Anda di halaman 1dari 16

PEMIKIRAN SØREN KIERKEGAARD TENTANG HAKIKAT AGAMA:

KONTRIBUSINYA BAGI DIALOG DAN KERUKUNAN HIDUP


ANTAR UMAT BERAGAMA DI INDONESIA

RINGKASAN DISERTASI

Oleh:

Hipolitus Kristoforus Kewuel


08/276185/SFI/142

PROGRAM DOKTOR
PROGRAM STUDI ILMU FILSAFAT
FAKULTAS FILSAFAT
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2012
ABSTRACT
PEMIKIRAN SØREN KIERKEGAARD TENTANG HAKIKAT AGAMA:
KONTRIBUSINYA BAGI DIALOG DAN KERUKUNAN
HIDUP ANTAR UMAT BERAGAMA DI INDONESIA

Hipolitus K. Kewuel

A. Latar Belakang

Wacana Multikulturalisme baru muncul sekitar tahun 1970-an ketika banyak imigran

dari benua Asia (Turki, Arab, India, Cina) berbondong-bondong masuk Eropa dan Amerika.

Para imigran itu membawa latar belakang agama dan budaya masing-masing dan hidup

berdampingan dengan agama dan budaya barat (Djoyodinoto, 1987: 10). Pertemuan Timur-

Barat ini membawa dua dampak besar. Pertama, dunia barat sadar bahwa ternyata ada agama

dan kebudayaan lain yang sedang berkembang pesat. Kedua, munculnya tuntutan dunia timur

untuk diakui keberadaan dan kesetaraan hak-haknya.

Menurut Parekh (2000: 63), tuntutan pengakuan identitas ini terus menerus bergerak

menuju level yang lebih tinggi. Para imigran menuntut supaya penerimaan itu tidak hanya

sekedar berhenti di level toleransi, tetapi terutama supaya mencapai tingkat penerimaan,

penghormatan, dan akhirnya pengakuan publik atas perbedaan cara hidup. Eck (1987: 132)

bahkan menegaskan bahwa lebih dari itu semua, penerimaan harus bisa mencapai tingkat

kerjasama demi menghasilkan hidup bersama yang lebih berkembang dan bermutu. Pendapat

ini tampaknya bergerak satu langkah lebih maju bila dibandingkan dengan pendapat Hans

Kung (1991: 210) yang mengatakan bahwa toleransi yang sesungguhnya harus bisa

menghasilkan ekumene di mana masing-masing orang yang berbeda agama bisa secara bebas

tanpa beban bersatu memuji dan mengagungkan Sang Khalik dengan cara dan ritus yang

berbeda-beda pula.

Tuntutan-tuntutan semacam ini, tampaknya sedang terjadi juga di Indonesia dalam

konteks perbedaan suku, agama, dan budaya. Fakta multikulturalisme dan pluralisme di
Indonesia semacam itu, di satu sisi perlu dilestarikan sebagai kekayaan bangsa sebagaimana

hal ini nyata dalam prinsip Bhineka Tunggal Ika yang telah ikut menopang berdirinya Negara

Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini, tetapi di sisi lain, hal itu perlu terus menerus diolah

supaya berbagai aspek di dalamnya berkembang dan terutama agar tidak menjadi bumerang

dalam hidup bersama.

Pluralisme agama adalah salah satu realitas sosial yang telah ikut mendorong lahirnya

berbagai teori hidup bersama, seperti toleransi, kerukunan, dialog antar umat beragama, dan

lain-lain. Hal-hal ini bahkan telah menjadi bahan permenungan filsafat berabad-abad. Aliran

filsafat eksistensialisme adalah salah satu aliran filsafat yang tekun merenungkan bagaimana

manusia mencapai kepenuhan kemanusiaannya, bagaimana manusia mencapai eksistensinya,

bagaimana hidup manusia menjadi bermakna dan berdaya guna di dalam keberagaman hidup

masyarakat.

Bapak eksistensialisme, Søren Aabye Kierkegaard menemukan dalam

permenungannya bahwa di dalam religiositas dan lebih konkret di dalam penghayatan hidup

beragama, manusia berpeluang besar menemukan eksistensinya itu. Agama adalah salah satu

tempat di mana manusia bergumul terus menerus untuk menemukan diri. Persoalannya,

menurut Kierkegaard (1971: 34), untuk merealisasikan maksud luhur agama sebagai tempat

kepenuhan kemanusiaan, pemahaman tentang hakikat agama yang benar menjadi hal yang

penting dan berpengaruh besar.

B. HASIL PENELITIAN

1. Hakikat Agama sebagai Wilayah Paradoks. Berhadapan dengan hidup sebagai sebuah

misteri, manusia terus menerus bergulat memberi makna kepada hidup itu baik secara
bersama maupun secara sendiri-sendiri. Salah satu hal yang diandalkan manusia untuk

berhadapan dengan misteri hidup itu adalah agama karena melalui agama, manusia

berharap bisa dibantu mengatasi berbagai persoalan hidup yang tidak bisa diatasi oleh

nalar. Kemampuan daya nalar manusia memang telah banyak membantu menyelesaikan

berbagai problem, tetapi disadari bahwa peran itu hanya terbatas pada penanganan

masalah-masalah teknis pendukung kehidupan. Nalar ternyata tidak cukup untuk

diharapkan ikut menyelesaikan persoalan-persoalan essensial hidup (Bergson, 1977: 24).

Agama diharapkan bisa membantu nalar dalam konteks ini, namun kenyataan

menunjukkan bahwa peran itu belum terlalu ideal dimainkan oleh agama-agama. Atas

dasar ini, permenungan menemukan hakikat agama secara terus menerus dan

berkelanjutan menjadi hal yang penting dan serius untuk digumuli.

Persoalannya, mengandalkan agama berarti ada tuntutan membuka diri untuk

“meloncat” ke wilayah di luar rasio, yakni wilayah iman. Iman berarti komitmen pada hal-

hal yang jauh dari ukuran kebenaran rasional dan hidup yang dijalani dalam konteks ini

diharapkan mampu mendatangkan jawaban atas kerinduan-kerinduan eksistensial manusia

sehingga manusia semakin berada dalam hidup yang bermutu dan berkualitas. Bagian ini

secara khusus hendak menelusuri makna paradoks itu dalam paradigma berpikir

Kierkegaard yang didasarkan pada latar belakang pengalaman hidup kekristenan

Kierkegaard sendiri, dalam terang filsafat eksistensial. Tema-tema yang dibahas itu antara

lain; paradoks absolut, paradoks dan kebenaran abadi, paradoks dan pengaruh dosa, serta

paradoks dan cinta.

2. Hakikat Agama sebagai Wilayah Kebenaran Subjektif. Kierkegaard dalam bukunya

Concluding Unscientific Postcript (1941: 30-60) memberikan berbagai kritik terhadap


cara-cara tradisional manusia dalam memahami kebenaran yang semuanya bersifat

objektif. Kritik-kritik ini ditujukan Kierkegaard kepada orang-orang cerdik pandai yang

menghabiskan waktu dengan belajar terus menerus dan kehilangan kontak dengan hal-hal

yang sederhana. Menurut Kierkegaard, dalam hal ini orang-orang bijaksana kehilangan

kontak dengan sifat iman dan gagal menangani masalah-masalah lain yang lebih penting,

seperti; Apa artinya memiliki iman dan bagaimana hal itu mempengaruhi para orang

bijaksana itu sebagai pribadi? Orang bijaksana sibuk dengan mempelajari pengetahuan

tinggi, tetapi lupa menjalani kehidupan iman yang sederhana. Orang bijaksana

menyibukkan dirinya dengan tugas-tugas duniawi lalu lupa bagaimana menjalani

kehidupan dalam kesederhanaan. Pertanyaan-pertanyaan, seperti; “Bagaimana setiap

orang seharusnya menjalani kehidupan secara baik?”, “Apa artinya memiliki iman bagi

setiap orang secara pribadi?” menjadi pertanyaan-pertanyaan yang terasa aneh dan tidak

masuk akal. Kierkegaard, dalam konteks ini mau mengatakan bahwa sebagian besar para

cerdik pandai adalah pembicara dan penulis hebat, tetapi sekaligus adalah orang-orang

yang tidak mampu mengungkapkan hal yang penting dalam dan bagi kehidupan mereka

sendiri (Kierkegaard, 1969: 234).

Kierkegaard berpendapat bahwa para cerdik pandai seperti itu harus dinilai

berdasarkan realitas bagaimana orang-orang itu menjalani kehidupan. Ungkapan terbaik

dari apa yang diyakini benar harus dapat dilihat dalam kehidupan individua bersangkutan

dan bukan berdasarkan kata-kata yang diucapkannya. Kierkegaard, dengan cara ini ingin

menghentikan aktivitas orang-orang yang sibuk melarikan diri ke dalam bahasa dan

ungkapan-ungkapan indah untuk menyadari eksistensinya dan siapa dirinya di hadapan

Tuhan (Kierkegaard, 1941: 65).


Kierkegaard mengakui bahwa mungkin saja para cerdik pandai memiliki banyak

pengetahuan dan refleksi mendalam dengan membaca banyak buku, tetapi hal-hal ini

tidak serta merta membuat orang-orang itu menjadi orang beragama yang baik.

Kierkegaard menegaskan bahwa kalau masalah kebenaran dilihat secara objektif, maka

refleksi secara objektif itu akan diarahkan kepada kebenaran sebagai suatu objek yang

berkaitan dengan subjek yang mengetahuinya. Hal ini mengindikasikan bahwa refleksi

tidak difokuskan pada hubungan, tetapi pada pertanyaan apakah kebenaran tersebut

merupakan kebenaran yang diketahui oleh subjek atau tidak. Contoh pengetahuan tentang

Tuhan; secara objektif, refleksi diarahkan pada pertanyaan apakah objek ini adalah Tuhan

yang sebenarnya atau tidak, sedangkan secara subjektif, refleksi diarahkan pada

pertanyaan apakah masing-masing pribadi memiliki hubungan dengan Tuhan atau tidak

(Kierkegaard, 1941: 178). Tema-tema yang direnungkan Kierkegaard antara lain; iman

dan kehendak pribadi, iman dan hubungan dengan Tuhan, serta iman dan ketidakpastian

objektif.

C. REFLEKSI

1. Refleksi Kritis Konstruktif.

a. Pemikiran Kierkegaard tentang hakikat agama sesungguhnya hanyalah merupakan

deskripsi makna agama yang telah dijalani dan dihidupi umat manusia selama ini.

Hakikat agama menurut Kierkegaard, dengan demikian lebih cocok dipahami sebagai

reartikulasi makna agama pada umumnya, namun fungsi reartikulasi hakikat agama di

zaman yang sangat menekankan dominasi rasio ini merupakan suatu sumbangan yang

sangat berarti dan berdaya guna.


b. Pemikiran Kierkegaard tentang hakikat agama tampaknya lebih menekankan agama

sebagai salah satu persoalan eksistensial hidup manusia. Hal ini menunjukkan bahwa

bagi Kierkegaard, agama adalah salah satu wilayah subur tempat bertumbuh

kembangnya kualitas hidup manusia.

c. Pendekatan Kierkegaard dalam mengungkap hakikat agama adalah model pendekatan

yang khas karena berbeda dari pendekatan-pendekatan pada umumnya yang

berberbasis rasionalitas. Dominasi cara berpikir objektif di zaman itu diubah oleh

Kierkegaard menjadi cara berpikir subjektif.

d. Pemikiran Kierkegaard tentang hakikat agama yang sangat dilatarbelakangi oleh tradisi

kekristenan, sesungguhnya adalah potret pergulatan essensial semua agama dalam

situasi hidup yang multikultur dan pluralistis saat ini.

e. Pemikiran Kierkegaard tentang hakikat agama bagaimana pun juga telah memberi

sumbangan pemikiran yang sangat berarti dalam wacana filsafat agama. Kierkegaard,

dengan pendekatan eksistensialnya telah menunjukkan rumitnya realitas keberagaman

sekaligus jalan keluar dari kemelut keberagaman itu.

f. Hakikat agama sebagaimana yang ditawarkan Kierkegaard adalah konsep yang dalam

aplikasinya sangat terbuka untuk kemungkinan keberagaman pemahaman terhadap

Tuhan.

g. Pemikiran Kierkegaard ini sangat relevan dalam konteks pluralitas hidup beragama

seperti di Indonesia. Himbauan semacam ini menjadi hal yang penting sebagai kontrol

supaya pemeluk agama-agama tidak terjerumus dalam fanatisme agama yang

berlebihan di tengah kecenderungan mengagungkan agama sendiri karena pengaruh

egoisme modernitas.
h. Dalam konteks Indonesia, sumbangan pemikiran Kierkegaard ini beroperasi pada

tataran pengolahan pluralitas agama guna ikut menyiapkan masyarakat Indonesia

mewujudkan cita-cita bangsa ini menjadi satu bangsa, bangsa Indonesia sebagaimana

yang diharapkan dalam dasar negara Pancasila.

2. Refleksi Kritis Korektif.

a. Pemikiran Kierkegaard tentang hakikat agama adalah sungguh pemikiran filsafat yang

meskipun sederhana tetap membutuhkan refleksi mendalam untuk memahaminya. Ini

berarti secara tidak disadari, pemikiran Kierkegaard menuntut umat beragama untuk

memiliki tingkat refleksi yang tinggi guna memahami hakikat agama yang

ditawarkannya. Pemikiran Kierkegaard tentang hakikat agama dengan demikian

mengandaikan juga bahwa orang-orang beragama perlu memiliki tingkat intelektual

tertentu karena tanpa itu apa yang dimaksudkan oleh Kierkegaard tentang hakikat

agama akan sulit dipahami. Situasi nyata menunjukkan bahwa untuk realisasi

pemahaman terhadap hakikat agama yang ditawarkan Kierkegaard masih memerlukan

banyak waktu, sekurang-kurangnya waktu untuk penyesuaian dengan pola dan cara

berpikir Kierkegaard yang khas filsafat eksistensial ini.

b. Pemikiran Kierkegaard tentang hakikat agama adalah hasil refleksi atas teologi Kristen

tentang ke-Allah-an dan kemanusiaan Yesus. Di satu sisi, hal yang dilakukan

Kierkegaard ini adalah sesuatu yang baik dan berguna karena bisa menjadi cermin bagi

banyak orang dalam memandang kedalaman pemahaman tentang hakikat agama,

namun di sisi lain, ada kesan inkonsistensi ide yang sedang dilakukan Kierkegaard.

Kierkegaard, dengan cara ini –mungkin tidak disadari-- telah melakukan perlawanan

atas idenya sendiri tentang agama sebagai wilayah subjektif.


c. Pemikiran Kierkegaard tentang hakikat agama lahir dari permenungan atas ajaran iman

Kristen, maka pemikiran ini tidak serta merta diperuntukkan bagi semua orang

beragama. Gradasi peruntukan pemikiran ini dapat dibuat sebagai berikut; pertama

tentu saja diperuntukan bagi para pemeluk agama Kristen sendiri; kedua dapat dilihat

titik sentuhnya dengan agama Katolik; ketiga relevansinya dengan agama-agama

abrahamik atau agama-agama wahyu; keempat hubungannya dengan agama-agama

non wahyu.

d. Pemikiran Kierkegaard tentang relasi pribadi dengan Tuhan mengandaikan bahwa para

pemeluk agama-agama sudah melewati batas-batas pemahaman biasa dan hidup dalam

kedalaman hubungan dengan Tuhan. Pemikiran Kierekegaard yang demikian ini juga

memberi pengandaian terlalu tinggi soal taraf hubungan pribadi para pemeluk agama

dengan Tuhan.

e. Pemikiran Kierkegaard tentang agama dan paradoks, jika tidak dimengerti secara baik

dan benar akan menjerumuskan umat beragama pada konsep pietisme yang dalam

sejarah pernah diperangi oleh gereja katolik. Pietisme adalah paham yang

memutlakkan bahwa persoalan agama dan Tuhan adalah murni persoalan non rasional

yang tidak bisa didiskusikan sama sekali.

f. Apabila konsep pluralisme yang ditawarkan Kierkegaard tidak diolah dan ditempatkan

pada posisi yang baik dan benar, maka konsep pluralisme itu justru akan dinilai

bertentangan dengan prinsip Pancasila sebagai dasar negara yang mencita-citakan

terwujudnya prinsip kesatuan.


D. KONTRIBUSI

1. Kontribusi bagi pemahaman akan keragaman klaim kebenaran agama-agama di

Indonesia. (a). Pemikiran Kierkegaard tentang hakikat agama membangun kesadaran

bahwa kebenaran agama-agama mesti dipahami dalam kaca mata eksistensialisme bahwa

setiap klaim kebenaran dalam agama-agama adalah bentuk ungkapan kolektif pribadi-

pribadi yang unik, yang perlu dihargai dan diberi ruang bergerak yang memadai. (b).

Penghargaan terhadap perbedaan klaim kebenaran agama-agama menjadi pintu masuk

guna memahami kebenaran agama-agama di luar agama sendiri. (c). Kerendahan hati dan

kerelaan yang tulus untuk melihat perbedaan klaim kebenaran agama-agama menjadi jalan

masuk ke dalam kesadaran bahwa keberagaman klaim kebenaran agama-agama

sesungguhnya dibangun, tumbuh, dan berkembang di atas dasar-dasar yang sama, yakni

bahwa agama-agama, sama-sama memiliki pemahaman dasar (central insight) dan konsep

tentang realitas ilahi yang sama pula.

2. Kontribusi bagi dialog dan kerukunan antar umat beragama di Indonesia. (a).

Kontribusi pemikiran Kierkegaard bahwa ketertiban hidup bernegara ikut ditentukan oleh

kualitas pengolahan subjektivitas kebenaran agama. (b). Kontribusi pemikiran

Kierkegaard bahwa penghayatan agama yang berkualitas menuntut pengakuan dan

penerimaan akan realitas paradoks dan kebenaran agama. (c). kontribusi pemikiran

Kierkegaard bahwa para pelaku dialog agama dituntut memiliki konsep-konsep dan

menguasai unsur-unsur dasar kebenaran, serta paham akan teori-teori penuntun kebenaran.

(d). Kontribusi pemikiran Kierkegaard bahwa fanatisme agama yang berlebihan

bertentangan dengan hakikat agama. (e). Kontribusi pemikiran Kierkegaard bahwa dialog

dan kerukunan hidup antar umat beragama menjadi bagian esensial dalam hidup agama-
agama. (f). Kontribusi pemikiran Kierkegaard bahwa pendidikan agama dalam dunia

pendidikan formal harus mampu membawa peserta didik pada pengenalan akan kebenaran

agama lain juga dan tidak hanya sibuk dengan kebenaran agamanya sendiri. (g).

Kontribusi pemikiran Kierkegaard bahwa Penghayatan Agama yang Paradoks dan

Subjektif Menuntut Distansi demi Refleksi dan Evaluasi Terus Menerus.

E. KESIMPULAN

1. Salah satu puncak permenungan Søren Kierkegaard adalah bahwa agama dipandang

sebagai salah satu bidang hidup yang bisa diandalkan sebagai medan yang paling

memungkinkan bagi manusia untuk menemukan eksistensinya. Søren Kierkegaard

berpendapat bahwa dalam kaca mata filsafat eksistensial, ada dua pemahaman dasar yang

harus dimiliki ketika orang hendak berbicara tentang agama. (a), beragama berarti masuk

dan hidup dalam wilayah paradoks yang menuntut orang beragama untuk percaya pada

dua hal yang bertentangan pada saat yang bersamaan sekaligus mengamini kebenaran hal

yang tidak bisa dijelaskan secara memadai itu. (b). Agama-agama sesungguhnya adalah

medan subjektif dan oleh karena itu sekaligus menjadi alternatif kebenaran juga

berhadapan dengan Realitas Ilahi. Pendapat Søren Kierkegaard ini mau menegaskan

bahwa kebenaran Realitas Ilahi dalam sebuah agama bukan satu-satunya ukuran

kebenaran akan Realitas Ilahi itu.

2. Søren Kierkegaard, dengan demikian telah memberikan beberapa sumbangan pemikiran

yang segar demi pengembangan mutu hidup beragama. Pandangan Søren Kierkegaard

tentang agama sebagai wadah perealisasian hubungan pribadi dengan Tuhan sebagai

kekuatan dalam menjalani hidup di dunia ini menjadi suatu warning bagi semua orang
beriman bahwa beriman dan beragama itu demi kebaikan hidup di dunia ini dan bukan

suatu perjuangan yang semata-mata demi kehidupan di alam surga.

3. Pandangan Søren Kierkegaard bahwa beragama berarti masuk dalam wilayah paradoks

sesungguhnya merupakan suatu permenungan realistis bahwa hidup beragama tidak bisa

dihayati sama dengan hidup profan pada umumnya. Hidup beragama berkaitan dengan

wilayah lain yang perlu dijalani secara lain pula. Pandangan Søren Kierkegaard tentang

agama sebagai wilayah subjektif dan oleh karena itu menjadi salah satu penawar alternatif

kebenaran juga memberi sumbangan yang khas bagi umat beragama pada umumnya

bahwa agama apa pun memiliki kebenarannya sendiri-sendiri yang tidak bisa digeneralisir

dan dipaksakan untuk dianut oleh orang lain.

4. Pemikiran Søren Kierkegaard tentang hakikat agama ini, apabila dipahami secara baik dan

benar akan membuat setiap orang beriman terhindar dari upaya pengaruh mempengaruhi

dalam hal keyakinan. Setiap orang disadarkan bahwa kebenaran agamanya memang

mengandung kebenaran yang khas, tetapi itu tidak bersifat mengikat bagi orang yang tidak

menganut agama itu. Pemikiran-pemikiran Søren Kierkegaard ini dalam prakteknya

disinyalir akan lebih berdaya guna apabila diakomodasi sebagai bekal bagi para pelaku

dialog antar umat beragama dalam kegiatan-kegiatan konkret Forum Kerukunan Umat

Beragama (FKUB). Sumbangan-sumbangan pemikiran Søren Kierkegaard ini disadari

sangat membutuhkan kegiatan-kegiatan awal sebagai persiapan sebelum mengaplikasikan

pemikiran-pemikiran itu secara maksimal. (a). Kegiatan atau aktivitas saling mengenal

secara mendalam antara pemeluk agama yang satu dengan pemeluk agama yang lain.

Pengenalan yang dimaksud di sini lebih berkaitan dengan pengenalan terhadap inti iman

dan ajaran agama-agama lain sebagai persiapan mewujudkan sumbangan pemikiran Søren

Kierkegaard yang pertama tentang paradoks. (b). Kegiatan atau aktivitas mengolah dan
mengenal lebih dalam keragaman pluralitas agama karena dengan kegiatan ini, para umat

beragama diakrabkan dengan persoalan agama sebagai hal subjektif yang menjadi

sumbangan khas Søren Kierkegaard juga. (c). Sebagai media pengolahan keberagaman

klaim kebenaran agama-agama, para umat beragama semestinya akrab dengan para

pemeluk agama lain dalam perjumpaan-perjumpaan dialog antar umat beragama.


DAFTAR PUSTAKA

Bliss, Kathleen, 1972, The Future of Religion, Penguin Books: New York.

Bretall, Robert, 1947, Kierkegaard Anthology, Princeton University Press: Princeton, New
Jersey

Chrites, Stephen, 1972, In the Twilight of Christendom: Hegel vs Kierkegaard on Faith and
History, American Academy of Religion: Chambersburg.

Djoyodinoto, Wahyudi (Penyunting), 1987, Arnold Toynbee dan Daisaku Ikeda:


Perjuangkan Hidup: Sebuah Dialog, PT. Indira: Jakarta.

Eck, Diana L., 1987, Speaking of Faith: Global Perspectives on Women, Religion, and Social
Change, New Society Publication: Harvard

Effendi, Johan, 1985, “Kata Pengantar” dalam Smith, Huston, Agama-agama Manusia (terj.),
Yayasan Obor Indonesia: Jakarta.

Elrod, John, W., 1981, Kierkegaard and Christendom, Princeton University Press: Princeton.

Evans, Stephens, C., 1985, Philosophy of Religion: Thinking about Faith, Inter Varsity Press:
Downers Grove, Illinois, USA.

Hamilton, Kenneth, 1969, The Promise of Kierkegaard, Lippincot: New York.

Kierkegaard, Soren, 1940, Stages On Life’s (terj.), Princeton University Press: New Jerssey.

-------------------------, 1941, Concluding Unscientific Postcript, trans by. David Swenson and
Walter Lowrie, Princeton University Press: Princeton.

-------------------------, 1959, Either/Or, trans by: Walter Lowrie and Howard Johnson, 2 vols,
Princeton University Press: Princeton.

------------------------, 1962, Philosophical Fragments, trans by: David Swenson and Howard
V. Hong, Princeton University Press: Princeton.

-------------------------, 1987, Philosophical Fragments, (second edition), trans by: Howard V.


Hong and Edna H. Hong, Princeton University Press: Princeton.

------------------------, 1995 Either/Or (1843), terjemahan David & Lillian Swenson, Priceton
University Press: Princeton.

------------------------, 1983, Repetition (1843), terjemahan Walter Lowrie, Priceton University


Press: Princeton.
-------------------------, 1983, Kierkegaard’s Writings, Vol. VI: “Fear and Trembling” and
“Repetition,” ed. And trans by: Howard Hong and Edna Hong, Princeton
University Press: Princeton.

---------------------------, 1971, Works of Love, terjemahan Howard & Edna Hong, Priceton
University Press: Princeton.

--------------------------, 1972, Training In Christianity, terjemahan Walter Lowrie, Princeton


University Press: Princeton.

Parekh, Bhikhu, 2000, Rethinking Multiculturalism, Palgrave: New York.

Toynbee, Arnold dan Daisaku Ikeda. 1987, “Dialog Timur dan Barat” dalam Djoyodinoto
(ed.), Perjuangkan Hidup: Sebuah Dialog, PT. Indira: Jakarta, hal. 10-17.

Vahiduddin, S., 1980, Religion at the Cross Road, Idarah Adabiyat-i: Delhi.

Vardy, Peter, 1995, Kierkegaard (terj). Kanisius: Yogyakarta

Vroom, Hendrik, M., 1989, Religions and the Truth: Philosophical Reflections and
Perspectives, William B. Eerdmans Publishing Company: Amsterdam.

Yandell, Keith E., 2002, Philosophy of Religion: A Contemporary Introduction, Routledge:


London dan New Jersey

Anda mungkin juga menyukai