“RESEPTOR PROTEIN G”
OLEH :
NIM : 70100116068
KELAS : FARMASI B
JURUSAN FARMASI
SAMATA-GOWA
2019
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Genome Project dan teknologi analisis genetik untuk mengidentifikasi mutasi pada
suatu gen yang dapat menimbulkan suatu penyakit, telah menjadikan ilmu genetik
dan farmakologi telah menciptakan studi baru yaitu farmakogenomik. Dalam studi
farmakogenomik dapat diketahui respon seseorang terhadap obat karena gen setiap
kedokteran, biologi dan bioinformatik. Integrasi dari berbagai ranah ilmu menjadikan
teknologi dan sistem dari masing-masing ilmu menjadi satu kesatuan (Holtzman dan
Marteau, 2000).
Farmakogenomik akan menunjukkan hasil klinis yang lebih baik penurunan biaya
pengembangan obat, peningkatan efikasi obat, pengurangan efek samping obat, dan
penurunan biaya untuk pengobatan pasien. Akan tetapi meskipun memiliki potensi
terapi, untuk menilai nilai dari farmakogenomik perlu dilakukan evaluasi, bukan
hanya evaluasi secara klinik namun perlu juga dilakukan evaluasi pengaruh ekonomi
(AT1R) yang termasuk golongan G protein coupled receptor. Reseptor ini terdiri dari
tujuh subunit protein alfa heliks yang terintegrasi di dalam membran sel. Pada G
histamin, bradikinin, alfa, beta, dan reseptor lain. Reseptor angiotensin II yang juga
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
PEMBAHASAN
golongan protein besar yang terdiri dari tujuh subunit alfa heliks yang terintegrasi
dalam membran phospholipid layer ganda (sebuah subunit biasa disebut TM). GCPR
terletak pada permukaan sel dan bertanggung jawab atas transduksi dari signal-signal
endogen pada respon intraseluler. Ligan-ligan alami pada reseptor ini berupa peptida,
serta beberapa ligan lain. Dengan berikatan dengan ligan-ligan tersebut baik pada
banyak reseptor dimana ketika terjadi interaksi dengan ligan-ligan yang spesifik akan
Reseptor alfa dan beta sebagai pengatur detak jantung dan kontraksi
otot polos
Reseptor angiotensin II sebagai mekanisme peningkatan tekanan darah
dalam membran, dan adanya ekor C yang terletak pada intraseluler. Kedua ekor ini
memiliki peranan penting dalam pengaturan regulasi aktivasi dan deaktivasi dari
yang ketika terphosphorilasi, akan mengakibatkan protein G tidak bisa terikat pada
bagian tertentu. Hal ini dikarenakan adanya protein yang menempel pada bagian
masuk ke dalam sel. Selain terphosphorilasi, rantai C terminal ini juga dapat
mengalami palmitoylation yaitu adanya ikatan kovalen dengan gugus asil sehingga
mengalami peningkatan afinitas terhadap substansi kolesterol maupun sphignolipid
(Klabunde, 2002).
menjadi tiga sub tipe, yaitu tipe A, tipe B, dan tipe C. Pada dasarnya, GPCR memiliki
susunan yang sama dengan reseptor rodhopsin pada retina mata, sehingga dalam
tersebut. Tipe A ini merupakan tipe GPCR paling banyak terdapat dalam
Pada tipe A terdapat ikatan sulfida pada sistein di bagian atas pada TM III
dan sistein pada bagian tangan EL II. Pada reseptor ACTH dan MSH tidak
terdapat ikatan sulfida tersebut akan tetapi terdapat residu hidrofilik yang
seperti horon tiroid dan kalsitonin. Secara topologi, tipe B ini memiliki
rantai terminal yang lebih panjang dari tipe A, serta ditemukan enam
residu sistein (Klabunde, 2002). Sistein ini akan membentuk ikatan sulfida
yang membentuk bagian globular yang melibatkan ikatan dengan ligan.
Terdapat dua buah sistein yang terletak pada bagian atas TM III dan pada
dengan tipe A, pada tipe B terdapat asam amino prolin pada TM V dan
Tipe yang terakhir adalah tipe C yang memiliki bentuk seperti reseptor
dan bau. Secara topologi, tipe C memiliki rantai terminal terpanjang (500-
terpisah dari tujuh alfa heliks yang tertanam dalam membran (King,
2013).
messenger yang terlibat dalam transduksi ini yaitu : siklik AMP (cAMP), protein
kinase A (PKA), diasil gliserol (DAG), protein kinase C (PKC), Inositol trifosfat
(IP3), dan kalsium (Ca++). Tranduksi signal pada GCPR ada dua jalur, yaitu : jalur
adenilat siklase dan jalur fosfolipase, penggunaan jalur ini tergantung pada jenis
trifosfat (IP3).
agonis terhadap reseptor tersebut. Bila terdapat substansi agonis yang menempel pada
sisi aktif GPCR, maka akan terjadi peningkatan transduksi signal oleh protein G.
yang berbeda, maka beda pula tempat penempelannya. Akan tetapi terdapat batasan
untuk mengetahui interaksi reseptor ligan, berbasis pada eksperimen dimana kita akan
melihat beberapa fungsi yang hilang akibat mutasi atau substitusi yang dipasangkan
atau dikoplingkan (Foreman, 1996).
Agonis Monoamin
dengan residu glutamat pada bagian atas TM III GCPR (rhodopsin). Pada sistem
adrenergic terjadi interaksi yang spesifik antara gugus amin pada ligan dan asam
aspartat pada TM III. Interaksi ini pertama kali dibuktikan dengan melakukan
perubahan pada sisi aktif dari reseptor dari aspartat menjadi serin dan perubahan
gugus amin ke keton atau ester pada ligan. Pada beta adreno reseptor sisi aktif
terdapat pada rongga yang terbentuk dari rongga TM III, V, dan VI. Terdapat tiga
interaksi penting yaitu amin pada ligan dengan aspartat pda TM III, cincin cathecol
dengan serin pada TM V serta adanya interaksi aromatik dengan fenilalanin pada TM
VI (Foreman, 1996).
Agonis Peptida
Hormon glikoprotein menerima energi ikatan yang besar dari interaksi dengan
ekor N terminal. Selain itu neuropeptida dan peptida hormon memiliki interaksi pada
N terminal. Reseptor AT-1 memiliki sisi aktif pada bagian loop eksternal hingga pada
Lain halnya dengan agonis yang memacu transduksi sinyal dari GPCR, ikatan
antagonis ini justru akan menghambat penghantaran sinyal tersebut. Pada mulanya
kemampuan substansi antagonis dapat berikatan pada sisi yang sama secara
Antagonis Monoamin
dengan reseptor agonisnya. Substansi antagois dapat berintraksi dengan aspartan pada
TM III dan juga sama seperti agonis yang normalnya dapat menempati rongga antara
TM III, V dan VI. Tetapi beberapa antagonis memiliki interaksi yang berbeda dengan
Nonpeptid Antagonis
yang sama maupun berbeda dengan agonisnya (sterik maupun alosterik kompetitif).
Beberapa substansi nonpeptida memiliki interaksi yang terletak pada rongga antara
TM III, V, VI dan VII. Terkadang mekanisme substansi antagonis dibantu dengan ion
logam seperti zink untuk menstabilkan keadaan tidak aktif dari reseptor (Foreman,
1996).
ANGIOTENSIN II RESEPTOR
Renin angiotensin sistem merupakan sistem fisiologis yang mengatur
Phe) oleh Angiotensin Converting Enzyme (ACE). Angiotensin II ini kemudian akan
Angiotensin reseptor terdiri dari dua subtipe utama yaitu tipe I dan tipe II.
Kedua tipe ini dibedakan berdasarkan kemampuan internalisasi dan desensitasi dari
agonis yang ada, dimana tipe II tidak terinternalisasi dan terdesensitasi oleh beberapa
agonis, walaupun AT2R tetap bisa berikatan dengan AGNII. Ikatan AGNII baik
dengan AT1R maupun AT2R akan mengaktivasi peningkatan sintesis protein akibat
adanya aktivasi dari protein tertentu. Pada dasarnya, banyak obat-obat antagonis
spesifik pada ATR baik tipe satu maupun tipe dua. Angiotensin II ini akan
residu C terminal. Selain itu aromatisitas pada tirosin dan histidin serta gugus
guanidin pada arginin dan muatan pada C karboksil terminal juga berperan penting
dalam aktivasi reseptor. Residu N terminal memegang peranan dalam durasi ikatan
itu afinitas yang tinggi juga terlihat dari adanya ikatan hidrogen antara angiotensin II
(arginin, tirosin, dan histidin) dengan gugus karboksilat pada reseptor. Penggantian
Angiotensin reseptor tipe I atau sering disebut AT1R merupakan salah satu
reseptor yang berada pada keluarga GPCR (G Protein Coupled Receptor). Reseptor
ini memainkan banyak peranan dalam berbagai macam fungsi fisiologis bersama
dengan keberadaan angiotensin II. Beberapa kondisi organ yang terpengaruh dengan
(sekresi adrenalin), hepatic, dan berbagai macam organ lain (Gasparo, 2000).
B. VALSARTAN
Valsartan merupakan salah satu obat golongan Angiotensin II reseptor
blocker yang dimetabolisme dan diekskresikan oleh rute non-ginjal. Valsartan efektif
dalam pengobatan anak, remaja dan pasien lanjut usia dengan ringan hingga
telah menunjukkan efikasi yang cukup pada pasien dengan CHF dan gangguan ginjal
Hal ini dikarenakan teraktivasinya reseptor AT1R yang kemudian diikuti dengan
yang akan berdampak pada mekanisme dalam peningkatan tekanan darah tadi. Akan
tetapi pada penderita hipertensi, hal ini harus dihindari untuk menurunkan tekanan
dapat berikatan dengan sisi antagonis pada AT1R sehingga menyebabkan tidak
terjadinya pengikatan angiotensin II pada AT1R dan menyebabkan reseptor ini tidak
dengan segmen C-terminal, isoleusin dari angiotensin II. Selain itu adanya hipotesis
bahwa cincin imidazol dari losartan meniru ikatan amida antara Isoleusin (5) dan
Histidin (6). Temuan ini menyebabkan penggantian dari gugus heterosiklik dengan
asam amino teralkilasi. Penelitian tentang Valsartan menunjukan bahwa rantai butil
dan gugus fenil-tetrazole memiliki kesesuaian dengan rantai samping Prolin (7) dan
C. POLIMORFISME
polimorfisme yang saat ini dikembangkan dan sering digunakan adalah bentuk kristal
maupun fisika.
menghambat kerja angiotensin yang berpengaruh dalam tekanan darah dalam tubuh.
Berdasarkan sifat valsartan yang lebih asam, kerja valsartan dipengaruhi oleh
dikenal OATP-C) adalah transporter khusus hati yang memediasi Serapan senyawa
endosfer dan eksogen vena dari darah menjadi hepatosit, termasuk beberapa Obat
SN-38 dan methotrxate, dan Obat anti-hipertensi olmesartan dan valsartan. Protein
OATP1B1 dikodekan oleh gen Bay The SLCO1B1 dan diprediksi memiliki 12
dilaporkan untuk valsartan dan olmesartan tetapi reporter untuk pravastatin yang
D. IMPLIKASI/APLIKASI KLINIS
Valsartan merupakan salah satu obat yang digunakan dalam terapi
ini sangat banyak diproduksi mengingat prevalensi hipertensi yang tinggi, akan tetapi
perkembangan produksi valsartan terbentur oleh sifat dari valsartan yang berbentuk
amorf. Valsartan termasuk ke dalam salah satu obat golongan BCS kelas III yang
blocker yang dimetabolisme dan diekskresikan oleh rute non-ginjal. Valsartan efektif
dalam pengobatan anak, remaja dan pasien lanjut usia dengan ringan hingga
telah menunjukkan efikasi yang cukup pada pasien dengan CHF dan gangguan ginjal
tekanan darah pada populasi besar pasien dengan hipertensi berat tidak cukup
menanggapi β-blocker, inhibitor ACE atau diuretik. Dan merupakan salah satu
pilihan terapi utama untuk pengidap Diabetes Mellitus yang disertai hipertensi
RANGKUMAN
dan farmakologi telah menciptakan studi baru yaitu farmakogenomik. Dalam studi
farmakogenomik dapat diketahui respon seseorang terhadap obat karena gen setiap
yang lebih baik penurunan biaya pengembangan obat, peningkatan efikasi obat,
Friend, S. H. 1999. How DNA Microarrays And Expression Profiling Will Affect
Clinical Practice. British Medical Journal,. Vol. 319., pp. 1–2.
Potamitis, C., 2009, Antihypertensive Drug Valsartan in Solution and at the AT1
Receptor: Conformational Analysis, Dynamic NMR Spectroscopy, in Silico
Docking, and Molecular Dynamics Simulations, Journal of Chemical
Information and Modelin, vol 49, No.3, Washington D.C., U.S., pp : 726-739.
Siddiqui N., Husain A., Chaudhry L., Alam M.S., Mitra M, Bhasin P.S., 2011.
Pharmacological and Pharmaceutical Profile of Valsartan: A Review. Faculty
of Pharmacy, Jamia Hamdard (Hamdard University), New Delhi, India.
Vol.1(4):12–9.
U.S. Department of Health and Human Service, 2003, Seventh Report of the Joint
National Committee on Prevention Detection, Evaluation, and Treatment of
High Blood Pressure (JNC 7),
http://www.nhlbi.nih.gov/guidelines/hypertension/phycard.pdf, diakses tanggal 13
Februari 2013.