Anda di halaman 1dari 16

SKLERITIS

Disusun Oleh:

Stacey Nathasia

01073170055

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN MATA


UNIVERSITAS PELITA HARAPAN – RUMAH SAKIT UMUM SILOAM
TANGERANG, BANTEN
MARET-APRIL 2019
DAFTAR ISI

BAB I: Tinjauan Pustaka .........................................................................................1


1.1 Anatomi Sklera ........................................................................................1
1.2 Definisi ....................................................................................................3
1.3 Epidemiologi ...........................................................................................3
1.4 Etiologi ....................................................................................................3
1.5 Tipe Skleritis ...........................................................................................4
1.6 Patofisiologi .............................................................................................4
1.7 Tanda dan Gejala .....................................................................................5
1.8 Pemeriksaan Fisik ....................................................................................6
1.9 Pemeriksaan Penunjang ...........................................................................7
1.10 Tatalaksana ..............................................................................................8
1.11 Komplikasi ............................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................13
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Anatomi Sklera

Sklera adalah lapisan pelindung luar mata, terdiri hampir seluruhnya dari
kolagen. Sklera berbentuk padat dan putih, dan bersatu dengan kornea secara
anterior dan bersatu dengan selubung dural dari saraf optik secara posterior.
Permukaan luar dari anterior sklera dilapisi oleh jaringan elastis tipis,
bernama episklera, yang memiliki banyak pembuluh darah yang memberi
nutrisi kepada sklera. Sklera berfungsi untuk melindungi struktur bola mata
yang halus dan tempat melekatnya otot bola mata. Sklera juga membentuk
pembukaan agar saraf optik bisa lewat, yang disebut sebagai lamina kribosa.

1
Pada insersi otot rektus, sklera kurang lebih tebalnya 0,3 mm dan di
tempat lainnya tebalnya adalah 0,6 mm. Perbedaan ketebalan sklera ini
relevan terhadap daerah yang rentan tersobek karena trauma. Trauma tumpul
cenderung merobek mata pada bagian tertipisnya, yaitu di belakang insersio
otot rektus. Di sekitar nervus optik, sklera ditembus oleh arteri siliaris
posterior dan nervus siliaris. Sedikit posterior dari ekuator mata, terdapat 4
vena vorteks yang menguras koroid melewati sklera, biasanya 1 di masing-
masing kuadran. Kurang lebih 4 mm posterior dari limbus, sedikit anterior
dari insersi otot rektus, 4 arteri dan vena siliaris anterior menembus sklera.
Suplai saraf ke sklera ialah dari nervus siliaris.

Secara histologis, sklera terdiri dari kolagen-kolagen padat yang


paralel dan juga berikatan, masing-masing tebalnya 10–16 μm dan
panjangnya 100–140 μm. Struktur histologi sklera sangatlah mirip dengan
stroma kornea, akan tetapi lebih opak dibandingkan transparan oleh karena
iregularitas dari lamella kolagen dan kadar air yang lebih tinggi.1

2
1.2 Definisi
Skleritis adalah proses peradangan yang terjadi pada sklera, yang melibatkan
lapisan yang lebih dalam dan memiliki manifestasi klinis yang lebih berat
dibandingkan episkleritis.2

1.3 Epidemiologi
Skleritis merupakan kondisi yang cukup jarang ditemukan, dengan prevalensi
kurang lebih 1 di setiap 20 000 orang. Selain itu ditemukan juga bahwa wanita
lebih sering terkena penyakit ini dan penyakit ini lebih sering mengenai
orang-orang berumur 50-60 tahun.3–5

1.4 Etiologi
Skleritis memiliki 2 tipe etiologi, yaitu non-infeksius dan infeksius. Penyebab
non-infeksius merupakan penyebab yang lebih sering ditemukan.
Sejauh ini ditemukan bahwa 25-50% pasien dengan skleritis
memiliki penyakit sistemik yang diduga memiliki hubungan kausal. Setengah
dari pasien-pasien ini ditemukan memiliki penyakit sistemik berupa artritis
rheumatoid nodular dan intraocular. Penyakit sistemik yang paling sering
diasosiaskan dengan skleritis ialah:6

Penyebab infeksius lebih jarang ditemukan. Akan tetapi


dibandingkan dengan semua penyebab infeksius lainnya, virus herpes

3
merupakan agen etiologi yang paling sering ditemukan untuk terjadinya
skleritis infeksius sistemik. Penyebab infeksi lainnya ialah tuberculosis,
sifilis, dan penyakit Lyme. Selain itu, operasi pterygium merupakan operasi
mata yang paling sering menyebabkan skleritis infeksius lokal. Operasi lain
yang sering kali dapat menyebabkan skleritis ialah operasi katarak, operasi
glaukoma, dan operasi vitreoretinal.7

1.5 Tipe Skleritis


2.5.1 Skleritis Anterior
Skleritis anterior difus merupakan tipe yang paling sering ditemukan
dengan gejala yang paling ringan. Sebagian besar kasus skleritis
anterior difus dapat diterapi dengan tatalaksana ringan dan tidak
berulang. Skleritis anterior nodular adalah tipe yang kedua paling sering
ditemukan dan tipe ini dapat berulang. Skleritis anterior nekrotik
merupaka tipe yang paling jarang akan tetapi yang paling berbahaya.
Tipe ini juga lebih sering menyebabkan komplikasi.
2.5.2 Skleritis Posterior
Skleritis posterior adalah inflamasi yang terjadi pada sklera posterior
sampai ora serrata. Inflamasi ini dapat berdiri sendiri atau bisa juga
merupakan kelanjutan dari skleritis anterior. Varian difus, nodular, dan
nekrotik juga dapat terjad pada skleritis posterior juga telah
diidentifikasikan. Akan tetapi, membedakan tipe pada posterior
skleritis lebih sulit karena posisi anatominya.8

1.6 Patofisiologi
Mekanisme patogenik dari skleritis sebenarnya masih belum diketahui
dengan jelas. Pengetahuan dari patologi skleritis sebagian besar ditemukan
dari biopsi sklera pada pasien dengan penyakit nekrotik sehingga hanya
memberikan informasi mengenai kasus-kasus yang berat dan sering kali di
tahap akhirnya. Berdasarkan sebuah penelitian, reaksi imunopatologis dari
skleritis berhubungan erat dengan abnormalitas pada pembuluh dan tanda-
tanda vaskulitis yaitu trombosis pembuluh, nekrosis fibrinoid, dan infiltrasi
inflamasi pada dinding pembuluh.9

4
Pada kelainan autoimun, reaksi hipersensitivitas terbentuk untuk
melawan autoantigen, yang menyebabkan penyerangan terhadap jaringan dan
pembuluh yang sehat. Mekanisme imunologis yang terlibat pada skleritis
ialah hipersensitivitas tipe III (immune-complex mediated) dan tipe IV (cell
mediated) yang menyebabkan mikroangiopati inflamasi dan kerusakan
langsung sel dari jaringan sklera yang terlibat dan pembuluhnya. Oklusi
pembuluh dan iskemia berkontribusi terhadap kerusakan jaringan dan
nekrosis. Respons terhadap serangan inflamasi menghasilkan aktivasi dari
mekanisme lokal yang menyebabkan degradasi dari proteoglikan dan
kolagen, yang akhirnya terjadi penipisan dan hilangnya jaringan sklera.10

1.7 Tanda dan Gejala


Skleritis pada umumnya dikarakteristikan dengan nyeri berat dan konstan
yang bertambah parah pada malam hari atau awal pagi hari dan juga menjalar
ke daerah wajah juga periorbital. Nyeri juga sering kali dideskripsikan seperti
rasa di-bor atau pun berpulsasi. Otot-otot intraokular memiliki insersi ke
dalam sklera sehingga pergerakan okular sering kali memperparah nyeri yang
diasosiasikan dengan inflamasi sklera. Nyeri ini sering kali mengganggu
aktivitas dan membuat pasien menjadi sulit tidur. Selain itu, pasien juga dapat
mengeluhkan gejala penyerta seperti sakit kepala, mata berair, mata merah,
dan fotofobia. Gejala dapat bervariasi bergantung pada tingkat keparahan dari
skleritis dan ada tidaknya nekrosis jaringan. Apabila ada nekrosis jaringan,
bisa terdapat hilangnya inervasi periferal yang menyebabkan peringanan dari
gejala. Onset pada umumnya tidak seakut episkleritis, tetapi durasi serangan
bisa mencapai bulanan hingga tahunan.2,11
Gejala-gejala skleritis juga bisa tampak bervariasi tergantung pada
tipenya. Skleritis anterior difus dan nodular merupakan tipe yang paling
sering ditemukan dan paling sering diasosiasikan dengan gejala nyeri klasik
yang dijelaskan di atas. Pada skleritis anterior nekrotik, pasien dapat
mengalami gejala yang lebih berat saat masa inflamasi yang berupa nyeri
okular dan periorbital yang hebat yang bertambah parah dalam hitungan hari
ataupun minggu. Terkadang juga dapat ditemukan nyeri tekan pada mata
yang radang. Sedangkan pada scleromalacia perforans, yang pada umumnya

5
terjadi secara bilateral, sering kali gejala yang ditemukan sangatlah sedikit
dan tidak nyeri. Hal ini disebabkan oleh nekrosis jaringan dan perusakan dari
saraf yang memberikan rasa nyeri. Pasien juga biasa mengalami penurunan
visus karena perubahan bentuk bola mata dan perubahan kurvatur kornea.
Pada skleritis posterior, terdapat rasa nyeri yang sering kali tidak
dapat dilokalisasi. Diplopia dan nyeri pada pergerakan bola mata juga sering
ditemukan. Selain itu, pasien dengan skleritis posterior juga dapat memiliki
visus yang menurun akibat kompresi dari retina ataupun nervus optik,
proptosis, fotopsia, dan metamorfopsia.12

1.8 Pemeriksaan Fisik


Gejala inti yang dapat ditemukan saat dilakukan pemeriksaan oftalmologi
ialah edema, perubahan warna pada globus, dan nyeri tekan. Tajam
penglihatan dapat tetap normal ataupun terjadi penurunan. Selain itu,
fotofobia dan mata berair tanpa disertai sekret juga dapat dilihat. Penekanan
dengan lidi kapas tidak dapat menggerakkan pembuluh darah, dan penetesan
fenilefrin 10% tidak mengubah vasodilatasi pembuluh darah sklera.2

Hasil pemeriksaan untuk masing-masing tipe skleritis juga dapat


ditemukan. Skleritis anterior difus diasosiasikan dengan eritema okular dan
edema sklera, tetapi tidak ditemukan nodul ataupun daerah nekrosis.
Sedangkan pada skleritis anterior nodular dapat ditemukan area lokal yang

6
pada dan terjadi edema yang diasosiasikan dengan dilatasi dari pembuluh
episklera dalam. Skleritis anterior nekrotik dengan inflamasi akan
menunjukkan edema sklera dengan vasodilatasi hebat pada pleksus episklera
dalam dan juga pembuluh superfisial. Pada keadaan yang sudah lebih berat,
pemeriksaan slit-lamp menunjukkan adanya penutupan pembuluh darah yang
berhubungan dengan penipisan sklera dan perubahan warna kebiruan.
Apabila pasien mengalami scleromalacia perforans, maka yang akan
ditemukan pada pemeriksaan ialah penipisan dan atrofi dari episklera dan
hilangnya perdarahan episklera normal. Sklera anterior juga akan membentuk
infark jaringan lokal yang berwarna putih kekuningan. Pada posterior
skleritis, mata bisa tidak merah apabila tidak disertai dengan skleritis anterior.
Apabila ini terjadi, maka inflamasi hanya bisa terlihat apabila pasien melihat
ke arah yang ekstrim.

1.9 Pemeriksaan Penunjang


Untuk menentukan apabila pasien memiliki skleritis, dapat dilakukan
beberapa imaging. Ultrasonografi B-scan dapat digunakan untuk
mengkonfirmasi adanya penebalan sklera yang merupakan penanda dari
penyakit ini. Hal ini terutama dapat digunakan untuk mengevaluasi apabila
adanya kecurigaan untuk skleritis posterior. Selain itu, CT dan MRI dapat
digunakan untuk mengeksklusi lesi orbital, terutama pada pasien dengan
kemungkinan eksoptalmos dan kasus granulomatosis dengan poliangiitis
(penyakit Wegener), yang terkomplikasi oleh inflamasi orbital.13
Walaupun pada umumnya tidak dibutuhkan, biopsi jaringan dapat
digunakan untuk menentukan diagnosis. Indikasi untuk biopsi ini ialah
eksklusi dari proses infiltratif pada sarkoidosis ataupun kelainan
limfoproliferatif.
Selain itu, pemeriksaan penunjang juga dapat digunakan untuk
mencari penyakit sistemik yang mendasari skleritis.2 Pada pemeriksaan darah
lengkap, dapat ditemukan abnormalitas jumlah sel darah putih, platelet, atau
hematokrit pada pasien dengan kondisi inflamasi sistemik. Selain itu, dapat
diperiksa juga kreatinin, BUN, elektrolit, albumin, total protein, dan
aminotransferase. Urinalisis dengan pemeriksaan mikroskopik pada sedimen

7
urin dibuthkan untuk mengeksklusi glomerulonephritis, yang sering
ditemukan pada penyakit sistemik yaitu Wegener’s dan systemic lupus
erythematosus. ESR dan CRP dapat juga diperiksa, selain itu marker-marker
ini juga berguna untuk menilai respon terakhir dan mendeteksi flaring.

1.10 Diagnosis Banding


Saat akan mendiagnosa skleritis pada pasien, maka perlu dikonsiderasi
diagnosis banding untuk skleritis yang bermacam-macam seperti
konjungtivitis, episkleritis, conjunctival intraepithelial neoplasia, dan juga
karsinoma sel skuamosa. Penyakit-penyakit ini memiliki gambaran yang
mirip dengan skleritis seperti mata merah
Konjungtivitis ialah proses inflamasi yang terjadi pada konjungtiva.
Pasien dengan konjungtivitis biasa akan mengeluhkan keluarnya kotoran
mata terutama saat bangun tidur yang bisa disertai dengan pembengkakan
kelopak mata. Hal ini juga sering disertai dengan rasa tidak nyaman, rasa
terbakar, gatal, ataupun sensasi seperti ada benda asing atau sesuatu yang
mengganjal. Pada pemeriksaan, bisa tampak injeksi konjungtiva dan injeksi
silier apabila ada keterlibatan kornea.
Episkleritis ialah peradangan pada episklera dan sering kali tampak
mirip dengan skleritis. Pasien akan sering mengeluhkan mata merah yang bisa
sembuh sendiri dalam hitungan hari ataupun minggu. Pasien juga akan
mengatakan adanya rasa tidak nyaman, sensasi benda asing, ataupun nyeri
ringan. Pada pemeriksaan, bisa tampak injeksi episklera akibat kongesti
pleksus episklera superfisial.2
Conjunctival intraepithelial neoplasia (CIN) adalah tumor yang
tumbuh secara pelan yang muncul dari sebuah sel yang bermutasi pada
permukaan okular. CIN juga dikenal dengan nama lain seperti Bowen’s
disease, dysplasia skuamosa konjungtiva, epitelioma intraepithelial, dan
epithelial diskeratosis. Pasien sering kali tidak menyadari adanya lesi CIN,
akan tetapi pasien dapat mengeluhkan mata merah dan iritasi. Pada
pemeriksaan, CIN sering bermanifestasi sebagai lesi yang tampak rata
maupun menonjol dengan pembuluh konjungtiva yang berkonfigurasi
hairpin.

8
Karsinoma sel skuamosa atau squamous cell carcinoma (SCC)
merupakan lesi malignan dimana sel epithelial displastik telah mempenetrasi
membran dasar kornea, mendapatkan potensi metastatik. SCC konjungtiva
seringkali didahului oleh CIN. SCC memiliki presentasi yang mirip dengan
CIN, akan tetapi lesi konjungtivanya biasa immobile dan nampak lebih
menonjol. Adanya feeder vessel yang lebih besar juga mengsugesti invasi dari
membran dasar epitel.14

1.11 Tatalaksana
Untuk skleritis, tatalaksana yang dilakukan perlu disesuaikan per individual
agar cocok dengan tingkat keparahan penyakit pasien. Pasien dengan skleritis
nekrotik tentunya membutuhkan tatalaksana yang lebih agresif dibandingkan
dengan pasien dengan skleritis non-nekrotik.

Skleritis anterior difus dan nodular merupakan tipe yang paling


mungkin merespon terhadap terapi NSAID. Apabila terapi NSAID gagal
untuk mengkontrol inflamasi, kebanyakan pasien dapat diberikan prednisone
dosis tinggi. Sedangkan pada pasien dengan skleritis anterior nekrotik atau
skleritis posterior, siklofosfamid ataupun glukokortikoid dosis tinggi dapat
dilakukan. Akan tetapi oleh karena kekhawatiran akan efek samping dari
siklofosfamid, maka terapi pilihan di awal ialah rituximab dengan
glukokortikoid.
Nonsteroidal anti-inflammatory drugs atau NSAID merupakan
terapi yang direkomendasikan untuk menangani pasien dengan skleritis

9
anterior difus dan nodular. Indomethacin ditemukan lebih efektif
dibandingkan NSAID lainnya. Indomethacin dapat digunakan tiga kali sehari
dengan dosis 25-50 mg.15 Terapi NSAID perlu dilanjutkan selama masih ada
tanda-tanda inflamasi sklera.
Glukokortikoid dapat digunakan pada pasien yang tidak merespon
terhadap NSAID dan pasien dengan skleritis nekrotik atau skleritis posterior.
Pasien dapat diberikan prednisone dengan dosis 1 mg/kg per hari dengan
maksimal dosis 80 mg/hari. Regimen dapat dijalankan selama 4-6 minggu
dan dilakukan observasi untuk menilai respon klinis. Apabila tidak ada
perbaikan maka agen imunosupresif perlu dikonsiderasi.
Agen imunosupresif perlu dipikirkan apabila inflamasi tetap
persisten setelah tatalaksana ataupun adanya progresi menjadi varian yang
lebih berat. Kombinasi dari rituximab dan glukortikoid ditemukan sama
efektif dengan kombinasi siklofosfamid dengan glukokortikoid. Akan tetapi,
rituximab memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan dengan
siklofosfamid.16 Ada juga sebuah penelitian yang juga menemukan bahwa
modalitas yang efektif dan bahkan dapat menghasilkan remisi pada pasien.17
Selain itu, methotrexate, azatioprin, dan mikofenolat. Methotrexate
bekerja dengan cara mengurangi proliferasi sel imun, mendukung apoptosis
T limfosit, dan mengubah sitokin. Azatioprin menginhibisi proliferasi dari sel
T dan B dengan menganggu transkripsi DNA dan RNA. Mikofenolat juga
menghambat proliferasi dari limfosit T dan B, mengurangi produksi antibodi,
dan menurunkan transmigrasi leukosit.18
Sedangkan untuk tatalaksana skleritis yang disebabkan oleh etiologi
infeksius, maka tatalaksananya bergantung kepada organisme yang
menyerang pasien. Untuk masing-masing tipe infeksi, tatalaksananya dapat
dilihat pada tabel di bawah:7

10
1.12 Komplikasi
 Perubahan Kornea
Pada skleritis, dapat terjadi keratitis ulseratif periferal, dimana akan terjadi
penipisan kornea periferal, dan juga corneal melt syndrome, yang dapat
mengarah ke perforasi kornea, sehingga dapat menyebabkan hilangnya
penglihatan. Ada 4 karakteristik dari terlibatnya kornea: keratitis stromal
difus dimana terbentuk opasitas dengan pola immune ring dan presipitasi
keratik pada stroma kornea, keratitis stromal sclerosing yang berupa
edema dan infiltrasi dari stroma terjadi bersamaan dengan vaskularisasi
dan scarring, dan limbal guttering yang bisa menjadi serta keratolisis.
 Glaukoma
Inflamasi dan tatalaksana menggunakan glukokortikoid merupakan faktor
resiko untuk komplikasi ini. Glaukoma paling prevalen ditemukan
berhubungan pada skleritis posterior dan nodular, sedangkan paling jarang
terjadi pada skleritis difus. Peningkatan tekanan intraokular dapat
ditemukan di sebagian pasien skleritis posterior dan nodular.
 Katarak
Formasi katarak tergantung kepada tingkat keparahan dari skleritis. Hal ini
paling sering ditemukan pada skleritis nekrotik. Selain itu, terapi
glukokortikoid juga dapat berkontribusi terhadap formasi katarak.
 Segmen Posterior

11
Sebagian besar dari komplikasi segmen posterior merupakan efek dari
inflamasi sklera posterior pada struktur okular yang bersebelahan dengan
sklera, seperti retina dan nervus optikus. Komplikasi yang paling serius
adalah exudative retinal detachment yang melibatkan makula, sehingga
menyebabkan hilangnya penglihatan secara permanen.
 Granuloma dari Sklera
Disini dapat ditemukan proliferasi dari sel inflamasi kronik. Brawny
scleritis dapat ditemukan pada segmen anterior dari mata. Sklera juga akan
tampak menebal dan menyerupai massa tumor apabila segmen posterior
juga terlibat.19

12
DAFTAR PUSTAKA

1. Riordan-Eva P, Augsburger JJ, editors. General Ophthalmolgy. 19th ed.


McGraw-Hill Education; 2018.
2. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Buku Ajar Oftalmologi. 1st ed.
Sitorus RS, Sitompul R, Widyawati S, Bani AP, editors. Jakarta: Badan
Penerbit FKUI; 2017.
3. Honik G, Wong IG, Gritz DC. Incidence and Prevalence of Episcleritis and
Scleritis in Northern California. Cornea. 2013 Dec;32(12):1562–6.
4. Homayounfar G, Nardone N, Borkar DS, Tham VM, Porco TC, Enanoria
WTA, et al. Incidence of Scleritis and Episcleritis: Results From the Pacific
Ocular Inflammation Study. Am J Ophthalmol. 2013 Oct;156(4):752–
758.e3.
5. Okhravi N, Odufuwa B, McCluskey P, Lightman S. Scleritis. Surv
Ophthalmol. 2005 Jul;50(4):351–63.
6. Smith JR, Mackensen F, Rosenbaum JT. Therapy Insight: scleritis and its
relationship to systemic autoimmune disease. Nat Clin Pract Rheumatol.
2007 Apr 1;3(4):219–26.
7. Stem MS, Todorich B, Faia LJ. Ocular Pharmacology for Scleritis: Review
of Treatment and a Practical Perspective. J Ocul Pharmacol Ther. 2017
May;33(4):240–6.
8. McCluskey PJ, Watson PG, Lightman S, Haybittle J, Restori M, Branley M.
Posterior scleritis. Ophthalmology. 1999 Dec;106(12):2380–6.
9. Fong LP, de la Maza MS, Rice BA, Kupferman AE, Foster CS.
Immunopathology of Scleritis. Ophthalmology. 1991 Apr;98(4):472–9.
10. Wakefield D, Di Girolamo N, Thurau S, Wildner G, McCluskey P. Scleritis:
Immunopathogenesis and molecular basis for therapy. Prog Retin Eye Res.
2013 Jul;35:44–62.
11. Sims J. Scleritis: presentations, disease associations and management.
Postgrad Med J. 2012 Dec;88(1046):713–8.
12. Kumar A, Ghose A, Biswas J, Majumder P. Clinical profile of patients with
posterior scleritis: A report from Eastern India. Indian J Ophthalmol.

13
2018;66(8):1109.
13. Pakrou N, Selva D, Leibovitch I. Wegener’s Granulomatosis: Ophthalmic
Manifestations and Management. Semin Arthritis Rheum. 2006
Apr;35(5):284–92.
14. Krachmer J, Mannis M, Holland E. Cornea. 3rd ed. Mosby; 2010.
15. Jabs DA, Mudun A, Dunn JP, Marsh MJ. Episcleritis and scleritis: clinical
features and treatment results. Am J Ophthalmol. 2000 Oct;130(4):469–76.
16. Ahmed A, Foster CS. Cyclophosphamide or Rituximab Treatment of
Scleritis and Uveitis for Patients with Granulomatosis with Polyangiitis.
Ophthalmic Res. 2019;61(1):44–50.
17. Cao JH, Oray M, Cocho L, Foster CS. Rituximab in the Treatment of
Refractory Noninfectious Scleritis. Am J Ophthalmol. 2016 Apr;164:22–8.
18. Beardsley RM, Suhler EB, Rosenbaum JT, Lin P. Pharmacotherapy of
scleritis: current paradigms and future directions. Expert Opin Pharmacother.
2013 Mar 21;14(4):411–24.
19. Jogi R. Basic Ophthalmology. 4th ed. New Delhi: Jaypee Brothers Medical
Publishers; 2009.

14

Anda mungkin juga menyukai