan bangsa. Kompas ingin
dalam arti melakukan kritik secara implisit menempatkan kemanusiaan sebagai nilai
atau tidak secara langsung. Akibat gaya baru tertinggi, mengarahkan fokus perhatian dan
ini, sejumlah kalangan menjuluki Kompas tujuan pada nilai-nilai yang transenden atau
sebagai koran yang moderat. Seiring dengan mengatasi kepentingan kelompok. Rumusan
perkembangan zaman yang semakin dinamis, bakunya adalah ‘humanisme transcendental’.
Harian Kompas ikut menyesuaikan diri dan ‘Kata Hati Mata Hati’, pepatah yang kemudian
mengikuti perkembangan zaman. Hal ini ditemukan, menegskan semangat empathy dan
ditunjukkan dengan kualitas Kompas secara compassion Kompas.
keseluruhan, seperti dari segi penataan
tampilan berita, isi berita, kuantitas halaman,
Menyimak Pemilu dan Perilaku Elite Politik Bagus Prasetiyo
dalam Komik
Pailul merep-
alam biasanya
4.
merupakan pa-
kaian yang biasa
Gambar 3 Kutu Loncat digunakan oleh
kaum Denmas.
Sosok Denams
ini merepresen-
Jenis Rupa Tanda Makna
Tanda
1. 1. Gambar 1. tom-
Koming yang prang, sabuk
mengenakan wolo bole-
celana ro merupakan
tomprang, pakaian yang 1. Narasi Pailul: 1.
sabuk wolo, biasa digunakan “Tadi ada merupakan
dan bolero ungkapan yang
-
rompi). orang yang hid-
yang hidupnya up menumpang
2. Gambar Pailul susah. dari sau orang
ke orang lain.
mengenakan 2. tom- Simbol Dalam hal poli-
Ikon
pakaian dan prang dan
sabuk wolo biasa digunakan
celana tom- merupakan -
prang dan pakaian yang
sabuk wolo. biasa digunakan
demi ambisi
3. Gambar pribadinya saja.
3. Pohon kelapa
- 1. Pailul melaku- 1. Pailul sebagai
onomatopea kan gerakan
unsur alam
yang ada dalam
Indeks menginjak dengan ke-
Panji Koming.
Unsur alam
Bagus Prasetiyo Menyimak Pemilu dan Perilaku Elite Politik
dalam Komik
yang menggele-
gar. Di samping- 2. Sikap Koming
nya ada Koming
dan Pailul yang
berdiri sambil kepada sosok
memberi sikap Denmas dengan
baju ala kerajaan
menunjukkan
adanya relasi
4. Gambar Pailul
3. tom-
mengenakan prang, sabuk
pakaian hanya wolo
Menyimak Pemilu dan Perilaku Elite Politik Bagus Prasetiyo
dalam Komik
kakinya diinjak
lawan. lawannya.
1. Narasi Koming: 1. Narasi Koming kaki salah
merepresen-
menebangi
kecil yang ingin menje-
ingin dipimpin gal.
oleh sosok
baru” yang baru.
Berdasarkan pembacaan ikon, indeks,
2. Narasi sosok 2. Narasi Denmas dan simbol, keseluruhan strip pada komik
yang disapa -
Denmas gen-
Panji Koming edisi 14 September 2014
- merepresentasikan tentang elite politik dari
Simbol Koalisi Merah Putih yang tidak legawa
mau menerima
kekalahan dan menerima kekalahan dan berencana menjegal
berencana lawan serta rakyat dengan membuat RUU
langkah mer- menjegal lawan Pilkada. Pada RUU ini, mereka ingin kepala
eka”
daerah dipilih oleh DPRD, bukan dipilih
langsung oleh rakyat, di mana jumlah
sikap demiki- anggota fraksi dari partai Koalisi Merah Putih
an dinamakan
mendominasi DPR dan hal ini memunginkan
drengki srei jai
methakil. Koalisi Merah Putih untuk mengontrol kepala
daerah terpilih nanti. Pemilihan kepala daerah
1. 1. Koming dan secara tidak langsung merupakan bentuk
berjalan den- Pailul merep- perebutan hak suara kepada rakyat karena
dengan begitu rakyat tidak lagi memiliki hak
Pailul kag- untuk menentukan secara lansgung siapa
sudah jeli pemimpin dan wakilnya.
segerombolan membaca
yang disa-
pa Denmas
Indeks yang sedang
berunding merencanakan
bergerombol.
-
bagai dampak
kekalahan
mereka pada
PIlpres 2014.
Bagus Prasetiyo Menyimak Pemilu dan Perilaku Elite Politik
dalam Komik
merepresen-
banyak.
memilih Pilka-
Pembahasan
da langsung.
Berdasarkan kajian ikon, indeks, dan
1. Sosok yang 1. Sosok Denmas simbol dalam rubrik komik Panji Koming
disapa Den- yang memiliki
ditemukan tanda-tanda yang merepresen-
mas sedang eksagerasi wa-
tasikan perilaku elite politik. Perilaku elite
Pailul dan politik yang terepresentasikan adalah per-
- oleh Koming ilaku pragmatis, paternalistik, dan feodalisme.
san bingung Dalam tradisi paternalistik (bapakisme)
apakah ingin merepresen- pemimpin dianggap sebagai bapak (pengay-
Indeks om) sedangkan rakyat sebagai anak (diay-
yang berhasil
arah. menduduki omi) sehingga rakyat harus tunduk dan
kursi kuasa hormat serta patuh terhadap pemimpinnya
(Endraswara, 2010, h. 161). Budaya pater-
diususung nalistik membuat pemimpin cenderung ber-
langsung oleh tindak sewenang-wenang karena mendapat
legitimasi kekuasaan dari rakyatnya. Rakyat
bingung me-
sebagai ‘anak’ tidak dapat menentang dan ber-
apakah akan laku kurang ajar, melainkan harus patuh dan
setia akan setiap tindakan dan keputusan yang
- diambil pemimpinnya.
dukung Pilkada Paternalistik sangat jelas terlihat
dari sikap Koming yang selalu memberi
Pilkada
langsung. hormat kepada Denmas setiap kali bertemu dan
dalam kondisi apapun. Koming merupakan
representasi dari rakyat jelata yang dalam
budaya Jawa selalu menghormat bila bertemu
Bagus Prasetiyo Menyimak Pemilu dan Perilaku Elite Politik
dalam Komik
pemimpinnya. Hal ini seperti tergambar pada oleh Empu Randubantal. Setelah dinaseha-
saat Koming sedang bermain gamelan dan ti Empu Randubantal (Panji Koming edisi
kedatangan Denmas Ariakendor lalu Koming “Tidak Mau Kalah”). Hal serupa juga digam-
berhenti bermain dan memberi sikap hormat barkan oleh Denmas lain saat sedang memimp-
(strip pertama Panji Koming edisi “Politik in para Denmas untuk berjalan (Panji Koming
Uang”), sosok Denmas yang terjatuh dari atas edisi “Jegal Terus”). Dalam budaya Jawa,
pohon kelapa dan Koming yang melihatnya sikap tubuh yang demikian merepresentasikan
berdiri sambil memberi sikap hormat (Strip sosok pemimpin yang sombong, angkuh, dan
keenam Panji Koming edisi “Kutu Loncat”), anti kritik. Paternalistik membuat sekat dan
ataupun saat Denmas Ariakendor jatuh ke relasi yang tidak setara antara penguasa den-
dalam lubang dan Koming pun tetap mem- gan rakyatnya sehingga penguasa pun merasa
berikan sikap hormat (strip ketujuh Panji dirinya memiliki kekuasaan lebih dan
Koming edisi “Tidak Mau Kalah”). Dalam bu- cenderung sombong. Tradisi paternalistik juga
daya Jawa, terdapat unggah-unggah atau kode membuat rakyat kecil menganggap bahwa
etik yang mengatur bagaimana masyarakat dirinya inferior karena dirinya hanya seorang
dalam kelasnya harus bersikap. Dengan wong cilik, sedangkan penguasa mengang-
begitu bawahan harus memegang prinsip hormat gap dirinya superior karena merasa memiliki
kepada atasannya karena hal tersebut meru- jabatan tinggi dan dapat berlaku semaunya
pakan etika bagi rakyat kecil. Selain terhadap bawahannya. Denmas-Denmas
itu, dalam budaya paternalistik, penguasa tersebut merupakan representasi dari elite
dipandang seperti bapak yang harus di- politik yang tidak memiliki sifat rendah hati
hormati oleh anak-anaknya yang direpre- dan menganggap rakyat sebagai bawahannya
sentasikan sebagai rakyat. Penguasa ada- saja.
lah pengayom sedangkan rakyat adalah Berikutnya yang tergambar adalah
yang diaoyomi. Hal ini menyebabkan relasi perilaku pragmatis dalam berpolitik. Dosen
yang timpang karena rakyat merasa dirinya FISIP Universitas Bangka Belitung, Ibrahim
powerless sedangkan penguasa adalah (2013, para. 1-2), menyebutkan pragma-
powerfull. tisme adalah salah satu aliran berpikir yang
Pengaruh paternalistik lainnya ter- meletakkan sesuatu pada asas kemanfaatan.
lihat dari sikap tubuh para Denmas yang Pragmatisme dalam berpolitik tergambar saat
berdiri tegap dengan kepala menengadah, Koming dengan sadar menerima uang untuk
dan melipat tangan di dada. Hal ini ditunjuk- memilih Denmas Ariokendor padahal ia tahu
kan dari gambar Denmas Ariakendor yang bahwa Denmas Ariakendor bukanlah peja-
menghampiri Koming sambil berdiri tegap bat yang baik (Panji Koming edisi “Politik
dengan kepala menengadah dan tangan dili- Uang”). Koming sebagai representasi rakyat
pat di dada. Saat berbicara dengan Palilul kecil memang digambarkan cerdas karena
dan Koming yang sedang duduk pun Denmas sudah bisa menilai mana pejabat baik dan
Ariakendor tetap berpandangan lurus ke de- mana pejabat buruk dengan tidak memilihn-
pan dan tidak memandang Koming dan Pailul ya. Namun sayangnya sikap Koming yang
yang sedang duduk di bawah. Usai berbicara, tetap menerima uang suap membuat Koming
Denmas Ariekendor pun pergi dan berjalan terlihat sangat pragmatis dalam berpolitik.
dengan sikap tegap serta melipat tangan di Dalam edisi tersebut, Denmas digambar-
dada (Panji Koming edisi “Politik Uang”). kan berusaha membeli suara Koming dan
Sikap yang sama juga masih ditunjukan oleh Pailul dengan memberikan mereka uang. Sikap
Denams Ariakendor saat sedang dinasehati Denmas pun juga tergolong pragmatis.
oleh Empu Randubantal. Setelah dinasehati Perilaku Denmas dalam budaya Jawa dina-
Menyimak Pemilu dan Perilaku Elite Politik Bagus Prasetiyo
dalam Komik
makan belantik (politik dagang sapi). Politik Sikap pragmatis lainnya adalah saat
dagang sapi adalah politik jual beli kekuasaan, SBY yang direpresentasikan oleh sosok
yang mana dalam edisi ini dilakukan antara Denmas yang sedang ditandu oleh Koming
Denmas Ariakendor sebagai penguasa ke- dan Pailul tengah bingung menentukan sikap
pada Koming dan Pailul sebagai rakyatnya. (Panji Koming edisi “Langsung atau Tidak
Denmas Ariakendor merepresentasikan poli- Langsung?”). Perilaku tersebut tergolong
tisi yang menukar uangnya dengan suara oportunis agar dianggap netral dan memiliki
rakyat (membeli suara rakyat). citra positif di masyarakat. Padahal sebagai
Sikap pragmatis lainnya ditunjukkan pemimpin, SBY seharusnya berani bersikap
lewat Caleg yang gemar pindah partai demi tegas karena dirinya memiliki kewenangan
ambisi dan kepentingan pribadinya yang untuk memutuskan suatu kebijakan. Dalam
dianalogikan sebagai kutu loncat (Panji kepemimpinan Jawa, kewenangan memang
Koming edisi “Kutu Loncat”). Perilaku ber- lekat dengan kepemimpinann Jawa, mau
pindah partai ini merupakan sikap oportunis dipakai atau tidak, tergantung keberanian
dan elite politik yang melakukannya dapat mengambil resiko (Endraswara, 2013: 16).
dikatakan tidak memiliki pendirian atau Dengan kata lain, SBY tidak memiliki
ideologi yang kuat, melainkan mencari keberanian untuk memutukan dan mengam-
peluang. Elite politik seperti itu biasanya bil keputusan.
mengandalkan kekuatan uang dan popularitas Perilaku yang direpresentasikan
untuk mewujudkan ambisi politiknya. Perpin- berikutnya adalah feodalisme. Feodalisme
dahan partai biasanya dilakukan karena di par- adalah sistem sosial yang memberikan kekua-
tai baru dijanjikan atau ditempatkan posisi saan pada bangsawan. Mochtar Lubis (dalam
yang lebih tinggi. Tidak jarang pula politisi Sofwan, 2001, h. 15) mengatakan bahwa
tersebut berpindah partai hanya demi mendapat feodalisme pada masyarakat Jawa merupakan
nomor urut satu saat Pemilu. Selain pindah akibat dari hegemoni kerajaan yang memba-
partai, pragmatisme dalam berpolitik juga di- gi masyarakat ke dalam golongan golongan
gambarkan oleh elite politik yang memiliki berdasarkan kekuasaan. Feodalisme juga
status di dua partai berbeda dalam waktu ber- sangat mengagungkan kekuasaan dan jabatan.
samaan. Contoh elite politik yang “lompat Hendariningrum dan Perwitasari (2009, h.
pagar”, antara lain: Abdul Rahman Sappara 213) mengatakan bahwa budaya feodalisme
dari Partai Nasdem dan Partai Hanura di dapil telah memberikan pengaruh pada karak-
Sulawesi Selatan I. Partai Hanura dan Partai teristik masyarakat Jawa khususnya para
Gerindra juga mencatat Caleg yang sama, yai- bangsawan, mereka merasa memiliki kekua-
tu Nuriyati Samatan di dapil Sulawesi Teng- tan dan kekuasaan dominan terhadap kaum
gara dan Christina M Rantenana untuk dapil masyarakat biasa.
Jawa Barat I. Dua nama Caleg terdaftar di Sikap Koming pada edisi “Poli-
partai dan daerah pilihan yang berbeda. Tabra- tik Uang” yang mengatakan bahwa ia
ni Syabirin tercatat sebagai Caleg dari Partai telah melakukan perintah Denmas Ariakendor
Demokrasi Indonesia Perjuang di dapil Jawa (memilih Denmas Ariakendor) tapi ternyata
Barat VII tapi juga sebagai Caleg dari Partai tidak, merupakan dampak dari feodalisme.
Gerindra di dapil Banten II. Nurhayati bahkan Dalam budaya Jawa, sikap Koming dinamakan
terdaftar di tiga partai dan tiga dapil berbeda, tradisi menyenangkan atasan. Endraswara
yaitu Partai Kebangkitan Bangsa di Lampung (2010, h. 166) mengatakan bahwa masyarakat
II, Partai Nasdem di Aceh I, dan Partai Persat- Jawa senang menyenangkan atasannya. Bawa-
uan Pembangunan di Jawa Barat XI. han harus bisa melegakan atasan, dengan
sikap mundhuk-mundhuk, nun inggih sandika
Bagus Prasetiyo Menyimak Pemilu dan Perilaku Elite Politik
dalam Komik
dapat membandingkan Panji Koming dengan Denzin, Norman K. & Yvonna S. Lincoln.
komik sejenis lainnya yang juga membahas 2009. Handbook of Qualitative
masalah sosial dan politik di Indonesia. Bagi Research. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
pembaca komik sebaiknya memahami bahwa Devito, Joseph A. 2009. The Interpersonal
Communication Book. USA: Pearson.
komik-kartun merupakan wacana visual yang Endraswara, Suwardi. 2010. Falsafah Hidup
sarat dengan tanda-tanda pictorial. Semua yang Jawa. Yogyakarta: Cakrawala.
digambarkan merupakan representasi dari real- Endraswara, Suwardi. 2013. Falsafah
itas dan ada pesan yang ingin disampaikan da- Kepemimpinan Jawa. Yo g y a k a r t a :
lam penggambaran tersebut. Sedangkan untuk Narasi (Anggota IKAPI).
Eriyanto. 2009. Analisis Wacana: Pengantar
pihak kampus diharapkan agar menyediakan Analisis Teks Media. Yogyakarta:
literatur yang lebih banyak dan memadai ten- PT. LKiS.
tang komik, kebudayaan Indonesia, dan juga Fiske, John. Cultural and Communication
buku-buku terbitan lama. Studies: Sebuah Pengantar Paling
Komprehensif. 2010. Yogyakarta:
*** Jalan Sutra.
Hoed, Benny. 2011. Semiotika dan
Dinamika Sosial Budaya Edisi Kedua.
Referensi Jakarta : Komunitas Bambu.
Ibrahim. 2013. “Melawan Politik Pragmatis”.
Ahmad, Munawar. 2001. “Menyimak Relasi Bangka Tribun News. 28 November.
Kekuasaan Dalam Kartun”. J u r n a l Diakses 4 Januari.
llmu Sosial & Ilmu Politik, vol. 5, No http://bangka.tribunnews.com/2013/
1, Juli 2001, h. 121-137. Diakses 15 11/28/melawan-politik-pragmatis
- Kriyantono, Rachmat. 2009. Teknik Praktis
sipol.ugm.ac.id/index.php/jsp/article/ Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana
view/152 Prenada Group.
Ahmad, Tsabit Azinar dan Syaiful Amin. Sastroatmodjo, Sudijono. 1995. Perilaku
2010. Iwan Fals VS Oom Pasikom. Politik. Semarang: IKIP Semarang
Yogyakarta: Penerbit Ombak. Press.
Ajidarma, Seno Gumira. 2011. Panji Setiawan, Muhamad Nashir. 2002. Menakar
Tangkorak: Kebudayaan Dalam Panji Koming. Jakarta : Penerbit Buku
Perbincangan. Jakarta: KPG (Kepus- Kompas.
takaan Populer Gramedia). Sobur, Alex. 2006. Semiotika Komunikasi.
Ariyanto, Agung, Dio Dera Darmawan, Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Ganang Setiyo Nugroho. 2013. Sobur, Alex. 2009. Analisis Teks Media.
“Pengaruh Sistem Politik Masyarakat Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Jaawa Terhadap Sistem Politik Di
Indonesia”. Jurnal Hukum UNS, vol.1,
no. 1, h. 1-15. Diakses 2 Mei 2 0 1 5 .
http://jurnal.hukum.uns.ac.id/index.
php/ parental/article/view/421.
Boneff, Marcel. 1998. Komik Indonesia.
Jakarta : KPG (Kepustakaan Populer
Gramedia).
Burton, Graeme. 2007. Membincangkan
Televisi: Sebuah Pengantar Kepada
Studi Televisi. Yogyakarta: Jalansutra.
Danesi, Marcel. 2010. Pengantar Memahami
Semiotika Media. Yogyakarta: Jalasutra.