RINGKASAN DISERTASI
Oleh:
PROGRAM DOKTOR
PROGRAM STUDI ILMU FILSAFAT
FAKULTAS FILSAFAT
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2012
ABSTRACT
PEMIKIRAN SØREN KIERKEGAARD TENTANG HAKIKAT AGAMA:
KONTRIBUSINYA BAGI DIALOG DAN KERUKUNAN
HIDUP ANTAR UMAT BERAGAMA DI INDONESIA
Hipolitus K. Kewuel
A. Latar Belakang
Wacana Multikulturalisme baru muncul sekitar tahun 1970-an ketika banyak imigran
dari benua Asia (Turki, Arab, India, Cina) berbondong-bondong masuk Eropa dan Amerika.
Para imigran itu membawa latar belakang agama dan budaya masing-masing dan hidup
berdampingan dengan agama dan budaya barat (Djoyodinoto, 1987: 10). Pertemuan Timur-
Barat ini membawa dua dampak besar. Pertama, dunia barat sadar bahwa ternyata ada agama
dan kebudayaan lain yang sedang berkembang pesat. Kedua, munculnya tuntutan dunia timur
Menurut Parekh (2000: 63), tuntutan pengakuan identitas ini terus menerus bergerak
menuju level yang lebih tinggi. Para imigran menuntut supaya penerimaan itu tidak hanya
sekedar berhenti di level toleransi, tetapi terutama supaya mencapai tingkat penerimaan,
penghormatan, dan akhirnya pengakuan publik atas perbedaan cara hidup. Eck (1987: 132)
bahkan menegaskan bahwa lebih dari itu semua, penerimaan harus bisa mencapai tingkat
kerjasama demi menghasilkan hidup bersama yang lebih berkembang dan bermutu. Pendapat
ini tampaknya bergerak satu langkah lebih maju bila dibandingkan dengan pendapat Hans
Kung (1991: 210) yang mengatakan bahwa toleransi yang sesungguhnya harus bisa
menghasilkan ekumene di mana masing-masing orang yang berbeda agama bisa secara bebas
tanpa beban bersatu memuji dan mengagungkan Sang Khalik dengan cara dan ritus yang
berbeda-beda pula.
konteks perbedaan suku, agama, dan budaya. Fakta multikulturalisme dan pluralisme di
Indonesia semacam itu, di satu sisi perlu dilestarikan sebagai kekayaan bangsa sebagaimana
hal ini nyata dalam prinsip Bhineka Tunggal Ika yang telah ikut menopang berdirinya Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini, tetapi di sisi lain, hal itu perlu terus menerus diolah
supaya berbagai aspek di dalamnya berkembang dan terutama agar tidak menjadi bumerang
Pluralisme agama adalah salah satu realitas sosial yang telah ikut mendorong lahirnya
berbagai teori hidup bersama, seperti toleransi, kerukunan, dialog antar umat beragama, dan
lain-lain. Hal-hal ini bahkan telah menjadi bahan permenungan filsafat berabad-abad. Aliran
filsafat eksistensialisme adalah salah satu aliran filsafat yang tekun merenungkan bagaimana
bagaimana hidup manusia menjadi bermakna dan berdaya guna di dalam keberagaman hidup
masyarakat.
permenungannya bahwa di dalam religiositas dan lebih konkret di dalam penghayatan hidup
beragama, manusia berpeluang besar menemukan eksistensinya itu. Agama adalah salah satu
tempat di mana manusia bergumul terus menerus untuk menemukan diri. Persoalannya,
menurut Kierkegaard (1971: 34), untuk merealisasikan maksud luhur agama sebagai tempat
kepenuhan kemanusiaan, pemahaman tentang hakikat agama yang benar menjadi hal yang
B. HASIL PENELITIAN
1. Hakikat Agama sebagai Wilayah Paradoks. Berhadapan dengan hidup sebagai sebuah
misteri, manusia terus menerus bergulat memberi makna kepada hidup itu baik secara
bersama maupun secara sendiri-sendiri. Salah satu hal yang diandalkan manusia untuk
berhadapan dengan misteri hidup itu adalah agama karena melalui agama, manusia
berharap bisa dibantu mengatasi berbagai persoalan hidup yang tidak bisa diatasi oleh
nalar. Kemampuan daya nalar manusia memang telah banyak membantu menyelesaikan
berbagai problem, tetapi disadari bahwa peran itu hanya terbatas pada penanganan
Agama diharapkan bisa membantu nalar dalam konteks ini, namun kenyataan
menunjukkan bahwa peran itu belum terlalu ideal dimainkan oleh agama-agama. Atas
dasar ini, permenungan menemukan hakikat agama secara terus menerus dan
“meloncat” ke wilayah di luar rasio, yakni wilayah iman. Iman berarti komitmen pada hal-
hal yang jauh dari ukuran kebenaran rasional dan hidup yang dijalani dalam konteks ini
sehingga manusia semakin berada dalam hidup yang bermutu dan berkualitas. Bagian ini
secara khusus hendak menelusuri makna paradoks itu dalam paradigma berpikir
Kierkegaard sendiri, dalam terang filsafat eksistensial. Tema-tema yang dibahas itu antara
lain; paradoks absolut, paradoks dan kebenaran abadi, paradoks dan pengaruh dosa, serta
objektif. Kritik-kritik ini ditujukan Kierkegaard kepada orang-orang cerdik pandai yang
menghabiskan waktu dengan belajar terus menerus dan kehilangan kontak dengan hal-hal
yang sederhana. Menurut Kierkegaard, dalam hal ini orang-orang bijaksana kehilangan
kontak dengan sifat iman dan gagal menangani masalah-masalah lain yang lebih penting,
seperti; Apa artinya memiliki iman dan bagaimana hal itu mempengaruhi para orang
bijaksana itu sebagai pribadi? Orang bijaksana sibuk dengan mempelajari pengetahuan
tinggi, tetapi lupa menjalani kehidupan iman yang sederhana. Orang bijaksana
orang seharusnya menjalani kehidupan secara baik?”, “Apa artinya memiliki iman bagi
setiap orang secara pribadi?” menjadi pertanyaan-pertanyaan yang terasa aneh dan tidak
masuk akal. Kierkegaard, dalam konteks ini mau mengatakan bahwa sebagian besar para
cerdik pandai adalah pembicara dan penulis hebat, tetapi sekaligus adalah orang-orang
yang tidak mampu mengungkapkan hal yang penting dalam dan bagi kehidupan mereka
Kierkegaard berpendapat bahwa para cerdik pandai seperti itu harus dinilai
dari apa yang diyakini benar harus dapat dilihat dalam kehidupan individua bersangkutan
dan bukan berdasarkan kata-kata yang diucapkannya. Kierkegaard, dengan cara ini ingin
menghentikan aktivitas orang-orang yang sibuk melarikan diri ke dalam bahasa dan
pengetahuan dan refleksi mendalam dengan membaca banyak buku, tetapi hal-hal ini
tidak serta merta membuat orang-orang itu menjadi orang beragama yang baik.
Kierkegaard menegaskan bahwa kalau masalah kebenaran dilihat secara objektif, maka
refleksi secara objektif itu akan diarahkan kepada kebenaran sebagai suatu objek yang
berkaitan dengan subjek yang mengetahuinya. Hal ini mengindikasikan bahwa refleksi
tidak difokuskan pada hubungan, tetapi pada pertanyaan apakah kebenaran tersebut
merupakan kebenaran yang diketahui oleh subjek atau tidak. Contoh pengetahuan tentang
Tuhan; secara objektif, refleksi diarahkan pada pertanyaan apakah objek ini adalah Tuhan
yang sebenarnya atau tidak, sedangkan secara subjektif, refleksi diarahkan pada
pertanyaan apakah masing-masing pribadi memiliki hubungan dengan Tuhan atau tidak
(Kierkegaard, 1941: 178). Tema-tema yang direnungkan Kierkegaard antara lain; iman
dan kehendak pribadi, iman dan hubungan dengan Tuhan, serta iman dan ketidakpastian
objektif.
C. REFLEKSI
deskripsi makna agama yang telah dijalani dan dihidupi umat manusia selama ini.
Hakikat agama menurut Kierkegaard, dengan demikian lebih cocok dipahami sebagai
reartikulasi makna agama pada umumnya, namun fungsi reartikulasi hakikat agama di
zaman yang sangat menekankan dominasi rasio ini merupakan suatu sumbangan yang
sebagai salah satu persoalan eksistensial hidup manusia. Hal ini menunjukkan bahwa
bagi Kierkegaard, agama adalah salah satu wilayah subur tempat bertumbuh
berberbasis rasionalitas. Dominasi cara berpikir objektif di zaman itu diubah oleh
d. Pemikiran Kierkegaard tentang hakikat agama yang sangat dilatarbelakangi oleh tradisi
e. Pemikiran Kierkegaard tentang hakikat agama bagaimana pun juga telah memberi
sumbangan pemikiran yang sangat berarti dalam wacana filsafat agama. Kierkegaard,
f. Hakikat agama sebagaimana yang ditawarkan Kierkegaard adalah konsep yang dalam
Tuhan.
g. Pemikiran Kierkegaard ini sangat relevan dalam konteks pluralitas hidup beragama
seperti di Indonesia. Himbauan semacam ini menjadi hal yang penting sebagai kontrol
egoisme modernitas.
h. Dalam konteks Indonesia, sumbangan pemikiran Kierkegaard ini beroperasi pada
mewujudkan cita-cita bangsa ini menjadi satu bangsa, bangsa Indonesia sebagaimana
a. Pemikiran Kierkegaard tentang hakikat agama adalah sungguh pemikiran filsafat yang
berarti secara tidak disadari, pemikiran Kierkegaard menuntut umat beragama untuk
memiliki tingkat refleksi yang tinggi guna memahami hakikat agama yang
tertentu karena tanpa itu apa yang dimaksudkan oleh Kierkegaard tentang hakikat
agama akan sulit dipahami. Situasi nyata menunjukkan bahwa untuk realisasi
banyak waktu, sekurang-kurangnya waktu untuk penyesuaian dengan pola dan cara
b. Pemikiran Kierkegaard tentang hakikat agama adalah hasil refleksi atas teologi Kristen
tentang ke-Allah-an dan kemanusiaan Yesus. Di satu sisi, hal yang dilakukan
Kierkegaard ini adalah sesuatu yang baik dan berguna karena bisa menjadi cermin bagi
namun di sisi lain, ada kesan inkonsistensi ide yang sedang dilakukan Kierkegaard.
Kierkegaard, dengan cara ini –mungkin tidak disadari-- telah melakukan perlawanan
Kristen, maka pemikiran ini tidak serta merta diperuntukkan bagi semua orang
beragama. Gradasi peruntukan pemikiran ini dapat dibuat sebagai berikut; pertama
tentu saja diperuntukan bagi para pemeluk agama Kristen sendiri; kedua dapat dilihat
non wahyu.
d. Pemikiran Kierkegaard tentang relasi pribadi dengan Tuhan mengandaikan bahwa para
pemeluk agama-agama sudah melewati batas-batas pemahaman biasa dan hidup dalam
kedalaman hubungan dengan Tuhan. Pemikiran Kierekegaard yang demikian ini juga
memberi pengandaian terlalu tinggi soal taraf hubungan pribadi para pemeluk agama
dengan Tuhan.
e. Pemikiran Kierkegaard tentang agama dan paradoks, jika tidak dimengerti secara baik
dan benar akan menjerumuskan umat beragama pada konsep pietisme yang dalam
sejarah pernah diperangi oleh gereja katolik. Pietisme adalah paham yang
memutlakkan bahwa persoalan agama dan Tuhan adalah murni persoalan non rasional
f. Apabila konsep pluralisme yang ditawarkan Kierkegaard tidak diolah dan ditempatkan
pada posisi yang baik dan benar, maka konsep pluralisme itu justru akan dinilai
bahwa kebenaran agama-agama mesti dipahami dalam kaca mata eksistensialisme bahwa
setiap klaim kebenaran dalam agama-agama adalah bentuk ungkapan kolektif pribadi-
pribadi yang unik, yang perlu dihargai dan diberi ruang bergerak yang memadai. (b).
guna memahami kebenaran agama-agama di luar agama sendiri. (c). Kerendahan hati dan
kerelaan yang tulus untuk melihat perbedaan klaim kebenaran agama-agama menjadi jalan
sesungguhnya dibangun, tumbuh, dan berkembang di atas dasar-dasar yang sama, yakni
bahwa agama-agama, sama-sama memiliki pemahaman dasar (central insight) dan konsep
2. Kontribusi bagi dialog dan kerukunan antar umat beragama di Indonesia. (a).
Kontribusi pemikiran Kierkegaard bahwa ketertiban hidup bernegara ikut ditentukan oleh
penerimaan akan realitas paradoks dan kebenaran agama. (c). kontribusi pemikiran
Kierkegaard bahwa para pelaku dialog agama dituntut memiliki konsep-konsep dan
menguasai unsur-unsur dasar kebenaran, serta paham akan teori-teori penuntun kebenaran.
bertentangan dengan hakikat agama. (e). Kontribusi pemikiran Kierkegaard bahwa dialog
dan kerukunan hidup antar umat beragama menjadi bagian esensial dalam hidup agama-
agama. (f). Kontribusi pemikiran Kierkegaard bahwa pendidikan agama dalam dunia
pendidikan formal harus mampu membawa peserta didik pada pengenalan akan kebenaran
agama lain juga dan tidak hanya sibuk dengan kebenaran agamanya sendiri. (g).
E. KESIMPULAN
1. Salah satu puncak permenungan Søren Kierkegaard adalah bahwa agama dipandang
sebagai salah satu bidang hidup yang bisa diandalkan sebagai medan yang paling
berpendapat bahwa dalam kaca mata filsafat eksistensial, ada dua pemahaman dasar yang
harus dimiliki ketika orang hendak berbicara tentang agama. (a), beragama berarti masuk
dan hidup dalam wilayah paradoks yang menuntut orang beragama untuk percaya pada
dua hal yang bertentangan pada saat yang bersamaan sekaligus mengamini kebenaran hal
yang tidak bisa dijelaskan secara memadai itu. (b). Agama-agama sesungguhnya adalah
medan subjektif dan oleh karena itu sekaligus menjadi alternatif kebenaran juga
berhadapan dengan Realitas Ilahi. Pendapat Søren Kierkegaard ini mau menegaskan
bahwa kebenaran Realitas Ilahi dalam sebuah agama bukan satu-satunya ukuran
yang segar demi pengembangan mutu hidup beragama. Pandangan Søren Kierkegaard
tentang agama sebagai wadah perealisasian hubungan pribadi dengan Tuhan sebagai
kekuatan dalam menjalani hidup di dunia ini menjadi suatu warning bagi semua orang
beriman bahwa beriman dan beragama itu demi kebaikan hidup di dunia ini dan bukan
3. Pandangan Søren Kierkegaard bahwa beragama berarti masuk dalam wilayah paradoks
sesungguhnya merupakan suatu permenungan realistis bahwa hidup beragama tidak bisa
dihayati sama dengan hidup profan pada umumnya. Hidup beragama berkaitan dengan
wilayah lain yang perlu dijalani secara lain pula. Pandangan Søren Kierkegaard tentang
agama sebagai wilayah subjektif dan oleh karena itu menjadi salah satu penawar alternatif
kebenaran juga memberi sumbangan yang khas bagi umat beragama pada umumnya
bahwa agama apa pun memiliki kebenarannya sendiri-sendiri yang tidak bisa digeneralisir
4. Pemikiran Søren Kierkegaard tentang hakikat agama ini, apabila dipahami secara baik dan
benar akan membuat setiap orang beriman terhindar dari upaya pengaruh mempengaruhi
dalam hal keyakinan. Setiap orang disadarkan bahwa kebenaran agamanya memang
mengandung kebenaran yang khas, tetapi itu tidak bersifat mengikat bagi orang yang tidak
disinyalir akan lebih berdaya guna apabila diakomodasi sebagai bekal bagi para pelaku
dialog antar umat beragama dalam kegiatan-kegiatan konkret Forum Kerukunan Umat
pemikiran-pemikiran itu secara maksimal. (a). Kegiatan atau aktivitas saling mengenal
secara mendalam antara pemeluk agama yang satu dengan pemeluk agama yang lain.
Pengenalan yang dimaksud di sini lebih berkaitan dengan pengenalan terhadap inti iman
dan ajaran agama-agama lain sebagai persiapan mewujudkan sumbangan pemikiran Søren
Kierkegaard yang pertama tentang paradoks. (b). Kegiatan atau aktivitas mengolah dan
mengenal lebih dalam keragaman pluralitas agama karena dengan kegiatan ini, para umat
beragama diakrabkan dengan persoalan agama sebagai hal subjektif yang menjadi
sumbangan khas Søren Kierkegaard juga. (c). Sebagai media pengolahan keberagaman
klaim kebenaran agama-agama, para umat beragama semestinya akrab dengan para
Bliss, Kathleen, 1972, The Future of Religion, Penguin Books: New York.
Bretall, Robert, 1947, Kierkegaard Anthology, Princeton University Press: Princeton, New
Jersey
Chrites, Stephen, 1972, In the Twilight of Christendom: Hegel vs Kierkegaard on Faith and
History, American Academy of Religion: Chambersburg.
Eck, Diana L., 1987, Speaking of Faith: Global Perspectives on Women, Religion, and Social
Change, New Society Publication: Harvard
Effendi, Johan, 1985, “Kata Pengantar” dalam Smith, Huston, Agama-agama Manusia (terj.),
Yayasan Obor Indonesia: Jakarta.
Elrod, John, W., 1981, Kierkegaard and Christendom, Princeton University Press: Princeton.
Evans, Stephens, C., 1985, Philosophy of Religion: Thinking about Faith, Inter Varsity Press:
Downers Grove, Illinois, USA.
Kierkegaard, Soren, 1940, Stages On Life’s (terj.), Princeton University Press: New Jerssey.
-------------------------, 1941, Concluding Unscientific Postcript, trans by. David Swenson and
Walter Lowrie, Princeton University Press: Princeton.
-------------------------, 1959, Either/Or, trans by: Walter Lowrie and Howard Johnson, 2 vols,
Princeton University Press: Princeton.
------------------------, 1962, Philosophical Fragments, trans by: David Swenson and Howard
V. Hong, Princeton University Press: Princeton.
------------------------, 1995 Either/Or (1843), terjemahan David & Lillian Swenson, Priceton
University Press: Princeton.
---------------------------, 1971, Works of Love, terjemahan Howard & Edna Hong, Priceton
University Press: Princeton.
Toynbee, Arnold dan Daisaku Ikeda. 1987, “Dialog Timur dan Barat” dalam Djoyodinoto
(ed.), Perjuangkan Hidup: Sebuah Dialog, PT. Indira: Jakarta, hal. 10-17.
Vahiduddin, S., 1980, Religion at the Cross Road, Idarah Adabiyat-i: Delhi.
Vroom, Hendrik, M., 1989, Religions and the Truth: Philosophical Reflections and
Perspectives, William B. Eerdmans Publishing Company: Amsterdam.