Anda di halaman 1dari 14

A.

PENGERTIAN DAN PERAN INVESTOR INSTITUSIONAL


Investor intitusional merupakan investor di suatu perusahaan yang berbentuk suatu
lembaga atau berbentuk perusahaan yangteridiri dari perusahaan asuransi, lembaga penyimpan
dana (bank dan lembaga simpan pinjam, lembaga dana pensiun, maupun lembaga investasi).
Cara investor institusional untuk berperan serta dalam mendorong penerapan GCG adalah
dengan melakukan investasi yang bertanggung jawab. Yang dimaksud dengan investasi yang
bertanggung jawab adalah dengan membuat kebijakan hanya akan melakukan penempatan
investasi pada perusahaan-perusahaan yang menerapkan GCG, dan tentu secara konsisten
menerapkan kebijakan tersebut dalam melakukan investasi. Dengan cara ini, institusi tersebut
bertanggung jawab terhadap masyarakat yang dana-nya mereka kelola, karena dana tersebut
hanya di investasikan pada perusahaan-perusahaan yang memang dapat dipercaya, sehingga
risiko hilangnya dana masyarakat karena penempatan yang salah menjadi lebih kecil, dan di lain
pihak, perusahaan yang sahamnya diperdagangkan di bursa juga menjadi lebih memberi
perhatian terhadap penerapan GCG karena dengan menerapkan GCG secara konsisten, saham
mereka menjadi lirikan investor dan masuk dalam daftar saham yang desirable atau ingin
dimiliki oleh investor, lebih jauh hal ini akan menaikan nilai saham yang secara tidak langsung
juga menaikan nilai perusahaan.
Tentu untuk bisa menerapkan investasi yang bertanggung jawab dibutuhkan usaha
tambahan oleh investor institusional, karena harus ada fungsi di dalam institusi tersebut yang
bertanggung jawab melakukan analisis secara berkesinambungan terhadap penerapan GCG
perusahaan-perusahaan target dengan menggunakan acuan yang benar sebagai dasar penerapan
GCG.
Hal ini bukan sesuatu yang mustahil jika memang sudah menjadi sebuah itikad dalam
melakukan investasi yang bertanggungjawab dan dalam mengelola dana masyarakat. Sebagai
contoh, CalPERS (California Public Employees Retirement System) adalah suatu organisasi
pengelola dana pensiun yang dibentuk pada tahun 1932 di Amerika untuk mengelola manfaat
pensiun dan kesehatan bagi pegawai negeri di negara bagian California (jika melihat fungsinya,
kurang lebih, bisa kita sejajarkan dengan Taspen atau Jamsostek di Indonesia), dan saat ini
memiliki lebih dari 1,3 juta anggota dengan total dana kelolaan senilai US$ 218 milyar per
Oktober 2010. CalPERS percaya bahwa penerapan GCG akan memberikan kinerja investasi
yang lebih baik, dan dalam upaya melindungi investornya (nasabah yang dikelola dananya oleh

1
CalPERS), maka institusi tersebut hanya mau melakukan penempatan investasi pada perusahaan
yang telah lulus seleksi penerapan GCG. CalPERS melakukan review terhadap kinerja
perusahaan tersebut, melihat indikator pengembalian (investment return) untuk periode 1, 3 dan
5 tahun terakhir dan melakukan pembandingan dengan indeks umum dan spesifik untuk industri
terkait; kemudian CalPERS juga melakukan review terhadap indikator governance seperti antara
lain independensi dewan, mekanisme pengangkatan anggota dewan, kompensasi eksekutif,
keragaman kemampuan anggota dewan, pelaksanaan manajemen risiko, serta isu terkait
tanggung jawab sosial dan lingkungan pada perusahaan. Perusahaan yang gagal memenuhi
standar penilaian, tidak akan dijadikan target investasi; dan bukan hanya itu, CalPERS juga
mengumumkan dalam websitenya nama-nama perusahaan yang masuk dalam daftar yang lolos
sensor penerapan GCG dan nama-nama perusahaan yang dikeluarkan dari daftar tersebut karena
dianggap sudah tidak lagi menerapkan GCG; daftar ini pun diperbaharui secara berkala.
Sehingga, hasil analisis mereka bisa dilihat oleh publik, dan dapat memiliki dampak antara lain,
menunjukkan pemenuhan tanggung jawab fidusia mereka kepada para investor/nasabah yang
dananya dikelola; dan daftar tersebut dapat digunakan sebagai acuan oleh investor lain dalam
memilih perusahaan target investasi. Jika daftar tersebut digunakan sebagai acuan oleh pihak
lain, tentunya perusahaan yang masuk daftar akan senang, tapi tidak demikian dengan
perusahaan yang tidak masuk daftar atau bahkan dikeluarkan dari daftar, karena berarti publik
dapat menilai ada sesuatu yang tidak baik dalam pengelolaan perusahaan tersebut, serta bisa
mengakibatkan menurunnya harga saham di pasar.
Jadi ini saatnya bagi investor untuk melakukan investasi yang bertanggung jawab, bukan
saja hal ini merupakan refleksi dari penerapan GCG, namun juga mendorong penerapan GCG
perusahan-perusahaan di Indonesia.

2
B. PENGERTIAN DAN PERAN INVESTOR ASING
Investor asing adalah investor yang berasal dari luar negeri baik itu perorangan maupun
lembaga yang menyerahkan dananya kepada perusahaan investasi untuk membeli saham ataupun
obligasi yang diterbitkan olehsuatu perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.
Sesuai dengan teori stakeholder, semakin banyak dan kuat posisi stakeholder, semakin
besar kecenderungan perusahaan untuk mengadaptasi diri terhadap keinginan stakeholdernya.
Hal tersebut diwujudkan dengan cara melakukan aktivitas pertanggungjaawaban terhadap
sosial dan lingkungan atas aktivitas yang dilakukan perusahaan tersebut. Perusahaan yang
berbasis asing kemungkinan memiliki stakeholder yang lebih banyak dibanding perusahaan
berbasis nasional sehingga permintaan informasi juga lebih besar dan dituntut untuk melakukan
pengungkapan yang lebih besar juga. Sehingga peran investor asing yaitu sebagai berikut:
1) Investasi asing akan menciptakan perusahaan-perusahaan baru, memperluas pasar atau
merangsang penelitian dan pengembangan teknologi lokal yang baru.
2) Investasi asing akan meningkatkan daya saing industri ekspor, dan merangsang ekonomi
lokal melalui pasar kedua (sektor keuangan) dan ketiga (sektor jasa/pelayanan).
3) Investasi asing akan meningkatkan pajak pendapatan dan menambah pendapatan
lokal/nasional, serta memperkuat nilai mata uang lokal untuk pembiayaan impor.
4) Pembayaran utang adalah esensial untuk melindungi keberadaan barang-barang finansial
di pasar internasional dan mengelola integritas sistem keuangan. Kedua hal ini, sangat
krusial untuk kelangsungan pembangunan.
5) Sebagian besar negara-negara Dunia Ketia tergantung pada investasi asing untuk
menyediakan kebutuhan modal bagi pembangunan karena sumberdaya-sumberdaya lokal
tidak tersedia atau tidak mencukupi.
6) Para penganjur investasi asing berargumen bahwa sekali investasi asing masuk, maka hal
itu akan menjadi batu alas bagi masuknya investasi lebih banyak lagi, yang selanjutnya
menjadi tiang yang kokoh bagi pembangunan ekonomi keseluruhan.

3
C. PENGERTIAN DAN PERAN KREDITUR
Kreditur adalah pihak (perorangan, organisasi, perusahaan atau pemerintah) yang
memiliki tagihan kepada pihak lain (pihak kedua) atas properti atau layanan jasa yang
diberikannya (biasanya dalam bentuk kontrak atau perjanjian) di mana diperjanjikan bahwa
pihak kedua tersebut akan mengembalikan properti yang nilainya sama atau jasa. Pihak kedua ini
disebut sebagai peminjam atau yang berhutang. Secara singkat kreditur dapat diartikan pihak
yang memberikan kredit atau pinjaman kepada pihak lainnya.
Perusahaan yang mempunyai leverage tinggi mempunyai kewajiban lebih untuk memenuhi
kebutuhan informasi kreditur jangka panjang. Dengan semakin tinggi leverage, yang mana akan
menambahbeban untuk program corporate social responsibility menjadi terbatas atau semakin
tinggi leverage, maka semakin rendah program CSR.
Kreditur dalam hal ini contohnya adalah bank, bank harus dapat menilai apakah
perusahaan yang mengajukan permintaan kredit mampu mengembalikan pinjaman atau tidak.
Kreditur akan menolak usulan kredit dari suatu perusahaan bila informasi akuntansi perusahaan
itu meragukan atau tidak menunjukkan perkembangan yang positif.

D. GCG (GOOD CORPORATEGOVERNANCE) DI PASAR MODAL


Pasar modal berkembang baik jika penerapan GCG-nya konsisten. Corporate Governance
bukan hanya sebagai aksesoris tetapi melekat sebagai nilai-nilai yang menjadi pedoman
berprilaku. Keberhasilannya sangat ditentukan oleh beberapa factor, yaitu struktur kepemilikan,
hokum dan enforcement, system ekonomi,social, budaya, proses, serta ukuran. GCG merupakan
system yang mengatur dan mengendalikan perusahaan guna menciptakan nilai tambah untuk
semua stakeholders. Konsep ini menekankan pada dua hal yakni, pertama, oentingnya hak
pemegang saham untuk memperoleh informasi dengan benar dan tepat pada waktunya dan,
kedua, kewajiban perusahaan untuk melakukan pengungkapan secara akurat, tepat waktu,
transparan terhadap semua informasi kinerja perusahaan, kepemilikan, dan stakeholders.
Aspek penting dari GCG dalam Pasar Modal
1. Adanya keseimbangan hubungan Antara organ-organ perusahaan diantaranya RUPS,
komisaris, dan Direksi. Keseimbangan ini mencakup ha;-hal yang berkaitan dengan
struktur keseimbangan dan mekanisme operasional ketiga organ perusahaan tersebut
(keseimbangan internal).

4
2. Adanya pemenuhan tanggung jawab perusahaan sebagai entitas bisnis dalam masyarakat
kepada seluruh stakeholder. Tanggung jawab ini meliputi hal-hal yang terkait dengan
pengaturan hubungan antara perusahaan dengan stakeholder (keseimbangan eksternal).
Diantaranya, tanggung jawab pengelola/pengurus perusahaan, manajemen, pengawasan,
serta pertanggungjawaban kepada para pemegang saham dan stakeholders lainnya.
3. Adanya hak-hak pemegang saham untuk mendapat informasi yang tepat dan benar pada
waktu yang diperlukan mengenai perusahaan. Kemudian hak berperan serta dalam
pengambilan keputusan mengenai perkembangan strategis dan perubahan mendasar atas
perusahaan serta ikut menikmati keuntunang yang diperoleh perusahaan dalam
pertumbuhannya.
4. Adanya perlakuan yang sama terhadap semua pemegang saham, terutama pemegang
saham minoritas dan pemegan saham asing melalui keterbukaan informasi yang material
dan relevan serta melarang penyampaian informasi untuk pihak sendiri yang bisa
menguntungkan orang dalam (Insider Information for Insider Trading).

E. IMPLEMENTASI GCG PADA EMITEN DAN PERUSAHAAN PUBLIK


Setiap perusahaan selayaknya menjalankan tata kelola perusahaan yang baik dan benar
atau yang disebut good corporate governance (GCG).Merupakan kewajiban bagi perusahaan
publik (emiten) untuk mengimplementasikan GCG. Hal ini lantaran perusahaan yang sudah
terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) menjadi milik publik sehingga publik harus mengetahui
dengan transparan segala aktivitas perusahaan dan keuangan perusahaan. Ada lima prinsip GCG
yang menjadi pedoman bagi perusahaan atau para pelaku bisnis, yaitu transparency,
accountability, responsibility, indepandency, dan fairness yang biasanya diakronimkan menjadi
TARIF. Transparency (keterbukaan informasi) secara sederhana bisa diartikan sebagai
keterbukaan informasi.Dalam mewujudkan prinsip ini, perusahaan dituntut untuk menyediakan
informasi yang cukup, akurat, tepat waktu kepada segenap stakeholders -nya. Setiap emiten
harus menyampaikan laporan keuangan setiap kuartal, semester dan tahunan di media massa dan
website perusahaan. Perusahaan harus memastikan setiap pemegang saham baik mayoritas
maupun minoritas mendapatkan informasi yang sama.
Accountability (akuntabilitas) adalah kejelasan fungsi, struktur, sistem dan
pertanggungjawaban elemen perusahaan.Apabila prinsip ini diterapkan secara efektif, akan ada

5
kejelasan akan fungsi, hak, kewajiban dan wewenang, serta tanggung jawab antara pemegang
saham, dewan komisaris, dan dewan direksi.
Responsibility (pertanggungjawaban) adalah kepatuhan perusahaan terhadap peraturan
yang berlaku, di antaranya masalah pajak, hubungan industrial, kesehatan dan keselamatan kerja,
perlindungan lingkungan hidup, memelihara lingkungan bisnis yang kondusif bersama
masyarakat dan sebagainya.Dengan menerapkan prinsip ini, diharapkan akan menyadarkan
perusahaan bahwa dalam kegiatan operasionalnya, perusahaan juga mempunyai peran untuk
bertanggung jawab kepada shareholder juga kepada stakeholders lain.
Independency (kemandirian) mewajibkan perusahaan agar dikelola secara profesional
tanpa ada benturan kepentingan dan tanpa tekanan atau intervensi dari pihak manapun yang tidak
sesuai dengan peraturan- peraturan yang berlaku. Fairness (kesetaraan dan kewajaran), menuntut
adanya perlakuan yang adil dalam memenuhi hak stakeholder sesuai dengan peraturan
perundangan yang berlaku.
Fairness diharapkan dapat menjadi faktor pendorong yang dapat memonitor dan
memberikan jaminan perlakuan yang adil di antara beragam kepentingan dalam perusahaan.
Corporate governance atau sistem tata kelola perusahaan bisa juga diartikan sebagai suatu
mekanisme dalam perusahaan yang menyangkut proses, hubungan kelembagaan, di mana
seluruh pihak yang terkait dapat menyuarakan dan memperjuangkan kepentingan, menengahi
perbedaan- perbedaan, serta menjalankan tugas dan kewajiban mereka di dalam sebuah
perusahaan (corporate). Melalui prinsip GCG, para pemegang saham dapat memastikan
manajemen bertindak sebaik mungkin untuk kepentingan perusahaan dan pemegang saham.
Penerapan prinsip GCG berawal di Amerika Serikat pada 1980-an yang dirumuskan oleh
Organization for Economic Cooperation and Development (OECD). Di Indonesia peraturan yang
menjadi kerangka terpenting bagi pelaksanaan corporate governance adalah UU No 1 Tahun
1995 tentang Perseroan Terbatas (UUPT). Berdasarkan UUPT, suatu perusahaan adalah suatu
badan hukum tersendiri yang memiliki Direksi dan Komisaris yang mewakili perusahaan. Selain
itu, terdapat pula peraturan lain, yaitu UU No 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (UUPM).
Hampir semua prinsip yang terdapat dalam OECD telah terakomodasi dalam kedua
perangkat hukum tersebut. Bahkan, khusus terhadap pemegang saham minoritas tersedia
mekanisme untuk membela haknya dari dominasi pemegang saham mayoritas yang sebelumnya
praktis tidak mendapat perlindungan sama sekali. Bursa Efek Indonesia (BEI) memiliki organ-

6
organ yang mendukung terciptanya good corporate governance. Kewajiban tersebut tertuang
dalam Keputusan Direksi PT BEI No Kep- 315/BEJ/062000 yang mulai berlaku sejak 1 Juli
2000.
Prinsip utama yang dipegang dalam dunia pasar modal adalah prinsip keterbukaan
(disclosure). Dengan prinsip keterbukaan ini, semua pemegang saham berhak mengetahui apa
yang sedang terjadi dan bagaimana kondisi perusahaannya. Terlebih, perusahaan yang telah
tercatat di suatu Bursa Efek, pemegang sahamnya adalah publik. Dalam Keputusan Direksi BEI
disebutkan bahwa setiap perusahaan yang tercatat di BEI, wajib memiliki Komisaris Independen
yang jumlahnya secara proporsional sebanding dengan jumlah saham yang dimiliki oleh bukan
pemegang saham pengendali dengan ketentuan jumlah komisaris independen sekurang-
kurangnya 30% dari seluruh jumlah anggota komisaris

F. KASUS PT KALTIM PRIMA COAL


1) Profil PT Kaltim Prima Coal
PT Kaltim Prima Coal (KPC) adalah perusahaan yang bergerak dalam bidang
pertambangan dan pemasaran batubara untuk pelanggan industri baik pasar ekspor maupun
domestik. Tahun 1982 PT Kaltim Prima Coal (KPC) didirikan di Indonesia dengan masing-
masing BP dan CRA 50% memegang saham. KPC lisensi untuk melakukan eksplorasi dan
pertambangan batubara berdasarkan Kontrak Karya Batubara (Kontrak Karya) dengan HPH
seluas 90.706 ha. Negara Indonesia Perusahaan Batubara (PTBA) untuk menerima hak 13,5%
dari produksi semua. Lokasi dari PT Kaltim Prima Coal terletak di sekitar Sangatta, Kabupaten
Kutai Timur (Kutim), Provinsi Kalimantan Timur Indonesia.

2) Latar Belakang PT Kaltim Prima Coal


Dalam kurun waktu enam tahun (sampai 2009) di keseluruhan kabupaten di Kalimantan
telah terbit 2.047 kuasa pertambangan dan diperkirakan mengokupasi lahan seluas 4,09 juta
hektar. Tentunya angka itu akan semakin besar jika ditambah dengan pertambangan ilegal.
Begitu pula dengan perusahaan Kaltim Prima Coal (KPC) yang bergerak di bidang
pertambangan batubara di beberapa daerah seperti Pinang, Melawan, dan Prima di Kalimantan
Timur. Dengan operasi yang bisa menjual 35.772.323 ton batubara hanya pada tahun 2008 saja,
perusahaan ini merasa memiliki tanggung jawab pada stakeholders lainnya. Permasalahan timbul

7
saat masyarakat dan pemerintah kabupaten merasa belum merasakan hasil dari program CSR
yang dilakukan oleh KPC. Selama sekian puluh tahun beroperasi di bawah pemerintahan
kabupaten terkait, PT Bumi Resources membeli KPC pada tahun 2003.
Untuk mendapatkan kepercayaan pemerintah daerah yang menjadi investor pada saat itu,
PT Bumi Resources memberikan beberapa janji untuk tetap ikut membangun daerah Kutai
Timur. Janji yang dilontarkan pada tahun 2003 tersebut ada beberapa, yaitu pembangunan rumah
sakit, membangun kampus Stiper, dan jalan Soekarno-Hatta dua jalur yang semuanya sampai
sekarang belum terealisasi. BR juga berjanji mengucurkan CSR sekira Rp 50 miliar per tahun.
Namun, menurut pihak masyarakat dan pemerintah daerah setempat pengelolaannya dinilai tidak
transparan dan ditangani sendiri oleh KPC. Forum Multi Stakeholder Coorporate Social
Responsibility (Forum MSH- CSR) mengatakan bahwa dana yang mereka kelola belum
maksimal dan masih di bawah dana yang dijanjikan. Misalnya saja CSR tahun 2009 untuk
Kecamatan Bengalon. Data itu adalah data yang dirilis oleh Forum Multi Stakeholder (MSH)
CSR. Dari dana CSR sekira Rp 1,1 miliar yang sampai ke rakyat hanya sekira Rp 400 juta. Dana
sekira Rp 690 juta diberikan ke instansi vertikal.
Namun, di sisi lain pihak KPC menyanggah hal tersebut dengan berdalih bahwa dana yang
dikucurkan harus melalui prosedur yang sesuai dengan kelengkapan dokumen dan progress
report pada tiap-tiap proyek. Akhirnya, masyarakat dan pemerintah setempat menuntut adanya
transparansi dan pertemuan rutin antara pihak KPC dengan Forum MSH-CSR agar
permasalahannya bisa didiskusikan bersama untuk dicari solusinya. Selain itu, masyarakat
meminta agar dana CSR tersebut tidak semuanya dikelola oleh KPC tetapi juga bekerja sama
dengan Forum MSH-CSR dalam pengalokasiaannya. Tuntutan masyarakat ini bahkan disertai
dengan ancaman bahwa operasi KPC mungkin akan terhambat keamanan dan ketertibannya jika
tuntutan tersebut tidak dipenuhi. Pihak pemerintah daerah pun juga setuju dengan tuntutan akan
transparansi dan pendelegasian pengelolaan dana CSR tersebut. Jika tuntutan tersebut tidak
dipenuhi, pihak pemerintah daerah akan meninjau ulang izin pertambangan di daerah tersebut.

8
3) Pihak yang Terlibat
a. PT Kaltim Prima Coal
sebagai pihak yang diduga tidak melaksanakan kegiatan tanggung jawab sosial
terhadap stakeholder-nya, karena dimana seharusnya PT Kaltim Prima Coal
membayar biaya perawatan lingkungan perusahaan kepada kepala daerah setempat
sesuai dengan kontrak yang sudah dijanjikan, namun realisasinya justru dana yang
seharusnya diberikan sepenuhnya kepada masyarakat, hanya 40% saja yang sampai ke
tangan masyarakat.
b. Pemerintah dan Masyarakat
Sebagai pihak yang dirugikan atas ketidak transparansian pihak KPC dalam
melaksanakan kegiatan CSRnya.

3) Analisis Masalah
Undang-Undang Perseroan Terbatas No 40 Tahun 2007 Pasal 66 Ayat 2 menunjukkan
tentang kewajiban tiap perusahaan perseroan terbatas untuk membuat laporan tahunan yang salah
satu poinnya merujuk pada laporan pelaksanaan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan. Pada
beberapa laporan corporate social responsibility tahunan yang dinamakan Laporan Pembangunan
Berkelanjutan “Tak Hanya Menambang” milik KPC telah disebutkan perkembangan apa saja
yang telah mereka lakukan. Apalagi dengan berbagai penghargaan yang telah mereka terima,
seperti Millennium Development Goals (MDGs) Award dari Metro TV dan perwakilan PBB
dalam bidang pemberantasan HIV/Aids pada 2008. Namun, pada kenyataannya, pada tahun 2010
awal ini masyarakat mulai kritis dan mempertanyakan langkah-langkah CSR lainnya dari KPC.
Dalam menganalisis masalah CSR KPC ini, ada beberapa model implementasi CSR yang bisa
diaplikasikan. Pada dasarnya, perusahaan harus menyadari bahwa perusahaan memiliki beberapa
aspek yang harus dipenuhi, bukan hanya aspek etika.
Jika dianalisis satu per satu, pada aspek ekonomi maka KPC sudah memenuhi hal
tersebut dengan memperoleh pendapatan sebesar USD 1.741,93 juta. Hal ini merupakan
pendapatan yang cukup besar dengan pangsa pasar ekspor yang berada di beberapa negara di
belahan dunia. Walaupun begitu, aspek legal yang berada pada dimensi di atas ekonomi sudah
dibuat kontraknya. Namun, hal ini pun masih dipertanyakan implementasinya sejak pembuatan
kontrak ataupun pengucapan janji pembangunan pada tahun 2003 sampai pada 2010, walaupun

9
pada laporan terkait pada tahun 2008 sudah disebutkan community expenditure commitment
sebesar USD 5.000.000 dan biaya lingkungan sebesar USD 18.771,896. Pada dimensi ethical
sebenarnya KPC sudah mulai memberikan berbagai bantuan dengan kegiatan yang berfokus
pada tujuh pembangunan berkelanjutan, yakni pengembangan agribisnis, peningkatan kesehatan
dan sanitasi, pendidikan dan pelatihan, peningkatan infrastruktur masyarakat, pengembangan
koperasi, usaha kecil dan menengah (KUKM), pelestarian alam dan budaya, penguatan kapasitas
lembaga masyarakat dan pemerintah, dan pemberdayaan masyarakat. Namun, pelaksanaan yang
kurang terkoordinasi dari tahun ke tahun membuat pelaksanaannya cukup baik pada tahun-tahun
awal sampai ke 2008 akan tetapi agak terganggu pelaksanaannya pada tahun 2009 dan 2010
sehingga muncul masalah dengan Forum MSH-CSR. Aspek terakhir yang perlu diperhatikan
adalah philanthropic yang sebenarnya baik untuk dilakukan meskipun bukanlah sesuatu yang
wajib untuk dilakukan. Menjadi sebuah corporate citizen yang menguntungkan masyarakat
sekitar dan memenuhi berbagai aspek lainnya untuk dapat hidup berdampingan antara produsen
ataupun pengusaha dan masyarakat sekitar serta stakeholders lainnya.
KPC sudah memenuhi beberapa aspek yang disebutkan, misalnya untuk aspek ecological
environment dengan menutup tambang yang sudah tidak dipergunakan dan melakukan kegiatan
dengan pemberdayaan pertanian dan perikanan. Namun, masih timbul permasalahan dengan
public interest group di mana di dalamnya juga termasuk masyarakat sekitar dan pemerintah
daerah. Dalam hal ini, beberapa hal yang menyebabkan transfer informasi kurang maksimal
adalah penerapan dari prinsip good corporate governance seperti fairness, transparency,
accountability, dan responsibility yang pada saat ini telah mendorong CSR semakin menjadi
sesuatu hal yang krusial. Berdasarkan permasalahan tersebut, komunikasi menjadi sesuatu yang
penting antara perusahaan dengan pihak terkait.

4) Analisis berdasarkan prinsip Good Corporate Governance yang dilanggar PT Kaltim


Prima Coal
1. Transparency
Dalam kasus PT Kaltim Prima Coal dari dana CSR yang sudah ditentukan oleh
perusahaan batu bara ini yaitu Rp 1,1 miliar, sedangkan yang sampai ke rakyat hanya Rp
400 juta. Dana sejumlah Rp 690 juta diberikan ke instansi vertikal. Adapun informasi
pembagian dana untuk masyarakat, hanya diketahui oleh satu pihak yaitu PT Kaltim

10
Prima Coal, yang bebas menentukan besaran dana yang akan diturunkan ke masyarakat
tanpa memberitahu detail persentase dana untuk masyarakat disekitar lingkungan bisnis
dan perhitungan-perhitungan lainnya yang mendukung dana CSR untuk masyarakat.
2. Responsibility
PT Kaltim Prima Coal sejak tahun 2010 mulai melepas tanggung jawabnya
kepada lingkungan sekitar perusahaan, dimana seharusnya PT Kaltim Prima Coal
membayar biaya perawatan lingkungan perusahaan kepada kepala daerah setempat sesuai
dengan kontrak yang sudah dijanjikan, namun realisasinya justru dana yang seharusnya
diberikan sepenuhnya kepada masyarakat, hanya 40% saja yang sampai ke tangan
masyarakat, tidak sesuai dengan data yang disebarkan oleh Forum MSH-CSR.
3. Fairness
PT Kaltim Prima Coal harus memperlakukan secara adil seluruh golongan yang
memiliki andil dalam kesuksesan perusahaan, baik yang internal maupun eksternal, tanpa
mementingkan golongan tertentu. Walaupun masyarakat sekitar tidak berperan langsung
untuk kemajuan Kaltim Prima Coal, namun perusahaan memiliki tanggung jawab untuk
merawat lingkungan sekitar bisnis, karena tanpa persetujuan masyarakat daerah lokasi
perusahaan, perusahaan bisa saja ditutup karena dianggap merugikan masyarakat dan tidak
memelihara lingkungan perusahaan. Sehingga beberapa hal yang dapat dilakukan oleh PT

5) Penyelesaian Kasus
Kaltim Prima Coal sehubungan dengan memperbaiki masalah yang terjadi dapat
dijabarkan sebagai berikut:
a. Perumusan strategi pengalokasian dana CSR yang harus mengikutsertakan masyarakat
dan pemerintah daerah setempat.
b. Proses penjelasan bagaimana sistem penyaluran dana CSR dilakukan pada forum
bersama dan forum yang akhirnya dilaksanakan secara berkala untuk monitoring
pelaksanaan kegiatan yang dicanangkan pada perumusan jangka pendek maupun
jangka panjang alokasi dana CSR.
c. Proses evaluasi dan pertanggungjawaban yang tidak hanya dilakukan melalui media
luar dan berbentuk laporan semata, tetapi juga berbentuk forum yang mengundang

11
masyarakat dan pemerintah daerah untuk ikut mengevaluasi dan memberikan masukan
terhadap kinerja penggunaan dana CSR selama tahun berjalan.

KESIMPULAN
Cara investor institusional untuk berperan serta dalam mendorong penerapan GCG
adalah dengan investasi yang bertanggung jawab dengan membuat kebijakan hanya
akanmelakukan penempatan investasi pada perusahaan-perusahaan yang menerapkan GCG,
dan tentu secara konsisten menerapkan kebijakan tersebut dalam melakukan investasi.
Perusahaan yang berbasis asing kemungkinan memiliki stakeholder yang lebih banyak
dibanding perusahaan berbasis nasional sehingga permintaan informasi juga lebih besar dan
dituntut untuk melakukan pengungkapan yang lebih besar juga. Perusahaan yang memiliki
leverage tinggi, akan menambah beban untuk program corporate social responsibility
menjadi terbatas atau dapat dikatakan semakin tinggi leverage, maka semakin rendah
program CSR.
PT Kaltim Prima Coal (KPC) memiliki proporsi untuk pemberian dana CSR pada
masyarakat dan pemerintah daerah di sekitar tempat produksinya. Strategi penyaluran CSR
yang dilakukan KPC masih disusun dari satu pihak, yakni dari pihak KPC sendiri sehingga
ada beberapa ketidaksesuaian antara apa yang dibutuhkan pemerintah daerah dan masyarakat
dengan kegiatan yang dilakukan dari realisasi anggaran. Masyarakat dan pemerintah daerah
merasa tidak puas dengan tidak terpenuhinya janji-janji yang dilontarkan stockholders, KPC
juga seringkali menggembar-gemborkan komunikasi publikasi di media luar sehingga
akhirnya mendapatkan banyak penghargaan, akan tetapi kurang meningkatkan keeratan
hubungan dan frekuensi komunikasi dengan pihak yang bersentuhan langsung dengan
mereka, yaitu masyarakat sekitar dan pemerintah daerah yang bersangkutan.
Lemahnya tata kelola perusahaan yang baik pada KPC ini menjadi salah satu
penyebab timbulnya masalah dengan investor institusional dalam hal ini pemerintah yaitu
terjadi agency problemantara manajer KPC dengan pemerintah. Seharusnya kepemilikian
investor institusional dapat mengurangi masalah-masalah keagenan melalui intensif-intensif
yang menyelaraskan kepentingan manajemen dengan investor tetapi dalam kasus ini malah
menjadi sebuah masalah mengenai dana CSR yan belum direalisasikan dengan tepat seperti
yang dijanjikan kepada pemerintah dan masyarakat. Kepentingan pemerintah dan masyarakat

12
seolah diabaikan demi kepentingan pribadi KPC yang menggunakandana CSR tersebut untuk
kepentingan lain.

13
DAFTAR PUSTAKA

http://fekool.blogspot.co.id/2016/05/corporate-governance-corporate-social.html. Diakses pada


13 April 2017

https://fotodeka.wordpress.com/2009/01/07/analisa-csr-pada-pt-kaltim-prima-coal/. Diakses pada


13 April 2017

Kotler, Philip dan Keller, Kevin Lane. 13th ed. 2009. Marketing Management. Pearson
International Edition.

Laporan Pembangunan Berkelanjutan 2007 PT. Kaltim Prima Coal, “Tidak Hanya Menambang”.

Laporan Tahunan corporate social responsibility KPC “Tak Hanya Menambang” tahun 2007 dan
2008.

Suharto, Edi (2007a), Pekerjaan Sosial di Dunia Industri: Memperkuat Tanggungjawab Sosial
Perusahaan (Corporate Social Responsibility), Bandung: Refika Aditama.

Sutojo, Siswanto dan Alridge, E. John. 2008. Good Corporate Governance. Jakarta: Damar
Mulia Pustaka

14

Anda mungkin juga menyukai