Korioretinitis Toxoplasma REVISI
Korioretinitis Toxoplasma REVISI
Disusun Oleh:
Stacey Nathasia
01073170055
Pembimbing:
1.2 Anamnesis
Dilakukan secara autoanamnesis kepada pasien di Eye Clinic, Siloam
Hospitals pada 11 Maret 2019.
Keluhan Utama
Penglihatan mata kiri menjadi buram sejak 1 minggu sebelum masuk rumah
sakit.
1
Hipertensi (-)
Diabetes Mellitus (-)
Riwayat Keluarga
Keluarga pasien tidak memiliki keluhan serupa
Ibu pasien mengaku tidak pernah memiliki gejala maupun didiagnosa
dengan toksoplasmosis
Hipertensi (-)
Diabetes Mellitus (-)
Status Oftamologi
Oculi Dextra (OD) Oculi Sinistra (OS)
Inspeksi
2
Gerak Bola Mata
3
Tidak ada Eksteropion Tidak ada
Tidak ada Nyeri tekan Tidak ada
Area Lakrimal dan Pungtum Lakrimal
Tidak ada Lakrimasi Tidak ada
Tidak ada Epifora Tidak ada
Tidak ada Sekret Tidak ada
Tidak ada Bengkak Tidak ada
Tidak ada Hiperemis Tidak ada
Tidak ada Benjolan/Massa Tidak ada
Tidak ada Fistula Tidak ada
Margo Palpebra Inferior et Silia
Tidak ada Edema Tidak ada
Tidak ada Hiperemis Tidak ada
Tidak ada Ulkus Tidak ada
Tidak ada Chalazion Tidak ada
Tidak ada Hordeulum Tidak ada
Tidak ada Trikiasis Tidak ada
Tidak ada Sikatriks Tidak ada
Konjungtiva Tarsalis Superior
Tidak ada Lithiasis Tidak ada
Tidak ada Hordeulum Tidak ada
Tidak ada Chalazion Tidak ada
Tidak ada Papil Tidak ada
Tidak ada Folikel Tidak ada
Tidak ada Simblefaron Tidak ada
Tidak ada Hiperemis Tidak ada
Tidak ada Anemis Tidak ada
Tidak ada Sikatriks Tidak ada
Tidak ada Membran/ Tidak ada
Pseudomembran
Konjungtiva Bulbi
Tidak ada Sekret Tidak ada
Tidak ada Kemosis Tidak ada
Tidak ada Papil Tidak ada
Tidak ada Folikel Tidak ada
Tidak ada Perdarahan Tidak ada
subkonjungtiva
Tidak ada Injeksi Siliar Tidak ada
Tidak ada Injeksi Konjungtiva Tidak ada
Tidak ada Pterigium Tidak ada
Tidak ada Pinguekula Tidak ada
Tidak ada Sikatriks Tidak ada
Tidak ada Benjolan/Massa Tidak ada
Sklera
4
Normal Warna Normal
Tidak ada Nodul Tidak ada
Tidak ada Stafiloma Tidak ada
Tidak ada Ruptur Tidak ada
Tidak ada Blep Tidak ada
Kornea
Jernih Kejernihan Jernih
Rata Permukaan Rata
Tidak ada Arkus Senilis Tidak ada
Tidak ada Edema Tidak ada
Tidak ada Korpus Alienum Tidak ada
Tidak dilakukan Tes Fluoresein Tidak dilakukan
Positif Refleks Kornea Positif
Tidak ada Nebula Tidak ada
Negatif Descementocele Negatif
COA
Dalam Kedalaman Dalam
Tidak ada Hipopion Tidak ada
Tidak ada Hifema Tidak ada
Tidak ada Flare Tidak ada
Tidak ada IOL Tidak ada
Iris
Coklat Warna Coklat
Baik Kripta Baik
Tidak ada Atrofi Tidak ada
Tidak ada Sinekia Anterior Tidak ada
Tidak ada Sinekia Posterior Tidak ada
Tidak ada Gambaran Radier Tidak ada
Tidak ada Eksudat Tidak ada
Tidak ada Rubeosis Iris Tidak ada
Tidak ada Iris Tremulans Tidak ada
Tidak ada Iris Bombe Tidak ada
Tidak ada Iridodialisis Tidak ada
Pupil
Bulat Bentuk Isokor Bulat
3 mm Besar 3 mm
Positif Refleks Cahaya Positif
Langsung
Positif Refleks Cahaya Positif
Tidak Langsung
Negatif Relative Afferent Negatif
Pupillary Defect
Tidak ada Seklusio Pupil Tidak ada
Tidak ada Oklusio Pupil Tidak ada
5
Lensa
Jernih Kejernihan Jernih
Negatif Shadow Test Negatif
Negatif Refleks Kaca Negatif
Vitreus
Jernih Kejernihan Keruh
Tidak ada Flare Tidak ada
Tidak ada Sel Eritrosit Tidak ada
Tidak ada Fibrosis Tidak ada
Funduskopi
Positif Refleks Fundus Positif
Bulat Bentuk Papil Bulat
Tegas Batas Papil Kabur
0,3 Cup Disc Ratio 0,3
2/3 Rasio Arteri:Vena 2/3
TIO
N/P Palpasi N/P
13 Digital NCT (mmHg) 14
Konfrontasi
Sama dengan Campus Sama dengan
pemeriksa pemeriksa
Laboratorium
Non Reactive <1.6
Anti Toxoplasma IgG 18.1 IU/mL
Grey Zone 1.6 - <3.0
6
Reactive >3.0
Non Reactive <0.5
Anti Toxoplasma IgM 0.08 INDEX Grey Zone 0.5 - <0.6
Reactive ≥30.6
1.6 Diagnosis
Diagnosis Kerja :
Korioretinitis Toksoplasma Oculi Sinistra, Reaktivasi
Diagnosis Banding :
Viral Necrotizing Retinitis
1.7 Prognosis
Ad Vitam : Bonam
Ad Functionam : Dubia ad malam
7
Ad Sanationam : Dubia ad malam
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
9
Retina terbentuk atas 10 lapisan, dengan lapisan sebelah dalam yaitu
retina neurosensorik dan lapisan sebelah luar yaitu epitel pigmen retina.
Lapisan paling dalam dari retina beraposisi dengan vitreus, sedangkan lapisan
paling luar melekat kuat pada koroid. Di antara retina neurosensorik dan
epitel pigmen retina terdapat ruang potensial yang dapat terisi cairan bila
terjadi ablasio retina. Lapisan-lapisan tersebut adalah:
1. Epitel pigmen retina (retinal pigment epithelium) yaitu sebuah
lapisan yang terbentuk dari sel heksagonal yang berisi pigmen
melanin dan merupakan lapisan paling luar dari retina.
2. Lapisan sel-sel fotoreseptor, batang dan kerucut (layers of rods and
cones), yang berperan dalam sensasi penglihatan.
3. Membran limitans eksterna (external limiting membrane) yang
memisahkan segmen dalam dari fotoreseptor dengan nukleusnya.
4. Lapisan inti luar sel fotoreseptor (outer nuclear layer) yang terdiri
atas badan sel dari sel-sel batang dan kerucut retina. Pada retina
perifer, jumlah badan sel batang melebihi jumlah sel kerucut. Hal
sebaliknya ditemukan pada retina sentral.
5. Lapisan pleksiform luar (outer plexiform layer) yang terdiri dari
akson sel kerucut dan batang, dendrit sel horizontal, dan dendrit sel
bipolar.
6. Lapisan inti dalam (inner nuclear layer) yang terdiri dari nuclei dari
sel horizontal, sel bipolar, dan sel amakrin. Lapisan ini lebih tebal
10
pada area sentral dari retina dibandingkan dengan area perifer. Pada
lapisan ini ditemukan juga sel penunjang Muller.
7. Lapisan pleksiform dalam (inner plexiform layer) terdiri dari sinaps-
sinaps antara dendrit dari sel ganglion, sel amakrin, dan sel bipolar
dari akson.
8. Lapisan sel ganglion (ganglion cell layer) terdiri dari nuclei sel
ganglion dan juga mengandung fotoreseptor non-batang dan non-
kerucut, yaitu sel ganglion fotosensitif yang berperan penting dalam
respon refleks pada cahaya terang siang hari.
9. Lapisan serabut saraf (nerve fiber layer) terdiri dari akson dari sel
ganglion yang bersatu menuju ke nervus optikus.
10.Membran limitan interna (inner limiting membrane) merupakan
perbatasan antara retina dan badan vitreus. Membran limitan interna
dibentuk oleh astrosit dan footplates sel Muller dan lamina basal.2
2.3 Definisi
Toksoplasmosis disebabkan oleh infeksi dari parasit intraselular obligat yang
bernama Toxoplasma gondii. Infeksi akut yang didapatkan setelah kelahiran
bisa asimtomatik, akan tetapi dapat menyebabkan persistensi kista pada
jaringan penjamu. Pada manusia, infeksi dapat menyerang mata dan
penglihatan sehingga menyebabkan toksoplasmosis okular. Toksoplasmosis
11
okular ini biasa berbicara mengenai korioretinitis yang dapat terjadi.
Korioretinitis sendiri adalah inflamasi dari koroid dan retina mata.
Toksoplasmosis okular ini ditandai dengan retinitis nekrotik yang pregresif
dan rekuren, dengan komplikasi yang mengancam penglihatan.3
2.4 Epidemiologi
Toxoplasma gondii adalah parasit yang sering ditemukan pada seluruh spesies
mamalia, termasuk manusia. Berdasarkan penelitian, ditemukan bahwa 25-
30% dari populasi manusia telah terinfeksi oleh Toxoplasma gondii.4 Akan
tetapi, di seluruh dunia seroprevalensi sangat bervariasi, mulai dari 10-80%
pada berbagai macam negara. Negara-negara dengan seroprevalensi rendah
ialah Amerika Utara dan Eropa utara. Prevalensi 30-50% ditemukan pada
Eropa Sentral dan Selatan. Sedangkan, daerah dengan seroprevalensi tinggi
ditemukan pada Amerika Latin, beberapa negara di Afrika, dan juga
Indonesia.5
12
2.5 Etiologi dan Transmisi
Toxoplasma gondii dapat menginfeksi burung dan juga mamalia. Ada dua
tahap pada siklus hidup Toxoplasma gondii yang menghasilkan bentuk
parasite yang dapat ditransmisikan. Pada tahap aseksual, kista jaringan yang
mengandung bradizoit atau ookista yang mengandung sporozoit yang
dikonsumsi oleh penjamu sementara, seperti manusia, tikus, domba, babi,
ataupun burung. Kista dengan cepat dicerna oleh sekresi asam dari gaster. Hal
ini menyebabkan pelepasan dari bradizoit atau sporozoit, yang lalu memasuki
epitelium usus kecil dan berubah menjadi takizoit yang membelah diri secara
cepat. Takizoit dapat menginfeksi dan bereplikasi di dalam semua sel
mamalia kecuali sel darah merah. Parasit ini secara aktif mempenetrasi sel
dan membentuk vakuola parasitophorous. Replikasi parasit dilanjutkan di
dalam vakuola. Setelah parasit mencapat massa tertentu, signal intraselular
pada induk dan parasite akan menyebabkan parasit keluar dari vakuola. Sel
induknya akan hancur dan melepaskan takizoit yang akan menginfeksi sel
sekitar. Kebanyakan takizoit akan dihancurkan oleh respons imun humoral
dan sel. Kista jaringan yang berisi bradizoit terbentuk dalam 7-10 hari setelah
terjadi infeksi takizoit sistemik. Kista jaringan dapat terbentuk pada berbagai
organ, akan tetapi lebih sering ditemukan pada sistem saraf pusat dan otot.
Terbentuknya masa kronik ini menutup tahap aseksual dari siklus hidupnya.
13
Tahap seksual dari siklus hidup Toxoplasma gondii terjadi pada
kucing, penjamu definitif. Tahap seksual parasite ini ditandai dengan formasi
dari ookista pada kucing. Hal ini dimulai dengan ingesti dari kista bradizoit
dan setelah beberapa tahap berakhir pada produksi gamet. Gamet bergabung
untuk menghasilkan zigot, yang lalu akan membungkus dirinya sendiri dan
disekresikan dalam feses sebagai ookista. Setelah 2-3 hari terekspos dengan
udara, ookista akan bersporulasi untuk membentuk 8 calon sporozoit. Ookista
yang sudah bersporulasi membentuk sporokista. Sporokista dapat dimakan
oleh hewan atau mamalia lain sehingga terjadi penularan.
Transmisi dari Toxoplasma gondii dapat terjadi dengan beberapa
cara seperti melalui oral, lewat darah atau organ, dan juga transplasental.
Kebanyakan toksoplasmosis pada manusia terjadi dengan transmisi oral. Hal
ini disebabkan oleh ingesti dari makanan atau minuman yang terkontaminasi
oleh sporokista. Sporokista ini sangatlah infeksius dan tetap bisa menular di
dalam air ataupun tanah sampai bertahun-tahun. Manusia juga dapat
terinfeksi karena mengkonsumsi kista jaringan yang berisi bradizoit.
Makanan yang tidak dimasak ataupun dibekukan dengan benar juga
merupakan penyebab infeksi yang sering ditemukan pada negara
berkembang. Toxoplasma gondii juga dapat ditransmisikan secara langsung
dari donor organ atau darah yang seropositif. Selain itu, secara rata-rata satu
per tiga dari wanita yang terinfeksi dapat menstransimisikan parasit ke
fetusnya. Apabila wanita terinfeksi Toxoplasma gondii lebih dari 6 bulan
sebelum konsepsi, maka tidak ada resiko transmisi. Akan tetapi, apabila
infeksi didapatkan kurang dari 6 bulan sebelum konsepsi, maka kemungkinan
infeksi transplasental meningkat.6
Infeksi kongenital biasanya terjadi setelah infeksi primer pada
wanita yang hamil. Insidensi dari toksoplasmosis kongenital bervariasi
berdasarkan pada trimester mana infeksi maternal terjadi. Pada wanita yang
tidak diobati, kemungkinan transmisi pada trimester permata adalah 25
persen, 54 persen pada trimester kedua, dan 65 persen pada trimester ketiga.
Walaupun mekanisme perpindahan parasit melalui plasenta masih belum
sepenuhnya dimengerti, ada beberapa penilitian baru yang memberikan
14
informasi. Penelitian pada plasenta manusia mengsugestikan bahwa
extravillous trophoblasts yang mengikat plasenta pada uterus lebih rentan
terhadap infeksi dibandingkan dengan syncytiotrophoblasts yang dilapisi oleh
darah maternal. Dengan ini, sangatlah mungkin bahwa setelah infeksi primer
pada wanita menjadi parasitemia, terjadi infeksi intraselular pada uterus, yang
berlanjut dengan infeksi extravillous trophoblasts sehingga takizoit
berpindah dari satu sel ke sel lainnya, yang pada akhirnya menyebabkan
infeksi pada fetus. Selain itu, juga mungkin ada keterlibatan langsung dari
leukosit maternal yang terinfeksi oleh takizoit atau melewati plasenta dan
berkontribusi pada infeksi fetal.7
15
optik, yang menentang teori nervus optik tersebut.11 Selain itu, rute
hematogen yang menyebabkan diseminasi ke mata lebih didukung dengan
fakta bahwa toksoplasmosis okular dapat terjadi tanpa adanya ensefalitis
toksoplasma.12 Telah ditemukan juga bahwa sel endotel vaskular lebih mudah
terinfeksi oleh Toxoplasma gondii dibandingkan dengan sel endotel di daerah
lain pada tubuh, yang menunjukkan infeksi preferensial pada retina oleh
parasit tersebut.13
16
scarring korioretinal yang berpigmen. Selain itu, toksoplasmosis okular juga
sering diasosiasikan dengan uveitis anterior dan vitritis. Tingkat keparahan
dari anterior uveitis bervariasi dari minimal sampai inflamasi berat,
granulomatous atau non-granulomatous, yang terkadang dapat
menyembunyikan keterlibatan posterior. Pada vitritis, penggunaan
oftalmoskop indirek pada segmen posterior akan menunjukkan refleks
berwarna putih yang juga dikenal sebagai headlight in the fog.14
17
Spectral-domain optical coherence tomography (SD-OCT)
merupakan pemeriksaan imaging yang dapat digunakan untuk menilai
karakteristik morfologi dari perubahan vitreoretinal pada toksoplasmosis
okular. Pada fase akut, dapat ditemukan disrupsi, penebalan, dan
hiperreflektivitas dari retina neurosensorik dan elevasi dari epitel pigmen
retina. Lalu pada follow-up, lapisan retina neurosensorik mengalami
penipisan dan disorganisasi, interupsi fotoreseptor, dan elevasi dari epitel
pigmen retina atau atrofi dapat dilihat. Titik-titik hiperreflektif pada kavitas
vitreus dan penebalan hialoid posterior, dengan partial detachment. Dengan
perbaikan penyakit, titik-titik hiperreflektif menjadi lebih kecil dan lama-
lama hilang.15
Saat diagnosis masih tidak dapat ditentukan melalui pemeriksaan
funduskopi, maka pemeriksaan serologi untuk menilai titer antitoksoplasma
IgG dan IgM pada serum yang bisa mendukung diagnosis. Kebanyakan
laboratorium mengukur level antibodi IgG dan IgM dengan menggunakan
enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) atau immunofluorescent
18
antibody commercial kits. Antibodi serum IgG dan IgM terhadap Toxoplasma
gondii biasa terbentuk 1-2 minggu setelah infeksi. Pasien yang dicurigai
memiliki toksoplasmosis akut dapat diperiksa dahulu IgG dan apabila
hasilnya positif, IgM juga dapat diperiksa. IgG yang non-reaktif langsung
mengeksklusi diagnosis toksoplasma pada pasien yang imunokompeten.
Level IgM akan naik pada minggu pertama dan akan sulit dideteksi 6-9 bulan
setelahnya.14
Analisis aqueous humor atau vitreus juga dapat digunakan apabila
diagnosis masih belum jelas, dengan dilakukan PCR atau pemeriksaan
antibodi. Antitoxoplasma immunoglobulin G (IgG) atau IgA dapat ditemukan
di kedua sampel tersebut.
2.9 Tatalaksana
Pada pasien yang imunokompeten, korioretinitis toksoplasma umumnya
merupakan infeksi yang self-limiting dan dapat berakhir secara spontan dalam
waktu 4-8 minggu. Berdasarkan dari perjalanan penyakit dan efek samping
dari pengobatan, resiko dari pengobatan akibat toksisitas dari obat
antiparasitik bisa lebih besar dibandingkan keuntungan yang didapatkan
pasien. Akan tetapi, tatalaksana direkomendasikan apabila lesi terletak pada
vascular arcades, bersebelahan dengan diskus optik, ukurannya lebih besar
dari diameter 2 diskus optik, atau memiliki presentasi atipikal untuk
mengurangi kemungkinan hilangnya penglihatan.16
19
pirimetamin 100 mg ditambah sulfadiazin 2 g diberikan sebagai single
loading dose pada hari pertama pengobatan. Hal ini diikuti dengan
pirimetamin 25 mg/hari ditambah sulfadiazin 500 mg 4 kali sehari dan
leukovorin 10 mg/hari minimal selama 6 minggu.
Apabila pirimetamin tidak dapat digunakan, maka dapat diberikan
trimetroprim-sulfametoksazol (TMP-SMX), trimetroprim sebanya 160 mg
dan sulfametoksazol sebanyak 800 mg, 2 kali sehari selama 6 minggu. TMP-
SMX memang sudah ditemukan sebagai pengganti yang aman dan efektif
untuk pirimetamin dan sulfadiazin. Selain itu, TMP-SMX juga memiliki
peran profilaktik untuk mencegah rekurensi dari toksoplasmosis okular. Hal
ini bisa dicapai dengan pemberian pemberian obat setiap 3 hari selama 20
bulan secara konsekutif.
Klindamisin juga merupakan sebuah pilihan untuk terapi antibiotik.
Antibiotik ini berkonsentrasi di jaringan okular dan mempenetrasi dinding
kista jaringan. Klindamisin (0.1 mg/0.1 mL) diberikan secara injeksi
intravitreal dengan deksametason. Injeksi dapat diberikan sebanyak 1-3 kali
dalam waktu 6 minggu. Jumlah injeksi yang digunakan tergantung terhadap
aktivitas penyakit pada pemeriksaan.14
Pada pasien dengan inflamasi vitreus dan vaskulitis retina yang
signifikan, glukokortikoid diberikan untuk membantu mempertahankan
penglihatan. Umumnya inisiasi dimulai dengan pemberian prednison
sebanyak 40 mg/hari, 3 hari setelah dimulainya terapi antimikrobial. Terapi
glukokortikoid diberikan jarak selama 3 hari untuk mengurangi beban
organisme dan meminimalisir kemungkinan glukokortikoid untuk
memperparah infeksi.17,18 Dosis ini dilanjutkan sampai inflamasi telah hilang
dari mata dan juga vitreus mengalami normalisasi, yang bisa membutuhkan
waktu selama beberapa minggu. Setelah itu, dapat dilakukan tapering dari
glukokortikoid. Apabila yang digunakan adalah klindamisin intravitreal,
maka deksametason intravitreal dapat digunakan sebagai pengganti prednison
oral.
Pasien dengan toksoplasmosis okular minimal diberikan pengobatan
selama 6 minggu. Pemeriksaan oftalmologi yang mendukung pemberhentian
20
dari obat ialah resolusi dari inflamasi dan retinitis. Aktivitas lesi dan redanya
vaskulitis dapat dinilai menggunakan fluorescein angiography juga bisa
membantu menentukan apakah tatalaksana bisa dihentikan.
21
BAB III
ANALISA KASUS
Pasien pria berusia 34 tahun datang dengan keluhan penglihatan yang menjadi
buram di mata kiri sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit. Berdasarkan
anamnesis, pasien tidak memiliki keluhan lain selain penglihatannya yang menurun
dan bayangan hitam, yang berarti pasien dapat diklasifikasikan dalam mata tenang
dengan visus menurun perlahan. Pasien juga ditemukan memiliki riwayat
korioretinitis toksoplasma beberapa bulan sebelumnya. Riwayat ini penting karena
dapat terjadi reaktivasi atau pada korioretinitis toksoplasma. Hal ini terjadi apabila
kista yang berisi bradizoit pada scar yang telah terbentuk pecah dan melepaskan
parasit tersebut ke daerah sekitar, menyebabkan proses inflamasi berupa retinitis.
Pasien tidak memiliki riwayat penyakit lain seperti hipertensi mau diabetes mellitus
yang dapat menyebabkan retinopati.
Berdasarkan pemeriksaan fisik, ditemukan bahwa visus pasien memang
lebih buruk pada mata kiri yang tidak banyak membaik saat di pinhole sehingga
menunjukkan kemungkinan adanya kelainan di media refraksi dibandingkan
dengan kelainan refraksi itu sendiri. Pemeriksaan segmen anterior lainnya
ditemukan dengan hasil normal pada kedua mata.
Pemeriksaan segmen posterior menggunakan funduskopi dan foto
fundus menunjukkan beberapa kelainan pada okuli sinistra: vitreus pasien tampak
keruh, papil bulat yang memiliki batas tidak tegas, tampak scarring pada retina
bagian temporal, dan infiltrat di sekitar scarring. Vitreus yang keruh sehingga batas
papil tidak tampak tegas menggambarkan terjadinya vitritis, salah satu dari penanda
korioretinitis toksoplasma. Scarring juga cocok dengan riwayat pasien yang
sebelumnya mengalami korioretinitis toksoplasma. Tampaknya infiltrat di sekitar
scarring menandai adanya proses inflamasi baru yang juga cocok dengan gambaran
terjadinya reaktivasi atau relaps dari korioretinitis toksoplasma.
Dari fakta-fakta diatas, maka dapat lebih mungkin bahwa pasien
mendapatkan infeksi secara acquired dibandingkan kongenital. Hal ini bisa dilihat
karena pasien dengan toksoplasmosis kongenital biasa memiliki infeksi di kedua
mata dan daerah yang diinfeksi umumnya adalah daerah makula. Walaupun pasien
mengaku tidak memelihara kucing, di lingkungannya banyak kucing yang
22
berkeliaran sehingga meningkatkan resiko untuk infeksi oleh toksoplasma. Pasien
juga bisa tertular melalui konsumsi lalapan ataupun daging yang dimasak dengan
kurang baik.
Hasil laboratorium dari pasien ini anti toxoplasma IgG ditemukan
reaktif yang menandakan bahwa pasien memang pernah terinfeksi oleh Toxoplasma
gondii. Akan tetapi, anti toxoplasma IgM memiliki hasil yang non-reaktif yang
berarti sedang tidak terjadi infeksi yang aktif secara sistemik. Untuk memastikan
diagnosis dengan lebih baik, bisa juga dilakukan pengambilan sampel humor
aqueous ataupun vitreus untuk dilakukan pemeriksaan IgM dan IgG.
Sebagai tatalaksana, pada pasien ini dapat diberikan tatalaksana berupa
pirimetamin dan sulfadiazin untuk mencegah kerusakan retina yang lebih lanjut dan
mempertahankan visus sekrang ini.
23
DAFTAR PUSTAKA
24
Year 2011: Toxoplasmosis” Pathophysiology of Toxoplasmosis. Ocul
Immunol Inflamm. 2011 Oct 4;19(5):297–306.
13. Smith JR, Franc DT, Carter NS, Zamora D, Planck SR, Rosenbaum JT.
Susceptibility of Retinal Vascular Endothelium to Infection with
Toxoplasma gondii Tachyzoites. Investig Opthalmology Vis Sci. 2004 Apr
1;45(4):1157.
14. Ozgonul C, Besirli CG. Recent Developments in the Diagnosis and
Treatment of Ocular Toxoplasmosis. Ophthalmic Res. 2017;57(1):1–12.
15. Goldenberg D, Goldstein M, Loewenstein A, Habot-Wilner Z. Vitreal,
retinal, and choroidal findings in active and scarred toxoplasmosis lesions:
a prospective study by spectral-domain optical coherence tomography.
Graefe’s Arch Clin Exp Ophthalmol. 2013 Aug 9;251(8):2037–45.
16. Holland GN, Lewis KG. An update on current practices in the management
of ocular toxoplasmosis. Am J Ophthalmol. 2002 Jul;134(1):102–14.
17. Bosch-Driessen LH, Verbraak FD, Suttorp-Schulten MS., van Ruyven RL.,
Klok AM, Hoyng CB, et al. A prospective, randomized trial of
pyrimethamine and azithromycin vs pyrimethamine and sulfadiazine for the
treatment of ocular toxoplasmosis. Am J Ophthalmol. 2002 Jul;134(1):34–
40.
18. Soheilian M, Sadoughi M-M, Ghajarnia M, Dehghan MH, Yazdani S,
Behboudi H, et al. Prospective Randomized Trial of
Trimethoprim/Sulfamethoxazole versus Pyrimethamine and Sulfadiazine in
the Treatment of Ocular Toxoplasmosis. Ophthalmology. 2005
Nov;112(11):1876–82.
25