Anda di halaman 1dari 27

TUGAS PERPAJAKAN

RANGKUMAN PPN

I Nyoman Wiraputra (1632122228)

Fakultas Ekonomi

Universitas Warmadewa

2018
Pengertian PPN (Pajak Pertambahan Nilai)

Pajak yang dikenakan terhadap pertambahan nilai (value added) yang timbul akibat dipakainya
faktor-faktor produksi disetiap jalur perusahaan dalam menyiapkan , menghasilkan, menyalurkan
dan memperdagangkan barang atau pemberian pelayanan jasa kepada konsumen.

Keuntungan Sistem Pajak Pertambahan Nilai

Dibandingkan dengan sistem pajak peredaran maupun pajak penjualan yang bersifat kumulatif,
sistem PPN tentunya memiliki keuntungan-keuntungan yang dapat disebutkan sebagai berikut :

1. Tidak ada unsur pajak berganda

Dalam sistem PPN tidak ada unsur pajak berganda karena kredit pajak sepenuhnya diberikan
tidak hanya terhadap pajak yang telah dipungut atas bahan mentah atau barang setengah jadi,
tetapi juga terhadap pajak yang telah dibayar atas perolehan barang-barang modal.

1. Netral dalam persaingan dalam negeri

Jumlah pajak yang dibayar akan sama besar dengan adanya proses pembuatan barang yang
dilakukan oleh satu perusahaan atau oleh beberapa perusahaan yang berbeda-beda dalam suatu
jalur produksi. Hal ini tentunya akan menjamin sifat netral pemungutan pajak dalam negeri,
karena perusahaan kecil dan menengah dapat bersaing dalam kondisi yang sama dengan
perusahaan – perusahaan besar yang mempunyai sifat produksi terpadu secara vertikal.

1. Netral dalam perdagangan internasional

Perdagangan internasional sangat penting karena :

– Dalam hal ekspor : diberikan pengembalian beban pajak yang melekat pada waktu
perolehan harga barang yang diekspor.

– Dalam hal impor : jumlah pajak yang dipungut sama dengan jumlah pajak yang
dikenakan atas barang yang diproduksi di dalam negeri pada tingkat harga yang sama, karena itu
menciptakan persaingan yang sehat untuk keuntungan konsumen.
1. Netral bagi pola konsumsi

Dalam sistem PPN yang mempunyai satu tarif untuk seluruh barang konsumsi (kecuali bahan
makanan yang belum diolah yang dibebaskan dari pengenaan pajak) tidak akan memberikan
pengaruh kepada pola konsumsi atas pembelanjaan barang hasil proses produksi.

1. Menghindarkan penyelundupan pajak

PPN denga tarif tunggal 10% bagi pengusaha tentu sangat mudah melaksanakannya dan bagi
Direktorat Jenderal Pajak juga mempermudah dalam hal pengawasan dan pemeriksaan apalagi
setelah dipergunakannya komputer di lingkungan Ditjen Pajak, bahkan dengan cara uji silang (
cross check) akan mudah melacak setiap bentum penyelundupan pajak dan lebih siap dan cepat
mengambil tindakan terhadap para penyelundup pajak.

Karakteristik PPN

Dari uraian butir 1 dan 2 yang telah dikemukakan diatas, dapat diketahui adanya beberapa
karakteristik PPN yang berlaku di Indonesia yaitu :

1. Pajak merupakan pajak tidak langsung

Karakter ini membawa konsekuensi yuridis antara pemikul beban pajak (destinataris pajak)
dengan penanggung jawab pajak atas pembayaran pajak ke kas negara yang berada pada pihak
yang berbeda. Secara ekonomi beban pajaknya dialihkan ke pihak lain, yaitu pihak yang akan
mengonsumsi barang atau jasa yang menjadi objek pajak.

1. PPN merupakan pajak objektif

Yang dimaksud dengan pajak objektif adalah suatu jenis pajak yang saat timbulnya kewajiban
pajak ditentukan oleh faktor objektif yang dinamakan tatbestand, yaitu suatu keadaan , peristiwa
atau perbuatan hukum yang dapat dikenakan pajak, yang lebih lazim disebut dengan objek pajak.

1. PPN merupakan multi stage tax


Karakteristik ini berarti bahwa yang dikenakan PPN ialah setiap mata rantai jalur produksi
maupun jalur distribusi. Tiap penyerahan barang yang menjadi objek PPN dari tingkat pabrikan
sampai pedagang besar dan pedagang eceran dikenakan PPN.

1. Pemungutan menggunakan faktur pajak

Berdasarkan faktur pajak ini, akan dihitung jumlah pajak yang terutang dalam sutu masa pajak
yang wajib disetor ke kas negara. Sedangkan pihak pembeli atau penerima jasa atau importir,
faktur pajak yang diterima merupakan bukt pembayaran pajak.

1. PPN merupakan pajak atas konsumsi di dalam negeri.

Setiap orang yang akan melakukan pengeluaran untuk konsumsi di dalam negeri, akan dikenakan
PPN, karena tujuan akhir PPN adalah penyerahan pajak atas konsumsi di dalam negeri ( tax on
consumption expenditure )

Objek Pajak PPN

Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas :

a. penyerahan Barang Kena Pajak di dalamDaerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha. (UU
No 11 Tahun 1994)
b. impor Barang Kena Pajak. (UU No 11Tahun 1994)
c. penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabeanyang dilakukan oleh Pengusaha. (UU No
18 Tahun 2000)
d. pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujuddari luar Daerah Pabean di dalam Daerah
Pabean. (UU No 11 Tahun 1994)
e. pemanfaatan Jasa Kena Pajak dariluar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; atau (UU No
11 Tahun 1994)
f. ekspor Barang Kena Pajak oleh PengusahaKena Pajak. (UU No 18 Tahun 2000)

Empat prinsip objek terkena PPN atau tidak terkena PPN yaitu :
1. Yang diserahkan adalah barang kena pajak / jasa kena pajak
2. Tindakan penyerahannya merupakan penyerahan kena pajak
3. Penyerahan di lakukan di daerah Pabean
4. Penyerahan dilakukan oleh pengusaha kena pajak ( penyerahannya dilakukan dalam
lingkungan perusahaan atau perusahaan sehari-hari pengusaha yang bersangkutan )

Objek PPnBM

PPnBM terutang hanya pada dua peristiwa yaitu pada saat impor BKP yang tergolong mewah
dan pada saat penyerahan BKP tergolong mewah oleh Pabrikan.

BKP yang tergolong mewah berarti :

a. barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok; atau

b. barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu; atau

c. pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat yang berpenghasilan tinggi;
atau

d. barang tersebut dikonsumsi untuk menunjukkan status; atau

e. apabila dikonsumsi dapat merusak kesehatan dan moral masyarakat serta mengganggu
ketertiban masyarakat seperti minuman beralkohol.

Prinsip PPnBM

v Pemungutannya hanya satu kali saja yaitu pada waktu impor BKP yang tergolong mewah dan
pada saat penyerahan BKP tergolong mewah oleh Pabrikan.

v Tidak mengenal istilah Pajak Masukan, karena itu PPnBM yang telah dibayar tidak dapat
dikreditkan dengan PPnBM yang terutang.
v PPnBM dapat ditambahkan ke dalam harga BKP yang bersangkutan (HPP) atau dibebankan
sebagai biaya sesuai dengan ketentuan UU PPh, artinya dapat dibebankan atau disusutkan
langsung.

Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah
Pabean di Daerah Pabean

Sesuai UU PPN Pajak Pertambahan Nilai dikenakan juga terhadap pemanfaatan BKP tidak
berwujud dan / atau JKP dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean.

Yang dimaksud dengan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean yang
dimanfaatkan di dalam Daerah Pabean adalah:

 Barang Kena Pajak Tidak Berwujud tersebut dimiliki oleh orang pribadi atau badan yang
bertempat tinggal atau berkedudukan di luar Daerah Pabean.
 kegiatan pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud yang berasal dari luar Daerah
Pabean tersebut dilakukan di dalam Daerah Pabean.
 Barang Kena Pajak Tidak Berwujud yang berasal dari luar Daerah Pabean tersebut
dimanfaatkan oleh siapa pun di dalam Daerah Pabean.

Sedangkan, yang dimaksud dengan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang dimanfaatkan
di dalam Daerah Pabean adalah:

 Jasa Kena Pajak tersebut diserahkan oleh orang pribadi atau badan yang bertempat
tinggal atau berkedudukan di luar Daerah.
 Pemberian Jasa Kena Pajak dapat dilakukan di dalam dan/atau di luar Daerah Pabean
sepanjang kegiatan pemberian Jasa Kena Pajak tersebut tidak menyebabkan orang pribadi
atau badan yang bertempat tinggal atau berkedudukan di luar Daerah Pabean menjadi
Subjek Pajak dalam negeri. Apabila menyebabkan orang pribadi atau badan yang
bertempat tinggal atau berkedudukan di luar Daerah Pabean menjadi Subjek Pajak dalam
negeri, maka pemberian Jasa Kena Pajak tersebut termasuk penyerahan Jasa Kena Pajak
di dalam Daerah Pabean.
 Kegiatan pemanfaatan Jasa Kena Pajak yang berasal dari luar Daerah Pabean tersebut
dilakukan di dalam Daerah Pabean.
 Jasa Kena Pajak yang berasal dari luar Daerah Pabean tersebut dimanfaatkan oleh siapa
pun di dalam Daerah Pabean.

Penghitungan PPN yang terutang atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau
Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean adalah;

 10% (sepuluh persen) dikalikan dengan jumlah yang dibayarkan atau seharusnya
dibayarkan kepada pihak yang menyerahkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud
dan/atau Jasa Kena Pajak, jika dalam jumlah yang dibayarkan atau seharusnya
dibayarkan tidak termasuk PPN;
 10/110 (sepuluh per seratus sepuluh) dikalikan dengan jumlah yang dibayarkan atau
seharusnya dibayarkan kepada pihak yang menyerahkan Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak, jika dalam jumlah yang dibayarkan atau seharusnya
dibayarkan sudah termasuk PPN;
 Dalam hal tidak ditemukan adanya kontrak atau perjanjian tertulis untuk jumlah yang
dibayarkan atau seharusnya dibayarkan atau ditemukan adanya kontrak atau perjanjian
tertulis akan tetapi tidak dengan tegas dinyatakan bahwa dalam jumlah kontrak atau
perjanjian sudah termasuk PPN, maka PPN yang terutang dihitung sebesar 10% (sepuluh
persen) dikalikan dengan jumlah yang dibayarkan atau seharusnya dibayarkan kepada
pihak yang menyerahkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak
dari luar Daerah Pabean

Saat terutangnya PPN atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena
Pajak dari luar Daerah Pabean terjadi pada saat dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak
Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean tersebut. Saat dimulainya
pemanfaatan adalah saat yang diketahui terjadi lebih dahulu dari peristiwa-peristiwa di bawah
ini:
 saat Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak tersebut secara nyata
digunakan oleh pihak yang memanfaatkannya;
 saat harga perolehan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak
tersebut dinyatakan sebagai utang oleh pihak yang memanfaatkannya;
 saat harga jual Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau penggantian Jasa Kena
Pajak tersebut ditagih oleh pihak yang menyerahkannya; atau
 saat harga perolehan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak
tersebut dibayar baik sebagian atau seluruhnya oleh pihak yang memanfaatkannya.
 apabila tidak diketahui, maka saat terutangnya PPN adalah tanggal ditandatanganinya
kontrak atau perjanjian atau saat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

Kegiatan Membangun Sendiri

Ada dua pertimbangan mengapa kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam
lingkungan perusahaan atau pekerjaannya dikenakan PPN yaitu :

1. sebagai upaya untuk mencegah terjadinya penghindaran pengenaan PPN


2. untuk memberikan perlakuan yang sama untuk memenuhi rasa keadilan antara pihak
yang membeli bangunan dari pengusaha Real Estate atau yang menyerahkan
pembangunan gedung kepada pemborong dengan pihak yang membangun sendiri.

Suatu kegiatan membangun sendiri akan dikenakan PPN bila memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut :

1. bila dilakukan tidak dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaan oleh orang pribadi atau
badan, yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan oleh pihak lain
2. yang dibangujn adalah bangunan untuk tempat tinggal atau tempat usaha
3. luas bangunan 400 M2 atau lebih
4. bangunan bersifat permanen artinya konstruksi utamanya terdiri dari beton dan/ atau kayu
dan/atau baja dan /atau bahan lain yang umur bangunannya lebih dari25 tahun
5. khusus untuk bangunan di atas dalam lingkungan real estate, hanya yang tanahnya
diperoleh sebelum 1 Januari 1995

Subjek Pajak PPN

Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan usaha
atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan
usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar daerah pabean, melakukan
usaha jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar daerah pabean.

Pengusaha Kena Pajak, sering disebut PKP adalah Pengusaha yang melakukan penyerahan
Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenakan pajak berdasarkan
Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (UU PPN) 1984 dan perubahannya, tidak termasuk
Pengusaha Kecil yang batasannya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan, kecuali
Pengusaha Kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

Pengusaha kecil menurut UU PPN 1994 digolongkan sebagai bukan pengusaha kena pajak.
Konsekuensinya adalah apabila pengusaha kecil tersebut memilih menjadi pengusaha kena
pajak, maka ia mempunyai hak dan kewajiban yang sama seperti pengusaha kena pajak pada
umumnya.

Menurut Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 648/KMK.04/1994 tanggal 29 Desember 1994,


telah ditetapkan batasan yang termasuk dalam kelompok pengusaha kecil yaitu sebagai berikut :

(1) Pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan penyerahan :

Barang Kena Pajak dengan jumlah peredaran bruto tidak lebih dari Rp. 240.000.000,00 (dua
a.
ratus empat puluh juta rupiah); atau
Jasa Kena Pajak dengan jumlah peredaran bruto tidak lebih dari Rp. 120.000.000,00 (seratus
b.
duapuluh juta rupiah).

Dalam hal Pengusaha melakukan penyerahan baik Barang Kena Pajak maupun Jasa Kena
(2)
Pajak, batas peredaran bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah :

Rp. 240.000.000,00 (dua ratus empat puluh juta rupiah jika peredaran Barang Kena Pajak
a.
lebih dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah seluruh peredaran bruto; atau

Rp. 120.000.000,00 (seratus duapuluh juta rupiah) jika peredaran Jasa Kena Pajak lebih dari
b.
50% (lima puluh persen) dari jumlah seluruh peredaran bruto.

Pedagang Besar

Berdasarkan pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1988 ditegasian bahwa yang
dimaksud denga pedagang besar adalah :

1. pengusaha dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang dalam lingkungan perusahaan
atau pekerjaannya melakukan penyerahan Barang Kena Pajak kepada pihak mana pun
kecuali yang semata-mata melakukan penyerahan sebagai pedagang eceran .

yang digolongkan sebagai pedagang eceran adalah apabila pedagang eceran dimaksud :

1. tidak bertindak sebagai penyalur Barang Kena Pajak kepada pengusaha lainnya.
2. Menyerahkan barang kena pajak melalui suatu tempat penjualan eceran seperti toko, kios,
mobil keliling, atau dengan cara penjualan yang dilakukan langsung kepada konsumen
atau dari rumah ke rumah.
3. Menyediakan barang kena pajak yang diserahkan di tempat penjualan secara eceran.
4. Melakukan transaksi jual beli secara spontan tanpa didahului dengan penawaran tertulis,
pemesanan, kontrak atau lelang¸yang pada umumnya bersifat tunai dan pembeli pada
umumnya datang ke tempat penjualan tersebut secara langsung membawa sendiri Barang
Kena Pajak yang dibelinya.

Pedagang Eceran Besar

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor : 75 Tahun 1991, yang dimaksud dengan Pedagang
Eceran Besat adalah Pengusaha yang dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya di bidang
perdagangan memiliki :

1. Jumlah Peredaran bruto atas penyerahan Barang Kena Pajak dan bukan Barang Kena
Pajak dalam satu tahun pajak atu bagian tahun pajak mencapai jumlah Rp. 1 Milyar atau
lebih.
2. Jumlah peredaran bruto atas penyerahan Barang Kena Pajak atau bukan Barang Kena
Pajak dalam tahun 1991 mencapai jumlah Rp 1 Milyar atau lebih.

Hubungan Istimewa

Dalam Undang-Undang PPN tahun 1994 disebutkan bahwa hubungan istimewa dapat terjadi
karena adanya ketergantungan atau keterikatan satu dengan yang lain yang disebabkan oleh
faktor kepemilikan/penyertaan , atau karena adanya penguasaan melalui manajemen atau
penggunaan teknologi.

Dengan demian hubungan istimewa dianggapa apabila :


1. Terdapat hubungan kepemilikan yang berupa penyertaan modal sebesar 25% atau lebih
baik secara langsung ataupun tidak langsung.
2. Satu atau lebih perusahaan berada di bawah penguasaan pengusaha yang sama. Demikian
juga hubungan antara beberapa perusahaan yang berada dalam penguasaan pengusaha
yang sama.
3. Terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus
satu derajat dan/atau ke samping satu derajat.

Saat Pajak Pertambahan Nilai Terutang

Saat terutangnya PPN dapat diketahui dari 3 keadaan atau peristiwa yang terjadi, yaitu :

1. Saat Penyerahan

Pada prinsipnya dalam pemungutan PPN menganut prinsip akrual, artinya terutangnya pajak
terjadi pada saat penyerahan Barang Kena Pajak atau pada saat penyerahan Jasa Kena Pajak atau
pada saat impor Barang Kena Pajak, meskipun atas penyerahan tersebut belum atau belum
sepenuhnya diterima pembayarannya.

1. Saat Pembayaran

Apabila pembayaran dilakukan sebagian-sebagian atau merupakan pembayaran uang muka


sebelum dilakukan penyerahan , maka terutangnya pajak dihitung berdasarkan pembayaran
sebagian atau pembayaran uang muka tersebut.

1. Saat Pemanfaatan
Apabila orang atau badan memanfaatkn barang kena pajak yang tidak berwujud dari luar daerah
pabean di dalam daerah pabean atau memanfaatkan jasa kena pajak dari luar Daerah Pabean di
dalam Daerah Pabean, maka pajak terutang terjadi pada saat orang pribadi atau badan tersebut
mulai memanfaatkan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau Jasa Kena Pajak tersebut di dalam
daerah pabean.

Untuk memudahkan memahami saat terutangnya pajak, berikut ini dikelompokkan saat
terutangnya pajak menurut objek PPN, sebagai berikut :

1. Untuk Barang Kena Pajak berwujud berupa barang bergerak.


1. Saat barang diserahkan secara langsung kepada pembeli
2. Saat barang diserahkan secara langsung kepada pihak ketiga atas nama pembeli
3. Saat barang diserahkan kepada juru kirim atau pengusaha jasa angkutan.

1. Untuk Barang Kena Pajak berwujud berupa barang tidak bergerak.


1. Saat penyerahan hak untuk atau menguasai atau menggunakan Barang Kena Pajak
secara yuridis;
2. Saat penyerahan hak untuk menggunakan atau menguasai Barang Kena Pajak
secara nyata.

1. Untuk Barang Kena Pajak tidak berwujud.


1. Saat harga penyerahan dinyatakan sebagai piutang
2. Saat penagihan
3. Saat pembayarn diterima sebagian atau seluruhnya
4. Saat kontrak ditandatangani

1. Untuk Jasa Kena Pajak.\


1. Jasa pemborong bangunan atau barang tak bergerak lainnya, yaitu saat
penyarahan Jasa Kena Pajak, tahap-tahap ( termin) pembayaran diperlakukan
sebagai pembayaran pendahuluan.
2. Jasa kena pajak lainnya, terutang pada saat

– Tersedianya barang atau fasilitas untuk dipakai baik sebagian maupun seluruhnya ; atau

– Dilakukan penagihan pembayaranatau penggantian; atau

– Pembayaran dalam hal pembayaran diterima sebelum dilakukan penyerahan.

1. Untuk Impor Barang Kena Pajak

Terutang pajak pada saat barang dimasukkan ke dalam daerah pabean Indonesia.

1. Untuk Ekspor Barang Kena Pajak

Terutang pada saat barang dikeluarkan dari daerah pabean

1. Untuk aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan dan persediaan
Barang Kena Pajak yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan.

Tempat Pajak Terutang

Berdasarkan ketentuan pasal 12 Undang-undang PPN 1994 ditetapkan tempat pajak terutang,
yaitu sebagai berikut :

1. Tempat tinggal atau tempat kedudukan; atau


2. Tempat kegiatan usaha dilakukan ; atau
3. Tempat lain yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak;
4. Tempat Barang Kena Pajak dimasukkan, dalam hal impor;
5. Tempat orang pribadi atau badan terdaftar sebagai wajib pajak dalam hal pemanfaatan
Barang Kena Pajak tidak berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di
dalam Daerah Pabean;
6. Satu tempat atau lebih yang ditetapkan Direktur Jenderal Pajak atas permohonan tertulis
dari Pengusaha Kena Pajak

Dasar Pengenaan Pajak PPN

Dasar Pengenaan Pajak (DPP) adalah dasar yang dipakai untuk menghitung pajak yang terutang,
berupa: Jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau Nilai Lain yang
ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.

 Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya
diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak (BKP), tidak termasuk PPN
yang dipungut menurut Undang- Undang PPN dan potongan harga yang dicantumkan
dalam Faktur Pajak.

 Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh pemberi jasa karena penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP), tidak
termasuk PPN yang dipungut menurut UndangUndang PPN dan potongan harga yang
dicantumkan dalam Faktur Pajak.

 Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan Bea Masuk
ditambah pungutan lainnya yang dikenakan pajak berdasarkan ketentuan dalam peraturan
perundang-undangan Pabean untuk Impor BKP, tidak termasuk PPN yang dipungut
menurut Undang-undang PPN.

 Nilai Ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh eksportir.
 Nilai lain adalah suatu jumlah yang ditetapkan sebagai Dasar Pengenaan Pajak dengan
Keputusan Menteri Keuangan.

Nilai lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak

Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor :642/KMK.04/1994 tanggal 29 Desember


1994 jo Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 292/KMK.04/1994 tanggal 18 April 1996, telah
ditetapkan nilai lain sebagai dasar pengenaan pajak untuk beberapa penyerahan Barang Kena
Pajak dan Jasa Kena Pajak, yaitu :

1. untuk pemakaian sendiri BKP dan/atau JKP adalah Harga Jual atau Penggantian setelah
dikurangi laba kotor;
2. untuk pemberian cuma-cuma BKP dan/atau JKP adalah Harga Jual atau Penggantian
setelah dikurangi laba kotor;
3. untuk penyerahan media rekaman suara atau gambar adalah perkiraan harga jual rata-
rata;
4. untuk penyerahan film cerita adalah perkiraan hasil rata-rata per judul film;
5. untuk penyerahan produk hasil tembakau adalah sebesar harga jual eceran;
6. untuk BKP berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, adalah harga
pasar wajar;
7. untuk penyerahan BKP dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan BKP
antar cabang adalah harga pokok penjualan atau harga perolehan;
8. untuk penyerahan BKP melalui pedagang perantara adalah harga yang disepakati antara
pedagang perantara dengan pembeli;
9. untuk penyerahan BKP melalui juru lelang adalah harga lelang;
10. untuk penyerahan jasa pengiriman paket adalah 10% (sepuluh persen) dari jumlah yang
ditagih atau jumlah yang seharusnya ditagih; atau
11. untuk penyerahan jasa biro perjalanan atau jasa biro pariwisata adalah 10% (sepuluh
persen) dari jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih.
Dasar Pengenaan Pajak Khusus
1. DPP Real Estate

Dasar Pengenaan Pajak (DPP) atas penyerahan tanah dan atau bangunan adalah harga jual, yaitu
nilai berupa uang termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual
karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut
menurut Undang-Undang PPN dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.

Sehingga DPP atas tanah matang atau bangunan berikut tanah matangnya yang diserahkan oleh
perusahaan real estate adalah sama dengan harga jual.

2. DPP Penyerahan Jasa Persewaan Ruangan

Sesuai dengan SE-14/PJ.53/2002 mulai tanggal 3 Juni 2003, DPP Penyerahan Jasa Persewaan
Ruangan adalah penggantian, yakni sebesar nilai tagihan service charge yang diminta atau
seharusnya diminta oleh pemberi jasa. Definisi penggantian adalah nilai berupa uang termasuk
semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pemberi jasa karena penyerahan Jasa
Kena Pajak, tidak termasuk pajak yang dipungut menurut Undang-Undang PPN dan potongan
harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.

3. DPP Membangun Sendiri di luar kegiatan usaha atau pekerjaan

Dasar Pengenaan Pajaknya adalah sebesar 40% dari seluruh pengeluaran pada bulan yang
bersangkutan (termasuk PPN). Sehingga PPN yang dibayar sehubungan dengan kegiatan
membangun sendiri dihitung dengan mengalikan 10% x 40% x jumlah seluruh pengeluaran
dalam satu bulan sesuai dengan KMK-554/KMK.04/2000 Jo KMK-320/KMK.03/2002 PMK-
39/KMK.03/2010.

Pengertian Faktur Pajak

Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang
melakukan penyerahan barang kena pajak atau jasa kena pajak atau bukti pungutan pajak karena
impor barang kena pajak yang digunakanoleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Jenis Faktur Pajak

Tiga jenis faktur pajak yang ditentukan oleh UU PPN 1994 , yaitu :

1. Faktur Pajak Standar

Faktur Pajak Standar adalah faktur pajak yang bentuk dan isinya telah ditetapkan oleh
perundang-undangan. Dalam faktur pajak standar harus dicantumkan keterangan tentang
penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak meliputi :

– nama, alamat, NPWP yang menyerahkan BKP atau JKP;

– nama, alamat, dan NPWP pembeli BKP atau penerima JKP;

– jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan harga;

– PPN yang dipungut;

– PPn BM yang dipungut;

– kode, nomor seri dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; dan

– nama dan tandatangan yang berhak menandatangani Faktur Paja

Faktur Pajak Sederhana

Faktur pajak sederhana adalah faktur pajak yang dibuat sebagai bukti pemungutan pajak atas
penyerahan Barang kena pajak atau Jasa Kena Pajak kepada konsumen akhir atau kepada
pembeli/penerima jasa yang tidak menunjukkan identitas dengan lengkap.

Faktur pajak sederhana sekurang-kurangnya harus memuat :

1. Nama, alamat dan NPWP yang menyerahkan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena
Pajak
2. Jenis dan kuantitas Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak
3. Jumlah harga jual atau penggantian yang sudah termasuk PPN atau besarnya PPN
dicantumkan secara terpisah
4. Tanggal pembuatan Faktur Pajak Sederhana

Pengusaha Kena Pajak dapat membuat Faktur Pajak Sederhana, dalam hal PKP melakukan :

1. Penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang dilakukan langsung kepada
konsumen akhir
2. Penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak kepada pembeli dan atau penerima
Jasa Kena Pajak yang diketahui identitasnya secara lengkap

Faktur Pajak Gabungan

Faktur Pajak Gabungan adalah Faktur Pajak Standar yang meliputi semua penyerahan Barang
Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang terjadi selama satu bulan takwim kepada
pembeli yang sama atau penerima Jasa Kena Pajak yang sama.

Faktur Pajak Gabungan yang merupakan Faktur Pajak Standar harus dibuat selambat-lambatnya
pada akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan Barang Kena pajak dan atau Jasa Kena
Pajak

Saat Pembuatan Faktur Pajak

Pengisian Faktur Pajak

Hal yang harus diperhatikan dalam mengisi formulir Faktur pajak Standar :

1. Faktur Pajak harus diisi dengan lengkap, jelas, benar, baik secara formal maupun materiil
dan ditandatangani pejabat perusahaan yang ditunjuk oleh PKP.
2. Tidak diperkenankan terdapat coretan, kecuali yang diperkenankan yaitu dengan tanda
asterisk (*) dan tidak boleh melakukan pembetulan dengan menggunakan cairan
penghapus (misalnya Tip-ex)
3. Kemungkinan jumlah BKP dan atau JKP yang diserahkan tidak dapat tertampung dalam
satu Faktur Pajak, maka dapat dilakukan dengan :

 Memecah-mecahnya menjadi lebih dari satu Faktur Pajak yang masing-masing diisi
dengan lengkap sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
 Dibuat satu Faktur Pajak saja, asalkan menunjukkan nomor dan tanggal faktur pembuatan
yang bersangkutan dan faktur penjualan tersebut merupakan lamopiran Faktur Pajak yang
tidak terpisahkan.

1. Faktur Pajak yang salah dalam pengisiannya segera dibatalkan dan diganti. Faktur Pajak
yang salah sebagai lampiran pada saat Faktur Pajak Pengganti dibubuhi cap Kode Nomor
Seri, dan Tanggal Faktur Pajak yang diganti.
2. Bila Faktur Pajak hilang, maka PKP yang berkepentingan dapat meminta Faktur Pajak
Pengganti kepada KPP Penjual/Pengusaha Jasa dengan tembusan Kepala KPP dalam
wilayah PKP penjual dan pembeli dikukuhkan.

Larangan Membuat Faktur Pajak

Orang Pribadi atau Badan yang tidak dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dilarang
membuat Faktur Pajak.

Sanksi Berkenaan Dengan Faktur Pajak

PKP dikenai sanksi administrasi sebesar 2% dari Dasar Pengenaan Pajak apabila tidak membuat
Faktur Pajak, tidak mengisi Faktur Pajak secara lengkap, dan melaporkan Faktur Pajak tidak
sesuai dengan masa penerbitan Faktur Pajak.

Tarif Pajak Dan Cara Menghitung PPN/PPnBM

1. Tarif PPN adalah 10% (sepuluh persen)


2. Tarif PPn BM adalah serendah-rendahnya 10% (sepuluh persen) dan setinggi-tingginya
50% (lima puluh persen).
Perbedaan kelompok tarif tersebut didasarkan pada pengelompokan Barang Kena Pajak
(BKP) yang tergolong mewah yang atas penyerahan/impor BKP-nya dikenakan PPn BM.
3. Tarif PPN/ PPn BM atas ekspor BKP adalah 0% (nol persen).

Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM)

PPnBM merupakan jenis pajak yang merupakan satu paket dalam Undang-undang Pajak
Pertambahan Nilai. Namun demikian, mekanisme pengenaan PPnBM ini sedikit berbeda dengan
PPN. Berdasarkan Pasal 5 Ayat (1) Undang-undang PPN, Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
dikenakan terhadap :

1. penyerahan Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah yang dilakukan oleh Pengusaha
yang menghasilkan Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah di dalam Daerah Pabean
dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya;
2. impor Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah.

Dengan demikian, PPnBM hanya dikenakan pada saat penyerahan BKP Mewah oleh pabrikan
(pengusaha yang menghasilkan) dan pada saat impor BKP Mewah. PPnBM tidak dikenakan lagi
pada rantai penjualan setelah itu. Adapun fihak yang memungut PPnBM tentu saja pabrikan BKP
Mewah pada saat melakukan penyerahan atau penjualan BKP Mewah. Sementara itu, PPnBM
atas impor BKP mewah dilunasi oleh importir berbarengan dengan pembayaran PPN impor dan
PPh Pasal 22 Impor.

Dasar Pertimbangan Pengenaan PPnBM

1. perlu keseimbangan pembebanan pajak antara konsumen yang berpenghasilan rendah


dengan konsumen yang berpenghasilan tinggi;
2. perlu adanya pengendalian pola konsumsi atas Barang Kena Pajak Yang Tergolong
Mewah;
3. perlu adanya perlindungan terhadap produsen kecil atau tradisional;
4. perlu untuk mengamankan penerimaan negara;

Pengertian BKP Mewah


1. bahwa barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok; atau
2. barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu; atau
3. pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi; atau
4. barang tersebut dikonsumsi untuk menunjukkan status; atau
5. apabila dikonsumsi dapat merusak kesehatan dan moral masyarakat, serta mengganggu
ketertiban masyarakat, seperti minuman beralkohol.

Pengertian Menghasilkan

PPnBM dikenakan pada saat Pengusaha yang menghasilan BKP Mewah menyerahkan kepada
fihak lain. Termasuk dalam pengertian menghasilkan adalah sebagai berikut ;

1. merakit : menggabungkan bagian-bagian lepas dari suatu barang menjadi barang setengah
jadi atau barang jadi, seperti merakit mobil, barang elektronik, perabot rumah tangga, dan
sebagainya;
2. memasak : mengolah barang dengan cara memanaskan baik dicampur bahan lain atau
tidak;
3. mencampur : mempersatukan dua atau lebih unsur (zat) untuk menghasilkan satu atau
lebih barang lain;
4. mengemas : menempatkan suatu barang ke dalam suatu benda yang melindunginya dari
kerusakan dan atau untuk meningkatkan pemasarannya;
5. membotolkan : memasukkan minuman atau benda cair ke dalam botol yang ditutup
menurut cara tertentu;

Tarif, Kelompok dan Jenis BKP Mewah

Berdasarkan Pasal 8 Undang-undang PPN, ditentukan :

1. Tarif Pajak Penjualan Atas Barang Mewah adalah paling rendah 10% (sepuluh persen)
dan paling tinggi 75% (tujuh puluh lima persen).
2. Atas ekspor Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah dikenakan pajak dengan tarif
0% (nol persen).
3. Dengan Peraturan Pemerintah ditetapkan kelompok Barang Kena Pajak Yang Tergolong
Mewah yang dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.
4. Jenis Barang yang dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah atas Barang Kena
Pajak Yang Tergolong Mewah ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.”

Peraturan Pemerintah yang mengatur pengelompokan BKP yang tergolong mewah ini adalah PP
Nomor 145 Tahun 2000 yang kemudian mengalami beberapa perubahan dengan PP Nomor
60Tahun 2001, PP Nomor 7 Tahun 2002, PP Nomor 6 Tahun 2003, PP Nomor 43 Tahun 2003,
PP Nomor 55 Tahun 2004, PP Nomor 41 Tahun 2005 dan PP Nomor 12 Tahun 2006.

Adapun Keputusan Menteri Keuangan yang mengatur jenis barang yang dikenakan PPnBM
adalah Keputusan Menteri Keuangan Nomor 570/KMK.04/2000, 381/KMK.03/2001,
141/KMK.03/2002, 39/KMK.03/2003 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
620/PMK.03/2004.

PPh Pasal 22 Atas Penjualan Barang Sangat


Mewah
Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 membuat suatu tambahan objek pemotongan PPh Pasal
22. Pasal 22 ayat (1) huruf c memberikan wewenang kepada Menteri Keuangan untuk menunjuk
badan tertentu untuk memungut PPh Pasal 22 dari pembeli atas penjualan barang yang tergolong
sangat mewah.
Berdasarkan penjelasan Pasal 22 tersebut dapat diperoleh petunjuk bahwa barang yang tergolong
sangat mewah tersebut bisa dilihat dari barangnya maupun harganya. Contoh barang-barang
yang tergolong sangat mewah ini misalnya kapal pesiar, rumah sangat mewah, apartemen dan
kondominium sangat mewah, serta kendaraan sangat mewah.
Ketentuan lebih lanjut tentang pemungutan PPh Pasal 22 atas penjualan barang sangat mewah ini
diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 253/PMK.03/2008 tentang Wajib Pajak
Tertentu Sebagai Pemungut Pajak Penghasilan Dari Pembeli Atas Penjualan Barang Yang
Tergolong Sangat Mewah. Penjelasan di bawah ini mengacu kepada Peraturan Menteri
Keuangan tersebut.

Pemungut Pajak
Pemungut PPh Pasal 22 atas penjualan barang sangat mewah ini adalah Wajib Pajak Baadan
yang melakukan penjualan barang yang tergolong sangat mewah.

Barang Sangat Mewah


Barang-barang yang tergolong sangat mewah yang transaski penjualannya menjadi objek
pemungutan PPh Pasal 22 ini adalah :

1. Pesawat udara pribadi dengan harga jual lebih dari Rp20.000.000.000,-


2. Kapal pesiar dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp10.000.000.000,-
3. Rumah beserta tanahnya dengan harga jual atau harga pengalihannya lebih dari
Rp10.000.000.000,- dan luas bangunannya lebih dari 500 m2.
4. Apartemen, kondominium dan sejenisnya dengan harga jual atau pengalihannya lebih
dari Rp10.000.000.000,- dan/atau luas bangunannya lebih dari 400 m2.
5. Kendaraan bermotor roda empat pengangkutan orang kurang dari 10 orang berupa sedan,
jeep, SUV, MPV, minibus dan sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp5.000.000.000,-
dan dengan kapasitas silinder lebih dari 3.000 cc.

Tarif dan Sifat Pemungutan


Tarif PPh Pasal 22 yang dikenakan atas penjualan barang yang tergolong sangat mewah ini
adalah 5% dari harga jual, tidak termasuk PPN dan PPnBM. Tarif 100% lebih tinggi dikenakan
jika pembeli tidak memiliki NPWP.
Sifat pengenaan PPh Pasal 22 ini tidak final. Hal ini berarti bahwa si pembeli bisa mengkreditkan
PPh Pasal 22 ini dalam SPT PPh Tahunannya

Dasar Pengenaan PPnBM


Atas penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah, Pengusaha Kena Pajak pabrikan
wajib untuk memungut Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) yang terutang, selain PPN
tentunya. Begitu juga, apabila orang pribadi atau badan melakukan impor Barang Kena Pajak
yang tergolong mewah, maka atas impor tersebut terutang juga PPnBM.

Besarnya PPnBM yang terutang dalam dua kondisi di atas adalah sebesar tarif PPnBM dikalikan
dengan Dasar Pengenaan Pajak (DPP). Berdasarkan Pasal 8 ayat (1) UU PPN 1984, tarif PPnBM
bervariasi tergantung kelompok dan jenis BKP yang tergolong mewah. Tarif terendah adalah
10% dan tertinggi dapat mencapai 200%.

Bagaimana dengan DPP untuk PPnBM? Pada dasarnya DPP untuk pemungutan PPnBM adalah
sama dengan DPP untuk PPN, yaitu Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, dan
Nilai Lain tergantung pada objeknya.[1]

Namun demikian, terdapat beberapa hal yang ditegaskan dalam PP Nomor 1 Tahun 2012 terkait
khusus dengan Dasar Pengenaan Pajak berkaitan dengan PPnBM yang memang disebabkan
karena perbedaan sifat antara PPN dan PPnBM.

1. PKP Pabrikan Yang Menggunakan BKP Mewah Sebagai Input

Apabila PKP Pabrikan yang memproduksi BKP yang tergolong mewah ternyata dalam bahan
baku atau bahan pembantunya menggunakan BKP yang tergolong mewah juga, maka termasuk
dalam Harga Jual adalah PPnBM yang telah dibayar atas bahan baku atau bahan pembantu
(input) yang tergolong BKP mewah tersebut.[2]

Contoh 1:[3]

PT A merupakan produsen mobil. Dalam menghasilkan mobil, PT A juga membeli AC yang


akan dipasang pada mobil yang dihasilkannya. Atas perolehan AC tersebut PT A telah
membayar PPnBM sebesar Rp350.000,00.

Apabila harga produksi mobil sebesar Rp110.000.000,00 dan keuntungan yang diinginkan PT A
sebesar Rp40.000.000,00 maka Harga Jual mobil tersebut sebesar Rp150.350.000,00. Dengan
demikian Dasar Pengenaan Pajak atas mobil tersebut adalah sebesar Rp150.350.000,00. Pajak
yang terutang atas penyerahan BKP yang tergolong mewah tersebut adalah PPN =10% X
Rp150.350.000,00 = Rp15.035.000,00 serta PPnBM= 20% X Rp150.350.000,00 =
Rp30.070.000,00 (misal tarif PPnBM adalah 20%).

1. PKP Pabrikan Menyerahkan BKP Tergolong Mewah

DPP atas penyerahan BKP yang tergolong mewah yang dilakukan oleh PKP pabrikan, atau atas
impor BKP yang tergolong mewah, adalah tidak termasuk PPN dan PPnBM yang dikenakan
atas penyerahan atau atas impor BKP yang tergolong mewah tersebut.[4]

Contoh 2:[5]

PT X yang menghasilkan BKP yang tergolong mewah menjual BKP tersebut kepada PT A
dengan Harga Jual sebesar Rp100.000.000,00. Atas penjualan tersebut dikenai PPN sebesar 10%
dan PPnBM sebesar 20%. Dasar Pengenaan Pajak atas penyerahan BKP yang tergolong mewah
tersebut adalah sebesar Rp100.000.000,00, tidak termasuk PPN (sebesar 10%) dan PPnBM
(sebesar 20%) yang dikenakan atas penyerahan BKP tersebut. Dengan demikian jumlah yang
dibayar oleh PT A adalah sebagai berikut:

DPP = Rp100.000.000,00

PPN = 10% x Rp100.000.000,00 = Rp10.000.000,00

PPnBM=20% x Rp100.000.000,00 = Rp 20.000.000,00

1. Penyerahan BKP Mewah Selain Oleh Pabrikan dan Importir

DPP atas penyerahan BKP yang tergolong mewah yang dilakukan oleh PKP selain:

 PKP Pabrikan yang menghasilkan BKP yang tergolong mewah, dan


 PKP yang melakukan impor BKP yang tergolong mewah

adalah termasuk PPnBM yang dikenakan atas perolehan atau atas impor BKP yang tergolong
mewah tersebut.

Contoh 3:
Kelanjutan dari contoh 2 di atas, PT A menjual BKP tersebut kepada PT B dengan keuntungan
yang diharapkan sebesar Rp15.000.000,00. DPP atas penjualan tersebut termasuk PPnBM yang
dibayar atas perolehan BKP tersebut. Dengan demikian, jumlah yang dibayar oleh PT B adalah
sebagai berikut:

Harga beli PT A = Rp 100.000.000,00


PPnBM yang telah dibayar = Rp 20.000.000,00
Keuntungan yang diharapkan = Rp 15.000.000,00 +
Dasar Pengenaan Pajak = Rp 135.000.000,00
PPN 10% x Rp135.000.000,00 = Rp 13.500.000,00 +
Jumlah yang dibayar oleh PT B = Rp 148.500.000,00

[1] Pasal 9 ayat (1) PP Nomor 1 Tahun 2012

[2] Pasal 9 ayat (2) PP Nomor 1 Tahun 2012

[3] Penjelasan Pasal 9 ayat (2) PP Nomor 1 Tahun 2012

[4] Pasal 9 ayat (3) PP Nomor 1 Tahun 2012

[5] Penjelasan Pasal 9 ayat (3) PP Nomor 1 Tahun 2012

[6] Pasal 9 ayat (4) PP Nomor 1 Tahun 2012

[7] Penjelasan Pasal 9 ayat (4) PP Nomor 1 Tahun 2012

Anda mungkin juga menyukai