Anda di halaman 1dari 12

Dewi Sartika

Raden Dewi Sartika (Sunda: , Latin: Rd. Déwi Sartika; lahir di Cicalengka, Bandung, 4
Desember 1884 – meninggal di Cineam, Tasikmalaya, 11 September 1947 pada umur 62
tahun) adalah tokoh perintis pendidikan untuk kaum wanita. Ia diakui sebagai Pahlawan
Nasional oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 1966.

Daftar isi

 1Biografi
 2Peninggalan
 3Penghargaan
 4Kehidupan pribadi

Biografi
Dewi Sartika lahir dari keluarga Sunda yang ternama, yaitu R. Rangga Somanegara dan R. A.
Rajapermas di Cicalengka pada 4 Desember 1884.[1][2] Ketika masih kanak-kanak, ia selalu
bermain peran menjadi seorang guru ketika seusai sekolah bersama teman-
temannya.[1][3] Setelah ayahnya meninggal, ia tinggal bersama dengan pamannya. Ia
menerima pendidikan yang sesuai dengan budaya Sunda oleh pamannya, meskipun
sebelumnya ia sudah menerima pengetahuan mengenai budaya barat.[4] Pada tahun 1899, ia
pindah ke Bandung.[3]
Pada 16 Januari 1904, ia membuat sekolah yang bernama Sekolah Isteri di Pendopo
Kabupaten Bandung. Sekolah tersebut kemudian direlokasi ke Jalan Ciguriang dan berubah
nama menjadi Sekolah Kaoetamaan Isteri pada tahun 1910.[5][6] Pada tahun 1912, sudah ada
sembilan sekolah yang tersebar di seluruh Jawa Barat, lalu kemudian berkembang menjadi
satu sekolah tiap kota maupun kabupaten pada tahun 1920.[4] Pada September 1929, sekolah
tersebut berganti nama menjadi Sekolah Raden Dewi.[4]
Ia meninggal pada 11 September 1947 di Cineam ketika dalam masa perang
kemerdekaan.[4][7]

Peninggalan
Nama Dewi Sartika digunakan sebagai nama jalan di mana sekolahnya berada.[1]

Penghargaan
Ia dianugerahi gelar Orde van Oranje-Nassau pada ulang tahun ke-35 Sekolah Kaoetamaan
Isteri sebagai penghargaan atas jasanya dalam memperjuangkan pendidikan.[4][7] Pada 1
Desember 1966, ia diakui sebagai Pahlawan Nasional.[6][7]

Kehidupan pribadi
Pada tahun 1906, ia menikah dengan Raden Kanduruhan Agah Suriawinata yang merupakan
guru dari Sekolah Karang Pamulang.[4]
Djoeanda Kartawidjaja
Ir. H. Raden Djoeanda Kartawidjaja (EYD: Juanda Kartawijaya, Sunda:; lahir
di Tasikmalaya, Hindia Belanda, 14 Januari 1911 – meninggal di Jakarta, 7
November 1963 pada umur 52 tahun) adalah Perdana Menteri Indonesia ke-10 sekaligus yang
terakhir. Ia menjabat dari 9 April 1957 hingga 9 Juli 1959. Setelah itu ia menjabat
sebagai Menteri Keuangan dalam Kabinet Kerja I.
Sumbangannya yang terbesar dalam masa jabatannya adalah Deklarasi Djuanda tahun 1957
yang menyatakan bahwa laut Indonesia adalah termasuk laut sekitar, di antara dan di dalam
kepulauan Indonesia menjadi satu kesatuan wilayah NKRI atau dikenal dengan sebutan
sebagai negara kepulauan dalam konvensi hukum laut United Nations Convention on Law of
the Sea (UNCLOS) [1].
Namanya diabadikan sebagai nama Bandar Udara di Surabaya, Jawa Timur yaitu Bandar
Udara Internasional Juanda atas jasanya dalam memperjuangkan pembangunan lapangan
terbang tersebut sehingga dapat terlaksana. Selain itu juga diabadikan untuk nama hutan raya
di Bandung yaitu Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda, dalam taman ini terdapat Museum dan
Monumen Ir. H. Djuanda. Dan namanya pun juga diabadikan sebagai nama jalan di Jakarta
yaitu JL. Ir. Juanda di bilangan Jakarta Pusat, dan nama salah satu Stasiun Kereta Api di
Indonesia, yaitu Stasiun Juanda.
Djuanda wafat di Jakarta 7 November 1963 karena serang jantung dan dimakamkan di TMP
Kalibata, Jakarta. Berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No.244/1963 Ir. H. Djuanda
Kartawidjaja diangkat sebagai tokoh nasional/pahlawan kemerdekaan nasional.
Pada tanggal 19 Desember 2016, atas jasa jasanya, Pemerintah Republik Indonesia,
mengabadikan Djoeanda di pecahan uang kertas rupiah baru NKRI, pecahan Rp50.000.[2]

Daftar isi

 1Awal kehidupan dan pendidikan


o 1.1Deklarasi Juanda dan Perundingan lainnya
 2Referensi
 3Pranala luar

Awal kehidupan dan pendidikan


Ir. H. Djuanda dilahirkan di Tasikmalaya, 14 Januari 1911, merupakan anak pertama
pasangan Raden Kartawidjaja dan Nyi Monat, ayahnya seorang Mantri Guru pada
Hollandsch Inlansdsch School (HIS). Pendidikan sekolah dasar diselesaikan di HIS dan
kemudian pindah ke sekolah untuk anak orang Eropa Europesche Lagere School (ELS),
tamat tahun 1924. Selanjutnya oleh ayahnya dimasukkan ke sekolah menengah khusus orang
Eropa yaitu Hoogere Burgerschool te Bandoeng (HBS Bandung, sekarang di tempati SMA
Negeri 3 Bandung dan SMA Negeri 5 Bandung), dan lulus tahun 1929. Pada tahun yang
sama dia masuk ke Technische Hoogeschool te Bandoeng (THS) sekarang Institut Teknologi
Bandung(ITB) di Bandung, mengambil jurusan teknik sipil dan lulus tahun 1933. Semasa
mudanya Djuanda hanya aktif dalam organisasi non politik yaitu Paguyuban Pasundan dan
anggota Muhammadiyah, dan pernah menjadi pimpinan sekolah Muhammadiyah. Karier
selanjutnya dijalaninya sebagai pegawai Departemen Pekerjaan Umum provinsi Jawa Barat,
Hindia Belanda sejak tahun 1939.
Ir. H. Djuanda seorang abdi negara dan abdi masyarakat. Dia seorang pegawai negeri yang
patut diteladani. Meniti karier dalam berbagai jabatan pengabdian kepada negara dan bangsa.
Semenjak lulus dari TH Bandung (1933) dia memilih mengabdi di tengah masyarakat. Dia
memilih mengajar di SMA Muhammadiyah di Jakarta dengan gaji seadanya. Padahal, kala itu
dia ditawari menjadi asisten dosen di TH Bandung dengan gaji lebih besar. Selain itu, ia juga
memulai keaktifan organisasinya sejak sebelum kemerdekaan di Pergerakan Pasoendan.
Setelah empat tahun mengajar di SMA Muhammadiyah Jakarta, pada 1937, Djuanda
mengabdi dalam dinas pemerintah di Jawaatan Irigasi Jawa Barat. Selain itu, dia juga aktif
sebagai anggota Dewan Daerah Jakarta.
Deklarasi Juanda dan Perundingan lainnya
Deklarasi Djuanda yang dicetuskan pada tanggal 13 Desember 1957 oleh Perdana Menteri
Indonesia pada saat itu, Djuanda Kartawidjaja, deklarasi ini menyatakan kepada dunia bahwa
laut Indonesia adalah termasuk laut sekitar, di antara dan di dalam kepulauan Indonesia
menjadi satu kesatuan wilayah NKRI atau dalam konvensi hukum laut United Nations
Convention on Law of the Sea (UNCLOS), dikenal sebagai negara kepulauan.
Isi dari Deklarasi Juanda ini menyatakan:

1. Bahwa Indonesia menyatakan sebagai negara kepulauan yang mempunyai corak


tersendiri
2. Bahwa sejak dahulu kala kepulauan nusantara ini sudah merupakan satu kesatuan
3. Ketentuan ordonansi 1939 tentang Ordonansi, dapat memecah belah keutuhan
wilayah Indonesia dari deklarasi tersebut mengandung suatu tujuan :
1. Untuk mewujudkan bentuk wilayah Kesatuan Republik Indonesia yang utuh
dan bulat
2. Untuk menentukan batas-batas wilayah NKRI, sesuai dengan asas negara
Kepulauan
3. Untuk mengatur lalu lintas damai pelayaran yang lebih menjamin keamanan
dan keselamatan NKRI
Pernyataan yang dibacakan oleh Djuanda tersebut menjadi landasan hukum bagi penyusunan
rancangan undang-undang yang digunakan untuk
menggantikan Territoriale Zee en Maritime Kringen Ordonantie tahun 1939.
Maria Walanda Maramis
Maria Josephine Catherine Maramis (lahir di Kema, Minahasa Utara, Sulawesi Utara, 1
Desember 1872 – meninggal di Maumbi, Kalawat, Minahasa Utara, Sulawesi Utara, 22
April 1924 pada umur 51 tahun), atau yang lebih dikenal sebagai Maria Walanda Maramis,
adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia karena usahanya untuk mengembangkan
keadaan wanita di Indonesia pada permulaan abad ke-20[1].
Setiap tanggal 1 Desember, masyarakat Minahasa memperingati Hari Ibu Maria Walanda
Maramis, sosok yang dianggap sebagai pendobrak adat, pejuang kemajuan dan emansipasi
perempuan di dunia politik dan pendidikan. Menurut Nicholas Graafland, dalam sebuah
penerbitan "Nederlandsche Zendeling Genootschap" tahun 1981, Maria ditahbiskan sebagai
salah satu perempuan teladan Minahasa yang memiliki "bakat istimewa untuk menangkap
mengenai apapun juga dan untuk memperkembangkan daya pikirnya, bersifat mudah
menampung pengetahuan sehingga lebih sering maju daripada kaum lelaki".[2]
Untuk mengenang jasanya, telah dibangun Patung Walanda Maramis yang terletak di
Kelurahan Komo Luar, Kecamatan Wenang, sekitar 15 menit dari pusat kota Manado yang
dapat ditempuh dengan angkutan darat. Di sini, pengunjung dapat mengenal sejarah
perjuangan seorang wanita asal Bumi Nyiur Melambai ini. Fasilitas yang ada saat ini adalah
tempat parkir dan pusat perbelanjaan.[3]

Daftar isi

 1Kehidupan awal
 2Dorongan Bumi Minahasa
 3PIKAT
 4Hak pilih wanita di Minahasa
 5Kehidupan keluarga

Kehidupan awal
Maria lahir di Kema, sebuah desa kecil yang sekarang berada di kabupaten Minahasa Utara,
Kecamatan Kema (hasil pemekaran Kecamatan Kauditan)provinsi Sulawesi Utara. Orang
tuanya adalah Maramis dan Sarah Rotinsulu. Dia adalah anak bungsu dari tiga bersaudara di
mana kakak perempuannya bernama Antje dan kakak laki-lakinya bernama Andries. Andries
Maramis adalah ayah dari Alexander Andries Maramis yang terlibat dalam pergolakan
kemerdekaan Indonesia dan menjadi menteri dan duta besar dalam pemerintahan Indonesia
pada mulanya.
Maramis menjadi yatim piatu pada saat ia berumur enam tahun karena kedua orang tuanya
jatuh sakit dan meninggal dalam waktu yang singkat. Paman Maramis yaitu Rotinsulu yang
waktu itu adalah Hukum Besar di Maumbi membawa Maramis dan saudara-saudaranya ke
Maumbi dan mengasuh dan membesarkan mereka di sana. Maramis beserta kakak
perempuannya dimasukkan ke Sekolah Melayu di Maumbi. Sekolah itu mengajar ilmu dasar
seperti membaca dan menulis serta sedikit ilmu pengetahuan dan sejarah. Ini adalah satu-
satunya pendidikan resmi yang diterima oleh Maramis dan kakak perempuannya karena
perempuan pada saat itu diharapkan untuk menikah dan mengasuh keluarga.
Dorongan Bumi Minahasa
Pada akhir abad 19 dan awal abad 20 terbagi banyak klan (walak) yang berada dalam proses
ke arah satu unit geopolitik yang disebut Minahasa dalam suatu tatanan kolonial Hindia
Belanda. Sejalan dengan hal ini Hindia Belanda mengadakan perubahan birokrasi dengan
mengangkat pejabat-pejabat tradisional sebagai pegawai pemerintah yang bergaji dan di
bawah kuasa soerang residen.[4] Komersialisasi agraria melahirkan perkebunan-perkebunan
kopi dan kemudian kopra membuat ekonomi ekspor berkembang pesat, penanaman modal
mengalir deras, dan kota-kota lain tumbuh
seperti Tondano, Tomohon, Kakaskasen, Sonder, Romboken, Kawangkoan, dan Langowan.[5]

PIKAT
Setelah pindah ke Manado, Maramis mulai menulis opini di surat kabar setempat yang
bernama Tjahaja Siang. Dalam artikel-artikelnya, ia menunjukkan pentingnya peranan ibu
dalam keluarga di mana adalah kewajiban ibu untuk mengasuh dan menjaga kesehatan
anggota-anggota keluarganya. Ibu juga yang memberi pendidikan awal kepada anak-anaknya.
Menyadari wanita-wanita muda saat itu perlu dilengkapi dengan bekal untuk menjalani
peranan mereka sebagai pengasuh keluarga, Maramis bersama beberapa orang lain
mendirikan Percintaan Ibu Kepada Anak Temurunannya (PIKAT) pada tanggal 8 Juli 1917.
Tujuan organisasi ini adalah untuk mendidik kaum wanita yang tamat sekolah dasar dalam
hal-hal rumah tangga seperti memasak, menjahit, merawat bayi, pekerjaan tangan, dan
sebagainya.
Melalui kepemimpinan Maramis di dalam PIKAT, organisasi ini bertumbuh dengan
dimulainya cabang-cabang di Minahasa, seperti di Maumbi, Tondano, dan Motoling. Cabang-
cabang di Jawa juga terbentuk oleh ibu-ibu di sana seperti
di Batavia, Bogor, Bandung, Cimahi, Magelang, dan Surabaya. Pada tanggal 2 Juni 1918,
PIKAT membuka sekolah Manado. Maramis terus aktif dalam PIKAT sampai pada
kematiannya pada tanggal 22 April 1924.
Untuk menghargai peranannya dalam pengembangan keadaan wanita di Indonesia, Maria
Walanda Maramis mendapat gelar Pahlawan Pergerakan Nasional dari pemerintah
Indonesia pada tanggal 20 Mei 1969.

Hak pilih wanita di Minahasa


Pada tahun 1919, sebuah badan perwakilan dibentuk di Minahasa dengan nama Minahasa
Raad. Mulanya anggota-anggotanya ditentukan, tetapi pemilihan oleh rakyat direncanakan
untuk memilih wakil-wakil rakyat selanjutnya. Hanya laki-laki yang bisa menjadi anggota
pada waktu itu, tetapi Maramis berusaha supaya wanita juga memilih wakil-wakil yang akan
duduk di dalam badan perwakilan tersebut. Usahanya berhasil pada tahun 1921 di mana
keputusan datang dari Batavia yang memperbolehkan wanita untuk memberi suara dalam
pemilihan anggota-anggota Minahasa Raad.

Kehidupan keluarga
Maramis menikah dengan Joseph Frederick Caselung Walanda, seorang guru bahasa pada
tahun 1890. Setelah pernikahannya dengan Walanda, ia lebih dikenal sebagai Maria
Walanda Maramis. Mereka mempunyai tiga anak perempuan. Dua anak mereka dikirim ke
sekolah guru di Betawi (Jakarta). Salah satu anak mereka, Anna Matuli Walanda, kemudian
menjadi guru dan ikut aktif dalam PIKAT bersama ibunya
Ki Hadjar Dewantara
Raden Mas Soewardi Soerjaningrat adalah aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia,
kolumnis, politisi, dan pelopor pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia dari zaman
penjajahan Belanda. Wikipedia
Lahir: 2 Mei 1889, Kadipaten Pakualaman, Yogyakarta
Meninggal: 26 April 1959, Yogyakarta
Pendidikan: School tot Opleiding van Indische Artsen
Pasangan: Nyi Sutartinah (m. ?–1959)
Meninggal dunia: 26 April 1959 (umur 69); Yogyakarta, Indonesia
Buku: Menuju manusia merdeka, Ki Hadjar: sebuah memoar
Anak: Bambang Sokawati Dewantara, Asti Wandansari,

Masa muda dan awal karier


Soewardi berasal dari lingkungan keluarga Kadipaten Pakualaman, putra dari GPH
Soerjaningrat, dan cucu dari Pakualam III. Ia menamatkan pendidikan dasar di ELS (Sekolah
Dasar Eropa/Belanda). Kemudian sempat melanjut ke STOVIA (Sekolah Dokter
Bumiputera), tetapi tidak sampai tamat karena sakit. Kemudian ia bekerja sebagai penulis
dan wartawan di beberapa surat kabar, antara lain, Sediotomo, Midden Java, De
Expres, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Pada masanya, ia
tergolong penulis handal. Tulisan-tulisannya komunikatif dan tajam dengan semangat
antikolonial.

Aktivitas pergerakan
Selain ulet sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan politik.
Sejak berdirinya Boedi Oetomo (BO) tahun 1908, ia aktif di seksi propaganda untuk
menyosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia (terutama Jawa) pada
waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara.
Kongres pertama BO di Yogyakarta juga diorganisasi olehnya.
Soewardi muda juga menjadi anggota organisasi Insulinde, suatu organisasi multietnik yang
didominasi kaum Indo yang memperjuangkan pemerintahan sendiri di Hindia Belanda, atas
pengaruh Ernest Douwes Dekker (DD). Ketika kemudian DD mendirikan Indische Partij,
Soewardi diajaknya pula.

Als ik een Nederlander was


Sewaktu pemerintah Hindia Belanda berniat mengumpulkan sumbangan dari warga,
termasuk pribumi, untuk perayaan kemerdekaan Belanda dari Prancis pada tahun 1913,
timbul reaksi kritis dari kalangan nasionalis, termasuk Soewardi. Ia kemudian menulis "Een
voor Allen maar Ook Allen voor Een" atau "Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu
Juga". Namun kolom KHD yang paling terkenal adalah "Seandainya Aku Seorang Belanda"
(judul asli: "Als ik een Nederlander was"), dimuat dalam surat kabar De Expres pimpinan
DD, 13 Juli 1913. Isi artikel ini terasa pedas sekali di kalangan pejabat Hindia Belanda.
Kutipan tulisan tersebut antara lain sebagai berikut.
"Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta
kemerdekaan di negeri yang telah kita rampas sendiri kemerdekaannya. Sejajar
dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk
menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Ide untuk
menyelenggaraan perayaan itu saja sudah menghina mereka, dan sekarang kita keruk
pula kantongnya. Ayo teruskan saja penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku
seorang Belanda, hal yang terutama menyinggung perasaanku dan kawan-kawan
sebangsaku ialah kenyataan bahwa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu
kegiatan yang tidak ada kepentingan sedikit pun baginya".
Beberapa pejabat Belanda menyangsikan tulisan ini asli dibuat oleh Soewardi sendiri
karena gaya bahasanya yang berbeda dari tulisan-tulisannya sebelum ini. Kalaupun benar
ia yang menulis, mereka menganggap DD berperan dalam memanas-manasi Soewardi
untuk menulis dengan gaya demikian.
Mohammad Hatta

H. Mohammad Hatta (lahir dengan nama Mohammad Athar, populer sebagai Bung
Hatta; lahir di Fort de Kock (sekarang Bukittinggi, Sumatra Barat), Hindia Belanda, 12
Agustus 1902 – meninggal di Jakarta, 14 Maret 1980 pada umur 77 tahun) adalah tokoh
pejuang, negarawan, ekonom, dan juga Wakil Presiden Indonesia yang pertama. Ia
bersama Soekarno memainkan peranan penting untuk memerdekakan bangsa Indonesia dari
penjajahan Belanda sekaligus memproklamirkannya pada 17 Agustus 1945. Ia juga pernah
menjabat sebagai Perdana Menteri dalam Kabinet Hatta I, Hatta II, dan RIS. Ia mundur dari
jabatan wakil presiden pada tahun 1956, karena berselisih dengan Presiden Soekarno. Hatta
juga dikenal sebagai Bapak Koperasi Indonesia.[1][2]
Bandar udara internasional Tangerang Banten, Bandar Udara Soekarno-Hatta, menggunakan
namanya sebagai penghormatan terhadap jasa-jasanya. Selain diabadikan di Indonesia, nama
Mohammad Hatta juga diabadikan di Belanda yaitu sebagai nama jalan di kawasan
perumahan Zuiderpolder, Haarlem dengan nama Mohammed Hattastraat.[3] Pada tahun 1980,
ia meninggal dan dimakamkan di Tanah Kusir, Jakarta. Bung Hatta ditetapkan sebagai salah
satu Pahlawan Nasional Indonesia pada tanggal 23 Oktober 1986 melalui Keppres nomor
081/TK/1986.[4]

Daftar isi

 1Kehidupan awal
o 1.1Latar belakang
o 1.2Pendidikan dan pergaulan
o 1.3Keluarga

Kehidupan awal
Mohammad Hatta lahir dari pasangan Muhammad Djamil dan Siti Saleha yang berasal
dari Minangkabau. Ayahnya merupakan seorang keturunan ulama tarekat di Batuhampar,
dekat Payakumbuh, Sumatra Barat.[5] Sedangkan ibunya berasal dari keluarga pedagang
di Bukittinggi. Ia lahir dengan nama Muhammad Athar pada tanggal 12 Agustus 1902.
Namanya, Athar berasal dari Bahasa Arab, yang berarti "harum".[6] Ia merupakan anak kedua,
setelah Rafiah yang lahir pada tahun 1900. Sejak kecil, ia telah dididik dan dibesarkan dalam
lingkungan keluarga yang taat melaksanakan ajaran agama Islam. Kakeknya dari pihak ayah,
Abdurahman Batuhampar dikenal sebagai ulama pendiri Surau Batuhampar, sedikit dari
surau yang bertahan pasca Perang Padri.[7] Sementara itu, ibunya berasal dari keturunan
pedagang. Beberapa orang mamaknya adalah pengusaha besar di Jakarta.
Ayahnya meninggal pada saat ia masih berumur tujuh bulan.[6] Setelah kematian ayahnya,
ibunya menikah dengan Agus Haji Ning, seorang pedagang dari Palembang,[8] Haji Ning
sering berhubungan dagang dengan Ilyas Bagindo Marah, kakeknya dari pihak ibu. Dari
perkawinan Siti Saleha dengan Haji Ning, mereka dikaruniai empat orang anak, yang
semuanya adalah perempuan.[6]
Pendidikan dan pergaulan
Mohammad Hatta pertama kali mengenyam pendidikan formal di sekolah swasta.[9] Setelah
enam bulan, ia pindah ke sekolah rakyat dan sekelas dengan Rafiah, kakaknya. Namun,
pelajarannya berhenti pada pertengahan semester kelas tiga.[10] Ia lalu pindah ke ELS di
Padang (kini SMA Negeri 1 Padang) sampai tahun 1913,[10] kemudian melanjutkan
ke MULO sampai tahun 1917. Selain pengetahuan umum, ia telah ditempa ilmu-ilmu agama
sejak kecil. Ia pernah belajar agama kepada Muhammad Jamil Jambek, Abdullah Ahmad, dan
beberapa ulama lainnya.[11] Selain keluarga, perdagangan memengaruhi perhatian Hatta
terhadap perekonomian. Di Padang, ia mengenal pedagang-pedagang yang masuk anggota
Serikat Usaha dan juga aktif dalam Jong Sumatranen Bond sebagai
bendahara.[12] Kegiatannya ini tetap dilanjutkannya ketika ia bersekolah di Prins Hendrik
School. Mohammad Hatta tetap menjadi bendahara di Jakarta.[13]
Kakeknya bermaksud akan ke Mekkah, dan pada kesempatan tersebut, ia dapat membawa
Mohammad Hatta melanjutkan pelajaran di bidang agama, yakni ke Mesir (Al-Azhar).[14] Ini
dilakukan untuk meningkatkan kualitas surau di Batu Hampar yang memang sudah menurun
semenjak ditinggalkan Syaikh Abdurrahman. Tapi, hal ini diprotes dan mengusulkan
pamannya, Idris untuk menggantikannya.[14] Menurut catatan Amrin Imran, Pak Gaeknya
kecewa dan Syekh Arsyad pada akhirnya menyerahkan kepada Tuhan.[15]
Keluarga
Pada 18 November 1945, Hatta menikah dengan Rahmi Hatta dan tiga hari setelah menikah,
mereka bertempat tinggal di Yogyakarta. Kemudian, dikarunai 3 anak perempuan yang
bernama Meutia Farida Hatta, Gemala Rabi'ah Hatta, dan Halida Nuriah Hatta.
Ahmad Yani
Ahmad Yani (juga dieja Achmad Yani; lahir di Purworejo, Jawa Tengah, 19
Juni 1922 – meninggal di Lubang Buaya, Jakarta, 1 Oktober 1965 pada umur 43 tahun)
adalah komandan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat, dan dibunuh oleh
anggota Gerakan 30 September saat mencoba untuk menculik dia dari rumahnya.

Daftar isi

 1Kehidupan awal
 2Karier militer
 3Akhir hayat
 4Pendidikan

Kehidupan awal
Ahmad Yani lahir di Jenar, Purworejo, Jawa Tengah pada tanggal 19 Juni 1922 di keluarga
Wongsoredjo, keluarga yang bekerja di sebuah pabrik gula yang dijalankan oleh pemilik
Belanda. Pada tahun 1927, Yani pindah dengan keluarganya ke Batavia, di mana ayahnya
kini bekerja untuk General Belanda. Di Batavia, Yani bekerja jalan melalui pendidikan dasar
dan menengah. Pada tahun 1940, Yani meninggalkan sekolah tinggi untuk menjalani wajib
militer di tentara Hindia Belanda pemerintah kolonial. Ia belajar topografi militer
di Malang, Jawa Timur, tetapi pendidikan ini terganggu oleh kedatangan
pasukan Jepang pada tahun 1942. Pada saat yang sama, Yani dan keluarganya pindah
kembali ke Jawa Tengah.
Pada tahun 1943, ia bergabung dengan tentara yang disponsori Jepang Peta (Pembela Tanah
Air), dan menjalani pelatihan lebih lanjut di Magelang. Setelah menyelesaikan pelatihan ini,
Yani meminta untuk dilatih sebagai komandan peleton Peta dan dipindahkan ke Bogor, Jawa
Baratuntuk menerima pelatihan. Setelah selesai, ia dikirim kembali ke Magelang sebagai
instruktur.

Karier militer
Setelah Kemerdekaan Yani bergabung dengan tentara republik yang masih muda dan
berjuang melawan Belanda. Selama bulan-bulan pertama setelah Deklarasi Kemerdekaan,
Yani membentuk batalion dengan dirinya sebagai Komandan dan memimpin kepada
kemenangan melawan Inggris di Magelang. Yani kemudian diikuti ini dengan berhasil
mempertahankan Magelang melawan Belanda ketika ia mencoba untuk mengambil alih kota,
mendapat julukan "Juruselamat Magelang". Sorot lain yang menonjol karier Yani selama
periode ini adalah serangkaian serangan gerilya yang diluncurkan pada awal 1949 untuk
mengalihkan perhatian Belanda sementara Letnan Kolonel Soeharto dipersiapkan untuk
Serangan Umum 1 Maret yang diarahkan pada Yogyakarta.
Setelah Kemerdekaan Indonesia diakui oleh Belanda, Yani dipindahkan ke Tegal, Jawa
Tengah. Pada tahun 1952, ia dipanggil kembali beraksi untuk melawan Darul Islam, sebuah
kelompok pemberontak yang berusaha untuk mendirikan sebuah teokrasi di Indonesia. Untuk
menghadapi kelompok pemberontak ini, Yani membentuk sebuah kelompok pasukan khusus
yang disebut The Banteng Raiders. Keputusan untuk memanggil Yani dividen dibayar dan
selama 3 tahun ke depan, pasukan Darul Islam di Jawa Tengah menderita satu kekalahan
demi satu.
Pada Desember 1955, Yani berangkat ke Amerika Serikat untuk belajar di Komando dan Staf
Umum College, Fort Leavenworth, Kansas. Kembali pada tahun 1956, Yani dipindahkan ke
Markas Besar Angkatan Darat di Jakarta di mana ia menjadi anggota staf Umum untuk Abdul
Haris Nasution. Di Markas Besar Angkatan Darat, Yani menjabat sebagai Asisten Logistik
Kepala Staf Angkatan Darat sebelum menjadi Wakil Kepala Staf Angkatan Darat untuk
Organisasi dan Kepegawaian.
Pada bulan Agustus tahun 1958, ia memerintahkan Operasi 17 Agustus terhadap Pemerintah
Revolusioner Republik Indonesia pemberontak di Sumatra Barat. Pasukannya berhasil
merebut kembali Padang dan Bukittinggi, dan keberhasilan ini menyebabkan ia dipromosikan
menjadi wakil kepala Angkatan Darat ke-2 staf pada 1 September 1962, dan kemudian
Kepala Angkatan Darat stafnya pada 13 November 1963 (otomatis menjadi anggota kabinet),
menggantikan Jenderal Nasution.

Akhir hayat
Sebagai Presiden, Soekarno bergerak lebih dekat ke Partai Komunis Indonesia (PKI) di awal
60-an. Yani yang sangat anti-komunis, menjadi sangat waspada terhadap PKI, terutama
setelah partai ini menyatakan dukungannya terhadap pembentukan kekuatan kelima (selain
keempat angkatan bersenjata dan polisi) dan Sukarno mencoba untuk
memaksakannya Nasakom (Nasionalisme-Agama-Komunisme) doktrin di militer. Keduanya,
Yani dan Nasution menunda-nunda ketika diperintahkan oleh Soekarno pada tanggal 31 Mei
1965 mempersiapkan rencana untuk mempersenjatai rakyat.
Pada dini hari 1 Oktober 1965, Gerakan 30 September mencoba untuk menculik tujuh
anggota staf umum Angkatan Darat. Sebuah tim dari sekitar 200 orang mengepung rumah
Yani di Jalan Latuhahary No. 6 di pinggiran Jakarta Menteng, Jakarta Pusat. Biasanya Yani
memiliki sebelas tentara menjaga rumahnya. Istrinya kemudian melaporkan bahwa seminggu
sebelumnya tambahan enam orang ditugaskan kepadanya. Orang-orang ini berasal dari
komando Kolonel Latief, yang diketahui Yani, adalah salah satu komplotan utama dalam
Gerakan 30 September. Menurut istri Yani, orang-orang tambahan tersebut tidak muncul
untuk bertugas pada malam itu. Yani dan anak-anaknya sedang tidur di rumahnya sementara
istrinya keluar merayakan ulang tahunnya bersama sekelompok teman-teman dan kerabat.
Dia kemudian menceritakan bahwa saat ia pergi dari rumah sekitar pukul 23.00, ia melihat
seseorang duduk di seberang jalan seakan menjaga rumah di bawah pengawas. Dia tidak
berpikir apa-apa pada saat itu, tetapi setelah peristiwa pagi itu ia bertanya-tanya berbeda.
Juga, dari sekitar jam 9 pada malam 30 September ada sejumlah panggilan telepon ke rumah
pada interval, yang ketika menjawab akan bertemu dengan keheningan atau suara akan
bertanya apa waktu itu. Panggilan terus sampai sekitar 01.00 dan Mrs Yani mengatakan dia
memiliki firasat sesuatu yang salah malam itu.
Yani menghabiskan malam dengan beberapa pertemuan, pukul 7 malam ia menerima seorang
kolonel dari KOTI, Komando Operasi Tertinggi. Jendral Basuki Rahmat, komandan divisi
di Jawa Timur, kemudian tiba dari markasnya di Surabaya. Basuki datang ke Jakarta untuk
melaporkan kepada Yani pada keprihatinan tentang meningkatnya aktivitas komunis di Jawa
Timur. Memuji laporannya, Yani memintanya untuk menemaninya ke pertemuan keesokan
harinya dengan Presiden untuk menyampaikan laporannya.
Ketika para penculik datang ke rumah Yani dan mengatakan kepadanya bahwa ia akan
dibawa ke hadapan presiden, ia meminta waktu untuk mandi dan berganti pakaian. Ketika
penculik menolak ia menjadi marah, menampar salah satu prajurit penculik, dan mencoba
untuk menutup pintu depan rumahnya. Salah satu penculik kemudian melepaskan tembakan,
membunuhnya secara spontan. Tubuhnya dibawa ke Lubang Buaya di pinggiran Jakarta dan
bersama-sama dengan orang-orang dari jenderal yang dibunuh lainnya, disembunyikan di
sebuah sumur bekas.
Tubuh Yani, dan orang-orang korban lainnya, diangkat pada tanggal 4 Oktober, dan semua
diberi pemakaman kenegaraan pada hari berikutnya, sebelum dimakamkan di Taman Makam
Pahlawan di Kalibata. Pada hari yang sama, Yani dan rekan-rekannya resmi dinyatakan
Pahlawan dari Revolusi dengan Keputusan Presiden Nomor 111/KOTI/1965 dan pangkatnya
dinaikkan secara anumerta dari Letnan Jenderal untuk bintang ke-
4 umum (Indonesia:Jenderal Anumerta).
Ibu Yani dan anak-anaknya pindah dari rumah setelah kematian Yani. Ibu Yani membantu
membuat bekas rumah mereka ke Museum publik yang berdiri sebagian besar seperti itu pada
Oktober 1965, termasuk lubang peluru di pintu dan dinding, dan dengan perabot rumah itu
waktu itu. Saat ini, banyak kota di Indonesia memiliki jalan dinamai Yani. Selain itu
namanya diabadikan untuk Bandar Udara Internasional Achmad Yani di Semarang.

Pendidikan

 HIS (setingkat SD) Bogor, tamat tahun 1935


 MULO (setingkat SMP) kelas B Afd. Bogor, tamat tahun 1938
 AMS (setingkat SMU) bagian B Afd. Jakarta, berhenti tahun 1940
 Pendidikan militer pada Dinas Topografi Militer di Malang
 Pendidikan Heiho di Magelang
 PETA (Tentara Pembela Tanah Air) di Bogor
 Command and General Staff College di Fort Leaven Worth, Kansas, Amerika Serikat,
tahun 1955
 Special Warfare Course di Inggris, tahun 1956

Anda mungkin juga menyukai