Skleritis - Stacey Nathasia - 01073170055 FINAL
Skleritis - Stacey Nathasia - 01073170055 FINAL
Disusun Oleh:
Stacey Nathasia
01073170055
Sklera adalah lapisan pelindung luar mata, terdiri hampir seluruhnya dari
kolagen. Sklera berbentuk padat dan putih, dan bersatu dengan kornea secara
anterior dan bersatu dengan selubung dural dari saraf optik secara posterior.
Permukaan luar dari anterior sklera dilapisi oleh jaringan elastis tipis,
bernama episklera, yang memiliki banyak pembuluh darah yang memberi
nutrisi kepada sklera. Sklera berfungsi untuk melindungi struktur bola mata
yang halus dan tempat melekatnya otot bola mata. Sklera juga membentuk
pembukaan agar saraf optik bisa lewat, yang disebut sebagai lamina kribosa.
1
Pada insersi otot rektus, sklera kurang lebih tebalnya 0,3 mm dan di
tempat lainnya tebalnya adalah 0,6 mm. Perbedaan ketebalan sklera ini
relevan terhadap daerah yang rentan tersobek karena trauma. Trauma tumpul
cenderung merobek mata pada bagian tertipisnya, yaitu di belakang insersio
otot rektus. Di sekitar nervus optik, sklera ditembus oleh arteri siliaris
posterior dan nervus siliaris. Sedikit posterior dari ekuator mata, terdapat 4
vena vorteks yang menguras koroid melewati sklera, biasanya 1 di masing-
masing kuadran. Kurang lebih 4 mm posterior dari limbus, sedikit anterior
dari insersi otot rektus, 4 arteri dan vena siliaris anterior menembus sklera.
Suplai saraf ke sklera ialah dari nervus siliaris.
2
1.2 Definisi
Skleritis adalah proses peradangan yang terjadi pada sklera, yang melibatkan
lapisan yang lebih dalam dan memiliki manifestasi klinis yang lebih berat
dibandingkan episkleritis.2
1.3 Epidemiologi
Skleritis merupakan kondisi yang cukup jarang ditemukan, dengan prevalensi
kurang lebih 1 di setiap 20 000 orang. Selain itu ditemukan juga bahwa wanita
lebih sering terkena penyakit ini dan penyakit ini lebih sering mengenai
orang-orang berumur 50-60 tahun.3–5
1.4 Etiologi
Skleritis memiliki 2 tipe etiologi, yaitu non-infeksius dan infeksius. Penyebab
non-infeksius merupakan penyebab yang lebih sering ditemukan.
Sejauh ini ditemukan bahwa 25-50% pasien dengan skleritis
memiliki penyakit sistemik yang diduga memiliki hubungan kausal. Setengah
dari pasien-pasien ini ditemukan memiliki penyakit sistemik berupa artritis
rheumatoid nodular dan intraocular. Penyakit sistemik yang paling sering
diasosiaskan dengan skleritis ialah:6
3
merupakan agen etiologi yang paling sering ditemukan untuk terjadinya
skleritis infeksius sistemik. Penyebab infeksi lainnya ialah tuberculosis,
sifilis, dan penyakit Lyme. Selain itu, operasi pterygium merupakan operasi
mata yang paling sering menyebabkan skleritis infeksius lokal. Operasi lain
yang sering kali dapat menyebabkan skleritis ialah operasi katarak, operasi
glaukoma, dan operasi vitreoretinal.7
1.6 Patofisiologi
Mekanisme patogenik dari skleritis sebenarnya masih belum diketahui
dengan jelas. Pengetahuan dari patologi skleritis sebagian besar ditemukan
dari biopsi sklera pada pasien dengan penyakit nekrotik sehingga hanya
memberikan informasi mengenai kasus-kasus yang berat dan sering kali di
tahap akhirnya. Berdasarkan sebuah penelitian, reaksi imunopatologis dari
skleritis berhubungan erat dengan abnormalitas pada pembuluh dan tanda-
tanda vaskulitis yaitu trombosis pembuluh, nekrosis fibrinoid, dan infiltrasi
inflamasi pada dinding pembuluh.9
4
Pada kelainan autoimun, reaksi hipersensitivitas terbentuk untuk
melawan autoantigen, yang menyebabkan penyerangan terhadap jaringan dan
pembuluh yang sehat. Mekanisme imunologis yang terlibat pada skleritis
ialah hipersensitivitas tipe III (immune-complex mediated) dan tipe IV (cell
mediated) yang menyebabkan mikroangiopati inflamasi dan kerusakan
langsung sel dari jaringan sklera yang terlibat dan pembuluhnya. Oklusi
pembuluh dan iskemia berkontribusi terhadap kerusakan jaringan dan
nekrosis. Respons terhadap serangan inflamasi menghasilkan aktivasi dari
mekanisme lokal yang menyebabkan degradasi dari proteoglikan dan
kolagen, yang akhirnya terjadi penipisan dan hilangnya jaringan sklera.10
5
terjadi secara bilateral, sering kali gejala yang ditemukan sangatlah sedikit
dan tidak nyeri. Hal ini disebabkan oleh nekrosis jaringan dan perusakan dari
saraf yang memberikan rasa nyeri. Pasien juga biasa mengalami penurunan
visus karena perubahan bentuk bola mata dan perubahan kurvatur kornea.
Pada skleritis posterior, terdapat rasa nyeri yang sering kali tidak
dapat dilokalisasi. Diplopia dan nyeri pada pergerakan bola mata juga sering
ditemukan. Selain itu, pasien dengan skleritis posterior juga dapat memiliki
visus yang menurun akibat kompresi dari retina ataupun nervus optik,
proptosis, fotopsia, dan metamorfopsia.12
6
pada dan terjadi edema yang diasosiasikan dengan dilatasi dari pembuluh
episklera dalam. Skleritis anterior nekrotik dengan inflamasi akan
menunjukkan edema sklera dengan vasodilatasi hebat pada pleksus episklera
dalam dan juga pembuluh superfisial. Pada keadaan yang sudah lebih berat,
pemeriksaan slit-lamp menunjukkan adanya penutupan pembuluh darah yang
berhubungan dengan penipisan sklera dan perubahan warna kebiruan.
Apabila pasien mengalami scleromalacia perforans, maka yang akan
ditemukan pada pemeriksaan ialah penipisan dan atrofi dari episklera dan
hilangnya perdarahan episklera normal. Sklera anterior juga akan membentuk
infark jaringan lokal yang berwarna putih kekuningan. Pada posterior
skleritis, mata bisa tidak merah apabila tidak disertai dengan skleritis anterior.
Apabila ini terjadi, maka inflamasi hanya bisa terlihat apabila pasien melihat
ke arah yang ekstrim.
7
urin dibuthkan untuk mengeksklusi glomerulonephritis, yang sering
ditemukan pada penyakit sistemik yaitu Wegener’s dan systemic lupus
erythematosus. ESR dan CRP dapat juga diperiksa, selain itu marker-marker
ini juga berguna untuk menilai respon terakhir dan mendeteksi flaring.
8
Karsinoma sel skuamosa atau squamous cell carcinoma (SCC)
merupakan lesi malignan dimana sel epithelial displastik telah mempenetrasi
membran dasar kornea, mendapatkan potensi metastatik. SCC konjungtiva
seringkali didahului oleh CIN. SCC memiliki presentasi yang mirip dengan
CIN, akan tetapi lesi konjungtivanya biasa immobile dan nampak lebih
menonjol. Adanya feeder vessel yang lebih besar juga mengsugesti invasi dari
membran dasar epitel.14
1.11 Tatalaksana
Untuk skleritis, tatalaksana yang dilakukan perlu disesuaikan per individual
agar cocok dengan tingkat keparahan penyakit pasien. Pasien dengan skleritis
nekrotik tentunya membutuhkan tatalaksana yang lebih agresif dibandingkan
dengan pasien dengan skleritis non-nekrotik.
9
anterior difus dan nodular. Indomethacin ditemukan lebih efektif
dibandingkan NSAID lainnya. Indomethacin dapat digunakan tiga kali sehari
dengan dosis 25-50 mg.15 Terapi NSAID perlu dilanjutkan selama masih ada
tanda-tanda inflamasi sklera.
Glukokortikoid dapat digunakan pada pasien yang tidak merespon
terhadap NSAID dan pasien dengan skleritis nekrotik atau skleritis posterior.
Pasien dapat diberikan prednisone dengan dosis 1 mg/kg per hari dengan
maksimal dosis 80 mg/hari. Regimen dapat dijalankan selama 4-6 minggu
dan dilakukan observasi untuk menilai respon klinis. Apabila tidak ada
perbaikan maka agen imunosupresif perlu dikonsiderasi.
Agen imunosupresif perlu dipikirkan apabila inflamasi tetap
persisten setelah tatalaksana ataupun adanya progresi menjadi varian yang
lebih berat. Kombinasi dari rituximab dan glukortikoid ditemukan sama
efektif dengan kombinasi siklofosfamid dengan glukokortikoid. Akan tetapi,
rituximab memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan dengan
siklofosfamid.16 Ada juga sebuah penelitian yang juga menemukan bahwa
modalitas yang efektif dan bahkan dapat menghasilkan remisi pada pasien.17
Selain itu, methotrexate, azatioprin, dan mikofenolat. Methotrexate
bekerja dengan cara mengurangi proliferasi sel imun, mendukung apoptosis
T limfosit, dan mengubah sitokin. Azatioprin menginhibisi proliferasi dari sel
T dan B dengan menganggu transkripsi DNA dan RNA. Mikofenolat juga
menghambat proliferasi dari limfosit T dan B, mengurangi produksi antibodi,
dan menurunkan transmigrasi leukosit.18
Sedangkan untuk tatalaksana skleritis yang disebabkan oleh etiologi
infeksius, maka tatalaksananya bergantung kepada organisme yang
menyerang pasien. Untuk masing-masing tipe infeksi, tatalaksananya dapat
dilihat pada tabel di bawah:7
10
1.12 Komplikasi
Perubahan Kornea
Pada skleritis, dapat terjadi keratitis ulseratif periferal, dimana akan terjadi
penipisan kornea periferal, dan juga corneal melt syndrome, yang dapat
mengarah ke perforasi kornea, sehingga dapat menyebabkan hilangnya
penglihatan. Ada 4 karakteristik dari terlibatnya kornea: keratitis stromal
difus dimana terbentuk opasitas dengan pola immune ring dan presipitasi
keratik pada stroma kornea, keratitis stromal sclerosing yang berupa
edema dan infiltrasi dari stroma terjadi bersamaan dengan vaskularisasi
dan scarring, dan limbal guttering yang bisa menjadi serta keratolisis.
Glaukoma
Inflamasi dan tatalaksana menggunakan glukokortikoid merupakan faktor
resiko untuk komplikasi ini. Glaukoma paling prevalen ditemukan
berhubungan pada skleritis posterior dan nodular, sedangkan paling jarang
terjadi pada skleritis difus. Peningkatan tekanan intraokular dapat
ditemukan di sebagian pasien skleritis posterior dan nodular.
Katarak
Formasi katarak tergantung kepada tingkat keparahan dari skleritis. Hal ini
paling sering ditemukan pada skleritis nekrotik. Selain itu, terapi
glukokortikoid juga dapat berkontribusi terhadap formasi katarak.
Segmen Posterior
11
Sebagian besar dari komplikasi segmen posterior merupakan efek dari
inflamasi sklera posterior pada struktur okular yang bersebelahan dengan
sklera, seperti retina dan nervus optikus. Komplikasi yang paling serius
adalah exudative retinal detachment yang melibatkan makula, sehingga
menyebabkan hilangnya penglihatan secara permanen.
Granuloma dari Sklera
Disini dapat ditemukan proliferasi dari sel inflamasi kronik. Brawny
scleritis dapat ditemukan pada segmen anterior dari mata. Sklera juga akan
tampak menebal dan menyerupai massa tumor apabila segmen posterior
juga terlibat.19
12
DAFTAR PUSTAKA
13
2018;66(8):1109.
13. Pakrou N, Selva D, Leibovitch I. Wegener’s Granulomatosis: Ophthalmic
Manifestations and Management. Semin Arthritis Rheum. 2006
Apr;35(5):284–92.
14. Krachmer J, Mannis M, Holland E. Cornea. 3rd ed. Mosby; 2010.
15. Jabs DA, Mudun A, Dunn JP, Marsh MJ. Episcleritis and scleritis: clinical
features and treatment results. Am J Ophthalmol. 2000 Oct;130(4):469–76.
16. Ahmed A, Foster CS. Cyclophosphamide or Rituximab Treatment of
Scleritis and Uveitis for Patients with Granulomatosis with Polyangiitis.
Ophthalmic Res. 2019;61(1):44–50.
17. Cao JH, Oray M, Cocho L, Foster CS. Rituximab in the Treatment of
Refractory Noninfectious Scleritis. Am J Ophthalmol. 2016 Apr;164:22–8.
18. Beardsley RM, Suhler EB, Rosenbaum JT, Lin P. Pharmacotherapy of
scleritis: current paradigms and future directions. Expert Opin Pharmacother.
2013 Mar 21;14(4):411–24.
19. Jogi R. Basic Ophthalmology. 4th ed. New Delhi: Jaypee Brothers Medical
Publishers; 2009.
14