Anda di halaman 1dari 33

BAB I

LATAR BELAKANG

Penyakit gagal ginjal kronik adalah gangguan fungsi renal yang prrogresif dan
irreversible. Panyakit ini digolongkan dalam penyakit terminal yaitu : penyakit yang
tidak dapat disembuhkan dan berakhir dengan kematian. Ini berarti bahwa penyakit
terminal adalah penyakit yang membawa penderita ke ajalnya (Damanik, 2012).
Penderita gagal ginjal menurut estimasi Word Healt Organization (WHO) secara
global lebih dari 500 juta diantaranya sudah masuk didalam tahap terminasi atau akhir
(Stoic, 2009).

Menurut dari hasil penelitian Roderick, et al (2008) bahwa hampir setengah dari
penduduk yang memiliki penyakit ginjal tidak mengetahui bahwa ada yang salah
dengan ginjalnya. Kasus gagal ginjal kronik laporan The United States Renal Data
System (USRDS 2013) menunjukkan prevalensi penderita penyakit ginjal kronik di
Amerika Serikat pada tahun 2011 sebesar 1.901 per 1 juta penduduk. Badan Kesehatan
Dunia (WHO) menyebutkan pertumbuhan jumlah klien gagal ginjal pada tahun 2011-
2013 telah meningkat 50%. Indonesia termasuk salah satu negara dengan tingkat klien
gagal ginjal yang cukup tinggi. Menurut survey yang dilakukan PERNEFRI 2013 ini
mencapai 30,7 juta penduduk yang menderita penyakit CKD (Kartika, 2013) .Riset
Kesehatan Dasar (RISKESDAS) pada tahun 2013 melaporkan prevalensi penyakit
gagal ginjal kronis berdasarkan diagnosis dokter, prevalensi gagal ginjal kronis pada
pria di Indoonesia sebesar 0,3 persen dan pada wanita di Indonesia sebesar 0,2 persen.

Report of Indonesian Renal Registry (IRR) pada akhir 2015 menyatakan pasien rutin
yang mengalami Hemodialisis di Indonesia sebanyak 595.358 pasien dan yang
melakukan Hemodialisis Akut sebanyak 5915 pasien. Komplikasi yang terkait dengan
penggunaan terapi antikoagulan: Heparin terkait trombositopenia, perdarahan
diathesis, kelainan elektrolit dan yang lainnya yaitu : mual, muntah dan gatal.
Komplikasi intradialisis yang paling umum terjadi adalah Hipotensi Intradialisis gejala
antara 20% dan 50%, dan itu tetap merupakan masalah penting Cruz DN et, 1997,
(dalam Gulsum, et al, 2011). Dalam penelitian lain juga disebutkan bahwa komplikasi
intradialisis Hipotensi terjadi lebih dari 30%. Shahgholian, et al (2008), kram otot 20%,
mual dan muntah (Holley, et al 2007), sakit kepala 5% teta (2007), nyeri dada sekitar
1-4% Daugirdas, et al 2007.

Setelah dilakukan observasi di Ruang Hemodialisa HD 3 RSUP Sanglah Denpasar,


pasien yang menjalani Hemodialisa membutuhkan waktu 4-5 jam dalam waktu yang
lama. Pasien terpasang alat dan tidak bisa menjalani aktivitas seperti biasanya. Dalam
menjalani Hemodialisis bukan hal yang mudah bagi pasien karena disisi lain akan
muncul komplikasi intradialisis yang dapat membuat pasien mengalami beberapa efek
dari menjalani Hemodialisa. Komplikasi intradialisis merupakan komplikasi yang
abnormal yang terjadi saat pasien menjalani hemodialisis. Komplikasi intradialisis
yang umum dialami pasien hemodialisis adalah salah satunya Hipotensi.

Berdasarkan hal di atas, maka mahasiswa tertarik untuk mengetahui dan menganalisis
jurnal tentang : A Study to Assess the Effect of Intradialytic Modified Trendelenburg
Position on Prevention of Hypotension among Patient Undergoin Hemodialysis in
Selected Hospital of PCMC, Pune.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar HD

A. Pengertian Hemodialisis
Dialisa adalah suatu proses dimana solute dan air mengalami difusi
secara pasif melalui suatu membran berpori dari kompartemen cair menuju
kompartemen lainnya. Hemodialisa dan dialisa peritoneal merupakan dua
teknik utama yang digunakan dalam dialisa. Prinsip dasar kedua teknik tersebut
sama yaitu difusi solute dan air dari plasma ke larutan dialisa sebagai respon
terhadap perbedaan konsentrasi atau tekanan tertentu (Price&Wilson, 2013).
Menurut Morton, Fontaine, Hudak&Gallo (2012), hemodialisa adalah
suatu cara pembuangan air dan kelebihan produk sisa dari darah saat dipompa
oleh mesin dialisa melalui sirkuit ekstrakorporeal menuju ke alat yang disebut
dialiser atau ginjal buatan.
Terapi hemodialisa merupakan teknologi tinggi sebagai terapi
pengganti untuk mengeluarkan sisa-sisa metabolisme atau racun tertentu dari
peredaran darah manusia seperti air, natrium, kalium, hidrogen, urea, kreatinin,
asam urat, dan zat-zat lain melalui membran semipermiabel sebagai pemisah
darah dan cairan dialisat pada ginjal buatan dimana terjadi proses difusi,
osmosis, dan ultra filtrasi (Smeltzer& Bare, 2013).
Hemodialisis merupakan suatu proses yang digunakan dalam keadaan
sakit akut dan memerlukan terapi dialysis jangka pendek (beberapa hari hingga
beberapa minggu) atau pasien dengan penyakit ginjal stadium terminal (ESRD
:end-stage renal disease) yang membutuhkan terapi jangka panjang atau terapi
permanen (Brunner & Suddart, 2008).
Jadi hemodialisa adalah terapi pengganti ginjal untuk mengeluarkan
sisa-sisa metabolisme dari peredaran darah manusia dimana terjadi proses
difusi, osmosis, dan ultra filtrasi.
B. Indikasi
Indikasi HD dibedakan menjadi HD emergency atau HD segera dan HD kronik.
Hemodialis segera adalah HD yang harus segera dilakukan.
1. Indikasi hemodialisis segera antara lain (Daurgirdas et al., 2007):
a. Kegawatan ginjal
1) Klinis: keadaan uremik berat, overhidrasi
2) Oligouria (produksi urine <200 ml/12 jam)
3) Anuria (produksi urine <50 ml/12 jam)
4) Hiperkalemia (terutama jika terjadi perubahan ECG, biasanya K
>6,5 mmol/l )
5) Asidosis berat ( pH <7,1 atau bikarbonat <12 meq/l)
6) Uremia ( BUN >150 mg/dL)
7) Ensefalopati uremikum
8) Neuropati/miopati uremikum
9) Perikarditis uremikum
10) Disnatremia berat (Na >160 atau <115 mmol/L)
11) Hipertermia
12) Keracunan akut (alkohol, obat-obatan) yang bisa melewati
membran dialisis.
b. Indikasi Hemodialisis Kronik
Hemodialisis kronik adalah hemodialisis yang dikerjakan berkelanjutan
seumur hidup penderita dengan menggunakan mesin hemodialisis.
Menurut K/DOQI dialisis dimulai jika GFR <15 ml/mnt. Keadaan
pasien yang mempunyai GFR <15ml/menit tidak selalu sama, sehingga
dialisis dianggap baru perlu dimulai jika dijumpai salah satu dari hal
tersebut di bawah ini (Daurgirdas et al., 2007):
1) GFR <15 ml/menit, tergantung gejala klinis
2) Gejala uremia meliputi; lethargy, anoreksia, nausea, mual dan
muntah.
3) Adanya malnutrisi atau hilangnya massa otot.
4) Hipertensi yang sulit dikontrol dan adanya kelebihan cairan.
5) Komplikasi metabolik yang refrakter.

C. Kontra indikasi
Kontra indikasi dari hemodialisa adalah (PERNEFRI, 2003):
1. Tidak mungkin didapatkan akses vaskuler pada hemodialisa atau akses
vaskuler sulit.
2. Instabilitas hemodinamik dan koagulasi.
3. Hipotensi yang tidak responsif terhadap presor, penyakit stadium
terminal, dan sindrom otak organik (Thiser & Wilcox, 1997).
Menurut Morton, dkk (2012), kontraindikasi dilakukannya HD antara lain:
1. Pasien yang mengalami koagulapati karena sirkuit ektrakorporeal
membutuhkan heparinisasi.
2. Pasien dengan penurunan curah jantung
3. Pasien yang sensitif terhadap perubahan mendadak status volume
4. Demam tinggi

D. Prinsip dan Cara Kerja Hemodialisis


Ada 3 prinsip dasar dalam HD yang bekerja pada saat yang sama dan
merupakan 3 proses dasar dari Hemodialisa, yaitu:
1. Proses Difusi
Proses difusi adalah proses pergerakan spontan dan pasif zat terlarut.
Molekul zat terlarut dari kompartemen darah akan berpindah ke dalam
kompartemen dialisat setiap saat bila molekul zat terlarut dapat melewati
membran semipermiabel demikian juga sebaliknya.
Gambar 4. Proses Hemodialisa

2. Proses Ultrafiltrasi
Proses ultrafiltrasi adalah proses pergeseran zat terlarut dan pelarut secara
simultan dari kompartemen darah ke dalam kompartemen dialisat melalui
membran semipermiabel. Proses ultrafiltrasi ini terdiri dari ultrafiltrasi
hidrostatik dan osmotik.
a) Ultrafiltrasi hidrostatik
1) Transmembrane Pressure (TMP)
TMP adalah perbedaan tekanan antara kompartemen darah dan
kompartemen dialisat melalui membran. Air dan zat terlarut di
dalamnya berpindah dari darah ke dialisat melalui membran
semipermiabel adalah akibat perbedaan tekanan hidrostatik antara
kompertemen darah dan kompartemen dialisat. Kecepatan
ultrafiltrasi tergantung pada perbedaan tekanan yang melewati
membran.
2) Koefisien ultrafiltrasi (KUf)
Besarnya permeabilitas membran dialiser terhadap air bervariasi
tergantung besarnya pori dan ukuran membran. KUf adalah jumlah
cairan (ml/jam) yang berpindah melewati membran per mmHg
perbedaan tekanan (pressure gradient) atau perbedaan TMP yang
melewati membran.
3) Ultrafiltrasi osmotik
Dimisalkan ada 2 larutan “A” dan “B” dipisahkan oleh membran
semipermiabel, bila larutan “B” mengandung lebih banyak jumlah
partikel dibanding “A” maka konsentrasi air dilarutan “B” lebih
kecil dibanding konsentrasi larutan “A”. Dengan demikian air akan
berpindah dari “A” ke “B” melalui membran dan sekaligus akan
membawa zat -zat terlarut didalamnya yang berukuran kecil dan
permiabel terhadap membran, akhirnya konsentrasi zat terlarut pada
kedua bagian menjadi sama.
3. Proses Osmosis
Proses ini merupakan proses berpindahnya air karena tenaga kimia, yaitu
perbedaan osmolaritas darah dan dialisat (Lumenta), di mana terjadi
perpindahan cairan dari larutan dengan osmolaritas rendah ke osmolaritas
yang lebih tinggi. (Morton, Fontaine, Hudak&Gallo, 2012; Price&Wilson,
2013; Smeltzer&Bare, 2002).
PATHWAY HEMODIALISA

PRE HD CKD

Penurunan Fungsi
Ginjal

GFR

Perubahan laju ekskresi Kurang pajanan


Ekskresi urin
nefron Ekskresi kalium informasi HD

BUN
Fleksibilitas nefron hilang PK Hiperkalemia
Pasien Cemas
Defisiensi
pengetahuan
Uremia
Produksi urin
Ansiet
Pada Kulit Pada Gastrointestinal as
pH
Anuria

Mual
Pruritus Asupan Nutrisi Kurang Adekuat
PK Asidosis
Kelebihan Volume Cairan Anoreksia Metabolik

Resiko Kerusakan
Integritas Kulit Ketidakseimbangan nutrisi
kurang dari kebutuhan
INTRA HD

HEMODIALISIS

Prosedur Invasif Pemberian Heparin Kecepatan pengeluaran darah


berlebih tinggi dalam jumlah banyak

Pajanan terhadap Nyeri pada tempat Gangguan koagulasi darah Penurunan darah di vaskuler
pathogen penusukan
Hipotensi
Perdarahan
Resiko Infeksi Nyeri Akut
Gangguan regulasi suhu
Resiko
tubuh
Resiko Perdarahan Ketidakseimban
gan Cairan dan
Elektrolit
Pergeseran termostat di
hipotalamus

Resiko syok
Pasien menggigil

Hipotermi
POST HD

Post Hemodialisa

Kurang pajanan terhadap Post invasif Penurunan volume darah


info post HD intravaskuler

Peningkatan aliran aliran


darah karena lumen Penurunan sirkulasi ke
Kurang Pengetahuan pembuluh darah besar di cerebral
avsun

Resiko Perdarahan
Hipoksia serebral

Gangguan Keseimbangan
Elektrolit Merangsang pusat mual di
hipotalamus

Keletihan
Nausea
E. Komplikasi Hemodialisis
Hemodialisis merupakan tindakan untuk menggantikan sebagian dari fungsi
ginjal. Tindakan ini rutin dilakukan pada penderita penyakit ginjal kronik
(PGK) stadium V atau gagal ginjal kronik (GGK). Walaupun tindakan HD saat
ini mengalami perkembangan yang cukup pesat, namun masih banyak
penderita yang mengalami masalah medis saat menjalani HD. Komplikasi yang
sering terjadi pada penderita yang menjalani HD adalah gangguan
hemodinamik. Tekanan darah umumnya menurun dengan dilakukannya UF
atau penarikan cairan saat HD. Hipotensi intradialitik terjadi pada 5-40%
penderita yang menjalani HD reguler. Namun sekitar 5-15% dari pasien HD
tekanan darahnya justru meningkat. Kondisi ini disebut hipertensi intradialitik
atau intradialytic hypertension (HID) (Agarwal dan Light, 2010).
Komplikasi HD dapat dibedakan menjadi komplikasi akut dan komplikasi
kronik (Daurgirdas et al., 2007).
1. Komplikasi akut
Komplikasi akut adalah komplikasi yang terjadi selama hemodialisis
berlangsung. Komplikasi yang sering terjadi adalah: hipotensi, kram otot,
mual muntah, sakit kepala, sakit dada, sakit punggung, gatal, demam, dan
menggigil (Daurgirdas et al., 2007; Bieber dan Himmelfarb, 2013).
Komplikasi yang cukup sering terjadi adalah gangguan hemodinamik, baik
hipotensi maupun hipertensi saat HD atau HID. Komplikasi yang jarang
terjadi adalah sindrom disekuilibrium, reaksi dialiser, aritmia, tamponade
jantung, perdarahan intrakranial, kejang, hemolisis, emboli udara,
neutropenia, aktivasi komplemen, hipoksemia (Daurgirdas et al., 2007).
2. Komplikasi kronik
Adalah komplikasi yang terjadi pada pasien dengan hemodialisis kronik.
Komplikasi kronik yang sering terjadi dapat dilihat pada Tabel 2.4 di
bawah ini. (Bieber dan Himmelfarb, 2013).
Tabel Komplikasi Akut Hemodialisis (Bieber dan Himmelfarb, 2013)
Komplikasi Penyebab
Hipotensi Penarikan cairan yang berlebihan, terapi
antihipertensi,
infark jantung, tamponade, reaksi
anafilaksis
Hipertensi Kelebihan natrium dan air, ultrafiltrasi yang
tidak adekuat
Reaksi Alergi Reaksi alergi, dialiser, tabung, heparin, besi,
lateks
Aritmia Gangguan elektrolit, perpindahan cairan
yang terlalu
cepat, obat antiaritmia yang terdialisis
Kram Otot Ultrafiltrasi terlalu cepat, gangguan
elektrolit
Emboli Udara Udara memasuki sirkuit darah
Dialysis Perpindahan osmosis antara intrasel dan
disequilibirium ekstrasel menyebabkan sel menjadi
bengkak, edema serebral. Penurunan
konsentrasi urea plasma yang terlalu cepat
Masalah pada dialisat
/ kualitas air
Chlorine Hemolisis oleh karena menurunnya kolom
charcoal
Kontaminasi Fluoride Gatal, gangguan gastrointestinal, sinkop,
tetanus, gejala neurologi, aritmia
Kontaminasi bakteri / Demam, mengigil, hipotensi oleh karena
endotoksin kontaminasi dari
dialisat maupun sirkuti air
Komplikasi kronik hemodialisis (Bieber dan Himmelfarb, 2013)
Penyakit jantung
Malnutrisi
Hipertensi / volume excess
Anemia
Anemia
Renal osteodystrophy
Neurophaty
Disfungsi reproduksi
Komplikasi pada akses
Gangguan perdarahan
Infeksi
Amiloidosis
Acquired cystic kidney disease

F. Asuhan Keperawatan Pre, Intra dan Post Hemodialisa


1. Pengkajian Pre Hemodialisa
a. Identitas Klien
Meliputi nama lengkap, tempat tanggal lahir, umur, alamat, asal suku
bangsa, pekerjaan, status.
b. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan utama
Keluhan penyebab pasien masuk untuk hemodialisis
2) Riwayat kesehatan saat ini
Perawat menanyakan riwayat kesehatan yang mungkin di derita
pasien saat ini sebelum melakukan hemodialis (pre hemodialisa)
3) Riwayat penyakit dahulu
Perawat menanyakan penyakit dahulu yang diderita klien (seperti
DM, penyakit Ginjal)
4) Riwayat penyakit keluarga
Perawat menanyakan riwayat penyakit yang pernah diderita
keluarga sebelumnya (seperti DM, Ginjal, Hipertensi dll)
c. Tidak lupa juga menyertakan inform consent (lembaran persetujuan
kepada pasien)
2. Pola Fungsional Gordon
a) Pola Manajemen Kesehatan Dan Persepsi Kesehatan
- Arti sehat dan sakit bagi pasien
- Pengetahuan status kesehatan pasien saat ini
- Pemeriksaan diri sendiri : riwayat medis keluarga,
pengobatan yang sudah dilakukan.
- Perilaku untuk mengatasi masalah kesehatan
- Data pemeriksaan fisik yang berkaitan.
b) Pola Metabolik – Nutrisi
- Biasanya terjadi oedema
- Kebiasaan jumlah makanan dan kudapan
- Jenis dan jumlah (makanan dan minuman)
- Pola makan 3 hari terakhir atau 24 jam terakhir, porsi yang
dihabiskan, nafsu makan
- Faktor pencernaan : nafsu makan, ketidaknyamanan, rasa
dan bau, gigi, mukosa mulut, mual atau muntah,
pembatasan makanan, alergi makanan
- Data pemeriksaan fisik yng berkaitan (berat badan saat ini
dan SMRS)
c) Pola Eliminasi
- Kebiasaan pola buang air kecil : frekuensi, jumlah (cc),
warna, bau, nyeri, mokturia, kemampuan mengontrol BAK,
adanya perubahan lain
- Kebiasaan pola buang air besar : frekuensi, jumlah (cc),
warna, bau, nyeri, mokturia, kemampuan mengontrol BAB,
adanya perubahan lain
- Kemampuan perawatan diri : ke kamar mandi, kebersihan
diri
- Penggunaan bantuan untuk ekskresi
- Data pemeriksaan fisik yang berhubungan (abdomen,
genitalia, rektum, prostat)
d) Pola Aktivitas – Latihan
- Biasanya pasien mengalami sesak
- Peningkatan tekanan darah dan nadi
- Aktivitas kehidupan sehari-hari
- Olahraga : tipe, frekuensi, durasi dan intensitas
- Aktivitas menyenangkan
- Keyakinan tenatng latihan dan olahraga
- Kemampuan untuk merawat diri sendiri (berpakaian,
mandi, makan, kamar mandi)
- Mandiri, bergantung, atau perlu bantuan
- Penggunaan alat bantu (kruk, kaki tiga)
- Data pemeriksaan fisik (pernapasan, kardiovaskular,
muskuloskeletal, neurologi
e) Pola Istirahat – Tidur
- Kebiasaan tidur sehari-hari (jumlah waktu tidur, jam tidur
dan bangun, ritual menjelang tidur, lingkungan tidur,
tingkat kesegaran setelah tidur)
- Penggunaan alat mempermudah tidur (obat-obatan, musik)
- Jadwal istirahat dan relaksasi
- Gejala gangguan pola tidur
- Faktor yang berhubungan (nyeri, suhu, proses penuaan dll)
- Data pemeriksaan fisik (lesu, kantung mata, keadaan
umum, mengantuk)
f) Pola Persepsi – Kognitif
- Gambaran tentang indra khusus (pnglihatan, penciuman,
pendengar, perasa, peraba)
- Penggunaan alat bantu indra
- Persepsi ketidaknyamanan nyeri (pengkajian nyeri secara
komprehensif)
- Keyakinan budaya terhadap nyeri
- Tingkat pengetahuan klien terhadap nyeri dan pengetahuan
untuk mengontrol dan mengatasi nyeri
- Data pemeriksaan fisik yang berhubungan (neurologis,
ketidaknyamanan)
g) Pola Konsep Diri – Persepsi Diri
- Kecemasan
- Pucat dan gelisah
- Keadaan sosial : pekerjaan, situasi keluarga, kelompok
sosial
- Identitas personal : penjelasan tentang diri sendiri, kekuatan
dan kelemahan yang dimiliki
- Keadaan fisik, segala sesuatu yang berkaiyan dengan tubuh
(yg disukai dan tidak)
- Harga diri : perasaan mengenai diri sendiri
- Ancaman terhadap konsep diri (sakit, perubahan peran)
- Riwayat berhubungan dengan masalah fisik dan atau
psikologi
- Data pemeriksaan fisik yang berkaitan (mengurung diri,
murung, gidak mau berinteraksi)
h) Pola Hubungan Peran
- Gambaran tentang peran berkaitam dengan keluarga,
teman, kerja
- Kepuasan/ketidakpuasaan menjalankan peran
- Efek terhadap status kesehatan
- Pentingnya keluarga
- Struktur dan dukungan keluarga
- Proses pengambilan keputusan keluarga
- Hubungan dengan orang lain
- Orang terdekat dengan klien
- Data pemeriksaan fisik yang berkaitan
i) Pola Reproduksi – Seksualitas
- Masalah atau perhatian seksual
- Menstrusi, jumlah anak, jumlah suami/istri
- Gambaran perilaku seksual (perilaku sesksual yang aman,
pelukan, sentuhan dll)
- Pengetahuan yang berhubungan dengan seksualitas dan
reproduksi
- Efek terhadap kesehatan
- Riwayat yang berhubungan dengan masalah fisik dan atau
psikologi
- Data pemeriksaan fisik yang berkaitan (KU, genetalia,
payudara, rektum)
j) Pola Toleransi Terhadap Stress – Koping
- Sifat pencetus stress yang dirasakan baru-baru ini
- Tingkat stress yang dirasakan
- Gambaran respons umum dan khusus terhadap stress
- Strategi mengatasi stress yang biasa digunakan dan
keefektifannya
- Strategi koping yang biasa digunakan
- Pengetahuan dan penggunaan teknik manajemen stress
- Hubungan antara manajemen stress dengan keluarga
k) Pola Keyakinan – Nilai
- Latar belakang budaya/etnik
- Status ekonomi, perilaku kesehatan yang berkaitan dengan
kelompok budaya/etnik
- Tujuan kehidupan bagi pasien
- Pentingnya agama/spiritualitas
- Dampak masalah kesehatan terhadap spiritualitas
- Keyakinan dalam budaya (mitos, kepercayaan, laragan,
adat) yang dapat mempengaruhi kesehatan

3. Pengkajian Intra Hemodialisa


a. Data subjektif
1) Pasien mengatakan lemas
2) Pasien mengeluh pandangan kabur
b. Data objektif
1) Tampak berkeringat
c. Pola Gordon
l) Pola Metabolik – Nutrisi
- Mual, muntah selama proses dialisis
- Data pemeriksaan fisik yng berkaitan (berat badan saat ini dan
SMRS)
2) Pola Eliminasi
- Status keseimbangan cairan
- Biasanya ada resiko perdarahan
3) Pola Aktivitas – Latihan
- Data pemeriksaan fisik (pernapasan, kardiovaskular,
muskuloskeletal, neurologi) meliputi tekanan darah, pernafasan
serta status kesadaran
4) Pola Persepsi – Kognitif
- Data pemeriksaan fisik yang berhubungan (neurologis,
ketidaknyamanan)
Melihat status ketidaknyamanan nyeri.
3. Pengkajian Post Hemodialisa
a. Data subjektif
1) Pasien mengatakan haus
2) Pasien mengeluh lemah dan pusing
3) Pasien mengeluh badan terasa panas
b. Data objektif
1) Penurunan tekanan darah
2) Peningkatan frekuensi nadi dan pernafasan
3) Turgor menurun
4) Mulut kering

5) Suhu meningkat hingga 38 0 C


6) Penurunan haluan urin
7) Kulit kemerahan di sekitar tempat masuknya jarum arteri
c. Pola Gordon
1) Pola Metabolik – Nutrisi
- Mual, muntah selama proses dialisis
- Data pemeriksaan fisik yng berkaitan (berat badan saat ini dan
SMRS)
2) Pola Eliminasi
- Status keseimbangan cairan cairan
- Terdapat resiko perdarahan
3) Pola Aktivitas – Latihan
- Data pemeriksaan fisik (pernapasan, kardiovaskular,
muskuloskeletal, neurologi) meliputi tekanan darah, pernafasan
serta status kesadaran
4) Pola Persepsi – Kognitif
- Data pemeriksaan fisik yang berhubungan (neurologis,
ketidaknyamanan)
Melihat status ketidaknyamanan nyeri.

4. Diagnosa Keperawatan
a. Pre Hemodialisa
1) Kelebihan Volume Cairan
2) Resiko Kerusakan Integritas Kulit
3) PK Hiperkalemia
4) Defisiensi Pengetahuan
5) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan
6) PK Asidosis Metabolik
7) Ansietas
b. Intra Hemodialisa
1) Resiko Infeksi
2) Nyeri Akut
3) Resiko Perdarahan
4) Hipotermi
5) Risiko Ketidakseimbangan Cairan Elektorit
c. Post Hemodialisa
1) Resiko Perdarahan
2) Nausea
3) Kurang Pengetahuan
5. Intervensi Keperawatan
a. Fluid Management
b. Fluid Monitoring
c. Dialisis Akses Maintenance
d. Hemodialisis Teraphy
e. Infection control
f. Infection Protection
g. Nausea management
h. Nutrision Monitoring
i. Teaching deases proses
j. Vital sign monitoring
k. Acid base management
l. Pain Management

6. Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan yang dilaksanakan disesuaikan dengan intervensi
keperawatan yang telah disusun sebelumnya

7. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawatan mengacu pada tujuan atau outcome yang telah ditentukan
sesuai dengan kriteria hasil yang diharapkan, antara lain :
1. Pola napas pasien efektif
2. Status keseimbangan cairan
3. Tanda-tanda vital stabil
4. Tidak terjadi infeksi pada pasien
2.2 Konsep Dasar Jurnal

A. Definisi
Tekanan darah rendah atau hipotensi (hypotension) adalah suatu keadaan
dimana tekanan darah seseorang turun dibawah angka normal, yaitu mencapai
nilai rendah 90/60 mmHg. Normal tekanan darah seseorang dengan ukuran
tinggi badan, berat badan, tingkat aktifitas normal dan kesehatan secara umum
adalah 120/80 mmHg.
Hipotensi atau tekanan darah rendah adalah suatu keadaan dimana tekanan
darah lebih rendah dari nilai 90/60 mmHg atau tekanan darah cukup rendah,
sehingga menyebabkan gejala-gejala seperti pusing dan pingsan (A.J.
Ramadhan, 2010).
Hipotensi atau tekanan darah rendah terjadi jika terdapat
ketidakseimbangan antara kapasitas vaskuler darah dan volume darah atau jika
jantung terlalu lemah untuk menghasilkan tekanan darah yang dapat
mendorong darah (Sherwood, 2002).

B. Etiologi
Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya penururnan tekanan darah:
1. Dehidrasi.
2. Melemahnya otot jantung yang berakibat volume darah yang dipompa oleh
jantung sedikit sehingga tekanan darah menurun.
3. Terjadinya peradangan pada kantong yang mengelilingi jantung
(pericardium) yang biasa dikenal sebagai pericarditis yang menyebabkan
cairan menumpuk didalam pericardium yang menekan jantung sehingga
membatasi kemampuan jantung untuk mengisi dan memompa darah
keseluruh tubuh.
4. Adanya pembekuan dara dalam pembuluh vena (pulmoryembolism)
dimana bekuan darah ini dapat menghalangi aliran darah kedalam bilik kiri
dari paru-paru dan akibatnya akan mengurangi darah yang kembali ke
jantung untuk dipompa.
5. Denyut jantung yang lambat dapat mengurangi jumlah darah yang dipompa
oleh jantung. Angka detak jantung istirahat untuk seorang dewasa sehat
adalah 60-100 detak/menit.
6. Tegangan kekakuan pembuluh darah. Pembuluh darah yang kaku akan
berefek pada semakin tingginya tekanan darah, begitu juga sebaliknya.
7. Pelebaran pembuluh darah juga mampu menyebabkan turunnya tekanan
darah. Situasi ini biasanya sebagai dampak dari syok septik, pemaparan
oleh panas, diare, obat-obatan vasodilator (nitrat, penghambat kalsium,
penghambat ACE).
8. Efek samping obat seperti alkohol, anxiolytic, beberapa antidepresan,
diuretik, obat-obatan untuk tekanan darah tinggi dan penyakit jantung
koroner, analgesik.
9. Kejutan emosional, misalnya syok yang disebabkan oleh infeksi yang
parah, stroke, anafilaksis (reaksi alergi yang mengancam nyawa dan trauma
hebat.
10. Diabetes tingkat lanjut.

C. Manifestasi Klinis
Tekanan darah rendah terkadang diartikan sebagai tanda tidak cukupnya
darah yang mengalir pada otak dan organ vital lainnya, sehingga dapat
menyebabkan beberapa gejala seperti:
1. Mual
Mual adalah masalah yang di alami pada bagian perut yang jika ingin
menelan atau mengkonsumsi makanan akan terjadi penolakan yang dapat
di muntahkan kembali. Ciri-ciri darah rendahpun akan mengalami rasa
mual.
2. Jantung yang lebih cepat berdetaknya
Jantung yang berdetak lebih cepat, yang tidak ada penyebabnya harus di
cek. Biasanya ciri-ciri darah rendahpun akan mengalami kejadian seperti
ini. Jantung merupakan organ paling penting untuk di jaga.
3. Pusing dan sakit kepala
Gejala darah rendah yang sering terjdi adalah penderita merasa pusing dan
sakit kepala. Cirir-ciri darah rendah ini disebabkan karena darah tidak bisa
membawa oksigen dalam jumlah yang cukup.
Gejala yang umum lainnya seperti:
1. Pening atau badan terasa ringan
2. Pingsan
3. Merasa kedinginan
4. Kulit pucat (pucat karena sakit)
5. Penglihatan kabur
6. Merasa kebingungan
7. Lemah
8. Susah berkonsentrasi

D. Komplikasi
1. Stroke: hipotensi yang menyebabkan berkurangnya aliran darah dan
oksigen yang menuju otak sehingga mengakibatkan kerusakan otak,
sehingga menimbulkan kematian pada jaringan otak karena arteri otak
tersumbat (infark serebral) atau arteri pecah (perdarahan).
2. Anemia: hipotensi pada tekanan darah 90/80 mmHg menyebabkan produksi
sel darah merah yang minimal atau produksi sel darah merah yang rendah
sehingga mengakibatkan anemia.
3. Serangan jantung: hipotensi yang mengakbatkan kurangnya tekanan darah
yang tidak cukup untuk menyerahkan darah ke arteri-arteri koroner (arteri
yang menyuplai darah ke otot jantung) sehingga menyebabkan nyeri dada
yang mengakibatkan serangan jantung.
4. Gangguan ginjal: ketika darah yang tidak cukup dialirkan ke ginjal-ginjal,
ginjal-ginjal akan gagal untuk mengeliminasi pembuangan-pembuangan
dari tubuh yaitu urea dan kreatin dan peningkatan pada tingkat-tingkat hasil
eliminasi di darah terjadi (contohnya: kenaikan dari blood urea nitrogen
atau BUN dan serum keratin.
5. Shock: tekanan darah yang rendah memacu jantung untuk memompa darah
lebih banyak, kondisi tersebut yang mengancam nyawa dimana tekanan
darah yang gigih menyebabkan organ-organ seperti ginjal, hati, jantung,
dan otak untuk secara cepat.

E. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan jika gejala-gejala hipotensi terus
menerus berulang namun sulit untuk mendokumentasikan kelainan-kelainan
dalam pembacaan tekanan darah. Tes mungkin berguna dalam membedakan
hipotensi ortostatik dari gangguan lain yang hadir dengan gejala orthostasis,
seperti sinkop neurocardiogenic dan juga mengevaluasi bagaimana tubuh
bereaksi terhadap perubahan posisi.
Langkah-langkah yang dilakukan saat dilakukan pemeriksaan:
1. Tes ini dilakukan di ruangan yang tenang dengan suhu 200C-240C.
2. Pasien harus beristirahat sementara terlentang selama lima menit sebelum
tes dimulai.
3. Sewaktu tes pasien diikat di atas meja yang rata, kemudian meja secara
berangsur-angsur dimiringkan kesudut 70° atau 80°, pembacaan tekanan
darah dan denyut jantung terus menerus diambil.
4. Pasien dibiarkan diatas meja selama lebih dari 10 menit untuk mencari
perubahan-perubahan orthostatic tachycardia syndrome.
Tes ini dianggap positif jika tekanan darah sistolik turun 20 mmHg bawah
dasar atau jika tekanan darah diastolic turun 10 mmHg bawah baseline. Jika
gejala terjadi selama pengujian, pasien harus dikembalikan ke posisi terlentang
segera.
F. Penatalaksanaan
Pada umumnya hipotensi bukanlah suatu penyakit, tetapi suatu keadaan
yang berhubungan dengan tekanan darah, dimana terjadi penurunan dari
keadaan/nilai normal yang biasanya dari penderita. Dimana keadaan ini dapat
menimbulkan suatu tanda dan gejala yang dapat mengganggu aktivitas maupun
kesadaran penderita. Maka yang dapat dilakukan adalah:
1. Mengurangi atau menghilangkan gejalanya, yaitu:
a) Jika keluhan dirasakan klien saat keadaan diare terjadi, maka klien
dianjurkan untuk pemulihan kepada kebutuhan cairannya yang
mempegaruhi atau mengurangi volume darah mengakibatkan
menurunnya tekanan darah.
b) Kecelakaan/luka yang menyebabkan pendarahan akan mengakibatkan
kurangnya volume daah dan menurunkan aliran darah, untuk itu yang
dibutuhkan oleh penderita adalah transfusi darah sesuai kebutuhannya.
c) Adanya kelainan jantung bawaan seperti kelainan katup, maka penderita
harus menjalani operasi jantung sesuai indikasi dokter, ataupun
menjalani pengobatan yang intensif untuk tidak memperburuk keadaan
penderitanya.
2. Pada penderita hipotensi dianjurkan untuk rajin berolahraga ringan, misal
jogging, untuk melatih kerja jantung secara teratur, dan melancarkan aliran
darah keseluruh tubuh.
3. Klien yang sedang mengalami hipotensi, diharuskan banyak beristirahat
dan membatasi aktivitas fisiknya selama keadaan ini.
4. Penderita dengan hipotensi harus membiasakan diri untuk mempunyai pola
makan yang teratur dan mempunyai makanan pelengkap seperti susu untuk
meningkatkan stamina, karena pada umumnya pelengkap hipotensi cukup
lemah dan mudah lelah.
5. Jika diperlikan misalnya klien dengan anemia maka penderita harus
mengkonsumsi makanan yang banyak mengandung zat besi atau suplemen
zat besi untuk meniiingkatkan sel-sel darah merah yang meambah volume
darah sehingga dapat meningkatkan tekanan darah penderita.

G. Patofisiologi
Tekanan pada perubahan posisi tubuh misalnya dari tidur ke berdiri maka
tekanan darah bagian atas tubuh akan menurun karena pengaruh gravitasi. Pada
orang dewasa normal, tekanan darah arteri rata-rata pada kaki adalah 180-200
mmHg. Tekanan darah arteri setinggi kepala adalah 60-75 mmHg dan tekanan
venanya 0. Pada dasarnya, darah akan mengumpul pada pembuluh kapasitas
vena ekstermitas inferior 650 hingga 750 ml darah akan terlokalisir pada satu
tempat. Pengisian atrium kanan jantung akan berkurang dengan sendirinya
curah jantung juga berkurang sehingga pada posisi berdiri akan terjadi
penurunan sementara tekanan darah sistolik hingga 25 mmHg, sedang tekanan
diastolik tidak berubah atau meningkat ringan hingga 10 mmHg (Andhini
Alfiani Putri F, 2012).
Penurunan curah jantung akibat pengumpulan darah pada anggota tubuh
bagian bawah akan cenderung mengurangi darah ke otak. Tekanan arteri kepala
akan turun mencapai 20-30 mmHg. Penurunan tekanan ini akan diikuti
kenaikan tekanan persial CO2 (pCO2) dan penurunan tekanan persial O2
(pCO2) serta pH jaringan otak (Andhini Alfiani Putri F, 2012).
Secara reflektoris, hal ini akan merangsang baroreseptor yang terdapat
didalam dinding dan hampir setiap arteri besar didaerah dada dan leher, namun
dalam jumlah banyak didapatkan dalam dinding arteri karotis interna sedkit di
atas bifurcation carotis, daerah yang dikenal sebagai sinus karotikus dan
dinding arkus aorta. Respon yang ditimbulkan baroreseptor berupa peningkatan
tahanan pembuluh darah perifer, peningkatan tekanan jaringan pada otot kaki
dan abdomen, peningkatan frekuensi respirasi, kenaikan frekuensi denyut
jantung serta sekresi zat-zat vasoaktif. Sekresi zat vasoaktif berupa
katekolamin, pengaktifan sistem Renin-Angiotensin Aldosteron, pelepasan
ADH dan neurohipofisis. Kegagalan fungus reflex autonomy inilah yang
menjadi penyebab timbulnya hipotensi ortostatik, selain efek faktor penurunan
curah jantung akibat berbagai sebab dan kontraksi volume intravascular baik
yang relative maupun absolut. Tingginya kasus hipotensi ortostatik pada usia
lanjut berkaitan dengan: (Andhini Alfiani Putri F, 2012).
H. Fokus Pengkajian
1. Aktivitas dan Istirahat
Gejala: merasa lemah, lelah, kaku, hilang keseimbangan, perubahan
kesadaran, letarghi, hemiparesis, quadreplagia, ataksia, cara berjalan tak
tegap, masalah dalam keseimbangan, cedera (trauma) ortopedi, kehilangan
tonus otot.
2. Sirkulasi
Gejala: perubahan tekanan darah (hipertensi), perubahan frekuensi jantung
(bradikardi, takikardi yang diselingi dengan bradikardi dan distritmia).
3. Integritas Ego
Gejala: perubahan tingkah laku/kepribadian (demam).
Tanda: cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung, dan depresi.
4. Eliminasi
Gejala: inkontinensia kandung kemih.
5. Makanan/cairan
Gejala: mual, muntah dan mengalami penurunan selera makan.
Tanda: muntah (mungkin proyektif), gangguan menelan (batuk dan
disfagia).
6. Neurosensorik
Gejala: kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo,
sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran, rasa baal dan ekstermitas.
Perubahan dalam penglihatan seperti ketajamannya, displopia, kehilangan
sebagian lapang pandang, fotofotobia, gangguan pengecapan dan
penciuman.
Tanda: perubahan kesadaran bisa sampai koma, perubahan status mental
(orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan masalah,
pengaruh emosi tingkah laku dan emosi). Perubahan pupil (respon terhadap
cahaya) deviasi pada mata, ketidakmampuan mengikuti cahaya, kehilangan
pengindraan seperti: pengecapan, penciuaman dan pendengaran, wajah
tidak simetris, lemah dan tidak seimbang. Reflek tendon dalam tidak
ada/lemah hemiparesis, kejang, sangat sensitive terhadap sentuhan dan
gerakan, kehilangan sensasi sebagian tubuh.

7. Nyeri/kenyamanan
Gejala: sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda dan biasanya
lama.
Tanda: wajah menyeringai, respon menarik ada rangsangan nyeri yang
hebat, gelisah, tidak bisa beristirahat dan merintih.
8. Pernafasan
Tanda: perubahan pola nafas (apneu yang diselingi oleh hiperventilasi),
nafas berbunyi, stridor, tersedak, ronchi, menghi positif (kemungkinan
karena aspirasi).
9. Keamanan
Gejala: trauma karena kecelakaan.
Tanda: fraktur/dislokasi dan gangguan penglihan gangguan rentang gerak,
kekuatan secara umum mengalami paralisis.
10. Interaksi sosial
Tanda: bicara tanpa arti, disorientasi, amnesia/lupa sesaat.

I. Diagnosa Keperawatan
1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskular,
kerusakan persepsi dan obstruksi trakeobronkial ditandai dengan paralisis
otot pernafasan.
2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
peningkatan asam lambung, mual, muntah dan anoreksia ditandai dengan
penurunan BB, penurunan masa otot, tonus otot buruk.
3. Gangguan rasa aman nyeri berhubungan dengan penekanan vascular
serebral dan edema otak ditandai dengan tangangan maskuler, wajah
menahan nyeri dan perubahan TTV.
4. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri kepala ditandai
dengan ketidakmampuan bergerak, kerusakan koordinasi, keterbatasan
rentang gerak.

J. Fokus Intervensi
1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskular,
kerusakan persepsi dan obstruksi trakeobronkial ditandai dengan paralisis
otot pernafasan.
Intervensi:
a) Pantau frekuensi pernafasan, irama dan kedalaman pernafasan
b) Posisikan sesuai aturan (semifowler, fowler), posisi miring sesuai
indikasi
c) Lakukan penghisapan dengan ekstra hati-hati, jangn lebih dari 10-15
detik
d) Auskultasi bunyi nafas, perhatikan adanya suara tambahan yang tidak
normal
e) Kolaborasi pemberian oksigen. Menentukan kecukupan pernfasan
2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
peningkatan asam lambung, mual, muntah dan anoreksia ditandai dengan
penurunan BB, penurunan masa otot, tonus otot buruk.
Intervensi:
a) Kaji kemampuan klien untuk mengunyah, menelan dan batuk
b) Auskultasi bising usus
c) Jaga keamanan saat memberikan makan pada pasien lewat NGT
d) Tingkatkan kenyamanan. Lingkungan yang nyaman dapat
meningkatkan nafsu
e) Kolaborasi pemberian makan lewat NGT
3. Gangguan rasa aman nyeri berhubungan dengan penekanan vascular
serebral dan edema otak ditandai dengan tangangan maskuler, wajah
menahan nyeri dan perubahan TTV.
Intervensi:
a) Kaji karakteristik nyeri (P, Q, R, S, T). Untuk mengetahui cara
mengatasinya
b) Berikan posisi senyaman mungkin. Menurunkan tingkat nyeri
c) Pertahankan tirah baring
d) Kurangi stimulus yang dapat merangsang nyeri
e) Kolaborasi pemberian obat analgesik. Untuk menurunkan nyeri.
4. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri kepala ditandai
dengan ketidakmampuan bergerak, kerusakan koordinasi, keterbatasan
rentang gerak.
Intervensi:
a) Kaji derajat imobilisasi pasien dengan menggunakan skala
ketergantungan
b) Ubah posisi pasien secara teratur dan buat sedikit perubahan posisi
c) Bantu pasien untuk melakukan latian rentang gerak
d) Sokong kepala dan badan, tangan dan lengan, kaki dan paha ketika
berada pada kursi roda. Mempertahankan kenyamanan, kemanan dan
postur tubuh.
2.3 Posisi Trendelenburg

Posisi Trendelenburg pada awalnya dijelaskan oleh Freidrich Trendelenburg sebagai


metode untuk meningkatkan curah jantung pada pasien dengan syok Hipovolemik
(Nicolas, 2008).

Tujuan mengatur atau merubah posisi trendelemburg pasien diatas tempat tidur yaitu
untuk memperlancar peredaran darah ke otak. Adapun penjelasan mengenai pemberian
posisi trendelemburg pada pasien yaitu :

posisi trendelemburg

Pada posisi ini pasien berbaring ditempat tidur dengan bagian kepala lebih rendah
daripada bagian kaki. Posisi ini dilakukan untuk melancarkan peredaran darah ke otak.

Indikasi :

1. Pasien dengan pembedahan pada daerah perut


2. Pasien shock
3. Pasien hipotensi

Tujuan :

1. Posisi dilakukan untuk memperlancar peredaran darah ke otak


2. Pasien dengan pembedahan pada daerah perut

Anda mungkin juga menyukai