Anda di halaman 1dari 16

A.

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Dispepsia merupakan penyebutan terhadap rasa tidak nyaman atau nyeri pada
perut, tepatnya ulu hati. Dispepsia diikuti dengan beberapa kumpulan gejala berupa
kembung, mual, muntah, sendawa, dan perut terasa penuh. Akan tetapi, gejala –
gejala tersebut tidak semuanya dirasakan oleh penderita. Gejala dapat sangat
bervariasi bahkan berubah-ubah. Jadi, dispepsia bukanlah suatu penyakit akan
tetapi hanya kumpulan dari gejala gejala atau yang disebut dengan sindrom yang
harus dicari penyebab utamanya (Sofro dan Anurogo, 2013).
Menurut Almatsier (2010) dispepsia adalah penyakit gangguan pencernaan
yang sering terjadi. Pernyataan tersebut didukung dengan pernyataan Djojoningrat
(2009) yang menyatakan bahwa kurang lebih 30% penyakit yang dilaporkan pada
dokter umum dan 60% penyakit yang dilaporkan pada gastroenterologist
merupakan kasus dispepsia.
Dispepsia merupakan gangguan gastrointestinal bagian atas sering terjadi
pada kelompok dewasa. Sindrom ini terjadi secara global, mempengaruhi berbagai
populasi dalam beberapa lokasi yang berbeda (Mahadeva, 2006). Dispepsia adalah
keluhan yang umum terjadi dan dapat dialami oleh seseorang dalam waktu tertentu.
Dalam suatu penelitian dipaparkan data bahwa 15-30% orang dewasa pernah
mengalami hal ini dalam beberapa hari (Djojoningrat, 2009).
Walaupun kejadian dispepsia sering terjadi, akan tetapi tidak meningkatkan
angka mortalitas. Namun, di samping itu dispepsia tetap saja memiliki dampak
terhadap kualitas hidup pasien (Ghoshal, 2011). Selain itu, dispepsia dapat
berdampak besar pada kualitas hidup yang berkaitan dengan kesehatan karena
dispepsia merupakan penyakit kronis. Maka dari itu, dispepsia dimungkinkan
kambuh sewaktu-waktu sehingga membuat penderita kembali merasa nyeri di
bagian perut (Mahadeva, 2006).

1
Dikarenakan tingginya kejadian dispepsia di masyarakat, maka penulis
tertarik untuk membahas lebih mendalam mengenai dispepsia. Tingginya angka
kejadian tersebut bukan hanya penulis temukan di literatur, akan tetapi juga pada
lingkungan tempat tinggal penulis. Selain itu, memang dispepsia dianggap dapat
mengganggu aktivitas sehari-hari penderita dan menurunkan kualitas kesehatan
penderita. Oleh karena itu, topik mengenai dispepsia ini penulis angkat dalam
bentuk referat.

2. Tujuan

Adapun tujuan penulis menyusun referat ini antara lain :


a. Mengetahui definisi dari dispepsia
b. Mengetahui klasifikasi dispepsia
c. Mengetahui data epidemiologi dispepsia dalam berbagai skala
geografis
d. Mengetahui etiologi dispepsia
e. Mengetahui faktor predisposisi dan faktor resiko yang memungkinkan
terjadinya dispepsia
f. Mengetahui manifestasi klinis yang dirasakan oleh penderita
dispepsia
g. Mengetahui perjalanan patomekanisme dispepsia yang terjadi dalam
tubuh penderita
h. Mengetahui prognosis dispepsia
i. Mengetahui tata laksana yang seharusnya dilakukan tenaga medis
kepada penderita dispepsia

2
B. TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi

Dispepsia berasal dari dua kata dalam Bahasa Yunani yaitu “Dys” dan
“Peptein”. Dys bermakna buruk dan peptein adalah pencernaan (Bonner, 2006).
Dispepsia secara harifiah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai
pencernaan yang buruk (Schmidt-Martin dan Quigley, 2011).
Secara umum, dispepsia didefinisikan sebagai suatu rasa nyeri pada perut
bagian atas (Mayer, 2008). Sedangkan Suyono (2007) mendefinisikan dispepsia
sebagai kumpulan gejala yang terdiri dari rasa nyeri pada bagian epigastrium, mual,
muntah sendawa, dan rasa cepat kenyang.
Definisi lain mengenai dispepsia adalah suatu istilah umum yang digunakan
untuk menyebut kumpulan gejala atau yang sering disebut dengan sindrom berupa
rasa nyeri di bagian ulu hati, mual, muntah, kembung, sendawa, dan rasa cepat
kenyang serta perut terasa penuh atau begah. Gejala ini tidak serta merta dirasakan
oleh semua penderita, tetapi bersifat variatif. Jadi gejala yang dirasakan berbeda
antara satu pasien dan pasien lainnya baik dari segi jenis keluhan maupun
kualitasnya (Djojoningrat, 2009).
Keluhan dispepsia banyak dijumpai dalam praktek kedokteran sehari-hari.
Sindrom ini telah dikenal sejak lama dan memiliki definisi yang terus berkembang
dari masa ke masa. Definisi ini dimulai dari semua gejala yang berasal dari saluran
penceraan bagian atas hingga dieksklusikannya gejala refluks yang mengacu pada
consensus Roma III (Ford, 2013).
Sedangkan menurut Miwa (2012) dispepsia meliputi gejala rasa tidak nyaman
atau nyeri bagian epigastrium yang juga diikuti oleh perasaan seperti terbakar pada
bagian tersebut. Ford (2013) menerangkan bahwa dispepsia menurut Kriteria Roma
III adalah suatu penyakit dengan satu atau lebih gejala yang berhubungan dengan
gangguan pada gastroduodenal, antara lain :
a. Nyeri epigastrium

3
b. Rasa terbakar pada epigastrium
c. Rasa penuh dan tidak nyaman setelah makan
d. Rasa cepat kenyang.
Gejala-gejala tersebut setidaknya berlangsung selama tiga bulan terakhir
sebelum diagnosis ditegakan.

2. Klasifikasi

Dispepsia dapat digolongkan menjadi dua kelompok yaitu dispepsia organik


dan dispepsia fungsional. Pengelompokan ini bertujuan agar dalam penanganannya,
dispepsia dapat ditangani secara tepat sesuai dengan gejala yang timbul pada
penderita (Talley dan Holtmann, 2007). Dikatakan dispepsia organik apabila
memang telah diketahui terdapat kelainan organik yang menyebabkan kondisi
dispepsia tersebut. Kelainan yang dimaksud antara lain tukak lambung, gastritis,
kanker lambung, dan lain sebagainya. Sedangkan yang dimaksud dengan dispepsia
fugsional apabila tidak jelas penyebabnya (Djojoningrat, 2009).
Dispepsia fungsional merupakan gejala yang berlangsung kronis tanpa
adanya kelainan organis dalam saluran cerna yang berhubungan dengan gejala yang
timbul. Dalam penegakan diagnosis tidak ada tes yang definitif, namun didasarkan
pada riwayat, gejala khas, dan tes yang cocok (Longstreth, 2004 dalam Murni,
2011).
Penyebab dispepsia organik bermacam-macam, antara lain tukak peptik,
gastritis, batu kandungan empedu, dan sebab-sebab lain. Sedangkan dispepsia
fungsional dibagi menjadi tiga kelompok menurut Suyono (2007), yaitu :
a. Dispepsia tipe ulkus, yang sering menyebabkan nyeri ulu hati
b. Dispepsia dismotilitas, yang sering menyebabkan kembung
c. Dispepsia non spesifik, yang tidak memiliki keluhan yang dominan

Sedangkan menurut Abdullah (2012), dispepsia fungsional dibedakan


menjadi dua kelompok, antara lain :

4
a. Post Prandial Distress Syndrome, mengacu pada perasaan begah
setelah makan dan perasaan cepat kenyang
b. Epigastric Pain Syndrome, mengacu pada rasa nyeri yang bersifat
konstan dan tidak berkesinambungan dengan kondisi makan.

3. Epidemiologi

Data menunjukan bahwa di Asia – Pasifik prevalensi kejadian dispepsia


cukup tinggi yaitu sekitar 10% – 20% (Kusumobroto, 2003 dalam Setyono, 2006).
Perbandingan prevalensi dispepsia pada beberapa ras Asia di Singapura
menunjukan bahwa ras Cina sebesar 8,1%, Melayu 7,3%, dan India 7,5%
(Mahadeva, 2006).
Di negara Indonesia, menurut studi morbiditas Survei Kesehatan Rumah
Tangga (SKRT) prevalensi penyakit tidak menular meningkat 15% pada tahun
1995 dan menjadi 18% pada tahun 2014 (Irawan, 2015). Pada negara SEARO
(South East Asian Regional Office) diperkirakan pada tahun 2020 proporsi
mortalitas dan morbiditas karena penyakit tidak menular mencapai 50% dan 42%
(Depkes, 2006 dalam Irawan, 2015).
Dalam kelompok populasi general, rata-rata insidensi dispepsia adalah 25%
setiap tahunnya. Dari insidensi tersebut 40% diantaranya adalah dispepsia organik.
Sedangkan 60% sisanya adalah dispepsia fungsional (Firmansyah et al., 2013).
Dispepsia merupakan penyakit pada peringkat ke-10 untuk kategori penyakit
terbanyak pasien rawat inap di rumah sakit tahun 2006 dengan total jumlah
pasien 34.029 atau kurang lebih 1,59% (Depkes RI, 2008).
Berdasarkan daata yang diperoleh dari Poli Penyakit Dalam RSUD Prof.
Dr. Margono Soekarjo Purwokerto, terdata jumlah kasus dispepsia yang
menjalani rawat jalan sebanyak 200 orang perbulan (Setyono, 2006).

5
4. Etiologi

Menurut Djojoningrat (2009) hal – hal yang dapat menyebabkan terjadinya


dispepsia antara lain :
a. Gangguan lumen saluran cerna, seperti tukak gaster, gastritis, tumor,
atau infeksi H. pylori.
b. Obat – obatan, seperti OAINS (Obat Anti Inflamasi Non-Steroids),
aspirin, beberapa antibiotik, dan obat – obat lainnya.
c. Penyakit pada hepatobillier, pancreas, penyakit sistemik seperti
Diabetes Mellitus, penyakit jantung coroner, penyakit tiroid, dan lain
– lain.
Sedangkan, hal – hal yang dapat lebih spesifik menyebabkan dispepsia
fungsional menurut Harahap (2010), adalah :
a. Sekresi Asam Lambung
b. Dismotilitas Gastrintestinal
c. Diet dan Faktor Lingkungan
d. Psikologis
e. Obat Penghilang Nyeri
f. Pola Makan
Di sisi lain, etiologi atau penyebab dari dispepsia organik sebagian besar
merupakan kasus ulkus peptikum, reflux gastroesophageal, dan keganasan (Talley
dan Segal, 2008).

5. Faktor Risiko

Selain etiologi – etiologi yang telah disebutkan, kejadian dispepsia juga


dipengaruhi oleh beberapa faktor risiko, antara lain :
a. Usia : orang dengan usia lanjut kisaran 46 – 55 tahun akan lebih sering
mengalami kekambuhan dispepsia (Muya, 2015).
b. Jenis kelamin : wanita lebih sering mengalami kekambuhan dispepsia
disbanding laki – laki (Muya, 2015).

6
c. Konsumsi kopi, rokok, dan alkohol (Setyono, 2006).
d. Stress, orang yang memiliki stress sedang 10 kali lebih beresiko
mengalami dispepsia disbanding yang mengalami stress ringan
(Khotimah, 2012).
e. Penggunaan obat – obatam NSAID (Non Steroid Anti Inflamation
Drug) (Irawan, 2015).
f. Pola makan dan faktor diet (Irawan, 2015).
g. Berdomisili di daerah dengan prevalensi H. pylori yang tinggi
(Abdullah. 2012).
Hal – hal tersebut yang menjadi faktor risiko sehingga seseorang lebih rentan
mengalami dispepsia. Jadi dianjurkan kepada orang – orang yang memiliki salah
satu atau beberapa faktor risiko tersebut untuk lebih menjaga kondisi kesehatan
supaya terhindar dari kejadian dispepsia. Faktor risiko – faktor risiko tersebut juga
dapat ditekan, diminimalisasi, atau bahkan dihilangkan supaya tidak terjadi
dispepsia.

6. Manifestasi Klinis

Seorang penderita dispepsia akan merasakan beberapa gejala dalam


tubuhnya. Hal ini yang menyebabkan dispepsia disebut sebagai suatu sindrom.
Gejala – gejala yang dirasakan antara lain (Djojoningrat, 2014) :
a. Nyeri pada abdominal
b. Rasa perih di bagian ulu hati
c. Nafsu makan berkurang
d. Rasa cepat kenyang
e. Perut terasa kembung
f. Rasa panas di dada dan perut
Sedangkan menurut Kriteria Roma III, suatu kumpulan gejala dapat disebut
dengan sindroma dispepsia apabila merujuk pada empat gejala yang terdiri dari rasa
penuh yang mengganggu setelah makan, cepat kenyang, nyeri epigastrium, atau
rasa terbakar di epigastrium (Talley dan Segal, 2008).

7
Pada penegakan diagnostik, dispepsia fungsional dibagi menjadi dua
kelompok yaitu Postprandial Distress Syndrome (PDS) dan Epigastric Pain
Syndrome (EPS). Pembagian ini didasarkan pada perbedaan gejala yang timbul
seperti dipaparkan pada table berikut.
Gambar 1.1 Kriteria Diagnostik Sindroma Dispepsia

Dikutip dari Jurnal Continuing Medical Education (2012)

8
7. Patomekanisme

Dalam konteks patofisiologis, dispepsa fungsional sering dihubungkan


dengan hipersekresi asam lambung, infeksi H. pylori, dismotilitas gastrointestinal,
dan hipersensitivitas viseral (Djojoningrat, 2006).
a. Sekresi asam lambung : pada dispepsia biasanya terjadi peningkatan
sekresi asam lambung dengan berbagai mekanisme yang nantinya
akan meningkatkan sensitivitas mukosa lambung sehingga timbul rasa
tidak nyaman pada perut.
b. Helicobacter pylori : pada dispepsia fungsional peran H. pylori belum
terlalu terlihat karena kekerapan infeksi sebesar 50% tidak memiliki
perbedaan berarti dengan orang yang sehat.
c. Dismotilitas : hal ini telah menjadi perhatian penting karena berkaitan
dengan keterlambatan pengosongan lambung, akomodasi fundus
terganggu, distensi antrum, kontraktilitas fundus postprandial, dan
dismotilitas duodenal.
d. Ambang rangsang persepsi : di dalam organ viseral terdapat banyak
reseptor. Pada kasus dispepsia fungsional ini terjadi hipersensitivitas
pada reseptor sehingga menimbulkan gangguan fungsional.
e. Disfungsi autonom : disfungsi pada persarafan vagal diduga menjadi
penyebab hipersensitivitas viseral. Neuropati vagal juga
menyebabkan kegagalan relaksasi lambung bagian proksimal
sehingga menimbulkan rasa cepat kenyang.
f. Aktivitas mioelektrik lambung : pada dispepsia fungsional terdeteksi
adanya disritmia mioelektrik lambung lewat pemeriksaan
ultrasonografi. Akan tetapi hal ini perlu untuk diteliti lebih lanjut.
g. Peranan hormonal : terdapat penurunan kadar hormon motilin yang
mempengaruhi dismotilitas antroduodenal. Beberapa hormon lain
juga berpengaruh pada kontraktilitas otot lambung.

9
h. Psikologis : Stress akut dapat menimbulkan keluhan gastrointestinal
pada orang sehat. Stress dapat menyebabkan penurunan kontraktilitas
lambung yang mendahului keluhan mual.
i. Faktor genetik : faktor genetik mulai dipertimbangkan karena
didapatkan polimorfisme gen yang mengkode imun untuk melawan
infeksi H. pylori.
Ferri et al (dalam Abdullah, 2012) mengatakan bahwa pathogenesis dispepsia
sebenarnya belum diketahui secara jelas. Akan tetapi, terdapat beberapa faktor yang
dianggap memiliki peran bermakna, antara lain :
a. Abnormalitas fungsi motorik lambung yag meliputi keterlambatan
pengosongan lambung, hipomotilitas antrum, dan sebagainya.
b. Infeksi H. pylori
c. Faktor psikososial terutama yang berkaitan dengan depresi dan rasa
cemas.

8. Prognosis

Prognosis penderita dispepsia fungsional kualitas hidupnya lebih rendah


daripada penderita dispepsia organik. Pada individu yang mengalami dispepsia
fungsional, sering mengalami kecemasan tingkat sedang hingga berat (Mahadeva
et al., 2011 dalam Abdullah, 2012). Sedangkan menurut Djojoningrat (2009)
penderita dispepsia fungsional yang diagnosisnya ditegakkan secara akurat
memiliki prognosis yang baik.

9. Tata Laksana

Tata laksana dispepsia dapat dimulai dengan mengidentifikasi patofisiologi


dan penyebab sebanyak – banyaknya. Terapi dapat dimulai sejak belum dilakukan
investigasi dengan melihat sindrom klinis yang dominan kemudian dilanjutkan
sesuai dengan investigasi yang dilakukan (Makmun et al., 2014).

10
a. Belum diinvestigasi : pada fase ini dilakukan terapi empirik selama 1 –
4 minggu yaitu dengan pemeriksaan Hp. Obat yang dapat diberikan
antara lain antasida, antisekresi asam lambung (PPI missal omeprazole,
rabeprazole, dll.) Terkait dengan prevalensi Hp yang tinggi, maka dapat
dilakukan strategi test and treat pada penderita dispepsia tanpa tanda
bahaya.
b. Telah diinvestigasi : pada pasien dengan tanda bahaya tidak dilakukan
terapi empirik, melainkan harus segera dilakukan investigasi dengan
melakukan endoskopi.
c. Dispepsia organik : apabila terdapat lesi mukosa pada saat endoskopi,
maka terapi dilakukan berdasarkan kelainan yang ditemukan. Dispepsia
organik meliputi gastritis, gastritis hemoragik, duodenitis, ulkus gaster,
ulkus duodenale, dan proses keganasan. Obat yang diberikan kepada
penderita ulkus peptikum yaitu kombinasi PPI dengan mukoprotektor.
d. Dispepsia fungsional : apabila saat endoskopi tidak ditemukan
kerusakan mukosa, maka terapi diberikan sesuai gangguan
fungsionalinya. Pemberian prokinetik dapat memberikan perbaikan
gejala. Hal ini berhubungan dengan gangguan keterlambatan
pengosongan lambung pada penderita dispepsia fungsional. Pemberian
antidepresan juga memberi efek meringankan gejala.
e. Dispepsia infeksi Hp : Eradikasi Hp dapat memberikan kesembuhan
jangka panjang terhadap gejala dispepsia. Terapi eradikasi Hp dengan
triple therapy (rabeprazole, amoksisilin, dan klaritromisin) selama 7
hari lebih baik disbanding 5 hari.

11
Bagan 1.1 Alur tata laksana diagnosis dispepsia (Mansjoer, 2010)

12
C. KESIMPULAN

Dispepsia merupakan suatu kumpulan gejala (sindrom) yang terdiri dari nyeri
atau rasa tidak nyaman di epigastrium, mual, muntah, kembung, cepat kenyang,
rasa penuh di perut, sendawa, regurgitasi dan rasa panas yang menjalar di dada
(Djojoningrat, 2009). Menurut Talley dan Holtmann (2007) dispepsia dibagi
menjadi dua kelompok yaitu dispepsia organik dan dispepsia fungsional. Dikatakan
dispepsia organik apabila penyebabnya adalah gangguan organik seperti gastritis,
ulkus gaster, ulkus duodenum, dan lain – lain. Sedangkan disebut dispepsia
fungsional apabila tidak ditemukan ulkus atau gangguan organik lainnya.
Insidensi dispepsia di Asia Pasifik lumayan tinggi, mencapai 10% - 20%.
Data dari poli penyakit dalam RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo, Purwokerto
menyatakan bahwa kasus rawat inap yang merupakan dispepsia sebanyak 200 kasus
per bulan (Setyono, 2006). Kasus dispepsia memang sering terjadi karena hal – hal
yang menimbulkannya pun bermacam – macam. Salah satu penyebabnya antara
lain penggunaan obat – obatan NSAID, gangguan lumen pencernaan, dan penyakit
pada organ pencernaan lain seperti hati, pancreas, dan sistem billier (Djojoningrat,
2009). Selain penyebab – penyebab tersebut, gaya hidup seperti merokok, konsumsi
alkohol, dan konsumsi rokok juga merupakan salah satu faktor risiko yang dapat
menyebabkan dispepsia (Setyono, 2006).
Harahap (2010) menyatakan gejala – gejala yang sering dirasakan oleh
penderit dispepsia yaitu nyeri di bagian ulu hati, kembung, sendawa, merasa cepat
kenyang, dan mual serta muntah. Gejala – gejala tersebut dapat timbul karena
terjadi mekanisme patologis dalam tubuh penderita. Misalnya terjadi peningkatan
sekresi asam lambung yang akan menimbulkan rasa tidak nyaman di perut
(Djojoningrat, 2009).
Tata laksana untuk pasien dispepsia berbeda – beda tergantung dengan tipe
dispepsia yang dialami oleh penderita. Terapi dilakukan baik sebelum dilakukan
investigasi kemudian dilanjutkan sesuai hasil investigasi (Makmun, et al, 2014).
Walaupun termasuk penyakit kronis yang dapat kambuh sewaktu – waktu,
prognosis dispepsia masih tergolong baik (Djojoningrat, 2009).

13
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Murdani, Jeffri Gunawan. 2012. Dispepsia. Continuing Medical Education. Vol.
39 no. 9 : 647 – 651

Almatsier, Sunita. 2010. Penuntun Diet. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama

Bonner GF. 2006. Upper Gastrointestinal Evaluation Related to the Pelvic Floor. In: Davila
GW, Ghoniem GM, Wexner SD, editors. Pelvic Floor Dysfunction. 1st ed. Springer-
Verlag London Limited. p. 67-8.

Depkes RI. 2008. Profil Kesehatan Indonesia 2007. Jakarta : Departemen Kesehatan
Republik Indonesia. p. 28-29.

Djojoningrat, D,. 2009. Dispepsia Fungsional. In : Sudoyo, AW., Setiyohadi, B,.Alwi,


I., Simadibrata, M., Setiati, S., ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 529-531.

Djojoningrat, D. 2014. Pendekatan Klinis Penyakit Gastrointestinal. Buku Ajar Ilmu


Penyakit Dalam. Interna Publishing. Jakarta

Firmansyah, Mohammad Adi, Dadang Makmun, Murdani Abdullah. 2013. Role of


Digestive Tract Hormone in Functional Dyspepsia. The Indonesian Journal of
Gastroenterology Hepatology and Digestive Endoscopy. Vol. 4 No. 1 : 39-43

Ford AC, Moayyedi P. 2013. Dyspepsia. Curr Opin Gastroenterol.

Ghoshal, U. C., Singh, R., Chang, F., Hou, X., Chun, B., Wong, Y., Kachintorn, U., et al.
2011. Epidemiology of Uninvestigated and Fungsional Dyspepsia in Asia: Facts and
Fiction. JNM Journal of Neurogastroenterology and Motility, 17(3), 235–244.

Harahap, Yanti. 2010. Karakteristik Penderita Dispepsia Rawat Inap di RS Martha Friska
Medan Tahun 2007. Universitas Sumatera Utara : Medan.

14
Irawan, Ade Tedi. 2015. Faktor Risiko Terhadap Kejadian Dispepsia di Instalasi Gawat
Inap RSUD Cideres Kabupaten Majalengka Tahun 2015. Jurnal Medisina Akper
YPIB. Vol 1 No. 2 : 10 pages

Khotimah, Nurul, Yesi Ariani. 2012. Sindroma Dispepsia Mahasiswa Fakultas


Keperawatan Universitas Sumatera Utara. Jurnal Holistik Keperawatan. Vol 1 No 1
: 19 – 24

Mahadeva, S. dan K.L. Goh. 2006. Epidemiology of Functional Dyspepsia : A Global


Perspective. World Journal of Gastroenterology. 12(17) : 2662 – 2665

Makmun, Dadang, Marcellus Simadibrata K, et al. 2014. Konsensus Nasional


Penatalaksanaan Dispepsia dan Infeksi Helicobacter pylori. Perkumpulan
Gastroenterologi Indonesia : Indonesia

Mansjoer, Arief. 2010. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 4. Jakarta : Media Aesculapius
FKUI

Mayer E. 2008. Functional Gastrointestinal Disorders: Irritable Bowel Syndrome,


Dyspepsia, Functional Chest Pain of Presumed Esophageal Origin. In: Goldman
L, Schafer AI, eds. Goldman's Cecil Medicine. 24th ed. Philadelphia: Elvesier
Saunders. p.868-74.

Miwa, H, Ghoshal UC, Gonlachanvit S, et al. 2012. Asian Consensus Report on Functional
Dyspepsia. J Neurogastroenterol Motil.

Murni, Arina Widya. 2011. Plasma Cortisol Levels in Dyspepsia With Psychosomatic
Patients. The 21st World Congress on Psychosomatic Medicine

Muya, Yui, Arina Widya, Rahmatina B. Herman. 2015. Karakteristik Penderita Dispepsia
Fungsional yang Mengalami Kekambuhan di Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUP
Dr. M. Djamil Padang, Sumatera Barat Tahun 2011. Jurnal Kesehatan Andalas.
Vol. 4 No. 2 : 490 – 496

15
Schmidt-Martin, D. & Quigley, E.M.M., 2011. The Definition of Dyspepsia. In: Duvnjak,
M., ed. Dyspepsia in Clinical Practice. New York: Springer, 1- 7.

Setyono, Joko, Agus Prastowo, Saryono. 2006. Karakteristik Penderita Dispepsia di RSUD
Margono Soekarjo Purwokerto. Jurnal Keperawatan Soedirman. Vol. 1 No. 1 : 27 –
31

Sofro, M., Anurogo, D. 2013. 5 Menit Memahami 55 Problematika Kesehatan. Jogjakarta


: D-MEDIKA

Suyono, Slamet. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi 4. Jakarta : FKUI

Talley, N.J. & Holtmann, G., 2007. Approach to The Patient with Dyspepsia and Related
Functional Gastrointestinal Complaints. In: Yamada, T., ed. Principles of Clinical
Gastroenterology. USA: Blackwell Publishing.

Talley, N.J., Segal, I., Weltman, M.D., 2008. Gastroenterology and Hepatology: A Clinical
Handbook. ed. Australia: Churchill Livingstone, 42-51.

16

Anda mungkin juga menyukai