Anda di halaman 1dari 20

Mana sampul Commented [u1]:

Setelah gambar enter Commented [u2]:

1
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Sapi adalah spesies ternak yang paling penting karena produksi dan perannya dalam
budaya manusia. Banyak breed yang berbeda dalam penampilan, kinerja dan adaptasi
lingkungan tetap hidup, tetapi asal historis beragam fenotipe tidak selalu jelas. Mendampingi
umat manusia sejak awal peradaban, ternak di berbagai lingkungan menjadi bagian integral
dari masyarakat manusia. Dengan memasok susu, daging, dan kulit dan dengan membajak
ladang, sapi telah menjadi spesies hewan domestik yang paling penting. Peran sapi dalam
jejaring sosial, upacara, ritual, dan permainan juga memberi ternak tempat utama dalam
budaya manusia (Felius et al., 2014).
Kebuntingan dan kelahiran merupakan bagian dan siklus biologis yang perlu
dikendalikan untuk memperoleh nilai tambah optimal dan bisnis budidaya hewan. Khusus
untuk sapi perah keberhasilan konsepsi pada saat kawin sehingga hewan menjadi bunting dan
berlanjut dengan kelahiran seekor pedet merupakan harapan peternak yang utama karena
segera akan disusul dengan dimulainya produksi susu yang mendatangkan hasil keuntungan
sebagai sasaran utama usaha serta kelahiran anak sebagai hasil samping. Perhatian untuk
peternak terhadap perawatan sapi mulai dan saat kebuntingan awal bagi sapi dara atau kering
susu bagi sapi bunting yang mengakhiri masa laktasi sampai saatnya pedet lahir kemudian
memasuki masa produksi semuanya merupakan suatu siklus yang saling terkait (Akoso,
2012).
Periode sapi bunting telah diketahui secara jelas, hahwa masa kebuntingan memerlukan
waktu kurang lebih 9 bulan dan awal terjadi konsepsi. Namun kemampuan dalam identifikasi
secara dini bahwa sapi yang telah dikawinkan dapat dipastikan bunting merupakan masalah
lain yang sangat diharapkan oleh peternak. Kemampuan deteksi dini akan mcningkatkan
efisiensi manajemen reproduksi dan capaian rataan kebuntingan dengan menurunkan jarak
antara pelayanan lB dan peningkatan rataan pelayanan lB. Dengan demikian sekiranya Commented [u3]:
ditemukan teknologi baru yang mampu mengidentifikasi sapi bunting secara lebih dini dan Commented [u4]:
praktik palpasi rektal pasca IB, akan dapat berperan penting dalam strategi manajemen
peningkatan efisiensireproduksi dan mendatangkan keuntungan ekonomi bagi usaha
peternakan komersial (Akoso, 2012).
Sapi Bos taurus (Limousin) mempunyai sifat reproduksi yang tinggi, ukuran tubuh besar
dengan kecepatan pertumbuhan sedang sampai tinggi, sedangkan bangsa sapi Bos indicus
(PO) mempunyai sifat yang kurang baik dalam hal reproduksi dan kecepatan
pertumbuhannya, tetapi sifat menyusui terhadap anaknya (mothering ability) sangat bagus.
Dari kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh kedua bangsa tersebut diharapkan mampu
terekspresikan pada hasil silangannya. Persilangan yang memanfaatkan heterosis hanya dapat
meningkatkan karakteristik produksi, tetapi tidak reproduksinya..Hal itu terlihat dari jarak
beranak yang mencapai 20 bulanyangterkait erat dengan tingginya anestrus pasca beranak
serta tingginya kawin berulang (Ihsan dan Wahjuningsih, 2011).
Tinggi rendahnya efisiensi reproduksi ternak dipengaruhi oleh lima hal yaitu angka
kebuntingan (conception rate); jarak antar kelahiran (calving interval); jarak waktu antara
melahirkan sampai bunting kembali (service perioe); angka kawin per kebuntingan (service
per conception); angka kelahiran (calving rate) (Ihsan dan Wahjuningsih, 2011).
2
Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat diketahui pentingnya reproduksi ternak
khususnya pada sapi betina yang sedang bunting.Oleh karena itu, praktikum ini sangat
penting untuk dilakukan agar praktikan dapat mengetahui ciri-ciri dari sapi yang sedang
bunting.

1.2 Tujuan
a. Untuk mengetahui anatomi organ reproduksi sapi betina bunting
b. Untuk mengetahui fisiologi hormonal sapi bunting
c. Untuk mengetahui peiode kebuntingan
d. Untuk mengetahui tipe-tipe placenta
e. Untuk mengetahui kelainan kebuntingan

1.3 Manfaat
Manfaat dari praktikum ini adalah praktikan dapat mengetahui dan membedakan organ
reproduksi hewan betina yang sedang bunting dan tidak bunting. Manfaat dari laporan ini
adalah praktikan dapat mengikuti praktikum selanjutnya.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Anatomi Organ Reproduksi Sapi Betina Bunting
II.1.1 Ovarium

Gambar 2.1 Ovarium(Frange dan Duby, 2010).

Ovarium pada sapi berbentuk bulat telur.Ukurannya relatif kecil dibanding dengan
besar tubuhnya. Ukurannya adalah panjang 2 sampai 3 cm, lebar 1 sampai 2 cm, tebal 1
sampai 2 cm, dan beratnya berkisar antara 15 sampai 19 gram. Ovarium digantung oleh alat
penggantung mesovarium dan ligamentum uteroovarica.Ovarium tertinggal di dalam cavum
abdominalis.Ovarium mempunyai dua fungsi, sebagai organ eksokrin yang menghasilkan sel
telur atau ovum dan sebagai organ endokrin yang mensekresikan hormon kelamin betina
estrogen dan progesterone(Feradis, 2010).Ovarium terdiri dari medulla dan cortex pada kulit
terluarnya.Medula tersusun dari pembuluh darah, saraf dan jaringan ikat.Korteks berisi
lapisan-lapisan sel dan jaringan yang terkait dengan ovum dan produksi hormon (Yusuf,
2012).
Setelah ovulasi maka akan terbentuk corpus luteum dan ketika tidak bunting maka
PGF2α dari uterus akan melisiskan corpus luteum. Tetapi jika terjadi kebuntingan maka
korpus luteum akan terus dipertahankan supaya konsentrasi progesteron tetap tinggi untuk
menjaga kebuntingan (Yusuf, 2012).
II.1.2 Oviduct (sama persis a azifah) Commented [u5]:

Gambar 2.2 Oviduct(Frandson et al., 2009).


Oviductterbagi menjadi 3 bagian.Pertama adalah infundibulum, yaitu ujung oviduct Commented [u6]:
yang letaknya paling dekat dengan ovarium.Infundibulum memiliki mulut dengan bentuk
berjumbai yang berfungsi untuk menangkap ovum yang telah diovulasikan oleh
ovarium.Mulut infundibulum ini disebut fimbria.Salah satu ujungnya menempel pada ovarium
sehinga pada saat ovulasi dapat menangkap ovum.Sedangkan lubang infundibulum yang
dilewati ovum menuju uterus disebut ostium. Setelah ovum ditangkap oleh fimbria, kemudian

4
menuju ampula yaitu bagian oviduct yang kedua, di tempat inilah akan terjadi fertilisasi. Sel
spermatozoa akan menunggu ovum di ampula untuk dibuahi. Panjang ampula merupakan
setengah dari panjang oviduct.Ampula bersambung dengan bagian oviduct yang terakhir yaitu
isthmus.Bagian yang membatasi antara ampula dengan isthmus disebut ampulary isthmus
junction.Isthmus dihubungkan langsung ke uterus bagian cornuasehingga di antara keduanya
dibatasi oleh utero tubal junction. Dinding oviduct terdiri atas 3 lapisan yaitu membrana
serosa merupakan lapisan terdiri dari jaringan ikat dan paling besar, membrana muscularis
merupakan lapisan otot dan membrana mucosa merupakan lapisan yang membatasi lumen.
Fungsi oviduct ialah menerima sel telur yang diovulasikan oleh ovarium,transport
spermatozoa dari uterus menuju tempat pembuahan, tempat pertemuan antara ovum dan
spermatozoa (fertilisasi), tempat terjadinya kapasitasi spermatozoa, memproduksi cairan
sebagai media pembuahan dan kapasitasi spermatozoa, transport yang telah dibuahi (zigot)
menuju uterus (Pedersen et al., 2017).
II.1.3 Uterus(sama persis a azifah) Commented [u7]:
Uterus merupakan organ musculus berongga dengan badan yang pendek dan memiliki
dua cornua yang relatif panjang.Biasanya saluran ini berbentuk Y (Ball dan Peters,
2009).Badan uterus berfungsi sebagai tempat semen disimpan selama inseminasi buatan
berlangsung (Kunbhar et al., 2009).
Menurut Jaji et al (2012) uterus dibagi menjadi tiga bagian, yaitu cornua uterii
berukuran asimetris dimana pada salah satunya akan mengalami pembesaran selama trimester
selama kebuntingan. Pada corpus uterii mengalami pembesaran ukuran secara signifikan serta
pada serviks menghasilkan mukus untuk membantu untuk menutup serviks selama
kebuntingan.

Gambar 2.3.Uterus (Jaji et al., 2012).


II.1.4 Vagina(sama persis a azifah) Commented [u8]:

Gambar 2.4 Vagina(Reece dan Rowe, 2015).


Vagina berbentuk tabung, berdinding tipis dan cukup elastis. Panjangnya berkisar
antara 25cm-30cm pada sapi dan kuda, dan 10-15cm pada kambing dan domba. Pada sapi,
kambing dan domba semen disimpan didalam ujung anterior vagina, dekat pembukaan serviks
5
selama perkawinan alami.Organ ini merupakan organ kopulasi betina. Lapisan luar , tunika
serosa, diikuti oleh lapisan otot polos yang mengandung serat (Yusuf,2012). Vagina terlihat
pucat dan kering selama kebuntingan tetapi menjadi bengkak dan lunak pada akhir
kebuntingan (Yusuf, 2012).
II.1.5 Vulva(sama persis a azifah) Commented [u9]:

Gambar 2.5 Vulva(Hopper, 2014).


Vulva merupakan alat kelamin eksternal betina.Vulva terdiri dari labia kanan dan labia
kiri, yang bertemu di midlinedorsal dan ventral masing-masing. Komisura ventrai biasanya
agak terjumbai dan menyembunyikan klitoris, struktur jaringan ereksi yang memiliki asal
embrio yang sama dengan penis pada jantan. Seperti penis, klitoris terdiri dari dua crura atau
akar, tubuh dan kelenjar (Fails dan Magee, 2018).Pada saat sapi bunting, terjadi
pembengkakan (udema) dan pengikatan suplai darah ke vulva (Fails dan Magee, 2008).

II.2 Fisiologi Hormonal Sapi Bunting(sama persis a azifah) Commented [u10]:


II.2.1 Mekanisme Hormonal Saat Fertilisasi dan Selama Masa Kebuntingan
Keberhasilan perkawinan dan proses fertilisasi, diikuti oleh konseptus yang memberikan
sinyal kehadirannya kepada sistem maternal serta memblok regresi corpus luteum (CL) guna
memelihara produksi progesteron oleh sel sel lutealnya. Pemeliharaan CL adalah penting
untuk berlangsung kebuntingan pada semua spesies ternak.Konseptus mensintesis steroid dan
atau protein sebagai tenda atau sinyal kehadirannya pada system maternal. Molekul ini
mengatur sintesa dan atau merilis PGF2α dari uterus yang dapat mencegah terjadinya regresi
CL. Pada sapi, maternal recognition terjadi antara hari ke 16 dan 19 kebuntingan (Lestari dan
Ismudiono, 2014).
Menurut Lestari dan Ismudiono (2014) Terdapat perbedaan pada beberapa spesies
hewan mengenai eksresi hormon estrogen melalui urin.Pada kuda betina konsentrasi hormone
estrogen di dalam plasma darah cenderung rendah pada tiga bulanpertama umur kebuntingan,
kemudian meningkat secara signifikansampai puncaknya antara bulan kesembilan sampai
bulan ke sebelas umur kebuntingan.Peningkatan dan penurunan dari perkembangan
gonadsinergi dengan peningkatan dan penurunan konsentrasi estrogen dalam plasma darah
dan estrogen dalam urin selama pertengahan kedua dari kebuntingan. Pada babi betina,
estrogen (estron) tampak mulai meningkat dalam urin total antara minggu kedua dan kelima
kebuntingan, din lebih meningkat pada antara minggu kelima dan kedelapan , selanjutnya
meningkat cepat sampai puncaknya pada waktu melahirkan. Pada sapi maksimal ekskresi dari
estradiol-l7j3 dan sedikit estron terjadi pada bulan kesembilan dari kebuntingan.Konsentrasi
hormon progesteron dalam darah dipertahankan konstan selama kebuntingan pada domba dan
sapi dan mencapai konsentrasi yang tinggi pada awal kebuntingan pada babi.Pregnanediol

6
yang merupakan metabolit dari hormon progesteron terdapat dalam urin pada kuda, namun
tidak didapatkan pada hewan ternak lainnya.

a. Progesteron
Progesteron sebagian besar diproduksi oleh corpus luteum hingga sekitar 10
minggukehamilan. Sebuah studi tentang kegagalan ovarium dan Reproduksi berbantuan
itu menunjukkan bahwa seratus mgP mungkin dosis suprafisiologis untuk mendukung
kehamilan 6 hingga 8 minggu setelah pembuahan.Fetoplacental unit kompeten dari usia
kehamilan 10 hingga 12 minggu. Kapan kehamilan mencapai usia kehamilan, kadar
progesterone berkisar 100-200 ng / ml dan plasenta menghasilkan sekitar 250 mg / hari
(Kumar dan Magen, 2012).
Progesteron adalah hormon utama untuk memelihara kebuntingan.CL hadir selama
kebuntingan terjadi pada semua ternak mamalia kecuali pada kuda. Sumber progesterone
selama pertengahan akhir kebuntingan berasal dari plasenta (kuda din domba) dan dari CL
(sapi, kambing dan babi). Konsentrasi progesterone dalam darah tetap konstan sepanjang
masa kebuntingan pada domba dan sapi sementara pada babi mencapai konsentrasi yang
tinggi pada awal. Pada kuda konsentrasi progesterone hingga hari ke 35 disekresi terutama
dari CL. Konsentrasi progesterone kemudian naik seiiring terbentuknya corpora lutrea
asesoris (corpora lutea secondary), sampai corpora lutea mulai regresi pada hari ke 150.
Selama masa ini plasenta sudah cukup berkembang untuk mengambil alih produksi
progesterone (Lestari dan Ismudiono, 2014).
b. Estrogen
Plasenta tidak memiliki semua enzim yang diperlukan membuat estrogen dari
kolesterol, atau bahkan progesteron.prekursor estrogen segera. Hormon bertindak sebagai
katalis untuk perubahan kimia di tingkat sel yang diperlukan untuk pertumbuhan,
perkembangan dan energi.Janin kekurangan 3 B hidroksisteroid dehidrogenase, karena itu
tidak dapat menghasilkan progesteron yang dipinjam dari plasenta. Sebagai gantinya, janin
memberi plasenta apa yang kurang (19 Senyawa karbon) - prekursor estrogen (Kumar dan
Magen, 2012).
Pada kuda, konsentrasi plasma estrogen tetap rendah selama 3 bulan pertama
kebuntingan, kemudian meningkat mencapai puncak antara bulan ke 9 dan 11, setelah itu
menurun hingga waktu melahirkan. Pada babi, rata rata estrogen menunjukkan peningkatan
antara minggu kedua dan kelima kebuntingan, menurun antara minggu lima din delapan
dan kemudian naik dengan cepat mencapai puncak pada saat kelahiran lalu menurun
dengan cepat setelah kelahiran. Pada Sapi, ekskresi maksimal estradiol dan sejumlah kecil
estron terjadi pada bulan ke-9 kebuntingan (Lestari dan Ismudiono, 2014).
c. Gonadotropin
Equine chorionic gonadotropin (ECG atau PMSG) muncul dalam darah kuda 40 hari
setelah konsepsi dan deteksi kehadirannya merupakan bukti terjadinya kebuntingan.
Diagnosa kebuntingan secara imunologi pada kuda berdasarkan pada eCG tersebut dimana
kehadirannya dalam sampel darah diperiksa dengan hemaglutinin-inhibitoin (HI) (Lestari
dan Ismudiono, 2014).

7
Gambar 2.6Diagram Mekanisme Hormonal (Kota et al., 2013).
II.2.2 Mekanisme Hormonal Menjelang Partus Hingga Pasca Partus(sama persis a
azifah) Commented [u11]:
Sangat penting bahwa selama proses kelahiran, hewan bergerak dengan lancar melalui
tiga tahap proses kelahiran dalam jumlah waktu yang wajar untuk memastikan kelahiran yang
aman dan normal. Tahap pertama proses kelahiran dikenal sebagai tahap persiapan. Selama
tahap ini, terbukti induk bersiap untuk melahirkan. Beberapatkita-tkita bahwa proses
kelahiran sudah dekat dapat diamati selama tahap ini. Selain itu, mungkin ada lendir yang
keluar darivulva, penurunan suhu tubuh, pengisian kelenjar susu dengan susu, dan ketegangan
ringan.Tahap kedua dari proses kelahiran adalah tahap pengeluaran. Pada titik inilah dinding
uterus mulai berkontraksi lebih sering dan dengan peningkatankekuatan, sehingga mendorong
janin ke jalan lahir. Ketika kontraksi menjadi cukup kuat, janin sebenarnyadipaksa keluar dari
tubuh induk, karenanya dinamakan tahap pengeluaran. Setelah seekor induk memasuki tahap
ini, pengeluaran harus segera terjadi. Jika tidak, mungkin ada kesulitan mencegah persalinan
normal. Jumlah waktu stkitar yang diperbolehkan untuk kelahiran normal dapat berbeda antar
spesies. Tahap akhir proses kelahiran adalah tahap pembersihan. Pada tahap inilah proses
setelah kelahiran, atau plasenta, dikeluarkan dari tubuh. Jika selaput janin atau plasenta dan
cairan tetap berada dalam hewan, mereka dapat terinfeksi dan menyebabkan penyakit serius
dan kemungkinan kematian dari induk (Safdar dan Kor, 2014).
Pertumbuhan akhir fetus memberi sinyal molekul yang mengubah lingkungan
hormonal induk dan interaksi positif antara induk janin dan lingkungan menghasilkan proses
kelahiran. Proses kelahiran yang sukses tergantung pada dua hal mekanis proses yaitu
kemampuan untuk berkontraksi dan kapasitas serviks untuk melebar untuk perjalanan yang
mudah untukfetus. Jaringan ikat dan otot polos serviks harus mampudilatasi untuk
memungkinkan keluarnya fetus. Perubahan ini disertai dengan pergeserandari progesteron ke
dominasi estrogen, responsif terhadap oksitosin meningkat dengan cara meningkatkan
regulasireseptor oksitosin miometrium, meningkatkan sintesis PGdi uterus, peningkatkan
endotelinmenyebabkan aliran darah uterus dan miometrium yang diperbesar. Perubahan
komplementer pada serviks yang melibatkan penurunan dominasi progesteron dan tindakan
prostaglandin dan relaxin, melalui perubahan jaringan ikatuntuk pelunakan dan pelebaran
serviks sehingga fetus dapat keluar (Purohid, 2010).

8
Gambar 2.7 Diagram Mekanisme Hormonal(Safdar dan Kor, 2014).

Periode setelah melahirkan dinyatakan berhasil jika ditkitai dengan lengkapnya


proses involusi uterus dan kembalinya fungsi ovarium. Setelah melahirkan, uterus mengalami
remodeling yakni terjadinya pengurangan ukuran uterus, perbaikan sel-sel yang rusak, dan
kembalinya bangun jaringan pada kondisi normal setelah pengeluaran plasenta. Uterus
kembali pada kondisi normal dalam waktu 2-3 minggu setelah melahirkan, apabila tidak ada
kontaminasi bakteri. Secara normal waktu involusi pada kondisi pramiparaous ialah 23 hari
dan pluriparaous ialah 27 hari serta rataan waktu total untuk involusi uterus adalah 30-40 hari.
Keberhasilan involusi uterus ditkitai dengan kembali diproduksinya estrogen, berkurang dan
mengecilnya ukuran uterus, serta didukung dengan terbebasnya uterus dari kontaminasi
bakteri saat melahirkan atau kontaminasi dari kejadian retensi plasenta.Kadar estrogen
memainkan peran kunci dalam pengendalian endokrin dan penampilan estrus selama periode
praovulasi (Prasdini et al., 2015).
Puerperium dan masa laktasi adalah proses yang dimulai setelah terjadi partus dan
untuk jangka waktu tertentuproses ini terjadi secara bersamaan. Laktasi adalahsintesis, sekresi
dan pengeluaran susu darikelenjar susu. Puerperium adalah periode setelah proses kelahiran
ketika saluran reproduksi kembali ke jalurnyakondisi tidak bunting sehingga induk dapat
bunting lagi. Selama masa puerperium jaringan reproduksi yang rusak diperbaiki dan fungsi
ovarium kembali. Puerperiumberlangsung hingga fungsi reproduksi dipulihkan sehingga
kebuntingan lain bisa terjadi. Waktu yang dibutuhkan untuk involusi uterus lengkap
(perbaikan) dan aktivitas ovarium untuk melanjutkan postpartum pada induk sangat bervariasi
antar spesies. Empat peristiwa utama pada masa puerperium yaitu kontraksi dan pengusiran
miometrium dari lochia, perbaikan endometrium, dimulainya kembali fungsi ovarium,
penghapusan kontaminasi bakteri dari saluran reproduksi (Senger, 2012).

II.3Periode Kebuntingan
Periode kebuntingan menurut Beverlydan Prott(2011) yaitu sebagai berikut:
a. Tahap I: kebuntingan 30-35 hari (+nama lain/perubhanx) Commented [u12]:
Embrio pada tahap awal ini lembut, dan palpator pemula tidak boleh mencoba
merasakannya. Tetapi seorang palpator yang berpengalaman, dengan keterampilan dan
9
latihan, dapat mendeteksi kebuntingan paling cepat 30 hari setelah berkembang biak.
Palpasi pada tahap awal ini harus disertai dengan catatan kawanan pembibitan yang
baik.Catatan-catatan ini memberi tahu palpator tentang perkiraan waktu
perkembangbiakan hewan tersebut.Pada tahap awal kebuntingan, uterus, diisi dengan
sedikit cairan, akan terasa agak berdinding tipis. Satu cornua diperbesar sedikit lebih dari
yang lain.
Pada tahap ini, panjang embrio hanya sekitar 1/2 inci.Vesikel yang mengelilinginya
berdiameter sekitar 3/4 inci dan diisi dengan cairan, seperti balon yang diisi air. Namun,
batas-batas vesikel ini tidak jelas, dan apa yang sebenarnya Kita rasakan adalah sesuatu
yang sedikit lebih kecil dari marmer saat meluncur melalui jari-jari Kita. Uterus, di lokasi
yang hampir sama dengan uterus yang tidak hamil, belum dipindahkan karena ukuran
atau berat saat ini. Vesikel embrionik luar, yang menempati kedua cornua, agak tipis
dengan sedikit cairan, dan mungkin panjangnya 18 hingga 24 inci.Dengan mencubit
cornuauterus dengan hati-hati, kita bisa merasakan selaput dari vesikel ini saat mereka
menyelinap di antara jari-jari.

Gambar 2.8 Posisi uterus dalam rongga pelvis pada palpasi rektak pada umur
kebuntingan 30 hari (Lestari dan Ismudiono, 2014).
b. Tahap I: Kebuntingan 60 hari
Uterus telah membesar sampai satu cornua berdiameter sekitar 2 ½ hingga 3 ½ inci,
berukuran panjang 8 hingga 10 inci. Berat isinya dapat menarik uterus ke dalam rongga
tubuh tepat di atas pinggiran panggul (Gambar 10). Janin telah tumbuh dengan cepat, dan
pada tahap ini, panjangnya sekitar 2 ½ inci. Vesikel embrionik masih menonjol dan, pada
tahap ini, dapat dirasakan tanpa merasakan janin. Dinding uterus telah menipis. Metode
terbaik untuk merasakan janin adalah dengan membalutnya dengan tangan Kita sehingga,
jika Kita mengetuk lembut uterus, janin berayun seperti pendulum dan mengenai dinding
uterus dan vesikel. Leher uterus tetap di atas dudukan pelvis dengan cornua uterus
bergerak ke arah, dan mungkin di luar, pinggirannya.

10
Gambar 2.9Kebuntingan 60 hari. Uterus menggantung di pinggiran
panggul(BeverlyandSprott, 2011).

c. Tahap I: kebuntingan 90 hari


Uterus akan membesar pada saat ini, diisi dengan cairan dan peningkatan
pertumbuhan janin (Gambar 11). Janin sekarang sekitar 6 ½ inci panjang dan mungkin
telah dipindahkan sendiri ke rongga perut, menunjukkan bahwa uterus telah meregang.
Serviks dapat ditarik melewati pinggiran pelvis, tetapi serviks, tubuh, dan cornua uterus
berada dalam jangkauan. Pada hewan yang lebih besar, ini adalah tahap yang sulit untuk
penentuan kebuntingan karena perpindahan dan jarak dari anus ke janin yang sedang
berkembang. ndikasi lain dari kebuntingan adalah pembesaran arteri uterus dengan
denyut nadi yang khas. Arteri ini (satu untuk setiap cornua uterus) terletak di lipatan
depan.

Gambar 2.10 Posisi janin 90 hari (BeverlyandSprott, 2011).


d. Tahap II: Kebuntingan 120 hari
Pada tahap ini, janin tergeser sama dengan janin 90 hari. Namun, panjangnya sekitar
10 hingga 12 inci. Kepalanya seukuran lemon.

Gambar 2.11Kebuntingan 4 bulan. Trak terletak di lantai rongga perut. Palpasi arteri
uterus(BeverlyandSprott, 2011).

11
e. Tahap III: Kebuntingan lebih dari 5 bulan
Karena berat dan ukurannya, kebuntingan ini akan jatuh jauh ke dalam rongga
tubuh. Ingatlah untuk menjangkau jauh ke dalam rongga dan menuju lantai perut.
Kadang-kadang, janin ini benar-benar di luar jangkauan. Untuk membantu memastikan
kebuntingan, cari keberadaan kancing yang berkembang dengan baik atau berat pada
serviks yang tergeser, atau periksa arteri uterus. Perubahan utama sampai kelahiran akan
dalam ukuran, karena janin tumbuh dengan cepat, menggunakan lebih banyak rongga
perut.

Gambar 2.12Kebuntingan 5-6 bulan. Betis yang membesar sekarang mengisi rongga
perut(BeverlyandSprott, 2011).

II.4. Tipe-Tipe Placenta(sama persis a azifah) Commented [u13]:


Menurut Roa et al (2012) adapun tipe-tipe plasenta berdasarkan klasifikasi
anatominya, yaitu:
a. Placenta difusa, dimana vili dan lipatan korialnya berukusan kecil dan terdistribusi secara
merata pada permukaan janin plasenta. Jenis plasenta ini dapat ditemukan pada babi, kuda,
unta dan cetacea.

Gambar 2.13Placenta difusa (Roa et al., 2012).


b. Placenta cotiledonaria, dimana vili korionik dikelompokkan menjadi roseta yang disebut Commented [u14]: +jumlh kotiledon
kotiledon yang terkait dengan karunkula endometrium uterus. Tipe plasenta ini ditemukan
pada ruminansia (sapi dan domba).Struktur uterus dan korionik membentuk struktur yang
disebut plasentoma.

12
Gambar 2.14 Placenta cotiledonaria (Roa et al., 2012).
c. Placenta zonaria, dimana terdapat vesicle allantocorionic berbentuk bulat telur dan
dikelilingi oleh pita atau ikatan vili chorionic tersusun secara ekuatorial. Tipe plasenta ini
ditemukan pada kucing dan anjing.

Gambar 2.15Placenta zonaria (Roa et al., 2012).


d. Placenta discoidal, pada tipe plasenta ini terdapat vili dari chorion (leafy chorion)
mencakup area melingkar dan terpolarisasi. Tipe plasenta ini ditemukan pada primate
termasuk manusia dan hewan pengerat.

Gambar 2.16Placenta discoidal (Roa et al., 2012).


II.5 Kelainan Kebuntingan(sama persis a azifah) Commented [u15]:
a. Retensio Placenta

Gambar 2.17Perlekatan kotiledon pada karankula sebelum melahirkan (normal) (kiri)


dan Perlekatan kotiledon pada karankula setelah melahirkan (retensio placenta)
(Uznur, 2017).
Retensio placenta terjadi jika plasenta tidak lepas dan keluar setelah lebih dari 8-12 jam
post partus. Retensio plasenta yang dibiarkan lama tanpa penanganan yang baik akan
menimbulkan infeksi sekunder sehingga dapat menyebabkan terjadinya endometritis sampai
13
tingkat pyometra yang parah. Hal ini disebabkan karena defisiensi hormon seperti oksitosin
dan estrogen sehingga kontraksi uterus berkurang atau karena proses partus yang terlalu cepat
(Sari et al., 2016).
b. Schistosomus reflexus

Gambar 2.18 Schistosomus reflexusbovine fetal monster dengan ankylosis tungkai dan jeroan
ektopik (Jana dan Jana, 2013).
Schistosomus reflexus merupakan kelainan kongenital yangumumnya ditemukan pada
ruminansia dan menjadi salah satu penyebab distokia pada sapi. Kelainan yang ditemukan
pada kasus schistosomus reflexus adalah dorsoflexi dari tulang belakang sehingga akan teraba
kepala dan ekstremitas fetus secara berdekatan saat palpasi perektal dilakukan (Lestari et al.,
2019).
c. Endometritis

Gambar 2.19Gambaran ultrasonografi serviks dan korpus uterus sapi endometritis (Melia,
2010).
Endometritis merupakan peradangan yang terjadi pada endometrium (mukosa
uterus).Peradangan tersebut dapat disebabkan karena mikroorganisme baik virus, bakteri,
protozoa dan fungi.Infeksi uterus post partus sangatmerugikan secara ekonomis dan
meningkatkan service perconception.Bakteri yang biasa menginfeksi uterus adalah
Streptococcus sp., Staphilococcus sp., Klebsiela sp., Escherichia coli, Bacillus sp. dan
Alkagenes fecalis(Sari et al., 2016).

14
BAB III
MATERI DAN METODE
III.1 Materi
III.1.1 Alat Commented [u16]: +kamera
1. Gunting 6 Buah
2. Nampan 6 Buah
3. Pinset 1 Buah
4. Scalpel 6 Buah
III.1.2 Bahan
1. Blade 6 Buah
2. Hand gloves 6 Pasang
3. Masker 6 Buah
4. Organ Reproduksi Sapi Betina Bunting 2 Ekor
5. Organ Reproduksi Sapi Betina tidak bunting 1 Ekor
III.2 Metode
1. Mengambil organ reproduksi sapi betina bunting dan tidak bunting dari RPH.
2. Meletakkan bahan-bahan tersebut diatas nampan
3. Mengidentifikasi bagian-bagian dari organ reproduksi sapi betina bunting dan tidak
bunting serta perbedaannya.
4. Mencatat apa saja bagian-bagian organ reproduksi sapi betina bunting dan tidak bunting
serta perbedaannya.

15
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

IV.1 Hasil
IV.1.1 Organ Reproduksi Sapi Betina

Nama
No. Sapi Bunting Sapi Tidak Bunting
Organ

1. Ovarium

Ket: Commented [u17]: bandingkan

2. Oviduct

Cornua
3
uterii

Corpus
4.
uterii

16
Cervix
5.
Uterii

6. Vagina

IV.2 Pembahasan
Pada praktikum kali ini bahwa ukuran cornua uterii pada sapi bunting berukuran
asimetris daripada sapi tidak bunting serta pada serviks terdapat cairan mukus yang dimana
sesuai dengan teori Jaji et al (2012) yang menyatakan bahwacornua uterii berukuran asimetris
dimana pada salah satunya akan mengalami pembesaran selama trimester selama kebuntingan
serta pada serviks menghasilkan mukus untuk membantu untuk menutup serviks selama
kebuntingan.infundibulum, isthmus, dan ampullae tidak terdapat perubahan selama
kebuntingan. Akan tetapi pada ovarium terdapat corpus luteum yang menghasilkan
progesteron yang berfungsi untuk menjaga kebuntingan.
Sapi mempunya masa kebuntingan selama 9 bulan 10 hari, dimana usia kebuntingan
dibawah 90 hari terjadi fluktuasi (terbentuk bola dengan massa padat pada pelvis. Usia
kebuntingan 90 hari a. uterina mediana teraba akan tetapi denyutnya belum terlalu terasa.
Usia kebuntingan 5 bulan fetus akan turun ke abdomen dan kotiledon akan terasa nyata serta
pembuluh darah mulai fremytus. Usia kebuntingan 7-9 bulan fetus kembali ke pelvis, saat
palpasi rektal teraba kaki dan kepala. Usia kebuntingan 110 hari kotiledon terasa seperti uang
koin.

17
BAB V
PENUTUP
V.1 Kesimpulan
a. Anatomi organ reproduksi pada sapi betina adalah ovarium, tuba fallopii, uterus, vagina,
serviks, vulva, clitoris dan vestibulum.
b. Tipe-tipe plasenta antara lain placenta zonaria, placenta cotyledonaria, placenta dyfusa,
dan placenta dyscoidal.
c. Kelainan kebuntingan pada sapi betina diantaranya retensio placenta, schistosomus
reflexusdan endometritis.
V.2 Saran
Sebaiknya pendingin ruangan didalam ruang praktikum ditambah agar praktikan dan
asisten dapat merasa nyaman sehingga praktikum dapat berjalan lancar.

18
PERBAIKI DAPUS DAN LENGKAPI LAMPIRAN Commented [u18]:
DAFTAR PUSTAKA

Akoso, B. T. 2012. Budi Daya Sapi Perah. Pusat Penerbitan dan Percetakan Unair: Surabaya.
Ball, P.J.H. dan A.R.Peters. 2009. Reproduction in Cattle. Amerika Serikat : Wiley-
Blackwell.
Beverly John Rand L. R. Sprott. 2011. Determining Pregnancy in Cattle. The Texas A&M
University System: Texas.
Fails, A.D. dan C.Magee. 2018. Anatomy and Physiology of Farm Animals. Wiley-Blackwell:
Amerika Serikat.
Felius, M., Beerling, M.-L., Buchanan, D., Theunissen, B., Koolmees, P., dan Lenstra,
J.2014.On the History of Cattle Genetic Resources.Diversity.6(4): 705–750.
Frandson, R.D., W.L.Wilke. dan A.D.Fails. 2009. Anatomy and Physiology of Farm Animals.
Elsevier: Amerika Serikat.
Hopper, R.M. 2014.Bovine Reproduction. Wiley-Blackwell: Inggris.
Ihsan, M. N. dan S.Wahjuningsih. 2011. Penampilan Reproduksi Sapi Potong Di Kabupaten
Bojonegoro. J. Ternak Tropika. 12(2): 76-80.
Jaji, A.Z., N.Boyi., B.Gambo., M.B.Mahre., J.Luka dan W.A.Kachamai. 2012. Pregnancy
Related Biometrical Changes in the Ovaries and Uterus of the Red Bororo Cattle in
Maiduguri, Nigeria. Nigerian Veterinary Journal.33 (3): 592 – 599.
Jana, D.Dan M. Jana. 2013. Studies On Schistosomus Reflexus In Indigenous Cattle In
Tropical West Bengal, India. Explor. Anim. Med. Res. 3(1): 74-77.
Kota, S.K. ,K.Gayatri1, S.Jammula2, S.K. Kota3, S. V. S. Krishna, L. K. Meher4,K.D. Modi.
2013. Endocrinology of parturition. Indian Journal of Endocrinology and Metabolism.
Vol 17, No.1: 50-56.
Kumar, P. dan N.Magon. 2014. Hormones in pregnancy. Nigerian Medical Journal .Vol.
53,No 4: 57-59.
Kunbhar, H.K., A.Memon. dsn AA.Solangi. 2008. Biometrical Studies of Eeproductive
Organs of Thari Cow. Biometrical Sutdies of Reprodukction Studies of Reproductive
of Thari Cow.Pakistan Journal of Biological Sciences.6(4) : 322 – 324.
Lestari, N.A.A., D.M.Ulva., Nsereko dan M.F.Ulum. 2019. Penanganan distokia karena
schistosomus reflexus pada sapi friesian Holstein. ARSHI Vet Lett.3 (1): 9 – 10.
Lestari, T.D dan Ismuiono. 2014. Ilmu Reproduksi Ternak. Airlangga University Press:
Surabaya.
Melia, J. 2010. Gambaran Ultrasonografi Organ Reproduksi Sapi Endometritis Yang
Diterapi Dengan Kombinasi Gentamicine, Flumequine Dan Analog Pgf2α Secara
Intra Uteri. [Tesis]. IPB Press: Bogor.
Pedersen, H.S., G.Mazzoni., L.Stroebech., H.N.Kadarmideen., P.Hyttel dan H.Callesen. 2017.
Basic and practical aspects of pregnancy establishment in cattle. Anim Reprod.14
(3):581 – 588.
Prasdini, W. A., S. Rahayu dan M. S Djati. 2015. Penentuan Keberhasilan Involusi Uterus
Sapi Perah Friesian Holstein Berdasarkan Kadar Estrogen Setelah Beberapa
Penginjeksian Selenium-Vitamin E. Jurnal Veteriner, 16 ( 3): 451-356.
Purohit G .2010. Parturition In Domestic Animals: A Review .WebmedCentral Reproduction,
1(10): 1-18.

19
Reece, W.O. dan E.W.Rowe. 2017. Functional Anatomy and Physiology of Domestic
Animals5th Edition. India : Wiley Blackwell.Sharaf, A., W. Eid, dan A. A. Abuel-Atta.
2012. Morphological Aspects of the Ostrich Infundibulum and Magnum. Journal of
Veterinary Medicine 15(3): 145-159
Roa, I., C.S.S dan R.P.G. 2012. Placenta: ÊÊAnatomia e Histologia Comparada. Int
J.Morphol. 30 (4): 1490 – 1496.
Safdar, A. H. Adan N. M Kor. 2014. Parturition mechanisms in ruminants: A complete
overview. Euro. J. Exp. Bio., 4(3):211-218.
Sari, E.C., M.Hartono dan S.Suharyati. 2016. Faktor- Faktor Yang Memengaruhi Service Per
Conception Sapi Perah Pada Peternakan Rakyat Di Provinsi Lampung. Jurnal Ilmiah
Peternakan Terpadu.4(4): 313 – 318.
Senger, P. L. 2012. Pathways to Pregnancy & Parturation 3rd Ed. Current Conception Inc:
Umatilla Avenue.
Uznur, A. Q. I. 2017. Penanganan Kasus (Retensio Sekundinae) Pada Sapi Perah (Fresian
Holstein) Di Kec. Pangalengan, Bandung Selatan. Universitas Hasanuddin: Makassar.
Yusuf, M. 2012. Buku Ajar Ilmu Reproduksi Ternak.Unhas Press : Makassar.

20

Anda mungkin juga menyukai