TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi
Gagal ginjal terjadi ketika ginjal tidak mampu mengangkut sampah metabolik tubuh atau
melakukan fungsi regulernya. Suatu bahan yang biasanya di eliminasi di urin menumpuk
dalam cairan tubuh akibat gangguan ekskresi renal dan menyebabkan gangguan fungsi
Gagal ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih dari 3 bulan,
berdasarkan kelainan patologis atau petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria. Jika tidak
ada tanda kerusakan ginjal diagnosis penyakit ginjal kronik ditegakkan jika nilai laju filtrasi
1. Kerusakan ginjal > 3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi ginjal, dengan atau
Kelainan patologik
pencitraan radiologi
2. Laju filtrasi glomerulus < 60 ml/menit/1,73m² selama > 3 bulan dengan atau tanpa
kerusakan ginjal.
Pada pasien dengan penyakit ginjal kronik, klasifikasi stadium ditentukan oleh nilai
laju filtrasi glomerulus, yaitu stadium yang lebih tinggi menunjukkan nilai laju filtrasi
glomerulus yang lebih rendah. Klasifikasi tersebut membagi penyakit ginjal kronik dalam
lima stadium. Stadium 1 adalah kerusakan ginjal dengan fungsi ginjal yang masih normal,
stadium 2 kerusakan ginjal dengan penurunan fungsi ginjal yang ringan, stadium 3 kerusakan
ginjal dengan penurunan yang sedang fungsi ginjal, stadium 4 kerusakan ginjal dengan
penurunan berat fungsi ginjal, dan stadium 5 adalah gagal ginjal. Hal ini dapat dilihat pada
(mL/menit/1,73m2)
> 90 1 1 HT Normal
60 – 89 2 2 HT dengan Penurunan
30 – 59 3 3 3 3
15 – 29 4 4 4 4
< 15 (atau dialisis) 5 5 5 5
Tabel 2. Klasifikasi penyakit ginjal kronik dengan atau tanpa kerusakan ginjal dan
2. Epidemiologi
Prevalensi penyakit ginjal kronik diseluruh dunia sekitar 5-10%. Prevalensi penyakit
ginjal kronik di Amerika serikat pada tahun 1999-2004 adalah 13,1%, yang terdiri dari 1,8%
derajat 1; 3,2% derajat 2; 7,7% derajat 3; dan 0,35% derajat 4. Prevalensi penyakit ginjal
kronik di Australia, Jepang, dan Eropa adalah 6-11%, terjadi peningkatan 5-8% setiap
tahunnya.3 Sekitar 1,5% dari pasien penyakit ginjal kronik derajat 3 dan 4 akan berlanjut
menjadi derajat 5 atau penyakit ginjal kronik tahap akhir (gagal ginjal) per tahunnya.4 Di
Indonesia belum ada data yang lengkap mengenai penyakit ginjal kronik. Diperkirakan
insiden penyakit ginjal kronik tahap akhir di Indonesia adalah sekitar 30,7 per juta populasi
dan prevalensi sekitar 23,4 per juta populasi. Pada tahun 2006 terdapat sekitar 10.000 orang
Menurut data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, prevalensi gagal
ginjal kronik di Indonesia sekitar 0,2%. Di Indonesia jumlah pasien yang menjalani
hemodialisa semakin meningkat setiap tahunnya. Jumlah pasien baru yang menjalani terapi
hemodialisa sebanyak 19621 orang, dimana pada tahun 2011 hanya berjumlah 15353 orang.
Sedangkan pasien yang aktif HD pada tahun 2012 sebanyak 9161.Jumlah pasien pria setiap
tahun berjumlah 5602 orang melebihi jumlah pasien wanita yaitu 3559 orang. Pasien
terbanyak ada pada kelompok usia 45-54 tahun sekitar 29,21%. Diagnosis penyakit utama
pasien hemodialisis baru yang terbanyak adalah gagal ginjal terminal/ESRD sebanyak
83%.Jumlah pasien berdasarkan etiologi tertinggi yaitu penyakit ginjal hipertensi berjumlah
Penyakit GGK dapat menyerang setiap manusia baik pria maupun wanita tanpa
memandang usia, status status sosial ekonomi, latar belakang pendidikan, pekerjaan, dan
tempat tinggal. Pasien GGK tertinggi pada kelompok umur ≥ 75 tahun (0,6%). Prevalensi
pada pria (0,3%) lebih tinggi dari wanita (0,2%), prevalensi lebih tinggi pada masyarakat
(0,3%), dan kuintil indeks kepemilikan terbawah dan menengah bawah masing-masing
0,3%.1
3. Etiologi
Gagal ginjal kronik disebabkan oleh berbagai penyakit, seperti glomerolunefritis akut,
gagal ginjal akut, penyakit ginjal polikistik, obstruksi saluran kemih, pielonefritis,
nefrotoksin, dan penyakit sistemik, seperti diabetes melitus, hipertensi, lupus eritematosus,
Berdasarkan data dari Indonesia Renal Registry (2011), penyebab terbanyak dari
gagal ginjal kronik adalah hipertensi dengan 34% dan diabetes melitus sebesar 27%. Dimana
angka kejadian penyakit ginjal hipertensi sebesar 4243 pasien dan nefropati diabetika sebesar
3405 pasien. Fitriana (2012), menyatakan bahwa pasien hemodialisis dengan tekanan darah
130/80 mmHg akan mengalami kerusakan ginjal yang lebih dini, menurut hasil penelitian
dari 547 insiden pre-dialisis 89% diantaranya mengalami tekanan darah diatas 130/80
walaupun sudah selesai diberikan terapi dan pemberian anti hipertensi dan hanya 11% yang
Ada beberapa hal yang diduga sebagai faktor risiko terjadinya penyakit ginjal kronik,
seperti hipertensi, diabetes melitus, infeksi saluran kemih, riwayat batu saluran kemih, dan
obesitas. Dari 182 pasien penyakit ginjal kronik didapatkan 126 orang (68,9%) mempunyai
riwayat hipertensi, 61 (33,3%) mempunyai riwayat diabetes melitus, 26 (14,2%) mempunyai
riwayat infeksi saluran kemih, 21 orang (11,5%) mempunyai riwayat batu saluran kemih dan
a. Glomerulonefritis
mekanisme kekebalan tubuh memicu peradangan dan proliferasi jaringan glomerular yang
dapat mengakibatkan kerusakan pada membran basal, mesangium, atau endotelium kapiler.
Hippocrates awalnya menggambarkan manifestasi nyeri punggung dan hematuria, lalu juga
serangan yang tiba-tiba menunjukkan adanya hematuria, proteinuria, dan silinder sel darah
merah. Gambaran klinis ini sering disertai dengan hipertensi, edema, dan fungsi ginjal
terganggu.11
sekunder. Glomerulonefritis primer apabila penyakit dasarnya berasal dari ginjal sendiri
sedangkan glomerulonefritis sekunder apabila kelainan ginjal terjadi akibat penyakit sistemik
lain seperti diabetes melitus, lupus eritematosus sistemik (LES), mieloma multipel, atau
amiloidosis.11
Kebanyakan kasus terjadi pada pasien berusia 5-15 tahun. Hanya 10% terjadi pada
pasien yang lebih tua dari 40 tahun. Gejala glomerulonefritis akut yaitu dapat terjadi
hematurim oligouri, edema preorbital yang biasanya pada pagi hari, hipertensi, sesak napas,
munculnya protein dalam urin. Kehadiran protein urin tidak hanya tanda awal penyakit ginjal
diabetes, tetapi dapat menyebabkan kerusakan dan tubulointerstitial glomerular yang pada
Amato dkk tahun 2005 melaporkan 25% pasien dengan laju filtrasi glomerulus
oleh Afolabi dkk tahun 2006 di Rumah Sakit Umum Wesley, Nigeria melaporkan terdapat
hubungan yang signifikan antara riwayat diabetes melitus dengan kejadian penyakit ginjal
kronik.16 Penelitian Chanban dkk tahun 2003 di Australia juga melaporkan bahwa prevalensi
penurunan laju filtrasi glomerulus <60ml/min/173m2 3 kali lebih tinggi pada orang dengan
riwayat diabetes melitus dibandingkan dengan orang tanpa riwayat diabetes melitus.12
c. Hipertensi
Hipertensi adalah tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥
90 mmHg pada seseorang yang tidak makan obat anti hipertensi. Berdasarkan penyebabnya,
hipertensi dibagi menjadi dua golongan yaitu hipertensi esensial atau hipertensi primer yang
tidak diketahui penyebabnya atau idiopatik, dan hipertensi sekunder atau disebut juga
hipertensi renal.13
Hipertensi yang berlangsung lama akan menyebabkan perubahan resistensi arteriol
aferen dan terjadi penyempitan arteriol eferen akibat perubahan struktur mikrovaskuler.
Kondisi ini akan menyebabkan iskemik glomerular dan mengaktivasi respon inflamasi.
Hasilnya, akan terjadi pelepasan mediator inflamasi, endotelin dan aktivasi angiostensin II
intrarenal. Kondisi ini akan menyebabkan terjadi apoptosis, meningkatkan produksi matriks
dan deposit pada mikrovaskuler glomerulus dan terjadilah sklerosis glomerulus atau
nefrosklerosis.12
menyatakan dengan diberikannya obat anti-hipertensi maka tekanan darah dapat dikontrol.
Penurunan tekanan darah dapat menjaga fungsi ginjal dan tampaknya sebanding dengan
proteinuria dan hal tersebut dapat menurunkan jumlah terapi yang dijalaankan oleh pasien.
Oleh karena itu apabila hipertensi pada pasien hemodialisa dapat dikendalikan dan berada
pada rentang dibawah > 180 mmHg maka akan memberikan pengaruh yang baik sehingga
dapat meningktakan kualitas hidup pasien. Hasil penelitian ini juga didapatkan bahwa
kualitas hidup pasien gagal ginjal kronik dengan comorbid hipertensi yang memiliki kualitas
hidup baik sebanyak 29 responden dan yang memiliki kualitas hidup buruk sebanyak 1
responden. Sedangkan responden dengan comorbid diabetes melitus yang memiliki kualitas
hidup baik sebanyak 13 responden dan yang memiliki kualitas hidup buruk sebanyak 17
responden. Budiyanto (2009) mengatakan bahwa hipertensi dan gagal ginjal saling
mempengaruhi. Hipertensi dapat menyebabkan gagal ginjal, sebaliknya gagal ginjal kronik
perubahan struktur pada arteriol di seluruh tubuh, ditandai dengan fibrosis dan
hialinisasidinding pembuluh darah. Organ sasaran utama adalah jantung, otak, ginjal, dan
Gangguan ini merupakan akibat langsung iskemia karena penyempitan lumen pembuluh
darah intrarenal Penyumbatan arteri dan arteriol akan menyebabkan kerusakan glomerulus
dan atrofi tubulus, sehingga seluruh nefron rusak, yang menyebabkan terjadinya gagal ginjal
kronik.5
Padila (2012) mengatakan perubahan fungsi ginjal dalam waktu yang lama dapat
mengakibatkan kerusakan lebih lanjut pada nefron yang ada. Lesi-lesi skerotik yang
terbentuk makin banyak sehingga dapat menimbulkan obliteli glomelurus yang menurunkan
fungsi ginjal yang lebih lanjut dan dapat menimbulkan lingkaran setan yang berkembang
secara lambat sehingga penanganan untuk pasien hipertensi yang mengalami gagal ginjal
dapat dikontrol. Ekantari (2009) juga menyatakan bahwa penyakit hipertensi pada gagal
ginjal kronik masih dapat dikendalikan dengan memberikan obat anti hipertensi serta
menambahkan bahwa hipertensi bukanlah penyebab kematian utama pada pasien gagal
ginjal.5
d. Ginjal polikistik
Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi cairan atau material yang
semisolid. Polikistik berarti banyak kista. Pada keadaan ini dapat ditemukan kista kista yang
tersebar di kedua ginjal, baik di korteks maupun di medula. Selain oleh karena kelainan
genetik, kista dapat disebabkan oleh berbagai keadaan atau penyakit. Jadi ginjal polikistik
merupakan kelainan genetik yang paling sering didapatkan. Nama lain yang lebih dahulu
dipakai adalah penyakit ginjal polikistik dewasa (adult polycystic kidney disease), oleh
karena sebagian besar baru bermanifestasi pada usia di atas 30 tahun. Ternyata kelainan ini
dapat ditemukan pada fetus, bayi dan anak kecil, sehingga istilah dominan autosomal lebih
kemih 4-5 kali lebih sering menderita penyakit ginjal kronik dibandingkan dengan orang
yang tidak memiliki riwayat batu saluran kemih. sependapat dengan penelitian cohort yang
dilakukan oleh Alexander dkk di Alberta, Canada yang melaporkan terdapat hubungan yang
signifikan antara riwayat batu saluran kemih dengan penyakit ginjal kronik.12
Obstruksi yang diakibatkan oleh batu saluran kemih dapat menyebabkan peningkatan
tekanan intratubular yang diikuti oleh vasokonstriksi pembuluh darah hingga mengakibatkan
iskemik pada ginjal. Iskemik pada waktu yang lama dapat menyebabkan glomeruloskerosis,
atrofi tubulus dan fibrosis intertisial. Obstruksi komplit pada ginjal selama 24 jam akan
Terjadinya infeksi saluran kemih disertai dengan refluk vesiko ureter akan
fungsi ginjal. Adanya hubungan yang signifikan antara riwayat infeksi saluran kemih dengan
penyakit ginjal kronik terbukti secara statistik pada penelitian ini. Orang dengan riwayat
infeksi saluran kemih 5 kali lebih berisiko terkena penyakit ginjal kronik dibandingkan orang
G. SLE
Sistemik lupus eritematosus (SLE) adalah penyakit autoimun yang menyerang banyak
organ salah satunya adalah ginjal. Enam puluh persen pasien SLE akan mengalami kerusakan
ginjal. Penelitian cohort yang dilakukan oleh Bono dkk terhadap 110 pasien lupus nefritis
dilaporkan 43,6% tidak mengalami kerusakan ginjal, 10% mengalami penurunan fungsi
ginjal dan 16,4% mengalami penyakit ginjal kronik tahap akhir. Hasil penelitian Bono dkk
sedikit berbeda dengan penelitian ini, pada penelitian didapatkan 28,6% pasien LES tidak
mengalami gangguan ginjal dan 71,4% mengalami penyakit ginjal kronik tahap akhir dan
Gagal jantung (HF) didefinisikan sebagai sindrom yang dapat dihasilkan dari apapun
gangguan jantung struktural atau fungsional yang merusak kemampuan jantung berfungsi
sebagai pompa untuk mendukung sirkulasi fisiologis. HF dapat terjadi sebagai akibat dari
baik disfungsi sistolik atau diastolik. Definisi dari HF membutuhkan adanya gejala, tanda,
Abnormalitas struktur dan fungsi ventrikel kiri (LV) sangat umum pada pasien CKD
dan ESRD. Salah satunya pasien ESRD, sekitar 73,4% dari mereka yang memulai dialisis
memiliki LVH, 35,8% memiliki dilatasi LV, dan 14,8% memiliki Disfungsi sistolik LV.
Biasanya, LVH tidak mundur atau bahkan bertambah parah dengan waktu pada dialisis dan
kehadirannya dikaitkan dengan risiko tinggi kematian dan kejadian CV, termasuk kematian
jantung mendadak.6
ekstraseluler dan akumulasi kolagen, menyebabkan fibrosis interstitial, yang pada gilirannya,
diastolik, dan disfungsi diastolik. Apalagi miokardial fibrosis memperberat iskemia, dengan
aritmia ventrikel dan kematian jantung mendadak. Penyakit arteri koroner terkait — juga,
sangat umum pada pasien dengan CKD dan ESRD - berkontribusi lebih lanjut iskemia,
kerusakan sel miokard, dan fibrosis. Dari pandangan hemodinamik, LVH adalah remodeling
adaptif proses LV, yang mengkompensasi peningkatan kerja jantung yang disebabkan oleh
keduanya. Peningkatan afterload dapat terjadi akibat hipertensi arteri,kekakuan arteri, atau
stenosis aorta valvular dan biasanya mengarah ke penebalan konsentris dari dinding LV
sistolik. Peningkatan preload mungkin karena hypervolemia, anemia, dan (pada pasien HD)
pengembangan dilatasi ventrikel kiri (eksentrik LVH), dengan akumulasi baru sarkomer
miokard dalam seri. Faktor afterload dan preload sering hidup berdampingan dalam berbagai
derajat dan kombinasi,dengan efek aditif atau sinergis, yang menjelaskan keduanya pola,
serta pola campuran LVH, biasanya terlihat pada pasien CKD. Sejumlah besar faktor non
CKD. Misalnya, hiperfosfatemia dikaitkan dengan tekanan darah tinggi (BP), meningkat,
Massa ventrikel kiri, dan disfungsi diastolik. Kelebihan angiotensin II dapat terakumulasi di
jantung dan meningkatkan hipertrofi miosit, fibrosis interstisial, dan mikrovaskuler penyakit,
serta gangguan konduksi jantung, QT perpanjangan, dan aritmia. Serum aldosteron tinggi,
hasil dari aktivasi sistem renin-angiotensin atau jalur lain, dapat menginduksi fibrosis
miokard, mungkin oleh pelepasan faktor pertumbuhan transformasi 𝛽. Simpatik terlalu aktif,
yang telah ditunjukkan dalam CKD, juga merusak jantung dan dapat menyebabkan LV
konsentris remodelling.6
Penyakit ginjal tahap akhir (ESRD) memiliki korelasi yang signifikan dengan
penyakit kardiovaskular.15
4. Patofisiologi
Patofisiologi penyakit ginjal kronik meliputi dua tahapan kerusakan ginjal : (1)
mekanisme awal tergantung dari etiologi yang mendasarinya dan (2) mekanisme
progresivitas, termasuk hipertrofi dan hiperfiltrasi nefron yang tersisa yang merupakan
konsekuensi masa panjang penurunan massa ginjal. Pengurangan massa ginjal menyebabkan
hipertrofi sruktural dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nephron) sebagai
kompensasi. Respon terhadap penurunan jumlah nefron ini dimediasi oleh hormon vasoaktif,
sitokin dan faktor pertumbuhan. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti
oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini
berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang
tersisa. Proses ini akan diikuti oleh penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun
yang masih tersisa (surviving nefron) sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh
molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan hiperfiltrasi,
yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerolus. Proses adaptasi
ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa skelrosis nefron
yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang
growth factor seperti transforming growth factor β (TGF-β). Beberapa hal yang juga
ringan dinamakan penurunan cadangan ginjal. Selama stadium ini kreatinin serum dan kadar
BUN normal dan penderita asimptomatik. Gangguan fungsi ginjal mungkin hanya dapat
diketahui dengan memberi beban kerja yang berat pada ginjal tersebut, seperti test pemekatan
kemih yang lama atau dengan mengadakan test LFG yang teliti.8
Stadium sedang perkembangan tersebut disebut insufisiensi ginjal, dimana lebih dari
75% jaringan yang berfungsi telah rusak (LFG besarnya 25% dari normal). Pada tahap ini
kadar BUN baru mulai meningkat diatas batas normal. Peningkatan konsentrasi BUN ini
berbeda-beda, tergantung dari kadar protein dalam diet. Pada stadium ini, kadar kreatinin
serum juga mulai meningkat melebihi kadar normal. Azotemia biasanya ringan, kecuali bila
penderita misalnya mengalami stress akibat infeksi, gagal jantung, atau dehidrasi. Pada
stadium insufisiensi ginjal ini pula gejala-gejala nokturia dan poliuria (diakibatkan oleh
kegagalan pemekatan) mulai timbul. Gejala-gejala ini timbul sebagai respons terhadap stress
dan perubahan makanan atau minuman yang tiba-tiba. Penderita biasanya tidak terlalu
memperhatikan gejala-gejala ini, sehingga gejala tersebut hanya akan terungkap dengan
Stadium berat dan stadium terminal gagal ginjal kronik disebut gagal ginjal stadium
akhir atau uremia. Gagal ginjal stadium akhir timbul apabila sekitar 90% dari massa nefron
telah hancur, atau hanya sekitar 200.000 nefron saja yang masih utuh. Nilai LFG hanya 10%
dari keadaan normal, dan bersihan kreatinin mungkin sebesar 5-10 ml per menit atau kurang.
Pada keadaan ini kreatinin serum dan kadar BUN akan meningkat dengan sangat menyolok
sebagai respons terhadap LFG yang mengalami sedikit penurunan. Pada stadium akhir gagal
ginjal, penderita mulai merasakan gejala-gejala yang cukup parah, karena ginjal tidak
sanggup lagi mempertahankan homeostasis cairan dan elektrolit dalam tubuh. Kemih menjadi
isoosmotis dengan plasma pada berat jenis yang tetap sebesar 1,010. Penderita biasanya
menjadi oligourik (pengeluaran kemih kurang dari 500 ml/hari) karena kegagalan glomerulus
biokimia dan gejala-gejala yang dinamakan sindrom uremik mempengaruhi setiap sistem
dalam tubuh. Pada stadium akhir gagal ginjal, penderita pasti akan meninggal kecuali kalau ia
5. Manifestasi klinik
Tanda dan gejala klinis pada gagal ginjal kronik dikarenakan gangguan yang bersifat
sistemik. Ginjal sebagai organ koordinasi dalam peran sirkulasi memiliki fungsi yang banyak
mengakibatkan gangguan keseimbangan sirkulasi dan vasomotor. Berikut ini adalah tanda
dan gejala yang ditunjukkan oleh gagal ginjal kronik: a) Ginjal dan gastrointestinal, b)
Gambaran klinik gagal ginjal kronik berat disertai sindrom azotemia sangat kompleks,
meliputi kelainan-kelainan berbagai organ seperti: kelainan hemopoeisis, saluran cerna, mata,
a. Kelainan hemopoeisis
Anemia normokrom normositer dan normositer (MCV 78-94 CU), sering ditemukan
pada pasien gagal ginjal kronik. Anemia pada pasien gagal ginjal kronik terutama disebabkan
oleh defisiensi eritropoetin. Hal lain yang ikut berperan dalam terjadinya anemia adalah
defisiensi besi, kehilangan darah (misal perdarahan saluran cerna, hematuri), masa hidup
eritrosit yang pendek akibat terjadinya hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan sumsum
30 %, meliputi evaluasi terhadap status besi (kadar besi serum / serum iron, kapasitas ikat
besi total / Total Iron binding Capacity (TIBC), feritin serum), mencari sumber perdarahan,
lain bila ditemukan. Pemberian eritropoetin (EPO) merupakan hal yang dianjurkan.
Pemberian tranfusi pada penyakit ginjal kronik harus dilakukan hati-hati, berdasarkan
indikasi yang tepat dan pemantauan yang cermat. Tranfusi darah yang dilakukan secara tidak
cermat mengakibatkan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia, dan perburukan fungsi ginjal.
Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian pasien gagal ginjal
kronik terutama pada stadium terminal. Patogenesis mual dan muntah masih belum jelas,
diduga mempunyai hubungan dengan dekompresi oleh flora usus sehingga terbentuk amonia.
Amonia inilah yang menyebabkan iritasi atau rangsangan mukosa lambung dan usus halus.
Keluhan-keluhan saluran cerna ini akan segera mereda atau hilang setelah pembatasan diet
c. Kelainan mata
Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian kecil pasien gagal
ginjal kronik. Gangguan visus cepat hilang setelah beberapa hari mendapat pengobatan gagal
ginjal kronik yang adekuat, misalnya hemodialisis. Kelainan saraf mata menimbulkan gejala
nistagmus, miosis dan pupil asimetris. Kelainan retina (retinopati) mungkin disebabkan
hipertensi maupun anemia yang sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Penimbunan
atau deposit garam kalsium pada conjunctiva menyebabkan gejala red eye syndrome akibat
iritasi dan hipervaskularisasi. Keratopati mungkin juga dijumpai pada beberapa pasien gagal
d. Kelainan kulit
Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum jelas dan diduga
berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan gatal ini akan segera hilang
setelah tindakan paratiroidektomi. Kulit biasanya kering dan bersisik, tidak jarang dijumpai
timbunan kristal urea pada kulit muka dan dinamakan urea frost.8,10
e. Kelainan neuropsikiatri
Beberapa kelainan mental ringan seperti emosi labil, dilusi, insomnia, dan depresi
sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Kelainan mental berat seperti konfusi, dilusi,
dan tidak jarang dengan gejala psikosis juga sering dijumpai pada pasien GGK. Kelainan
mental ringan atau berat ini sering dijumpai pada pasien dengan atau tanpa hemodialisis, dan
6. Diagnosis
Pendekatan diagnosis gagal ginjal kronik (GGK) dilihat dari anamnesis, pemeriksaan
yang terarah dan kronologis, mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik diagnosis dan
dengan retensi atau akumulasi toksin azotemia, etiologi GGK, perjalanan penyakit termasuk
semua faktor yang dapat memperburuk faal ginjal (LFG). Gambaran klinik (keluhan subjektif
dan objektif termasuk kelainan laboratorium) mempunyai spektrum klinik luas dan
melibatkan banyak organ dan tergantung dari derajat penurunan faal ginjal.
ii) sindrom uremia yang terduru daru lemah, letargi, anoreksia, mual, muntah,
iii) gejala komplikasinya antara lain hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah
chlorida).8
b. Pemeriksaan laboratorium
Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi sesuai dengan penyakit yang
mendasarinya, penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan ureum dan kreatinin serum, dan
penurunan laju filtrasi glomerolus (LFG) yang dapat dihitung mempergunakan rumus
Kockcroft-Gault, serta kelainan biokimia darah lainnya, seperti penurunan kadar hemoglobin,
7. Tatalaksana 8,10,11,14
Mengingat fungsi ginjal yang rusak sangat sulit untuk dilakukan pengembalian, maka
tujuan dari penatalaksanaan klien gagal ginjal kronik adalah untuk mengoptimalkan fungsi
ginjal yang ada dan mempertahankan keseimbangan secara maksimal untuk memperpanjang
harapan hidup klien. Sebagai penyakit yang kompleks, gagal ginjal kronik membutuhkan
- Terapi konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal secara
a. Peranan diet
mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan terutama
c. Kebutuhan cairan
Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya jumlah
Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung dari LFG
- Terapi simptomatik
a. Asidosis metabolik
suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera diberikan intravena
b. Anemia
Dapat diberikan eritropoetin pada pasien gagal ginjal kronik. Dosis inisial 50
u/kg IV 3 kali dalam seminggu. Jika Hb meningkat >2 gr/dL kurangi dosis pemberian
menjadi 2 kali seminggu. Maksimum pemberian 200 u/kg dan tidak lebih dari tiga
terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi darah harus hati-hati
c. Keluhan gastrointestinal
dijumpai pada GGK. Tindakan yang harus dilakukan yaitu program terapi dialisis
d. Kelainan kulit
e. Kelainan neuromuskular
Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis reguler
f. Hipertensi
antiproteinuria.
penting, karena 40-50% kematian pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh
keseimbanagan elektrolit.
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu
pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, dialisis
a. Hemodialisis
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik
azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien
GGK yang belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG). Indikasi tindakan
terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif. Beberapa yang termasuk
paru dan kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter,
muntah persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10
mg%.
(CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi medik CAPD, yaitu
pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien yang telah
shunting, pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal ginjal terminal) dengan residual
urin masih cukup, dan pasien nefropati diabetik disertai co-morbidity dan co-
tinggi untuk melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal.
c. Transplantasi ginjal
8. Komplikasi
Komplikasi yang dapat ditimbulkan dari penyakit gagal ginjal kronik adalah: a) Penyakit