Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN

I. Konsep Tetanus
1.1 Definisi Tetanus
Tetanus adalah penyakit dengan tanda utama kekakuan otot (spasme)
tanpa disertai gangguan kesadaran. Gejala ini bukan disebabkan kuman
secara langsung, tetapi sebagai dampak eksotoksin (tetanoplasmin) yang
dihasilkan oleh kuman pada sinaps ganglion sambungan sumsum tulang
belakang, sambungan neuro muscular (neuro muscular jungtion) dan
saraf autonom. (Smarmo 2002)

Penyakit infeksi yang disebabkan oleh toksin kuman clostridium tetani,


bermanifestasi dengan kejang otot secara paroksisimal dan diikuti oleh
kekakuan otot seluruh badan, khususnya otot-otot massester dan otot
rangka.

Klasifikasi tetanus berdasarkan bentuk klinis yaitu: (Sudoyo Aru, 2009)

1. Tetanus local: Biasanya ditandai dengan otot terasa sakit, lalu


timbul rebiditas dan spasme pada bagian proksimal luar. Gejala
itu dapat menetap dalam beberapa minggu dan menghilang.
2. Tetanus sefalik: Varian tetanus local yang jarang terjadi. Masa
inkubasi 1-2 hari terjadi sesudah otitis media atau luka kepala dan
muka. Paling menonjol adalah disfungsi saraf III, IV, VII, IX,
dan XI tersering saraf otak VII diikuti tetanus umum.
3. Tetanus general: yang merupakan bentuk paling sering. Spasme
otot, kaku kuduk, nyeri tenggorokan, kesulitan membuka mulut,
rahang terkunci (trismus), disfagia. Timbul kejang menimbulkan
aduksi lengan dan ekstensi ekstremitas bagian bawah. Pada
mulanya, spasme berlangsung beberapa detik sampai beberapa
menit dan terpisah oleh periode relaksasi.
4. Tetanus neonatorum: biasa terjadi dalam bentuk general dan fatal
apabila tidak ditanggani, terjadi pada anak-anak yang dilahirkan
dari ibu yang tidak imunisasi secara adekuat, rigiditas, sulit
menelan ASI, iritabilitas, spasme.

Klasifikasi beratnya tetanus oleh albert (Sudoyo Aru, 2009):

1. Derajat I (ringan): trismus (kekakuan otot mengunyah) ringan


sampai sedang, spasitas general, tanpa gangguan pernafasan, tanpa
spasme, sedikit atau tanpa disfagia
2. Derajat II (sedang): trismus sedang, rigiditas yang nampak jelas,
spasme singkat ringan sampai sedang, gangguan pernapasan sedang
RR ≥ 30x/ menit, disfagia ringan.
3. Derajat III (berat): trismus berat, spastisitas generaisata, spasme
reflek berkepanjangan, RR ≥ 40x/ menit, serangan apnea, disfagia
berat, takikardia ≥ 120.
4. Derajat IV (sangat berat): derajat tiga dengan otomik berat
melibatkan sistem kardiovaskuler. Hipotensi berat dan takikardia
terjadi perselingan dengan hipotensi dan bradikardia, salah satunya
dapat menetap.

1.2 Etiologi Tetanus


Spora bacterium clostridium tetani (C. Tetani). Kuman ini mengeluarkan
toxin yang bersifat neurotoksik (tetanospasmin) yang menyebabkan
kejang otot dan saraf perifer setempat. Termasuk bakteri gram positif.
Bentuk: batang. Terdapat: di tanah, kotoran manusia dan binatang
(khususnya kuda) sebagai spora, debu, instrument lain. Spora bersifat
dorman dapat bertahan bertahun-tahun (> 40 tahun)
1.3 Tanda gejala Tetanus
Periode inkubasi (rentang waktu antara trauma dengan gejala pertama)
rata-rata 7-10 hari dengan rentang 1-60 hari. Onset (rentang waktu antara
gejala pertama dengan spasme pertama) bervariasi antara 1-7 hari.
Minggu pertama: regiditas, spasme otot. Gangguan ototnomik biasanya
dimulai beberapa hari setelah spasme dan bertahan sampai 1-2 minggu
tetapi kekakuan tetap bertahan lebih lama. Pemulihan bisa memerlukan
waktu 4 minggu. (Sudoyo, Aru 2009)

Pemeriksaan fisis (Sumarmo, 2002)

1.3.1 Trismus adalah kekakuan otot mengunyah sehingga sukar


membuka mulut.
1.3.2 Risus sardonicus, terjadi sebagai kekakuan otot mimic, sehingga
tampak dahi mengkerut, mata agak tertutup, dan sudut mulut
tertarik keluar kebawah.
1.3.3 Opistotonus adalah kekakuan otot yang menunjang tubuh seperti:
otot punggung, otot leher, otot badan, dan trunk muscle. Kekakuan
yang sangat berat dapat menyebabkan tubuh melengkung seperti
busur.
1.3.4 Otot dinding perut kaku sehingga dinding perut seperti papan
1.3.5 Bila kekakuan semakin berat, akan timbul kejang umum yang
awalnya hanya terjadi setelah dirangsang misalnya dicubit,
digerakkan secara kasar, atau terkena sinar yang kuat.
1.3.6 Pada tetanus yang berat akan terjadi gangguan pernapasan akibat
kejang yang terus-menerus atau oleh kekakuan otot laring yang
dapat menimbulkan anoksia dan kematian.

Secara umum tanda dan gejala yang akan muncul:

1. Spasme dan kaku otot rahang (massester) menyebabkan kesukaran


membuka mulut (trismus)
2. Pembengkakan, rasa sakit dan kaku dari berbagai otot:
a. Otot leher
b. Otot dada
c. Merambat ke otot perut
d. Otot lengan dan paha
e. Otot punggung, seringnya epistotonus
3. Tetanik seizures (nyeri, kontraksi otot yang kuat)
4. Iritabilitas
5. Demam

Gejala penyerta lainnya:

1. Keringat berlebihan
2. Sakit menelan
3. Spasme tangan dan kaki
4. Produksi air liur
5. BAB dan BAK tidak terkontrol
6. Terganggunya pernapasan karena otot laring terserang

1.4 Patofisiologi Tetanus


Biasaanya penyakit ini terjadi setelah luka tusuk yang dalam misalnya
luka yang disebabkan tertusuk paku, pecahan kaca, kaleng atau tembak,
kerena luka tersebut menimbulkan keadaan anaerob yang ideal. Selain
itu luka laserasi yang kotor dan pada bayi dapat melalui lati pusat luka
bakar dan patah tulang yang terbuka juga akan melibatkan keadaan
anaerob yang ideal untuk pertumbuhan clostridium tetani.

Tetanus terjadi sesudah pemasukan spora yang sedang tumbuh,


memperbanyak diri dan menghasilkan toksin tetanus pada potensial
oksidasi-reduksi rendah tempat jelas yang terinfeksi. Plasmid membawa
gena toksin. Toksin yang dilepas bersama sel bakteri sel vegetative
yang mati dan selanjutnya lisis. Toksis tetamus melekat pada
sambungan neurosmuscular dan kemudian diendositosis oleh saraf
motoris, sesudah ia mengalami pengangkutan akson retrograt
kesitoplasminmotoneuron-alfa. Toksin keluar motoneuron dalam
medulla spinalis dan selanjutnya masuk interneuron penghambat spinal.
Dimnan toksin ini menghalangi pelepasan neurotransmitter. Toksin
tetanus dengan demikian meblokade hambatan normal otot antagonis
yang merupakan dasar gerakan yang disengaja yang di koordinasi,
akibatnya otot yang terkena mempertahankan kontraksi maksimalnya,
system saraf otonom juga dibuat tidak stabil pada tetanus.

Spora yang masuk dan berada dalam lingkungan anaerobic berubah


menjadi bentuk vegetative dan perkembangan biak sambil
menghasilkan toxin. Dalam jaringan yang anaerobic ini terdapat
penurunan potensial oksidasi reduksi jaringan dan turunnya tekanan
oxygen jaringan akibat adanya nanah, nekrosis jaringan, garam kalsium
yang memakan waktu sesuai dengan panjang axonnya dan aktifitas
serabutnya. Belum terdapat perubahan elektrik dan fungsi sel saraf
walaupun toksin telah terkumpul dalam sel. Dalam sumsum belakang
toksin menjalar dari sel saraf lower motorneuron ke lekuksinaps dan
diteruskan ke ujung presinaps dari spinal inhibitory neurin. Pada daerah
inuilah toksin menimbulkan gangguan pada inhibitory trnsmiteer dan
menimbulkan kekuatan. Masa inkubasi 2 hari sampai 2 bulan dan rata-
rata 10 hari.

1.5 Pemeriksaan Penunjang Tetanus


Tergantung sarana yang tersedia dimana pasien dirawat,
pemeriksaannya meliputi:
1. Darah
Glukosa darah : hipoglikemia merupakan predisposisi kejang
(N<200 mq/dl)
BUN : peningkatan BUN mempunyai potensi kejang dan
merupakan indikasi nepro toksik akibat dari pemberian obat.
Elektrolit : K, Na ketidak seimbangan elektrolit
merupakan predisposisi kejang
Kalium ( N 3,80-5,00 meq/dl)
Natrium ( N135-144 meq/dl)
2. Skull Ry : untuk mengidentifikasi adanya proses desak
ruangan dan adanya lesi
3. EEG : teknik untuk menekan aktivitas listrik otak melalui
tengkorak yang utuh untuk mengatahui focus aktivitas kejang, hasil
biasanya normal.

1.6 Komplikasi Tetanus


1. Spasme otot faring
2. Asfeksia
3. Atelektasis
4. Fraktur kompresi
5. Jalan nafas : Aspirasi, laringuspasme/obstruksi, obstruksi berkaitan
dengan sedative.
6. Raspirasi : apnea, hipoksia, gagal nafas tipe 1 (atelektasis, aspirasi,
pneumonia), gagal nafas tipe 2 (spasme laryngeal spesme trunkal
berkepanjamgan, sedasi berlebihan) ARDSK, komplikasi
traneotomi(seperti stenosistrachea)
7. Kardiovaskuler : takikardia, hipertensi, iskemia hipotensi,
bradikardia takiaritma,bradiaritma, asistol, gagal jantung
8. Ginjal ; gagal ginjal curah tinggi, gagal gijal oliguria
9. Gastrointestinal : statis gaster ileus pendarahan diare
10. Rupture tendon akibat spesme
1.7 Penatalaksanaan Tetanus
1. Netralisasi toksin dengan tetanus antitoksin (TAT)
a. hiperimun globulin (paling baik)
Dosis: 3.000-6.000 unit IM

Waktu paruh: 24 hari, jadi dosis ulang tidak diperlukan

Tidak berefek pada toksin yang terikat di jaringan saraf; tidak


dapat menembus barier darah-otak

b. Pemberian ATS (anti tetanus)


ATS profilaksis diberikan untuk (luka yang kemungkinan
terdapat clostridium: luka paku berkarat), luka yang besar,
luka yang terlambat dirawat, luka tembak, luka yang terdapat
diregio leher dan muka, dan luka-luka tusuk atau gigitan yang
dalam) yaitu sebanyak 1500 IU – 4500 IU ATS terapi
sebanyak > 1000 IU, ATS ini tidak berfungsi membunuh
kuman tetanus tetapi untuk menetralisir eksotoksin yang
dikeluarkan clostridium tetani disekitar luka yang kemudian
menyebar melalui sirkulasi menuju otak.

Untuk terapi, pemberian ATS melelui 3 cara yaitu:

- Di suntik disekitar luka 10.000 IU (1 ampul)


- IV 200.000 IU (10 ampul lengan kanan dan 10 ampul
lengan kiri)
- IM di region gluteal 10.000 IU
2. Perawatan luka
a. Bersihkan, kalau perlu didebridemen, buang benda asing,
biarkan terbuka (jaringan nekrosis atau pus membuat kondisis
baik C. Tetani untuk berkembang biak)
b. Penicillin G 100.000 U/kg BB/6 jam (atau 2.000.000 U/kg
BB/24 jam IV) selama 10 hari
c. Alternatif
Tetrasiklin 25-50 mg/kg BB/hari (max 2 gr) terbagi dalam 3
atau 4 dosis

Metronidazol yang merupakan agent anti mikribial.

Kuman penyebab tetanus terus memproduksi eksotoksin yang


hanya dapat dihentikan dengan membasmi kuman tersebut.

3. Berantas kejang
a. Hindari rangsang, kamar terang/silau, suasana tenang
b. Preparat anti kejang
c. Barbiturat dan Phenotiazim
- Sekobarbital/Pentobarbital 6-10 mg/kg BB IM jika perlu
tiap 2 jam untuk optimum level, yaitu pasien tenag
setengah tidur tetapi berespon segera bila dirangsang
- Chlorpromazim efektif terhadap kejang pada tetanus
- Diazepam 0,1-0,2 mg/kg BB/3-6 jam IV kalau perlu 10-15
mg/kg BB/24 jam: mungkin 2-6 minggu
4. Terapi suportif
a. Hindari rangsang suara, cahaya, manipulasi yang merangsang
b. Perawatan umum, oksigen
c. Bebas jalan napas dari lendir, bila perlu trakeostomi
d. Diet TKTP yang tidak merangsang, bila perlu nutrisi
parenteral, hindari dehidrasi. Selama pasase usus baik, nutrisi
interal merupakan pilihan selain berfungsi untuk mencegah
atropi saluran cerna.
e. Kebersihan mulut, kulit, hindari obstipasi, retensi urin
II. Rencana asuhan klien dengan Tetanus
2.1 pengkajian luka parah atau luka bakar dan imunisasi yang
2.2.1 riwayat keperawatan
riwayat penyakit sekarang : adanya luka parah atau luka bakar
dan imunisasi yang tidak adekuat.

2.2.2 pemeriksaan fisik : data focus


 Sistem Pernafasan ; dyspneu asfiksia dan sianosis akibat
kontaksi otot pernafasan
 Sistem kardio vaskuler; disritmia, takikardia, hipertensi dan
perdarahan, suhu tubuh awal 38-40 C atau febril, terminal 43-
44 C
 Sistem Neurolgis; (awal) irritability, kelemahan, (akhir)
konvulsi, kelumpuhan satu atau beberapa saraf otak.
 Sistem perkemihan; retensi urine (distensi kandung kencing
dan urine out put tidak ada/oliguria)
 Sistem pencernaan; konstipasi akibat tidak adanya pergerakan
usus.
 Sistem integumen dan muskuloskletal; nyeri kesemutan tempat
luka, berkeringan (hiperhidrasi). Pada awalnya didahului
trismus, spasme oto muka dengan meningkatnya kontraksi alis
mata, risus sardonicus, otot-otot kaku dan kesulitan menelan.
Apabila hal ini berlanjut akan terjadi status konvulsi dan kejang
umum.
2.2.3 pemeriksaan penunjang
Tergantung sarana yang tersedia dimana pasien dirawat,
pemeriksaannya meliputi:
1. Darah
Glukosa darah : hipoglikemia merupakan predisposisi kejang
(N<200 mq/dl)
BUN : peningkatan BUN mempunyai potensi kejang
dan merupakan indikasi nepro toksik akibat dari pemberian
obat.
Elektrolit : K, Na ketidak seimbangan elektrolit
merupakan predisposisi kejang
Kalium ( N 3,80-5,00 meq/dl)
Natrium ( N135-144 meq/dl)
2. Skull Ry : untuk mengidentifikasi adanya proses desak
ruangan dan adanya lesi
3. EEG : teknik untuk menekan aktivitas listrik otak
melalui tengkorak yang utuh untuk mengatahui focus
aktivitas kejang, hasil biasanya normal.
2.2 Diagnosa keperawatan
Diagnose 1 : Kebersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan
penumpukan sputum pada trakea dan spame otot pernafasan, ditandai
dengan ronchi, sianosis, dyspneu, batuk tidak efektif disertai dengan
sputum dan atau lendir, hasil pemeriksaan lab, Analisa Gasa Darah
abnormal (Asidosis Respiratorik)
2.2.1 Depinisi
Inspirasi dan/atau ekspirasi yang tidak memberi ventilasi yang
adekuat.
2.2.2 Batasan Karakteristik

Subjektif

- Dispnea
- Napas pendek

Objektif

- Perubahan ekskursi dada


- Mengambil posisi tiga titiktumpu(tripoid)
- Bradipnea
- Penurunan tekanan inspirasi-ekspirasi
- Penururunan ventilasi semenit
- Penurunan kapasitas vital
- Napas cuping hidung
- Ortopnea
- Fase ekspirasi memanjang
- Pernapasan bibir mencucu
- Peningkatan respirasi
2.2.3 faktor yang berhubungan
- Ansietas
- posisi tubuh
- deformitas dinding dada
- penurunan energy dan kelelahan
- hiperventilasi
- nyeri
- kelelahan otot-otot pernapasan
Diagnosa 2: Gangguan pola nafas berhubungan dengan jalan nafas
terganggu akibat spasme otot-otot pernafasan, yang ditandai dengan
kejang rangsanng, kontraksi otot-otot pernafasan, adanya lendir dan
sekret yang menumpuk
2.2.3 Definisi : inspirasi dan/atau ekspirasi yang tidak memberi vetilasi
adekuat
2.2.4 Batasan Karateristik
- Bradipnea
- Dispenia
- Fase ekspirasi memanjang
- Ortopnea
- Penggunaan otot bantu pernapasan
- Penggunaan posisi tiga titik
- Peningkatan diameter anterior-posterior
- Penurunan kapasilitas vital
- Penurunan tekanan ekspirasi
- Penurunan tekanan inspirasi
- Penurunan ventilasi semenit
- Pernapasan bibir
- Pernapasan cuping hidung
- Perubahan eksursi dada
- Pola napas abnormal(missal, irama, frekuensi,kedalaman)
- Takipnea
2.2.5 faktor yang berhubungan
- Ansietas
- Cedera medulla spinalis
- Depormitas dinding dada
- Deformitas tulang
- Disfungsi neuromuskuler
- Gangguan muskuloskuletal
- Hiperventilasi
- Keletihan
- Keletihan otot pernapasan
- Nyeri
- Obesitas
2.3 Perncanaan
Diagnose 1: Kebersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan
penumpukan sputum pada trakea dan spame otot pernafasan, ditandai
dengan ronchi, sianosis, dyspneu, batuk tidak efektif disertai dengan
sputum dan atau lendir, hasil pemeriksaan lab, Analisa Gasa Darah
abnormal (Asidosis Respiratorik)
2.2.1 Tujuan dan criteria hasil
Tujuan : Jalan nafas efektif

Kriteria :

- Klien tidak sesak, lendir atau sleam tidak ada


- Pernafasan 16-18 kali/menit
- Tidak ada pernafasan cuping hidung
- Tidak ada tambahan otot pernafasan
- Hasil pemeriksaan laboratorium darah Analisa Gas Darah
dalam batas normal (pH= 7,35-7,45 ; PCO2 = 35-45 mmHg,
PO2 = 80-100 mmHg)
2.2.2 Intervensi keperawatan dan rasional
1. Bebaskan jalan nafas dengan mengatur posisi kepala ekstensi
R: Secara anatomi posisi kepala ekstensi merupakan cara
untuk meluruskan rongga pernafasan sehingga proses
respiransi tetap berjalan lancar dengan menyingkirkan
pembuntuan jalan nafas.
2. Pemeriksaan fisik dengan cara auskultasi mendengarkan
suara nafas (adakah ronchi) tiap 2-4 jam sekali
R: Ronchi menunjukkan adanya gangguan pernafasan akibat
atas cairan atau sekret yang menutupi sebagian dari saluran
pernafasan sehingga perlu dikeluarkan untuk
mengoptimalkan jalan nafas.
3. Bersihkan mulut dan saluran nafas dari sekret dan lendir
dengan melakukan suction
R: Suction merupakan tindakan bantuan untuk mengeluarkan
sekret, sehingga mempermudah proses respirasi.
4. Oksigenasi
R: Pemberian oksigen secara adequat dapat mensuplai dan
memberikan cadangan oksigen, sehingga mencegah
terjadinya hipoksia.
5. Observasi tanda-tanda vital tiap 2 jam
R: Dyspneu, sianosis merupakan tanda terjadinya gangguan
nafas disertai dengan kerja jantung yang menurun timbul
takikardia dan capilary refill time yang memanjang/lama.
6. Observasi timbulnya gagal nafas
R: Ketidakmampuan tubuh dalam proses respirasi diperlukan
intervensi yang kritis dengan menggunakan alat bantu
pernafasan (mekanical ventilation).
7. Kolaborasi dalam pemberian obat pengencer
sekresi(mukolitik)
R: Obat mukolitik dapat mengencerkan sekret yang kental
sehingga mempermudah pengeluaran dan memcegah
kekentalan.
Diagnose 2: Gangguan pola nafas berhubungan dengan jalan nafas
terganggu akibat spasme otot-otot pernafasan, yang ditandai dengan
kejang rangsanng, kontraksi otot-otot pernafasan, adanya lendir dan
sekret yang menumpuk
2.2.3 Tujuan dan criteria hasil
Tujuan : Pola nafas teratur dan normal

Kriteria :

- Hipoksemia teratasi, mengalami perbaikan pemenuhan


kebutuahn oksigen
- Tidak sesak, pernafasan normal 16-18 kali/menit
- Tidak sianosis.
2.2.4 Intervensi dan raasional.
1. Monitor irama pernafasan dan respirati rate
R: Indikasi adanya penyimpangan atau kelaianan dari
pernafasan dapat dilihat dari frekuensi, jenis
pernafasan,kemampuan dan irama nafas.
2. Atur posisi luruskan jalan nafas.
R: Jalan nafas yang longgar dan tidak ada sumbatan proses
respirasi dapat berjalan dengan lancar.
3. Observasi tanda dan gejala sianosis
R: Sianosis merupakan salah satu tanda manifestasi
ketidakadekuatan suply O2 pada jaringan tubuh perifer .
4. Oksigenasi
R: Pemberian oksigen secara adequat dapat mensuplai dan
memberikan cadangan oksigen, sehingga mencegah
terjadinya hipoksia.
5. Observasi tanda-tanda vital tiap 2 jam
R : Dyspneu, sianosis merupakan tanda terjadinya gangguan
nafas disertai dengan kerja jantung yang menurun timbul
takikardia dan capilary refill time yang memanjang/lama.
6. Observasi timbulnya gagal nafas.
7. R: Ketidakmampuan tubuh dalam proses respirasi diperlukan
intervensi yang kritis dengan menggunakan alat bantu
pernafasan (mekanical ventilation).
8. Kolaborasi dalam pemeriksaan analisa gas darah.
R:Kompensasi tubuh terhadap gangguan proses difusi dan
perfusi jaringan dapat
II. Dafrar pustaka
Brunnur & suddarth. 2000. Buku ajar keperawatan medical
bedah.jakarta:EGC
Doesngoes, ME. 2000 Rencana Asuhan Keperawatan pedoman Untuk
Perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien,Edisi 2, Jakarta:
EGC
Lynda juall C, 2003. Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan,
penerjemah Monica Ester, EGC, Jakarta
Smeltzer, Suzane C.2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah,edisi 8
vol 3.Jakarta : EGC
Banjarmasin, 20 Maret 2017

Preseptor akademik, Preseptor klinik,

(……………………………………) (……………………………………..)

Anda mungkin juga menyukai