Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH FARMAKOGENOMIK

“RESEPTOR PROTEIN G”

OLEH :

NAMA : ERVIL SAINI

NIM : 70100116068

KELAS : FARMASI B

JURUSAN FARMASI

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UIN ALAUDDIN MAKASSAR

SAMATA-GOWA

2019
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Seiring dengan berkembangnya program proyek genom manusia atau Human

Genome Project dan teknologi analisis genetik untuk mengidentifikasi mutasi pada

suatu gen yang dapat menimbulkan suatu penyakit, telah menjadikan ilmu genetik

sebagai era baru dalam dunia pengobatan (Friend, 1999).


Dalam dunia pengobatan, penggabungan ranah penelitian mengenai genom

dan farmakologi telah menciptakan studi baru yaitu farmakogenomik. Dalam studi

farmakogenomik dapat diketahui respon seseorang terhadap obat karena gen setiap

individu yang berbeda. Farmakogenomik merupakan sebuah studi yang

mengintegrasikan beberapa ilmu diantaranya, ilmu genetik, ilmu farmasi, ilmu

kedokteran, biologi dan bioinformatik. Integrasi dari berbagai ranah ilmu menjadikan

farmakogenomik merupakan sebuah studi yang kompleks karena menyatukan semua

teknologi dan sistem dari masing-masing ilmu menjadi satu kesatuan (Holtzman dan

Marteau, 2000).

Namun sebagai sebuah studi yang sedang berkembang, farmakogenomik


memiliki manfaat yang luar biasa dalam bidang pengembangan obat dan terapeutik.

Farmakogenomik akan menunjukkan hasil klinis yang lebih baik penurunan biaya

pengembangan obat, peningkatan efikasi obat, pengurangan efek samping obat, dan

meningkatkan keakuratan dalam diagnosis (Kurth, 2000).

Dilihat dari beberapa nilai positif dari berkembangnya studi farmakogenomik,

penggunaan farmakogenomik dalam pengobatan akan mempermudah penemuan dan


pengembangan obat baru dengan efikasi yang tepat sehingga akan berdampak pada

penurunan biaya untuk pengobatan pasien. Akan tetapi meskipun memiliki potensi

positif terhadap studi pengembangan obat maupun meningkatkan efektifitas dalam

terapi, untuk menilai nilai dari farmakogenomik perlu dilakukan evaluasi, bukan

hanya evaluasi secara klinik namun perlu juga dilakukan evaluasi pengaruh ekonomi

dari pengobatan berbasis farmakogenomik dalam penelitian dan pengembangan di

dunia kefarmasian(Regalado, 1999; Sadee, 1999).


Valsartan secara antagonis akan berikatan dengan reseptor angiotensin II

(AT1R) yang termasuk golongan G protein coupled receptor. Reseptor ini terdiri dari

tujuh subunit protein alfa heliks yang terintegrasi di dalam membran sel. Pada G

protein coupled reseptor, terdapat beberapa reseptor penting seperti reseptor

histamin, bradikinin, alfa, beta, dan reseptor lain. Reseptor angiotensin II yang juga

merupakan salah satunya, terdapat di bagian atas mendekati permukaan membran.

B. Rumusan Masalah

1. Jelaskan tentang reseptor protein G ?

2. Jelaskan tentang senyawa/obat dari reseptor protein G ?

3. Jelaskan tentang polimerfisme dari obat tersebut


4. Jelaskan tentang implikasi/aplikasi klinis dari obat tersebut

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui tentang reseptor protein G

2. Untuk mengetahui senyawa obat dari reseptoe protein G

3. Untuk mengetahui polimerfisme dari obat tersebut

4. Untuk mengetahui implikasi/aplikasi klimis dari obat tersebut


BAB II

PEMBAHASAN

A. G PROTEIN COUPLED RECEPTOR

G Protein Coupled Receptor atau sering disingkat dengan GPCR merupakan

golongan protein besar yang terdiri dari tujuh subunit alfa heliks yang terintegrasi

dalam membran phospholipid layer ganda (sebuah subunit biasa disebut TM). GCPR

terletak pada permukaan sel dan bertanggung jawab atas transduksi dari signal-signal
endogen pada respon intraseluler. Ligan-ligan alami pada reseptor ini berupa peptida,

hormon protein, amina biogenik, nukleotida maupun nukleosida, dan eicosanoid,

serta beberapa ligan lain. Dengan berikatan dengan ligan-ligan tersebut baik pada

daerah transmembran maupun ekstraseluler, reseptor akan mengalami kejadian-

kejadian tertentu seperti perubahan konformasi yang dapat mengakibatkan adanya

perubahan penghantaran signal menuju protein G (trimeric guanin nucleotide

regulatory binding regulatory protein), yang nantinya akan mengaktivasi maupun

mendeaktivasi penghantaran signal sekunder dari protein G tersebut seperti cAMP

dan ion kalsium (Klabunde, 2002).

G Protein Coupled Receptor ini memiliki berbagai peranan penting dalam


mengatur fungsi fisiologis tubuh. Hal ini dikarenakan pada molekul GPCR, terdapat

banyak reseptor dimana ketika terjadi interaksi dengan ligan-ligan yang spesifik akan

terjadi mekanisme-mekanisme penting. Beberapa reseptor yang terdapat dalam GPCR

dan fungsinya antara lain :

 Reseptor alfa dan beta sebagai pengatur detak jantung dan kontraksi

otot polos
 Reseptor angiotensin II sebagai mekanisme peningkatan tekanan darah

dan homeostasis cairan

 Reseptor histamin sebagai bagian dari mekanisme alergi

 Serta banyak reseptor lain

1. Struktur G Protein Coupled Receptor

G Protein Coupled Receptor memiliki topologi khas, yaitu ekor N yang


terletak di luar membran, tujuh subunit protein berbentuk alfa heliks yang tertanam

dalam membran, dan adanya ekor C yang terletak pada intraseluler. Kedua ekor ini

memiliki peranan penting dalam pengaturan regulasi aktivasi dan deaktivasi dari

GCPR tersebut. Rantai C terminal biasanya mengandung serin maupun threonine

yang ketika terphosphorilasi, akan mengakibatkan protein G tidak bisa terikat pada

bagian tertentu. Hal ini dikarenakan adanya protein yang menempel pada bagian

ekstraseluler dinamakan beta-arrestins. Peristiwa ini akan menyebabkan

terdeaktivasinya GCPR yang kemudian melakukan endositosis berbagai substansi

masuk ke dalam sel. Selain terphosphorilasi, rantai C terminal ini juga dapat

mengalami palmitoylation yaitu adanya ikatan kovalen dengan gugus asil sehingga
mengalami peningkatan afinitas terhadap substansi kolesterol maupun sphignolipid

(Klabunde, 2002).

Berdasarkan Strukturnya, G Protein Coupled Receptor diklasifikasikan

menjadi tiga sub tipe, yaitu tipe A, tipe B, dan tipe C. Pada dasarnya, GPCR memiliki

susunan yang sama dengan reseptor rodhopsin pada retina mata, sehingga dalam

melakukan penelitian, banyak digunakan reseptor rodhopsin tersebut. Berikut adalah

penggolongan sub tipe dari GCPR :


 Tipe A merupakan tipe GPCR yang paling mirip dengan rodhopsin

tersebut. Tipe A ini merupakan tipe GPCR paling banyak terdapat dalam

mamalia. Tipe A ini dimungkinkan merupakan reseptor dari berbagai

macam ligan seperti monoamines, purines, opioids, chemokines, beberapa

hormon peptida kecil, dan hormon glikoprotein seperti thyroid stimulating

hormone (TSH), luteinizing hormone (LH), serta follicle-stimulating

hormone (FSH). Secara topologi, tipe A ini memiliki rantai amino


terminal yang paling pendek dari dua tipe yang lain (King, 2013).

Pada tipe A terdapat ikatan sulfida pada sistein di bagian atas pada TM III

dan sistein pada bagian tangan EL II. Pada reseptor ACTH dan MSH tidak

terdapat ikatan sulfida tersebut akan tetapi terdapat residu hidrofilik yang

tersebar pada TM IV dan TM V (Foreman, 1996).

 Tipe B merupakan tipe kedua yang memiliki bentuk seperti reseptor

sekretin. Tipe ini memiliki tempat pengikatan bagi ligan-ligan peptida

seperti horon tiroid dan kalsitonin. Secara topologi, tipe B ini memiliki

rantai terminal yang lebih panjang dari tipe A, serta ditemukan enam

residu sistein (Klabunde, 2002). Sistein ini akan membentuk ikatan sulfida
yang membentuk bagian globular yang melibatkan ikatan dengan ligan.

Terdapat dua buah sistein yang terletak pada bagian atas TM III dan pada

tengah EL 2, membentuk ikatan sulfida sama seperti tipe A. Berbeda

dengan tipe A, pada tipe B terdapat asam amino prolin pada TM V dan

TM VI yang berbeda posisi.

 Tipe yang terakhir adalah tipe C yang memiliki bentuk seperti reseptor

metabotropic/glutamat. GPCR tipe C merupakan reseptor bagi beberapa


ligan seperti glutamat, ion Ca ekstraseluler, serta reseptor beberapa rasa

dan bau. Secara topologi, tipe C memiliki rantai terminal terpanjang (500-

600 residu) yang terlipat membentuk suatu tempat ikatan tersendiri,

terpisah dari tujuh alfa heliks yang tertanam dalam membran (King,

2013).

2. Mekanisme Aktivasi GPCR

G Protein Coupled Receptors (GCPR) mengaktivasi rangkaian peristiwa


yang mengubah konsentrasi satu atau lebih suatu molekul signaling intraseluler atau

second messenger yang akan menimbulkan respon seluler. Beberapa second

messenger yang terlibat dalam transduksi ini yaitu : siklik AMP (cAMP), protein

kinase A (PKA), diasil gliserol (DAG), protein kinase C (PKC), Inositol trifosfat

(IP3), dan kalsium (Ca++). Tranduksi signal pada GCPR ada dua jalur, yaitu : jalur

adenilat siklase dan jalur fosfolipase, penggunaan jalur ini tergantung pada jenis

protein G yang terlibat.

Terdapat tiga macam protein G, yaitu :

 Gs (stimulatory G protein) yang mengaktifkan enzim adenilat siklase

 Gi (inhibitory G protein) yang menghambat enzim adenilat siklase


 Gq yang mengaktifkan sistem fosfolipase atau inositol fosfat

enzim adenilat siklase merupakan enzim yang mengkatalisis pembentukan

cAMP, sedangkan enzim fosfolipase merupakan enzim yang menghidrolisis

senyawa fosfolipid (fosfatidilinositol) menjadiasil gliserol (DAG) dan inositol

trifosfat (IP3).

3. Aktivitas Agonis pada GPCR


Seperti halnya reseptor lain, pada GPCR terdapat substansi yang bersifat

agonis terhadap reseptor tersebut. Bila terdapat substansi agonis yang menempel pada

sisi aktif GPCR, maka akan terjadi peningkatan transduksi signal oleh protein G.

Masing-masing senyawa akan memiliki tempat penempelan yang khas. Senyawa

yang berbeda, maka beda pula tempat penempelannya. Akan tetapi terdapat batasan

untuk mengetahui interaksi reseptor ligan, berbasis pada eksperimen dimana kita akan

melihat beberapa fungsi yang hilang akibat mutasi atau substitusi yang dipasangkan
atau dikoplingkan (Foreman, 1996).

 Agonis Monoamin

Beberapa monoamin seperti retinal menempel pada lisin yang terdapat

ditengan segmen transmembran ke VII sehingga mengakibatkan interaksi yang kaku

dengan residu glutamat pada bagian atas TM III GCPR (rhodopsin). Pada sistem

adrenergic terjadi interaksi yang spesifik antara gugus amin pada ligan dan asam

aspartat pada TM III. Interaksi ini pertama kali dibuktikan dengan melakukan

perubahan pada sisi aktif dari reseptor dari aspartat menjadi serin dan perubahan

gugus amin ke keton atau ester pada ligan. Pada beta adreno reseptor sisi aktif

terdapat pada rongga yang terbentuk dari rongga TM III, V, dan VI. Terdapat tiga
interaksi penting yaitu amin pada ligan dengan aspartat pda TM III, cincin cathecol

dengan serin pada TM V serta adanya interaksi aromatik dengan fenilalanin pada TM

VI (Foreman, 1996).

 Agonis Peptida

Hormon glikoprotein menerima energi ikatan yang besar dari interaksi dengan

ekor N terminal. Selain itu neuropeptida dan peptida hormon memiliki interaksi pada
N terminal. Reseptor AT-1 memiliki sisi aktif pada bagian loop eksternal hingga pada

bagian transmembran (Foreman 1996).

4. Aktivitas Antagonis pada GPCR

Lain halnya dengan agonis yang memacu transduksi sinyal dari GPCR, ikatan

antagonis ini justru akan menghambat penghantaran sinyal tersebut. Pada mulanya

kemampuan substansi antagonis dapat berikatan pada sisi yang sama secara

kompetitif dengan agonis, akan tetapi penemuan terbaru menunjukan senyawa


antagonis ini memiliki sisi aktif tersendiri sehingga terdapat perbedaan dalam

penempelannnya (Foreman, 1996).

 Antagonis Monoamin

Beberapa antagonis monoamin memiliki reseptor yang sisi aktifnya sama

dengan reseptor agonisnya. Substansi antagois dapat berintraksi dengan aspartan pada

TM III dan juga sama seperti agonis yang normalnya dapat menempati rongga antara

TM III, V dan VI. Tetapi beberapa antagonis memiliki interaksi yang berbeda dengan

agonis seperti TM VII pada bagian atas (Foreman, 1996).

 Nonpeptid Antagonis

Beberapa antagonis nonpeptid didapatkan dengan cara substitusi maupun


reduksi pada ikatan peptida sama seperti mono amin, antagonis dapat menempati sisi

yang sama maupun berbeda dengan agonisnya (sterik maupun alosterik kompetitif).

Beberapa substansi nonpeptida memiliki interaksi yang terletak pada rongga antara

TM III, V, VI dan VII. Terkadang mekanisme substansi antagonis dibantu dengan ion

logam seperti zink untuk menstabilkan keadaan tidak aktif dari reseptor (Foreman,

1996).

ANGIOTENSIN II RESEPTOR
Renin angiotensin sistem merupakan sistem fisiologis yang mengatur

keseimbangan tekanan darah dan cairan dengan hidorlisis angiotensinogen

membentuk angiotensin I. Peptida ini kemudian akan mengalami hidrolisis lebih

lanjut menjadi angiotensin II Berbentuk oktapeptida (Asp-Arg-Val-Tyr-Ile-His-Pro-

Phe) oleh Angiotensin Converting Enzyme (ACE). Angiotensin II ini kemudian akan

berikatan dengan reseptor angiotensin dan mengaktivasi berbagai macam mekanisme

untuk meningkatkan tekanan darah seperti vasokonstriksi, peningkatan detak jantung,


sekresi aldosteron, dan lain sebagainya (Shimuta, 2007).

Angiotensin reseptor terdiri dari dua subtipe utama yaitu tipe I dan tipe II.

Kedua tipe ini dibedakan berdasarkan kemampuan internalisasi dan desensitasi dari

agonis yang ada, dimana tipe II tidak terinternalisasi dan terdesensitasi oleh beberapa

agonis, walaupun AT2R tetap bisa berikatan dengan AGNII. Ikatan AGNII baik

dengan AT1R maupun AT2R akan mengaktivasi peningkatan sintesis protein akibat

adanya aktivasi dari protein tertentu. Pada dasarnya, banyak obat-obat antagonis

angiotensin reseptor untuk mengontrol hipertensi akan berinteraksi secara kompetitif

dengan angiotensin II pada reseptor tipe I, sehingga fokus penelitian banyak

dilakukan dengan reseptor tipe I tersebut (AT1R) (Shimuta, 2007).


1. Angiotensin II

Angiotensin II merupakan senyawa oktapeptida yang merupakan senyawa

spesifik pada ATR baik tipe satu maupun tipe dua. Angiotensin II ini akan

memberikan efek secara fisiologis bergantung pada aromatisitas phenilalanin pada

residu C terminal. Selain itu aromatisitas pada tirosin dan histidin serta gugus

guanidin pada arginin dan muatan pada C karboksil terminal juga berperan penting
dalam aktivasi reseptor. Residu N terminal memegang peranan dalam durasi ikatan

antara angiotensin II dengan residunya (Gasparo, 2000).

Beberapa teori menyatakan bahwa ikatan terpenting dari angiotensin II

dengan reseptornya terletak pada aromatisitas fenilalanin di posisi C terminal. Selain

itu afinitas yang tinggi juga terlihat dari adanya ikatan hidrogen antara angiotensin II

(arginin, tirosin, dan histidin) dengan gugus karboksilat pada reseptor. Penggantian

asam amino tersebut pada molekul angiotensin II hasil sintesis, menunjukkan


penurunan afinitas yang drastis dari reseptor (ATR) (Shimuta, 2007).

2. Angiotensin Reseptor Tipe I

Angiotensin reseptor tipe I atau sering disebut AT1R merupakan salah satu

reseptor yang berada pada keluarga GPCR (G Protein Coupled Receptor). Reseptor

ini memainkan banyak peranan dalam berbagai macam fungsi fisiologis bersama

dengan keberadaan angiotensin II. Beberapa kondisi organ yang terpengaruh dengan

adanya interaksi AT1R dengan angiotensin II adalah jantung (peningkatan detak

jantung), ginjal (sekresi aldosteron), neuron (aktivasi sarah simpatik), edokrin

(sekresi adrenalin), hepatic, dan berbagai macam organ lain (Gasparo, 2000).

B. VALSARTAN
Valsartan merupakan salah satu obat golongan Angiotensin II reseptor

blocker yang dimetabolisme dan diekskresikan oleh rute non-ginjal. Valsartan efektif

dalam pengobatan anak, remaja dan pasien lanjut usia dengan ringan hingga

hipertensi sedang. Monoterapi dengan Valsartan dengan 80 mg sebagai dosis awal

telah menunjukkan efikasi yang cukup pada pasien dengan CHF dan gangguan ginjal

bersamaan dengan hipertensi dan tambahan terapi untuk membantu mengontrol


tekanan darah pada populasi besar pasien dengan hipertensi berat tidak cukup

menanggapi β- blocker, inhibitor ACE atau diuretik (Siddiqui, et al., 2011).

Interaksi antara angiotensin II dengan reseptornya (AT1R) akan

mengakibatkan rentetan peristiwa fisiologis yang dapat meningkatkan tekanan darah.

Hal ini dikarenakan teraktivasinya reseptor AT1R yang kemudian diikuti dengan

terjadinya transduksi signal pada protein G sehingga terbentuk mediator-mediator

yang akan berdampak pada mekanisme dalam peningkatan tekanan darah tadi. Akan
tetapi pada penderita hipertensi, hal ini harus dihindari untuk menurunkan tekanan

darah. Keadaan hipertensi yang berkepanjangan dapat mengakibatkan timbulnya

penyakit-penyakit lain seperti gagal ginjal dan jantung.

Valsartan merupakan obat generasi kedua penghambat AT1R setelah losartan

memiliki kemampuan untuk mengontrol hipertensi. Hal ini dikarenakan valsartan

dapat berikatan dengan sisi antagonis pada AT1R sehingga menyebabkan tidak

terjadinya pengikatan angiotensin II pada AT1R dan menyebabkan reseptor ini tidak

teraktivasi sehingga proses pengeluaran signal-signal selular yang dilakukan oleh

protein G tidak terjadi.

1. Struktur Kimia Valsartan

Gambar. 8 Struktur Kimia Valsartan(Potamitis, 2009)


Desain Losartan didasarkan pada bentuk yang meniru segmen C terminal dari

molekul angiotensin II. Desain Valsartan didasarkan pada penelitian sebelumnya

tentang Losartan yang menunjukan adanya kesamaan segmen secara pharmacophore

dengan segmen C-terminal, isoleusin dari angiotensin II. Selain itu adanya hipotesis

bahwa cincin imidazol dari losartan meniru ikatan amida antara Isoleusin (5) dan

Histidin (6). Temuan ini menyebabkan penggantian dari gugus heterosiklik dengan

asam amino teralkilasi. Penelitian tentang Valsartan menunjukan bahwa rantai butil
dan gugus fenil-tetrazole memiliki kesesuaian dengan rantai samping Prolin (7) dan

Tyrosin (4) pada molekul angiotensin II (Potamitis, 2009).

C. POLIMORFISME

Valsartan termasuk ke dalam BCS kelas III yang terklasifikasi memiliki

kelarutan yang rendah serta permeabilitas yang rendah. Polimorfisme dari

perkembangan valsartan inilah yang mengakibatkan terjadinya berbagai macam

kelarutan dan bioavailabilitas dari kandungan valsartan, salah satu bentuk

polimorfisme yang saat ini dikembangkan dan sering digunakan adalah bentuk kristal

dari bentuk amorfnya.

Pada pengembangannya, polimorfisme dari valsartan dikembangkan sebagai


pengembangan produk antihipertensi sebagai salah satu pilihan kelas terapi

angiotensin-renin blocker yang sangat dibutuhkan. Karena tingginya permintaan,

pengembangan valsartan dipusatkan kepada bioavailabilitas valsartan dalam tubuh

yang mempengaruhi tingkat kelarutannya dengan berbagai teknologi secara kimia

maupun fisika.

 Pengaruh Polimorfisme Kerja Kristal Valsartan di dalam Tubuh


Valsartan di dalam tubuh akan bekerja dengan enzimatik yang akan

menghambat kerja angiotensin yang berpengaruh dalam tekanan darah dalam tubuh.

Berdasarkan sifat valsartan yang lebih asam, kerja valsartan dipengaruhi oleh

OATP1B1. OATP1B1 adalah Anion pengangkut organik polipeptida 1B1 (juga

dikenal OATP-C) adalah transporter khusus hati yang memediasi Serapan senyawa

endosfer dan eksogen vena dari darah menjadi hepatosit, termasuk beberapa Obat

penting, 3-hidroks-3-metil-glutaris - koenzim inhibitor reduktase (seperti pravastatin),


anti-bakteria cefazolin dan refampicin, Obat anti-kanker, metabolit aktif irinotecan

SN-38 dan methotrxate, dan Obat anti-hipertensi olmesartan dan valsartan. Protein

OATP1B1 dikodekan oleh gen Bay The SLCO1B1 dan diprediksi memiliki 12

transmembran domain (TMDs). Polimorfisme 521T> C (V174A) diketahui

mengganggu ekspresi membran plasma protein OATP1B1 dan mengurangi aktivitas

Transportasi in vitro. Polimorfisme ini termasuk The SLCO1B1 * 5, * 15, dan * 17

haplotype. Asosiasi membuat peningkatan signifikan dalam AUC yang tidak

dilaporkan untuk valsartan dan olmesartan tetapi reporter untuk pravastatin yang

memiliki polimorfisme yang sama (Uchimoto, et al., 2011).

D. IMPLIKASI/APLIKASI KLINIS
Valsartan merupakan salah satu obat yang digunakan dalam terapi

antihipertensi yang termasuk golongan angiotensin II reseptor blocker. Valsartan saat

ini sangat banyak diproduksi mengingat prevalensi hipertensi yang tinggi, akan tetapi

perkembangan produksi valsartan terbentur oleh sifat dari valsartan yang berbentuk

amorf. Valsartan termasuk ke dalam salah satu obat golongan BCS kelas III yang

memiliki kelarutan tinggi dan permeabilitas rendah.


Valsartan merupakan salah satu obat golongan Angiotensin II reseptor

blocker yang dimetabolisme dan diekskresikan oleh rute non-ginjal. Valsartan efektif

dalam pengobatan anak, remaja dan pasien lanjut usia dengan ringan hingga

hipertensi sedang. Monoterapi dengan Valsartan dengan 80 mg sebagai dosis awal

telah menunjukkan efikasi yang cukup pada pasien dengan CHF dan gangguan ginjal

bersamaan dengan hipertensi dan tambahan terapi untuk membantu mengontrol

tekanan darah pada populasi besar pasien dengan hipertensi berat tidak cukup
menanggapi β-blocker, inhibitor ACE atau diuretik. Dan merupakan salah satu

pilihan terapi utama untuk pengidap Diabetes Mellitus yang disertai hipertensi

(Siddiqui, et al., 2011).


BAB III

RANGKUMAN

Dalam dunia pengobatan, penggabungan ranah penelitian mengenai genom

dan farmakologi telah menciptakan studi baru yaitu farmakogenomik. Dalam studi

farmakogenomik dapat diketahui respon seseorang terhadap obat karena gen setiap

individu yang berbeda. Farmakogenomik merupakan sebuah studi yang


mengintegrasikan beberapa ilmu diantaranya, ilmu genetik, ilmu farmasi, ilmu

kedokteran, biologi dan bioinformatik.

Farmakogenomik memiliki manfaat yang luar biasa dalam bidang

pengembangan obat dan terapeutik. Farmakogenomik akan menunjukkan hasil klinis

yang lebih baik penurunan biaya pengembangan obat, peningkatan efikasi obat,

pengurangan efek samping obat salah satunya valsartan.


Valsartan merupakan obat golongan angiotensin II reseptor tipe I (AT1R)
inhibitor. Angiotensin II reseptor tipe I (AT1R) merupakan reseptor yang termasuk
dalam bagian dari G Protein Coupled Receptor (GPCR). Reseptor ini tersusun dari
banyak asam amino yang membentuk konformasi tertier. G protein Coupled Receptor
memiliki bentuk khas dengan rantai N terminal terletak pada bagian ekstraseluler
kemudian tersambung dengan tujuh subunit protein transmembran alfa heliks yang
disambungkan dengan tiga loop ekstraseluler dan tiga loop intraseluler serta diakhiri
dengan rantai C terminal. Aktivasi reseptor ini dikarenakan berbagai macam hal salah
satunya rangsangan dari senyawa agonis yang nantinya akan diikuti dengan
pengeluaran senyawa-senyawa messenger diperantarai protein G seperti cAMP,
maupun senyawa-senyawa lain yang akan menyebabkan terjadinya aktivitas fisiologis
pada tubuh.
DAFTAR PUSTAKA
Foreman, John, C., Johansen, Torben., 1996, Textbook of Receptor Pharmacology,
CRC Press, New York.

Friend, S. H. 1999. How DNA Microarrays And Expression Profiling Will Affect
Clinical Practice. British Medical Journal,. Vol. 319., pp. 1–2.

Gasparo, 2000, International Union of Pharmacology. XXIII. The Angiotensin II


Receptors, Pharmacological reviewa, Vol 52, No. 3, U.S., pp : 415-472

Holtzman NA and Marteau TM (2000) Will genetics revolutionize medicine?. The


New England Journal of Medicine., Vol. 343., pp. 141–144.

King, 2013, Mechanism of Signal Transduction,


http://themedicalbiochemistrypage.org/signal-transduction.php , diakses
tanggal 13 Februari 2013.

Kurth, Janice. H. 2000.Pharmacogenomics: Future Promise of a Tool for Identifying


Patient atRisk. Drugs Information Journal., Vol. 3., pp. 223-227.

Medilexicon International, 2004, Diovan (Valsartan), http://www.medilexicon.com,


diakses tanggal 13 Februari 2013.

Miura, S.I., 2008, Differential Bonding Interactions of Inverse Agonists of


Angiotensin II Type 1 Receptor in Stabilizing the Inactive State, Molecular
Endocinology, Vol 22, No.1, Departmen of Cardiovascular, Japan, pp : 139-
146.

Potamitis, C., 2009, Antihypertensive Drug Valsartan in Solution and at the AT1
Receptor: Conformational Analysis, Dynamic NMR Spectroscopy, in Silico
Docking, and Molecular Dynamics Simulations, Journal of Chemical
Information and Modelin, vol 49, No.3, Washington D.C., U.S., pp : 726-739.

Regalado, A. 1999. Inventing The Pharmacogenomics Business. American Journal of


Health-system Pharmacy., Vol. 56., pp. 40–50.

Sakmar,2009, Cell Signaling, 2nd Edition, Academic Press, Oxford, United


Kingdom, pp : 150-156.

Siddiqui N., Husain A., Chaudhry L., Alam M.S., Mitra M, Bhasin P.S., 2011.
Pharmacological and Pharmaceutical Profile of Valsartan: A Review. Faculty
of Pharmacy, Jamia Hamdard (Hamdard University), New Delhi, India.
Vol.1(4):12–9.

Setiati., S, 2005, Prevalence of Hypertension Without Anti-Hypertension Medication


and Its Association with Social Demoghraphi Characteristic Among 40 Year
and Above Adult Population in Indonesia, Acta Medica Indonesia, Vol 37,
No. 1, Fakultas Kedokteran Divisi geriatri, Universitas Indonesia, Jakarta,
Indonesia.

U.S. Department of Health and Human Service, 2003, Seventh Report of the Joint
National Committee on Prevention Detection, Evaluation, and Treatment of
High Blood Pressure (JNC 7),
http://www.nhlbi.nih.gov/guidelines/hypertension/phycard.pdf, diakses tanggal 13
Februari 2013.

Anda mungkin juga menyukai