Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Harus diakui keberadaan hukum perdata di Indonesia hingga kini
keadaannya masih beragam. Hal itu sesuai dengan kondisi masyarakat
Indonesia yang pluralis, baik dari segi budaya, adat, maupun agamanya.
Oleh karena itu, di Indonesia berlaku sistem hukum perdata barat yang
tercantum dalam Burgerlijk Wetboek. Sebagaimana terlihat di kalangan
masyarakat dalam melaksanakan perjanjian, nyatanya di kehidupan
bermasyarakat masih banyak masalah dalam hubungan keperdataan
khususnya mengenai perjanjian.
Perjanjian merupakan suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Seseorang atau
lebih berjanji untuk melakukan sesuatu kepada orang lain. Hal ini
merupakan suatu peristiwa yang menimbulkan satu hubungan hukum antara
orang-orang yang membuatnya.
Di dalam perjanjian banyak sekali jenis-jenis perjanjian yang kita
ketahui dan sering terjadi di dalam masyarakat kita sekarang. Perjanjian
sebenarnya merupakan awal dari timbulnya perikatan. Secara sederhana,
perikatan diartikan sebagai suatu hal yang mengikat antara orang yang satu
dengan orang lain. Hal yang mengikat adalah peristiwa hukum, seperti jual
beli, utang-piutang, kelahiran, kematian, dan lain sebagainya. Dengan
demikian, peristiwa hukum tersebut menciptakan hubungan hukum.
Berkaitan dengan penjelasan di atas, kelompok kami tertarik untuk
membahas lebih dalam dan lebih luas mengenai perjanjian, khususnya
perjanjian nominaat.

1
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas maka kelompok kami membuat rumusan
masalah sebagai berikut.
1. Apa definisi dari perjanjian nominaat?
2. Bagaimana syarat-syarat dalam membuat perjanjian?
3. Apa macam-macam perjanjian nominaat?
4. Bagaimana berakhirnya suatu perjanjian?

C. Tujuan Pembahasan
Berdasarkan pertanyaan di atas maka tujuan dari rumusan
masalahnya adalah sebagai berikut.
1. Untuk mengetahui definisi perjanjian nominaat.
2. Untuk mengetahui syarat-syarat membuat perjanjian.
3. Untuk mengetahui perjanjian nominaat.
4. Untuk mengetahui hal-hal yang berakhirnya suatu perjanjian.

2
BAB II
TINJAUAN TEORITIS TENTANG
PERJANJIAN NOMINAAT

A. Definisi Perjanjian
Istilah perjanjian merupakan terjemahan dari kata overenkomst
dalam Bahasa Belanda atau contract dalam Bahasa Inggris. Untuk itu,
banyak ahli hukum yang memahami sama antara kontrak dan perjanjian.
Hal itu lahir sesuai judul buku III titel kedua tentang “Perikatan-perikatan
yang Lahir dari Kontrak atau Perjanjian”. Berbeda dengan Subekti yang
berpendapat bahwa istilah kontrak mempunyai pengertian lebih sempit
daripada perjanjian atau perikatan karena kontrak ditujukan kepada
perjanjian/perikatan yang tertulis. Pothier membedakan anatara contract
dan convention (pacte). Convention adalah perjanjian antara dua orang atau
lebih untuk menciptakan, menghapuskan, atau mengubah perikatan.
Adapun contract adalah perjanjian yang mengharapkan terlaksananya
perikatan.1
Argumentasi kritis mengenai penggunaan istilah kontrak atau
perjanjian disumbangkan oleh Peter Mahmud Marzuki.2 Dengan melakukan
perbandungan terhadap pengertian kontrak atau perjanjian dalam sistem
hukum Anglo-American. Sedangkan dalam Kamus Hukum menjelaskan
bahwa perjanjian adalah persetujuan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih,
tertulis maupun lisan, masing-masing seepakat untuk menaati isi
persetujuan yang dibuat bersama. Menurut Pasal 1313 KUHPerdata, “Suatu
persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”.3

1
Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Hukum Perikatan, Surabaya: Bina Ilmu, 1978.
Hlm. 84.
2
Peter Mahmud Marzuki, Batas-Batas Kebebasan Berkontrak, Artikel dalam Jurnal Yuridika,
Volume 18, No. 3, Mei 2003. Hlm. 195.
3
Sudarsono, Kamus Hukum, Jakarta: Rineka Cipta, 2007. Hlm. 363.

3
Pada prinsipnya, suatu perjanjian terdiri atas serangkaian perkataan
yang disepakati oleh kedua belah pihak. Adapun untuk menetapkan isi suatu
perjanjian, perlu terlebih dahulu ditetapkan dengan cermat dan teliti hal-hal
yang dimaksud oleh para pihak dengan mengucapkan atau menulis
perkataan tersebut. Fungsi perjanjian dapat memberikan kepastian hukum
kepada para pihak. Selain itu, menggerakkan hak milik atau sumber daya
dari nilai penggunaan yang lebih rendah menjadi nilai yang lebih tinggi,
yang disebut fungsi ekonomis.

B. Definisi Perikatan
Menurut C. Asser, ciri utama perikatan adalah hubungan hukum
antara para pihak yang menimbulkan hak (prestasi) dan kewajiban (kontra
prestasi) yang saling dipertukarkan oleh para pihak.4 Demikian juga dengan
Mulyadi yang mengatakan bahwa perikatan merupakan hubungan hukum
dalam lapangan harta kekayaan dua atau lebih orang pihak, yaitu hubungan
hukum tersebut melahirkan kewajiban kepada salah satu pihak yang terlibat
dalam hubungan hukum.5 Artinya, perikatan itu ada selama seseorang
(debitur) harus melakukan suatu prestasi yang dapat dipaksakan terhadap
kreditur, jika perlu dengan bantuan hakim.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1233 BW, perikatan bersumber dari
perjanjian dan undang-undang. Perikatan bersumber dari perjanjian diatur
dalam titel II (Pasal 1313 s.d. 1351) dan titel V s.d. XVIII (Pasal 1457 s.d.
1864) Buku III BW. Perikatan yang bersumber dari undang-undang diatur
dalam titel III (Pasal 1352 s.d. 1380) Buku III BW.6

4
C. Asser, Pengkajian Hukum Perdata Belanda, Jakarta: Dian Rakyat, 1991. Hlm. 9.
5
Muljadi K. dan Widjaja G., Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Jakarta: Rajawali Press, 2002.
Hlm. 1
6
Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Bandung: Alumni, 2006. Hlm.
201.

4
C. Jenis-Jenis Perjanjian
Perjanjian dapat dibedakan menurut berbagai cara. Perbedaan
tersebut adalah sebagai berikut.7
1. Perjanjian Timbal Balik
Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan
kewajiban pokok bagi kedua belah pihak.
2. Perjanjian Cuma – Cuma
Menurut ketentuan Pasal 1314 KUHPerdata, suatu persetujuan yang
dibuat dengan cuma-cuma adalah suatu persetujuan dengan mana
pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada, pihak yang
lain, tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri.
3. Perjanjian Atas Beban
Perjanjian atas beban adalah perjanjian dimana terhadap prestasi dari
pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak lain, dan
antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum.
4. Perjanjian Bernama (Nominaat)
Perjanjian bernama adalah perjanjian yang sudah mempunyai nama
sendiri, maksudnya adalah bahwa perjanjian-perjanjian tersebut
diatur dan diberi nama oleh pembentuk undang-undang, berdasarkan
tipe yang paling banyak terjadi sehari-hari. Perjanjian khusus
terdapat dalam Bab V sampai dengan Bab XVIII KUHPerdata.
5. Perjanjian Tidak Bernama (In Nominaat)
Perjanjian tak bernama adalah perjanjian-perjanjian yang tidak
diatur di dalam KUHPerdata, tetapi terdapat di dalam masyarakat.
Jumlah perjanjian ini tidak terbatas dengan nama yang disesuaikan
dengan kebutuhan pihak-pihak yang mengadakannya.
6. Perjanjian Obligatoir
Perjanjian obligatoir adalah perjanjian yang menimbulkan hak dan
kewajiban diantara para pihak.

7
Mariam Darus, Kompilasi Hukum Perikatan, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001. Hlm. 69.

5
7. Perjanjian Kebendaan (Zakelijk)
Perjanjian kebendaan adalah perjanjian dengan mana seorang
menyerahkan haknya atas sesuatu benda kepada pihak lain, yang
membebankan kewajiban (oblilige) pihak itu untuk menyerahkan
benda tersebut kepada pihak lain (levering, transfer).
8. Perjanjian Konsensual
Perjanjian konsensual adalah perjanjian dimana antara kedua belah
pihak telah tercapai persesuaian kehendak untuk mengadakan
perjanjian. Menurut KUHPerdata perjanjian ini sudah mempunyai
kekuatan mengikat (Pasal 1338).
9. Perjanjian Real
Yaitu suatu perjanjian yang terjadinya itu sekaligus dengan realisasi
tujuan perjanjian, yaitu pemindahan hak.
10. Perjanjian Liberatoir
Perjanjian dimana para pihak membebaskan diri dari kewajiban yang
ada (Pasal 1438 KUHPerdata).
11. Perjanjian Pembuktian (Bewijsovereenkomts)
Suatu perjanjian dimana para pihak menentukan pembuktian apakah
yang berlaku di antara mereka.
12. Perjanjian Untung-untungan
Menurut Pasal 1774 KUHPerdata, yang dimaksud dengan perjanjian
untung-untungan adalah suatu perbuatan yang hasilnya, mengenai
untung ruginya, baik bagi semua pihak, maupun bagi sementara
pihak, bergantung pada suatu kejadian yang belum tentu.
13. Perjanjian Publik
Perjanjian publik yaitu suatu perjanjian yang sebagian atau
seluruhnya dikuasai oleh hukum publik, karena salah satu pihak
yang bertindak adalah pemerintah, dan pihak lainnya swasta. Di
antara keduanya terdapat hubungan atasan dengan bawahan
(subordinated), jadi tidak dalam kedudukan yang sama.

6
14. Perjanjian Campuran
Perjanjian campuran adalah suatu perjanjian yang mengandung
berbagai unsur perjanjian di dalamnya.

7
BAB III
PEMBAHASAN

A. Definisi Perjanjian Nominaat


Istilah perjanjian nominaat adalah terjemahan dari nominaat
contract. Kontrak nominaat sama artinya dengan perjanjian bernama atau
benoemd dalam bahasa Belanda. Kontrak nominaat merupakan perjanjian
yang dikenal dan terdapat dalam Pasal 1319 KUH Perdata yang berbunyi:
"Semua perjanjian, baik yang mempunyai nama khusus, maupun yang tidak
dikenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan umum yang
termuat dalam bab ini dan bab yang lalu."
Di dalam Pasal 1319 KUH Perdata, perjanjian dibedakan menjadi
dua macam, yaitu perjanjian bernama (nominaat) dan tidak bernama
(innominaat). Perjanjian tidak bernama merupakan perjanjian yang timbul,
tumbuh, hidup, dan berkembang dalam masyarakat. Perjanjian bernama
maupun tidak bernama tunduk pada Buku III KUHPerdata. Maksud
pembedaan dalam Pasal 1319 KUHPerdata adalah bahwa ada perjanjian-
perjanjian yang tidak dikuasai oleh ajaran umum sebagaimana terdapat
dalam titel-titel I, II, dan IV. Pasal 1319 KUHPerdata tidak lupa
menyebutkan titel IV, melainkan juga diatur oleh ketentuan-ketentuan
khusus yang tunduk untuk sebagian menyimpang dari ketentuan umum tadi,
terutama yang dimaksudkan adalah isi dari titel-titel V sampai dengan
XVIII. Ketentuan-ketentuan dalam titel ini, yang dalam praktik lazim
disebut dengan perjanjian khusus atau perjanjian bernama (Sri Soedewi
Masjchoen Sofwan, 1980: 17; Vollmar, 1984: 145).

B. Syarat-Syarat Perjanjian
Perjanjian yang sah artinya perjanjian yang memenuhi syarat yang
telah ditentukan oleh undang-undang, sehingga ia diakui oleh hukum
(legally concluded contract). Menurut ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata,
syarat- syarat sah perjanjian adalah sebagai berikut:

8
1. Adanya persetujuan kehendak antara pihak-pihak yang membuat
perjanjian (consensus)
Persetujuan kehendak adalah kesepakatan, seia sekata pihak-pihak
mengenai pokok perjanjian. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu
juga dikehendaki oleh pihak yang lainnya. Persetujuan kehendak itu sifatnya
bebas, artinya tidak ada paksaan, kekhilafan atau pun penipuan.
2. Ada kecakapan pihak- pihak untuk membuat perjanjian (capacity)
Pada umumnya orang dikatakan cakap melakukan perbuatan hukum
apabila ia sudah dewasa, artinya sudah mencapai umur 21 tahun atau sudah
kawin walaupun belum 21 tahun.
3. Ada suatu hal tertentu (object)
Suatu hal tertentu merupakan pokok perjanjian, objek perjanjian,
prestasi yang wajib dipenuhi. Prestasi itu harus tertentu atau sekurang-
kurangnya dapat ditentukan.
4. Ada suatu sebab yang halal (legal causa)
Kata “causa” berasal dari bahasa Latin artinya “sebab”. Sebab
adalah suatu yang menyebabkan orang membuat perjanjian, yang
mendorong orang membuat perjanjian. Tetapi yang dimaksud dengan sebab
yang halal dalam Pasal 1320 KUHPerdata itu bukanlah sebab dalam arti
yang menyebabkan atau yang mendorong orang membuat perjanjian,
melainkan sebab dalam arti “isi perjanjian itu sendiri” yang
menggambarkan tujuan yang akan dicapai oleh pihak-pihak.
Syarat pertama dan kedua Pasal 1320 KUHPerdata disebut syarat
Subjektif, karena melekat pada diri orang yang menjadi subjek perjanjian.
Jika syarat ini tidak dipenuhi, perjanjian dapat dibatalkan (vernietigbar).
Tetapi jika tidak dimintakan pembatalan kepada Hakim, perjanjian itu tetap
mengikat pihak-pihak, walaupun diancam pembatalan sebelum lampau
waktu lima tahun (Pasal 1454 KUHPerdata). Syarat ketiga dan keempat
Pasal 1320 KUHPerdata disebut syarat Objektif, karena mengenai sesuatu
yang menjadi objek perjanjian. Jika syarat ini tidak dipenuhi, perjanjian
batal (nietig, void).

9
C. Macam-Macam Perjanjian Nominaat
Kontrak nominaat diatur dalam Buku III KUHPerdata, yang dimulai
dari Bab V sampai dengan Bab XVIII. Jumlah pasal yang mengatur tentang
kontrak nominaat ini sebanyak 394 Pasal. Di dalam KUHPerdata ada 15
(lima belas) jenis kontrak nominat, yaitu :
1. Jual-beli
Perjanjian jual beli adalah suatu perjanjian yang dibentuk karena
pihak yang satu telah mengikatkan dirinya untuk menyerahkan hak
kebendaan dan pihak yang lain bersedia untuk membayar harga yang
diperjanjikan (Pasal 1457 KUHPerdata).
Obyek dari perjanjian jual beli adalah barang-barang tertentu yang
dapat ditentukan wujud dan jumlahnya serta tidak dilarang menurut hukum
yang berlaku untuk diperjualbelikan.
Perjanjian jual beli telah sah mengikat apabila kedua belah pihak
telah mencapai kata sepakat tentang barang dan harga meski barang tersebut
belum diserahkan maupun harganya belum dibayarkan (Pasal 1458
KUHPerdata).
Perjanjian jual beli dapat dibatalkan apabila si penjual telah menjual
barang yang bukan miliknya atau barang yang akan dijual tersebut telah
musnah pada saat penjualan berlangsung.
Peralihan hak terjadi setelah penyerahan barang oleh si penjual dan
pada umumnya penyerahan barang diatur sebagaimana berikut: bila barang
yang diserahkan tersebut adalah barang bergerak maka cukup dengan
penyerahan kekuasaan atas barang tersebut, penyerahan utang-piutang
dilakukan dengan cessie, untuk barang tidak bergerak dilakukan dengan
balik nama di muka pejabat yang berwenang, dan khusus untuk jual beli
tanah dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh dan dihadapan Pejabat
Pembuat Akta Tanah.

10
2. Tukar-menukar
Tukar-menukar diatur dalam Pasal 1541 sampai dengan Pasal 1546
KUH Perdata. Perjanjian tukar-menukar adalah "Suatu persetujuan, dengan
mana kedua belah pihak mengikatkan dirinya untuk saling memberikan
suatu barang secara bertimbal balik sebagai suatu ganti barang lainnya."
(Pasal 1451 KUH Perdata)
Unsur-unsur yang tercantum definisi di atas adalah:
a. Adanya subjek hukum,
Subjek hukum dalam perjanjian tukar-menukar adalah pihak
pertama dan pihak kedua. Sedangkan yang dapat menjadi objek tukar-
menukar adalah semua barang, baik barang bergerak maupun barang yang
tidak bergerak (Pasal 1542 KUH Perdata). Dengan syarat barang yang
menjadi objek tukar-menukar tidak bertentangan dengan undang-undang,
ketertiban umum, dan kesusilaan.
b. Adanya kesepakatan subjek hukum,
c. Adanya objek, yaitu barang bergerak maupun tidak bergerak, dan
d. Masing-masing subjek hukum menerima barang yang menjadi objek
tukar-menukar.
Risiko dalam perjanjian tukar-menukar adalah jika barang yang
menjadi objek tukar-menukar musnah di luar kesalahan salah satu pihak
maka perjanjian tukar-menukar itu menjadi gugur. Pihak yang telah
menyerahkan barang dapat menuntut kembali barang yang telah
diserahkannya (Pasal 1545 KUH Perdata).
Pasal-pasal yang mengatur tentang tukar-menukar sangat sedikit,
jika dibandingkan dengan perjanjian jual beli. Namun, di dalam ketentuan
mengenai tukar-menukar disebutkan bahwa ketentuan tentang jual beli
berlaku bagi perjanjian tukar-menukar.
3. Sewa-menyewa
Perjanjian sewa-menyewa diatur di dalam bab VII Buku III
KUHPerdata yang berjudul “Tentang Sewa-Menyewa” yang meliputi pasal
1548 sampai dengan pasal 1600 KUH Perdata. Definisi perjanjian sewa-

11
menyewa menurut Pasal 1548 KUHPerdata menyebutkan bahwa
“Perjanjian sewa-menyewa adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak
yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak yang lainya
kenikmatan dari suatu barang, selama waktu tertentu dan dengan
pembayaran suatu harga, yang oleh pihak tersebut belakangan telah
disanggupi pembayaranya.”
Sewa-menyewa dalam bahasa Belanda disebut dengan
huurenverhuur dan dalam bahasa Inggris disebut dengan rent atau hire.
Sewa-menyewa merupkan salah satu perjanjian timbal balik.
Menurut Wiryono Projodikoro sewa-menyewa barang adalah suatu
penyerahan barang oleh pemilik kepada orang lain itu untuk memulai dan
memungut hasil dari barang itu dan dengan syarat pembayaran uang sewa
oleh pemakai kepada pemilik.
Beberapa pengertian perjanjian sewa-menyewa di atas dapat
disimpulkan bahwa ciri-ciri dari perjanjian sewa-menyewa, yaitu:
a. Ada dua pihak yang saling mengikatkan diri
Pihak yang pertama adalah pihak yang menyewakan yaitu pihak
yang mempunyai barang. Pihak yang kedua adalah pihak penyewa, yaitu
pihak yang membutuhkan kenikmatan atas suatu barang. Para pihak dalam
perjanjian sewa-menyewa dapat bertindak untuk diri sendiri, kepentingan
pihak lain, atau kepentingan badan hukum tertentu.
b. Ada unsur pokok yaitu barang, harga, dan jangka waktu sewa
Barang adalah harta kekayaan yang berupa benda material, baik
bergerak maupun tidak bergerak. Harga adalah biaya sewa yang berupa
sebagai imbalan atas pemakaian benda sewa. Dalam perjanjian sewa-
menyewa pembayaran sewa tidak harus berupa uang tetapi dapat juga
mengunakan barang ataupun jasa (Pasal 1548 KUHPerdata). Hak untuk
menikmati barang yang diserahkan kepada penyewahanya terbatas pada
jangka waktu yang ditentukan ke dalam perjanjian.

12
c. Ada kenikmatan yang diserahkan
Kenikmatan dalam hal ini adalah penyewa dapat menggunakan
barang yang disewa serta menikmati hasil dari barang tersebut. Bagi pihak
yang menyewakan akan memperoleh kontra prestasi berupa uang, barang,
atau jasa menurut apa yang diperjanjikan sebelumnya.
Perjanjian sewa-menyewa merupakan perjanjian konsensuil, yang
berarti perjanjian tersebut sah dan mengikat apabila sudah tercapai kata
sepakat diantara para pihak tentang unsur pokok perjanjian sewa-menyewa
yaitu barang dan harga. Di dalam KUHPerdata tidak dijelaskan secara tegas
tentang bentuk perjanjian sewa-menyewa sehingga perjanjian sewa-
menyewa dapat dibuat secara lisan maupun tertulis. Bentuk perjanjian sewa-
menyewa dalam praktek khususnya sewa-menyewa bangunan dibuat dalam
bentuk tertulis. Para pihak yang menentukan subtansi atau isi perjanjian
sewa-menyewa biasanya yang paling dominan adalah pihak yang
menyewakan dikarenakan posisi penyewa berada dipihak yang lemah.
4. Perjanjian Melakukan Pekerjaan
Perjanjian kerja adalah perjanjian dimana pihak kesatu, buruh,
mengikatkan diri untuk bekerja dengan menerima upah kepada pihak
lainnya, majikan, yang mengikatkan diri untuk mempekerjakan buruh itu
dengan membayar upah.
Pasal 1601a KUHPerdata “Perjanjian kerja adalah perjanjian
dimana pihak yang satu, buruh, mengikatkan diri untuk dibawah pimpinan
pihak yang lain, majikan, untuk waktu tertentu, melakukan pekerjaan
dengan menerima upah.”
Dalam perumusan pasal 1601a KUHPerdata adalah kurang lengkap
karena disini yang mengikatkan diri hanyalah pihak buruh saja, tidak juga
pihak lainnya, yaitu majikan (pengusaha). Padahal pada tiap perjanjian yang
memiliki dua pihak, yang mengikatkan diri adalah kedua belah pihak yang
bersangkutan.

13
5. Persekutuan perdata
Persekutuan Perdata diartikan sebagai perjanjian antara dua orang
atau lebih yang saling mengikatkan dirinya untuk memasukkan sesuatu ke
dalam persekutuan dengan maksud untuk membagi keuntungan (manfaat)
yang terjadi karenanya (pasal 1618 KUHPerdata).
Unsur Persekutuan Perdata:
a. PP merupakan perjanjian (kontrak).
b. Prestasi para pihak dengan memasukkan sesuatu ke dalam
persekutuan.
c. Tujuan untuk membagi keuntungan.
Persekutuan Perdata merupakan suatu perjanjian yang
konsekuensinya dalam persekutuan perdata modalnya tidak selalu uang,
akan tetapi dapat berupa barang, kerajinan atau keterampilan.Dalam
persekutuan perdata harus ada pembagian keuntungan. Dalam persekutuan
perdata tidak boleh ada perjanjian yang keuntungannya untuk 1 orang,
walaupun hal tersebut telah disepakati mereka. Unsurnya harus membagi
keuntungan, jika tidak maka batal demi hukum.
6. Perkumpulan
Selain perseroan perdata sejati, perhimpunan orang-orang sebagai
badan hukum juga diakui undang-undang, entah badan hukum itu diadakan
oleh kekuasaan umum atau diakuinya sebagai demikian, entah pula badan
hukum itu diterima sebagai yang diperkenankan atau telah didirikan untuk
suatu maksud tertentu yang tidak bertentangan dengan undang-undang atau
kesusilaan. Pengertian perkumpulan berbeda dengan pengertian perseroan.
Titik berat perseroan adalah mencari keuntungan dari perbendaan,
sedangkan titik berat perkumpulan adalah tujuan sosial atau tujuan di
lapangan lain daripada keuntungan semata. Hal lain yang membedakan
antara perkumpulan dan perseroan ialah:
1. Dalam perkumpulan keputusan rapat anggota diambil dengan suara
terbanyak, sedang dalam perseroan pada hakekatnya diperlukan
persetujuan dari segenap anggota.

14
2. Para anggota perkumpulan selaku perseorangan tidak bertanggung
jawab atas perjanjian-perjanjian dari perkumpulannya, dan segala
utang dari perkumpulan hanya dapat dilunasi dari barang-barang
kekayaan perkumpulan. Dalam KUHPerdata disebutkan 4 macam
badan hukum, yaitu:
a. Badan hukum yang didirikan oleh pemerintah.
b. Badan hukum yang diakui.
c. Badan hukum yang diperijinkan.
d. Badan hukum yang didirikan oleh orang-rang pertikelir dengan
suatu tujuan tertentu yang tidak bertentangan dengan undang-
undang atau kesusilaan.
Ada dua hal yang dapat mengakibatkan suatu perkumpulan
kehilangan kedudukannya selaku badan hukum, yaitu:
a. Apabila pemerintah menetapkan bahwa suatu perkumpulan itu
bertentangan dengan ketertiban umum.
b. Apabila hakim mencabut kedudukan suatu perkumpulan selaku
badan hukum, dengan alasan bahwa perkumpulan itu telah
menyimpang dari isi anggaran dasar yang telah disahkan oleh
pemerintah.
Hak-hak dan kewajiban perkumpulan:
a. Perkumpulan dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum
seperti manusia, kecuali ada pembatasan kekuasaan.
b. Memberi kuasa kepada pengurus untuk bertindak atas nama
perkumpulan dan membentuk hubungan hukum antara
perkumpulan hukum dengan orang ketiga. Apabila seorang
pengurus/anggota bertindak menyimpang dari
kekuasaannya,maka perkumpulan hanya terikat, apabila
dikemudian hari ternyata adakeunautngan bagi perkumpulan atau
apabila tindakan pengurus tersebut disahkan oleh rapat anggota

15
7. Hibah
Yang dimaksud dengan hibah dalam bahasa Belanda adalah
“Schenking”. Sedangkan menurut istilah yang dimaksud hibah,
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1666 KUHPerdata, adalah Hibah
menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata “Sesuatu persetujuan
dengan mana si penghibah di waktu hidupnya, dengan cuma-cuma dan
dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan suatu benda guna
keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu”.
Bahwa, yang dimaksud dengan penghibah adalah digolongkannya
pada apa yang dinamakan perjanjian cuma-cuma dalam bahasa Belanda
“Omniet”. Maksudnya, hanya ada pada adanya prestasi pada satu pihak
saja, sedangkan pihak yang lain tidak perlu memberikan kontra prestasi
sebagai imbalan. Perkataan “di waktu hidupnya” si Penghibah adalah untuk
membedakan penghibahan ini dengan pemberian-pemberian yang lain yang
dilakukan dalam testament (surat wasiat), yang baru akan mempunyai
kekuatan dan berlaku sesudah pemberi itu meninggal, dapat diubah atau
ditarik kembali olehnya.
Pemberi dalam testament menurut BW (Burgerlijk Wetboek)
dinamakan legaat (hibah wasiat), yang diatur dalam Hukum Waris,
sedangkan penghibah ini adalah suatu perjanjian, maka dengan sendirinya
tidak dapat ditarik kembali secara sepihak oleh si penghibah. Dengan
demikian Hibah menurut BW (Burgerlijk Wetboek) ada 2 (dua) macam,
yaitu: hibah dan hibah wasiat yang ketentuan hibah wasiat sering berlaku
pula dalam ketentuan penghibah.
Mengenai penghibahan dalam Hukum Perdata Indonesia, telah
diatur dalam beberapa pasal yang terdapat dalam Kitab Undang-undang
Hukum Perdata. Adapun ketentuan tersebut adalah Pasal 1667 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata “Hibah hanyalah dapat mengenai benda-
benda yang sudah ada, jika ada itu meliputi benda-benda yang baru akan
dikemudian hari, maka sekedar mengenai itu hibahnya adalah batal”.

16
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka jika dihibahkan barang yang
sudah ada, bersama suatu barang lain yang akan dikemudian hari,
penghibahan mengenai yang pertama adalah sah, tetapi mengenai barang
yang kedua adalah tidak sah. Pasal 1668 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata “Si penghibah tidak boleh memperjanjikan bahwa ia tetap berkuasa
untuk menjual atau memberikan kepada orang lain suatu benda termasuk
dalam penghibahan semacam ini sekedar mengenai benda tersebut dianggap
sebagai batal”.
Janji yang diminta si penghibah, bahwa ia tetap berkuasa untuk
menjual atau memberikan kepada orang lain, berarti bahwa hak milik atas
barang tersebut, tetap ada padanya karena hanya seseorang pemilik yang
dapat menjual atau memberikan barangnya kepada orang lain, hal mana
dengan sendirinya bertentangan dengan sifat dan hakekat penghibahan.
Sudah jelas, bahwa perjanjian seperti ini membuat penghibahan
batal, yang terjadi sebenarnya adalah hanya sesuatu pemberian nikmat hasil.
Pasal 1669 Kitab Undang-undang Hukum Perdata “Adalah diperbolehkan
kepada si penghibah untuk memperjanjikan bahwa ia tetap memiliki
kenikmatan atau nikmat hasil benda-benda yang dihibahkan, baik benda-
benda bergerak maupun benda-benda tidak bergerak, atau bahwa ia dapat
memberikan nikmat hasil atau kenikmatan tersebut kepada orang lain,
dalam hal mana harus diperhatikan ketentuan-ketentuan dari bab kesepuluh
buku kedua kitab undang-undang ini”.
Bab kesepuluh dari Buku Kedua Kitab Undang-undang Hukum
Perdata, yang dimaksud itu adalah bab yang mengatur tentang Hak Pakai
Hasil atau Nikmat Hasil. Sekedar ketentuan-ketentuan itu telah dicabut,
yaitu mengenai tanah, dengan adanya Undang-undang Pokok Agraria (UU
No. 5 Tahun 1960), tetapi ketentuan-ketentuan itu mengenai barang yang
bergerak masih berlaku.
Cara menghibahkan sesuatu telah diatur dalam Kitab Undang-
undang Hukum Perdata, sebagaimana diatur dalam pasal di bawah ini:

17
Pasal 1682 Kitab Undang-undang Hukum Perdata “Tiada suatu
hibah kecuali yang disebutkan dalam Pasal 1687, dapat atas ancaman batal,
dilakukan selainnya dengan akta notaris, yang aslinya disimpan oleh notaris
itu”.
Pasal 1683 Kitab Undang-undang Hukum Perdata “Tiada suatu
hibah mengikat si penghibah atau menerbitkan sesuatu akibat yang
bagaimanapun, selainnya mulai saat penghibahan itu dengan kata-kata yang
tegas diterima oleh si penerima hibah sendiri atau oleh seorang yang dengan
suatu akta otentik oleh si penerima hibah itu telah dikuasakan untuk
menerima penghibahan-penghibahan yang telah diberikan oleh si penerima
hibah atau akan diberikan kepadanya dikemudian hari. Jika penerima hibah
tersebut telah dilakukan di dalam suratnya hibah sendiri, maka itu akan
dapat dilakukan di dalam suatu akta otentik, kemudian yang aslinya harus
disimpan, asal yang demikian itu dilakukan di waktu si penghibah masih
hidup, dalam hal mana penghibahan terhadap orang yang terakhir hanya
berlaku sejak saat penerima itu diberitahukan kepadanya”.
8. Penitipan Barang
Pasal 1694 KUHPerdata "Penitipan barang terjadi bila orang
menerima barang orang lain dengan janji untuk menyimpannya dan
kemudian mengembalikannya dalam keadaan yang sama."
Point yang dapat kita ambil dari Pasal 1694 KUHPerdata diatas:
1. Penitipan Barang baru terjadi bila calon penerima titipan setuju
untuk dititipi barang. Tanpa persetujuan dari penerima titipan maka
penitipan barang tidak terjadi. Karena dengan ada/tidak nya
persetujuan sama dengan ada/tidaknya beban tanggung jawab
penerima titipan terhadap pemberi titipan.
2. "Barang" yang dititipkan kepada penerima titipan adalah milik orang
lain. Milik orang lain dapat berarti milik si pemberi titipan atau bisa
juga milik pihak ketiga (selain dari si pemberi titipan). Pastinya
barang yang dititipkan bukan milik si penerima titipan. Kalau milik

18
si penerima titipan itu namanya mengembalikan barang bukan
menitipkan barang.
3. Barang titipan untuk disimpan oleh penerima titipan. Tidak untuk
dipakai.
4. Barang titipan dikembalikan dalam keadaan yang sama kepada
pemberi titipan sebagaimana kondisi saat barang titipan diterima.
Dapat juga barang titipan tidak dikembalikan ke si pemberi titipan
semula tetapi kepada kuasa/wakil si pemberi titipan asalkan hal
tersebut diperjanjikan secara jelas sebelumnya.
Pasal 1695 KUHPerdata "Ada 2 (dua) jenis penitipan barang yaitu:
penitipan murni (sejati) dan sekestrasi (penitipan dalam perselisihan)."
Seolah-olah ada penitipan yg murni dan ada penitipan yang tidak murni.
Ada penitipan yang sejati dan penitipan tidak sejati.
Penitipan murni dianggap cuma-cuma bila tidak diperjanjikan
sebaliknya dan hanya untuk barang bergerak. Jadi bila si pemberi titipan dan
si penerima titipan tidak ada pembicaraan dan kesepakatan perihal "biaya"
maka penitipan tersebut adalah cuma-cuma atau tanpa biaya.
Penitipan Sekestrasi:
1. Penitipan barang yang berada dalam persengketaan kepada orang
lain.
2. Orang lain yang dititipkan tersebut mengikatkan diri untuk
mengembalikan barang itu dengan semua hasilnya kepada yang
berhak.
3. Barang dikembalikan kepada yang berhak setelah perselisihan
diputus oleh Pengadilan.
4. Penitipan ini terjadi karena perjanjian atau karena perintah Hakim.
Penitipan Sekestrasi untuk barang bergerak dan barang tidak
bergerak. Penitipan murni utk barang bergerak saja. Penitipan Sekestrasi
terjadi karena perjanjian atau karena perintah hakim. Penitipan murni adalah
karena perjanjian saja.

19
9. Pinjam pakai
Pinjam Pakai adalah salah satu jenis dari kontrak nominaat. Istilah
kontrak nominaat merupakan terjemahan dari nominaat contract. Kontrak
nominaat sama artinya dengan perjanjian bernama atau benoemde dalam
bahasa Belanda. Kontrak nominaat merupakan perjanjian yang dikenal dan
terdapat dalam pasal 1319 KUH Perdata, Pasal 1319 KUH Perdata berbunyi
“Semua perjanjian, baik yang mempunyai nama khusus, maupun yang tidak
dikenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan umum yang
termuat dalam bab ini dan bab yang lalu”.
Dalam perjanjian pinjam pakai, barang yang dipinjamkan tidak habis
atau musnah karena pemakaian. Si pemilik barang meminjamkan barangnya
kepada peminjam secara cuma-cuma. Hukum Pinjam pakai diatur dalam
pasal 1740 sampai dengan pasal 1753 KUHPerdata. Pinjam pakai adalah
suatu persetujuan dimana pihak yang satu memberikan suatu barang kepada
pihak yang lainnya untuk dipakai dengan cuma-cuma, dengan syarat bahwa
yang menerima barang ini setelah memakainya atau setelah lewatnya suatu
waktu tertentu akan mengembalikan (Pasal 1740 KUHPerdata). Pihak yang
meminjamkan tetap menjadi emilik barang yang dipinjamkan.
Perjanjian pinjam pakai ini merupakan contoh dari suatu perjanjian
sepihak atau unilateral (dimana perkataan “sepihak” ditujukan pada hanya
adanya prestasi dari satu pihak saja). Sifatnya sepihak itu dinyatakan dengan
rumusan “dipakai dengan cuma-cuma”, artinya hanya pihak yang
meminjamkan yang berprestasi, sedangkan pihak yang meminjam hanya
menggunakan tanpa ada balas prestasi kepada yang meminjamkan.
Sehingga di dalam perjanjian pinjam pakai ini tidak terdapat kontra prestasi.
Namun begitu, terdapat kewajiban-kewajiban bagi si peminjam dan yang
meminjamkan.
10. Pinjam-meminjam
Menurut pasal 1754 KUHPerdata pinjam meminjam adalah
perjanjian dimana pihak pertama memberi kepada pihak kedua sebagai

20
pinjaman sejumlah barang yang bisa habis dipakai dengan syarat bahwa
pihak kedua harus mengembalikan barang-barang yang sama jumlahnya.
Perbedaan utama antara pinjam pakai dan pinjam meminjam adalah:
1. Pinjam pakai dilakukan cuma-cuma, sedangkan pinjam meminjam
dapat dilakukan dengan cuma-cuma maupun dengan beban.
2. Pinjam pakai dapat dilakukan dalam benda bergerak maupun tak
bergerak, sedangkan pinjam pakai dapat dilakukan hanya benda
bergerak.
Menurut undang-undang pemberi pinjam meminjam hanya
dipinjamkan. Kewajiban lain tidak ada karena pinjam meminjam
merupakan perjanjian sepihak yang terjadi dengan penyerahan barang
dipinjamkan. Pasal 1762 KUHPerdata menetapkan bahwa Pasal 1763
KUHPerdata mengenai jaminan tentang cacat-cacat berlaku juga bagi
perjanjian pinjam meminjam, kecuali mengenai pinjaman uang.
Pasal 1763 KUHPerdata menetapkan bahwa penerima pinjam
meminjam berkewajiban untuk mengembalikan apa yang ia pinjam dalam
jumlah dan keadaan yang sama pada saat yang telah ditetapkan.
Menurut Pasal 1754 KUHPerdata tidak mampu untuk
mengembalikanya maka ia diwajibkan menggantikan harga barang yang
dipinjamkannya ditempat pada waktu sesuai dengan perjanjian pinjam
meminjam.
11. Bunga Tetap atau Bunga Abadi
Perjanjian bunga abadi ialah suatu persetujuan bahwa pihak yang
memberikan pinjaman uang akan menerima pembayaran bunga atas
sejumlah uang pokok yang tidak akan dimintanya kembali. Bunga ini pada
hakikatnya dapat diangsur. Hanya kedua belah pihak dapat mengadakan
persetujuan bahwa pengangsuran itu tidak boleh dilakukan sebelum lewat
waktu tertentu, yang tidak boleh ditetapkan lebih lama dari sepuluh tahun,
atau tidak boleh dilakukan sebelum diberitahukan kepada kreditur dengan
suatu tenggang waktu, yang sebelumnya telah ditetapkan oleh mereka,

21
tetapi tidak boleh lebih lama dari satu tahun. Seseorang yang berutang bunga
abadi dapat dipaksa mengembalikan uang pokok:
1. Jika ia tidak membayar apa pun dari bunga yang harus dibayarnya
selama dua tahun berturut-turut.
2. Jika ia lalai memberikan jaminan yang dijanjikan kepada kreditur.
3. Jika ia dinyatakan pailit atau dalam keadaan benar-benar tidak
mampu untuk membayar.
Dalam kedua hal pertama yang disebut dalam pasal yang lalu,
debitur dapat membebaskan diri dari kewajiban mengembalikan uang
pokok, jika dalam waktu dua puluh hari, terhitung mulai ia diperingatkan
dengan perantaraan hakim, ia membayar angsuran-angsuran yang sudah
harus dibayarnya atau memberikan jaminan yang dijanjikan.
Persetujuan bunga abadi dalam praktek sekarang hampir tidak ada
lagi. Dahulu cara ini banyak sekali digunakan berhubung dengan anggapan
bahwa peminjaman uang dengan bunga, oleh agama tidak diperbolehkan.
Bunga abadi ternyata tidak dipandang sebagai bunga, melainkan sebagai
pembayaran sejumlah uang tertentu pada tiap-tiap waktu tertentu,
berdasarkan pada perjanjian khusus.
12. Perjanjian Untung-Untungan
Suatu persetujuan untung-untungan ialah suatu perbuatan yang
hasilnya, yaitu mengenai untung-ruginya, baik bagi semua pihak maupun
bagi sementara pihak, tergantung pada suatu kejadian yang belum pasti.
Demikianlah: persetujuan pertanggungan; bunga cagak-hidup; perjudian
dan pertaruhan. (Persetujuan yang pertama, diatur dalam Kitab Undang-
undang Hukum Dagang).
a. Persetujuan bunga cagak-hidup dan akibat-akibatnya
Bunga cagak-hidup dapat diadakan dengan suatu persetujuan atas
beban, atau dengan suatu akta hibah Bunga cagak-hidup juga dapat diadakan
dengan suatu wasiat. Bunga cagak-hidup dapat diadakan atas diri orang
yang memberikan pinjaman, atau atas diri orang yang diberi manfaat dari
bunga tersebut, atau pula atas diri seorang pihak ketiga, meskipun orang ini

22
tidak mendapat manfaat daripadanya. Bunga cagak-hidup dapat diadakan
atas diri satu orang atau lebih. Bunga cagak-hidup dapat diadakan untuk
seorang pihak ketiga, meskipun uangnya diberikan oleh orang lain. Akan
tetapi, dalam hal tersebut, bunga cagak-hidup tidak tunduk pada tata cara
penghibahan. Bunga cagak-hidup yang diadakan atas diri seseorang yang
meninggal pada hari persetujuan, tidak mempunyai kekuatan hukum. Bunga
cagak-hidup dapat diadakan dengan perjanjian sampai sedemikian tinggi
menurut kehendak kedua pihak.
Orang yang atas dirinya diadakan bunga cagak-hidup dengan beban,
dapat menuntut pembatalan persetujuan itu, jika debitur tidak memberikan
jaminan yang telah dijanjikan. Jika persetujuan dibatalkan, debitur wajib
membayar tunggakan bunga yang telah diperjanjikan, sampai pada hari
dikembalikannya uang pokok. Penunggakan pembayaran bunga cagak-
hidup tidak memberikan hak kepada penerima bunga untuk meminta
kembali uang pokok atau barang yang telah diberikannya untuk dapat
menerima bunga itu; ia hanya berhak menuntut debitur membayar bunga
yang wajib dibayarnya menyita kekayaannya untuk melunasi utangnya, dan
meminta jaminan untuk bunga yang sudah dapat ditagih.
Debitur tidak dapat membebaskan diri dari pembayaran bunga
cagak-hidup dengan menawarkan pengembalian uang pokok dan dengan
berjanji tidak akan menuntut pengembalian bunga yang telah dibayarnya; ia
wajib terus membayar bunga cagak-hidup selama hidup orang atau orang-
orang yang atas diri mereka telah dijanjikan bunga cagak-hidup itu, betapa
pun beratnya pembayaran bunga itu bagi dirinya. Pemilik bunga cagak-
hidup hanya berhak atas bunga itu menurut jumlah hari seumur hidup orang
yang atas dirinya telah diadakan bunga cagak-hidup itu.
Akan tetapi jika menurut persetujuan harus dibayar terlebih dahulu
bunganya, maka hak atas angsuran yang sedianya sudah harus terbayar, baru
diperoleh mulai hari pembayaran itu seharusnya dilakukan. Mengadakan
perjanjian bahwa suatu bunga cagak-hidup takkan tunduk pada suatu
penyitaan, tidak diperbolehkan kecuali bila bunga cagak-hidup itu diadakan

23
dengan cuma-cuma. Penerima bunga tidak dapat menagih bunga yang sudah
harus dibayar, selain dengan menyatakan bahwa orang yang atas dirinya
telah diperjanjikan bunga cagak-hidup itu masih hidup.
b. Perjudian dan pertaruhan
Undang-undang tidak memberikan hak untuk menuntut secara
hukum dalam hal suatu utang yang terjadi karena perjudian, atau pertaruhan.
Akan tetapi dalam ketentuan tersebut diatas itu tidak termasuk permainan-
permainan yang dapat dipergunakan untuk olahraga, seperti anggar, lari
cepat, dan sebagainya. Meskipun demikian, hakim dapat menolak atau
mengurangi tuntutan bila menurut pendapatnya uang taruhan lebih dari yang
sepantasnya. Ketentuan-ketentuan dalam dua pasal yang lalu tidak boleh
digunakan untuk menghindari utang dengan cara pembaharuan utang.
Seorang yang secara sukarela membayar kekalahannya dengan uang, sekali-
kali tak boleh menuntut kembali uangnya, kecuali bila pihak yang menang
itu telah melakukan kecurangan atau penipuan.
13. Pemberi Kuasa
Pemberian kuasa ialah suatu persetujuan yang berisikan pemberian
kekuasaan kepada orang lain yang menerimanya untuk melaksanakan
sesuatu atas nama orang yang memberikan kuasa.
Cara memberikan kuasa:
1. Akta resmi
2. Surat bawah tangan
3. Surat biasa
4. Dengan lisan
5. Dengan diam-diam (tanpa perjanjian)
Pemberian kuasa dapat dilakukan secara khusus, yaitu hanya
mengenai satu kepentingan tertentu atau lebih, atau secara umum, yaitu
meliputi segala kepentingan pemberi kuasa. Akibat dari perwakilan di
tangan si kuasa diatur dalam Pasal 1799 dan 1807. Dua-duanya menentukan
apabila antara si pemberi kuasa dan seorang ketiga ada terbentuk suatu
perjanjian menurut isi kuasa yang diberikan, maka terbentuklah suatu

24
hubungan hukum langsung antara pemberi kuasa dan orang ketiga itu. Pasal
1799 menyebutkan Pemberi kuasa dapat menggugat secara langsung orang
yang dengannya si penerima kuasa telah melakukan perbuatan hukum
dalam kedudukannya dan pula dapat mengajukan tuntutan kepadanya untuk
memenuhi persetujuan yang telah dibuat.
Kewajiban-kewajiban si penerima kuasa:
1. Penerima kuasa, selama kuasanya belum dicabut, wajib
melaksanakan kuasanya, dan bertanggung-jawab atas segala biaya,
kerugian dan bunga, yang timbul karena tidak dilaksanakannya
kuasa itu. Begitu pula, ia wajib menyelesaikan urusan yang telah
mulai dikerjakannya pada waktu pemberi kuasa meninggal dan dapat
menimbulkan kerugian jika tidak segera diselesaikannya.
2. Penerima kuasa tidak hanya bertanggung-jawab atas perbuatan-
perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, melainkan juga atas
kelalaian-kelalaian yang dilakukan dalam menjalankan kuasanya.
Akan tetapi tanggung jawab atas kelalaian-kelalaian orang yang
dengan cuma-cuma menerima kuasa, tidaklah seberat tanggung
jawab yang diminta dari orang yang menerima kuasa dengan
mendapatkan upah.
3. Penerima kuasa wajib memberi laporan kepada pemberi kuasa
tentang apa yang telah dilakukan, serta memberikan perhitungan
tentang segala sesuatu yang diterimanya berdasarkan kuasanya,
sekalipun apa yang diterima itu tidak harus dibayar kepada pemberi
kuasa.
4. Penerima kuasa bertanggung jawab atas orang lain yang ditunjuknya
sebagai penggantinya dalam melaksanakan kuasanya; 1. Bila tidak
diberikan kuasa untuk menunjuk orang lain sebagai penggantinya; 2.
Bila kuasa itu diberikan tanpa menyebutkan orang tertentu,
sedangkan orang yang dipilihnya ternyata orang yang tidak cakap
atau tidak mampu. Pemberi kuasa senantiasa dianggap telah
memberi kuasa kepada penerima kuasanya untuk menunjuk seorang

25
lain sebagai penggantinya untuk mengurus barang-barang yang
berada di luar wilayah Indonesia atau di luar pulau tempat tinggal
pemberi kuasa. Pemberi kuasa, dalam segala hal, dapat secara
langsung mengajukan tuntutan kepada orang yang telah ditunjuk
oleh penerima kuasa sebagai penggantinya.
5. Penerima kuasa harus membayar bunga atas uang pokok yang
dipakainya untuk keperluannya sendiri, terhitung dari saat ia mulai
memakai uang itu, begitu pula bunga atas uang yang harus
diserahkan pada penutupan perhitungan, terhitung dari saat ia
dinyatakan lalai melakukan kuasa.
6. Penerima kuasa yang telah memberitahukan secara sah hal kuasanya
kepada orangyang dengannya ia mengadakan suatu persetujuan
dalam kedudukan sebagaipenerima kuasa, tidak bertanggung jawab
atas apa yang terjadi di luar batas kuasaitu, kecuali jika ia secara
pribadi mengikatkan diri untuk itu.

Kewajiban-kewajiban pemberi kuasa:


1. Pemberi kuasa wajib memenuhi perikatan-perikatan yang dibuat
oleh penerima kuasa menurut kekuasaan yang telah ia berikan
kepadanya. Ia tidak terikat pada apa yang telah dilakukan di luar
kekuasaan itu, kecuali jika ia telah menyetujui hal itu secara tegas
atau secara diam-diam.
2. Pemberi kuasa wajib mengembalikan persekot dan biaya yang telah
dikeluarkan oleh penerima kuasa untuk melaksanakan kuasanya,
begitu pula membayar upahnya bila tentang hal ini telah diadakan
perjanjian. Jika penerima kuasa tidak melakukan suatu kelalaian,
maka pemberi kuasa tidak dapat menghindarkan diridari kewajiban
mengembalikan persekot dan biaya serta membayar upah tersebut di
atas, sekalipun penerima kuasa tidak berhasil dalam urusannya itu.
3. Begitu pula, pemberi kuasa harus memberikan ganti-rugi kepada
penerima kuasa atas kerugian-kerugian yang dideritanya sewaktu

26
menjalankan kuasanya, asal dalam hal itu penerima kuasa tidak
bertindak kurang hati-hati.
4. Pemberi kuasa harus membayar bunga atas persekot yang telah
dikeluarkan olehpenerima kuasa, terhitung mulai hari
dikeluarkannya persekot itu.
5. Jika seorang penerima kuasa diangkat oleh berbagai orang untuk
menyelenggarakan suatu urusan yang harus mereka selesaikan
secara bersama, maka masing-masing dari mereka bertanggung
jawab untuk seluruhnya terhadap penerima kuasa mengenai segala
akibat dari pemberian kuasa itu.
6. Penerima kuasa berhak untuk menahan kepunyaan pemberi kuasa
yang berada di tangannya, hingga kepadanya dibayar lunas segala
sesuatu yang dapat dituntutnya akibat pemberian kuasa.

Berakhirnya pemberian kuasa:


1. Dicabut oleh pemberi kuasa (si kuasa menghendakinya).
2. Si penerima kuasa menghentikannya.
3. Salah satu atau kedua belah pihak meninggal dunia, atau dinyatakan
dibawah curatele, atau dinyatakan pailit.
4. Pemberian yang diadakan untuk tenggang waktu tertentu, telah
berakhir masanya.
14. Penanggungan
Yang dimaksud dengan penanggungan menurut Pasal 1820 BW
adalah suatu perjanjian dimana seorang pihak ketiga-guna kepentingan
siberutang-mengikatkan diri untuk memenuhi perutangan si berutang
manakala si berutang ini melakukan wanprestasi.
Tujuan dan isi dari penanggungan ini adalah memberi jaminan untuk
dipenuhinya suatu prestasi/perutangan dalam perjanjian pokok.
Sifat Perjanjian Penanggungan ada beberapa, yaitu:
1. Merupakan jaminan yang bersifat perorangan, yaitu adanya pihak
ketiga (badan hukum) yang menjamin pemenuhan prestasi manakala

27
debiturnya wanprestasi. Pada jaminan yang bersifat perorangan demi
pemenuhan prestasi hanya dapat dipertahankan terhadap orang-
orang tertentu, yaitu Debitur atau penanggungnya.
2. Bersifat accesoir, yakni perjanjian yang mengikuti perjanjian
pokoknya. Perjanjian penanggungan akan batal demi hukum atau
hapus jika perjanjian pokok juga batal demi hukum atau hapus.
3. Untuk perjanjian yang dapat dibatalkan, perjanjian accesoirnya tidak
ikut batal meskipun perjanjian pokoknya dibatalkan.
4. Bersifat sepihak dimana hanya penanggung yang harus
melaksanakan kewajiban. Tetapi adakalanya kreditur menawarkan
suatu prestasi sehingga pihak ketiga mau menjadi penanggung dan
dalam keadaan demikian perjanjian bersifat timbal balik.
5. Besarnya penanggungan tidak akan melebihi besarnya
prestasi/perutangan pokoknya tetapi boleh lebih kecil. Jika
penanggung lebih besar maka yang dianggap sah hanya yang sebesar
utang pokok (Pasal 1822 BW).
6. Bersifat subsidiair, jika ditinjau dari sudut cara pemenuhan prestasi.
Hal ini berdasarkan Pasal 1820 BW bahwa penanggung
mengikatkan diri untuk memenuhi perutangan debitur manakala
debitur sendiri tidak memenuhinya. Ini berarti penanggung hanya
terikat secara subsidiair karena hanya akan melaksanakan prestasi
jika debitur tidak memenuhinya sedang debitur yang harus tetap
bertanggung jawab atas pelaksanaan prestasi tersebut dan setelah
penanggung melaksanakan prestasi maka ia mempunyai hak regres
terhadap debitur.
7. Beban pembuktian yang ditujukan ke si berutang dalam batas-batas
tertentu juga mengikat si penanggung.
8. Penanggungan diberikan untuk menjamin pemenuhan perutangan
yang timbul dari segala macam hubungan hukum baik yang bersifat
perdata maupun yang bersifat hukum publik, asalkan prestasi
tersebut dapat dinilai dalam bentuk uang.

28
Bentuk Perjanjian Penanggungan menurut ketentuan Undang-
Undang, adalah bebas tidak terikat oleh suatu bentuk tertentu, bisa lisan atau
tertulis yang dituangkan dalam suatu akta. Namun untuk kepentingan
pembuktian maka pada prakteknya umumnya dibuat dalam bentuk tertulis,
seperti dengan akta notaris atau formulir baku dari bank. Perjanjian
Penanggungan harus dinyatakan secara tegas-tidak boleh secara tersirat-
oleh penanggung atas hal-hal apa saja yang akan ditanggungnya. Hal ini
gunanya agar penanggung terlindung atas tanggung jawab terhadap hal-hal
lain yang tidak ditanggungnya.
15. Perdamaian
Perjanjian perdamaian disebut juga dengan istilah dading. Perjanjian
perdamaian diatur dalam Pasal 1851-1864 KUHPerdata. Perdamaian adalah
suatu persetujuan antara kedua belah pihak yang isinya untuk menyerahkan,
menjanjikan atau menahan suatu barang.8 Kedua belah pihak boleh
mengakhiri suatu perkara yang sedang diperiksa pengadilan untuk
mencegah timbulnya suatu perkara (Pasal 1851 KUHPerdata). Definisi lain
dari perdamaian adalah “Persetujuan dengan mana kedua belah pihak atas
dasar saling pengertian mengakhiri suatu perkara yang sedang berlangsung
atau mencegah timbulnya suatu sengketa.” (Art. 1888 NBW)
Jadi, dalam perjanjian ini kedua belah pihak harus melepaskan
sebagian tuntutan mereka dengan tujuan untuk mencegah timbul masalah.
Perjanjian ini disebut perjanjian “formal” dan harus tertulis agar sah dan
bersifat mengikat.9
Oleh karena itu harus ada timbal balik pada pihak-pihak yang
berperkara. Tidak ada perdamaian apabila salah satu pihak dalam satu
perkara mengalah seluruhnya dan mengakui tuntutan pihak lawan
seluruhnya.10 Begitu juga tidak ada perdamaian jika kedua belah pihak

8
Salim, Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan. Jakarta: Sinar Grafika. 2008. Hlm. 92.
9
R. Subekti, Aneka Perjanjian. Bandung : Pt. Citra Aditya Bakti. 1995. Hlm. 177.
10
Victor M. Situmorang, Perdamaian dan Perwasitan dalam Hukum Acara Perdata. Jakarta:
Rineka Cipta. 1993. Hlm. 3.

29
menyerahkan penyelesaian perkara pada arbitrase (pemisah) atau tunduk
pada nasihat dari pihak ke-3 (binded advies).
Adapun unsur perdamaian beserta syarat dari unsur tersebut terdapat
dalam KUH Perdata pasal 1851 dan 130 HIR. Dari kedua pasal tersebut 4
unsur, yaitu :
1. Adanya persetujuan kedua belah pihak.
Dalam perdamaian, kedua belah pihak harus saling sama-sama
“menyetujui” dan suka rela mengakhiri persengketaan. Persetujuan tidak
boleh hanya dari sebelah pihak atau dari hakim, sehingga berlaku
persetujuan yang telah diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata :
a. Adanya kata sepakat secara suka rela (toestemming).
b. Kedua belah pihak cukup membuat persetujuan (bekwamheid).
c. Dibuat persetujuan mengenai pokok yang tertentu (bepaalde
onderwerp).
d. Dengan dasar alasan yang diperbolehkan (geoorlosfde oorzaah).
Oleh karena itu dalam suatu persetujuan tidak boleh ada cacat pada
setiap unsur, seperti :
a. Kekeliruan/kekhilafan (dwaling)
b. Paksaan (dwang)
c. Penipuan (bedrog)
Sedangkan dalam pasal 1859 KUH Perdata perdamaian dapat
dibatalkan jika terjadi kekhilafan:
a. Mengenai orangnya.
b. Mengenai pokok yang diperselisihkan.
Kemudian dalam Pasal 1860 KUHPerdata dikatakan beberapa faktor
kesalahpahaman perdamaian, seperti :
a. Kesalahpahaman tentang duduknya perkara.
b. Kesalahpahaman tentang suatu atas hak yang batal.

30
2. Kedua belah pihak sepakat mengakhiri sengketa.
Suatu perdamaian yang tidak secara tuntas mengakhiri sengketa
yang sedang terjadi antara kedua belah pihak dianggap tidak memenuhi
syarat. Putusan seperti ini tidak sah dan tidak mengikat kepada dua belah
pihak. Perdamaian sah dan mengikat jika yang sedang disengketakan dapat
diakhiri oleh perdamaian yang bersangkutan.
3. Isi perjanjiannya menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu
barang dalam bentuk tertulis.
Persetujuan perdamaian tidak sah jika dalam bentuk lisan dan harus
bersifat tertulis dan sifatnya biasanya memaksa (imperatif). Maksud
diadakan perjanjian perdamaian secara tertulis adalah untuk menjadi alat
bukti bagi para pihak untuk diajukan ke hadapan hakim. Jika dilihat dari
bentuk persetujuan perdamaian, maka dapat dibedakan dua bentuk format
persetujuan perdamaian, yakni putusan dan akta perdamaian.
4. Sengketa tersebut sedang diperiksa atau untuk mencegah timbulnya
suatu perkara (sengketa).
Perdamaian harus didasarkan pada persengketaan yang sedang
diperiksa, karena menurut pasal 1851 KUH Perdata persengketaan itu:
a. Sudah berwujud sengketa perkara di pengadilan.
b. Sudah nyata wujud dari persengketaan perdata yang akan diajukan
ke pengadilan, sehingga perdamaian yang dibuat oleh para pihak
mencegah terjadinya persengketaan di sidang pengadilan.
D. Penyebab Berakhirnya Perjanjian
Sebab-Sebab Berakhirnya Suatu Perjanjian terpenuhinya prestasi
atau perikatan yang disepakati dan syarat-syarat tertentu dalam perjanjian
dapat menjadi sebab berakhirnya perjanjian, misalnya habisnya jangka
waktu yang telah disepakati dalam perjanjian atau dalam loan agreement,
semua hutang dan bunga atau denda jika ada telah dibayarkan. Secara
keseluruhan, KUHPerdata mengatur faktor-faktor lain yang dapat
menyebabkan berakhirnya perjanjian, diantaranya karena:

31
1. Pembayaran
Pembayaran tidak selalu diartikan dalam bentuk penyerahan uang
semata, tetapi terpenuhinya sejumlah prestasi yang diperjanjikan juga
memenuhi unsur pembayaran sebagai upaya untuk mengakhiri suatu
perjanjian. Pembayaran yang dimaksud dalam hukum perikatan adalah
setiap tindakan pemenuhan prestasi.
2. Penawaran pembayaran, diikuti dengan penyimpanan atau
penitipan
Pemenuhan prestasi dalam suatu perjanjian sepatutnya
dilaksanakan sesuai hal yang diperjanjikan termasuk waktu pemenuhannya,
namun tidak jarang prestasi tersebut dapat dipenuhi sebelum waktu yang
diperjanjikan. Penawaran dan penerimaan pemenuhan prestasi sebelum
waktunya dapat menjadi sebab berakhirnya perjanjian, misalnya perjanjian
pinjam meminjam yang pembayarannya dilakukan dengan cicilan, apabila
pihak yang berhutang dapat membayar semua jumlah pinjamannya sebelum
jatuh tempo, maka perjanjian dapat berakhir sebelum waktunya.
3. Pembaharuan hutang
Pembaharuan utang dapat menyebabkan berakhirnya perjanjian,
sebab munculnya perjanjian baru menyebabkan perjanjian lama yang
diperbaharui berakhir. Perjanjian baru bisa muncul karena berubahnya
pihak dalam perjanjian, misalnya perjanjian novasi dimana terjadi
pergantian pihak debitur atau karena berubahnya perjanjian pengikatan jual
beli menjadi perjanjian sewa, karena pihak pembeli tidak mampu melunasi
sisa pembayaran.
4. Perjumpaan Hutang atau kompensasi
Perjumpaan hutang terjadi karena antara kreditur dan debitur saling
mengutang terhadap yang lain, sehingga utang keduanya dianggap terbayar
oleh piutang mereka masing-masing.
5. Percampuran Hutang
Berubahnya kedudukan pihak atas suatu objek perjanjian juga dapat
menyebabkan terjadinya percampuran hutang yang mengakhiri perjanjian,

32
contohnya penyewa rumah yang berubah menjadi pemilik rumah karena
dibelinya rumah sebelum waktu sewa berakhir sementara masih ada
tunggakan sewa yang belum dilunasi.
6. Pembebasan Hutang
Pembebasan hutang dapat terjadi karena adanya kerelaan pihak
kreditur untuk membebaskan debitur dari kewajiban membayar hutang,
sehingga dengan terbebasnya debitur dari kewajiban pemenuhan hutang,
maka hal yang disepakati dalam perjanjian sebagai syarat sahnya perjanjian
menjadi tidak ada padahal suatu perjanjian dan dengan demikian berakhirlah
perjanjian.
7. Musnahnya barang yang terhutang
Musnahnya barang yang diperjanjikan juga menyebabkan tidak
terpenuhinya syarat perjanjian karena barang sebagai hal (objek) yang
diperjanjikan tidak ada, sehingga berimplikasi pada berakhirnya perjanjian
yang mengaturnya.
8. Kebatalan atau pembatalan
Tidak terpenuhinya syarat sah perjanjian dapat menyebabkan
perjanjian berakhir, misalnya karena pihak yang melakukan perjanjian tidak
memenuhi syarat kecakapan hukum. Tata cara pembatalan yang disepakati
dalam perjanjian juga dapat menjadi dasar berakhirnya perjanjian.
Terjadinya pembatalan suatu perjanjian yang tidak diatur perjanjian hanya
dapat terjadi atas dasar kesepakatan para pihak sebagaimana diatur dalam
Pasal 1338 KUHPerdata atau dengan putusan pengadilan yang didasarkan
pada Pasal 1266 KUHPerdata.
9. Berlakunya suatu syarat batal
Dalam Pasal 1265 KUHPerdata diatur kemungkinan terjadinya
pembatalan perjanjian oleh karena terpenuhinya syarat batal yang disepakati
dalam perjanjian.
10. Lewatnya waktu
Berakhirnya perjanjian dapat disebabkan oleh lewatnya waktu
(daluarsa) perjanjian.

33
Di samping hapusnya perjanjian berdasarkan Pasal 1381
KUHPerdata, masih ada sebab lain berakhirnya suatu perjanjian, yaitu:
1. Jangka waktu yang ditentukan dalam perjanjian telah berakhir.
2. Adanya suatu persetujuan dari para pihak untuk mengakhiri
perjanjian tersebut.
3. Ditentukan oleh Undang-undang, misalnya perjanjian akan berakhir
dengan meninggalnya salah satu pihak peserta perjanjian tersebut.
4. Adanya putusan hakim.
5. Tujuan yang dimaksud dalam perjanjian telah tercapai.11

11
Neng Yani Nurhayani. Hukum Perdata. Bandung: Pustaka Setia. 2015. Hlm.241-243.

34
BAB IV
PENUTUP

A. Simpulan
Perjanjian nominaat adalah terjemahan dari nominaat contract.
Kontrak nominaat merupakan perjanjian yang dikenal dan terdapat dalam
Pasal 1319 KUH Perdata yang berbunyi "Semua perjanjian, baik yang
mempunyai nama khusus, maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama
tertentu, tunduk pada peraturan umum yang termuat dalam bab ini dan bab
yang lalu.
Menurut ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata, syarat-syarat sah
perjanjian adalah sebagai berikut :
1. Adanya persetujuan kehendak antara pihak-pihak yang membuat
perjanjian (consensus).
2. Ada kecakapan pihak- pihak untuk membuat perjanjian (capacity).
3. Ada suatu hal tertentu (object).
4. Ada suatu sebab yang halal (legal causa).
Di dalam KUHPerdata ada 15 (lima belas) jenis kontrak nominat,
yaitu :
1. Jual-beli.
2. Tukar-menukar.
3. Sewa-menyewa.
4. Perjanjian Melakukan Pekerjaan.
5. Persekutuan perdata.
6. Perkumpulan.
7. Hibah.
8. Penitipan Barang.
9. Pinjam pakai.
10. Pinjam-meminjam.
11. Bunga Tetap atau Bunga Abadi.

35
12. Perjanjian Untung-Untungan.
13. Pemberi Kuasa.
14. Penanggungan.
15. Perdamaian.
KUHPerdata mengatur faktor-faktor lain yang dapat menyebabkan
berakhirnya perjanjian, diantaranya karena:
1. Pembayaran.
2. Penawaran pembayaran, diikuti dengan penyimpanan atau
penitipan.
3. Pembaharuan hutang.
4. Perjumpaan Hutang atau kompensasi.
5. Percampuran Hutang.
6. Pembebasan Hutang.
7. Musnahnya barang yang terhutang.
8. Kebatalan atau pembatalan.
9. Berlakunya suatu syarat batal.
10. Lewatnya waktu.

36
DAFTAR PUSTAKA

Darus, Mariam. Kompilasi Hukum Perikatan, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001.

Mahmud Marzuki Peter. Batas-Batas Kebebasan Berkontrak, Artikel dalam Jurnal

Yuridika, Volume 18, No. 3, Mei 2003.

R. Subekti, Aneka Perjanjian. Bandung : Pt. Citra Aditya Bakti. 1995.

Salim, Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan. Jakarta: Sinar Grafika.
2008.

Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Hukum Perikatan, Surabaya:


Bina Ilmu, 1978.

Sudarsono, Kamus Hukum, Jakarta: Rineka Cipta, 2007.

Victor M. Situmorang, Perdamaian dan Perwasitan dalam Hukum Acara Perdata.


Jakarta: Rineka Cipta. 1993.
Yani Nurhayani, Neng. Hukum Perdata. Bandung: Pustaka Setia. 2015.

37

Anda mungkin juga menyukai