Anda di halaman 1dari 4

A.

Definisi Mejelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)


Dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 (yang telah diperbarui dalam UU No.17
Tahun 2014 atau disebut juga UU MD3) telah memuat mengenai Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah. Definisi dan wewenang MPR terdapat pada pasal 2, 3, dan 4 UU Nomor 27
Tahun 2009.
Definisi MPR menurut pasal 2 dan 3 UU No. 27 Tahun 2009 adalah :
Pasal 2 : MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilihan
umum. Pasal 3 : MPR merupakan lembaga permusyawaratan rakyat yang berkedudukan
sebagai lembaga negara1. Dari kedua pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa MPR
merupakan lembaga permusyawaratan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga negara
dimana anggotanya terdiri dari anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui
pemilihan umum.

B. Tugas dan Wewenang MPR


2
Sebelum terjadinya amandemen UUD 1945, MPR disebut sebagai lembaga tertinggi
negara yang tugas dan wewenangnya diatur dalam pasa 3 dan 6 ayat (2) yaitu :
1. Menetapkan dan mengubah Undang-Undang Dasar
2. Menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara
3. Memilih dan mengangkat Presiden dan Wakil Presiden (pasal 3)
Majelis mempunyai wewenang :
1. Membuat putusan-putusan yang tidak dapat dibatalkan oleh lembaga negara yang
lain, termasuk penetapan garis-garis besar haluan negara yang pelaksanaannya
ditugaskan kepada presiden
2. Memberikan penjelasan yang bersifat penafsiran terhadap putusan-putusan majelis
3. Menyelesaikan pemilihan dan selanjutnya mengangkat presiden dan wakil presiden
4. Meminta pertanggungjawaban dari presiden
5. Mencabut mandat dan memberhentikan presiden dalam masa jabatannya apabila
presiden sungguh melanggar GBHN dan atau UUD.

1
Redaksi Sinar Grafika, Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD 2009 (Jakarta: Sinar
Grafika, 2010), hlm. 4
2
Christine S.T. Kansil, sistem pemerintahan Indonesia (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2011),
hlm.60
3
Setelah amandemen UUD 1945, kewenangan MPR, DPR, DPD, DPRD diatur dalam UU
No. 27 Tahun 2009 yang kemudian diperbarui beberapa pasalnya dan diatur dalam UU No.17
tahun 2014 (UU MD3). Wewenang MPR adalah sebagai berikut :
1. Mengubah dan menetapkan UUD NRI 1945
2. Melantik Presiden dana Wakil Presiden hasil pemilihan umum
3. Memutuskan usul DPR untuk memberhentikan Presiden atau Wakil Presiden dalam
masa jabatannya
4. Melantik Wakil Presiden menjadi Presiden apabila presiden mangkat, berhenti,
diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya
5. Memilih Wakil Presiden dari dua calon yang diusulkan oleh Presiden apabila terjadi
kekosongan jabatan Wakil Presiden dalam masa jabatannya
6. Memilih Presiden dan Wakil Presiden apabla keduanya mangkat, berhenti,
diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya
secara bersamaan, dari dua pasangan calon presiden dan wakil presiden yang
diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon
presiden dan wakil presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam
pemilihan umum sebelumnya, sampai berakhir masa jabatannya.
4
Tugas MPR yang diatur dalam UU MD3 adalah :
a. Memasyarakatan ketetapan MPR
b. Memasyarakatkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika
c. Mengkaji system ketatanegaraan, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, serta pelaksanaannya; dan
d. Menyerap aspirasi masyarakat berkaitan berkaitan dengan pelaksanaan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

3
Redaksi Sinar Grafika, Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD 2009 (Jakarta: Sinar
Grafika, 2010), hlm. 4-5
4
Redaksi Sinar Grafika, MD3 (UU RI No.17 Tahun 2014) MPR, DPR, DPD, DPRD (Jakarta:
Sinar Grafika, 2014), hlm.6
C. Perubahan kedudukan dan kewenangan MPR Sebelum dan Sesudah
amandemen UUD 1945
Secara umum, implikasi dari perubahan UUD 1945, tentu saja memberikan akibat
perubahan kedudukan dan kewenangan MPR pula. Setidaknya terdapat 3 (tiga) implikasi
mendasar akibat perubahan UUD 1945 terhadap kedudukan dan kewenangan MPR, antara
lain :
1. MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi Negara sebagai perwujudan Pasal 1
ayat 2 UUD 1945, yakni menjadi representasi absolut dari kedaulatan rakyat
Indonesia. MPR pasca perubahan UUD 1945, kini memiliki kedudukan sederajat
dengan lembaga tinggi Negara lainnya, yakni Lembaga Kepresidenan, Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK), Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.
2. Sebagai konsekuensi MPR yang tidak lagi menjadi lembaga tertinggi Negara,
maka MPR bukanlah lembaga perwakilan, akan tetapi cendrung menjadi “joint
sesion” antara anggota DPR dan anggota DPD yang memiliki fungsi bersifat lembaga
konstituante yang bertugas merubah dan menetapkan Undang-undang Dasar. Secara
implisit, roh atau eksistensi MPR menjadi ada atau diadakan jika berkenaan dengan
kewenangan yang diberikan oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Sebagaimana pendapat Jimly Asshidiqie yang menyatakan bahwa, organ MPR itu
sendiri baru dikatakan ada (actual existence) pada saat kewenangan atau functie-nya
sedang dilaksanakan. Dalam pola Negara kesatuan sebagaimana dianut oleh
Indonesia, supremasi parlemen yang memegang fungsi legislasi, hanya ada ditangan
DPR dan DPD bukan ditangan MPR lagi.
3. MPR tidak lagi memiliki kewenangan untuk membuat ketetapan yang bersifat
mengatur (regelling). MPR pasca perubahan UUD 1945 hanya diberikan kewenangan
dalam membuat ketetapan yang bersifat keputusan (beshickking). Dihilangkannya
kewenangan MPR untuk menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara, berarti aturan
dasar Negara kita berlaku secara singular atau tunggal yang bertumpu kepada UUD
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. MPR kini tidak lagi berwenang menerbitkan
aturan dasar Negara (grundnorm) di luar UUD NRI Tahun 1945 yang bersifat
mengatur.
Sejalan dengan point ke-3 diatas, Harun Al Rasyid menegaskan bahwa TAP MPR
tidak bisa dijadikan sebagai peraturan perundang-undangan atau memuat hal-hal yang
bersifat regeling (pengaturan)5. Lebih lanjut menurut Harun Al Rasyid, ketetapan
MPR boleh saja ada, tetapi ia bukan peraturan perundang-undangan (regeling)
melainkan sebatas penetapan (beschikking). Pandangan tersebut kemudian diterima
dan dimasukkan kedalam amandemen UUD 1945.

D. Kontroversi revisi UU MD3 terhadap MPR


Seperti yang kita ketahui, revisi Undang-Undang MD3 telah menjadi kontroversi dan
dianggap sebagai revisi UU yang merupakan aksi kriminalisasi terhadap demokrasi. Revisi
UU MD3 dianggap kriminalisasi terhadap demokrasi karena terdapat pasal-pasal yang
menyebabkan lembaga-lembaga tinggi negara (terutama DPR) dapat berbuat semena-mena,
seperti dapat mengendalikan kepolisian RI, dan juga menjadi kebal akan kritik.
Jika membahas mengenasi revisi UU MD3 terhadap MPR, sebenarnya tidak ada pasal-
pasal kontroversi yang merujuk pada MPR. Hanya terdapat satu pasal yang merubah struktur
kelembagaan MPR, yaitu :
 Pasal 84 dan 15 tentang komposisi pimpinan DPR dan MPR
Pasal ini lebih punya kontroversi politik karena kursi pimpinan DPR yang semula satu ketua
dan empat wakil, menjadi satu ketua dan lima wakil. Satu pimpinan tambahan ini akan
menjadi jatah pemilik kursi terbanyak yang saat ini dipegang oleh PDI-P. Pada pasal 15,
pimpinan MPR tadinya terdiri atas satu ketua dan empat wakil ketua. Dengan revisi,
pimpinan MPR menjadi satu ketua dan tujuh wakil. MPR terdiri atas 10 fraksi partai politik
dan satu fraksi Kelompok DPD.

5
Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi (Jakarta:
Rajawali Pers, 2010), hlm. 32

Anda mungkin juga menyukai