Anda di halaman 1dari 5

Indonesia dan Australia Sepakat Tingkatkan Hubungan Kerjasama

Puguh Hariyanto

Kamis, 15 Februari 2018 - 16:40 WIBKepala Staf Kepresidenan Moeldoko.

JAKARTA - Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko optimistis, hubungan Indonesia dengan


Australia akan terbangun lebih baik ke depannya. Pernyataan itu disampaikan saat menerima
Kuasa Usaha Australia untuk Indonesia, Allaster Cox, di ruang kerja Kepala Staf
Kepresidenan, Bina Graha, Jakarta, Kamis (15/2/2018).

“Hubungan kerja sama antara kedua negara harus dikembangkan lebih baik, tak hanya fokus
pada kerja sama militer dan pertahanan,” kata Moeldoko.

Ditegaskan Moeldoko, Indonesia dan negara-negara kawasan sangat ingin kondisi kawasan
Laut China Selatan berjalan dinamis dan stabil. “Australia perlu Indonesia. Kita punya
kepentingan yang sama di Laut China Selatan, atau yang sekarang kita sebut sebagai Laut
Natuna Utara. Karena itu, kita perlu keadaan yang dinamis dan stabil, bukan dinamis tapi
mengancam,” kata Moeldoko.

Kawasan ini sangat penting dan strategis untuk perdagangan internasional, serta kaya akan
sumber daya alam. Moeldoko memaparkan, saat menjabat Panglima TNI, dirinya memiliki
hubungan yang sangat baik dengan Angkatan Bersenjata maupun Pemerintahan Australia
secara umum. “Saya selalu tegas dalam hal menjaga kedaulatan negara, termasuk terkait
perbatasan,” katanya.

Moeldoko mengenang, sebagai Panglima TNI, dia pernah memperingatkan Malaysia agar
tidak membangun mercusuar di lokasi yang masih masuk ‘grey area’ perbatasan kedua
negara, di Tanjung Datu, perbatasan antara Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, Indonesia,
dan Serawak, Malaysia.

Sementara itu, Allaster Cox mengatakan, sangat penting untuk meningkatkan kinerja kedua
negara, terutama dalam mengatasi bahaya terorisme dan penanganan bencana alam.

Dalam kesempatan ini, Allaster juga menyampaikan undangan pemerintah Australia kepada
Presiden Jokowi untuk menghadiri ASEAN-Australia Summit pada 17-18 Maret mendatang
di Sydney. Konferensi ini merupakan pertemuan pertama antara pemimpin negara-negara
ASEAN dan Australia yang dihelat di Australia. “Acara ini sekaligus secara simbolis akan
menunjukkan hubungan lebih kuat antara Australia dan negara-negara ASEAN, terutama
dalam bidang ekonomi dan perdagangan,” katanya.

Allaster menjelaskan, hubungan antara Indonesia dan Australia sangat dekat, termasuk dalam
kerja sama antar kementerian dan lembaga kedua negara. “Tapi, untuk perdagangan dan
investasi, nilai USD15 Miliar masih sangat kurang. Kita perlu meningkatkan investasi kedua
negara dalam 20 tahun ke depan,” paparnya.
Dia juga menjelaskan, lebih dari 20 ribu pelajar Indonesia menempuh studi di Australia di
bawah program ‘New Colombo Plan’. “Jumlah itu masih bisa ditingkatkan lebih banyak
lagi,” katanya.

Terkait perbatasan kedua negara, Allaster menegaskan, kedua negara telah memiliki
kesepakatan batas yang stabil, mengacu pada Lombok Treaty yang ditandatangani pada 13
November 2006.

Pemerintah Australia juga mengapresiasi kunjungan Presiden Jokowi ke Afghanistan dan


Bangladesh baru-baru ini, terutama tindakan Presiden Jokowi mengunjungi Cox Bazar, dan
tercatat sebagai kepala negara pertama yang datang ke pusat pengungsian warga Rakhine
State itu.

Di akhir pertemuan, Kepala Staf Kepresidenan dan Kuasa Usaha Australia untuk Indonesia
sepakat bahwa kedua lembaga ini, Kantor Staf Presiden dan Kedutaan Besar Australia di
Indonesia, harus menjadi jembatan untuk mengatasi masalah-masalah krusial di antara kedua
negara.
Dubes Iran: Israel Harus Sadar Zaman Telah Berubah
Victor Maulana

Selasa, 13 Februari 2018 - 04:25 WIBDuta Besar Iran untuk Indonesia, Valiollah Mohammadi.

JAKARTA - Iran menyatakan, kegaduhan yang dibuat Israel mengenai peran Iran di Suriah
disebabkan karena Israel kaget dengan reaksi Suriah. Beberapa waktu lalu, militer Suriah
menembak jatuh jet tempur Israel yang melakukan operasi di wilayah Suriah.

Duta Besar Iran untuk Indonesia, Valiollah Mohammadi mengatakan, Israel adalah sebuah
rezim yang sejak era 1960-an kerap membuat berbagai macam peristiwa menyedihkan di
kawasan Timur Tengah, suka melakukan serangan-serangan di berbagai negara Islam,
khususnya negara-negara Arab, dan melakukan pendudukan terhadap negara-negara Arab.

Menurut Mohammadi, salah satu penyebab persoalan utama yang dihadapi negara-negara
Islam dan umat Islam adalah rezim Zionis Israel. Bertahun-tahun rezim Zionis Israel
melakukan penyerangan terhadap negara-negara Muslim.

"Mereka menduduki negara-negara Muslim, dan tidak pernah mendapatkan reaksi apapun.
Sampai pada peristiwa yang terjadi di Suriah memberikan reaksi dan membalas serangan
yang dilakukan oleh rezim Israel terhadap kawasannya," ucap Mohammadi.

"Setelah rezim Zionis Israel melihat adanya balasan, Israel menuduh bahwa pesawatnya
dijatuhkann atas kerjasama Suriah dan Iran. Kali ini berbeda dengan yang sebelumnya, di
mana Israel hanya menyerang dan pesawat-pesawatnya kembali ke wilayah pendudukan
dengan selamat. Tapi kali ini berbeda, pesawat mereka dijatuhkan oleh Suriah, tentu
mereka tidak senang dengan keadaan ini. Maka oleh sebab itu mereka membuat ini menjadi
sangat ramai," sambungnya.

Mohammadi menambahkan, Israel harusnya sudah sadar bahwa saat ini zaman telah
berubah. Menurutnya, kini tidak akan ada negara yang diam saat diganggu oleh negara lain.

"Tentu mereka tidak senang pesawatnya dijatuhkan, tapi ini reaksi dari negara-negara Islam.
Israel sekarang harus sadar bahwa zaman sudah berubah. Mereka tidak bisa lagi melakukan
serangan terhadap negara-negara Islam dan kembali ke daerah pendudukan dengan
selamat," tukasnya.
Jadikan Asia Tenggara Basis Terorisme, 6 Negara Bentuk Our Eyes
Sucipto

Kamis, 15 Februari 2018 - 13:21 WIB

JAKARTA - Enam negara-negara di Asia Tenggara meliputi Indonesia, Malaysia, Brunai


Darussalam, Filiphina, Thailand, dan Singapura sepakat membangun kerja sama keamanan
guna mengantisipasi ancaman terorisme, radikalisme, dan ekstremisme.

"Menyadari pentingnya pertukaran informasi yang strategis di antara menteri pertahanan,


maka kami membentuk program kerja sama keamanan bernama Our Eyes. Ini nantinya
memberikan perhatian terhadap masalah terorisme radikalisme, kejahatan ekstremis," ujar
Menteri Pertahanan (Menhan) Ryamizard Ryacudu, Kamis (15/2/2018).

Menurut Ryamizard, keenam negara ini berkomitmen untuk mempromosikan perdamaian,


stabilitas keamanan dan kesejahteraan di kawasan. "Kami akan mendorong kerja sama yang
lebih kuat terhadap pertukaran informasi yang strategis," ucapnya.
Terkait kerja sama ini, beberapa negara seperti Amerika Serikat, China, Jepang, dan Korea
Selatan tertarik untuk bergabung dan ikut terlibat dalam pertukaran informasi strategis
tersebut.

"Semula Indonesia, Malaysia dan Filiphina membentuk kerja sama pengamanan maritim.
Singapura, Thailand dan Brunai awalnya sebagai observer, setelah launching di bali
ketiganya bergabung. Bahkan kerja sama ini juga diminati Amerika, Jepang, China dan
Korea," ujar Kabid Pemberitaan Puskom Publik Kemhan Kolonel Heru Prayitno.

Paska runtuhnya organisasi terorime Al Qaida dan Islamic State Iraq and Syiria (ISIS), kata
Heru, ada indikasi mereka akan membangun basis baru di Asia Tenggara. "Setelah Al Qaida
dan ISIS bubar ada indikasi mereka buat home base baru di Asia Tenggara, yang kebetulan
banyak penduduk muslimnya, di mana mereka berharap bisa berbaur dengan penduduk,"
katanya.

Hal itu dibuktikan dengan peristiwa di Marawi, Filiphina, beberapa waktu lalu. Menurut
Heru, atas dasar inilah, negara-negara di Asia Tenggara meresponsnya dengan melakukan
kerja sama ini. "Kita perlu mewaspadai limpahan ISIS dari Suriah yang ingin
mengembangkan terorisme. Enam negara ini sepakat radikalisme, terorisme, harus ditangani
secara khusus," ucapnya.
Kunjungan Jokowi ke India Selaras dengan Visi Poros Maritim Dunia
Sucipto

Jum'at, 26 Januari 2018 - 13:43 WIB

JAKARTA - Kunjungan Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke India dan beberapa negara Asia
Selatan selaras dengan visi Poros Maritim Dunia.

Pengamat militer dan intelijen Susaningtyas NH Kertapati mengatakan, Indonesia sangat


berkepentingan dengan Samudera Hindia dan Samudera Pasifik.

Menurut dia, sudah banyak kerja sama Indonesia dengan negara-negara di kawasan Samudera
Pasifik. "Kini tiba saatnya perhatian Indonesia kepada negara-negara di kawasan Samudera
Hindia," kata wanita yang biasa disapa Nuning ini, Jumat (26/01/2018).

Dosen Universitas Pertahanan (Unhan) ini mengatakan, kebijakan luar negeri Indonesia
untuk meningkatkan kerja sama dengan negara-negara Asia Selatan merupakan agenda
prioritas Indonesia dalam kerangka Indian Ocean Rim Association (IORA).

"Penting bagi Indonesia memosisikan diri sebagai penghubung Samudera Hindia dan
Samudera Pasifik mengingat perairan Indonesia menjadi jalur laut lalu lintas perdagangan
dunia," tuturnya.

Mantan anggota Komisi I DPR ini menambahkan, khusus India sebagai major power di
kawasan Samudera Hindia, maka kemitraan Indonesia juga dapat ditujukan untuk
mengimbangi kebijakan maritim India yang meningkat dari yang semula Look East Policy
menjadi Act East Policy.

"Penting bagi Indonesia menunjukkan peran sentralnya di ASEAN untuk bisa mengimbangi
kebijakan maritim India tersebut dengan kebijakan Poros Maritim Dunia," katanya.

Menurut dia, kepentingan nasional Indonesia atas Samudera Hindia juga dapat diarahkan
untuk melihat peluang memanfaatkan program yang digagas Cina dengan the Belt and Road
Initiatives (BRI).

"Indonesia perlu berdialog dengan mitranya di kawasan Samudera Hindia untuk memastikan
bahwa program BRI Cina tidak berseberangan dengan upaya-upaya meningkatan ketahanan
regional," katanya.

Anda mungkin juga menyukai