Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Keadaan pendek (stunting) menurut Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
1995/MENKES/SK/XII/2010 tentang standar antropometri penilaian status gizi
anak adalah suatu keadaan dimana hasil pengukuran panjang badan menurut umur
(PB/U) atau tinggi badan menurut umur (TB/U) berada pada -3 SD sampai -2 SD.
Sementara sangat pendek adalah keadaan apabila hasil pengukuran panjang badan
menurut umur (PB/U) atau tinggi badan menurut umur (TB/U) di bawah -3
Standar Deviasi (SD). Stunting pada anak merupakan manifestasi jangka panjang
dari faktor konsumsi diet berkualitas rendah yang dikombinasikan dengan
morbiditas, faktor penyakit infeksi berulang, dan faktor lingkungan.1
Perkembangan masalah gizi di Indonesia dapat dikategorikan menjadi tiga,
yaitu: masalah gizi yang sudah terkendali; masalah gizi yang belum dapat
diselesaikan; dan masalah gizi yang sudah meningkat dan mengancam kesehatan
masyarakat. Masalah gizi yang sudah terkendali seperti Kekurangan Vitamin A
(KVA) pada anak balita, Gangguan Akibat Kurang Iodium (GAKI) dan anemia
gizi pada anak usia 2-5 tahun. Masalah gizi yang belum dapat diselesaikan seperti
gizi kurang dan pendek (stunting).2
Gizi memiliki peran yang penting di dalam siklus kehidupan manusia.
Keadaan kekurangan gizi pada masa kehamilan dapat menyebabkan Bayi Berat
Lahir Rendah (BBLR). Pada bayi dan anak, kekurangan gizi dapat menimbulkan
gangguan tahapan pertumbuhan dan perkembangan yang bila tidak mendapatkan
intervensi dari dini akan berlanjut hingga dewasa.3
Pembangunan kesehatan pada periode 2015-2019 diprioritaskan pada
empat program, yaitu: penurunan prevalensi kematian ibu dan bayi; penurunan
prevalensi kejadian balita pendek (stunting); pengendalian penyakit menular; dan
pengendalian penyakit tidak menular.3 Perbaikan gizi dan penurunan angka
prevalensi stunting pada anak baduta (bawah dua tahun) dari 32,9% pada tahun
2013 menjadi 28% pada tahun 2019 menjadi salah satu prioritas pembangunan
nasional seperti yang tercantum pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) tahun 2015-2019.4

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 1


Stunting merupakan masalah kesehatan yang banyak ditemukan pada
negara berkembang, termasuk Indonesia. Menurut United Nations Children’s
Fund (UNICEF) pada tahun 2014 terdapat 23,8%, atau 1 dari 4 balita mengalami
stunting. Lebih dari setengah dari balita yang mengalami stunting tersebut tinggal
di Asia, sementara lebih dari sepertiga tinggal di Afrika.5 Menurut Tim Nasional
Percepatan Penanggulangan Kemiskinan 2017, prevalensi stunting di Indonesia
menempati peringkat kelima terbesar.6
Menurut data Riskesdas tahun 2013 prevalensi stunting dalam lingkup
nasional adalah sebesar 37,25%, terdiri dari prevalensi pendek 18,0% dan sangat
pendek 19,2 %. Hal ini menunjukkan terjadi kenaikan prevalensi stunting
dibandingkan tahun 2010 sebesar 35,6% dan tahun 2007 sebesar 36,8%.
Data Riskesdas tahun 2013 menunjukkan terdapat 20 provinsi dengan
prevalensi stunting lebih tinggi daripada prevalensi nasional, dengan urutan
tertinggi hingga terendah, yaitu : Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Barat, Nusa
Tenggara Barat, Papua Barat, Kalimantan Selatan, Lampung, Sulawesi Tenggara,
Sumatera Utara, Aceh, Kalimantan Tengah, Maluku Utara, Sulawesi Tengah,
Sulawesi Selatan, Maluku, Papua, Bengkulu, Sumatera Barat, Gorontalo,
Kalimantan Barat, dan Jambi.
Prevalensi stunting di Sumatera Barat menurut data Riskesdas tahun 2013
sebesar 39,2%. Prevalensi stunting tersebut menunjukkan terjadi peningkatan
dibandingkan tahun 2010 sebesar 32,7% dan tahun 2007 sebesar 26,5%.7
Menurut data Riskesdas tahun 2010 Prevalensi pendek berdasarkan umur
paling tinggi pada rentang usia 36-47 bulan, yaitu sebesar 20,0% dan prevalensi
sangat pendek pada rentang usia tersebut sebesar 18,3%.8 Sementara menurut
penelitian Ramli, et al. (2009) prevalensi stunting dan severe stunting lebih tinggi
pada anak usia 24-59 bulan, yaitu sebesar 50% dan 24%.9
Stunting pada balita perlu mendapatkan perhatian khusus karena dapat
menyebabkan terhambatnya pertumbuhan fisik dan perkembangan mental pada
anak. Stunting berkaitan dengan peningkatan risiko kesakitan dan kematian pada
anak, serta hambatan pada perkembangan motorik dan mental. Balita yang
mengalami stunting memiliki risiko penurunan intelektualitas dan produktivitas di
masa depan. Kemampuan kognitif penderita stunting lebih rendah, sehingga

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 2


mengakibatkan kerugian jangka panjang bagi ekonomi indonesia. Stunting juga
berkaitan dengan peningkatan risiko overweight dan obesitas. Keadaan
overweight dan obesitas jangka panjang dapat meningkatkan risiko penyakit
degeneratif.10
Permasalahan gizi kurang pada anak balita dapat disebabkan oleh dua
faktor langsung, yaitu: asupan makanan dan penyakit infeksi yang keduanya
saling berkaitan. Bayi atau balita yang mengalami defisiensi asupan makanan
bergizi dan seimbang akan memiliki sistem pertahanan tubuh yang lemah
sehingga rentan menderita penyakit infeksi. Sebaliknya, bayi atau balita yang
sering menderita penyakit infeksi seperti diare dan ISPA dapat menyebabkan
penurunan asupan makanan dan penurunan daya serap makanan sehingga
berakibat pada kejadian gizi kurang (RAPNG 2006-2010). Terdapat hubungan
antara asupan energi dengan status gizi menurut indikator TB/U. Sementara
menurut penelitian Hidayati, et al. (2010) anak yang kekurangan energi protein
memiliki risiko stunting 3,46 kali daripada anak yang mendapatkan asupan energi
protein cukup.10, 11
Riwayat Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) juga berpengaruh terhadap
pertumbuhan anak. Bayi yang lahir dengan berat badan lahir di bawah 2.500 gram
cenderung mengalami hambatan pertumbuhan. Bayi perempuan dengan riwayat
BBLR yang mengalami hambatan pertumbuhan cenderung menjadi ibu yang
stunting di masa depan. Ibu yang stunting berrisiko melahirkan bayi yang
stunting.12
Variabel pemberian ASI eksklusif dan usia pertama pemberian MP-ASI
berhubungan dengan kejadian stunting. Menurut penelitian Aridiyah, et al. (2015)
menunjukkan bahwa pemberian ASI eksklusif yang rendah merupakan pemicu
terjadinya stunting dan praktik pemberian MP-ASI pada balita merupakan salah
satu faktor yang mempengaruhi keadaan stunting.13
Status imunisasi merupakan salah satu indikator kontak dengan pelayanan
kesehatan. Menurut penelitian Milman, et al. (2005) status imunisasi memiliki
hubungan yang signifikan dengan kejadian stunting pada anak balita.14 Senada
dengan penelitian yang dilakukan Anisa (2012) menunjukkan bahwa prevalensi

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 3


stunting lebih tinggi pada anak yang tidak mendapatkan imunisasi dasar lengkap
daripada anak yang mendapatkan imunisasi dasar lengkap.15
Periode balita merupakan periode dimana anak mengalami pertumbuhan
dan perkembangan yang cepat (growth spurt I). Pada periode ini, pertumbuhan
dan perkembangan akan optimal bila kebutuhan makronutrien (karbohidrat,
protein, dan lemak) dan mikronutrien (vitamin dan mineral) dipenuhi secara
seimbang. Pada periode ini juga terbentuk kebiasaan makan anak yang dapat
dapat terus berlanjut dan memiliki efek pada tahun-tahun berikutnya. Pengetahuan
ibu tentang gizi memiliki pengaruh signifikan terhadap tumbuh kembang anak
karena anak berperan sebagai konsumen pasif.16
Menurut penelitian yang dilakukan Agus (2008), pengetahuan ibu tentang
gizi merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap status gizi anak.
Pengetahuan ibu tentang gizi akan mempengaruhi cara ibu dalam memilih
makanan sesuai kaidah gizi dan benar dan menyajikannya kepada anak.17
Tingkat pendidikan seseorang berhubungan dengan kemudahan seseorang
dalam menerima informasi. Individu yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih
baik cenderung akan lebih mudah menerima informasi dibandingkan dengan
individu yang memiliki tingkat pendidikan yang kurang.18 Menurut penelitian
yang dilakukan Rahayu dan Khairiyati (2014) terdapat hubungan yang bermakna
antara tingkat pendidikan ibu dengan kejadian stunting. Tingkat pendidikan ibu
memiliki pengaruh pada status kesehatan. Hal ini berhubungan dengan peranan
ibu yang dominan dalam pembentukan kebiasaan makan anak.19
Status ekonomi keluarga yang rendah dianggap memiliki pengaruh
terhadap kemungkinan terganggunya pertumbuhan anak menjadi anak yang
pendek. Keluarga dengan status ekonomi yang baik memiliki akses terhadap
bahan pangan yang lebih baik, serta peluang memperoleh pelayanan umum yang
lebih baik seperti di bidang pendidikan dan akses layanan kesehatan. Menurut
penelitian Nimah dan nadhiroh, pendapatan keluarga memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap kejadian stunting, dimana terdapat 76,5% balita stunting pada
keluarga dengan pendapatan rendah (kuintil 1,2, dan 3) dibandingkan 23,5%
balita stunting pada keluarga dengan pendapatan cukup (kuintil 4 dan 5).20

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 4


Besar keluarga mempengaruhi status gizi pada anak. Keluarga dengan
status ekonomi yang rendah dan jumlah anak yang banyak akan mengakibatkan
kebutuhan primer seperti konsumsi pangan kurang tercukupi.21 menurut penelitian
Oktarina dan Sudiarti (2013) Balita yang berasal dari kelurga yang memiliki
jumlah Anggota Rumah Tangga (ART) yang besar (ART > 4 orang) cenderung
mengalami stunting. Balita yang berasal dari keluarga dengan ART yang besar
1,34 kali lebih berrisko dibandingkan balita yang berasal dari keluarga dengan
ART kecil (ART ≤ 4 0rang).22

1.2 RUMUSAN MASALAH


Berdasarkan latar belakang, rumusan masalah dari penelitian ini adalah
apa faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian stunting pada anak usia 24-59
bulan di Kecamatan Koto Tangah Kota Padang?

1.3 TUJUAN PENELITIAN


1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang
mempengaruhi kejadian stunting pada anak usia 24-59 bulan di Kecamatan Koto
Tangah Kota Padang.

1.3.2 Tujuan Khusus

1.3.2.1 Mengetahui status gizi pada anak usia 24-59 bulan di Kecamatan
Koto Tangah Kota Padang.
1.3.2.2 Mengetahui prevalensi riwayat bayi BBLR pada anak usia 24-59
bulan di Kecamatan Koto Tangah Kota Padang.
1.3.2.3 Mengetahui riwayat ASI ekslusif pada anak usia 24-59 bulan di
Kecamatan Koto Tangah Kota Padang.
1.3.2.4 Mengetahui riwayat imunisasi pada anak usia 24-59 bulan di
Kecamatan Koto Tangah Kota Padang.
1.3.2.5 Mengetahui riwayat infeksi pada anak usia 24-59 bulan di
Kecamatan Koto Tangah Kota Padang.
1.3.2.6 Mengetahui tingkat pengetahuan gizi pada ibu dari anak usia 24-59
bulan di Kecamatan Koto Tangah Kota Padang.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 5


1.3.2.7 Mengetahui tingkat status sosial ekonomi orang tua dari anak usia
24-59 bulan di Kecamatan Koto Tangah Kota Padang.

1.4 MANFAAT PENELITIAN


1.4.1 Manfaat Bagi Peneliti
1.4.1.1 Sebagai syarat untuk mendapatkan gelar sarjana kedokteran.
1.4.1.2 Menambah wawasan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi
kejadian stunting pada anak usia 24-59 bulan di Kecamatan Koto
Tangah Kota Padang.
1.4.1.3 Meningkatkan kemampuan berpikir secara analisis dan sistematis
dalam mengidentifikasi masalah kesehatan di masyarakat.
1.4.1.4 Menambah wawasan dan pengalaman dalam melakukan penelitian.

1.4.2 Manfaat Bagi Pemerintah

Penelitian ini dapat memberikan rekomendasi/masukan bagi pemerintah


mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian stunting pada anak usia 24 -
59 bulan di Kecamatan Koto Tangah Kota Padang.

1.4.3 Manfaat Bagi Masyarakat

Masyarakat mendapatkan informasi mengenai stunting dan faktor faktor


yang meningkatakan risiko stunting pada balita.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 6


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Stunting
2.1.1 Definisi
Stunting, disebut juga pendek menurut usia, merupakan keadaan indeks
tinggi badan menurut usia (TB/U) kurang dari minus dua standar deviasi (-2 SD)
berdasarkan standar WHO.23 Sementara menurut laporan 3rd report on the
Nutrition Situation, Stunting didefinisikan sebagai keadaan indeks tinggi badan
menurut usia di bawah -2 SD dan didefinisikan sebagai severe stunting apabila
didapatkan indeks tinggi badan menurut usia di bawah -3 SD.24 Keadaan pendek
(stunting) menurut Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
1995/MENKES/SK/XII/2010 tentang standar antropometri penilaian status gizi
anak adalah suatu keadaan dimana hasil pengukuran panjang badan menurut umur
(PB/U) atau tinggi badan menurut umur (TB/U) berada pada -3 SD sampai -2 SD
dan sangat pendek (severe stunting) adalah keadaan apabila hasil pengukuran
panjang badan menurut usia (PB/U) atau tinggi badan menurut umur (TB/U) di
bawah -3 SD.1
2.2.2 Epidemiologi
Stunting pada masa anak-anak merupakan indikator terbaik untuk menilai
kesejahteraan anak dan cerminan akurat dari kesenjangan sosial selama masa
pertumbuhan. Hal ini terlihat dari jutaan anak di seluruh dunia yang tidak hanya
gagal dalam mencapai potensi pertumbuhan linear karena nutrisi yang tidak
adekuat dan kesehatan yang tidak optimal; mereka juga mengalami gangguan fisik
dan penurunan kognitif yang irreversibe.25
Estimasi prevalensi secara global terdapat 165 juta, atau sekitar 26% anak
berusia di bawah lima tahun (balita) yang mengalami stunting pada tahun 2011.
Hal ini menunjukkan penurunan dibandingkan estimasi prevalensi stunting pada
tahun 2009, yaitu sebesar 253 juta balita. Prevalensi stunting yang tinggi terdapat
di Asia dan Afrika, dimana 90% dari total balita yang mengalami stunting berada
di Asia dan Afrika.26

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 7


Masalah kesehatan masyarakat dianggap berat apabila persentase
prevalensi stunting berada pada rentang 30-39% dan serius bila prevalensi
stunting ≥ 40%.7 Berdasarkan data Riskesdas tahun 2010, terdapat 17 provinsi di
Indonesia dengan masalah kesehatan yang berat dalam kasus balita stunting,
yaitu: Jambi, Bengkulu, Riau, Sumatera Barat, Jawa Barat, Jawa Tengah,
Kalimantan Selatan, Jawa Timur, Sulawesi Tengah, Lampung, Maluku, Sulawesi
Tenggara, Sulawesi Selatan, Aceh, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Barat.
Sebanyak 7 provinsi mengalami masalah kesehatan yang serius dalam kasus balita
stunting, yaitu: Gorontalo, Sumatera Selatan, Sulawesi Barat, Sumatera Utara,
Nusa Tenggara Barat, Papua Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Berikut adalah
urutan prevalensi status gizi balita (TB/U) menurut provinsi, berdasarkan
Riskesdas 2010.8
Tabel 2.1 Prevalensi Status Gizi Balita (TB/U) Menurut Provinsi
Provinsi Status Gizi Berdasarkan TB/U
Sangat
Pendek (%) Normal (%)
Pendek (%)
Nusa Tenggara Timur 27,5 30,9 41,6
Papua Barat 20,6 28,6 50,8
Nusa Tenggara Barat 20,5 27,8 51,8
Sumatera Utara 18,9 23,4 57,7
Sulawesi Barat 20,0 21,6 58,4
Sumatera Selatan 17,3 23,1 59,6
Gorontalo 18,7 21,6 59,7
Kalimantan Barat 19,0 20,7 60,3
Kalimantan Tengah 21,6 18,0 60,4
Aceh 14,8 24,2 61,1
Sulawesi Selatan 23,1 15,8 61,1
Sulawesi Tenggara 17,0 20,8 62,2
Maluku 21,0 16,5 62,5
Lampung 15,6 20,6 63,7
Sulawesi Tengah 20,1 16,0 63,8
Jawa Timur 14,9 20,9 64,1

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 8


Kalimantan Selatan 19,4 15,9 64,7
Jawa Tengah 17,0 16,9 66,1
Jawa Barat 17,1 16,6 66,4
Banten 17,0 16,5 66,5
Sumatera Barat 18,4 14,3 67,2
Riau 12,5 16,6 67,8
Bengkulu 13,3 18,3 68,4
Jambi 14,8 15,4 69,8
Maluku Utara 15,0 14,4 70,6
Bali 15,3 14,0 70,7
Kalimantan Timur 14,7 14,4 70,9
Bangka Belitung 16,6 12,5 71,0
Papua 15,0 13,3 71,7
Sulawesi Utara 15,1 12,7 72,2
Kepulauan Riau 15,5 11,4 73,1
DKI Jakarta 12,3 14,3 73,4
DI Yogyakarta 12,3 10,2 77,5

Sumber: Riset Kesehatan Dasar 2010

Data Riskesdas 2013 menunjukkan prevalensi stunting secara nasional


sebesar 37,2%, yang terdiri dari 19,2% pendek dan 18,0% sangat pendek.
Prevalensi stunting pada tahun 2013 meningkat 1,60% dibandingkan tahun 2010
(35,6%). Prevalensi pendek pada tahun 2013 meningkat 2,10% dibandingkan
tahun 2010 (17,1%). Prevalensi sangat pendek pada tahun 2013 menurun 0,5%
dibandingkan 2010 (18,5%).7
Prevalensi balita stunting di Sumatera Barat menurut Laporan Riskesdas
Sumatera Barat Provinsi Sumatera Barat tahun 2013 sebesar 39,2%. Angka
tersebut menunjukkan prevalensi stunting Sumatera Barat lebih besar 2,00%
dibandingkan prevalensi stunting nasional (37,2%) pada tahun yang sama.
Prevalensi tersebut menunjukkan bahwa Provinsi Sumatera Barat pada tahun 2013
mengalami permasalahan kesehatan masyarakat yang berat dalam kasus balita
stunting. Berikut adalah urutan prevalensi status gizi balita (TB/U) Provinsi

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas 9


Sumatera Barat menurut kabupaten/kota berdasarkan Riskesdas Provinsi
Sumatera Barat tahun 2013.27

Tabel 2.2 Prevalensi Status Gizi Balita (TB/U) Provinsi Sumatera Barat
Berdasarkan Kabupaten/Kota

Status Gizi Berdasarkan TB/U


Kabupaten/ Kota Sangat
Pendek (%) Normal (%)
Pendek (%)
Pasaman 30,4 24,8 44,8
Pasaman Barat 20,9 30,6 48,5
Pesisir Selatan 22,3 27,7 50,0
Solok Selatan 27,1 21,5 51,4
Kota Pariaman 15,1 28,9 56,0
Solok 26,0 16,0 58,0
Padang Pariaman 24,7 16,3 59,0
Kepulauan Mentawai 24,2 16,7 59,1
Dharmas Raya 19,6 20,7 59,6
Tanah Datar 18,5 20,3 61,2
Sawahlunto Sijunjung 23,5 13,7 62,8
Kota Padang 15,9 17,8 66,3
Kota Solok 21,8 8,9 69,3
Kota Payakumbuh 17,2 13,2 63,6
Agam 18,1 11,9 70,0
Lima Puluh Kota 15,6 13,2 71,2
Kota Padang Panjang 21,0 7,5 71,5
Kota Bukittinggi 20,5 7,9 71,5
Kota Sawah Lunto 14,8 7,7 77,5

Sumber: Riset Kesehatan Dasar 2013

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


10
2.2.3 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Stunting pada Balita

2.2.3.1 Asupan Kalori dan Protein


Penyebab langsung stunting adalah ketidakcukupan asupan nutrien dan
penyakit infeksi. Manifestasi dari ketidakcukupan asupan nutrien adalah
ketidakseimbangan antara masukan energi dan energi yang dibutuhkan. Stunting
merupakan masalah gizi kronis yang disebabkan oleh ketidakcukupan asupan
nutrisi dalam rentang waktu yang lama. Stunting menggambarkan pertumbuhan
yang terhambat karena malnutrisi jangka panjang.28
Nutrisi merupakan bagian penting yang mempengaruhi kesehatan dan
pertumbuhan. Kecukupan kebutuhan gizi diperlukan untuk menjamin
pertumbuhan dan perkembangan bayi dan anak yang optimal.9 Nutrisi yang
adekuat dibutuhkan untuk mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang baik.
Nutrisi yang adekuat berhubungan dengan peningkatan kesehatan bayi dan anak-
anak. Asupan nutrien yang kurang dalam hal kuantitas dan kualitas dapat
menyebabkan gizi kurang, sehingga menyebabkan gangguan pertumbuhan dan
perkembangan. Asupan nutrien yang tidak baik akan mempercepat terjadinya
stunting pada periode usia 6-18 bulan, yaitu ketika anak sedang berada pada masa
growth spurt (pertumbuhan cepat).29
Nutrien dikelompokkan menjadi dua kelompok yaitu makronutien dan
mikronutrien. Makronutrien merupakan zat gizi yang diperlukan dalam jumlah
besar, mencakup karbohidrat, lemak dan protein. Makronutrien dalam makanan
menghasilkan kalori atau energi yang diperlukan untuk pertumbuhan,
metabolisme, dan fungsi tubuh lainnya. Mikronutrien adalah zat gizi yang
diperlukan dalam jumlah kecil, mencakup vitamin dan mineral.
Protein merupakan polimer yang tersusun dari asam-asam amino yang
bergabung melalui ikatan peptida. Protein memilik banyak peranan, di antaranya:
sebagai penyusun enzim, pengangkut, pembangun, penyusun komponen otot,
pertahanan tubuh, pembentuk hormon, dan penyimpan cadangan energi.30

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


11
Berikut adalah angka kebutuhan energi, karbohidrat, lemak, dan protein
yang harus dianjurkan untuk balita Indonesia (per orang per hari).31

Kelompok Usia Energi Karbohidrat Lemak Protein


(kkal) (g) (g) (g)
0-6 bulan 550 58 34 12
7-11 bulan 725 82 36 18
1-3 tahun 1125 155 44 26
4-6 tahun 1600 220 62 35

Sumber: Kemenkes RI, 2014

2.2.3.2 Penyakit Infeksi


Balita merupakan kelompok usia yang rentan terjangkit penyakit infeksi.
Hal tersebut karena sistem kekebalan tubuh balita yang masih berkembang dan
belum matang. Menurut WHO, selama periode tahun 2002 – 2003 dalam 10 juta
kematian balita disebabkan oleh gangguan neonatal (37%), Infeksi Saluran
Pernafasan Akut (ISPA) (19%), diare (17%), malaria (8%), dan penyakit lainnya
(10%).32
Penyakit infeksi dapat membuat nafsu makan menurun dan mengganggu
absorbsi asupan nutrien sehingga mengakibatkan asupan nutrien ke dalam tubuh
berkurang. Penyakit infeksi dan gizi buruk memiliki hubungan timbal balik
dimana infeksi dapat menurunkan status gizi dan penurunan status gizi dapat
menurunkan kemampuan anak untuk terhindar dari penyakit infeksi.33

Malnutrisi dan infeksi pada balita merupakan hal yang memiliki kaitan
yang erat. Keadaan malnutrisi meningkatkan kerentanan balita terhadap penyakit
infeksi, dan sebaliknya, penyakit infeksi meningkatkan risiko malnutrisi pada
balita. Keadaan defisiensi nutrien, seperti vitamin, asam lemak, asam amino,
mikronutrien, kekurangan energi protein secara signifikan meningkatkan kejadian
infeksi, terutama pada naka-anak. Keadaan malnutrisi bertanggung jawab, secara
langsung ataupun tidak langsung, terhadap 54% dari 10,8 juta kematian balita
setiap tahun.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


12
Penyakit infeksi memiliki kontribusi terhadap keadaan malnutrisi, seperti:
infeksi pada sistem gastrointestinal dapat menimbulkan diare yang menyebabkan
dehidrasi dan gangguan absorbsi nutrien; penyakit Infeksi Saluran Pernapasan
Akut (ISPA) menyebabkan penurunan nafsu makan sehingga asupan nutrien
berkurang; penyakit infeksi kronis seperti HIV/ AIDS dan tuberkulosis
menyebabkan penurunan berat badan dan anemia; dan infeksi parasit usus
menyebabkan anemia dan defisiensi nutrien.34
ISPA dan diare merupakan penyakit infeksi yang sering dan penting pada
balita, karena menimbulkan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi terutama
di negara berkembang, termasuk Indonesia. ISPA merupakan infeksi akut yang
menyerang salah satu bagian/lebih dari saluran napas mulai dari hidung hingga
alveoli termasuk adneksanya (sinus, rongga telinga tengah, pleura). Insiden ISPA
di negara berkembang menurut kelompok umur balita sekitar 0,29 episode per
anak/tahun. Kunjungan pasien ke Puskesmas karena ISPA sekitar 40%-60% dan
ke rumah sakit 15%-30%. Pneumonia merupakan penyebab kematian balita
tertinggi di dunia, di mana diperkirakan lebih dari 2 juta kematian balita per tahun
karena pneumonia. Sementara di Indonesia, pneumonia merupakan penyebab
kematian tertinggi kedua pada anak usia 1-4 tahun setelah diare, yaitu sebesar
15,5%.35, 36
Diare merupakan keadaan peningkatan frekuensi Buang Air Besar (BAB)
lebih dari 3 kali dalam 24 jam disertai perubahan konsistensi feses menjadi cair.
Diare merupakan penyebab kematian tertinggi pada anak usia 1-4 tahun, yaitu
sebesar 25,2%. Diare merupakan penyebab utama terjadinya malnutrisi pada
balita. Diare dapat berlangsung selama beberapa hari dan menyebabkan tubuh
kekurangan cairan tubuh dan gangguan elektrolit tubuh karena keluarnya garam.37

2.2.3.3 Berat Badan Lahir Rendah


WHO mendefinisikan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) sebagai berat
badan ketika lahir kurang dari 2.500 gram (5,5 pon). Bayi yang lahir dalam
kondisi BBLR merupakan akibat dari kelahiran prematur (sebelum usia kehamilan
37 minggu) atau Intrauterine Growth Restriction (IUGR).38 Keadaan BBLR
memiliki hubungan yang erat dengan angka kesakitan dan kematian fetus dan

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


13
neonatus, hambatan pertumbuhan dan perkembangan kognitif, dan penyakit
kronis di masa depan.39
Bayi dengan riwayat BBLR merupakan salah satu faktor risiko keadaan
stunting di masa datang. Pertumbuhan bayi BBLR akan terhambat apabila disertai
dengan pemberian makanan yang tidak adekuat, infeksi berulang, den perawatan
kesehatan yang suboptimal.40 Menurut penelitian Darwin nasution, dkk. (2012)
bayi BBLR memiliki risiko 5,6 kali menjadi stunting dibandingkan anak dengan
riwayat berat badan lahir normal.41

2.2.3.4 ASI Eksklusif


Air Susu Ibu (ASI) merupakan sumber nutrien yang ideal dan terbaik bagi
bayi. ASI memiliki banyak keunggulan dibandingkan susu formula, baik
nutrisional maupun non-nutrisional. Beberapa keistimewaan ASI seperti kadar
protein yang relatif lebih rendah tetapi memiliki bioavailabilitas yang tinggi;
kandungan asam lemak omega-3; kandungan kalsium, besi, dan seng yang rendah
tetapi memiliki bioavailabilitas yang tinggi. Selain itu ASI merupakan nutrien
yang siap saji dan bebas dari kuman.42
ASI memiliki faktor protektif dan kandungan nutrien yang sesuai usia
bayi. Pemberian ASI berperaan pnting untuk mencegah infeksi pada bayi yang
sistem kekebalan tubuhnya belum sempurna. Faktor protektif yang terdapat pada
ASI dapat dibagi atas 3 komponen, yaitu: komponen selular, komponen
imunoglobulin, dan komponen nonimunoglobulin. Komponen terdiri atas
makrofag, , limfosit, neutrofil, dan sel epitelial. Komponen imunoglobulin dalam
ASI lebih dari 30 jenis imunoglobulin,dimana imunoglobulin utama adalah IgA
dan IgG. Sementara komponen nonimunoglobulin pada ASI terdiri atas
oligosakarida, glikoprotein, musin, dan lain-lain.
The American Academy of Pediatrics menganjurkan pemberian ASI
sebagai satu-satunya sumber nutrien bagi bayi selama 6 bulan pertama kehidupan,
lalu diteruskan hingga usia 1 tahun, dan diteruskan sepanjang dikehendaki.43

2.2.3.5 Status Imunisasi


Imunisasi berasal dari kata imun, yang berarti kebal. Imunisasi merupakan
suatu program yang secara aktif untuk merangsang sistem kekebalan tubuh

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


14
seseorang terhadap suatu penyakit, sehingga apabila terpajan agen penyakit
tersebut, seseorang yang telah diberikan imunisasi akan kebal atau hanya
menderita sakit ringan.44 Prinsip kerja imunisasi adalah dengan memberikan
antigen patogen dari bakteri atau virus yang telah dilemahkan atau dimatikan
untuk merangsang pembentukan antibodi oleh sistem imun tubuh.45
Pemerintah melaksanakan program imunisasi bertujuan sebagai upaya
pencegahan penyakit menular terutama Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan
Imunisasi (PD3I) sehingga angka kesakitan, kecacatan, dan kematian dapat
ditekan. Terdapat beberapa PD3I, yaitu difteri, pertusis, tetanus, tuberculosis,
campak, poliomielitis, hepatitis B, Hemofilus Influenza tipe b (Hib), Human
Papiloma Virus (HPV), dan hepatitis A. Imunisasi telah terbukti efektif dalam
mencegah dan menurunkan angka kesakitan, kecacatan, dan kematian yang
ditimbulkan oleh PD3I yang diperkirakan 2 hingga 3 juta kematian per tahun.
Imunisasi diberikan sejak bayi hingga dewasa dan diberikan secara terjadwal.44, 45

Setiap bayi dan anak memiliki hak mendapatkan program imunisasi dasar
sesuai dengan ketentuan dan pemerintah wajib melaksanakan pemberian
imunisasi lengkap seperti yang tercantum dalam Undang-undang Kesehatan
Nomor 36 Tahun 2009. Program imunisasi di Indonesia mewajibkan detiap bayi
mendapatkan imunisasi dasar lengkap yang mencakup imunisasi Hepatitis B 1
dosis, BCG 1 dosis, DPT-HB-Hib 3 dosis, polio tetes 4 dosis, dan campak 1 dosis.
Pelaksanaan program imunisasi tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 42 Tahun 2013.45

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


15
Berikut adalah tabel jenis dan jadwal program imunisasi yang
direkomendasikan Ikatan dokter Anak Indonesia (IDAI) pada tahun 2017.46

2.2.3.7 Pengetahuan Ibu tentang Gizi


Pengetahuan merupakan hasil tahu terhadap objek tertentu melalui proses
sensoris/ pengindraan khususnya indra penglihatan dan pendengaran.
Pengetahuan/ kognitif merupakan aspek yang sangat penting dalam pembentukan
kebiasaan/ perilaku. Perilaku yang didasari pengetahuan umumnya bertahan
lama.47
Gizi merupakan penggunaan zat makanan oleh secara normal melalui
proses pencernaan, penyerapan, transportasi, penyimpanan, metabolisme, dan
pengeluaran zat sisa untuk mempertahankan fungsi normal kehidupan,
menghasilkan energi, pertumbuhan, dan perkembangan.48
Pengetahuan gizi merupakan hal yang diketahui tentang makanan dan
hubungannya dengan kesehatan. Pengetahuan gizi yang baik diperlukan sehingga
terbentuk kebiasaan/ perilaku dalam memilih makanan yang memiliki semua

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


16
kandungan nutrien yang diperlukan untuk mencapai kesehatan yang optimal.
Pemilihan dan asupan makanan mempengaruhi status gizi seseorang. Status gizi
yang baik diperoleh apabila tubuh mendapatkan asupan nutrien yang dibutuhkan
dalam jumlah yang cukup. Status gizi kurang terjadi apabila tubuh tidak
mendapatkan satu atau lebih zat gizi esensial.49
Pengetahuan tentang gizi juga berhubungan dengan perilaku kesehatan.
Menurut Riskesdas 2010, sebanyak 45% rumah tangga di Indonesia menggunakan
air dari sumber yang tidak bersih dan 49% menggunakan sarana pembuangan
kotoran yang tidak aman. Kondisi tersebut berhubungan dengan penyakit-
penyakit berbasis lingkungan seperti diare yang selanjutnya berpengaruh terhadap
keadaan gizi kurang.8 Orang tua dengan pendidikan yang baik juga
memungkinkan memiliki pengetahuan tentang gizi yang baik. Pengetahuan gizi
yang baik membuat seorang ibu dapat mengetahui pengolahan bahan makanan,
pengaturan menu makanan, serta penjagaan kualitas dan kebersihan makanan.
Menurut penelitan Mashitah dkk, tingkat pendidikan ibu berpengaruh terhadap
pertumbuhan anak berusia di bawah tiga tahun berdasarkan indeks TB/U.50

2.2.3.8 Pendidikan Orang Tua


Pendidikan merupakan suatu upaya yang dilakukan secara sadar dan
terencana dalam mewujudkan suasana belajar dan proses belajar supaya peserta
didik secara aktif dapat mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta keterampilan yang diperlukan untuk dirinya, masyarakat, bangsa dan
negara.51
Pendidikan orang tua berpengaruh terhadap pola asuh orang tua. Orang tua
yang memiliki pendidikan tinggi akan menyadari bahwa pertumbuhan dan
perkembangan anak merupakan hal yang penting.50 Penelitian yang dilakukan
Astari, dkk (2005) menunjukkan bahwa tingkat pendidikan orang tua memiliki
pengaruh langsung terhadap pola asuh orang tua. Tingkat pendidikan yang rendah
dapat menyebabkan pola asuh yang kurang baik. Pola asuh yang kurang baik
tersebut menyebabkan asupan nutrien pada anak tidak mencukupi sehingga
meningkatkan risiko stunting pada anak.55

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


17
2.2.3.9 Tingkat Pendapatan Keluarga
Pendapatan keluarga merupakan jumlah penghasilan tetap dan sampingan
yang diperoleh oleh kepala keluarga, ibu, dan anggota keluarga lainnya dalam satu
bulan dibagi jumlah anggota keluarga dan dinyatakan dalam satuan rupiah per
kapita per bulan.52 Jumlah pendapatan suatu rumah tangga menggambarkan
kesejahteraan keluarga. Faktor pendapatan berhubungan dengan kemampuan
dalam keluarga dalam memenuhi kebutuhan pangan sehingga juga berpengaruh
terhadap status gizi keluarga.53
Menurut Terdapat perbedaan pola konsumsi makanan antara anak yang
berasal dari keluarga dengan status ekonomi dibandingkan keluarga dengan status
ekonomi yang lebih baik. Anak yang berasal dari keluarga dengan status ekonomi
rendah cenderung mengkonsumsi makanan dalam kuantitas, kualitas, serta variasi
yang kurang dibandingkan anak yang berasal dari keluarga dengan status ekonomi
yang lebih baik sehingga jumlah kalori dan nilai gizi mereka juga lebih rendah.54
Menurut penelitian Kusuma dan Nuryanto (2013) di Kecamatan Semarang Timur,
status ekonomi keluarga merupakan faktor risiko stunting pada balita usia 2 – 3
tahun. Anak yang berasal dari kelurga dengan status ekonomi rendah 4,13 kali
lebih berrisiko menderita stunting dibandingkan anak yang berasal dari keluarga
dengan status ekonomi tinggi. Status ekonomi yang rendah menyebabkan
kemampuan keluarga dalam memenuhi kebutuhan pangan menjadi terbatas baik
dalam hal kuantitas, kualitas, dan variasi. Keterbatasan nutrien tersebut dapat
meningkatkan risiko kurang gizi dan risiko stunting pada anak.55

2.2.3.9 Jumlah Anggota Rumah Tangga


Jumlah anggota keluarga merupakan variabel penting dalam menganalisis
gizi. Jumlah anggota keluarga dapat mempengaruhi ketersediaan pangan dalam
keluarga. Jumlah anggota keluarga berhubungan dengan tingkat sosial ekonomi
keluarga dalam perannya dalam mempengaruhi status gizi anak. Anak yang
berasal dari keluarga dengan jumlah Anggota Rumah Tangga (ART) besar (ART
> 4 orang) memiliki peluang yang lebih besar mengalami kekurangan gizi.
Apabila jumlah ART bertambah (seperti bertambahnya kelahiran), maka distribusi
konsumsi makanan masing-masing ART akan berkurang. Asupan makanan yang

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


18
tidak adekuat pada anak dapat menimbulkan berbagai manifestasi seperti
penurunan berat badan dan terhambatnya pertumbuhan.
Jumlah anak yang banyak juga mempengaruhi proporsi waktu ibu dalam
membagi waktu mengurus masing-masing anak.56 Menurut penelitian Nimah dan
nadhiroh, pendapatan keluarga memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
kejadian stunting, dimana terdapat 76,5% balita stunting pada keluarga dengan
pendapatan rendah (kuintil 1,2, dan 3) dibandingkan 23,5% balita stunting pada
keluarga dengan pendapatan cukup (kuintil 4 dan 5).20

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


19
BAB 3
KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Konseptual Penelitian

Karakterisistik anak

Berat badan lahir

ASI eksklusif

Status imunisasi Keadaan stunting

Asupan nutrien

Riwayat infeksi

Karakterisistik orang tua

Pengetahuan ibu
tentang gizi

Tingkat pendidikan

Besar pendapatan

Jumlah anggota rumah


tangga

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


20
3.2 Hipotesis Penelitian
3.2.1 Terdapat hubungan antara berat badan lahir dengan kejadian stunting

pada anak usia 24-59 bulan di Kecamatan Koto Tangah Kota

Padang.

3.3.2 Terdapat hubungan antara ASI eksklusif dengan kejadian stunting

pada anak usia 24-59 bulan di Kecamatan Koto Tangah Kota

Padang.

3.3.3 Terdapat hubungan antara status imunisasi dengan kejadian stunting

pada anak usia 24-59 bulan di Kecamatan Koto Tangah Kota

Padang.

3.3.4 Terdapat hubungan antara asupan kalori dan protein dengan kejadian

stunting pada anak usia 24-59 bulan di Kecamatan Koto Tangah

Kota Padang.

3.3.5 Terdapat hubungan antara riwayat infeksi dengan kejadian stunting

pada anak usia 24-59 bulan di Kecamatan Koto Tangah Kota

Padang.

3.3.6 Terdapat hubungan antara pengetahuan gizi orang tua dengan

kejadian stunting pada anak usia 24-59 bulan di Kecamatan Koto

Tangah Kota Padang.

3.3.7 Terdapat hubungan antara tingkat pendidikan orang tua dengan

kejadian stunting pada anak usia 24-59 bulan di Kecamatan Koto

Tangah Kota Padang.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


21
3.3.8 Terdapat hubungan antara pendapatan orang tua dengan kejadian

stunting pada anak usia 24-59 bulan di Kecamatan Koto Tangah

Kota Padang.

3.3.9 Terdapat hubungan antara jumlah tanggungan orang tua dengan

kejadian stunting pada anak usia 24-59 bulan di Kecamatan Koto

Tangah Kota Padang.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


22
BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1 Jenis Penelitian dan Rancangan Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik observasional dengan desain


cross-sectional. Desain cross sectional dipilih karena manfaatnya untuk
mengklasifikasikan subjek penelitian yeng terkena atau tidak terkena kelainan,
terkena atau tidak terkena paparan, hubungan antara kelainan atau status
kesehatan dengan faktor lain yang diteliti pada waktu yang sama.

Desain cross sectional merupakan desain penelitian epidemiologi yang


mempelajari prevalensi, distribusi, dan hubungan antara kelainan atau status
kesehatan dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya pada waktu yang sama.
Desain penelitian ini tidak dapat menyimpulkan hubungan sebab akibat karena
urutan waktunya tidak dapat ditentukan.

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Koto Tangah Kota Padang.


Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus 2017 hingga bulan Februari 2018,
yaitu dari pembuatan proposal penelitian hingga penelitian selesai.

4.3 Populasi, Sampel, Besar Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel

4.3.1 Populasi Penelitian

Populasi penelitian ini adalah balita usia 24 - 60 bulan di Kecamatan Koto


Tangah Kota Padang.

4.3.2 Sampel

Sampel diambil dari seluruh balita usia 24 - 60 bulan di Kecamatan Koto


Tangah Kota Padang yang telah memenuhi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


23
4.3.3 Besar Sampel

Besar sampel yang dibutuhkan dihitung dengan menggunakan rumus


pengujian hipotesis untuk dua proporsi populasi, yaitu:

n
Z 1 / 2 
2 P1  P   Z 1   P1 1  P1   P2 1  P2 
2

P1  P2 2

Keterangan:

n = jumlah sampel

Z1   / 2 = tingkat kemaknaan pada  = 5% (Z-score = 1,96)

Z1   = kekuatan uji pada  = 10% (Z-score = 1,28)

P = (P1 + P2)/2

P1 = proporsi stunting pada paparan positif

P2 = proporsi stunting pada paparan negatif

Tabel besar minimal sampel berdasarkan penelitian sebelumnya


Variabel Variabel P1 P2 ∑ sampel Sumber
Independen dependen
Asupan Energi TB/U 0,704 0.429 66 Ibrahim,
2014
Asupan Protein TB/U 0,812 0,457 37 Ibrahim,
2014
Penyakit Infeksi TB/U 0,781 0,500 60 Neldawati,
2006
Berat Badan Lahir TB/U 0,750 0,190 15 Anisa,
2012
Besar Pendapatan Orang TB/U 0,346 0,077 60 Anisa,
Tua 2012

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


24
Berdasarkan hasil perhitungan sampel, maka didapatkan jumlah sampel
minimal yang diperlukan adalah 66. Kehilangan sampel akibat drop out
diantisipasi dengan penambahan sampel sebanyak 10 persen, sehingga didapatkan
sampel sebanyak 73 anak.

4.3.4 Teknik pengambilan sampel

Sampel diambil dengan cara simple random sampling dengan sampel yang telah
memenuhi kriteria.

4.4 Kriteria Sampel

4.4.1 Kriteria Inklusi

Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah:


a. Balita usia 24 – 60 bulan yang tinggal di Kecamatan Koto Tangah Kota
Padang.
b. Ibu balita yang bersedia menjadi responden.

4.4.2 Kriteria Eksklusi

Kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah:


a. Balita yang menderita cacat fisik.
b. Data yang diperoleh setelah melakukan pengukuran TB dan wawancara
tidak lengkap.

4.5 Variabel Penelitian

4.5.1 Klasifikasi Variabel

Berdasarkan hipotesis dan jenis penelitian yang akan dilakukan, maka


variabel pada penelitian ini adalah:

1. Variabel dependen terdiri dari: Berat Badan Lahir (BBL) anak, riwayat
pemberian ASI eksklusif anak, riwayat penyakit infeksi anak, riwayat
imunisasi anak, tingkat pendidikan orang tua, tingkat pengetahuan
orang tua tentang gizi, dan tingkat pendapatan orang tua.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


25
2. Variabel independen yaitu indeks TB/U pada anak.

4.5.2 Definisi Operasional

4.5.2.1 Stunting
1. Pengertian : Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) berada pada
-3 SD hingga -2 SD
2. Cara ukur : Tinggi badan diukur dalam posisi berdiri
3. Alat ukur : Microtoise
4. Hasil ukur :
1 Stunting, indeks TB/U berada pada -3 SD hingga -2
SD
2 Normal, indeks TB/U > -2 SD
5. Skala ukur : Ordinal

4.5.2.2 Berat Badan Lahir (BBL)


1. Pengertian : Berat badan bayi yang diukur dalam 1 jam pertama
setelah kelahiran.
2. Cara ukur : Wawancara
3. Alat ukur : Kuesioner
4. Hasil ukur :
1 BBLR, BBL < 2.500 gram
2 Normal, BBL ≥ 2.500 gram
5. Skala ukur : Ordinal

4.5.2.3 Status Pemberian ASI Eksklusif


1. Pengertian : Kelengkapan pemberian ASI eksklusif
2. Cara ukur : Wawancara
3. Alat ukur : Kuesioner
4. Hasil ukur :
1 Bukan ASI eksklusif
2 ASI eksklusif
5. Skala ukur : Nominal

4.5.2.4 Status Imunisasi

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


26
1. Pengertian : Kelengkapan pemberian imunisasi dasar pada
berdasarkan usia bayi
2. Cara ukur : Wawancara
3. Alat ukur : Kuesioner
4. Hasil ukur :
1 Tidak lengkap
2 Lengkap
5. Skala ukur : Nominal

4.5.2.5 Asupan Nutrien


1. Pengertian : Jumlah asupan energi (Kkal) dan protein (gram)
total dalam sehari lalu dibandingkan dengan Angka Kecukupan
Gizi (AKG)
2. Cara ukur : Wawancara
3. Alat ukur : Formulir Food Frequecyt Questionnaire (FFQ)
semikuantitatif
4. Hasil ukur :
1 Rendah, < 100% AKG
2 Cukup, ≥100% AKG
5. Skala ukur : Ordinal

4.5.2.6 Riwayat Penyakit Infeksi


1. Pengertian : Riwayat ISPA dan diare pada anak dalam satu
bulan terakhir
2. Cara ukur : Wawancara
3. Alat ukur : Kuesioner
4. Hasil ukur :
1 Ya, anak pernah mengalami ISPA atau diare dalam
satu bulan terakhir
2 Tidak, anak tidak pernah mengalami ISPA atau diare
dalam satu bulan terakhir
5. Skala ukur : Nominal

4.5.2.7 Tingkat Pengetahuan Ibu tentang Gizi

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


27
1. Pengertian : Hal yang diketahui oleh orang tua tentang gizi
2. Cara ukur : Wawancara
3. Alat ukur : Kuesioner
4. Hasil ukur :
1 Tidak baik, jawaban benar ≤ 55%
2 Baik, jawaban benar > 55%
5. Skala ukur : Ordinal

4.5.2.8 Tingkat Pendidikan Orang Tua


1. Pengertian : Jenjang pendidikan formal tertinggi yang berhasil
diselesaikan orang tua
2. Cara ukur : Wawancara
3. Alat ukur : Kuesioner
4. Hasil ukur :
1 Rendah, maksimal tamat SMP/ sederajat
2 Sedang, tamat SMA/ sederajat
3 Tinggi, tamat perguruan tinggi
5. Skala ukur : Ordinal

4.5.2.9 Besar Pendapatan Orang Tua


1. Pengertian : Jumlah pendapatan yang dihasilkan oleh orang tua
per bulan
2. Cara ukur : Wawancara
3. Alat ukur : Kuesioner
4. Hasil ukur :
1 Rendah, kuintil 1,2, dan3
2 Tinggi, kuintil 4 dan 5
5. Skala ukur : Ordinal

4.5.2.9.10 Jumlah Anggota Keluarga


1. Pengertian : Jumlah Anggota Rumah Tangga (ART)
yang tinggal dalam rumah tangga tersebut
2. Cara ukur : Wawancara
3. Alat ukur : Kuesioner

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


28
4. Hasil ukur :
1 Keluarga besar, ART ≥ 4 orang
2 Keluarga kecil, ART < 4 orang
5. Skala ukur : Ordinal

4.6 Instrumen dan Bahan Penelitian

Penelitian ini menggunakan instrumen penelitian:

1. Microtoise dengan batas ketelitian 0,1 cm digunakan untuk


pengukuran tinggi badan balita.
2. Food Frequency Questionnaire semikuantitatif.
3. Kuesioner yang berisi tentang berat badan lahir anak, pemberian ASI
eksklusif, status imunisasi anak, asupan nutrien pada anak, riwayat
infeksi pada anak, pengetahuan orang tua tentang gizi, tingkat
pendidikan orang tua, besar pendapatan orang tua, dan jumlah anggota
keluarga. Kuesioner yang digunakan yaitu: kuesioner hasil modifikasi
dari kuesioner milik Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (2010) dan Nur Fita
Amalia (2011); dan kuesioner kuesioner hasil modifikasi dari
kuesioner milik Asti Rizkia Prajasasmita (2014).
4.7 Prosedur Penelitian

Izin penelitian diperoleh dari Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


dan Puskesmas Lubuk Buaya sebagai Puskesmas yang cakupan kerjanya di
Kecamatan Koto Tangah Kota Padang. Peneliti meminta daftar nama balita
berusia 24 – 60 bulan yang bertempat tinggal dan menetap di Kecamatan Koto
Tangah Kota Padang yang akan dijadikan sampel. Selanjutnya peneliti meminta
kepada kader untuk memberi petunjuk mengenai alamat balita tersebut.

Pengumpulan data dilakukan oleh peneliti dan dibantu oleh beberapa


mahasiswa Program Studi Profesi Dokter Fakultas Kedokteran Universitas
Andalas angkatan 2014. Peneliti dan tim melakukan technical meeting untuk
menyamakan persepsi mengenai teknik wawancara dan pengisian kuesioner.

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


29
Data diperoleh dengan melakukan pengukuran, wawancara, dan kuesioner
setelah mendapatkan persetujuan dari responden. Data TB/U diperoleh dengan
pengukuran Tinggi Badan (TB) dengan microtoise. Pengukuran tinggi badan
dilakukan dengan menggunakan microtoise sebanyak dua kali. Hasil pengukuran
tinggi badan adalah rerata dari kedua pengukuran tersebut. Hasil pengukuran
tinggi badan balita selanjutnya diolah untuk mendapatkan status gizi balita dengan
menggunakan standar WHO-2005 yaitu Z-skor tinggi badan menurut umur
(TB/U). Data mengenai asupan nutrien (kalori dan protein) diperoleh dengan
pengisian Food Frequecyt Questionnaire (FFQ). Sementara data mengenai berat
badan lahir anak, pemberian ASI eksklusif pada anak, status imunisasi anak,
asupan nutrien pada anak, riwayat infeksi pada anak, pengetahuan orang tua
tentang gizi, tingkat pendidikan orang tua, besar pendapatan orang tua, dan jumlah
anggota keluarga diperoleh dengan wawancara dan kuesioner.

4.8 Pengolahan dan Analisis Data

4.8.1 Cara Pengolahan Data

1. Editing
Proses editing dilakukan untuk mengecek kembali kelengkapan data
dan menghitung nilai yang dibutuhkan dari data tersebut.
2. Entry Data
Proses entry data dilakukan untuk memasukkan data yang diperoleh ke
dalam komputer.
3. Coding
Proses coding dilakukan untuk memberian kode pada masing-masing
data yang diperoleh.
4. Tabulasi
Proses tabulasi dilakukan untuk memasukkan angka-angka hasil
penelitian ke dalam tabel sesuai jenis variable dan tujuan penelitian,
untuk memudahkan dalam analisis data yang diperoleh.
5. Processing
Processing data menggunakan software komputer.
6. Cleaning

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


30
Proses cleaning dilakukan untuk mengecek data kembali dan
menyesuaikan dengan hasil pengamatan.
4.8.2 Analisis Data

1. Analisis Univariat
Analisis univariat digunakan untuk memperoleh karakteristik masing-
masing variabel penelitian, baik variabel dependen (stunting) maupun
variabel independen (asupan nutrien, berat lahir balita, jenis kelam. in
balita, riwayat infeksi pada balita, pemberian ASI eksklusif, status
imunisasi, pendidikan orang tua, dan pekerjaan orang tua). Data diolah
secara deskriptif dan ditampilkan dalam bentuk grafik dan tabel
frekuensi sehingga jumlah dan persentasenya dapat ditentukan.
2. Analisis Bivariat
Analisis bivariat digunakan untuk memperoleh keterkaitan variabel
independen dengan variabel dependen. Data dikelompokkan menjadi
data kategorik. Akan dilakukan tabulasi silang masing-masing variabel
independen terhadap variabel dependen. Uji Chi-square dilakukan
untuk memperoleh tingkat kemaknaan hubungan variabel independen
dengan variabel dependen. Hubungan dikatakan bermakna apabila
didapatkan p value <0,05.

Tabel 4.1 Tabulasi Silang Variabel Independen dengan Variabel


Dependen
Stunting (+) Stunting (-) Total
Faktor risiko (+) a b a+b
Faktor risiko (-) c d c+d
Total a+c b+d a+b+c+d

Rumus Odds Ratio/OR : OR = ad/bc


Interpretasi nilai OR :
OR <1 : Faktor risiko memiliki hubungan negatif dengan stunting
OR =1 : Faktor risiko tidak memiliki hubungan dengan stunting
OR > 1 : Faktor risiko memiliki hubungan positif dengan stunting

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


31
Rumus Chi-square : x2 = ∑ (O-E)2
E
Keterangan:
x2 : nilai Chi-square
O : frekuensi yang diobservasi
E : frekuensi yang diharapkan

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


32

Anda mungkin juga menyukai