Anda di halaman 1dari 27

,

RENCANA STRATEGIS NASIONAL (STRANAS)

MAKALAH

Oleh
Kelompok 3
Febria Marfuatul Fadhilah 162310101136
Fahrur Rosi 162310101152
Berril Kholif Arrohman 162310101177
Faridatul Khasanah 162310101180
Marda Aditya Suphardiyan 162310101184

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNya
sehingga makalah ini dapat tersusun hingga selesai dengan pembahasan tentang
“ Pengkajian Keperawatan pada Pasien dengan HIV / AIDS” . Tidak lupa kami
mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan dari berbagai pihak yang telah
berkontribusi dalam penyusunan makalah ini.
Harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, serta untuk kedepannya dapat memperbaiki entuk
maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman, kami yakin masih
banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu kami sangat
mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.

Jember, 13 Maret 2019

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .........................................................................................


DAFTAR ISI ........................................................................................................
BAB I. PENDAHULUAN ...................................................................................
1.1. Latar Belakang ..............................................................................................
1.2. Tujuan Pembuatan Makalah .........................................................................
BAB II. PEMBAHASAN
2.1. Strategi Pencegahan Penularan HIV pada level Nasional dan Global ..........
2.2. Kefektifan Dan Keberhasilan Program .........................................................
2.3. Kekurangan Dan Kelemahan Program .........................................................
2.4. Kontribusi Perawat Dalam Strategi/Program Atau Inovasi ..........................
BAB III. PENUTUP ............................................................................................
3.1. Kesimpulan ...................................................................................................
3.2. Saran .............................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................
BAB I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


HIV dan AIDS merupakan permasalahan yang ada di hampir di
seluruh negara di dunia tak terkecuali di indonesia. Di indonesia sendiri
sejak ditemukan nya penderita HIV/AIDS sampai dengan juni 2018
terdapat laporan dari 433 (84%) dari 514 kabupaten/kota di 24 provinsi di
indonesia. Jumlah kumulatif pasien penderita HIV yang dilaporkan sampai
dengan juni 2018 sebanyak 301.959 jiwa (47% dari estimasi ODHA
jumlah orang dengan HIV AIDS tahun 2018 sebanyak 640.443 jiwa) dan
yang paling banyak ditemukan pada kelompok umur 25 – 49 tahun dan 20
– 24 tahun. Adapun jumlah infeksi HIV tertinggi adalah DKI jakarta
(55.099 jiwa), Jawa Timur (43.399 jiwa), Jawa Barat (31.293 jiwa), Papua
(30.699 jiwa), dan Jawa Tengah (24.757 jiwa), dari pemeparan informasi
tersebut jawa timur merupakan provinsi kedua yang banyak pasien yang
terinfeksi HIV (Depkes, 2018). Di Kabupaten Jember sampai dengan
tahun 2014, telah ditemukan penderita kasus HIV dan AIDS sebanyak
2307 kasus, berdasarkan faktor resikonya sebanyak 1111 kasus dengan
heteroseks, kemudian sebanyak 98 kasus dengan kasus homoseks (LSL)
dan dari penggunaan jarum suntik (IDU) sebanyak 55 kasus (Rokhmah
dan Khoiron, 2014).
HIV atau Human Immunodeficiency Virus adalah sejenis virus
yang menyerang/menginfeksi sel darah putih yang menyebabkan turunnya
kekebalan, AIDS atau Acquired Immune Deficiency Syndrome adalah
sekumpulan gejala penyakit yang timbul karena turunnya sistem kekebalan
tubuh yang disebebkan oleh HIV (InfoDatin,2014). Seperti yang
dijelaskan bahwasannya ada beberapa faktor yang menyebabkan HIV ini
menular di indonesia yaitu dengan cara heterokseksual, homoseksual, dan
jarum suntik (Rokhmah dan Khoiron, 2014). HIV dan AIDS menular tidak
kenal usia, namun kebanyakan menurut Departemen Kesehatan tahun
2018, bahwasanya di indonesia kebanyakan yang terkena HIV adalah
umur rentang 20 - 49 tahun.
Dengan permasalahan yang sedemikian kompleks akhirnya
pemerintah indonesia mengeluarkan undang-undang untuk pencegahan
dari HIV AIDS itu sendiri yaitu peraturan presiden nomor 75 tahun 2006
tentang Komisi Penanggulangan AIDS Nasional dan Peraturan Dalam
Negeri nomor 20 tahun 2007 tentang Pedoman Umum Pembentukan
Komisi Penanggulangan AIDS dan Pemberdayaan Masyarakat Dalam
Rangka Penanggulangan HIV dan AIDS (KPA,2015). Dengan adanya
Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) maka KPA membentuk sebuah
rancangan yaitu Strategi dan Rencana Aksi Nasional atau disingkat SRAN
untuk penanggulan HIV AIDS, SRAN ini di susun mengacu pada RPJMN
tahun 2015-2019 (KPA,2015).

1.2. Tujuan Pembuatan Makalah


1. Menjelaskan masing-masing strategi pencegahan penularan HIV pada
level nasional dan global
2. Menjelaskan keefektifan dan keberhasilan program
3. Menganalisi kekurangan dan kelemahan program yang telah
dijalankan
4. Menjelaskan kontribusi perawat pada masing-masing strategi /
program dan inovasi yang bisa dilakukan
BAB II. PEMBAHASAN

2.1. Strategi Pencegahan Penularan HIV pada level Nasional dan Global
Penurunan penularan HIV dilakukan melalui perluasan pencegahan yang
efektif. Hal ini perlu dilakukan pada hubungan seksual risiko tinggi dan
penggunaan peralatan suntik secara bergantian. Perlu perhatian khusus pada
pencegahan HIV baru di kelompok LSL.
Pencegahan HIV pada populasi kunci di beberapa wilayah dengan kinerja baik,
merupakan hasil kombinasi beberapa faktor berikut: a) Komitmen individu, b)
Layanan ramah klien, c) Pelibatan pihak-pihak pemangku kepentingan, d)
Keterlibatan aktif Dinas Kesehatan dan Puskesmas baik di tingkat provinsi
maupun kabupaten/ kota yang berkerja sama dengan penegak hukum dan tokoh
kunci lokalisasi atau lokasi, e) Keterlibatan LSM dan OMS dalam promosi
kondom dan monitoring program penggunaan kondom; f ) Mobilisasi komunitas
melalui intervensi sebaya.
1. Pencegahan HIV Melalui Transmisi Seksual
Intervensi struktural PMTS perlu terus diperkuat untuk meningkatkan
efektifitas dan dampak program pencegahan, sehingga dapat menurunkan
penularan HIV melalui transmisi seksual. Promosi kondom di tempat transaksi
seksual dan di tempat layanan IMS perlu terus dilakukan.
2. Pengembangan Program Komprehensif GWL (Gay, Waria, dan LSL
lainnya)
Meningkatnya epidemi HIV di kalangan GWL perlu menjadi perhatian
khusus. Intervensi perlu dibuat lebih komprehensif dengan komponen yang
terintegrasi sebagai berikut:
a. Menetapkan definisi operasional GWL dalam program HIV di
Indonesia
b. Mengoptimalkan peran jaringan populasi kunci GWL
c. Mengoptimalkan pelibatan organisasi-organisasi berbasis komunitas
GWL.
d. Memperkuat kapasitas teknis dan keorganisasian para OBK GWL.
e. Pemberdayaan komunitas GWL dalam program HIV.
f. Mengembangkan program spesifik yang ditujukan untuk GWL usia
muda.
g. Mengoptimalkan penggunaan jejaring media sosial dan teknologi
media komunikasi lainnya.
h. Mengintegrasikan konsep kesehatan dan hak seksual reproduksi
(SRHR) dalam semua pendekatan dan kegiatan terkait program HIV
untuk komunitas GWL.
i. Meningkatkan akses dan pemanfaatan layanan tes HIV melalui
pendekatan inovatif berbasis komunitas GWL.
j. Meningkatkan akses dan retensi komunitas GWL (termasuk GWL
muda, GWL pekerja seks, dan GWL ODHA) pada layanan KTH,
IMS.
k. Menciptakan lingkungan yang memampukan GWL melalui upaya
advokasi yang terfokus, pelibatan komunitas yang ditujukan pada
faktor-faktor struktural (sosial, politik, hukum, budaya dan ekonomi)
yang mempengaruhi kerentanan komunitas GWL (termasuk GWL
muda, GWL pekerja seks, dan GWL ODHA) dan berpotensi
menghambat keberhasilan perluasan program.
l. Memperkuat upaya advokasi terhadap kebijakan-kebijakan yang
bersifat kontraproduktif.
m. Memperkuat intervensi struktural untuk komunitas GWL.
n. Pelaksanaan program pre-exposure prophylaxis (PreP) setidaknya
dalam bentuk uji coba.
o. Penelitian implementasi perlu dikembangkan untuk mengidentifikasi
metode yang efektif.
p. Penyelenggaraan “Community Scientific Forum” untuk komunitas,
OBK, peneliti GWL dan mitra kunci.
3. Pengurangan Dampak Buruk pada Penasun
Meningkatkan intervensi untuk pengguna NAPZA suntik, termasuk
WBP melalui halhal berikut:
a. Paket pengurangan dampak buruk yang komprehensif.
b. Perluasan tes HIV bagi Penasun dan pasangannya.
c. Upaya baru perlu dilakukan untuk menjaring Penasun perempuan.
d. Pengembangan layanan pada pekerja seks yang juga pengguna
NAPZA serta pengembangan layanan di Lapas/ Rutan.
e. Mengoptimalkan peran jaringan komunitas Penasun sebagai sentra
koordinasi dan komunikasi.
4. Warga Binaan Pemasyarakatan
a. Memperluas penanggulanan HIV dan AIDS di Lembaga
Pemasyarakatan, termasuk pengurangan dampak buruk NAPZA, PPIA
di Lapas Perempuan.
b. Intensifikasi kegiatan untuk menurunkan infeksi baru di Lembaga
Pemasyarakatan.
c. Mengadvokasi skema perlindungan kesehatan dan sosial dengan
memasukan WBP dalam daftar tanggungan untuk menanggung biaya
terkait HIV, termasuk perubahan administrasi berbasis KTP.
5. Orang Muda
a. Orang muda pada populasi kunci perlu dijangkau program
pencegahan.
b. Keterlibatan bermakna orang muda populasi kunci dalam komunikasi
multi sektoral. Memberi dukungan bagi orang muda yang hidup
dengan HIV agar patuh berobat. Peningkatan akses orang muda ke
informasi komprefensif, layanan, pencegahan terkait HIV dan
Kesehatan Seksual Reproduksi tanpa hambatan usia dan status
pernikahan seperti yang sudah tertuang dalam PP nomor 61 tahun
2014 tentang Kesehatan Reproduksi.
c. Pengembangan strategi komunikasi untuk orang muda.
d. Adanya layanan ramah remaja untuk meningkatkan akses orang muda
khususnya orang muda di populasi kunci ke layanan HIV dan
Kesehatan Seksual Reproduksi.
e. Informasi strategis serta survailens HIV pada populasi umum dan
populasi kunci perlu terpilah berdasarkan kelompok usia 10-14 tahun,
15-19 tahun, 20-24 tahun. Informasi strategis terpilah ini perlu disertai
dengan analisis mendalam.
f. Tingkat Pengetahuan
g. Hubungan seks sebelum usia 15 tahun.
h. Seks risiko tinggi.
i. Pekerja seks.
j. LSL.
k. Penasun.
6. Intensifikasi Program Penanggulangan HIV dan AIDS di Tempat
Kerja dan Populasi Rentan Lainnya
Pendekatan program pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS
(P2 HIV&AIDS) di Tempat Kerja terbukti telah meningkatkan
penyebarluasan informasi yang benar pada kalangan pekerja dan pengusaha
sehingga membangun kesadaran untuk meningkatkan komitmen, partisipasi
dalam program dan pemahaman untuk tidak memberikan stigma dan
perlakuan diskriminatif kepada pekerja terkait HIV-AIDS serta dukungan
pada pekerja ODHA. Dunia kerja memiliki sumberdaya yang memadai untuk
dimobilisasi dalam pengembangan program di lingkungan kerjanya maupun
berpartisipasi dalam program di masyarakat melalui program Corporate
Social Responsibility (CSR).
Untuk memperkuat program P2 HIV & AIDS di tempat kerja dan
keberlanjutannya perlu didukung dengan Pokja HIV-AIDS di Tempat Kerja
(Pokja Workplace) yang menjadi pola jejaring kerjasama antar stakeholder
terkait baik instansi pemerintah seperti instansi ketenagakerjaan, kesehatan,
perhubungan, pekerjaan umum, pertambangan, perkebunan, kelautan dan
perikanan, pariwisata, KPAN/KPA, ILO, APINDO, SP/SB, IBCA, dan LSM
terkait. Pokja Workplace di tingkat pusat perlu mendorong peningkatan
kapasitas program bagi Pokja Workplace pada KPA di tingkat provinsi dan
kabupaten/kota. KPA provinsi dan kabupaten/kota yang belum membentuk
Pokja Workplace perlu didorong untuk membentuk. Untuk itu perlu didukung
dengan kegiatan advokasi dan peningkatan kapasitas dan Pokja di daerah dan
pertemuan koordinasi dan evaluasi nasional Pokja Workplace secara rutin.
Pokja Workplace harus terus diberdayakan dan dilibatkan untuk terus
berperan aktif dalam pelaksanaan program P2-HIV AIDS terutama yang
berkaitan dengan sasaran populasi pekerja dari perencanaan, pelaksanaan dan
evaluasinya. Dengan pola kemitraan yang baik ini diharapkan akan
mendukung pencapaian target nasional secara berkelanjutan (partnership for
sustainability).
Pelaksanaan program pada kalangan pekerja secara umum telah diatur
melalui Keputusan Menteri Tenaga Keja dan Transmigrasi RI No. 68 Tahun
2004 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS di Tempat
Kerja dan Keputusan Dirjen Pembinaan dan Pengawasan Ketenagakerjaan
No. 20 Tahun 2005 tentang Petunjuk Teknis (P2 HIV & AIDS) di Tempat
Kerja. Prinsip-prinsip kebijakan dalam regulasi ini sejalan dengan
Rekomendasi ILO No 200 Tahun 2010 tentang HIV & AIDS di Dunia Kerja
(HIV/AIDS and The World of Work), yang mewajibkan perusahaan
menjalankan program P2-HIV AIDS di tempat kerja untuk membuat
lingkungan kondusif, memberikan edukasi kepada pekerja, memberikan akses
layanan HIV-AIDS pada pekerja yang terkena dan tidak memberikan stigma
dan diskriminasi.
Pembelajaran yang baik telah didapatkan melalui Implementasi
program P2 HIV & AIDS di Tempat Kerja yang diintegrasikan (dimasukkan)
dalam program perlindungan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3).
Integrasi program HIV & AIDS dengan program K3 merupakan pendekatan
yang strategis. Manajer SDM dan ahli K3 di perusahaan khususnya ahli K3
(safety and health officer), dokter dan perawat kesehatan kerja di perusahaan
dilibatkan dalam program P2 HIV-AIDS di tempat kerja. Untuk itu perlu
diberikan edukasi dan pelatihan untuk selanjutnya mengembangkan program
HIV & AIDS di perusahaannya. Dengan pola seperti ini diharapkan program
ini dapat berjalan secara berkelanjutan seiring dengan program K3 di
perusahaan.
7. Pekerja Migran
Menjadi seorang pekerja migran bukanlah sebuah risiko untuk tertular
HIV, tetapi kondisi-kondisi yang menyertai pekerja migran selama proses
migrasi itu yang menyebabkan kerentanan mereka terhadap penularan HIV.
Migrasi bukanlah faktor penyebab langsung, tetapi terdapat kaitan antara
epidemi HIV dengan kelompok pekerja migran. Kaitan tersebut umumnya
karena kondisi yang terjadi sepanjang perjalanan migrasi dan kurangnya
perlindungan yang diberikan kepada pekerja migran. Pekerja migran kerap
menjadi objek pelanggaran yang terjadi dalam konteks prosedur perekrutan,
pekerjaan yang bersifat tidak aman di luar negeri, akses yang terbatas untuk
mendapatkan layanan informasi, dukungan konseling dan test HIV yang
belum memenuhi kaidah, perawatan medis, sistem rujukan penanganan bagi
pekerja migran HIV, eksploitasi, diskriminasi dan penganiayaan, yang
dikombinasikan dengan rendahnya kesadaran akan HIV dan AIDS di
kalangan pekerja migran, menempatkan pekerja migran rentan terhadap HIV
dan AIDS.
a. Peningkatan Pengetahuan Pekerja Migran tentang HIV dan AIDS
b. Perbaikan Sistem Perawatan, Dukungan dan Pengobatan bagi Pekerja
Migran (dan Keluarga) yang Terinfeksi HIV
c. Mitigasi Dampak Sosial-Ekonomi
d. Penciptaan Lingkungan yang Kondusif
Menjadi PNS atau TNI/POLRI bukanlah sebuah risiko untuk tertular
HIV, tetapi kondisikondisi tertentu yang menyertai pekerjaannya memberikan
risiko tersendiri untuk penularan HIV dan IMS. Pelaksanaan penanggulangan
HIV dan AIDS di lingkungan TNI, mengacu pada Peraturan Panglima TNI
no. 64 tahun 2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penanggulangan HIV dan
AIDS di Lingkungan TNI.
8. Tanah Papua
Penanggulangan HIV di Tanah Papua harus mempertimbangkan
sejumlah tantangan seperti mobilitas sumber daya, petugas kesehatan dan
pasien yang sulit mengakses layanan karena kondisi geografis, keterbatasan
akses internet dan infrastuktur transportasi yang terbatas. Begitu pula
lingkungan sosial-politik yang menantang. Tanah Papua berbeda dengan
daerah lain di Indonesia karena HIV sudah menyebar ke populasi umum.
Strategi untuk pencegahan HIV di Tanah Papua sesungguhnya sama dengan
wilayah Indonesia lainnya, namun usaha khusus perlu dilakukan:
d. Penawaran tes HIV wajib dilakukan untuk semua ibu hamil.
e. PPIA dengan opsi B+ harus diimplementasikan secara luas di seluruh
kabupaten/kota.
f. Pendidikan HIV harus diberikan kepada populasi umum mapupun
populasi kunci.
g. Memprioritaskan semua anak muda dalam pemberian informasi HIV
yang komprehensif melalui pendidikan kecakapan hidup di sekolah
dan luar sekolah, akses ke layanan kesehatan, dan metode pencegahan
seperti kondom.
h. Perhatian khusus diperlukan untuk meningkatkan retensi pasien
terhadap pengobatan.
i. Intervensi struktural melibatkan tokoh agama dan adat.
j. Pengadaan logistik HIV dari tingkat nasional dalam implementasinya
harus disesuaikan dengan keadaan antropologi masyarakat dan
struktur geografis Tanah Papua
9. Pencegahan oleh orang HIV yang telah mengetahui statusnya
Penekanan pencegahan masih terbatas pada pencegahan penularan di
kalangan orang yang belum mengetahui status HIV-nya. Mencegah
penularan HIV pada seorang yang sudah terinfeksi HIV mempunyai
potensi mencegah penularan yang berlipat ganda dibanding mencegah
penularan pada satu orang yang tidak terinfeksi HIV karena
pencegahannya hanya kepada satu orang. Pencegahan bagi orang dengan
HIV yang telah mengetahui status HIV-nya, mencegah mutasi HIV dengan
menghindari re-infeksi HIV dan menjadikannya tetap sehat. Upaya yang
perlu dilakukan sebagai daya ungkit pencegahan, dengan melibatkan orang
dengan HIV yang telah mengetahui status HIV-nya adalah sebagai berikut:
a. ODHA yang telah mengetahui status HIV-nya harus dirujuk ke
layanan pencegahan terintegrasi dengan layanan konseling
berkelanjutan melalui Konseling dan Tes HIV (KTH) serta layanan
Kesehatan Seksual dan Reproduksi (KSR).
b. ODHA yang telah mengetahui status HIV-nya dijangkau untuk
mendapatkan edukasi pilihan pencegahan dan kegiatan pencegahan
positif melalui kelompok kelompok ODHA dengan peran dukungan
sebaya.
c. Tersedianya informasi tentang seks aman, infeksi ulang, pilihan
kesehatan reproduksi, dampak pengobatan ARV, menyuntik yang
aman tersedia pada setiap layanan HIV termasuk rumah sakit, PKM,
klinik KB, LSM dan kelompok dukungan ODHA.
d. Pemberdayaan ODHA sebagai fasilitator sebaya dalam menginisiasi
prinsip pencegahan positif sebagai bagian dari intervensi perubahan
perilaku..
10. Mengurangi Infeksi HIV Vertikal
a. Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak
1) Menggunakan Pedoman Pelaksanaan Pencegahan Penularan HIV dan
sifilis dari Ibu Ke Anak Bagi Petugas Kesehatan (2014), Pedoman
Manajemen Program Pencegahan Penularan HIV dan sifilis dari Ibu
ke Anak (2015), Peraturan Menteri Kesehatan nomor 21 tahun 2013
tentang Penanggulangan HIV dan AIDS serta Surat Edaran nomor
GK/Menkes/001/I/2013 tentang Layanan Pencegahan Penularan HIV
dari Ibu ke Anak sebagai acuan utama dalam pencegahan penularan
HIV vertikal dan memastikan implementasinya sesuai standar di
daerah.
2) Peraturan Menteri Kesehatan nomor 21 tahun 2013 tentang
Penanggulangan HIV dan AIDS menyatakan bahwa Tes dan
Konseling HIV dianjurkan sebagai bagian dari pemeriksaan
laboratorium rutin saat pemeriksaan asuhan antenatal atau menjelang
persalinan pada semua ibu hamil yang tinggal di daerah dengan
epidemi meluas dan terkonsentrasi; dan ibu hamil dengan keluhan
keluhan IMS dan tuberkulosis di daerah epidemi rendah.
3) Penggunaan ARV bagi ibu hamil dengan HIV positif dan penggunaan
profilaksis bagi bayi baru lahir dari ibu HIV positif.
4) Penyediaan layanan PPIA, terutama di Tanah Papua dan kota-kota.
5) Penerapan KTIP (PITC) di layanan KIA untuk mempercepat upaya
pencegahan.
6) Membuka akses pilihan kontrasepsi bagi laki-laki dengan HIV positif
dan pasangannya selain kondom.
7) Meningkatkan keterampilan tenaga kesehatan, termasuk Bidan tentang
PPIA.
8) Mengoptimalkan peran jaringan komunitas perempuan positif untuk
koordinasi dan komunikasi dalam perencanaan, pelaksanaan, evaluasi
dan penelitian terkait HIV baik di tingkat nasional maupun daerah.
9) Melalui kebijakan yang kuat dan implementasi pedoman yang
komprehensif sejak 2012, termasuk dengan pengintegrasian PPIA ke
dalam layanan ANC.
b. Mengurangi Dampak Infeksi HIV pada Anak
1) Memperluas akses deteksi dini bagi bayi yang terlahir dari ibu positif
HIV.
2) Meningkatkan cakupan pengobatan pediatrik, termasuk pelatihan staf
layanan kesehatan.
3) Menyediakan layanan kepatuhan minum obat untuk anak, termasuk
penyediaan layanan yang peka terhadap perkembangan psikologis dan
kognitif anak, layanan tumbuh kembang, pengungkapan status HIV
dan layanan transisi dari anak ke dewasa.
c. Perawatan, Dukungan dan Pengobatan
1) Meningkatkan Aksesibilitas Tes HIV
a) Penjangkauan dan rujukan ke layanan tes.
b) Menggunakan cara-cara yang inovatif dalam menjangkau populasi
kunci.
c) Menormalkan tes HIV dan mendukung komunitas untuk
menggunakan teknologi baru untuk tes HIV.
d) Menjaga jumlah pasien dalam cascade perawatan dan pengobatan
termasuk infeksi TB-Hepatitis.
e) Pelaksanaan TPIK pada fasilitas kesehatan di 141 kabupaten/ kota
prioritas.
f) Meningkatkan kapasitas laboratorium dan manajemen rantai
pasokan.
g) Memastikan ketersediaan ARV pediatrik, termasuk pilihan rejimen,
formulasi ARV, serta menyediakan pedoman bagi penyedia
layanan kesehatan dan pengasuh anak.
h) Ketersediaan layanan pemantauan klinis dan laboratoris.
i) Mengintegrasikan layanan IMS dan HIV di fasilitas antenatal dan
integrasi layanan TB-HIV, dan HIV-Hepatitis.
2) Menanggulangi Stigma dan Diskriminasi
a) Mengambil upaya yang berorientasi pada penghapusan stigma dari
petugas layanan kesehatan kepada ODHA dan populasi kunci.
b) Mengembangkan intervensi yang dapat mengurangi stigma di
tempat layanan, tempat kerja, sarana pendidikan, dan masyarakat
luas.
c) Mendorong keterlibatan tokoh masyarakat dan tokoh agama
sebagai bagian dari kampanye anti stigma dan diskriminasi.
3) Inisiasi dan Retensi Pengobatan
a) Pemberdayaan ODHA dengan dukungan sebaya.
b) Mengintegrasikan tes dan layanan HIV untuk meningkatkan
cakupan layanan melalui desentralisasi.
c) Desentralisasi harus didukung oleh pengalihan tugas.
4) Ketersediaan dan Keterjangkauan Obat terkait HIV
5) Akselerasi dan Implementasi SUFA
a) Meningkatkan jumlah orang yang melakukan tes, perawatan dan
mendapatkan ARV bagi orang yang memenuhi syarat dan
meningkatkan retensi dan kepatuhan.
b) Peningkatan kapasitas dari 75 kabupaten/ kota prioritas dalam
mengelola sistem LKB dan mengimplementasikan SUFA.
c) Tim nasional dukungan teknis perlu terus bertanggungjawab dalam
perencanaan, supervisi, mentoring, monitoring berbasis data real-
time, evaluasi SUFA, serta dukungan intensif bagi 75 kabupaten/
kota prioritas.
d) Menyediakan fasilitator atau narasumber bagi kabupaten/ kota
prioritas yang membutuhkan.
e) Mendukung kabupaten/ kota prioritas untuk menyiapkan rencana
tahunan dengan target pengobatan yang lebih ambisius.
f) Peningkatan kapasitas Dinas Kesehatan di 75 kabupaten/ kota
prioritas SUFA.
g) Pelibatan populasi kunci untuk memperkuat pemetaan,
perencanaan dan penyediaan layanan.
h) Membuat strategi di tingkat lokal untuk mencegah transmisi HIV
vertikal dan memperluas layanan bagi perempuan hamil dan anak
yang terdiagnosis HIV.
i) Mengembangkan model tes berbasis komunitas.
6) Desentralisasi Layanan HIV ke dalam Sistem Layanan Primer
Desentralisasi layanan HIV ke dalam sistem layanan primer,
konsep LKB-PMTS mendorong integrasi utuh layanan IMS, HIV serta
Kesehatan Seksual dan Reproduksi, serta layanan Antenatal dan layanan
penyakit kronis termasuk layanan diagnostik kanker serviks dan TB:
a) Peningkatan dan penguatan desentralisasi layanan HIV ke
Puskesmas.
b) Pembentukan Pokja dan rencana terinci perlu disiapkan segera.
c) Kebijakan yang menghambat perluasan SUFA perlu ditinjau.
d) Integrasi TB-HIV merupakan prioritas, termasuk pembentukan
pokja TB-HIV.
e) Pemberian dukungan teknis di tingkat lokal, termasuk PMTS, tes
IMS rutin, VCT, rujukan.
f) Mengambil langkah-langkah yang dibutuhkan untuk memperkuat
implementasi panduan layanan dan monitoring kepatuhan minum
obat.
g) Desentralisasi kegiatan terkait HIV dengan kegiatan berbasis
komunitas.
d. Mitigasi Dampak
1) Program mitigasi dampak perlu memanfaatkan skema jaminan
kesehatan dan sosial.
2) Anak dengan HIV dan anak dari ODHA mendapatkan perlindungan
sosial, pemenuhan atas hak anak. Orang tua atau keluarga yang
mengasuh anak dengan HIV dan anak dari ODHA mendapatkan
peningkatan kapasitas dan keahlian dalam bidang perawatan dan
pemberdayaan ekonomi.
3) Menghilangkan hambatan biaya pengobatan bagi ODHA dan populasi
kunci.
4) Menyediakan kesempatan pendidikan, layanan kesehatan, dukungan
gizi dan dukungan ekonomi untuk ODHA dan keluarganya.
5) Memperkuat mekanisme menyesuaikan diri bagi ODHA dan Populasi
Kunci dengan lingkungan sosial dan pemberdayaan ekonomi.
6) Pendokumentasian dampak dari kebijakan nasional dan daerah terkait
HIV dan AIDS terhadap populasi kunci.
7) Mempromosikan akses mediasi dan perlindungan hukum bagi ODHA,
termasuk akses terhadap layanan kesehatan.
8) Penyusunan panduan mengenai cara penyediaan layanan dan
perlindungan bagi ODHA.
9) Mempromosikan akses terhadap JKN dengan meningkatkan
pengetahuan populasi kunci dan komunitas.
10) Mendorong untuk dilakukannya perencanaan pengintegrasikan
pelayanan HIV ke dalam JKN dan melakukan advokasi terkait
pembiayaan.
11) Pemberdayaan masyarakat yang telah ditetapkan dalam berbagai
kebijakan pemerintah adalah strategi penting untuk menghilangkan
diskriminasi terhadap orang terinfeksi HIV.
12) Perlunya sistem pendataan dan monitoring berbagai upaya mitigasi
dampak sosial dan ekonomi yang sudah dilaksanakan.

2.2. Kefektifan Dan Keberhasilan Program


2.1.Pencegahan HIV
Permasalahan HIV dan AIDS menjadi tantangan kesehatan hampir
di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Sejak pertama kali ditemukan
sampai dengan Juni 2018, HIV/ AIDS telah dilaporkan keberadaannya
oleh 433 (84,2%) dari 514 kabupaten/kota di 34 provinsi di Indonesia.
Jumlah kumulatif infeksi HIV yang dilaporkan sampai dengan Juni 2018
sebanyak 301.959 jiwa (47% dari estimasi ODHA jumlah orang dengan
HIV AIDS tahun 2018 sebanyak 640.443 jiwa) dan paling banyak
ditemukan di kelompok umur 25-49 tahun dan 20-24 tahun. Adapun
provinsi dengan jumlah infeksi HIV tertinggi adalah DKI Jakarta (55.099),
diikuti Jawa Timur (43.399), Jawa Barat (31.293), Papua (30.699), dan
Jawa Tengah (24.757). Jumlah kasus HIV yang dilaporkan terus
meningkat setiap tahun, sementara jumlah AIDS relatif stabil. Hal ini
menunjukkan keberhasilan bahwa semakin banyak orang dengan HIV
/AIDS (ODHA) yang diketahui statusnya saat masih dalam fase terinfeksi
(HIV positif) dan belum masuk dalam stadium AIDS (Depkes RI, 2018).
Dengan semakin banyaknya ODHA yang diketahui statusnya saat
fase terinfeksi tentu program pencegahan seperti pemberian ARV bisa
berjalan dengan baik. Obat ARV mampu menekan jumlah virus HIV di
dalam darah sehingga kekebalan tubuhnya (CD4) tetap terjaga. Sama
seperti penyakit kronis lainnya seperti hipertensi, kolesterol, atau DM,
obat ARV harus diminum secara teratur, tepat waktu dan seumur hidup,
untuk meningkatkan kualitas hidup ODHA serta dapat mencegah
penularan. ARV dijamin ketersediaannya oleh pemerintah dan gratis
pemanfaatannya. Pelayanan ARV sudah dapat diakses di RS dan
Puskesmas di 34 provinsi, 227kab/kota. Total saat ini terdapat 896 layanan
ARV, terdiri dari layanan yang dapat menginisiasi terapi ARV dan
layanan satelit. Dukungan sosial dari keluarga dan lingkungan terdekat
sangat dibutuhkan agar ODHA tetap semangat dan jangan sampai putus
obat (Depkes RI,2018).
2.2.Mengurangi Infeksi HIV Vertikal
Selain status ODHA yang sudah mulai tercatat dan dicegah
penularannya , dari data yang didapat dari Depkes.go.id (2017) jumlah
infeksi yang dilaporkan juga semakin menurun, seperti yang bisa dilihat
dalam tabel berikut ini :

Tabel Jumlah Infeksi HIV yang Dilaporkan Menurut Faktor Risiko


Tahun 2010 – 2017 (Depkes, 2017)
Dari tabel diatas, walaupun angka infeksi masih bisa dikatakan
cukup tinggi namun jumlah infeksi HIV menurut faktor resiko relatif
mengalami penurunan pada tahun 2017.
Sementara itu, Berdasarkan data Kementerian Kesehatan
(Kemenkes), pada 2018 tes HIV pada ibu hamil hanya sekitar 13,38%
(761.373) dari total jumlah ibu hamil di Indonesia sebanyak 5.291.143
orang. Dari jumlah yang menjalani tes tersebut, yang diketahui positif HIV
tercatat 2.955 orang. Sementara itu, yang mendapatkan terapi obat ARV
(antiretroviral) dalam upaya menekan jumlah virus (VL), lebih sedikit lagi,
yakni hanya 893 ibu hamil. Angka ini bisa dikatakan masih sangat rendah.
Untuk itu sosialisasi Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA)
harus dilaksanakan lebih konsisten dan efisien lagi karena diperkirakan
sebanyak 8.604 bayi dengan HIV lahir setiap tahun (Mediaindonesia.com,
2108). Transmisi penyakit dari ibu ke janin (mother-to-child trasmission =
MTCT) dapat terjadi selama kehamilan, saat persalinan, dan menyusui.
Pada ibu hamil yang tidak diberikan obat HAART selama kehamilan,
80% terjadi transmisi MTCT pada usia kehamilan lanjut (di atas 36
minggu), saat persalinan, dan postpartum dan kurang dari 2% transmisi
MTCT terjadi selama trisemester I dan II kehamilan. Tidak adanya
intervensi dengan obat HAART, risiko transmisi MTCT pada ibu yang
menyusui sebesar 15-20% dan 25-40% pada ibu yang menyusui
bayinya (suhaimi,2009).
2.3. Perawatan, Dukungan dan Pengobatan
HIV itu ada obatnya, antiretroviral (ARV) namanya. Obat ARV
mampu menekan jumlah virus HIV di dalam darah sehingga kekebalan
tubuhnya (CD4) tetap terjaga. Sama seperti penyakit kronis lainnya
seperti hipertensi, kolesterol, atau DM, obat ARV harus diminum secara
teratur, tepat waktu dan seumur hidup, untuk meningkatkan kualitas hidup
ODHA serta dapat mencegah penularan.
ARV dijamin ketersediaannya oleh pemerintah dan gratis
pemanfaatannya. Pelayanan ARV sudah dapat diakses di RS dan
Puskesmas di 34 provinsi, 227kab/kota. Total saat ini terdapat 896
layanan ARV, terdiri dari layanan yang dapat menginisiasi terapi ARV
dan layanan satelit. Dukungan sosial dari keluarga dan lingkungan
terdekat sangat dibutuhkan agar ODHA tetap semangat dan jangan sampai
putus obat.
Pada tahun 2015, menurut World Health Organization (WHO)
antiretroviral sudah digunakan pada 46% pasien HIV di berbagai negara.
Penggunaan ARV tersebut telah berhasil menurunkan angka kematian
terkait HIV/AIDS dari 1,5 juta pada tahun 2010 menjadi 1,1 juta pada
tahun 2015.

2.3. Kekurangan Dan Kelemahan Program


1. Pencegahan HIV
a. Pencegahan HIV melalui Transmisi Seksual
Upaya penanggulangan HIV dan AIDS multi-sektor dalam hal
kepemimpinan dan penyediaan sumber daya masih sangat terbatas.
Sejumlah kabupaten/ kota dan provinsi belum maksimal melaksanakan
PMTS (Pencegahan HIV melalui Transmisi Seksual) karena kurangnya
koordinasi antar sektor, DPRD setempat tidak merasa yakin akan
pentingnya PMTS, dan kurangnya pemahaman mengenai akses untuk
memperoleh pendanaan lokal untuk PMTS di antara staf pemerintah
daerah.
b. Pengembangan Program Komprehensif GWL (Gay, Waria, dan LSL
lainnya)
Penanggulangan HIV dan AIDS pada GWL belum dapat dilaksanakan
secara luas. Stigma dan diskriminasi pada beberapa situasi belum dapat
diatasi, dan hambatan untuk mengakses layanan terus memberi dampak
pada LSL dan Waria, khususnya mereka yang masih muda sehingga tidak
berupaya mencari layanan pencegahan dan pengobatan, termasuk IMS
(Infeksi Menular Seksual), HIV konseling dan tes.
c. Pengurangan Dampak Buruk pada Penasun (Pengguna NAPZA Suntik)
HR menyediakan beberapa bentuk layanan termasuk Layanan Alat
Suntik Steril (LASS), Terapi Rumatan Metadon (TRM), dan Pemulihan
Adiksi berbasis Masyarakat (PABM). Program HR diinisiasi melalui
koordinasi yang erat dengan masyarakat sipil, bekerja sama dengan BNN
(Badan Narkotika Nasional), Kementrian Sosial dan Kementrian
Kesehatan. Namun, ketersediaan paket layanan HR (Harm Reduction)
masih perlu ditingkatkan. Karena penularan HIV di beberapa
daerah/tempat tertentu masih meningkat pesat, dan hal ini menunjukkan
bahwa epidemi HIV pada penasuran masih belum stabil.
d. Warga Binaan Permasyarakatan
Berbagai kegiatan dari program ini telah dilaksanakan di Lapas/ Rutan
di Indonesia, termasuk pada saat pra pembebasan, TRM, konseling, Tes
HIV, promosi dan pendidikan HIV dan AIDS. Akses layanan ke program
HR masih terus diperbaiki, khususnya TRM, Konseling dan Tes HIV,
tetapi LASS tidak disediakan. Sedangakan prevalensi HIV yang tinggi dan
ketergantungan obat di antara WBP di Lapas Narkotika, dikombinasi
dengan berbagai alat suntik, membuat Lapas merupakan salah satu tempat
yang beresiko tinggi terjadinya penularan HIV.
e. Orang Muda
Pencegahan HIV pada orang muda dan remaja populasi kunci belum
memperoleh perhatian yang cukup bermakna, meskipun mereka adalah
yang paling rentan di antara LSL, WPS, Waria, dan Penasuran. Cakupan
pencegahan HIV adalah yang terendah untuk kelompok usia paling muda.
Mereka juga merupakan populasi yang paling sedikit memiliki akses
paling sedikit pada layanan kesehatan ataupun mendapatkan akses pada
layanan IMS dan tes HIV.
f. Tanah Papua
Penanggulangan HIV di Tanah Papua harus mempertimbangkan
sejumlah tantangan seperti mobilitas sumber daya, petugas kesehatan dan
pasien juga sulit mengakses layanan karena kondisi geografis, keterbatasan
akses internet dan infrastruktur transportasi yang terbatas. Begitu pula
lingkungan sosial-politik yang menantang. Sehingga strategi pencegahan
HIV di Tanah Papua memperlukan usaha lebih dari daerah lainnnya.
2. Mengurangi Infeksi HIV Vertikal
a. PPIA (Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak)
Pencegahan PPIA masih rendah. Tingkat penggunaan kondom yang
rendah meningkatkan resiko pelularan HIV, sehingga secara potensial
meningkatkan penularan HIV dari ibu ke bayi. Berbagai upaya dilakukan
untuk intensifikasi tes di layanan kesehatan ibu dan anak. Saat ini layanan
HIV tidak memberi informasi yang cukup mengenai kesehatan reproduksi
dan seksual kepada ODHA yang membutuhkan, seperti informasi
perencanaan kehamilan, kontrasepsi, pilihan melahirkan, dan pemberian
ASI pada bayi. Pada saat yang bersamaan, layanan KIA hanya sedikit
memberi informasi tentang HIV dan jarang menawarkan tes HIV.
3. Perawatan, dukungan dan pengobatan
Hak Asasi Manusia, stigma dan diskriminasi terus menjadi tantangan
dalam upaya penanggulangan HIV yang efektif. Masalah jender dalam
pelaksanaan SRAN 2010-2014 tahun 2013. Tantangan yang perlu ditangani
adalah termasuk kurangnya pendekatan yang sensitif jender berdasarkan
HAM, yang tampaknya masik terjadinya stigma dan diskriminasi sehingga
menghambat mereka yang membutuhkan untuk mengakses layanan HIV.
4. Mitigasi Dampak
HIV memiliki dampak sosial yang besar pada masyarakat. Namun, upaya
untuk mengukur dampak khusus HIV pada penduduk dan menggunakan
informasi untuk memformulasikan kebijakan dan program mitigasi dampak
masih sangat terbatas di indonesia.
2.4. Kontribusi Perawat Dalam Strategi/Program Atau Inovasi
Dalam program penanggulangan dan pencegahan HIV dan AIDS (P2 HIV &
AIDS) salah satu peran perawat yang bekerja di perusahaan adalah
1. melakukan konseling dan tes HIV (KTH) bagi pekerja laki-laki berisiko
tinggi (LBT)
2. melakukan pemeriksaan kesehatan tenaga kerja, donor darah dan layanan
kesehatan lainnya melalui penawaran tes HIV secara selektif terfokus pada
populasi pekerja rentan atau risiko tinggi.
3. Untuk itu perlu diberikan edukasi dan pelatihan untuk selanjutnya
mengembangkan program HIV & AIDS di perusahaannya. Dengan pola
seperti ini diharapkan program ini dapat berjalan secara berkelanjutan
seiring dengan program K3 di perusahaan.
Sesuai dengan tujuan pengendalian HIV di lingkungan TNI dan Indonesia, yaitu
menurunkan angka kesakitan, kematian, dan diskriminasi serta meningkatkan
kualitas hidup ODHA, maka diperlukan upaya pengendalian serta layanan HIV
berupa perawatan dukungan dan pengobatan termasuk di fasilitas kesehatan TNI
khususnya perawat dalam fasilitas kesehatan TNI, dengan upaya meliputi :
a. Pencegahan dilakukan dengan membentuk tenaga peer leader dikalangan
TNI yang bertugas terutama dalam pencegahan HIV dan AIDS dan
sosilaisasi/edukasi tentang HIV dan AIDS
b. Penemuan kasus secara dini; Mandatory test, VCT/PITC di faskes TNI
c. Perawatan Dukungan dan Pengobatan yang dilaksanakan oleh faskes TNI
d. Menciptakan lingkungan kondusif: Advokasi kepada pimpinan TNI
seluruh angkatan.
e. Monitoring dan Evaluasi; laporan rutin bulanan, Triwulan, dan Semester,
serta Survey Terpadu HIV dan Perilaku (STHP) setiap 4 tahun sekali,
Sistem Informasi Kesehatan Preventif Pencegahan HIV (Sikesprev) untuk
sistem pelaporan kegiatan peer leader pencegahan HIV di lingkungan TNI
yang berbasis Web dan SMS Gateway.

Peran perawat dalam upaya pencegahan dan pengendalian HIV dan AIDS dalam
lingkungan masyarakat adalah Memperluas akses deteksi dini bagi bayi yang
terlahir dari ibu positif HIV, Meningkatkan cakupan pengobatan pediatrik,
termasuk pelatihan staf layanan kesehatan lainnya, Menyediakan layanan
kepatuhan minum obat untuk anak, termasuk penyediaan layanan yang peka
terhadap perkembangan psikologis dan kognitif anak, layanan tumbuh kembang,
pengungkapan status HIV dan layanan transisi dari anak ke dewasa.
Pengalihan tugas (task shifting) menjadi elemen penting dalam SRAN 2015-
2019, meliputi
1. perluasan tanggung jawab untuk merawat pasien HIV dari spesialis/
internis ke dokter umum,
2. tanggung jawab beberapa layanan bergeser dari dokter ke perawat, dan
3. perawat merangkap teknisi laboratorium sederhana untuk menyelesaikan
kekurangan kapasitas laboratorium yang menghambat untuk ekspansi
pengobatan. Kementerian Kesehatan perlu membuat kelompok kerja task
shifting untuk menjadi dewan pertimbangan atas pelaksanaan kegiatan ini.
Peran perawat dalam program pengendalian dan pencegahan HIV & ARIDS
adalah Memperkuat kegiatan yang berbasis komunitas dan masyarakat. Termasuk
di dalamnya memperkuat pendekatan sebaya (seperti pendidik sebaya, konseling
berbasis komunitas, dukungan sebaya, peer leader, penjangkau sebaya), serta
dukungan dan peran aktif masyarakat (kader, Warga Peduli AIDS, bidan/ perawat
komunitas, layanan terkait IMS dan AIDS pada K3). Dalam hal ini khususnya
perawat komunitas
BAB III. PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Semakin tingginya angka seks berisiko seperti seks bebas pada
heteroseksual, homoseksual, dan penggunaan jarum suntik secara bergantian
maka semakin meningkatkan angka kejadian penyakit HIV/AIDS ataupun
meningkatkan risiko terkena penyakit tersebut. Berbagai strategi telah
diadakan oleh pemerintah untuk menanggulangi dan mencegah penularan
HIV/AIDS seperti pencegahan HIV/AIDS melalui transmisi seksual,
pengembangan program komprehensif bagi GWL, serta pendidikan kesehatan
dll. Dengan diadakannya strategi dan program tersebut banyak kelebihan dan
keefektifan yang telah berjalan dan berhasil dilakukan, tetapi tidak sedikit
pula program dan strategi yang belum mampu memberikan hasil yang
maksimal karena beberapa kekurangan yang dimiliki.
3.2. Saran
Strategi dan perencanaan untuk menanggulangi HIV dan AIDS oleh
pemerintah indonesia sebenernya sudah bagus, namun terkadang ada
beberapa kondisi yang masih sulit untuk ditangani dan itu menjadi tanggung
jawab kita bersama untuk menanggulangi nya, terutama oleh usia remaja
sampai dengan dewasa, dikarenakan pada rentang usia remaja sampai dewasa
ini lah banyak yang terkena oleh HIV ini. Oleh karena itu, sebagi seorang
tenaga kesehatan perlu untuk mengadakan pendidikan kesehatan bagi
masyarakat pada umumnya, dan pada GWL pada khususnya dan melakukan
pendekatan terapeutik bagi masyarakat dan GWL. Seluruh strategi
penanggulangan dan pencegahan tidak akan berjalan secara efektif jika
diantara pemerintah, tenaga kesehatan dan masyarakat serta komunitas tidak
melakukan kerja sama secara aktif. Maka dari itu, peran tenaga kesehatan
khususnya perawat diperlukan.
DAFTAR PUSTAKA

Komisi Penanggulangan AIDS. 2015. Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-
2019: Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia. Jakarta: Komisi
Penanggulangan AIDS Nasional

WHO. 2017. Kajian Nasional Respon HIV di Bidang Kesehatan Republik


Indonesia. Dapat di akses di
http://www.searo.who.int/indonesia/publications/hiv_country_review_in
donesia_bahasa.pdf [diakses pada tanggal 12 maret 2019 pukul 13.52]

Anda mungkin juga menyukai