Konten Referat
Konten Referat
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Dispepsia merupakan penyebutan terhadap rasa tidak nyaman atau nyeri pada
perut, tepatnya ulu hati. Dispepsia diikuti dengan beberapa kumpulan gejala berupa
kembung, mual, muntah, sendawa, dan perut terasa penuh. Akan tetapi, gejala –
gejala tersebut tidak semuanya dirasakan oleh penderita. Gejala dapat sangat
bervariasi bahkan berubah-ubah. Jadi, dispepsia bukanlah suatu penyakit akan
tetapi hanya kumpulan dari gejala gejala atau yang disebut dengan sindrom yang
harus dicari penyebab utamanya (Sofro dan Anurogo, 2013).
Menurut Almatsier (2010) dispepsia adalah penyakit gangguan pencernaan
yang sering terjadi. Pernyataan tersebut didukung dengan pernyataan Djojoningrat
(2009) yang menyatakan bahwa kurang lebih 30% penyakit yang dilaporkan pada
dokter umum dan 60% penyakit yang dilaporkan pada gastroenterologist
merupakan kasus dispepsia.
Dispepsia merupakan gangguan gastrointestinal bagian atas sering terjadi
pada kelompok dewasa. Sindrom ini terjadi secara global, mempengaruhi berbagai
populasi dalam beberapa lokasi yang berbeda (Mahadeva, 2006). Dispepsia adalah
keluhan yang umum terjadi dan dapat dialami oleh seseorang dalam waktu tertentu.
Dalam suatu penelitian dipaparkan data bahwa 15-30% orang dewasa pernah
mengalami hal ini dalam beberapa hari (Djojoningrat, 2009).
Walaupun kejadian dispepsia sering terjadi, akan tetapi tidak meningkatkan
angka mortalitas. Namun, di samping itu dispepsia tetap saja memiliki dampak
terhadap kualitas hidup pasien (Ghoshal, 2011). Selain itu, dispepsia dapat
berdampak besar pada kualitas hidup yang berkaitan dengan kesehatan karena
dispepsia merupakan penyakit kronis. Maka dari itu, dispepsia dimungkinkan
kambuh sewaktu-waktu sehingga membuat penderita kembali merasa nyeri di
bagian perut (Mahadeva, 2006).
1
Dikarenakan tingginya kejadian dispepsia di masyarakat, maka penulis
tertarik untuk membahas lebih mendalam mengenai dispepsia. Tingginya angka
kejadian tersebut bukan hanya penulis temukan di literatur, akan tetapi juga pada
lingkungan tempat tinggal penulis. Selain itu, memang dispepsia dianggap dapat
mengganggu aktivitas sehari-hari penderita dan menurunkan kualitas kesehatan
penderita. Oleh karena itu, topik mengenai dispepsia ini penulis angkat dalam
bentuk referat.
2. Tujuan
2
B. TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi
Dispepsia berasal dari dua kata dalam Bahasa Yunani yaitu “Dys” dan
“Peptein”. Dys bermakna buruk dan peptein adalah pencernaan (Bonner, 2006).
Dispepsia secara harifiah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai
pencernaan yang buruk (Schmidt-Martin dan Quigley, 2011).
Secara umum, dispepsia didefinisikan sebagai suatu rasa nyeri pada perut
bagian atas (Mayer, 2008). Sedangkan Suyono (2007) mendefinisikan dispepsia
sebagai kumpulan gejala yang terdiri dari rasa nyeri pada bagian epigastrium, mual,
muntah sendawa, dan rasa cepat kenyang.
Definisi lain mengenai dispepsia adalah suatu istilah umum yang digunakan
untuk menyebut kumpulan gejala atau yang sering disebut dengan sindrom berupa
rasa nyeri di bagian ulu hati, mual, muntah, kembung, sendawa, dan rasa cepat
kenyang serta perut terasa penuh atau begah. Gejala ini tidak serta merta dirasakan
oleh semua penderita, tetapi bersifat variatif. Jadi gejala yang dirasakan berbeda
antara satu pasien dan pasien lainnya baik dari segi jenis keluhan maupun
kualitasnya (Djojoningrat, 2009).
Keluhan dispepsia banyak dijumpai dalam praktek kedokteran sehari-hari.
Sindrom ini telah dikenal sejak lama dan memiliki definisi yang terus berkembang
dari masa ke masa. Definisi ini dimulai dari semua gejala yang berasal dari saluran
penceraan bagian atas hingga dieksklusikannya gejala refluks yang mengacu pada
consensus Roma III (Ford, 2013).
Sedangkan menurut Miwa (2012) dispepsia meliputi gejala rasa tidak nyaman
atau nyeri bagian epigastrium yang juga diikuti oleh perasaan seperti terbakar pada
bagian tersebut. Ford (2013) menerangkan bahwa dispepsia menurut Kriteria Roma
III adalah suatu penyakit dengan satu atau lebih gejala yang berhubungan dengan
gangguan pada gastroduodenal, antara lain :
a. Nyeri epigastrium
3
b. Rasa terbakar pada epigastrium
c. Rasa penuh dan tidak nyaman setelah makan
d. Rasa cepat kenyang.
Gejala-gejala tersebut setidaknya berlangsung selama tiga bulan terakhir
sebelum diagnosis ditegakan.
2. Klasifikasi
4
a. Post Prandial Distress Syndrome, mengacu pada perasaan begah
setelah makan dan perasaan cepat kenyang
b. Epigastric Pain Syndrome, mengacu pada rasa nyeri yang bersifat
konstan dan tidak berkesinambungan dengan kondisi makan.
3. Epidemiologi
5
4. Etiologi
5. Faktor Risiko
6
c. Konsumsi kopi, rokok, dan alkohol (Setyono, 2006).
d. Stress, orang yang memiliki stress sedang 10 kali lebih beresiko
mengalami dispepsia disbanding yang mengalami stress ringan
(Khotimah, 2012).
e. Penggunaan obat – obatam NSAID (Non Steroid Anti Inflamation
Drug) (Irawan, 2015).
f. Pola makan dan faktor diet (Irawan, 2015).
g. Berdomisili di daerah dengan prevalensi H. pylori yang tinggi
(Abdullah. 2012).
Hal – hal tersebut yang menjadi faktor risiko sehingga seseorang lebih rentan
mengalami dispepsia. Jadi dianjurkan kepada orang – orang yang memiliki salah
satu atau beberapa faktor risiko tersebut untuk lebih menjaga kondisi kesehatan
supaya terhindar dari kejadian dispepsia. Faktor risiko – faktor risiko tersebut juga
dapat ditekan, diminimalisasi, atau bahkan dihilangkan supaya tidak terjadi
dispepsia.
6. Manifestasi Klinis
7
Pada penegakan diagnostik, dispepsia fungsional dibagi menjadi dua
kelompok yaitu Postprandial Distress Syndrome (PDS) dan Epigastric Pain
Syndrome (EPS). Pembagian ini didasarkan pada perbedaan gejala yang timbul
seperti dipaparkan pada table berikut.
Gambar 1.1 Kriteria Diagnostik Sindroma Dispepsia
8
7. Patomekanisme
9
h. Psikologis : Stress akut dapat menimbulkan keluhan gastrointestinal
pada orang sehat. Stress dapat menyebabkan penurunan kontraktilitas
lambung yang mendahului keluhan mual.
i. Faktor genetik : faktor genetik mulai dipertimbangkan karena
didapatkan polimorfisme gen yang mengkode imun untuk melawan
infeksi H. pylori.
Ferri et al (dalam Abdullah, 2012) mengatakan bahwa pathogenesis dispepsia
sebenarnya belum diketahui secara jelas. Akan tetapi, terdapat beberapa faktor yang
dianggap memiliki peran bermakna, antara lain :
a. Abnormalitas fungsi motorik lambung yag meliputi keterlambatan
pengosongan lambung, hipomotilitas antrum, dan sebagainya.
b. Infeksi H. pylori
c. Faktor psikososial terutama yang berkaitan dengan depresi dan rasa
cemas.
8. Prognosis
9. Tata Laksana
10
a. Belum diinvestigasi : pada fase ini dilakukan terapi empirik selama 1 –
4 minggu yaitu dengan pemeriksaan Hp. Obat yang dapat diberikan
antara lain antasida, antisekresi asam lambung (PPI missal omeprazole,
rabeprazole, dll.) Terkait dengan prevalensi Hp yang tinggi, maka dapat
dilakukan strategi test and treat pada penderita dispepsia tanpa tanda
bahaya.
b. Telah diinvestigasi : pada pasien dengan tanda bahaya tidak dilakukan
terapi empirik, melainkan harus segera dilakukan investigasi dengan
melakukan endoskopi.
c. Dispepsia organik : apabila terdapat lesi mukosa pada saat endoskopi,
maka terapi dilakukan berdasarkan kelainan yang ditemukan. Dispepsia
organik meliputi gastritis, gastritis hemoragik, duodenitis, ulkus gaster,
ulkus duodenale, dan proses keganasan. Obat yang diberikan kepada
penderita ulkus peptikum yaitu kombinasi PPI dengan mukoprotektor.
d. Dispepsia fungsional : apabila saat endoskopi tidak ditemukan
kerusakan mukosa, maka terapi diberikan sesuai gangguan
fungsionalinya. Pemberian prokinetik dapat memberikan perbaikan
gejala. Hal ini berhubungan dengan gangguan keterlambatan
pengosongan lambung pada penderita dispepsia fungsional. Pemberian
antidepresan juga memberi efek meringankan gejala.
e. Dispepsia infeksi Hp : Eradikasi Hp dapat memberikan kesembuhan
jangka panjang terhadap gejala dispepsia. Terapi eradikasi Hp dengan
triple therapy (rabeprazole, amoksisilin, dan klaritromisin) selama 7
hari lebih baik disbanding 5 hari.
11
Bagan 1.1 Alur tata laksana diagnosis dispepsia (Mansjoer, 2010)
12
C. KESIMPULAN
Dispepsia merupakan suatu kumpulan gejala (sindrom) yang terdiri dari nyeri
atau rasa tidak nyaman di epigastrium, mual, muntah, kembung, cepat kenyang,
rasa penuh di perut, sendawa, regurgitasi dan rasa panas yang menjalar di dada
(Djojoningrat, 2009). Menurut Talley dan Holtmann (2007) dispepsia dibagi
menjadi dua kelompok yaitu dispepsia organik dan dispepsia fungsional. Dikatakan
dispepsia organik apabila penyebabnya adalah gangguan organik seperti gastritis,
ulkus gaster, ulkus duodenum, dan lain – lain. Sedangkan disebut dispepsia
fungsional apabila tidak ditemukan ulkus atau gangguan organik lainnya.
Insidensi dispepsia di Asia Pasifik lumayan tinggi, mencapai 10% - 20%.
Data dari poli penyakit dalam RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo, Purwokerto
menyatakan bahwa kasus rawat inap yang merupakan dispepsia sebanyak 200 kasus
per bulan (Setyono, 2006). Kasus dispepsia memang sering terjadi karena hal – hal
yang menimbulkannya pun bermacam – macam. Salah satu penyebabnya antara
lain penggunaan obat – obatan NSAID, gangguan lumen pencernaan, dan penyakit
pada organ pencernaan lain seperti hati, pancreas, dan sistem billier (Djojoningrat,
2009). Selain penyebab – penyebab tersebut, gaya hidup seperti merokok, konsumsi
alkohol, dan konsumsi rokok juga merupakan salah satu faktor risiko yang dapat
menyebabkan dispepsia (Setyono, 2006).
Harahap (2010) menyatakan gejala – gejala yang sering dirasakan oleh
penderit dispepsia yaitu nyeri di bagian ulu hati, kembung, sendawa, merasa cepat
kenyang, dan mual serta muntah. Gejala – gejala tersebut dapat timbul karena
terjadi mekanisme patologis dalam tubuh penderita. Misalnya terjadi peningkatan
sekresi asam lambung yang akan menimbulkan rasa tidak nyaman di perut
(Djojoningrat, 2009).
Tata laksana untuk pasien dispepsia berbeda – beda tergantung dengan tipe
dispepsia yang dialami oleh penderita. Terapi dilakukan baik sebelum dilakukan
investigasi kemudian dilanjutkan sesuai hasil investigasi (Makmun, et al, 2014).
Walaupun termasuk penyakit kronis yang dapat kambuh sewaktu – waktu,
prognosis dispepsia masih tergolong baik (Djojoningrat, 2009).
13
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Murdani, Jeffri Gunawan. 2012. Dispepsia. Continuing Medical Education. Vol.
39 no. 9 : 647 – 651
Bonner GF. 2006. Upper Gastrointestinal Evaluation Related to the Pelvic Floor. In: Davila
GW, Ghoniem GM, Wexner SD, editors. Pelvic Floor Dysfunction. 1st ed. Springer-
Verlag London Limited. p. 67-8.
Depkes RI. 2008. Profil Kesehatan Indonesia 2007. Jakarta : Departemen Kesehatan
Republik Indonesia. p. 28-29.
Ghoshal, U. C., Singh, R., Chang, F., Hou, X., Chun, B., Wong, Y., Kachintorn, U., et al.
2011. Epidemiology of Uninvestigated and Fungsional Dyspepsia in Asia: Facts and
Fiction. JNM Journal of Neurogastroenterology and Motility, 17(3), 235–244.
Harahap, Yanti. 2010. Karakteristik Penderita Dispepsia Rawat Inap di RS Martha Friska
Medan Tahun 2007. Universitas Sumatera Utara : Medan.
14
Irawan, Ade Tedi. 2015. Faktor Risiko Terhadap Kejadian Dispepsia di Instalasi Gawat
Inap RSUD Cideres Kabupaten Majalengka Tahun 2015. Jurnal Medisina Akper
YPIB. Vol 1 No. 2 : 10 pages
Mansjoer, Arief. 2010. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 4. Jakarta : Media Aesculapius
FKUI
Miwa, H, Ghoshal UC, Gonlachanvit S, et al. 2012. Asian Consensus Report on Functional
Dyspepsia. J Neurogastroenterol Motil.
Murni, Arina Widya. 2011. Plasma Cortisol Levels in Dyspepsia With Psychosomatic
Patients. The 21st World Congress on Psychosomatic Medicine
Muya, Yui, Arina Widya, Rahmatina B. Herman. 2015. Karakteristik Penderita Dispepsia
Fungsional yang Mengalami Kekambuhan di Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUP
Dr. M. Djamil Padang, Sumatera Barat Tahun 2011. Jurnal Kesehatan Andalas.
Vol. 4 No. 2 : 490 – 496
15
Schmidt-Martin, D. & Quigley, E.M.M., 2011. The Definition of Dyspepsia. In: Duvnjak,
M., ed. Dyspepsia in Clinical Practice. New York: Springer, 1- 7.
Setyono, Joko, Agus Prastowo, Saryono. 2006. Karakteristik Penderita Dispepsia di RSUD
Margono Soekarjo Purwokerto. Jurnal Keperawatan Soedirman. Vol. 1 No. 1 : 27 –
31
Suyono, Slamet. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi 4. Jakarta : FKUI
Talley, N.J. & Holtmann, G., 2007. Approach to The Patient with Dyspepsia and Related
Functional Gastrointestinal Complaints. In: Yamada, T., ed. Principles of Clinical
Gastroenterology. USA: Blackwell Publishing.
Talley, N.J., Segal, I., Weltman, M.D., 2008. Gastroenterology and Hepatology: A Clinical
Handbook. ed. Australia: Churchill Livingstone, 42-51.
16