Anda di halaman 1dari 10

TINJAUAN TEORI

A. Definisi Spondilitis TB

Tuberkulosis tulang belakang atau dikenal dengan sebutan Spondilitis TB merupakan

kejadian TB ekstrapulmonal ke bagian tulang belakang tubuh (Brunner, Suddart, &

Smeltzer, 2008). Spondilitis TB merupakan infeksi tulang belakang yang disebabkan oleh

mycobacterium tuberculosis (Paramarta et al., 2008). Tulang belakang tubuh manusia terdri

dari 7 ruas cervikal, 12 ruas thorakal, 5 ruas lumbal dan 5 ruas sakrum (Bono & Garfin,

2004). Pada masingmasing ruas tulang belakang terdiri rangkaian saraf spinal yang

mengatur sistem kerja beberapa bagian tubuh lain (Brunner, Suddart, & Smeltzer, 2008).

Lokalisasi yang paling sering terjadi yaitu pada daerah vertebra torakal bawah dan daerah

lumbal (T8-L3), kemudian daerah torakal atas, servikal dan daerah sakrum (Garfin &

Vaccaro, 1997 dalam Moesbar 2006).

Ruas tulang belakang mengatur sistem kerja pada bagian tubuh lain. Ruas servikal

mengatur kerja melebar dan mengerutkan mata dan pengeluaran air liur serta ekstremitas

(Bono & Garfin, 2004). Ruas thorakal berfungsi mengatur mengerutkan bronkiolus,

mempercepat dan melambatkan denyut jantung dan meningkatkan sekresi asam lambung

(Vaccaro & Albert, 2009). Ruas lumbal mengatur menurunkan dan meningkatkan gerak

peristaltik usus (Bono & Garfin, 2004). lima ruas sakrum mengatur dalam pengosongan

kandung kemih (Vaccaro & Albert, 2009).


B. Etiologi Spondilitis TB

Penyakit ini disebabkan oleh karena bakteri berbentuk basil (basilus). Bakteri yang

paling sering menjadi penyebabnya adalah Mycobacterium tuberculosis, walaupun spesies

Mycobacterium yang lainpun dapat juga bertanggung jawab sebagai penyebabnya, seperti

Mycobacterium africanum (penyebab paling sering tuberkulosa di Afrika Barat), bovine

tubercle baccilus, ataupun non-tuberculous mycobacteria (banyak ditemukan pada

penderita HIV). Perbedaan jenis spesies ini menjadi penting karena sangat mempengaruhi

pola resistensi obat.

Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri berbentuk batang yang bersifat acid-

fastnon-motile dan tidak dapat diwarnai dengan baik melalui cara yang konvensional.

Dipergunakan teknik Ziehl-Nielson untuk memvisualisasikannya. Bakteri tubuh secara

lambat dalam media egg-enriched dengan periode 6-8 minggu. Produksi niasin merupakan

karakteristik Mycobacterium tuberculosis dan dapat membantu untuk membedakannnya

dengan spesies lain.

C. Klasifikasi Spondilitis TB

Berdasarkan lokasi infeksi awal pada korpus vertebra dikenal empat bentuk

spondilitis:

1. Peridiskal / paradiskal Infeksi pada daerah yang bersebelahan dengan diskus (di area

metafise di bawah ligamentum longitudinal anterior / area subkondral). Banyak

ditemukan pada orang dewasa. Dapat menimbulkan kompresi, iskemia dan nekrosis

diskus. Terbanyak ditemukan di regio lumbal.

2. Sentral Infeksi terjadi pada bagian sentral korpus vertebra, terisolasi sehingga

disalahartikan sebagai tumor. Sering terjadi pada anak-anak. Keadaan ini sering
menimbulkan kolaps vertebra lebih dini dibandingkan dengan tipe lain sehingga

menghasilkan deformitas spinal yang lebih hebat. Dapat terjadi kompresi yang

bersifat spontan atau akibat trauma. Terbanyak di temukan di regio torakal.

3. Anterior Infeksi yang terjadi karena perjalanan perkontinuitatum dari vertebra di atas

dan dibawahnya. Gambaran radiologisnya mencakup adanya scalloped karena erosi

di bagian anterior dari sejumlah vertebra (berbentuk baji). Pola ini diduga disebabkan

karena adanya pulsasi aortik yang ditransmisikan melalui abses prevertebral dibawah

ligamentum longitudinal anterior atau karena adanya perubahan lokal dari suplai

darah vertebral.

4. Bentuk atipikal : Dikatakan atipikal karena terlalu tersebar luas dan fokus primernya

tidak dapat diidentifikasikan. Termasuk didalamnya adalah tuberkulosa spinal dengan

keterlibatan lengkung syaraf saja dan granuloma yang terjadi di canalis spinalis tanpa

keterlibatan tulang (tuberkuloma), lesi di pedikel, lamina, prosesus transversus dan

spinosus, serta lesi artikuler yang berada di sendi intervertebral posterior. Insidensi

tuberkulosa yang melibatkan elemen posterior tidak diketahui tetapi diperkirakan

berkisar antara 2%-10%.

Infeksi tuberkulosa pada awalnya mengenai tulang cancellous dari vertebra. Area

infeksi secara bertahap bertambah besar dan meluas, berpenetrasi ke dalam korteks tipis

korpus vertebra sepanjang ligamen longitudinal anterior, melibatkan dua atau lebih

vertebrae yang berdekatan melalui perluasan di bawah ligamentum longitudinal anterior

atau secara langsung melewati diskus intervertebralis. Terkadang dapat ditemukan fokus

yang multipel yang dipisahkan oleh vertebra yang normal, atau infeksi dapat juga

berdiseminasi ke vertebra yang jauh melalui abses paravertebral.


Terjadinya nekrosis perkijuan yang meluas mencegah pembentukan tulang baru dan

pada saat yang bersamaan menyebabkan tulang menjadi avascular sehingga menimbulkan

tuberculous sequestra, terutama di regio torakal. Discus intervertebralis, yang avaskular,

relatif lebih resisten terhadap infeksi tuberkulosa. Penyempitan rongga diskus terjadi karena

perluasan infeksi paradiskal ke dalam ruang diskus, hilangnya tulang subchondral disertai

dengan kolapsnya corpus vertebra karena nekrosis dan lisis ataupun karena dehidrasi

diskus, sekunder karena perubahan kapasitas fungsional dari end plate. Suplai darah juga

akan semakin terganggu dengan timbulnya endarteritis yang menyebabkan tulang menjadi

nekrosis.

Destruksi progresif tulang di bagian anterior dan kolapsnya bagian tersebut akan

menyebabkan hilangnya kekuatan mekanis tulang untuk menahan berat badan sehingga

kemudian akan terjadi kolaps vertebra dengan sendi intervertebral dan lengkung syaraf

posterior tetap intak, jadi akan timbul deformitas berbentuk kifosis yang progresifitasnya

(angulasi posterior) tergantung dari derajat kerusakan, level lesi dan jumlah vertebra yang

terlibat. Bila sudah timbul deformitas ini, maka hal tersebut merupakan tanda bahwa

penyakit ini sudah meluas.

D. Patofisiologi Spondilitis TB

Bakteri TB menyebar di dalam tubuh manusia melalui saluran pernafasan dan saluran

cerna, denga perjalanan infeksi berlangsung dalam 4 fase (Ramachandran & Paramaisvan,

2003 dalam Moesbar, 2006):

1. Fase Primer Basil masuk melalui saluran pernafasan sampai ke alveoli. Jaringan paru

timbul reaksi radang yang melibatkan sistem pertahanan tubuh, dan membentuk afek

primer. Bila basil terbawa ke kelenjar limfoid hilus, maka akan timbul limfadenitis
primer, suatu granuloma sel epiteloid dan nekrosis perkijuan. Afek primer dan

limfadenitis primer disebut kompleks primer. Sebagian kecil dapat mengalami

resolusi dan sembuh tanpa meninggalkan bekas atau sembuh melalui fibrosis dan

kalsifikasi.

2. Fase Miliar Kompleks primer mengalami penyebaran miliar, suatu penyebaran

hematogen yang menimbulkan infeksi diseluruh paru dan organ lain. Penyebaran

bronkogen menyebarkan secara langsung kebagian paru lain melalui bronkus dan

menimbulkan bronkopneumonia tuberkulosa. Fase ini dapat berlangsung terus sampai

menimbulkan kematian, mungkin juga dapat sembuh sempurna atau menjadi laten

atau dorman.

3. Fase Laten Kompleks primer ataupun reaksi radang ditempat lain dapat mengalami

resolusi dengan pembentukan jaringan parut sehingga basil menjadi dorman. Fase ini

berlangsung pada semua organ yang terinfeksi selama bertahun tahun. Bila terjadi

perubahan daya tahan tubuh maka kuman dorman dapat mengalami reaktivasi

memasuki fase ke 4, fase reaktivasi. Bila bakteri TB memasuki tulang belakang maka

bakteri TB berdublikasi dan berkoloni kemudian mendestruksi korpus vetebra dan

terjadi penyempitan ringan pada diskus. Setelah itu, terjadi destruksi massif pada

korpus vetebra dan terbentuk abses dingin yang kemudian terjadi kerusakan pada

diskus intervetebralis dan terbentuk gibus (penonjolan tulang) sehingga bentuk badan

kifosis (Agrawal, Patgaonkar, & Nagariya, 2010).

4. Fase Reaktivasi Fase reaktivasi dapat terjadi di paru atau diluar paru. Pada paru,

reaktifasi penyakit ini dapat sembuh tanpa bekas, sembuh dengan fibrosis dan

kalsifikasi atau membentuk kaverne dan terjadi bronkiektasi. Reaktivasi sarang

infeksi dapat menyerang berbagai organ selain paru. Ginjal merupakan organ kedua
yang paling sering terinfeksi ; selanjutnya kelenjar limfe, tulang, sendi, otak, kelenjar

adrenal, dan saluran cerna. Tuberkulosa kongenital dapat ditemukan pada bayi,

ditularkan melalui vena umbilical atau cairan amnion ibu yang terinfeksi.

E. Manifestasi Klinis spondilitis TB

Paramarta et al (2008) menyatakan bahwa manifestasi klinis pasien spondilitis TB

mengalami keadaan seperti berat badan menurun selama 3 bulan berturut-turut tanpa sebab

yang jelas, demam lama tanpa sebab yang jelas, pembesaran kelenjar limfe superfisial yang

tidak sakit, batuk lebih dari 30 hari, terjadi diare berulang yang tidak sembuh dengan

pengobatan diare disertai benjolan/masa di abdomen dan tanda-tanda cairan di abdomen.

Hasil penelitian lain yang dikemukakan oleh Alavi dan Sharifi (2010) menyatakan bahwa

dari 69 responden didapatkan hasil 98,5% mengalami nyeri punggung, 26% merasa

demam dimalam hari, 28,9% bentuk tubuh kifosis, 17,4% berkeringat dimalam hari dan

sekitar 14,5% mengalami penurunan berat badan.

Moesbar (2006) menyatakan bahwa kelainan yang sudah berlangsung lama pada

penderita spondilitis TB dapat disertai dengan paraplegia ataupun tanpa paraplegia.

Agrawal Patgaonkar dan Nagariya (2010) menyatakan hal yang sama dimana tanda lain

dari spondilitis TB dapat berupa defisit neurologi yang mengakibatkan paraplegia.

Paraplegia pada pasien spondilitis TB dengan penyakit aktif atau yang dikenal dengan

istilah Pott’s paraplegi, terdapat 2 tipe defisit neurologi ditemukan pada stadium awal dari

penyakit yaitu dikenal dengan onset awal, dan paraplegia pada pasien yang telah sembuh

yang biasanya berkembang beberapa tahun setelah penyakit primer sembuh yaitu dikenal

dengan onset lambat (Paramarta et al., 2008).


F. Pemeriksaan Diagnostik Spondilitis TB

Pemeriksaan rutin yang biasa dilakukan untuk menentukan adanya infeksi

mycobacterium tuberkulosis adalah dengan menggunakan uji tuberkulin (Mantoux tes)

(Paramarta et al., 2008). Uji tuberkulin merupakan tes yang dapat mendeteksi adanya

infeksi tanpa adanya menifestasi penyakit, dapat menjadi negatif oleh karena alergi yang

berat atau kekurangan energi protein (Corwin, 2008). Uji tuberkulin ini tidak dapat untuk

menentukan adanya TB aktif. Selai itu, pemeriksaan laju endap darah (LED) yang

ditemukan LED meningkat (Moesbar, 2006). Pemeriksaan radiologi pada tulang belakang

sangat mutlak dilaksanakan untuk melihat kolumna vertebralis yang terinfeksi (Alavi &

Shafiri, 2010).

Pada beberapa kasus, infeksi terjadi di bagian anterior dari badan vertebrae sampai ke

diskus intervertebrae yang ditandai oleh destruksi dari end plate. Elemen posterior biasanya

juga terkena. Penyebaran ke diskus intervertebrae terjadi secara langsung sehingga

menampakkan erosi pada badan vertebra anterior yang disebabkan oleh abses jaringan

lunak (Moesbar, 2006). Ketersediaan computerized tomography scan (CT scan) yang

tersebar luas dan magnetic resonance scan (MR scan) telah meningkat penggunaannya pada

manajemen TB tulang belakang (Burgener, Kormano, & Pudas, 2008). CT Scan

memperlihatkan bagian-bagaian vertebra secara rinci dan melihat kalsifikasi jaringan lunak

dan membantu mencari fokus yang lebih kecil, menentukan lokasi biopsi dan menetukan

luas kerusakan (Moesbar, 2006). Biopsi tulang juga dapat bermanfaat pada kasus yang

sulit, namun memerlukan tingkat pengerjaan dan pengalaman yang tinggi serta

pemeriksaan histologi yang baik (Paramarta et al., 2008).


Pemeriksaan lebih lengkap untuk melihat spondilitis TB yaitu dengan menggunakan

Magnetic Resonance Imaging (MRI). Kotze & Erasmus (2006) menyatakan bahwa dengan

menggunakan pemeriksaan MRI ditemukan hal yang lebih detail seperti abses

paravertebral. Selain itu, MRI pada spondilitis tuberkulosa akan didapat gambaran dengan

lingkaran inflamasi dibagian luar (Moesbar, 2006).

G. Penatalaksanaan Spondlitis TB

Bakteri TB dapat dibunuh atau dihambat dengan pemberian obat-obat anti

tuberkulosa, misalnya kombinasi INH, ethambutol, pyrazinamid dan rifampicin (Nawas,

2010). Dasar penatalaksanaan spondilitis tuberkulosa adalah mengistirahatkan vertebra

yang sakit, obat-oabat anti tuberkulosa dan pengeluaran abses (Moesbar, 2006). Dengan

demikian penatalaksanaan spondilitis TB meliputi terapi konservatif dan juga pembedahan.

Moesbar (2006) menyatakan bahwa penatalaksanaan spondilitis TB meliputi terapi

konservatif dan terapi operasi. Terapi konservatif dapat dilakukan dengan istirahat ditempat

tidur yang bertujuan untuk mengurangi nyeri, dan spasme otot serta mengurangi destruksi

tulang belakang (Wilkinson & Ahhern, 2009). Terapi konsevatif lain yaitu dengan

mengkonsumsi obat OAT untuk mencegah bakteri untuk resisten (Nawas, 2010). Selain itu,

terapi konservatif yang lain dapat dilakukan dengan imobilisasi dengan pemasangan gips

bergantung pada level lesi, pada daerah servikal dapat dilakukan immobilisasi dengan jaket

minerva, torakolumbal dan lumbal atas immobilisasi dengan body jacket atau gips korset

disertai fiksasi pada salah satu panggul (Moesbar, 2006).


Terapi operatif yang dilakukan untuk spondilitis TB yaitu debridement (Moesbar,

2006). Tujuan dilakukan tindakan ini yaitu untuk menghilangkan sumber infeksi,

mengkoreksi deformitas, menghilangkan komplikasi neurologik dan kerusakan lebih lanjut

(Dewald, 2003). Terapi operasi dilakukan jika terapi konservatif tidak memberikan hasil

yang memuaskan, terjadi kompresi pada medulla spinalis, dan hasil radiologis

menunjukkan adanya sekuester dan kaseonekrotik dalam jumlah banyak (Moesbar, 2006).

Agrawal, Patgaonkar, dan Nagariya (2010) menyatakan bahwa prosedur operasi yang

dilakukan pada penderita spondilitis TB meliputi debridement posterior dan anterior untuk

mengeluarkan abses ataupun pus yang berada pada tulang belakang. Chanplakorn et al

(2011) menyatakan bahwa prosedur operasi lain yang dilakukan untuk mengurangi nyeri

penderita spondilitis TB yaitu dengan spinal shortering osteotomy yang ditujukan untuk

penderita spondilitis TB dengan kifosis.

H. Komplikasi Spondilitis TB

1. Cedera corda spinalis (spinal cord injury). Dapat terjadi karena adanya tekanan

ekstradural sekunder karena pus tuberkulosa, sekuestra tulang, sekuester dari diskus

intervertebralis (contoh : Pott’s paraplegia – prognosa baik) atau dapat juga langsung

karena keterlibatan korda spinalis oleh jaringan granulasi tuberkulosa (contoh :

menigomyelitis – prognosa buruk). Jika cepat diterapi sering berespon baik (berbeda

dengan kondisi paralisis pada tumor). MRI dan mielografi dapat membantu

membedakan paraplegi karena tekanan atau karena invasi dura dan corda spinalis.

2. Empysema tuberkulosa karena rupturnya abses paravertebral di torakal ke dalam

pleura.
DAFTAR PUSTAKA

Agrawal,V., Patgaonkar, P.R., & Nagariya, S.P. (2010). Tuberculosis of spine. Journal of
Craniovertebral Junction & Spine

Brunner, L. S., Suddarth, D. S., & Smeltzer, S. C. O. (2008). Brunner & Suddarth's textbook of
medical-surgical nursing (11thed.). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins

Paramata, I.G.E., Purniti, P.S., Subanada, I.B. & Astawa, P. (2008). Spondylitis tuberculosis.
Jurnal dari bagian Ilmu Kesehatan Anak dan Ilmu Bedah Ortopedi Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana Rumah Sakit Sanglah Denpasar

Anda mungkin juga menyukai