Anda di halaman 1dari 8

EFEKTIVITAS PENGGUNAAN CERMIN TERHADAP KEMAMPUAN BICARA

PADA PASIEN STROKE DENGAN AFASIA MOTORIK DI SMC RS TELOGOREJO

Suharti *).,
Siti Munifatul, Tryas Ariyani, Wahyuni Haryono**)

*) Mahasiswa Program Studi D3 Keperawatan STIKES Telogorejo Semarang,


**) Dosen Program Studi D3 Keperawatan STIKES Telogorejo Semarang,

ABSTRAK

Di Indonesia, stroke merupakan penyebab utama kematian yang disebabkan penyakit non infeksi.
Sebanyak 5% orang Indonesia berusia di atas 65 tahun pernah mengalami setidaknya satu kali serangan
stroke. Bila terdapat lesi di area broca, pasien akan mengalami gangguan bicara dan menimbulkan afasia
motorik. Salah satu penanganannya yaitu dengan latihan di depan cermin untuk latihan gerakan lidah,
bibir, dan mengucapkan kata-kata. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi efektivitas penggunaan
cermin terhadap kemampuan bicara pada pasien stroke dengan afasia motorik di SMC RS Telogorejo.
Desain penelitian yang digunakan adalah true exsperiment selama 7 hari dengan perlakuan 2 kali sehari
terapi wicara tanpa menggunakan cermin (kelompok kontrol) dan dengan menggunakan cermin
(kelompok perlakuan). Sampel yang diambil sebanyak 18 responden dengan menilai tingkat kemampuan
bicara sebelum dan setelah dilakukan terapi wicara untuk kelompok kontrol maupun kelompok perlakuan.
Hasil uji statistik Independent TTest diperoleh nilai p-value 0,000 (<0,05), sedangkan nilai t hitung 7,159
> nilai t tabel 1,73. Sehingga dapat disimpulkan terdapat efektivitas penggunaan cermin terhadap
kemampuan bicara pada pasien stroke dengan afasia motorik. Penelitian ini diharapkan dapat digunakan
sebagai program pemulihan pasien stroke yang mengalami gangguan bicara (afasia motorik) serta sebagai
bahan masukan dalam proses pendidikan ilmu keperawatan dan sebagai acuan dalam penelitian
selanjutnya.

Kata kunci : stroke, terapi wicara dengan cermin, peningkatan kemampuan bicara

ABSTRACT

In Indonesia, stroke is the leading cause of death due to non-infectious diseases. As many as 5% of
Indonesian people aged over 65 years had experienced at least one stroke. If there are lesions in Broca's
area, the patient will experience speech disturbances and cause motor aphasia. One treatment is to practice
in front of a mirror for the exercises tongue, lips, and say the words. This study aims to identify the
effectiveness of using a mirror to the speech in stroke patients with motor aphasia in Semarang Medical
Center, Telogorejo Hospital. The study design used is true exsperiment for 7 days with treatment speech
therapy 2 times a day without using a mirror (control group) and by using a mirror (treatment group).
Samples taken were 18 respondents to assess the level of speech before and after speech therapy for the
control group and the treatment group. Results of statistical tests Independent T-Test pvalue of 0.000
(<0.05), while 7,159 t value> t table value of 1.73. It can be concluded there is effective use of mirrors to
speech in stroke patients with motor aphasia. This research is expected to be used as a recovery program
that stroke patients experience speech disorders (aphasia motor) as well as an input in the process of
nursing education and as a reference in future studies.

Keywords : stroke, speech therapy with a mirror, an increase ability to speak


PENDAHULUAN maka seringkali lafalnya menjadi tidak jelas
(Anonim, 2007, hlm.4647).
Stroke atau cedera serebrovaskuler adalah
kehilangan fungsi otak yang diakibatkan oleh Perawat, sebagai bagian dari tim pelayanan
berhentinya suplai darah ke bagian otak kesehatan, diharapkan mampu memberikan
(Smeltzer dan Bare, 2001, hlm.2131). Stroke asuhan keperawatan kepada pasien stroke
juga merupakan kelainan fungsi otak yang secara komprehensif dan terorganisir sejak
timbul mendadak yang disebabkan terjadinya fase hiperakut hingga fase pemulihan
gangguan peredaran darah otak dan bisa (Rasyid, 2007, hlm.53).
terjadi pada siapa saja dan kapan saja
(Muttaqin, 2008, hlm.234). Perawat menerapkan tindakan keperawatan
sesuai dengan diagnosis keperawatan yang
Di Indonesia, stroke merupakan berhubungan dengan variasi gangguan
penyebab utama kematian yang disebabkan bicara, bahasa, dan suara. Intervensi yang
penyakit non infeksi. Temuan kasusnya bisa dilakukan adalah terapi wicara, perawat
terbilang terus meningkat dari tahun ke tahun membuatkan jadwal untuk latihan berbicara
(Anna, 2012, ¶ 7). dalam meningkatkan kemampuan bicara
(Sunardi, 2006, hlm.7). Menurut Bastian
Data rekam medis SMC RS Telogorejo, (2011, hlm.2), pasien stroke yang sering
stroke hemoragik dan non hemoragik pada mengalami gangguan bicara dan komunikasi,
tahun 2010 sebesar 97 jiwa, 2011 sebesar dapat ditangani salah satunya dengan cara,
161 jiwa, 2012 sebesar 267 jiwa, 2013 latihan di depan cermin untuk latihan gerakan
sebesar 168 jiwa, 2014 sebesar 244 jiwa, lidah, bibir, dan mengucapkan kata-kata.
dan 2015 adalah sebesar 211 jiwa.
Terapi wicara merupakan tindakan yang
Masalah kesehatan yang timbul akibat stroke diberikan kepada individu yang mengalami
sangat bervariasi, tergantung kepada luasnya gangguan komunikasi, gangguan berbahasa
daerah otak yang mengalami infark atau bicara, gangguan menelan, dan terapi wicara
kematian jaringan dan lokasi yang terkena yang dibahas berfokus pada terapi wicara
(Rasyid, 2007, hlm.53). Bila stroke pada pasien dengan masalah-masalah dengan
menyerang otak kiri dan mengenai pusat neurologist, diantaranya paska stroke
bicara, kemungkinan pasien akan (Hearing speech & deafness center, 2006,
mengalami gangguan bicara atau afasia dalam Sunardi, 2006, hlm.1). Penelitian
(Mulyatsih, 2008, hlm.36). Meinzer menunjukkan bahwa 85% pasien
stroke mengalami peningkatan kemampuan
Secara umum afasia terbagi dalam tiga jenis bahasa secara signifikan setelah menjalani
yaitu afasia motorik, afasia sensorik, dan terapi wicara yang intensif. Perbaikan-
afasia global (Mulyatsih, 2008, hlm.36). perbaikan yang berkelanjutan juga terjadi
Afasia motorik, kerusakan (yang pada pada pasienpasien tersebut selama enam
umumnya disebut lesion) terjadi pada daerah bulan (Harnowo, 2011, ¶ 10).
broca. Karena daerah ini berdekatan dengan
jalur korteks motor maka yang sering terjadi Terapi cermin adalah suatu intervensi terapi
adalah alat-alat ujaran, termasuk bentuk baru yang difokuskan pada ekstremitas yang
mulut menjadi terganggu, kadang-kadang tanpa gangguan. Menurut Bastian (2011,
mulut bisa mencong (Dardjowidjojo, 2005 hlm.2), pasien stroke yang sering mengalami
dalam Anonim, 2007, hlm.46). Afasia gangguan bicara dan komunikasi, dapat
motorik menyebabkan gangguan pada ditangani salah satunya dengan cara, latihan
perencanaan dan pengungkapan ujaran. di depan cermin untuk latihan gerakan lidah,
Kalimat-kalimat yang diproduksi terpatah- bibir, dan mengucapkan kata-kata.
patah karena alat penyuara juga terganggu
Penelitian Anwar tentang terapi cermin bicara tanpa menggunakan cermin dan
dengan subjek pada posisi setengah duduk dengan menggunakan cermin untuk
pada tempat tidur, subjek mengamati mengevaluasi keefektivan penggunaan
pantulan dari kaki yang non paretik sewaktu cermin.
memfleksikan dan mengekstensikan
pergelangan kaki pada kecepatan tertentu di Teknik sampel yang digunakan dalam
bawah pengawasan tetapi tanpa tambahan penelitian ini, menggunakan metode
umpan balik secara verbal. Penelitian- accidental sampling. Sampel diambil dari
penelitian sudah menunjukkan bahwa ilusi populasi pasien stroke rawat inap di ruang
cermin mempunyai pengaruh dalam Alamanda SMC RS Telogorejo yang
kemampuan pengukuran pada aktivitas otak. memenuhi kriteria inklusi sebanyak 18
Sehingga dapat disimpulkan bahwa terapi responden.
cermin kombinasi dengan program
rehabilitasi konvensional meningkatkan Alat pengumpulan data yang digunakan dari
pemulihan motorik ekstremitas bawah dan data primer yaitu data kemampuan bicara
fungsional pada pasien yang menderita stroke dengan menggunakan teknik observasi. Data
subakut (Anwar, 2007, hlm.10-12). Steven sekunder diperoleh dari rekam medis pasien
dan Stoyrov melaporkan bahwa pasien stroke meliputi identitas responden yang terdiri atas
yang berlatih dengan terapi cermin selama 3- nama, jenis kelamin, usia, diagnosa penyakit,
4 minggu mempunyai peningkatan penilaian serta catatan medik, catatan keperawatan di
skor FuglMeyer (Anwar, 2007, hlm.2). ruang rawat inap.

Tujuan dari penelitian ini adalah Analisa Bivariat dilakukan dengan uji
mengidentifikasi efektivitas penggunaan Independent T-Test. Karena data berdistribusi
cermin terhadap kemampuan bicara pada normal, yang sebelumnya dilakukan dengan
pasien stroke dengan afasia motorik di SMC menggunakan uji normalitas yaitu uji
RS Telogorejo. Shapiro Wilk dengan syarat sampel <50.

METODE PENELITIAN HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Desain penelitian ini adalah true eksperiment 1. Karakteristik Usia Responden


atau rancangan eksperimen sungguhan
adalah desain penelitian dimana randomisasi Tabel 1
dilakukan dalam mengalokasikan subjek ke Distribusi frekuensi berdasarkan usia
dalam kelompok perlakuan dan kelompok responden di SMC RS Telogorejo
kontrol, sehingga membuat kedua kelompok Februari-Maret 2016
tersebut sebanding (Sulistyaningsih, 2011, (N=18)
hlm.103-104).
Usia Persentase
Penelitian dilakukan pada kelompok pasien No Jumlah
(Tahun) (%)
stroke yang mengalami gangguan bicara atau 1 50 – 54 5 27.8
afasia motorik di SMC RS Telogorejo selama
7 hari dengan perlakuan 2 kali sehari. 2 55 – 59 7 38.9
Pengambilan data dilakukan dengan menilai 3 60 – 64 6 33.3
tingkat kemampuan bicara sebelum Total 18 100.0
dilakukan terapi wicara tanpa menggunakan
cermin dan dengan menggunakan cermin. Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar
Kemudian dilakukan terapi wicara tanpa responden berusia 55 – 59 tahun yaitu
menggunakan cermin dan dengan sebanyak 7 responden (38,9%) dengan skor
menggunakan cermin dan setelahnya kemampuan bicara sebelum dilakukan terapi
dilakukan penilaian tingkat kemampuan
wicara dengan menyebutkan nama benda terjadinya stroke. Jenis kelamin laki-laki
misalnya nama hewan berkisar antara skor 7 mudah terkena stroke (Pinzon et.al., 2010,
– 11 nama hewan ini menunjukkan adanya hlm.5). Pada usia tertentu, pria memiliki
gangguan dalam kelancaran berbicara verbal. lebih banyak faktor risiko untuk masalah
stroke, salah satunya yaitu gaya hidup (life
Hal tersebut didukung dengan pernyataan style) merokok dan mengkonsumsi alkohol
dari Lumbantobing (2000, hlm.159) yang (Bakri, 2012,¶ 1).
menyatakan bahwa bila skor kurang dari 13
pada orang normal di bawah usia 70 tahun, Menurut Rizal (2013, ¶ 1) dalam data Word
perlu dicurigai adanya gangguan dalam Health Organization (WHO) tahun 2008
kelancaran berbicara verbal. Seseorang menyebutkan di Indonesia prevalensi
menderita stroke karena memiliki faktor perokok aktif 67,4% laki-laki dan 4,5%
risiko stroke. Usia merupakan faktor yang perempuan, ini menunjukkan laki-laki
berpengaruh secara bermakna dalam cenderung untuk menjadi perokok aktif.
kemampuan bicara menyebutkan nama benda Menurut Wahjoepramono (2005, hlm.309)
misalnya menyebutkan nama jenis hewan. menyatakan bahwa merokok menyebabkan
aliran darah di dalam tubuh menjadi lebih
Usia dikategorikan sebagai faktor risiko yang lambat, menyebabkan darah lebih mudah
tidak dapat diubah (Pinzon et.al., 2010, menggumpal, dan mendorong terjadinya
hlm.5). Usia merupakan faktor yang aterosklerosis pada pembuluh darah otak,
berpengaruh secara bermakna dalam jantung dan tungkai. Merokok meningkatkan
kemampuan bicara menyebutkan nama benda risiko terkena stroke empat kali di banding
misalnya menyebutkan nama jenis hewan. yang tidak merokok sedangkan alkohol,
Orang normal yang berusia di bawah 69 dalam sebuah pengamatan, diperoleh data
tahun akan mampu menyebutkan 20 nama bahwa konsumsi 3 gelas alkohol per hari
hewan. Kemampuan ini akan menurun akan meningkatkan risiko perdarahan
menjadi 17 pada usia 70-an, dan menjadi intraserebral hingga 7 kali lipat
15,5 pada usia 80-an. Skor yang dibawah 10 (Wahjoepramono, 2005, hlm.309).
pada usia dibawah 80 tahun, sugestif bagi
masalah penemuan kata. Pada usia 85 tahun 3. Karakteristik Pekerjaan Responden
skor 10 mungkin merupakan batas normal Tabel 3
bawah (Lumbantobing, 2000, hlm.159). Distribusi frekuensi berdasarkan pekerjaan
responden di SMC RS Telogorejo
2. Karakteristik Jenis Kelamin Responden Februari-Maret 2016
Tabel 2 (N=18)
Distribusi frekuensi berdasarkan jenis
kelamin responden di SMC RS Telogorejo No Pekerjaan Jumlah Persentase
Februari-Maret 2016 1 Tidak 8 44.4
(N=18) bekerja
2 Buruh 3 16.7
Jenis Persentase
No Jumlah 3 Karyawan 5 27.8
Kelamin (%)
Laki-laki 10 55.6 swasta
2 Perempuan 8 44.4 4 Wiraswasta 2 11.1
Total 18 100.0 5 Pegawai 0 0
negeri sipil
Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar 6 ABRI/TNI 0 0
responden berjenis kelamin laki-laki yaitu Total 18 100.0
sebanyak 10 responden (55,6%). Jenis
kelamin merupakan salah satu faktor risiko
Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar hlm. 154) menyatakan bahwa setelah terjadi
responden tidak bekerja yaitu sebanyak 8 suatu serangan stroke pasien stroke dapat
responden (44,4%). Peneliti belum mengalami gangguan motivasi dan
menemukan hubungan antara tidak bekerja fungsifungsi kognitif. Pada dasarnya,
dengan faktor risiko terjadinya stroke. kemajuan dan kesembuhan penderita sifatnya
unik dan individual karena sangattergantung
4. Kemampuan bicara sebelum dan setelah dari kemauan dan semangat masing-masing
dilakukan terapi wicara tanpa menggunakan individu yang sakit. Menurut Markam (2009,
cermin hlm.283) menyatakan bahwa program terapi
berlandaskan pada penumbuhan motivasi
Tabel 4 pasien untuk mau belajar (re-learning)
Distribusi frekuensi berdasarkan kemampuan bahasanya yang hilang. Memberikan
bicara sebelum dan setelah dilakukan 7 hari stimulasi supaya pasien memberikan
terapi wicara tanpa menggunakan cermin tanggapan verbal. Stimulasi dapat berupa
di SMC RS Telogorejo verbal, tulisan ataupun taktil. Materi yang
Februari-Maret 2016 telah dikuasai pasien perlu diulang-ulang
(N=18) (repitisi).

No Skor kemampuan bicara Kemampuan berbicara sendiri merupakan


responde Sebelum Setelah kemampuan dalam mengungkapkan
n terapi terapi pendapat, pikiran ataupun perasaan kepada
1 7 26 orang lain secara lisan. Kemampuan
3 6 19
5 9 22
berbicara dianggap sebagai salah satu
7 11 20 kemampuan berbahasa yang dijadikan tolok
9 7 22 ukur dalam menentukan kualitas kemampuan
11 8 20 berpikir seseorang. Berbicara merupakan
13 13 19 ekspresi dari pikiran, gagasan ataupun
15 10 17
17 9 24 perasaan seseorang yang menekankan pada
Jumlah = 9 Skor = 80 189 komunikasi dua arah, yaitu memberi dan
Mean = 8.89 21.00 Selisih menerima (Hardini, 2012, hlm. 2). Menurut
Mean Supriyadi (2005, hlm.178) dalam Hardini
SD = 12.11 (2012, hlm. 2) menyatakan bahwa apabila
2.205 2.784 seseorang memiliki kemampuan berbicara
yang baik, seseorang tersebut akan
Hasil penelitian menunjukkan untuk memperoleh keuntungan sosial maupun
responden dengan nilai kemampuan bicara profesional. Keuntungan sosial berkaitan
sebelum dilakukan terapi wicara tanpa dengan kegiatan interaksi sosial antar
menggunakan cermin paling banyak dengan individu, sedangkan keuntungan profesional
skor 13 dan untuk responden dengan nilai diperoleh sewaktu menggunakan bahasa
kemampuan bicara paling sedikit dengan untuk membuat pertanyaan-pertanyaan,
skor 6 sedangkan setelah 7 hari terapi wicara menyampaikaan faktafakta dan pengetahuan,
tanpa menggunakan cermin paling banyak menjelaskan dan mendeskripsikan.
dengan skor 26 atau 75% dari 35 skor tes Kemampuan berbahasa lisan tersebut
wicara dan untuk responden dengan nilai memudahkan seseorang berkomunikasi dan
kemampuan bicara paling sedikit dengan mengungkapkan ide atau gagasan kepada
skor 17 atau 50% dari 35 skor tes wicara. orang lain.
Memiliki selisih mean 12,11 ini mengalami
peningkatan yang sedikit.
5. Kemampuan bicara sebelum dan setelah
Hasil ini di dukung oleh pernyatan dari Mast dilakukan terapi wicara dengan
BT (2004, hlm.92) dalam Suwantara (2004, menggunakan cermin
stroke sering mengalami gangguan bicara
Tabel 5 dan komunikasi. Salah satunya dapat
Distribusi frekuensi berdasarkan ditangani dengan cara latihan di depan
kemampuan bicara sebelum dan setelah cermin untuk latihan gerakan lidah, bibir, dan
dilakukan 7 hari terapi wicara dengan mengucapkan kata-kata.
menggunakan cermin di SMC RS
Telogorejo Februari-Maret 2016 6. Efektivitas terapi wicara tanpa menggunakan
(N=18) cermin dan dengan menggunakan cermin

Skor Tabel 6
No kemampuan Distribusi kemampuan bicara setelah
bicara dilakukan terapi wicara tanpa
responden Sebelum Setelah menggunakan cermin dan dengan
terapi terapi menggunakan cermin setelah 7 hari
2 9 33 perlakuan di SMC RS Telogorejo
4 5 27 Februari-Maret 2016
6 8 29 (N=18)
8 7 29
Kelompok Sebelum Setelah Mean SD T p-value
10 7 34 terapi terapi
12 6 27
Kelompok ∑ = 80 ∑ = 189
14 10 35 kontrol 21,00 2,784
16 12 35 Kelompok 7,159 0,000
18 8 33 perlakuan ∑ = 72 ∑ = 282 31,33 3,317

Jumlah = 9 72 282
Skor = 8.00 31.33 Selisih Hasil uji Independent T-Test
Mean memperlihatkan beda rata-rata nilai
Mean = 23.33 kemampuan bicara tanpa menggunakan
2.121 3.317 cermin adalah 21,00 dan kemampuan bicara
SD dengan menggunakan cermin adalah 31,33,
= diperoleh nilai p-value 0,000. Oleh karena
lebih kecil dari 0,05 (<0,05) maka ada
Berdasarkan tabel 5, untuk responden dengan perbedaan pada variabel yang telah diuji
nilai kemampuan bicara sebelum terapi yaitu kemampuan bicara dengan
wicara dengan menggunakan cermin paling menggunakan cermin dan tanpa
banyak dengan skor 12 dan untuk responden menggunakan cermin.
dengan nilai kemampuan bicara paling
sedikit dengan skor 5 sedangkan setelah 7 Berdasarkan uji statistik Independent t-test
hari terapi wicara dengan menggunakan dalam penelitian ini diperoleh t hitung 7,159
cermin paling banyak dengan skor 35 atau sedangkan t tabel 1,73 maka terdapat
100% dari 35 skor tes wicara dan untuk efektivitas penggunaan cermin terhadap
responden dengan nilai kemampuan bicara kemampuan bicara pada pasien stroke
paling sedikit dengan skor 27 atau 76% dari dengan afasia motorik.
35 skor tes wicara. Memiliki selisih mean
23,33 ini memiliki peningkatan yang Hasil penelitian ini didukung juga oleh hasil
signifikan dikarenakan penggunaan cermin penelitian dari Altschuler dan kawan-kawan
memberikan umpan balik visual. Menurut bahwa terapi cermin juga memberikan input
Anwar (2007, hlm.10) menyatakan bahwa visual dari pergerakan normal, yang mana
ilusi cermin mempunyai pengaruh dalam kompensasinya terjadi penurunan atau tidak
kemampuan pengukuran pada aktivitas otak. adanya input proprioseptif. Steven dan
Menurut Bastian (2011, hlm.2), penderita Stoykov mengistilahkan terapi cermin
sebagai sebuah bentuk dari ketentuan visual SARAN
motorik, dimana kemampuan mental dari
pergerakan tanpa melakukan secara jelas Setelah peneliti menyimpulkan hasil penelitian
dari pergerakannya. Klinikal yang luas, ini, maka peneliti memberikan beberapa saran
neurofisiologis, dan neuroimaging sebagai berikut:
menunjukkan bahwa gambaran motorik 1. Terapi wicara dengan menggunakan cermin
yang terlibat jaringan saraf yang sama dapat digunakan sebagai program pemulihan
sebagai keputusan motorik. Saraf-saraf pasien stroke yang mengalami gangguan
cermin adalah saraf visuomotor bimodal bicara (afasia motorik) dan dapat
yang aktif selama pengamatan aktif, diaplikasikan ke dalam tindakan sehari-hari
stimulasi mental (gambaran), dan keputusan pada pasien stroke dengan afasia motorik di
aksi. Saraf-saraf cermin adalah yang secara ruang rawat inap.
umum mengerti terhadap dasar untuk
belajar ketrampilan baru oleh inspeksi 2. Sebagai bahan masukan dalam proses
visual (Anwar, 2007, hlm.2-10). pendidikan ilmu keperawatan agar perawat
lebih meningkatkan kemampuan dan
KESIMPULAN kemahiran khususnya dalam terapi wicara
dengan menggunakan cermin pada pasien
Berdasarkan hasil penelitian yang sudah stroke dengan afasia motorik.
dilakukan pada 18 responden pasien stroke yang 3. Untuk penelitian selanjutnya dapat dilakukan
di rawat inap di SMC RS Telogorejo pemeriksaan Computer Tomography scan
menggunakan uji Independent T-test (CT scan) untuk mengetahui seberapa luas
memperlihatkan beda rata-rata nilai kemampuan terdapat lesi di area brocca sehingga
bicara tanpa menggunakan cermin adalah 21,00 penanganan terapi wicara dapat lebih
dan kemampuan bicara dengan menggunakan ditingkatkan.
cermin adalah 31,33, diperoleh nilai p-value
0,000. Oleh karena lebih kecil dari 0,05 (<0,05) DAFTAR PUSTAKA
maka ada perbedaan pada variabel yang telah
diuji yaitu kemampuan bicara dengan Ana, Lusia. (2011). Stroke bayangi belasan
menggunakan cermin dan tanpa menggunakan juta jiwa kaum muda.
cermin. Berdasarkan uji statistik Independent t- http://health.kompas.com/read/2011/10
test dalam penelitian ini diperoleh t hitung 7,159 /
sedangkan t tabel 1,73 maka terdapat efektivitas 31/06480744/Stroke.Bayangi.Belasan.
penggunaan cermin terhadap kemampuan bicara Ju ta.Jiwa.Kaum.Muda diperoleh
pada pasien stroke dengan afasia motorik. tanggal 24 November 2012
Anonim. (2007). Fonetis tuturan afasia
Selisih rata-rata skor antara kemampuan bicara broca penderita stroke.
sebelum dan setelah dilakukan terapi wicara http://repository.upi.
tanpa menggunakan cermin yaitu 12,11. Selisih edu/operator/upload/s c5151 0608230
rata-rata skor antara kemampuan bicara sebelum chapter1.pdf diperoleh tanggal 24
dan setelah dilakukan terapi wicara dengan November 2012
menggunakan cermin yaitu 23,33. Ini Anwar. (2007). Terapi cermin meningkatkan
menunjukkan bahwa terapi wicara dengan pemulihan motorik ekstremitas bawah
menggunakan cermin 1½ kali lebih efektif dan fungsi motorik pasca stroke : Uji
dibandingkan terapi wicara tanpa menggunakan kontrol secara randomisasi. Semarang
cermin dengan nilai perbandingan 12,11:23,33. : Tidak dipublikasikan
Bakri. (2012). Pria lebih rentan stroke.
http://aceh.tribunnews.com/m/index.ph
p/ 2012/12/30/pria-lebih-rentan-stroke
diperoleh tanggal 15 Juni 2013
Bastian, Yefta. (2011). Rehabilitasi Stoke. http://www.shnews.co/detile-
http://www.mitrakeluarga.com/depok/ 20260jutaan-anak-indonesia-sudah-
?p=635 diperoleh tanggal 30 Oktober jadiperokok.html diperoleh tanggal 18
2012 Juni
2013
Hardini, Rahayu. (2012). Hubungan
penguasaan kosakata dengan Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G.Bare; alih
ketrampilan bercerita. bahasa , Agung Waluyo et al. (2001).
http://eprints.uny.ac.id/7805/2/bab%20 Buku ajar keperawatan medikal bedah
1 %20-%20081082440 47. pdf brunner dan suddart Edisi 8 Vol.3.
diperoleh tanggal 15 Juni 2013 Jakarta : EGC

Harnowo, Agus. (2011). Terapi wicara bantu Sulistyaningsih. (2011). Metodologi penelitian
rehabilitasi pasien stroke. kebidanan kuantitatif-kualitatif.
http://health.detik.com/read/2011/10/3 Yogyakarta : Graha Ilmu
1/ 094843/1756105/763/terapi-
wicarabantu-rehabilitasi- Sunardi. (2006). Speech terapi (terapi wicara)
pasienstroke?1771108bcj diperoleh post laringotomy. Nurdinurses.files.
tanggal 17 November 2012 com/2008/01/makalah-speechtherapy.pdf
diperoleh tanggal 1 November 2012
Lumbantobing, SM. (2000). Neurologi klinik
pemeriksaan fisik dan mental. Jakarta : Suwantara, Jeanette. (2004). Epidemiologi,
Balai penerbit FKUI . rehabilitasi, dan psikoterapi. 23(4). 154

Markam, Soemarmo. (2009). Wahjoepramono, J Eka. (2005).


Penuntun neurologi. Jakarta : Binarupa Stroke tatalaksana fase akut. Jakarta :
Aksara . Fakultas Kedokteran Universitas Pelita
Harapan.
Mulyatsih, Enny dan Airiza Ahmad. (2008).
Stroke petunjuk perawatan pasien
pasca stroke di rumah. Jakarta : Balai
Penerbit FKUI .

Muttaqin, Arif. (2008). Buku ajar asuhan


keperawatan klien dengan gangguan
system persarafan. Jakarta : Salemba
Medika.

Pinzon, Rizaldy, Asanti, Laksmi, Sugianto &


Widyo, Kriswanto. (2010). Awas
stroke! pengertian, gejala, tindakan,
perawatan, dan pencegahan.
Yogyakarta : Penerbit ANDI.

Rasyid, Al dan Lyna Soertidewi. (2007).


Unit stroke manajemen stroke secara
komprehensif. Jakata : Balai Penerbit
FKUI .

Rizal, Saiful. (2013). Jutaan anak Indonesia


sudah jadi perokok.

Anda mungkin juga menyukai