Anda di halaman 1dari 8

PERCOBAAN 10

PEMANFAATAN KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS (KLT) DALAM


ANALISIS IDENTIFIKASI JAMU PALSU

I. Tujuan
1.1 Mengenalkan metode KLT untuk mendeteksi adanya bahan kimia obat
(BKO) pada jamu.
1.2 Mengenalkan metode KLT sebagai bagian dalam standarisasi ekstrak
melalui analisis sidik ragam KLT.

II. Prinsip
Membandingkan pola kromatogram antara jamu sampel, jamu
simulasi dan zat pembanding.

III. Alat dan bahan


Alat Bahan
1. Mikroskop 1. Jamu uji / sampel (jamu kepyokan)
2. Chamber KLT 2. Etanol, methanol dan kloroform
3. Lampu UV 254 3. Jamu simulasi dari asisten
dan 365 nm 4. Plat KLT
4. Penampak bercak 5. Kertas Saring
5. Pipa kapiler 6. Zat kimia pembanding (Paracetamol,
Antalgin, Vitamin B-1,
Desoxymethason, Ibuprofen)

IV. Prosedur
Jamu simulasi, jamu uji/sampel dan larutan zat pembanding
(Paracetamol, Antalgin, Vitamin B-1, Desoxymethason, Ibuprofen)
disiapkan, kemudian dibuat larutan jamu sampel dan larutan jamu simulasi
dengan cara melarutan 100 mg jamu sampel kedalam 5 ml etanol dan 200
mg jamu simulasi kedalam 5 ml etanol. Dibuat larutan pengembang
berupa campuran 9 ml kloroform dan 1 ml methanol, kemudian
didiamkan sampai jenuh. Ditotolkan larutan jamu sampel, jamu simulasi
dan BKO pembanding pada plat KLT, lalu dielusi dengan pengembang
hingga batas 1 cm dari ujung plat, kemudian dikeringkan dan diamati
secara visual dibawah sinar UV 254 nm dan 365 nm.

V. Data Pengamatan dan perhitungan


 Pengamatan Kromatografi satu arah
Nama sampel : Jamu Kepyokan
Zat kimia pembanding : Paracetamol, antalgin, Ibu profen, Vit.
B1, Dexoxymethason.
Fase diam : Silica Gel
Fase gerak : Methanol 1 mL, kloroform 9 mL (1:9).
 Perhitungan nilai Rf
3
1. Simulasi : 4 = 0,75 cm
3
2. Sampel : 4 = 0,75 cm
1,65
3. Paracetamol : = 0,4125 cm
4
2,64
4. Antalgin : = 0,65 cm
4
3
5. Ibu profen : 4 = 0,75 cm
2,34
6. Thiamini mononitrate : = 0,5875 cm
4
2,64
7. Desoxymethason : = 0,65 cm
4
 Kromatogram
Sebelum di elusi Sesudah di elusi

VI. Pembahasan
Pada percobaan 10 ini yaitu tentang pemanfaatan kromatografi lapis
tipis (KLT), dalam analisis identifikasi jamu palsu. Tujuan dari percobaan
ini yaitu untuk mengenalkan metode KLT untuk mendeteksi adanya bahan
kimia obat (BKO) pada jamu, serta metode KLT sebagai bagian dari
standarisasi ekstrak melalui analisis sidik ragam KLT. lapis tipis (KLT)
atau thin-layer chromatography (TLC) adalah kromatografi yang fase
stasionernya berupa lapisan tipis suatu adsorben misalnya gel silika,
dilapiskan pada pelat dan fase mobilnya adalah suatu campuran pelarut.
Sampel di aplikasikan pada pelat, kemudian pelat di berdirikan dengan
ujung bawah Kromatografi pada pelarut. Ketika pelarut naik akibat aksi
kapiler pada adsorben, komponen sampel terbawa dengan kecepatan yang
berbeda dan dapat dilihat sebagai deretan titik-titik setelah pelatnya
dikeringkan dan diwarnai atau dilihat di bawah cahaya ultraviolet (
Narlan, hal. 39).
Jamu adalah obat tradisional indonesia yang dibuat dari tumbuhan,
bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari
bahan tersebut, yang secara turun menurun telah digunakan untuk
pengobatan berdasarkan pengalaman (Ning dan Ahkam, 2007).
Jamu palsu merupakan jamu yang mengandung bahan kimio obat
yang tidak boleh ada didalam jamu.
Prinsip percobaan kali ini adalah membandingkan pola
kromatogram antara jamu sampel, jamu simulasi, dan zat tambahan.
Pada identifikasi jamu palsu
Dilakukan jamu kepyokan sebagai bahan uji karena untuk
mengetahui ada atau tidaknya bahan kimia obat pada jamu tersebut.
Sebetulnya jamu dengan penambahan BKO tersebut untuk meningkatkan
khasiat jamu menjadi lebih berefek dibandingkan dengan jamu yang tanpa
bahan kimia obat. Akan tetapi penggunaan jamu yang mengandung BKO
dengan dosis yang tidak diketahui dan dikonsumsi dalam jangka waktu
panjag akan menyebabkan kerusakan pada tubuh, karena obat sintesis
tidak seluruhnya dapat dikonsumsi dengan bebas, ada hal-hal yang harus
diperhatikan terkait keamanan dan potensinya terhadap kesehatan pasien,
apalagi pasien yang memiliki riwayat penyakit tertentu, konsumen yang
tidak menyadari adanya bahaya dari obat tradisional yang mengandung
BKO tentunya dapat timbul potensi berbahaya bagi kesehatan, misalnya
jamu yang mengandung fenilbutazon dapat menyebabkan peradangan
lambung dan dalam jangka panjang akan merusak hati dan ginjal.
Bahan kimia obat yang tidak boleh terkandung didalam jamu dan
sering digunakan diantaranya paracetamol sebagai pereda nyeri dengan
efek samping penggunaan jangka lama dan dosis besar meyebabkan
kerusakan hati, dan reaksi hipersensitifitas. Antalgin sebagai obat pereda
nyeri dengan efek samping reaksi hipersensitifitas, reaksi pada kulit,
misalnya kemerahan, dan agranulositosis. Ibuprofen sebagai obat pereda
nyeri dengan efek samping gangguan saluran pencernaan.
Desoxymethasone untuk eksim, dermatitis, alergi dan ruam, dengan efek
samping iritasi, folliculitis, hipertiroksis, erupsi yang menyerupai acne,
hipopigmentasi, dermatitis perioral, dermatitis kontak alergi, maserasi
pada kulit, infeksi sekunder, atropi kulit, rasa terbakar, gatal-gatal, dan
kekeringan pada kulit. Thiamin (vit B1) untuk menjaga fungsi sel-sel otot
dan saraf tubuh dengan efek samping gejala alergi berupa gatal-gatal,
kesulitan bernafas, pembengkakan pada wajah, bibir, lidah, atau
tenggorokan (Fauzi, 2018).
Jamu yang sudah terdaftar di BPOM dan telah dicampur dengan
beberapa BKO digunakan sebagai jamu simulasi.
Pada percobaan kali ini melakukan identifikasi pemalsuan jamu.
Langkah pertama yang dilakukan adalah menyiapkan jamu sampel, jamu
simulasi dan zat pembanding. jamu sampel yang digunakan adalah jamu
kepyokan dengan komposisi curcuma rhizoma 13 gram, litsea odorifera
folium 10 gram, kaempferiae rhizoma 10 gram, zingiberis aromaticae
rhizoma 10 gram, phyllanthi herba 5 gram, dan bahan-bahan lain hingga
100 gram. Jamu ini berkhasiat untuk melancarkan air susu ibu dan supaya
tubuh ibu serta bayi sehat, segar dan kuat alami, membantu perut kembali
menjadi kencang langsung dan singset seperti sedia kala. Jamu simulasi
yang digunakan adalah jamu yang diberika asisten sebanyak 200 mg yang
terdiri dari jamu yang telah terdaftar di BPOM dan bahan kimia obat yang
belum diketahui. Sedangkan zat pembanding yang digunakan adalah
paracetamol, ibuprofen, antalgin, thiamine mononitrate dan
desoxymethasne. Setelah itu dibuat larutan sampel dan pembanding
dengan cara melarutkan 100 mg jamu kepyokan sebagai sampel dengan
etanol 5 ml dan larutan simulasi dengan cara melarutkan 200 mg jamu
simulasi dengan 5 ml etanol.
Kemudian dibuat larutan pengembang sebagai fase gerak dengan
cara mencampurkan 9 ml kloroform dengan 1 ml methanol kedalam
beaker gelass, kemudian dijenuhkan dengan cara memasukan kertas saring
dan beaker glass ditutup, larutan tersebut dapat dikatakan jenuh apabila
kertas saring menjadi basah. Fase gerak atau eluen yang digunakan
didasarkan pada pemilihan polaritas senyawa, merupakan campuran
beberapa cairan yang berbeda polaritas senyawa dan biasanya merupakan
campuran beberapa cairan yang berbeda polaritas, sehingga didapatkan
perbandingan tertentu. Kepolaran eluen sangat berpengaruh terhadap Rf
(faktor retensi) yang diperoleh (Gritter, 1991). Eluen yang digunakan yaitu
yang termasuk pelarut polar digunakan metanol dan untuk eluen non
polar digunakan kloroform, dengan perbandingan 9:1. Karena yang
dilakukan yaitu metode KLT maka fase diamnya merupakan plat tipis
yang dilapisi adsorben yaitu silika gel.
Setelah itu dilakukan pengukuran terhadap lempeng silica 1 cm
dari bagian bawah dan 1 cm dari bagian atas lempeng silica yang
bertujuan sebagai pembatas, kemudian dilakukan penotolan jamu
simulasi, jamu sampel dan zat pembanding (paracetamol, antalgin,
ibuprofen, thiamine mononitrat dan desoxymethasone) menggunakan pipa
kapiler dengan jarak masing-masing ½ cm. Kemudian kertas silica
dimasukan kedalam beaker glass yang telah berisi larutan pengembang
jenuh, lalu dielusi. Bila eluen telah mencapai batasatas dari lempeng silica
gel maka lempeng tersebut dapat dikeluarkan kemudian didiamkan sampai
kering dan diamati secara visual dibawah sinar UV 254 nm.
Sehingga terlihat beberapa bercak yang menunjukan adanya
kandungan senyawa pembanding. Dari hasil percobaan menunjukan dalam
jamu simulasi terdapat BKO berupa ibuprofen karena dilihat dari
kesejajaran kedua bercak tersebut. Untuk jamu sampel tidak menunjukan
adanya BKO karena bercak yang timbul berwarna kuning yang
merupakan zat pewarna dari jamu tersebut, pengamatan ini dilakukan
berdasarkan analisis kualitatif. Sedangkan untuk analisis kuantitatif dilihat
berdasarkan nilai Rf. Nilai Rf merupakan ukuran kecepatan migrasi suatu
senyawa. Harga Rf didefinisikan sebagai perbandingan antara jarak
senyawa titik awal dan jarak tepi muka pelarut dari titik awal (Ibnu
Gholib, 2007). Nilai Rf digunakan untuk identifikasi adanya perbedaan
senyawa didalam sampel, senyawa yang mempunyai Rf lebih besar berarti
mempunyai kepolaran yang rendah, begitu juga sebaliknya. Nilai Rf yang
didapat untuk jamu simulasi dan jamu sampel dan ibuprofen adalah 0,75
cm, antalgin dan desoxymethasone 0,65 cm, paracetamol 0,4125 cm dan
thiamine mononitrat 0,5875. Dari nilai Rf tersebut dapat diketahui bahwa
dalam jamu simulasi terkandung BKO berupa ibuprofen.

VII. Kesimpulan
Pada percobaan ini didapat hasil:
 Untuk jamu simulasi terdapat Bahan Kimia Obat (BKO) Ibu Profen
 Untuk Jamu sampel “Kepyokan” tidak mengandung BKO
Daftar Pustaka

Gandjar, Ibnu Gholib dan Abdul Rahman. 2008. Kimia Farmasi Analisis.
Bandung: ITB

Gholib, Ibnu. 2007. Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar


Harmanto, Ning. Subroto, A. 2007. Pilih Jamu dan Herbal Tanpa Efek
Samping. Jakarta: Gramedia

Kasim, F. 2018. Informasi Spesialite Obat Indonesia. Jakarta: PT. ISFI


Roy, J. Gritter, James, M. Bobbit, Arthur, E. S. 1991. Pengantar
kromatografi.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Anda mungkin juga menyukai