Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

• Typhoid merupakan penyakit infeksi yang terjadi pada usus halus yang disebabkan
oleh makanan atau minuman yang terkontaminasi oleh kuman Salmonella thypi.
Pnykit jika tidak ditangani secara baik dan benar akan sangat berbahaya, bahkan
menyebabkan kematian.
• WHO angka insidensi di seluruh dunia sekitar 22 juta jiwa per tahun, angka
kematian akibat demam tifoid mencapai 600.000 dan 70% nya terjadi di asia
• Indonesia tifoid bersifat endemik, angka penderita mencapai 81% per 100.000.
Cenderung meningkat dari tahun ke tahun Berdasarkan data di Dinas kesehatan
provinsi jawa tengah berdasarkan system surveilans , demam tifoid termasuk urutan
ketiga dibawah diare, TBC dan selaput otak, Hal ini menunjukkan bahwa kejadian
demam tifoid di Jawa Tengah termasuk tinggi

• Tujuan penulisan sebagai bahan pustaka dalam menangani kasus tifoid, ditinjau
dari definisi, etiologi, diagnosa, komplikasi, dan penanganannya.
• Diharapkan agar dapat meningkatkan kualitas dalam menangani pasien secara
komprehensif.

1
BAB II
Ilustrasi Kasus
1. Identitas Pasien
Nama : Ny. A / 00299286
Jenis Kelamin : Perempuan
Tgl lahir : 18 Agustus 1965
Agama : islam
Usia : 53 tahun
Alamat : Gamdekan RT 02 RW 03 Gumpang Kartasura Sukoharjo
Status Pernikahan: sudah menikah
Pendidikan terakhir: SD
Pekerjaan : ibu rumah tangga
Masuk IGD & jam: 20 September 2018 ; pukul 08.42
Pulang : 23 September 2018
Anamnesis (allo/auto) dilakukan tanggal 20 September 2018, pukul 17.00 secara
autoanamnesis dan alloanamnesis
2.Anamnesis
Keluhan Utama : Demam
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RS Panti Waluyo dengan keluhan demam sejak 7 hari.
Demam dirasakan terutama sore hari, naik perlahan, kadang disertai menggigil (hari
pertama dan kedua) Demam disertai mual, muntah sebanyak 2 kali, (muntah berisi
makanan yang dimakan ), nyeri kepala dan nafsu makan berkurang. Demam tidak
disertai pilek dan batuk. Nyeri ulu hati. Pasien juga tidak mengeluh bab cair. Bab
berwarna merah atau kehitaman disangkal. BAB terakhir 4 hari sebelum masuk rs.Buang
air kecil seperti biasa.
Pasien sebelumnya sudah mengkonsumsi obat warung (namanya tidak diketahui)
Demam dirasakan berkurang, tetapi demam kembali terjadi jika obat dihentikan.

Riwayat Penyakit Dahulu


Hipertensi disangkal( -), DM disangkal (-), Alergi disangkal (-), Asma disangkal (-),
Pnyakit jantung disangkal(-)

Riwayat Penyakit Keluarga dan Lingkungan


Hipertensi disangkal( -), DM disangkal (-), Alergi disangkal (-), Asma disangkal (-),
Penyakit jantung disangkal(-)

Riwayat Sosial Ekonomi:


Pasien mengaku sering membeli makanan di warung dekat rumah nya, di pinggir jalan
dan pedagang kaki lima

3. Pemeriksaan fisik

2
Keadaan Umum : tampak sakit sedang, gizi cukup
Kesadaran : compos mentis (E4V5M6)
Tanda vital :
Tekanan darah : 120/70 mmHg
Nadi : 116 x/menit, regular, isi cukup
RR : 24 x /menit
Suhu : 37,8 °C
Pemeriksaan status generalis :
Kepala : tidak tampak kelainan
Mata : mata cekung (-), konjungtiva anemis (-), sclera ikterik (-)
THT : faring tidak hiperemis, tonsil T1-T1, lidah tampak kotor
Leher : tidak ada pembesaran kelenjar getah bening
Thorax : Retraksi (-), simetris (+)
Paru :
Inspeksi : dalam keadaan statis simetris (+), dalam keadaan dinamis
tidak ada ketinggalan gerak/ retraksi (-).
Palpasi : stem fremitus paru kanan sama dengan paru kiri
Perkusi : sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : suara nafas vesikuler, ronkhi (-), Wheezing (-)
Jantung :
Inspeksi : iktus kordis tidak tampak
Palpasi : iktus kordis tidak kuat angkat
Perkusi : batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : S1,S2 tunggal, regular, gallop(-), murmur (-)
Abdomen :
Inspeksi : Dinding perut sejajar dinding dada,bentuk datar
Auskultasi : bising usus normal (3x/menit)
Perkusi : timpani
Palpasi : nyeri tekan epigastrium (+), hepar dan lien tidak teraba, turgor
baik (<2 detik)
Ekstremitas : akral hangat, petekie (-), CR <2 detik, oedem(-)

4. Pemeriksaan penunjang:

EKG(20 September 2018)

3
Kesimpulan : Sinus Takikardi ,HR 110x /menit

Hasil Pemeriksaan lab (19/9/2018)


Pemeriksaan Hasil pemeriksaan Nilai normal
Index Eritrosit
MCV 89 fl 80-96
Pemeriksaan Hasil pemeriksaan Nilai normal
MCH 31 pg 28-33
Darah lengkap
MCHC 35 % 32-36
Hemoglobin 13,7 g/dl 11.7-16.2
IMUNOSEROLOGI
Hematokrit
WIDAL 39,8 % 35-45
Typhus-O
Eritrosit (+)
4,481/160 juta/mm3Negatif
4.1-5.1
Typhus-H
Leukosit (+)1/320
6,600 /mm3 Negatif
4.400-11.300
Paratyphus A-O Negatif Negatif
Trombosit 246,000 u/L 150.000 -450.000
Paratyphus A-H Negatif Negatif
Hitung Jenis
Paratyphus B-O (+)1/320 Negatif
Basofil 0.3 % 0-2
Paratyphus B-H Negatif Negatif
Eosinofil
Paratyphus C-O
1.0
(+)1/320
% Negatif
0-4
Neutrofil
Paratyphus C-H 67.5
(+)1/320 % Negatif
55-80
Limfosit 24.0 % 22-44
Monosit 7.2 % 0-7

5.Permasalahan

 Dari anamnesis didapatkan:

 Demam 7 hari, lebih tinggi pada sore/malam hari (stepwise fashion)


 Gejala penyerta: mual, muntah, nyeri kepala

4
 Riwayat makan di luar (jajan)

 Pemeriksaan fisik:
 Suhu 37,8 OC
 Typhoid tongue (lidah kotor, tepi hiperemis, tremor)
 NT epigastrium (+)
 Pemeriksaan penunjang:
EKG( 20 September 2018)

Kesimpulan : Sinus Takikardi ,HR 110x /menit

Hasil Pemeriksaan lab (19/9/2018)


Pemeriksaan Hasil pemeriksaan Nilai normal
Darah lengkap
Hemoglobin 13,7 g/dl 11.7-16.2
Hematokrit 39,8 % 35-45
Eritrosit 4,48 juta/mm3 4.1-5.1
Leukosit 6,600 /mm3 4.400-11.300
Trombosit 246,000 u/L 150.000 -450.000
Hitung Jenis
Basofil 0.3 % 0-2
Eosinofil 1.0 % 0-4
Neutrofil 67.5 % 55-80
Limfosit 24.0 % 22-44
Monosit 7.2 % 0-7
5
6.Diagmosis Kerja
Demam Tifoid

7. Diagnosis Banding : dengue fever

8.Penatalaksanaan

- Diet lunak
- RL 20 tetes / menit
- Ranitidin 2x1amp
- Paracetamol 3 x 500mg k/p
- Oxtercid 3x1 amp
- Invomit 1 amp
- Pantoprazole 1x1 amp
- MRS penyakit dalam

9. Prognosis
Ad vitam : ad bonam
Ad functionam : ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam

6
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Penyakit sistemik akut yang ditandai demam akut akibat infeksi Salmonella sp
(lebih dari 500 sp). Spesies yang sering dikenal di klinik adalah Salmonella typhi,
Salmonella paratyphi A, B, C

B. Epidemiologi
Demam tifoid masih dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang
yang terutama terletak di daerah tropis dan subtropis. Penyakit ini juga merupakan
masalah kesehatan masyarakat yang penting karena penyebarannya berkaitan erat
dengan urbanisasi, kepadatan penduduk, kesehatan lingkungan, sumber air dan
sanitasi yang buruk serta standar higiene industri pengolahan makanan yang masih
rendah.
Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan
karena penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat
luas. Data World Health Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat
sekitar 17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus
kematian tiap tahun. Di negara berkembang, kasus demam tifoid dilaporkan sebagai
penyakit endemis dimana 95% merupakan kasus rawat jalan sehingga insidensi yang
sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di rumah sakit. Di
Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di
daerah pedesaan 358/100.000 penduduk/tahun dan di daerah perkotaan 760/100.000
penduduk/tahun atau sekitar 600.000 dan 1.5 juta kasus per tahun. Umur penderita
yang terkena di Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91% kasus.

C. Etiologi
Demam tifoid disebabkan oleh Salmonella typhi (S. typhi), basil gram negatif,
berflagel, dan tidak berspora. S. typhi memiliki 3 macam antigen yaitu antigen O
(somatik berupa kompleks polisakarida), antigen H (flagel), dan antigen Vi. Dalam
serum penderita demam tifoid akan terbentuk antibodi terhadap ketiga macam antigen
tersebut.

7
Gambar 1. Salmonella Typhi

D. Patofisiologi
Masuknya kuman Salmonella Typhi ke dalam tubuh manusia terjadi melalui
makanan yang terkontaminasi kuman. Penelitian yang dilakukan terhadap
sukarelawan menunjukkan dosis infeksi organism adalah 105-109 organisme, dengan
masa inkubasi berjarak selama 4-14 hari, bergantung jumlah kuman yang dapat
masuk. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk kedalam
usus dan selanjutnya berkembang biak. Seperti yang diketahui S.typhi menginvasi
tubuh dengan menembus mukosa usus ileum terminal, yang mungkin melalui antigen
sample sel yang dikhususkan yang diketahui sebagai sel M, yang melapisi usus,
berhubungan dengan jaringan limfoid, melalui enterosit atau melalaui rute paraselular.
Bila respons imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman akan
menembus sel-sel epitel (terutama sel M) dan selanjutnya ke lamina propia. Di
lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama olah
makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak didalam makrofag dan
selanjutnya dibawa ke plague peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah
bening mesenterica. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat
didalam makrofag ini masuk kedalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakterimia
pertama yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh
terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan
kemudian berkembang biak diluar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk
kedalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya dengan
disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sitemik.

Didalam hati kuman masuk kedalam kandung empedu, berkembang biak, dan
bersama cairan empedu diekskresikan secara intemiten ke dalam lumen usus.
Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi kedalam sirkulasi
setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag
telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi
pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala
reaksi infeksi sitemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut,
instabilitas vascular, gangguan mental dan koagulasi.
Didalam plague peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia
jaringan (S.typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat,
hyperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi
akibat erosi pembuluh darah sekitar plague peyeri yang sedang mengalami nekrosis
dan hyperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear didinding usus. Proses
patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga kelapisan otot, serosa usus
dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoksin dapat menempel direseptor endotel
kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik,
kardiovaskular, pernapasan dan gangguan organ lainnya.

8
G
a
m
b
ar 2. Patofisiologi Demam Tifoid

E. Manifestasi klinis
Masa inkubasi demam tifoid berlangsung antara 7-14 hari, namun ini juga
bergantung dosis infeksi (3-30 hari). Gejala-gejala klinis yang timbul sangat
bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dari asimtomatik hingga gambaran
penyakit yang khas disertai komplikasi.

Gambar 3. Perjalanan Penyakit Demam Tifoid

9
Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala
serupa infeksi akut pada umumnya yaitu
 Demam sekitar interminten/remiten
 Lidah kotor, mulut kering, mual muntah
 Gambaran gejala saluran nafas atas
 Sakit kepala hebat, tampak apatis, lelah
 Tidak enak di perut dan mungkin kontipasi/ diare, ditemukan splenomegali/
hepatomegali
 Raseola mungkin ditemukan

Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa


 Demam kontinyu
 Bradikardi relatif (peningkatan suhu 1°C tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8
kali permenit)
 Keadaan penderita semakin menurun, apatis, bingung
 Hepatomegali dan splenomegali,
 Lidah yang berselaput (kotor ditengah, tepi dan ujung merah serta tremor) dan
kehilangan nafsu makan
 Nyeri, distensi perut, meteorismus

Pada minggu ketiga dapat ditemukan gejala antara lain:


 Suhu turun jika berhasil diobati tanpa komplikasi
 Jika keadaan memburuk:
- Disorientasi, bingung, insomnia,
- Komplikasi perdarahan dan perforasi.

F. Penegakan diagnosis
Penegakan diagnosis demam tifoid dapat dengan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang. Namun diagnosis pasti dapat ditegakkan dari hasil kultur
darah. Hasil kultur darah menunjukkan 40-60% positif pada pasien di awal penyakit
dan kultur feses dan urin akan positif setelah minggu pertama infeksi. Hasil kultur
feses kadang-kadang juga positif pada masa inkubasi. Pemeriksaan laboratorium
yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis demam tifoid tidak terlalu spesifik.
Pada pemeriksan darah perifer lengkap sering ditemukan leukopenia, namun dapat
pula terjadi leukositosis atau kadar leukosit normal. Pemeriksaan widal juga
dilakukan dalam membantu penegakan diagnosis demam tifoid. Uji widal dilakukan
dengan mengukur antibodi terhadap antigen O dan H dari Salmonella Typhi, namun
tes ini kurang spesifik dan sensitive. Karena bnyak hasil tes false-negative dan false-
positif terjadi.

10
Tes Widal
Uji widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman S.typhi. pada uji
widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.typhi dengan antibody
yang disebut agglutinin. Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspense
Salmonella yang sudah dimatikan dan diolah dilaboratorium. Tujuan uji widal adalah
untuk menentukan adanya agluitinin dalam serum penderita tersangka demam tifoid
yaitu :
a). agglutinin O (dari tubuh kuman)
b). agglutinin H (flagella kuman)
c). agglutinin Vi (simpai kuman)
Dari ketiga agglutinin tersebut hanya agglutinin O dan H yang digunakan
untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan
terinfeksi kuman ini. Pembentukan agglutinin mulai terjadi pada akhir minggu
pertama demam, kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada
minggu keempat dan tetap tinggi selama beberapa minggu. Pada fase akut mula-mula
timbul agglutinin O, kemudian diikuti dengan agglutinin H. Pada orang yang telah
sembuh agglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, setelah agglutinin H
menetap lebih lama antara 9-12 bulan.
Sekurang-kurangnya diperlukan dua bahan serum, yang diperoleh dengan
selang waktu 7-10 hari, untuk membuktikan adanya kenaikan titer antibody. Serum
yang tidak dikenal diencerkan berturut-turut (dua kali lipat) lalu dites terhadap antigen
Salmonella. Hasilnya ditafsirkan sebagai berikut :
1) Titer O yang tinggi atu kenaikan titer O (≥ 1 : 160) menunjukkan adanya
infeksi aktif.
2) Titer H yang tinggi (≥ 1 : 160) menunjukkan bahwa penderita itu pernah
divaksinasi atau pernah terkena infeksi.
3) Titer Vi yang tinggi terdapat pada beberapa pembawa bakteri

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi uji widal yaitu :


1) Pengobatan dini dengan antibiotik
2) Gangguan pembentukan antibodk dan pemberian kortikosteroid
3) Waktu pengambilan darah
4) Daerah endemik atau non endemik
5) Riwayat vaksinasi
6) Reaksi anamnestik, yaitu peningkatan titer agglutinin pada infeksi bukan
demam tifoid akibat demam tifoid masa lalu atau vaksinasi
7) Faktor teknik pemeriksaan antar laboratorium, akibat aglutinasi silang dan
strain Salmonella yang digunakan untuk suspense antigen.
Kultur darah
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S. typhi
dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum. Berkaitan
dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah
dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di dalam
urine dan feses.

11
Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan tetapi hasil
negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin disebabkan oleh hal-hal
sebagai berikut :
1) Telah mendapat terapi antibiotik. Bila pasien sebelum dilakukan kultur darah telah
mendapat antibiotic, pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil
mungkin negatif.
2) Volume darah yang kurang (diperlukan kurang lebih 5 cc darah). Bila darah yang
dibiak terlalu sedikit hasil biakan bisa negatif. Darah yang diambil sebaiknya
secara bedside langsung dimasukkan ke dalam media cair empedu (oxgall) untuk
pertumbuhan kuman
3) Riwayat vaksinasi. Vaksinasi dimasa lampau menimbulkan antibody dalam darah
psien. Antibodi (aglutinin) ini dapat menekan bakteremia hingga biakan darah
dapat negatif.
4) Saat pengambilan darah setelah minggu pertama, pada saat agglutinin semakin
meningkat.

G. Penatalaksanaan
Penegakan diagnosis awal demam tifoid dan penatalkasaan yang tepat
merupakan hal yang penting. Sebagian besar anak-anak dengan tifoid dapat dirawat
dirumah dengan antibiotic oral dan dilakukan follow-up utnuk mengikuti
perkembangan penyakit dan melihat apakah ada komplikasi atu kegagalan terapi.
Pasien dengan muntah yang persisten, diare berta dan distensi abdomen memerlukan
perawatan di rumah sakit dan terapi antibiotic parenteral.
Secara umum terdapat tiga prinsip penatalaksanaan demam tifoid. Istirahat
yang adekuat, hydrasi dan pengobatan penting untuk mengoreksi ketidakseimbangan
cairan-elektrolit. Terapi antipiretik (aceminophen 120-750 mg stiap 4-6 jam PO)
harus diberikan jika diperlukan. Makanan yang lunak, harus dilanjutkan pada pasien
distensi abdomen atau ileus. Terapi antibiotic penting untuk meminimalisir
komplikasi. Pengggunaan chloramphenicol atau amoxicillin diketahhui mempunyai
angka kekambuhan masing-masing 5-15% dan 4-14%. Penggunaan antibiotik untuk
demam tifoid pada anak juga dipengaruhi oleh prevalensi dari resistensi antimikroba.
Berikut adalah antibiotik yang biasa digunakan pada demam tifoid. Sebagai
tambahan untuk antibiotik, terapi suportif juga penting dan pemeliharaan
keseimbangan cairan dan elektrolit juga harus diperhatikan.
Pemberian terapi tambahan dengan dexametason(3mg/kgBB dosis awal,
diikuti 1 mg/kg setiap 6 jam selama 48 jam) telah diekomendasikan pada pasien
dengan syok, penurunan kesadaran, stupor atau koma, hal ini harus dilakukan dengan
pengawasan .

12
Gambar 4. Pengobatan pada demam tifoid

13
Gambar 5. Antibiotik yang direkomendasi untuk demam tifoid

H. Komplikasi
Komplikasi pada demam tifoid dibagi menjadi komplikasi intestinal dan
ekstraintestinal.
- Intestinal : peritonitis, perdarahan intestinal dan perforasi
- Ekstraintestinal : ensefalitis, pneumonia, meningitis, osteomielitis, hepatitis.

I. Pencegahan
- Higiene peorangan dan lingkungan
Demam tifoid ditularkan melalui rute fekal-oral, maka pencagahan utama
memutuskan rantai tersebut dengan meningkatkan higiene perorangan dan
lingkungan, seperti mencuci tangan sebelum makan, penyediaan air bersih, dan
penanganan pembuangan limbah feses.

- Imunisasi
Imunisasi aktif terutama diberikan bila terjadi kontak dengan pasien demam tifoid,
terjadi kejadian luar biasa dan untuk turis yang bepergian ke daerah endemik.
o Vaksin polisakarida (capsular Vi polysacharide), pada usia 2 tahun atau lebih
diberikan secara intramuscular dan diulang setiap 3 tahun.
o Vaksin tifoid oral , diberikan pada usia >6 tahun dengan interval selang sehari
(hari 1,3 dan 5), ulangan setiap 3-5 tahun. Vaksin ini belum beredar di
Indonesia, terutama direkomendasikan untuk turis yang bepergian ke daerah
endemik.

J. Prognosis
Prognosis terhadap pasien demam tifoid bergantung kepada kecepatan
penegakan diagnosis dan ketepatan terapi antibiotik. Faktor lain yang mempengaruhi
meliputi umur pasien, status kesehatan dan nutrisi, serotype Salmonella dan
munculnya komplikasi. Meskipun terapi yang didapat tepat, 2-4% anak yang
terinfeksi dapat kambuuh setelah respon awal terapi. Individu yang mengekskresikan
S.typhi ≥3bulan setelah infeksi dianggap sebagai karier kronik. Bagaimanapun resiko
untuk menjadi karier rendah pada anak-anak dan meningkat dengan bertambahnya
umur, namun secara umum < 2% dari semua anak yang terinfeksi

14
BAB IV
PEMBAHASAN DAN FOLLOW UP

Follow Up
Tgl & Hari Subjektif Objektif Assesment Planning
Perawatan
ke
20 demam (+), ku : tampak sakit Demam -Diet lunak
September mual(+), sedang tifoid -Infus RL 20 tetes /
2018 muntah (+), TD: 120/70 mmHg, nadi menit
pusing (+), 115 x/ menit, RR 22 - Ranitidin
menggigil (+), x/menit, Suhu : 37,8°C, 2x1amp
nafsu makan konjungtiva anemis (-), -Paracetamol 3 x
menurun lidah kotor (+), nyeri 500mg k/p
tekan epigastrium (+), -Oxtercid 3x1 amp
akral hangat (+) -Invomit 1 amp
-Pantoprazole 1x1
amp

21 Demam turun , ku : tampak sakit Demam - Diet lunak


September mual berkurang, sedang tifoid -Infus RL 20 tetes /
2018 pusing (-), TD: 120/90 mmHg, nadi menit
menggigil (-), 110 x/ menit, RR 20 - Ranitidin
nafsu makan x/menit, Suhu : 36°C, 2x1amp
berkurang konjungtiva anemis (-), -Paracetamol 3 x
nyeri tekan epigastrium 500mg k/p

Tgl & Hari Subjektif Objektif Assesment Planning


Perawatan ke

22 September Demam (-), ku : baik Demam tifoid -Infus RL 20


2018 mual (-), nafsu TD: 130/80 tetes / menit
makan (+) mmHg, nadi 88 - Ranitidin
x/ menit, RR 20 2x1amp
x/menit, Suhu : -Paracetamol 3
37°C, nyeri x 500mg k/p
tekan -Oxtercid 3x1
epigastrium (-), amp
akral hangat (+)

15
PEMBAHASAN
 Dari anamnesis didapatkan:

 Demam 7 hari, lebih tinggi pada sore/malam hari (stepwise fashion)


 Gejala penyerta: mual, muntah, nyeri kepala
 Riwayat makan di luar (jajan)

 Pemeriksaan fisik:
 Suhu 37,8 OC
 Typhoid tongue (lidah kotor, tepi hiperemis, tremor)
 NT epigastrium (+)
 Pemeriksaan penunjang:
EKG( 20 September 2018)

Kesimpulan : Sinus Takikardi ,HR 110x /menit

16
Hasil Pemeriksaan lab (19/9/2018)
Pemeriksaan Hasil pemeriksaan Nilai normal
Darah lengkap
Hemoglobin 13,7 g/dl 11.7-16.2
Hematokrit 39,8 % 35-45
Eritrosit 4,48 juta/mm3 4.1-5.1
Leukosit 6,600 /mm3 4.400-11.300
Trombosit 246,000 u/L 150.000 -450.000
Hitung Jenis
Basofil 0.3 % 0-2
Eosinofil 1.0 % 0-4
Neutrofil 67.5 % 55-80
Limfosit 24.0 % 22-44
Monosit 7.2 % 0-7

Diagmosis Kerja
Demam Tifoid

Diagnosis Banding : dengue fever

 Penatalaksanaan :
 Umum

17
- Bed rest total
- Diet lunak (bubur), rendah serat
 Khusus
- Infus RL 20 tetes / menit
- Inj. Ranitidin 2x1amp
- Paracetamol 3 x 500mg k/p
- Oxtercid 3x1 amp
- Invomit 1 amp
- Pantoprazole 1x1 amp

18
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN

•Demam tifoid banyak ditemukan di masyarakat perkotaan maupun di pedesaan. Penyakit


ini erat kaitannya dengan kualitas higiene pribadi dan sanitasi lingkungan yang
kurang baik.

•Gejala tifoid yang timbul bervariasi, mulai ringan hingga berat,bahkan demam pada sore
hari.Terkadang karena ringannya gejala demam typhoid, penderita sering menanggap
remeh dan enggan untuk perawatan lebih lanjut

•Penyakit tifoid yang sudah akut, gejalanya semakin serius seperti nyeri ulu hati, nyeri
lambung, diare bahkan konstipasi, sakit kepala,mual sampai muntah-muntah.

•Jika demam typhoid tidak segera ditangani akan mengakibatkan gangguan kesadaran
mulai dari ringan hingga berat. Komplikasi yang bisa terjadi pada pasien demam
typhoid adalah perforasi usus, perdarahan usus, dan neuropsikiatri.

•Di indonesia bersifat endemik, selain tingkat insiden yang tinggi , demam tifoid terkait
berbagai aspek permasalahan lain , misalnya akurasi diagnosis, resistensi antibiotik
dan masih rendahnya cakupan vaksinasi demam tifoid

SARAN

•Demam tifoid ditularkan melalui rute fekal-oral, maka pencagahan utama memutuskan
rantai tersebut dengan meningkatkan higiene perorangan dan lingkungan, seperti
Individu harus memperhatikan kualitas makanan dan minuman yang mereka
konsumsi,mencuci tangan sebelum makan, penyediaan air bersih, dan penanganan
pembuangan limbah feses.

•Imunisasi aktif terutama diberikan bila terjadi kontak dengan pasien demam tifoid,
terjadi kejadian luar biasa dan untuk turis yang bepergian ke daerah endemik.

– Vaksin polisakarida (capsular Vi polysacharide), pada usia 2 tahun atau lebih


diberikan secara intramuscular dan diulang setiap 3 tahun.

– Vaksin tifoid oral , diberikan pada usia >6 tahun dengan interval selang sehari
(hari 1,3 dan 5), ulangan setiap 3-5 tahun. Vaksin ini belum beredar di
Indonesia, terutama direkomendasikan untuk turis yang bepergian ke daerah
endemik.

19
DAFTAR PUSTAKA

Background Document.2003.The Diagnosis, Treatment and Prevention of Thypoid


Fever. Comunicable Disease Surveillance and Response Vaccinase and
Biologicals. WHO.

Bhutta ZA. 2006.Clinical Review. Current Concepts in the Diagnosis and Treatment
of Thypoid Fever. BMJ; 333: 78-82

Braunwald. 2008.Harrison’s Principles of Internal Medicine. 17th Edition, New York,

Brush, John L. 2009. Typhoid Fever, in http:// emedicine.medscape.com/article


231135-overview dikunjungi pada 20 Februari 2011.

Jawetz Ernest et al. 1996. Mikrobiologi Kedokteran. Alih Bahasa : Nugroho Edi,
Maulani RF. Jakarta EGC

Ranjan L.Fernando et al. 2001. Tropical Infectious Diseases Epidemiology,


Investigation, Diagnosis and Management, London,;45:270-272

Widodo Djoko. 2007. Demam Tifoid didalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid
III edisi IV. Jakarta FKUI

20

Anda mungkin juga menyukai