Anda di halaman 1dari 22

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi

Gagal ginjal terjadi ketika ginjal tidak mampu mengangkut sampah metabolik tubuh atau

melakukan fungsi regulernya. Suatu bahan yang biasanya di eliminasi di urin menumpuk

dalam cairan tubuh akibat gangguan ekskresi renal dan menyebabkan gangguan fungsi

endokrin dan metabolik, cairan, elektrolit serta asam-basa.7

Gagal ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih dari 3 bulan,

berdasarkan kelainan patologis atau petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria. Jika tidak

ada tanda kerusakan ginjal diagnosis penyakit ginjal kronik ditegakkan jika nilai laju filtrasi

glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1,73m². Batasan penyakit ginjal kronik:8,9

1. Kerusakan ginjal > 3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi ginjal, dengan atau

tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus berdasarkan:

 Kelainan patologik

 Petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria atau kelainan pada pemeriksaan

pencitraan radiologi

2. Laju filtrasi glomerulus < 60 ml/menit/1,73m² selama > 3 bulan dengan atau tanpa

kerusakan ginjal.

Pada pasien dengan penyakit ginjal kronik, klasifikasi stadium ditentukan oleh nilai

laju filtrasi glomerulus, yaitu stadium yang lebih tinggi menunjukkan nilai laju filtrasi

glomerulus yang lebih rendah. Klasifikasi tersebut membagi penyakit ginjal kronik dalam

lima stadium. Stadium 1 adalah kerusakan ginjal dengan fungsi ginjal yang masih normal,

stadium 2 kerusakan ginjal dengan penurunan fungsi ginjal yang ringan, stadium 3 kerusakan
ginjal dengan penurunan yang sedang fungsi ginjal, stadium 4 kerusakan ginjal dengan

penurunan berat fungsi ginjal, dan stadium 5 adalah gagal ginjal. Hal ini dapat dilihat pada

Tabel 1 dan Tabel 2 berikut:10

Derajat Penjelasan LFG

(mL/menit/1,73m2)

1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau ↑ ≥ 90

2 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ ringan 60-89

3a Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ sedang 45-59

3b Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ sedang 30-44

4 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ berat 15-29

5 Gagal ginjal <15 atau dialisis

Tabel 1. Klasifikasi penyakit ginjal kronik berdasarkan laju filtrasi glomerolus.10

GFR Dengan Kerusakan Ginjal Tanpa Kerusakan Ginjal

(ml/min/1,73 m2) Dengan HT Tanpa HT Dengan HT Tanpa HT

> 90 1 1 HT Normal

60 – 89 2 2 HT dengan Penurunan

penurunan GFR GFR

30 – 59 3 3 3 3

15 – 29 4 4 4 4
< 15 (atau dialisis) 5 5 5 5

Tabel 2. Klasifikasi penyakit ginjal kronik dengan atau tanpa kerusakan ginjal dan

atau dengan atau tanpa peningkatan tekanan darah / hipertensi (HT).11

2. Epidemiologi

Prevalensi penyakit ginjal kronik diseluruh dunia sekitar 5-10%. Prevalensi penyakit

ginjal kronik di Amerika serikat pada tahun 1999-2004 adalah 13,1%, yang terdiri dari 1,8%

derajat 1; 3,2% derajat 2; 7,7% derajat 3; dan 0,35% derajat 4. Prevalensi penyakit ginjal

kronik di Australia, Jepang, dan Eropa adalah 6-11%, terjadi peningkatan 5-8% setiap

tahunnya.3 Sekitar 1,5% dari pasien penyakit ginjal kronik derajat 3 dan 4 akan berlanjut

menjadi derajat 5 atau penyakit ginjal kronik tahap akhir (gagal ginjal) per tahunnya.4 Di

Indonesia belum ada data yang lengkap mengenai penyakit ginjal kronik. Diperkirakan

insiden penyakit ginjal kronik tahap akhir di Indonesia adalah sekitar 30,7 per juta populasi

dan prevalensi sekitar 23,4 per juta populasi. Pada tahun 2006 terdapat sekitar 10.000 orang

yang menjalani terapi hemodialisa.12

Menurut data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, prevalensi gagal

ginjal kronik di Indonesia sekitar 0,2%. Di Indonesia jumlah pasien yang menjalani

hemodialisa semakin meningkat setiap tahunnya. Jumlah pasien baru yang menjalani terapi

hemodialisa sebanyak 19621 orang, dimana pada tahun 2011 hanya berjumlah 15353 orang.

Sedangkan pasien yang aktif HD pada tahun 2012 sebanyak 9161.Jumlah pasien pria setiap

tahun berjumlah 5602 orang melebihi jumlah pasien wanita yaitu 3559 orang. Pasien

terbanyak ada pada kelompok usia 45-54 tahun sekitar 29,21%. Diagnosis penyakit utama

pasien hemodialisis baru yang terbanyak adalah gagal ginjal terminal/ESRD sebanyak
83%.Jumlah pasien berdasarkan etiologi tertinggi yaitu penyakit ginjal hipertensi berjumlah

5654 orang.Penyakit penyerta pasien HD tertinggi yaitu hipertensi sebanyak 44%.1

Penyakit GGK dapat menyerang setiap manusia baik pria maupun wanita tanpa

memandang usia, status status sosial ekonomi, latar belakang pendidikan, pekerjaan, dan

tempat tinggal. Pasien GGK tertinggi pada kelompok umur ≥ 75 tahun (0,6%). Prevalensi

pada pria (0,3%) lebih tinggi dari wanita (0,2%), prevalensi lebih tinggi pada masyarakat

pedesaan (0.3%), tidak bersekolah (0,4%), pekerjaan wiraswasta, petani/nelayan/buruh

(0,3%), dan kuintil indeks kepemilikan terbawah dan menengah bawah masing-masing

0,3%.1

3. Etiologi

Gagal ginjal kronik disebabkan oleh berbagai penyakit, seperti glomerolunefritis akut,

gagal ginjal akut, penyakit ginjal polikistik, obstruksi saluran kemih, pielonefritis,

nefrotoksin, dan penyakit sistemik, seperti diabetes melitus, hipertensi, lupus eritematosus,

poliartritis, penyakit sel sabit, serta amiloidosis.7

Berdasarkan data dari Indonesia Renal Registry (2011), penyebab terbanyak dari

gagal ginjal kronik adalah hipertensi dengan 34% dan diabetes melitus sebesar 27%. Dimana

angka kejadian penyakit ginjal hipertensi sebesar 4243 pasien dan nefropati diabetika sebesar

3405 pasien. Fitriana (2012), menyatakan bahwa pasien hemodialisis dengan tekanan darah

130/80 mmHg akan mengalami kerusakan ginjal yang lebih dini, menurut hasil penelitian

dari 547 insiden pre-dialisis 89% diantaranya mengalami tekanan darah diatas 130/80

walaupun sudah selesai diberikan terapi dan pemberian anti hipertensi dan hanya 11% yang

mempunyai tekanan darah dibawah 130/80.5

Ada beberapa hal yang diduga sebagai faktor risiko terjadinya penyakit ginjal kronik,

seperti hipertensi, diabetes melitus, infeksi saluran kemih, riwayat batu saluran kemih, dan

obesitas. Dari 182 pasien penyakit ginjal kronik didapatkan 126 orang (68,9%) mempunyai
riwayat hipertensi, 61 (33,3%) mempunyai riwayat diabetes melitus, 26 (14,2%) mempunyai

riwayat infeksi saluran kemih, 21 orang (11,5%) mempunyai riwayat batu saluran kemih dan

5 orang (2,7%) mempunyai riwayat lupus eritematosus sistemik.12

a. Glomerulonefritis

Glomerulonefritis akut mengarah pada serangkaian tertentu penyakit ginjal di mana

mekanisme kekebalan tubuh memicu peradangan dan proliferasi jaringan glomerular yang

dapat mengakibatkan kerusakan pada membran basal, mesangium, atau endotelium kapiler.

Hippocrates awalnya menggambarkan manifestasi nyeri punggung dan hematuria, lalu juga

oliguria atau anuria. Dengan berkembangnya mikroskop, Langhans kemudian mampu

menggambarkan perubahan pathophysiologic glomerular ini. Sebagian besar penelitian asli

berfokus pada pasien pasca-streptococcus.. Glomerulonefritis akut didefinisikan sebagai

serangan yang tiba-tiba menunjukkan adanya hematuria, proteinuria, dan silinder sel darah

merah. Gambaran klinis ini sering disertai dengan hipertensi, edema, dan fungsi ginjal

terganggu.11

Berdasarkan sumber terjadinya kelainan, glomerulonefritis dibedakan primer dan

sekunder. Glomerulonefritis primer apabila penyakit dasarnya berasal dari ginjal sendiri

sedangkan glomerulonefritis sekunder apabila kelainan ginjal terjadi akibat penyakit sistemik

lain seperti diabetes melitus, lupus eritematosus sistemik (LES), mieloma multipel, atau

amiloidosis.11

Kebanyakan kasus terjadi pada pasien berusia 5-15 tahun. Hanya 10% terjadi pada

pasien yang lebih tua dari 40 tahun. Gejala glomerulonefritis akut yaitu dapat terjadi

hematurim oligouri, edema preorbital yang biasanya pada pagi hari, hipertensi, sesak napas,

dan nyeri pinggang karena peregangan kapsul ginjal.11


b. Diabetes melitus

Menurut American Diabetes Association (2003) diabetes melitus merupakan suatu

kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena

kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua duanya.11

Terjadinya diabetes ditandai dengan gangguan metabolisme dan hemodinamik yang

meningkatkan permeabilitas pembuluh darah, meningkatkan tekanan darah sistemik, dan

mengubah pengaturan tekanan intracapillary. Di ginjal, perubahan ini mungkin menyebabkan

munculnya protein dalam urin. Kehadiran protein urin tidak hanya tanda awal penyakit ginjal

diabetes, tetapi dapat menyebabkan kerusakan dan tubulointerstitial glomerular yang pada

akhirnya mengarah ke glomerulosklerosis diabetes.11

Amato dkk tahun 2005 melaporkan 25% pasien dengan laju filtrasi glomerulus

<60ml/min/173m2 mempunyai riwayat diabetes melitus.22 Dari penelitian yang dilakukan

oleh Afolabi dkk tahun 2006 di Rumah Sakit Umum Wesley, Nigeria melaporkan terdapat

hubungan yang signifikan antara riwayat diabetes melitus dengan kejadian penyakit ginjal

kronik.16 Penelitian Chanban dkk tahun 2003 di Australia juga melaporkan bahwa prevalensi

penurunan laju filtrasi glomerulus <60ml/min/173m2 3 kali lebih tinggi pada orang dengan

riwayat diabetes melitus dibandingkan dengan orang tanpa riwayat diabetes melitus.12

c. Hipertensi

Hipertensi adalah tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥

90 mmHg pada seseorang yang tidak makan obat anti hipertensi. Berdasarkan penyebabnya,

hipertensi dibagi menjadi dua golongan yaitu hipertensi esensial atau hipertensi primer yang

tidak diketahui penyebabnya atau idiopatik, dan hipertensi sekunder atau disebut juga

hipertensi renal.13
Hipertensi yang berlangsung lama akan menyebabkan perubahan resistensi arteriol

aferen dan terjadi penyempitan arteriol eferen akibat perubahan struktur mikrovaskuler.

Kondisi ini akan menyebabkan iskemik glomerular dan mengaktivasi respon inflamasi.

Hasilnya, akan terjadi pelepasan mediator inflamasi, endotelin dan aktivasi angiostensin II

intrarenal. Kondisi ini akan menyebabkan terjadi apoptosis, meningkatkan produksi matriks

dan deposit pada mikrovaskuler glomerulus dan terjadilah sklerosis glomerulus atau

nefrosklerosis.12

Utami (2016) tentang ”Komorbiditas dan Kualitas Hidup pasien Hemodialisa“

menyatakan dengan diberikannya obat anti-hipertensi maka tekanan darah dapat dikontrol.

Penurunan tekanan darah dapat menjaga fungsi ginjal dan tampaknya sebanding dengan

proteinuria dan hal tersebut dapat menurunkan jumlah terapi yang dijalaankan oleh pasien.

Oleh karena itu apabila hipertensi pada pasien hemodialisa dapat dikendalikan dan berada

pada rentang dibawah > 180 mmHg maka akan memberikan pengaruh yang baik sehingga

dapat meningktakan kualitas hidup pasien. Hasil penelitian ini juga didapatkan bahwa

kualitas hidup pasien gagal ginjal kronik dengan comorbid hipertensi yang memiliki kualitas

hidup baik sebanyak 29 responden dan yang memiliki kualitas hidup buruk sebanyak 1

responden. Sedangkan responden dengan comorbid diabetes melitus yang memiliki kualitas

hidup baik sebanyak 13 responden dan yang memiliki kualitas hidup buruk sebanyak 17

responden. Budiyanto (2009) mengatakan bahwa hipertensi dan gagal ginjal saling

mempengaruhi. Hipertensi dapat menyebabkan gagal ginjal, sebaliknya gagal ginjal kronik

dapat menyebabkan hipertensi. Hipertensi yang berlangsung lama dapat mengakibatkan

perubahan struktur pada arteriol di seluruh tubuh, ditandai dengan fibrosis dan

hialinisasidinding pembuluh darah. Organ sasaran utama adalah jantung, otak, ginjal, dan

mata. Pada ginjal, arteriosklerosisakibat hipertensi lama menyebabkan nefrosklerosis.

Gangguan ini merupakan akibat langsung iskemia karena penyempitan lumen pembuluh
darah intrarenal Penyumbatan arteri dan arteriol akan menyebabkan kerusakan glomerulus

dan atrofi tubulus, sehingga seluruh nefron rusak, yang menyebabkan terjadinya gagal ginjal

kronik.5

Padila (2012) mengatakan perubahan fungsi ginjal dalam waktu yang lama dapat

mengakibatkan kerusakan lebih lanjut pada nefron yang ada. Lesi-lesi skerotik yang

terbentuk makin banyak sehingga dapat menimbulkan obliteli glomelurus yang menurunkan

fungsi ginjal yang lebih lanjut dan dapat menimbulkan lingkaran setan yang berkembang

secara lambat sehingga penanganan untuk pasien hipertensi yang mengalami gagal ginjal

dapat dikontrol. Ekantari (2009) juga menyatakan bahwa penyakit hipertensi pada gagal

ginjal kronik masih dapat dikendalikan dengan memberikan obat anti hipertensi serta

menambahkan bahwa hipertensi bukanlah penyebab kematian utama pada pasien gagal

ginjal.5

d. Ginjal polikistik

Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi cairan atau material yang

semisolid. Polikistik berarti banyak kista. Pada keadaan ini dapat ditemukan kista kista yang

tersebar di kedua ginjal, baik di korteks maupun di medula. Selain oleh karena kelainan

genetik, kista dapat disebabkan oleh berbagai keadaan atau penyakit. Jadi ginjal polikistik

merupakan kelainan genetik yang paling sering didapatkan. Nama lain yang lebih dahulu

dipakai adalah penyakit ginjal polikistik dewasa (adult polycystic kidney disease), oleh

karena sebagian besar baru bermanifestasi pada usia di atas 30 tahun. Ternyata kelainan ini

dapat ditemukan pada fetus, bayi dan anak kecil, sehingga istilah dominan autosomal lebih

tepat dipakai daripada istilah penyakit ginjal polikistik dewasa.11

e. Batu saluran kemih


Penelitian ini juga melaporkan bahwa orang yang memiliki riwayat batu saluran

kemih 4-5 kali lebih sering menderita penyakit ginjal kronik dibandingkan dengan orang

yang tidak memiliki riwayat batu saluran kemih. sependapat dengan penelitian cohort yang

dilakukan oleh Alexander dkk di Alberta, Canada yang melaporkan terdapat hubungan yang

signifikan antara riwayat batu saluran kemih dengan penyakit ginjal kronik.12

Obstruksi yang diakibatkan oleh batu saluran kemih dapat menyebabkan peningkatan

tekanan intratubular yang diikuti oleh vasokonstriksi pembuluh darah hingga mengakibatkan

iskemik pada ginjal. Iskemik pada waktu yang lama dapat menyebabkan glomeruloskerosis,

atrofi tubulus dan fibrosis intertisial. Obstruksi komplit pada ginjal selama 24 jam akan

mengakibatkan kehilangan fungsi nefron secara permanen sebanyak 15%.12

F. Infeksi saluran kemih

Terjadinya infeksi saluran kemih disertai dengan refluk vesiko ureter akan

memperbesar terbentuknya skar di ginjal yang akan menyebabkan terjadinya penurunan

fungsi ginjal. Adanya hubungan yang signifikan antara riwayat infeksi saluran kemih dengan

penyakit ginjal kronik terbukti secara statistik pada penelitian ini. Orang dengan riwayat

infeksi saluran kemih 5 kali lebih berisiko terkena penyakit ginjal kronik dibandingkan orang

tidak memiliki riwayat infeksi saluran kemih. 12

G. SLE

Sistemik lupus eritematosus (SLE) adalah penyakit autoimun yang menyerang banyak

organ salah satunya adalah ginjal. Enam puluh persen pasien SLE akan mengalami kerusakan

ginjal. Penelitian cohort yang dilakukan oleh Bono dkk terhadap 110 pasien lupus nefritis

dilaporkan 43,6% tidak mengalami kerusakan ginjal, 10% mengalami penurunan fungsi

ginjal dan 16,4% mengalami penyakit ginjal kronik tahap akhir. Hasil penelitian Bono dkk

sedikit berbeda dengan penelitian ini, pada penelitian didapatkan 28,6% pasien LES tidak
mengalami gangguan ginjal dan 71,4% mengalami penyakit ginjal kronik tahap akhir dan

menjalani terapi hemodialisa.12

h. Gagal jantung kongestif

Gagal jantung (HF) didefinisikan sebagai sindrom yang dapat dihasilkan dari apapun

gangguan jantung struktural atau fungsional yang merusak kemampuan jantung berfungsi

sebagai pompa untuk mendukung sirkulasi fisiologis. HF dapat terjadi sebagai akibat dari

baik disfungsi sistolik atau diastolik. Definisi dari HF membutuhkan adanya gejala, tanda,

dan obyektif bukti kelainan jantung struktural atau fungsional.6

Abnormalitas struktur dan fungsi ventrikel kiri (LV) sangat umum pada pasien CKD

dan ESRD. Salah satunya pasien ESRD, sekitar 73,4% dari mereka yang memulai dialisis

memiliki LVH, 35,8% memiliki dilatasi LV, dan 14,8% memiliki Disfungsi sistolik LV.

Biasanya, LVH tidak mundur atau bahkan bertambah parah dengan waktu pada dialisis dan

kehadirannya dikaitkan dengan risiko tinggi kematian dan kejadian CV, termasuk kematian

jantung mendadak.6

Hipertrofi miokard berhubungan dengan penurunan dalam kepadatan kapiler yang

menciptakan ketidakseimbangan antara kebutuhan oksigen dan persediaan, sehingga

menyebabkan iskemia. Iskemia meningkatkan apoptosis sel miokard, serta matriks

ekstraseluler dan akumulasi kolagen, menyebabkan fibrosis interstitial, yang pada gilirannya,

menginduksi LV kekakuan, peningkatan tekanan pengisian LV, gangguan pengisian

diastolik, dan disfungsi diastolik. Apalagi miokardial fibrosis memperberat iskemia, dengan

mengurangi kepadatan kapilerdan cadangan koroner, dan sangat meningkatkan risikonya

aritmia ventrikel dan kematian jantung mendadak. Penyakit arteri koroner terkait — juga,

sangat umum pada pasien dengan CKD dan ESRD - berkontribusi lebih lanjut iskemia,

kerusakan sel miokard, dan fibrosis. Dari pandangan hemodinamik, LVH adalah remodeling
adaptif proses LV, yang mengkompensasi peningkatan kerja jantung yang disebabkan oleh

peningkatan afterload (tekanan overload), peningkatan preload (volume overload), atau

keduanya. Peningkatan afterload dapat terjadi akibat hipertensi arteri,kekakuan arteri, atau

stenosis aorta valvular dan biasanya mengarah ke penebalan konsentris dari dinding LV

(konsentris hipertrofi), yang dimaksudkan untuk meningkatkan intraventrikular tekanan

sistolik. Peningkatan preload mungkin karena hypervolemia, anemia, dan (pada pasien HD)

aliran darah tinggi arteriovenosa hiliran; volume yang berlebihan mengarah ke

pengembangan dilatasi ventrikel kiri (eksentrik LVH), dengan akumulasi baru sarkomer

miokard dalam seri. Faktor afterload dan preload sering hidup berdampingan dalam berbagai

derajat dan kombinasi,dengan efek aditif atau sinergis, yang menjelaskan keduanya pola,

serta pola campuran LVH, biasanya terlihat pada pasien CKD. Sejumlah besar faktor non

hemodinamik juga berkontribusi untuk pengembangan LVH dan kardiomiopati di Pasien

CKD. Misalnya, hiperfosfatemia dikaitkan dengan tekanan darah tinggi (BP), meningkat,

Massa ventrikel kiri, dan disfungsi diastolik. Kelebihan angiotensin II dapat terakumulasi di

jantung dan meningkatkan hipertrofi miosit, fibrosis interstisial, dan mikrovaskuler penyakit,

serta gangguan konduksi jantung, QT perpanjangan, dan aritmia. Serum aldosteron tinggi,

hasil dari aktivasi sistem renin-angiotensin atau jalur lain, dapat menginduksi fibrosis

miokard, mungkin oleh pelepasan faktor pertumbuhan transformasi 𝛽. Simpatik terlalu aktif,

yang telah ditunjukkan dalam CKD, juga merusak jantung dan dapat menyebabkan LV

konsentris remodelling.6

Penyakit ginjal tahap akhir (ESRD) memiliki korelasi yang signifikan dengan

penyakit kardiovaskular.15

4. Patofisiologi
Patofisiologi penyakit ginjal kronik meliputi dua tahapan kerusakan ginjal : (1)

mekanisme awal tergantung dari etiologi yang mendasarinya dan (2) mekanisme

progresivitas, termasuk hipertrofi dan hiperfiltrasi nefron yang tersisa yang merupakan

konsekuensi masa panjang penurunan massa ginjal. Pengurangan massa ginjal menyebabkan

hipertrofi sruktural dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nephron) sebagai

kompensasi. Respon terhadap penurunan jumlah nefron ini dimediasi oleh hormon vasoaktif,

sitokin dan faktor pertumbuhan. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti

oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini

berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang

tersisa. Proses ini akan diikuti oleh penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun

penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi.12

Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron

yang masih tersisa (surviving nefron) sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh

molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan hiperfiltrasi,

yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerolus. Proses adaptasi

ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa skelrosis nefron

yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang

progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi.8

Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal, ikut

memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis, dan progresifitas tersebut.

Aktivasi jangka panjang aksis renin-angiotensin-aldosteron, sebagian diperantarai oleh

growth factor seperti transforming growth factor β (TGF-β). Beberapa hal yang juga

dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas penyakit ginjal kronik adalah

albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia. Terdapat variabilitas interindividual

untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerolus maupun interstitial.8


Perjalanan umum gagal ginjal kronik dapat dibagi menjadi empat stadium. Stadium

ringan dinamakan penurunan cadangan ginjal. Selama stadium ini kreatinin serum dan kadar

BUN normal dan penderita asimptomatik. Gangguan fungsi ginjal mungkin hanya dapat

diketahui dengan memberi beban kerja yang berat pada ginjal tersebut, seperti test pemekatan

kemih yang lama atau dengan mengadakan test LFG yang teliti.8

Stadium sedang perkembangan tersebut disebut insufisiensi ginjal, dimana lebih dari

75% jaringan yang berfungsi telah rusak (LFG besarnya 25% dari normal). Pada tahap ini

kadar BUN baru mulai meningkat diatas batas normal. Peningkatan konsentrasi BUN ini

berbeda-beda, tergantung dari kadar protein dalam diet. Pada stadium ini, kadar kreatinin

serum juga mulai meningkat melebihi kadar normal. Azotemia biasanya ringan, kecuali bila

penderita misalnya mengalami stress akibat infeksi, gagal jantung, atau dehidrasi. Pada

stadium insufisiensi ginjal ini pula gejala-gejala nokturia dan poliuria (diakibatkan oleh

kegagalan pemekatan) mulai timbul. Gejala-gejala ini timbul sebagai respons terhadap stress

dan perubahan makanan atau minuman yang tiba-tiba. Penderita biasanya tidak terlalu

memperhatikan gejala-gejala ini, sehingga gejala tersebut hanya akan terungkap dengan

mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang teliti.8

Stadium berat dan stadium terminal gagal ginjal kronik disebut gagal ginjal stadium

akhir atau uremia. Gagal ginjal stadium akhir timbul apabila sekitar 90% dari massa nefron

telah hancur, atau hanya sekitar 200.000 nefron saja yang masih utuh. Nilai LFG hanya 10%

dari keadaan normal, dan bersihan kreatinin mungkin sebesar 5-10 ml per menit atau kurang.

Pada keadaan ini kreatinin serum dan kadar BUN akan meningkat dengan sangat menyolok

sebagai respons terhadap LFG yang mengalami sedikit penurunan. Pada stadium akhir gagal

ginjal, penderita mulai merasakan gejala-gejala yang cukup parah, karena ginjal tidak

sanggup lagi mempertahankan homeostasis cairan dan elektrolit dalam tubuh. Kemih menjadi

isoosmotis dengan plasma pada berat jenis yang tetap sebesar 1,010. Penderita biasanya
menjadi oligourik (pengeluaran kemih kurang dari 500 ml/hari) karena kegagalan glomerulus

meskipun proses penyakit mula-mula menyerang tubulus ginjal. Kompleks perubahan

biokimia dan gejala-gejala yang dinamakan sindrom uremik mempengaruhi setiap sistem

dalam tubuh. Pada stadium akhir gagal ginjal, penderita pasti akan meninggal kecuali kalau ia

mendapat pengobatan dalam bentuk transplantasi ginjal atau dialisis.8

5. Manifestasi klinik

Tanda dan gejala klinis pada gagal ginjal kronik dikarenakan gangguan yang bersifat

sistemik. Ginjal sebagai organ koordinasi dalam peran sirkulasi memiliki fungsi yang banyak

(organs multifunction), sehingga kerusakan kronis secara fisiologis ginjal akan

mengakibatkan gangguan keseimbangan sirkulasi dan vasomotor. Berikut ini adalah tanda

dan gejala yang ditunjukkan oleh gagal ginjal kronik: a) Ginjal dan gastrointestinal, b)

Kardiovaskuler, c) Respiratory System, d) Gastrointestinal, e) Integumen, f) Neurologis, g)

Endokrin, h) Hematopoitiec, dan i) Musculoskeletal.7

Gambaran klinik gagal ginjal kronik berat disertai sindrom azotemia sangat kompleks,

meliputi kelainan-kelainan berbagai organ seperti: kelainan hemopoeisis, saluran cerna, mata,

kulit, selaput serosa, kelainan neuropsikiatri dan kelainan kardiovaskular.8,11,14

a. Kelainan hemopoeisis

Anemia normokrom normositer dan normositer (MCV 78-94 CU), sering ditemukan

pada pasien gagal ginjal kronik. Anemia pada pasien gagal ginjal kronik terutama disebabkan

oleh defisiensi eritropoetin. Hal lain yang ikut berperan dalam terjadinya anemia adalah

defisiensi besi, kehilangan darah (misal perdarahan saluran cerna, hematuri), masa hidup

eritrosit yang pendek akibat terjadinya hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan sumsum

tulang oleh substansi uremik, proses inflamasi akut ataupun kronik.8


Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin < 10 g/dL atau hematokrit <

30 %, meliputi evaluasi terhadap status besi (kadar besi serum / serum iron, kapasitas ikat

besi total / Total Iron binding Capacity (TIBC), feritin serum), mencari sumber perdarahan,

morfologi eritrosit, kemungkinan adanya hemolisis dan sebagainya.8,14

Penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab utamanya, di samping penyebab

lain bila ditemukan. Pemberian eritropoetin (EPO) merupakan hal yang dianjurkan.

Pemberian tranfusi pada penyakit ginjal kronik harus dilakukan hati-hati, berdasarkan

indikasi yang tepat dan pemantauan yang cermat. Tranfusi darah yang dilakukan secara tidak

cermat mengakibatkan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia, dan perburukan fungsi ginjal.

Sasaran hemoglobin menurut berbagai studi klinik adalah 11-12 g/dL.8

b. Kelainan saluran cerna

Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian pasien gagal ginjal

kronik terutama pada stadium terminal. Patogenesis mual dan muntah masih belum jelas,

diduga mempunyai hubungan dengan dekompresi oleh flora usus sehingga terbentuk amonia.

Amonia inilah yang menyebabkan iritasi atau rangsangan mukosa lambung dan usus halus.

Keluhan-keluhan saluran cerna ini akan segera mereda atau hilang setelah pembatasan diet

protein dan antibiotika.11

c. Kelainan mata

Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian kecil pasien gagal

ginjal kronik. Gangguan visus cepat hilang setelah beberapa hari mendapat pengobatan gagal

ginjal kronik yang adekuat, misalnya hemodialisis. Kelainan saraf mata menimbulkan gejala

nistagmus, miosis dan pupil asimetris. Kelainan retina (retinopati) mungkin disebabkan

hipertensi maupun anemia yang sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Penimbunan
atau deposit garam kalsium pada conjunctiva menyebabkan gejala red eye syndrome akibat

iritasi dan hipervaskularisasi. Keratopati mungkin juga dijumpai pada beberapa pasien gagal

ginjal kronik akibat penyulit hiperparatiroidisme sekunder atau tersier.11

d. Kelainan kulit

Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum jelas dan diduga

berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan gatal ini akan segera hilang

setelah tindakan paratiroidektomi. Kulit biasanya kering dan bersisik, tidak jarang dijumpai

timbunan kristal urea pada kulit muka dan dinamakan urea frost.8,10

e. Kelainan neuropsikiatri

Beberapa kelainan mental ringan seperti emosi labil, dilusi, insomnia, dan depresi

sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Kelainan mental berat seperti konfusi, dilusi,

dan tidak jarang dengan gejala psikosis juga sering dijumpai pada pasien GGK. Kelainan

mental ringan atau berat ini sering dijumpai pada pasien dengan atau tanpa hemodialisis, dan

tergantung dari dasar kepribadiannya (personalitas).11

6. Diagnosis

Pendekatan diagnosis gagal ginjal kronik (GGK) dilihat dari anamnesis, pemeriksaan

fisik, gambaran radiologis, dan apabila perlu gambaharan histopatologis.8,13

1. Memastikan adanya penurunan faal ginjal (LFG)

2. Mengejar etiologi GGK yang mungkin dapat dikoreksi

3. Mengidentifikasi semua faktor pemburuk faal ginjal (reversible factors)

4. Menentukan strategi terapi rasional


5. Meramalkan prognosis

Pendekatan diagnosis mencapai sasaran yang diharapkan bila dilakukan pemeriksaan

yang terarah dan kronologis, mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik diagnosis dan

pemeriksaan penunjang diagnosis rutin dan khusus.

a. Anamnesis dan pemeriksaan fisik

Anamnesis harus terarah dengan mengumpulkan semua keluhan yang berhubungan

dengan retensi atau akumulasi toksin azotemia, etiologi GGK, perjalanan penyakit termasuk

semua faktor yang dapat memperburuk faal ginjal (LFG). Gambaran klinik (keluhan subjektif

dan objektif termasuk kelainan laboratorium) mempunyai spektrum klinik luas dan

melibatkan banyak organ dan tergantung dari derajat penurunan faal ginjal.

Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi:

i) sesuai dengan penyakit yang mendasari;

ii) sindrom uremia yang terduru daru lemah, letargi, anoreksia, mual, muntah,

nokturia, kelebihan cairan (volume overload), neuropati perifer, pruritusm uremic

frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma;

iii) gejala komplikasinya antara lain hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah

jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, kalium,

chlorida).8

b. Pemeriksaan laboratorium

Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi sesuai dengan penyakit yang

mendasarinya, penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan ureum dan kreatinin serum, dan

penurunan laju filtrasi glomerolus (LFG) yang dapat dihitung mempergunakan rumus
Kockcroft-Gault, serta kelainan biokimia darah lainnya, seperti penurunan kadar hemoglobin,

hiper atau hipokalemia, hiperfosfatemia, hipokalsemia. Kelainan urinanalisi meliputi

proteinuria, hematuri, leukosuria, dan silinder.8

c. Pemeriksaan penunjang diagnosis

Berikut ini adalah pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan untuk menegakkan

diagnosa gagal ginjal kronik: a) Biokimiawi, b) Urinalisis, c) Ultrasonografi Ginjal, dan d)

Imaging (gambaran) dari ultrasonografi.7

7. Tatalaksana 8,10,11,14

Mengingat fungsi ginjal yang rusak sangat sulit untuk dilakukan pengembalian, maka

tujuan dari penatalaksanaan klien gagal ginjal kronik adalah untuk mengoptimalkan fungsi

ginjal yang ada dan mempertahankan keseimbangan secara maksimal untuk memperpanjang

harapan hidup klien. Sebagai penyakit yang kompleks, gagal ginjal kronik membutuhkan

penatalaksanaan terpadu dan serius, sehingga akan meminimalisir komplikasi dan

meningkatkan harapan hidup klien.7

- Terapi konservatif

Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal secara

progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia, memperbaiki

metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit.

a. Peranan diet

Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau

mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan terutama

gangguan keseimbangan negatif nitrogen.

b. Kebutuhan jumlah kalori


Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus adekuat dengan

tujuan utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif nitrogen, memelihara status

nutrisi dan memelihara status gizi.

c. Kebutuhan cairan

Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya jumlah

diuresis mencapai 2 L per hari.

d. Kebutuhan elektrolit dan mineral

Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung dari LFG

dan penyebab dasar penyakit ginjal tersebut (underlying renal disease).

- Terapi simptomatik

a. Asidosis metabolik

Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium

(hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat diberikan

suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera diberikan intravena

bila pH ≤ 7,35 atau serum bikarbonat ≤ 20 mEq/L.

b. Anemia

Dapat diberikan eritropoetin pada pasien gagal ginjal kronik. Dosis inisial 50

u/kg IV 3 kali dalam seminggu. Jika Hb meningkat >2 gr/dL kurangi dosis pemberian

menjadi 2 kali seminggu. Maksimum pemberian 200 u/kg dan tidak lebih dari tiga

kali dalam seminggu.


Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu pilihan

terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi darah harus hati-hati

karena dapat menyebabkan kematian mendadak.

c. Keluhan gastrointestinal

Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering

dijumpai pada GGK. Tindakan yang harus dilakukan yaitu program terapi dialisis

adekuat dan obat-obatan simtomatik.

d. Kelainan kulit

Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit.

e. Kelainan neuromuskular

Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis reguler

yang adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal paratiroidektomi.

f. Hipertensi

Pemberian obat-obatan anti hipertensi terutama penghambat Enzym

Konverting Angiotensin (Angiotensin Converting Enzyme/ ACE inhibitor). Melalui

berbagai studi terbukti dapat memperlambat proses pemburukan antihipertensi dan

antiproteinuria.

g. Kelainan sistem kardiovaskular

Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular merupakan hal yang

penting, karena 40-50% kematian pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh

penyakit kardiovaskular. Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan

kardiovaskular yang diderita, termasuk pengendalian diabetes, hipertensi,


dislipidemia, hiperfosfatemia, dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan

keseimbanagan elektrolit.

- Terapi pengganti ginjal

Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu

pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, dialisis

peritoneal, dan transplantasi ginjal.

a. Hemodialisis

Hemodialisis merupakan suatu proses terapi pengganti ginjal dengan

menggunakan selaput membran semi permeabel (dialiser), yang berfungsi seperti

nefron sehingga dapat mengeluarkan produk sisa metabolisme dan mengoreksi

gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit pada pasien gagal ginjal.7

Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik

azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien

GGK yang belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG). Indikasi tindakan

terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif. Beberapa yang termasuk

dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis, ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan

paru dan kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter,

muntah persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10

mg%.

Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m², mual, anoreksia,

muntah, dan astenia berat.

b. Dialisis peritoneal (DP)


Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis

(CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi medik CAPD, yaitu

pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien yang telah

menderita penyakit sistem kardiovaskular, pasien- pasien yang cenderung akan

mengalami perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan pembuatan AV

shunting, pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal ginjal terminal) dengan residual

urin masih cukup, dan pasien nefropati diabetik disertai co-morbidity dan co-

mortality. Indikasi non-medik, yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual

tinggi untuk melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal.

c. Transplantasi ginjal

8. Komplikasi

Komplikasi yang dapat ditimbulkan dari penyakit gagal ginjal kronik adalah: a) Penyakit

tulang, b) Penyakit kardiovaskuler, c) Anemia, dan d) Disfungsi seksual.7

Anda mungkin juga menyukai