Anda di halaman 1dari 35

REFLEKSI KASUS

ASA 2 OBESITAS DAN ASMA PADA APENDISITIS

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Kepaniteraan Klinik


Bagian Anestesi Di RSUD Panembahan Senopati Bantul

Oleh :
Atika Puspa Irawati 20174011096

Diajukan kepada :
dr. Dedy Hartono, Sp.An

KSM ILMU ANESTESI DAN TERAPI INTENSIF


RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik


di Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif RSUD Panembahan Senopati Bantul

Disusun oleh:

Atika Puspa Irawati

Telah dipresentasikan dan disetujui pada:

April 2019

Mengetahui

Dosen Pembimbing Klinik

dr. Dedy Hartono, Sp.


REFLEKSI KASUS

A. Rangkuman kasus

Pasien Perempuan (40 th) datang ke poli bedah dengan keluhan sakit perut
kanan bawah sudah sejak 3 hari yang lalu, sebelumnya pasien pernah sakit serupa
kurang lebih 2 minggu sebelumnya, kemudian 1 minggu berikutnya membaik, keluhan
hilang, kemudian timbul lagi 3 hari yang lalu. Pasien mengeluh mual, tapi tidak sampai
muntah, BAK normal, BAB normal lancar. Riwayat penyakit dahulu : pasien
mengatakan pernah mengalami keluhan serupa. Selain itu pasien memiliki riwayat
asma, terakhir kambuh 1 tahun yang lalu, riw. Hipertensi (-), DM (-).

Pemeriksaan Fisik :
Keadaan umum : baik
Kesadaran : compos mentis
BB : 80 kg
TB : 154 cm
BMI : 33,73 kg/m2
Vital sign
Tekanan darah :120/70 mmHg
Nadi : 78 kali/menit
Nafas : 18 kali/menit
Suhu : 36,4°C
VAS score :3
Buka Mulut : 3 jari
Jarak Thyromental : > 6,5 cm
Mallampati : II

Kepala : Normocephal.
Mata : Konjungtiva anemis -/-, Sklera ikterik -/-
Thoraks : Bentuk dan gerak simetris
Paru : SDV +/+; Rh -/-; Wh -/-
Jantung : S1S2 reguler, bising jantung (-)
Abdomen : Supel, Peritaltik (+), Nyeri tekan (+) region inguinalis dextra
(titik Mc. Burney), lien tidak teraba, hepar tidak teraba,
Rovsing Sign (+), Psoas Sign(-), Obturator Sign (-) defans
muscular (-).
Ekstremitas : akral hangat, CRT <2 detik, edema (-/-/-/-)

Pemeriksaan Laboratorium
Darah Rutin
Hb : 11,4 [12 - 16] g%
AL : 9,01 [4 - 10] ribu/ul
AE : 4,99 [4 - 5] ribu/ul
AT : 364 [150 - 450] ribu/ul
HMT : 37,2 [36 - 46] %
Eosinofil :3 [2 - 4] %
Basofil :0 [0 - 1] %
Batang :0 [2 - 5] %
Segmen : 69 [51 - 67] %
Limfosit : 21 [20 - 35] %
Monosit :7 [4 - 8] %
Kimia Darah
GDS : 95 [<200] mg/dl
Ureum : 19 [17 - 43] mg/dl
Kreatin : 0,77 [0,6 – 1,1] mg/dl
Natrium : 137,5 [137,0 – 145] mmol/l
Kalium : 3,70 [3,50 – 5,10] mmol/l
Klorida : 110,8 [98,0 – 107,0] mmol/l
Hemostasis
PPT : 12,7 [12,0-16,0] detik
APTT : 33,4 [28,0-38,0] detik

Pemeriksaan Penunjang
Ro Thorax:
Cor dan Pulmo dalam batas normal
EKG:
Normal Sinus Rhythm
Appendicografi:
Non-filling appendix, menyokong appendicitis.

Hasil dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang didapatkan diagnosis


Appendicitis. Pasien direncanakan operasi tanggal 18 April 2019 kemudian
dipuasakan sejak jam 12 malam pre operasi dan dipasang IV line. Pasien dianestesi
dengan teknik general anestesi dengan Laryngeal Mask Airway (LMA), dengan obat
pre medikasi adalah midazolam 2,5 mg dan fentanyl 75 mcg, dengan obat induksi
propofol 100 mg, dengan pemeliharaan O2, N2O, dan Sevoflurance. Serta cairan dan
obat yang diberikan secara intravena selama operasi berlangsung adalah infus ringer
laktat, roculax 10 mg, paracetamol 1 gram, dan ondansentron 4 mg.

B. Perasaan Terhadap Pengalaman


Pada kasus seperti diatas, saya tertarik untuk mengetahui bagaimana
manajemen anesthesia perioperative, intraoperative, dan postoperative pada pasien
dengan obesitas dan asma?

C. Analisis

1. Apendisitis
Apendisitis adalah peradangan pada usus buntu (apeniks). Peradangan ini
menyebabkan apendiks menjadi bengkak, rapuh, sampai dapat menyebabkan
gangren karena pasokan darahnya terganggu. Apendiks juga bisa pecah; ini
biasanya terjadi antara 36 dan 48 jam setelah timbulnya gejala (Corwin, 2008).

a. Etiologi
Obstruksi lumen merupakan penyebab utama apendisitis. Fekalit
merupakan penyebab tersering dari obstruksi apendiks. Penyebab lainnya
adalah hipertrofi jaringan limfoid, sisa barium dari pemeriksaan roentgen, diet
rendah serat, dan cacing usus termasuk ascaris. Trauma tumpul atau trauma
karena colonoscopy dapat mencetuskan inflamasi pada apendiks. Post operasi
apendisitis juga dapat menjadi penyebab akibat adanya trauma atau stasis fekal.
Frekuensi obstruksi meningkat dengan memberatnya proses inflamasi. Fekalit
ditemukan pada 40% dari kasus apendisitis akut, sekitar 65% merupakan
apendisitis gangrenous tanpa rupture dan sekitar 90% kasus apendisitis
gangrenous dengan rupture (De Jong, 2004).

Penyebab lain yang diduga dapat menyebabkan apendisitis adalah erosi


mukosa apendiks karena parasit seperti E. Histolytica. Penelitian epidemiologi
menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan pengaruh
konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi akan meningkatkan
tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan
meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya akan
mempermudah terjadinya apendisits (De Jong, 2004).

b. Patofisiologi
Obstruksi lumen adalah penyebab utama pada Appendicitis acuta. Fecalith
merupakan penyebab umum obstruksi Appendix, yaitu sekitar 20% pada anak
dengan Appendicitis akut dan 30-40% pada anak dengan perforasi Appendix.
Penyebab yang lebih jarang adalah hiperplasia jaringan limfoid di sub mukosa
Appendix, barium yang mengering pada pemeriksaan sinar X, biji-bijian,
gallstone, cacing usus terutama Oxyuris vermicularis. Reaksi jaringan limfatik,
baik lokal maupun generalisata, dapat disebabkan oleh infeksi Yersinia,
Salmonella, dan Shigella; atau akibat invasi parasit seperti Entamoeba,
Strongyloides, Enterobius vermicularis, Schistosoma, atau Ascaris.
Appendicitis juga dapat diakibatkan oleh infeksi virus enterik atau sistemik,
seperti measles, chicken pox, dan cytomegalovirus. Insidensi Appendicitis juga
meningkat pada pasien dengan cystic fibrosis. Hal tersebut terjadi karena
perubahan pada kelenjar yang mensekresi mukus. Obstruksi Appendix juga
dapat terjadi akibat tumor carcinoid, khususnya jika tumor berlokasi di 1/3
proksimal. Selama lebih dari 200 tahun, corpus alienum seperti pin, biji sayuran,
dan batu cherry dilibatkan dalam terjadinya Appendicitis. Faktor lain yang
mempengaruhi terjadinya Appendicitis adalah trauma, stress psikologis dan
herediter (Ellis, 2010).
Frekuensi obstruksi meningkat sejalan dengan keparahan proses inflamasi.
Fecalith ditemukan pada 40% kasus Appendicitis acuta sederhana, sekitar 65%
pada kasus Appendicitis gangrenosa tanpa perforasi, dan 90% pada kasus
Appendicitis acut gangrenosa dengan perforasi (Soybel, 2000).

Gambar 1. Apendisitis dengan Fecalith


(Prinz, 2001)
Obstruksi lumen akibat adanya sumbatan pada bagian proksimal dan
sekresi normal mukosa Appendix segera menyebabkan distensi. Kapasitas
lumen pada Appendix normal 0,1 mL. Sekresi sekitar 0,5 mL pada distal
sumbatan meningkatkan tekanan intraluminal sekitar 60 cmH2O. Distensi
merangsang akhiran serabut saraf aferen nyeri visceral, mengakibatkan nyeri
yang samar-samar, nyeri difus pada perut tengah atau di bawah epigastrium.
Distensi berlanjut tidak hanya dari sekresi mukosa, tetapi juga dari pertumbuhan
bakteri yang cepat di Appendix. Sejalan dengan peningkatan tekanan organ
melebihi tekanan vena, aliran kapiler dan vena terhambat menyebabkan
kongesti vaskular. Akan tetapi aliran arteriol tidak terhambat. Distensi biasanya
menimbulkan refleks mual, muntah, dan nyeri yang lebih nyata. Proses
inflamasi segera melibatkan serosa Appendix dan peritoneum parietal pada
regio ini, mengakibatkan perpindahan nyeri yang khas ke RLQ (Ellis, 2010).

Mukosa gastrointestinal termasuk Appendix, sangat rentan terhadap


kekurangan suplai darah. Dengan bertambahnya distensi yang melampaui
tekanan arteriol, daerah dengan suplai darah yang paling sedikit akan
mengalami kerusakan paling parah (Jaffe, 2005).
2. Asma

a. Definisi
Menurut GINA (Global Initiative for Asma) asma didefinisikan sebagai
gangguan inflamasi kronik saluran napas respiratorik dengan banyak sel yang
berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Pada orang yang rentan
inflamasi ini menyebabkan episode wheezing berulang, sesak napas, rasa dada
tertekan, dan batuk, khususnya malam hari atau dini hari. Gejala ini biasanya
berhubungan dengan penyempitan saluran respiratorik yang luas namun
bervariasi, yang paling tidak sebagian bersifat reversibel baik secara spontan
maupun dengan pengobatan. Inflamasi ini juga berhubungan dengan
hiperaktivitas saluran respiratorik terhadap berbagai rangsangan (GINA,
2018).

b. Patofisiologi
Pathofisiologi asma melibatkan pelepasan mediator kimiawi ke jalan
napas dan mungkin pula adanya aktivitas yang berlebihan dari sistem saraf
parasimpatis. Substansi yang terhirup dapat menimbulkan bronkospasme
melalui respon imun spencifik dan non spencifik oleh daya degranulai sel mast
bronkial. Pada asma alergi yang klasik antigen berikatan dengan Ig E di
permukaan sel mast dan menyebabkan degranulasi, bronkokontriksi
merupakan hasil dari pelepasan histamin berikutnya : bradiknin; leukotrien C,
D, dan E; platelet activating-factor, prostaglandin (PG), PGE2, PGF2 alfa, dan
PGD2; dan factor netrofil eosinofil kemotaktik.2 Sedikitnya ada 2 jenis T-
helper (Th), limpfosit subtipe CD4+ telah dikenal profilnya dalam produksi
sitokin. Meskipun kedua jenis lifosit T mensekresi IL-3 dan granulocyte-
macrophage colony-stimulating factor (GM-CSF), Th1 terutama memproduksi
IL-2, IF-γ dan TNF-β. Sedangkan Th2 terutama memprodusi sitokin yang
terlibat dalam asma, yaitu IL-4, IL-5, IL-9, IL-13, dan IL-16. Sitokin yang
dihasilkan oleh Th2 bertanggung jawab atas terjadinya reaksi hipersensivitas
tipe lambat maupun yang cell mediated. Langkah pertama terbentuknya respon
imun adalah aktivasi limfosit T oleh antigen yang dipresentasikan oleh sel-sel
aksesoris yaitu suatu proses yang melibatkan molekul MHC/major
histocompatibility complex (MHC kelas II pada sel T CD4+ dan MHC kelas I
pada ael T CD8+). Sel dendritik adalah merupakan antigen presenting cell
yang utama dalam saluran napas. Sel dendritik terbentuk perkusornya didalam
sumsum tulang dan membentuk jaringan luas dan sel-selnya saling
berhubungan pada epitel saluran respiratorik. Kemudian sel-sel tersebut
bermigrasi kekumpulan sel-sel limfoid dibawah pengaruh GM-CSF yaitu
sitokin yang terbentuk oleh aktivitas sel epitel, fibroblas, sel T, makrofag dan
sel mast. Setelah antigen ditangkap, sel dendritik berpindah menuju daerah
yang banyak mengandung limfosit. Dengan pengaruh sitokin-sitokin lainnya,
sel dendritik menjadi matang sebagai antigen presenting cell (APC) yang
efektif. Sel dendritik juga mendorong polarisasi sel T naive-Th0 menuju Th2
yang mengkoordinasi sekresi sitokin-sitokin yang termasuk pada klaster
kromosom 5q31-33 (IL-4 genecluster) (Lenfant, 2002).
Penyempitan saluran respiratorik pada asma dipengaruhi oleh banyak
faktor. Penyebab utama penyempitan saluran respiratorik adalah kontraksi otot
polos bronkus yang diprovokasi oleh pelepasan agonis dari sel-sel inflamasi.
Yang termasuk agonis adalah histamin, triptase, prostaglandin D2 dan
leukotrien C4 dari sel mast, neuropepetida dari saraf aferen setempat dan
asetilkolin dari saraf postganglionik. Kontraksi otot polos saluran respirtorik
diperkuat oleh penebalan dinding saluran napas akibat edema akut, infiltrasi
sel-sel inflamasi dan remondeling, hiperplasia dan hipertropi kronis otot polos,
vaskuler dan sel-sel sekretori serta deposisi matrik pada diding saluran
respiratorik. Selain itu hambatan saluran respiratorik juga bertambah akibat
produksi sekret yang banyak, kental, dan lengket oleh sel goblet dan kelenjar
submukosa, protein plasma yang keluar melalui mikrovaskuler bronkus dan
debris seluler (Bouquet, et al., 2000).
Sistim saraf parasimpatik memainkan peran penting dalam menjaga
tonus normal bronkial. Aktifasi reflek vagal terjadi pada bronkokontriksi yang
dimediasi oleh peningkatan siklik guanosin monofosfat intraseluler (cGMP)
(Morgan, 2006).
Gambar 2. Patogenensis Asma

Gambar 3. Bronkus normal dan bronkus asmatik

c. Etiologi Asma
- Herediter
- Kebiasaan : polusi udara, stress, makanan
- Alergi : rokok, udara dingin, anjing, kucing, debu
- Obat : obat nyeri seperti NSAID

d. Gejala dan tanda asma


- Mengi saat ekspirasi
- Batu berat pada malam hari dada sesak yang terjadi berulang dan nafas
tersengal-sengal.
- Hambatan pernafasan yang reversibel secara bervariasi selama siang hari.
- Adanya peningkatan gejala pada saat olah raga, infeksi virus, paparan
terhadap alergan, dan peruahan musim.
- Terbangun malam hari dengan gejala tersebut diatas.

e. Klasifikasi Asma
Berdasarkan etiologi:
- Asma intrinsik
Asma yang tidak disebabkan oleh faktor lingkungan.
- Asma ekstrinsik
Penyakit asma yang berhubungan dengan atopi, predisposisi genetik yang
berhubungan dengan IgE sel mast dan respon eosinofil terhadap alergan.

Ditinjau dari berat ringannya penyakit:


DERAJAT GEJALA GEJALA FUNGSI
ASMA MALAM PARU
INTERMITEN  Gejala < 1x/minggu < 2 kali sebulan VEP1 atau
Mingguan  Tanpa gejala di luar APE > 80%
serangan
 Serangan singkat
 Fungsi paru asimtomatik
dan normal di luar
serangan.
PERSISTEN  Gejala > 1x/minggu tapi < > 2 kali VEP1 atau
RINGAN 1x/hari seminggu APE > 80%
Mingguan  Serangan dapat normal
mengganggu aktivitas dan
tidur.
PERSISTEN  Gejala harian > sekali VEP1 atau
SEDANG seminggu APE > 60%
Harian  Menggunakan obat setiap tetapi < 80%
hari normal
 Serangan mengganggu
aktivitas dan tidur
 Serangan 2x/minggu, bisa
berhari – hari
PERSISTEN  Gejala terus menerus Sering VEP1 atau
BERAT  Aktivitas fisik terbatas APE < 80%
Kontinu  Sering serangan normal

(PDPI, 2004)

Ditinjau Dari Gejala Klinis (PDPI, 2004):


1. Serangan asma ringan : dengan gejala batuk, mengi dan kadang-kadang
sesak, Sa O2 95% udara ruangan, PEFR lebih dari 200 liter per menit, FEV1
lebih dari 2 liter, sesak nafas dapat dikontrol dengan bronkodilator dan faktor
pencetus dapat dikurangi, dan penderita tidak terganggu melakukan aktivitas
normal sehari-hari.
2. Serangan asma sedang : dengan gejala batuk, mengi dan sesak nafas
walaupun timbulnya periodik, retraksi interkostal dan suprasternal, SaO2 92-
95% udara ruangan, PEFR antara 80-200 liter per menit, FEV1 antara 1-2
liter, sesak nafas kadang mengganggu aktivitas normal sehari-hari.
3. Serangan asma berat : dengan gejala sesak nafas telah mengganggu
aktivitas sehari-hari secara serius, disertai kesulitan untuk berbicara dan atau
kesulitan untuk makan, bahkan dapat terjadi serangan asma yang
mengancam jiwa yang dikenal dengan status asmatikus. Asma berat bila
SaO2 91%, PEFR 80 liter per menit, FEV1 0,75 liter dan terdapat tanda-tanda
obstruksi jalan nafas berat seperti pernafasan cuping hidung, retraksi
interkostal dan suprasternal, pulsus paradoskus 20 mmHg, berkurang atau
hilangnya suara nafas dan mengi ekspirasi yang jelas.

f. Terapi
- Non Farmakologi yaitu melalui pencegahan
- Farmakologi dengan menggunakan obat
 Short acting β2 agonsts (salbutamol, terbutalin)
 Antikolinergik
 Kortikosteroid

g. Penanganan Anestesi Preoperatif


1) Evaluasi Preoperatif
Evalusi pasien asma sebelum tindakan anestesi dan pembedahan sangat
penting untuk mencegah ataupun mengendalikan kejadian asma attack, baik
intraoperatif maupun postoperatif. Maka diperlukan evaluasi yang meliputi
riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, laboratorium, pemeriksaan fungsi paru-
paru, dan analisa gas darah, foto rontgen thorax (Bouquet, et al.,2000).

- Riwayat Penyakit
Pasien dapat asimptomatik pada saat evaluasi. Namun, petunjuk utama
untuk penyakit parah antara lain adanya riwayat eksaserbasi yang sering,
kunjungan ke rumah sakit, dan, yang paling penting, intubasi trakea
sebelumnya dan ventilasi mekanik untuk menghadapi serangan hebat.
Harus digali juga mengenai agen pemicu bagi pasien yang paling sering
mencetuskan serangan asmanya. Jenis, dosis, frekuensi, dan tingkat
manfaat terapi memberikan petunjuk penting untuk tingkat keparahan
dan pengendalian penyakit. Infeksi pernapasan, termasuk infeksi sinus,
dapat memicu serangan asma; dengan demikian, demam, perubahan
batuk atau dahak, dan bukti lain infeksi saluran pernapasan harus
menjadi perhatian. Hipereaktivitas jalan napas dapat bertahan selama
beberapa minggu setelah resolusi gejala infeksi. Menariknya,
bagaimanapun, sebuah studi retrospektif yang sering dikutip tidak
menemukan peningkatan kejadian intraoperatif bronkospasme pada
pasien asma dengan infeksi pernapasan atas baru-baru ini (Woods and
Sladen, 2009).
- Pemeriksaan Fisik
Tanda-tanda serangan asma tergantung dari derajat obstruksi jalan napas
yang terjadi. Dapat dilihat dari inspeksi penderita tampak sesak,
sianosis, ekspirasi memanjang, Palpasi takikardi. Perkusi hipersonor,
auskultasi whezing, ronchi (Karnen, 1999). Tanda-tanda serangan asma
berat meliputi penggunaan otot-otot pernapasan tambahan, tidak mampu
berhenti napas pada saat bicara, sianosis, sedikit atau tidak ada whezing
(jalan napas tertutup, sedikit gerakan udara, dan whezing menurun)
(Oberoi and Phillip, 2000).
- Pemeriksaan Laboratorium
Pada asma eosinofil total dalam darah sering meningkat. Jumlah
eosinofil ini selain untuk menilai cukup tidaknya dosis terapi
kortikosteroid dan dapat juga untuk membedakan asma dengan
bronchitis kronis. Pada pemeriksaan sputum selain didapatkan eosinofil,
juga dapat ditemukan adanya kristal charcat leyden, spiral churschman
dan mungkin juga miselium aspergilus fumigates (Karnen, 1999).
- Pemeriksaan Rontgen Thorax
Pada umumnya hasil normal atau hiperinflasi. Pemeriksaan tersebut
umumnya dilakukan bila ada kecurigaan adanya proses patologi diparu
atau adanya komplikasi asma seperti pneumothorax,
pneumomediastinum, atelektasis, pneumonia. Kadang didapatkan
gambaran air trapping, diafragma datar karena hiperinflasi, jantung
mengecil dan lapang paru yang hiperluscen (Oberoi dan Phillip, 2000).
- Pemeriksaan Fungsi Paru (Spirometri)
- Untuk mengetahui kondisi klinis pasien asma perlu dilakukan
pengukuran aliran udara ekspirasi yaitu volum ekspirasi paksa detik
pertama (FEV1) dan arus puncak ekspirasi (PEFR). Lebih bagus lagi bila
dibandingkan dengan hasil pengukuran sebelumnya. Normalnya nilai
volum ekspirasi paksa (FEV1) untuk laki-laki adalah lebih dari 3 liter
dan lebih 2 liter untuk wanita. Nilai normal arus puncak ekspirasi
(PEFR) adalah lebih dari 200 L/.mnt ( pada laki-laki dewasa muda lebih
dari 500 L/mnt). Nilai PEFR kurang dari 200 L/mnt pada pria ( < 150
L/mnt pada wanita) menunjukkan gangguan efektivitas batuk dan akan
meningkatkan komplikasi pasca bedah. Hasil FEV1 atau PEFR < 50%
menunjukan asma sedang sampai berat. Nilai PEFR < 120 l/mnt atau
FEV1 1 liter menujukan obstruksi berat. Pemeriksaan ini penting
dilakukan karena sering terjadi ketidaksesuaian gambaran klinis asma
dengan fungsi paru. Penderita yang baru sembuh dari serangan akut atau
penderita asma kronik sering tidak mengeluh, tetapi setelah diperiksa
ternyata obstruksi saluran napas. Pemeriksaan ini diindikasikan pada
pasien-pasien yang menderita penyakit paru-paru sedang sampai berat
yang menjalani operasi yang berdampak pada sistem
respirasi.Pemeriksaan ini juga dapat memprediksi terhadap resiko
komplikasi paru postoperatif dan memprediksi kebutuhan bantuan
ventilasi dan respon pengobatan (Bronkodilator) (Morgan, 2006).
- Pemeriksaan Analisa gas darah
Pemeriksaaan analisa gas darah biasanya dilakukan pada penderita
dengan serangan asma yang berat. Keadaaan ini bisa terjadi hipoksemia,
hiperkapnia, dan asidosis respiratorik. Kondisi yang berat akan
meningkatkan resiko komplikasi paru-paru (Karnen, 1999).
- Fisioterapi dada.
Merupakan istilah umum yang dipakai untuk membersihkan jalan napas.
Indikasi fisoterapi dada dapat akut dan sebagai profilaksis. Keadaan akut
untuk dilakukan fisioterapi adalah pada pasien- pasien dengan retensi
sputum yang berlebihan atau abnormal akibat batuk yang terus menerus
atau pada pasien yang batuknya sangat lemah (Mulyono, 2000).

2) Pengelolaan preoperatif

Langkah pertama persiapan penderita dengan gangguan pernapasan


yang menjalani pembedahan adalah menentukan reversibilitas kelainan.
Proses obstruksi yang reversible adalah bronkospasme, sekresi terkumpul
dan proses inflamasi jalan napas. Obstruksi yang tidak reversible dengan
bronkodilator misalnya adalah empisema, tumor (Mulyono, 2000).

Pasien dengan bronkospasme yang frekuen harus diobati dengan


preparat bronkodilator yang berisi β-adenergik agonis, dosis terapi teopilin
dan kortikosteroid (Morgan, 2006). Pada pasien dengan serangan asma
balans cairan dan elektrolit perlu dipelihara, pada kondisi ini pasien sering
mengalami dehidrasi (Oberoi dan Phillip, 2000).

Terapi medis
Preparat yang digunakan untuk asma adalah sebagai berikut :
a) Simpatomimetik, atau beta 2 adrenergik agonis, menyebabkan
bronkodilatasi melalui relaksasi otot polos yang diperantarai oleh Cyclic
adenosine monophosphate (cAMP). Obat-obat ini juga menghambat
antihistamin dan juga neurotransmiter kolinergik (Mulyono, 2000). Obat
dengan selective beta 2 adrenergik. Misalnya albuterol(ventolin) 2 puffs
atau lebih dengan MDI setiap 3-4 jam atau 0,5mL/2mL salin setiap 4-6
jam. Salmeterol(serevent) 2 puff dengan MDI setiap 12 jam dan
metaproterenol(Alupent) 2 atau lebih puffs dengan MDI setiap 3-4 jam
atau 0,5mL/2mL salin setiap 4-6 jam. Pasien-pasien yang menggunakan
terapi β-bloker hendaknya β bloker yang tidak menimbulkan spasme
bronkus seperti atenolol atsumetropolol atau esmolol (Mulyono, 2000).
Obat dengan campuran beta 1 dan beta 2 adrenergik meliputi epinefrin
(adrenalin) dan isoproteronol. Potensi kronotropik dan aritmogenik
obat-obat ini perlu diperhatikan pada pasien dengan penyakit jantung.
Pemberian intervena dosis kecil epinefrin (1g/mt) dipertimbangkan
pada pasien bronkospasme. Pada dosis 0,25-1g/mt efek agonis beta 2
dominan, dengan meningkatkan denyut jantung akibat stimulasi betal
adrenergik. Pada dosis tinggi epinefrin, efek alfa adrenergic menjadi
dominan, dengan peningkatan tekanan darah sistemik.
b) Parasimpatolitik
Mempunyai efek bronkodilatasi langsung dengan memblok kerja
asetilkolin pada second messenger seperti cGMP. Obat-obat ini
meningkatkan FEV1 pada pasien PPOK bila diberikan secara inhalasi.
 Ipratropium bromide, merupakan obat aksi singkat yang
diberikan dengan inhaler dosis terukur atau dengan nebulizer.
 Sulfas atropine, 0,2-0,8 mg perlu diprtimbangkan karena dapat
menyebabkan takikardi.
c) Metilxantin
Menyebabkan bronkodilatasi melalui hambatan fosfodiesterase, suatu
enzim yang bertanggung jawab pada pemecahan cAMP. Efek pulmoner
obat ini lebih komplek termasuk pelepasan katekolamin, blockade
pelepasan histamine, dan stimulasi diafragma. Teofilin kerja panjang
peroral digunakan pada pasien dengan gejala nocturnal. Namun
sayangya teofilin memiliki terapi range yang sempit, level terapi dalam
darah sekitar 10-20g/ml. level yang lebih rendah mungkin efektif.
Aminofilin merupakan satu-satu yang dapat diberikan secara intravena
(Woods, and Sladen, 2009).
d) Kortikosteroid diberikan pada pasien yang tidak berespon terhadap
bronkodilator. Mekanisme kerjanya kemungkinan dengan menurunkan
inflamasi, edema, sekresi mukosa, kontriksi otot polos, stabilisasi
membran mast sel. Meskipun sangat berguna pada eksaserbasi akut, efek
klinisnya membutuhkan waktu beberapa jam. Steroid dapat diberikan
melalui inhalasi. Steroid intravena yang sering digunakan meliputi
hidrokortisone 100 mg tiap 8 jam dan metilpredisolon 0,5 mg/kg setiap
6 jam pada asma bronkiale dan dosis lebih besar pada eksaserbasi asma
berat. Kortikosteroid dapat meningkatkan efek langsung pada otot polos,
kortikosteroid juga meningkatkan jumlah reseptor beta 2 adrenergik dan
responnya terhadap agonis beta 2 adrenergik (Woods and Sladen, 2009).
3) Premedikasi
Tujuan utama untuk menghilangkan cemas, meminimalkan reflek
bronkonstriksi terhadap iritasi jalan nafas.
a) Beberapa jam sebelum operasi sedasi yang diinginkan pada pasien asma
dapat diberikan untuk operasi elektif pada pasien terutama penyakit yang
memiliki komponen emosional. Secara umum, benzodiazepin adalah
agen yang paling aman untuk premedication. Sedatif (Benzodiazepin)
adalah efektif untuk anxiolitik tetapi pada pasien dengan asma berat
dapat menyebabkan depresi pernapasan. Sedasi ini penting diberikan
pada pasien dengan riwayat asma yang dipicu oleh emosional.
b) Narcotik(Opioid). Penggunaan sebagai analgesia dan sedasi sebaiknya
dipilih yang tidak mempunyai efek pelepasan histamin misalnya
fentanil, sufentanil (Gal, 2002).
c) Agen antikolinergik tidak diberikan kecuali pemberian dilakukan jika
terdapat sekresi berlebihan atau penggunaan ketamin sebagai agen
induksi. Antikolinergik tidak efektif untuk mencegah reflek
bronkospasme oleh karena tindakan intubasi (Morgan, 2006).
d) H2 antagonis (Cimetidin, Ranitidin) penggunaan agen pemblok H2
secara teori dapat mengganggu, karena aktivasi reseptor H2 secara
normal akan menyebabkan bronkodilatasi dengan adanya pelepasan
histamin, aktivitas H1 yang tanpa hambatan dengan blokade H2 dapat
menimbulkan bronkokonstriksi (Morgan, 2006).
e) Pada pasien asma yang sudah menggunakan bronkodilator inhaler atau
kortikosteroid inhler obat-obat ini perlu dibawa masuk ke ruang operasi.
Dianjurkan pemberian kortikosteroid parenteral (Methilprednisolon 40-
80 mg) 1-2 jam sebelum induksi anestesi (Stoelting, 1999).
f) Pada penderita asma intubasi dapat diberikan lidocain 1-1,5 mg/kgBB
atau Fentanyl 1-2 mcg/kgBB dapat menurunkan reaktifitas laring
terhadap ETT (Woods and Sladen, 2009).

h. Penanganan Anestesi Intraoperatif


1) Regional Anestesi

Spinal anestesi atau epidural adalah pilihan pada pembedah


ektrimitas bawah. Pada pasien asma pernapasannya tergantung pada
penggunaan otot-otot tambahan (intercostal untuk inspirasi, otot perut untuk
ekspirasi paksa). Spinal anestesi dapat memperburuk kondisi jika hambatan
motorik menurunkan FRC, mengurangi kemampuan untuk batuk dan
membersihkan lendir atau memicu gangguan respirasi atau bahkan terjadi
gagal napas. Spinal tinggi atau epidural anestesi dapat memperburuk
bronkokontriksi karena terhambatnya tonus simpatis pada jalan napas bawah
(T1-T4) dan menyebabkan aktifitas parasimpatis tidak terhambat. Kombinasi
tehnik epidural dan anestesi umum dapat menjamin kontrol jalan napas,
ventilasi adekuat, dapat mencegah hypoxemia dan atelectasi. Pada prosedur
pembedahan perifer yang panjang sebaiknya dilakukan dengan general
anestesi. Faktor-faktor penting yang menghalangi keberhasilan penggunaan
regional anestesi seperti pasien tidak tahan berbaring lama dimeja operasi
dalam waktu lama, batuk spontan dan tidak terkendali dapat membahayakan
yaitu pada tahap kritis pembedahan (Woods and Sladen, 2009).

2) Anestesi Umum

Waktu paling kritis pada pasien asma yang dianestesi adalah selama
instrumentasi jalan napas. Nyeri, stress, emosional atau rangsangan selama
anestesi dangkal dapat menimbulkan bronkospasme. Obat-obatan yang
sering dihubungkan dengan pelepasan histamin (seperti curare, atracurium,
mivacurium, morfin, meperidin) harus dicegah atau diberikan dengan sangat
lambat jika digunakan. Tujuan dari anestesi umum adalah smooth induction
dan kedalaman anestesi disesuaikan dengan stimulasi. Pemilihan agen
anestesi tidak sepenting dalam pencapaian anestesi yang dalam sebelum
intubasi dan stimulasi pembedahan. Penggunaan laryngeal mask airway
LMA) menurunkan bronkospasme, tapi tidak menghilangkan resiko
bronkospasme sebagai akibat dari tindakan laringkoskopi (Woods and
Sladen, 2009).

3) Agent Inhalasi

Agent inhalasi anestesi seperti halothan akan menyebabkan


bronkodilatasi dan dapat digunakan untuk mencegah terjadinya
bronkospasme. Halothan berpengaruh pada diameter airway dengan cara
memblok reflek airway dan efek langsung relaksasi otot polos airway.
Namun hati-hati dalam penggunaannya pada pasien dengan gangguan
jantung karena efek depresi miokardial dan efek aritmianya. Isofluran dan
desfluran dapat pula menimbulkan bronkodilator dengan derajat yang setara
tetapi harus dinaikkan secara lambat karena sifatrnya iritasi ringan di jalan
napas. Sevofluran tidak terlalu berbau (tidak menusuk) dan memiliki efek
bronkodilator serta sifatnya tidak iritasi di jalan napas. Pemberian anestesi
inhalasi Sevofluran dapat ditoleransi dengan baik sebagai agen induksi
inhalasi dan memiliki efek bronkodilatasi yang baik. Halothane dulu disukai
sebagai agen induksi, tetapi sekarang sudah tidak tersedia, selain itu
halothane lebih larut dalam darah menyebabkan waktu induksi yang lebih
lama, dan dalam pengaturan hipoksemia atau asidemia dapat memicu aritmia
(Woods and Sladen, 2009).

4) Obat-Obat Induksi Intravena

Untuk induksi anestesi dapat digunakan obat-obat yang mempunyai


onset kerja yang cepat. Contoh obat induksi yang dapat digunakan adalah
thiopenton, propofol, dan ketamin. Ketamin, satu-satunya agen intravena
dengan kemampuan bronkodilatasi, dengan menghambat re-uptake
nonadrenalin pada ujung syaraf simpatis sehingga berefek bronkodilatasi
(Woods and Sladen, 2009).

Tiopenton paling banyak digunakan untuk usia dewasa tetapi kadang-


kadang dapat menimbulkan bronkospasme karena adanya pelepasan
histamin, beberapa hasil penelitian menyebutkan bahwa thiopenton dapat
menyebabkan bronkokonstriksi melalui reseptor μ2, menimbulkan kontraksi
dan mengaktifkan mekanisme umpan balik negatif dengan membatasi
pelepasan ACH lebih lanjut akibat stimulasi yang terus berlangsung. Oleh
karena itu blok reseptor μ2 dapat menghambat ACH dan potensiasi
bronkokonstriksi yang disebabkan aktivitas vagal (biasanya karena iritan)
propofol dan ethomidat dapat sebagai alternatif. Propofol lebih unggul dari
thiopental dan etomidate dalam menghambat peningkatan resistensi jalan
napas (Woods and Sladen, 2009).

Ketamin dan propofol dapat digunakan untuk mencegah dan


mereverse bronkokonstriksi melalui mekanisme utama penekanan neural dan
melalui penekanan langsung aktivitas otot polos airway. Dari hasil suatu
penelitian, walaupun keduanya terbukti dapat digunakan untuk terapi
bronkokonstriksi, ketamin dikatakan lebih poten daripada propofol. Propofol
dengan dosis 2,5 mg/kgBB dapat menurunkan insidensi whezing setelah
intubasi dibanding dengan penggunaan metohexital dengan dosis setara yaitu
6 mg/kgBB. Dibandingkan dengan benzodiazepin, propofol lebih
menguntungkan karena faktor onset yang cepat dan akhir cepat pula
(Bouquet, et al., 2000). Ketamin mempunyai efek bronkodilatasi selain efek
analgesik untuk menghindari efek depresi respirasi, ketamin diberikan
dengan pelan-pelan, ketamin juga mempunyai efek meningkatkan sekresi
kelenjar saliva dan tracheobronchial. Efek ini dapat dicegah dengan
menggunakan antisialogogue seperti atropin ataupun gycopyrrolate
(Eipstein, 1999).

5) Muscle Relaxant

Faktor lain yang perlu dipertimbangkan dalam penggunan muscle


relaxan adalah perlu tidaknya mereverse kerjanya. Dengan menghambat
penghancuran ACH endogen, inhibitor cholinesterase seperti neostigmin
dapat meningkatkan sekresi jalan napas dan dapat menimbulkan
bronkospasme. Efek ini dapat dicegah dengan penggunaan antagonis
muscarinik seperti atropin 1 mg atau glycopyrrolate 0,5 mg untuk
meminimalkan efek samping muskarinik. Obat muscle relaksan selama
maintenance sering digunakan adalah non depolarisasi, dimana dihindari
obat yang histamine release seperti atrakurium, sedangkan vecuronium,
rocuronium, cistracurium dan pancuronium tidak menyebabkan
bronkokonstriksi (Burburan, et al., 2006).

6) Terapi Bronkospasme Intraoperatif

Bronkospasme pada intraoperatif ditunjukan dengan wheezing,


munculnya penurunan volume tidal ekshalasi atau munculnya suatu kenaikan
pelan dari gelombang dicapnograf, hal ini dapat diatasi dengan mendalamkan
anestesinya. Jika tidak hilang maka perlu dipikirkan hal lain seperti sumbatan
tube endotracheal dari kekakuan, balon yang terlalu keras, intubasi
endobronchial, tarikan aktif karena anestesi dangkal, oedem pulmo atau
emboli dan pneumothorak semua dapat menyebabkan bronkospasme
(Morgan, 2006). Bronkospasme harus ditangani dengan suatu beta
adrenergik agonist baik secara aerosol atau inheler kedalam jalur inspirasi
dari sirkuit napas (gas pembawa yang menggunakan dosis terukur dapat
berinterferensi dengan pembacaan massa spectrometer). Hidrokortison
intervena (1,5-2 mg / kg) dapat diberikan, terutama pada pasien dengan
riwayat terapi glukokortikoid (Morgan, 2006). Tehnik pemberian ini adalah
secara matered dose inheler, berikan 5-10 puff obat tersebut kedalam jalan
napas bagian bawah. Asma sedang sampai berat perlu diterapi dengan
aminopillin intravena, terbutalin(0,25 mg) atau keduanya. Pasien yang tidak
menerima aminopillin preoperatif perlu diberikan aminopillin bolus 5-6
mg/kgBB intravena lebih dari 20 menit diberikan pemeliharaan 0,5-0,9
mg/kgBB. Pasien asma dengan serangan asma berat sebaiknya diberikan
ventilasi bantuan untuk mempertahankan PaO2 dan PCO2 pada level normal,
kecepatan ventilasi yang rendah (6-10 napas/menit) volume tidal yang
rendah dan waktu ekshalasi yang panjang (Mark, 2005). Apabila terjadi
bronkospasme yang berat terjadi managemen yang harus dilakukan :
- Oksigenasi dengan pemberian oksigen 100%
- Mendalami anestesi dengan meningkatkan agen volatile
- Aminophillyn 5-7 mg/kg i.v secara pelan-pelan
- Ipratropium bromide 0,25 mg nebulizer, adrenalin bolus I.v
(10μg=0,1 ml), ketamin 2 mg/kg magnesium 2 gr i.v secara lambat
- Hidrokortison 200 mg i.v.

i. Penanganan Post Operatif

Kontrol nyeri post operasi yang bagus adalah epidural analgesia.


NSAID harus dihindari karena dapat mencetus terjadinya bronkospasme.
Oksigenasi harus tetap diberikan. Pasien asma yang selesai menjalani operasi
pemberian bronkodilator dilanjutkan lagi sesegera mungkin pada pasca
pembedahan. Pemberian bronkodilator melalui nebulator atau sungkup
muka. Sampai pasien mampu menggunakan MDI (Meteroid Dose Inheler)
sendiri secara benar (Mulyono, 2000).
Pada akhir pembedahan pasien harus bebas whezing, Reversal
pemblok neuromuskular nondepolarising dengan antikolinesterase tidak
menimbulkan brokospasme jika diberikan dosis antikolinergik yang tepat.
Pasien yang teridentifikasi resiko tinggi perlu dimasukkan ke unit
monitoring post operatif, dimana fisioterapi dada dan suction dapat
dilakukan. Penanganan nyeri post operatif adalah hal yang penting
menurunkan bronkospasme (Eipstein, 1999). Masalah berikut yang terjadi
pasca bedah adalah penurunan volume paru akibat anestesi dan pembedahan.
Secara fisiologi hal tersebut oleh karena terjadi penurunan VA (Ventilasi
Alveolar) dan FRC (Functional Residual Capacity). Penurunan VA
diaebabkan oleh penurunan volume semenit atau VE atau oleh peningkatn
dead speace (VD). Penurunan VE pada pasca bedah disebabkan pengaruh
anestesi, narkotik, sedasi, pelemas otot atau penyakit neuromuskuler, atau
myesthenia gravis, Guillain Barre, lesi pada medula spinalis servikalis,
cedera pada neervus phrenicus. Peningkatan VD terjadi oleh emboli paru,
penurunan curah jantung, bronkospasme. Penurunan FRC biasanya
disebabkan oleh atelektasis, edema paru, dan pneumonia. Penyebab
atelektasis oleh karena ventilasi tidak adekuat,intubasi endobronkhial,
penekanan atau traksi pembedahan, pelemas otot, efusi pleura, cedera nervus
phrenicus. Penurunan FRC pada posisi tegak ke posisi terlentang merupakan
predisposisi timbulnya atelektasis sehingga mobilisasi dini akan
menurunkan angka kejadian komplikasi ini. Latihan napas dalam dan
incentive spirometry merupakan cara yang sama efektifnya untuk
mengembangkan paru dan mempertahankan FRC atau dengan continous
positive airway pressure (CPAP) dapat menghindarkan atelektasis sama
baiknya dengan latihan napas dalam. Disamping itu pengendalian nyeri
secara adekuat sejak awal pasca bedah akan mengurangi hambatan batuk dan
napas dalam serta mempermudah mobilisasi (Mulyono, 2000).

3. Obesitas
a) Definisi dan Klasifikasi Obesitas
Obesitas merupakan suatu kelainan komplek pengaturan nafsu makan dan
metabolisme energi yang dikendalikan oleh beberapa faktor biologik spesifik.
Faktor genetik diketahui sangat berpengaruh bagi perkembangan penyakit ini.
Secara fisiologis obesitas didefinisikan sebagai akumulasi lemak yang tidak
normal atau berlebihan dijaringan adiposa sehingga dapat mengganggu
kesehatan. Keadaan obesitas ini, terutama obesitas sentral, meningkatkan risiko
penyakit kardiovaskular karena keterkaitannya dengan sindrom metabolik atau
sindrom resistensi insulin yang terdiri dari resistensi insulin / hiperinsulinemia,
hiperuresemia, gangguan fibrinolisis, hiperfibrinogenemia dan hipertensi.
Sangat sulit untuk mengukur lemak tubuh secara langsung sehingga sebagai
penggantinya dipakai body mass index (BMI) atau indeks massa tubuh (IMT)
untuk menentukan berat badan lebih dan obesitas pada orang dewasa.
Pengukuran ini merupakan langkah awal dalam menetukan derajat adipositas,
dan dikatakan berkorelasi kuat dengan jumlah massa lemak tubuh. Untuk
penelitian epidemiologi digunakan IMT atau indeks Quetelet yaitu berat badan
dalam kg dibagi tinggi badan dalam meter kuadrat (m2). Karena IMT
menggunakan tinggi badan, maka pengukurannya harus dilakukan dengan teliti.
Disamping IMT, menurut rekomendasi WHO lingkar pinggang (LP) juga harus
dihitung untuk menilai adanya obesitas sentral dan komorbid obesitas terutama
pada IMT 25- 34,9 kg/m2 (Sugondo, 2009).
Klasifikasi IMT yang direkomendasikan untuk digunakan adalah
klasifikasi yang diadopsi dari the National Institute of Health (NIH) dan World
Health Organization (WHO), yang tertera pada tabel di bawah ini.

Kategori IMT (kg/m2)


Berat badan kurang < 18.5
Kisaran normal 18.5 – 24.9
Berat badan lebih > 25
Pra-obes 25.0 – 29.9
Obes tingkat I 30.0 – 34.9
Obes tingkat II 35.0 – 39.9
Obes tingkat III > 40.0

Tabel 1. Klasifikasi berat badan lebih dan obesitas berdasarkan IMT

Karena definisi berat badan lebih dan obesitas sangat tergantung pada ras,
maka wilayah Asia Pasifik pada saat ini telah menggunakan klasifikasi dan
kriteria obesitas sendiri seperti yang terdapat didalam tabel 2. Hingga saat ini
masih terdapat perdebatan menentukan ”cut-off ” yang digunakan sebagai
patokan batas obesitas pada populasi Asia. Beberapa negara seperti Jepang dan
Cina sudah menggunakan batasan yang lebih rendah sebagai kriteria obesitas
(WHO, 2015).

Risiko Komorbiditas
Lingkar Pinggang
Klasifikasi IMT (kg/m2)
< 90 cm (pria) ≥ 90 cm (pria)
< 80 cm (wanita) ≥ 80 cm (wanita)
Berat badan kurang < 18.5 Rendah Sedang
Kisaran normal 18.5 – 22.9 Sedang Meningkat
Berat badan lebih ≥ 23.0
Berisiko 23.0 – 24.9 Meningkat Moderat
Obes I 25.0 – 29.9 Moderat Berat
Obes II ≥ 30.0 Berat Sangat berat

Tabel 2. Kategori berat badan berdasarkan klasifikasi Asia-Pasifik


b) Perubahan Fisiologi yang Terjadi Pada Pasien Obesitas
1) Sistem Kardiovaskular
Obesitas berhubungan dengan bertambahnya volume darah dan
cardiac output sebesar 20 - 30 ml untuk setiap kilogram lemak yang
berlebih. Peningkatan cardiac output ini disebabkan oleh dilatasi ventrikel
dan bertambahnya volume sekuncup. Dilatasi ventrikel mengakibatkan
bertambahnya stress pada dinding ventrikel kiri yang menyebabkan
hipertrofi ventrikel. Hipertrofi dari ventrikel kiri ini akan menurunkan
compliance dan fungsi diastolik ventrikel kiri. Pada keadaan ini akan terjadi
gangguan pengisian ventrikel, elevasi dari LVEDP (left ventricular end
diastolic pressure) dan edem paru. Kapasitas dilatasi untuk ventrikel juga
memiliki batasan, sehingga jika penebalan dinding ventrikel kiri tidak dapat
mengiringi dilatasi maka fungsi sistolik akan terganggu dan terjadilah
kardiomiopati obesitas (Rider et al., 2011).
Pasien obesitas cenderung memiliki berbagai macam penyakit
sistem kardiovaskular seperti iskemia, hipertensi, hingga gagal jantung.
Hipertensi ringan sampai sedang terjadi pada 50-60% pasien obesitas dan
hipertensi berat pada 5-10% pasien. Diduga hipertensi pada pasien obesitas
terjadi karena pengaruh faktor genetik, hormonal, renal, dan hemodinamik.
Terdapat peningkatan tekanan sistolik sebesar 3-4 mmHg dan diastolik 2
mmHg untuk setiap kenaikan berat badan 10 kg. Adanya cairan pada
ekstraseluler akan berakibat terjadinya hipervolemia dan peningkatan
cardiac output. Hiperinsulinemia sebagai karakteristik pada obesitas juga
memberikan kontribusi dengan mengaktifkan sistem saraf simpatik yang
menyebabkan retensi sodium. Selain itu, resistensi insulin juga
bertanggung jawab terhadap aktivitas norepinefrin dan angiotensin II.
Selain hipertensi, obesitas (terutama obesitas sentral) juga merupakan
faktor risiko terjadinya iskemia jantung. Faktor lain seperti diabetes
mellitus, hiperkolesterolemia dan rendahnya HDL (High Density
Lipoprotein) menambah beratnya risiko penyakit ini (Rider et al., 2011).
Pasien obestias juga cenderung mengalami aritmia jantung.
Terdapat beberapa faktor presipitasi yang menyebabkan hal ini diantaranya
hipoksia, hiperkapnia, ketidakseimbangan elektrolit akibat terapi dengan
diuretik, penyakit jantung koroner, bertambahnya konsentrasi katekolamin
dalam sirkulasi, obstructive sleep apnea, hipertrofi miokard, dan
penumpukan lemak dalam sistem konduksi (Cullen, 2012)..

2) Sistem Respirasi
Kenaikan berat badan sebanding dengan meningkatnya kesulitan
bernapas. Pada kasus berat, penurunan kemampuan bernapas dapat
mencapai tiga puluh persen. Kombinasi dari tekanan intraabdomen, reduksi
dari compliance, dan meningkatnya kebutuhan metabolik dengan gerakan
otot dada, menghasilkan gerak inefisien dari otot dada tersebut, sehingga
pada orang tersebut terjadi usaha bernapas lebih berat. Walaupun terdapat
akumulasi jaringan lemak di dalam dan sekitar dinding dada yang berakibat
tertahannya gerak dinding dada (restriksi), namun beberapa penelitian
mengemukakan bahwa hal ini disebabkan oleh peningkatan volume darah
paru. Tertahannya gerak dinding dada juga berhubungan dengan penurunan
FRC, terhimpitnya saluran napas, dan kegagalan pertukaran gas. Perubahan
compliance dan resistensi thorax terlihat dengan adanya napas cepat dan
dangkal, frekuensi yang meningkat dan berkurangnya kapasitas paru.
Selain hal-hal di atas, ambilan oksigen dan pelepasan karbondioksida pada
penderita obesitas juga meningkat sebagai hasil dari aktivitas metabolik
karena jumlah lemak yang berlebih dan bertambahnya simpanan pada
jaringan. Aktivitas metabolik basal (Basal Metabolic Activity atau BMA)
berhubungan dengan luasnya permukaan tubuh. Penurunan kapasitas residu
fungsional (Functional Residual Capacity atau FRC), volume ekspirasi
cadangan (Expiratory Reserve Volume atau ERV) dan kapasitas total dari
paru-paru merupakan masalah yang dihadapi penderita obesitas seiring
dengan peningkatan berat badan. Kapasitas residu fungsional menurun
akibat penyempitan saluran napas, ketidakseimbangan perfusi dan
ventilasi, shunt dari kanan ke kiri, dan hipoksemia arteri. Pemberian
anestesi dikatakan menurunkan FRC sebesar 50% pada penderita obesitas,
sedangkan pada orang normal terjadi penurunan FRC sebesar 20%. Karena
kurangnya FRC, pada penderita obesitas terjadi kegagalan toleransi ketika
terjadi apnea, disamping itu juga terjadi desaturasi oksigen segera setelah
induksi anestesi (Cullen, 2012).
Gangguan pernapasan yang paling sering ditemui pada pasien
obesitas adalah Obstructive Sleep Apnea (OSA) yang ditandai oleh ciri-ciri
sebagai berikut (Lopez, 2008):
- Episode apnea atau hipopnea yang sering terjadi saat tidur dan
membangunkan pasien secara mendadak. Episode ini digambarkan
sebagai obstruktif apnea selama 10 detik atau lebih yang menyebabkan
penutupan total dari saluran napas dan adanya usaha keras untuk tetap
bernapas. Hipopnea diartikan sebagai reduksi dari 50% aliran udara
yang adekuat yang berujung pada penurunan 4% saturasi oksigen
arterial. Frekuensi episode apnea atau hipopnea tercatat lebih dari lima
kali per jam atau lebih dari 30 kali tiap malam. Hal yang penting
diperhatikan adalah sekuele dari keadaan ini yaitu hipoksia,
hiperkapnia, hipertensi sistemik atau pulmonal, dan aritmia.
- Mengorok. Semakin hebat obstruksi, makan suara yang terdengar akan
semakin jelas. Mengorok pada pasien OSA juga diikuti periode sunyi
(silence) saat tidak ada aliran udara yang masuk dan setelahnya akan
terjadi gasping atau choking yang membangunkan pasien dari tidurnya,
bernapas beberapa kali, dan kemudian tidur kembali (siklus ini
berulang sepanjang waktu tidur).
- Gejala pada siang hari seperti sering mengantuk, konsentrasi dan
memori terganggu. Terkadang penderita mengeluhkan sakit kepala
pada pagi hari akibat retensi karbondioksida (CO2) pada malam
harinya dan vasodilatasi serebral.
- Perubahan fisiologi. Apnea berulang dapat menyebabkan hipoksemia,
hiperkapnia, vasokonstriksi pulmonal dan sistemik. Hipoksemia
berulang dapat berujung pada polisitemia yang meningkatkan risiko
penyakit jantung iskemia dan penyakit serebrovaskular. Sedangkan
vasokonstriksi pulmonal menyebabkan kegagalan ventrikel kanan
(right ventricle failure).
3) Sistem Gastrointestinal
Risiko terjadinya aspirasi asam lambung diikuti oleh pneumonia
aspirasi lebih tinggi pada pasien obesitas. Hal ini disebabkan oleh beberapa
faktor antara lain tekanan intraabdomen yang tinggi, tingginya volume dan
rendahnya pH dalam lambung, dan tingginya risiko gastro-esofageal.
Walaupun pasien obesitas memilki volume lambung yang lebih besar
daripada orang normal, namun pengosongan lambung justru lebih cepat
berlangsung pada penderita obesitas, terutama pada intake energi tinggi
seperti emulsi lemak. Oleh karena adanya risiko aspirasi asam, maka pasien
obesitas dapat diberikan H2-reseptor antagonis, antasid, dan prokinetik,
juga dilakukan induksi secara cepat dengan tekanan pada krikoid dan
ekstubasi trakea ketika pasien sadar penuh (Cullen, 2012).

c) Manajemen Anestesi Pada Pasien Obesitas


1) Pra-operasi
Obat-obatan premedikasi yang diberikan pada pasien obesitas harus
dipertimbangkan dengan baik. Opioid dan obat sedatif dapat menyebabkan
depresi napas pada pasien obesitas, maka obat-obatan jenis ini sebaiknya
dihindari. Obat-obatan yang dimasukan dengan cara injeksi intra-muskular
dan sub-kutan juga sebaiknya tidak digunakan karena absorbsinya yang
tidak dapat diprediksi. Jika akan dilakukan intubasi sadar dengan serat
optik, maka pasien harus diberikan antisialogogue (Morgan, 2006).
Skrining pra operasi adalah langkah paling penting dalam manajemen
pasien obesitas yang dicurigai memiliki SDB (Sleep disordered breathing).
Karena sebagian besar pasien ini tidak didiagnosis atau salah didiagnosis,
alat skrining dengan sensitivitas yang tinggi sangat penting. Alat skrining
sensitif yang dapat digunakan adalah STOP-Bang Questionnaire. STOP-
Bang Questionnaire memiliki validitas metodologis tertinggi dan akurasi
yang baik dalam memprediksi diagnosis OSA (Obstructive Sleep Apnea).
Dimana skor STOP-Bang 5-8 menandakan pasien dengan probabilitas
tinggi untuk OSA sedang hingga berat (Raveendran et al, 2017).
2) Intra-operasi
Pasien obesitas harus dianestesi di atas meja operasi di dalam kamar
operasi untuk mempermudah proses pemindahan pasien sehingga
mengurangi risiko cedera baik pada pasien maupun pada petugas kesehatan.
Setelah pasien diposisikan, maka perhatian khusus harus diberikan pada
bagian-bagian tubuh yang tertekan selama operasi untuk menghindari
kerusakan saraf akibat penekanan. Kompresi vena cava inferior harus
dihindari dengan cara sedikit memiringkan meja operasi ke kiri atau
meletakkan sanggahan di bawah pasien. Monitoring tekanan arteri secara
invasif dilakukan pada hampir semua operasi kecuali operasi minor. Jika
monitoring tekanan darah dilakukan secara invasif, maka harus tersedia
ukuran manset yang sesuai. Oksimetri denyut, elektrokardiograf,
kapnograf, dan pengawasan blok neuromuskular harus dilakukan (Cullen,
2012).
Anestesi regional pada pasien obesitas menurunkan risiko dari
kegagalan intubasi dan aspirasi asam lambung. Untuk pembedahan dada
dan abdomen, sebagian besar dokter anestesi menggunkan teknik
kombinasi epidural dan anestesi umum. Teknik ini memberikan lebih
banyak keuntungan dibandingkan jika menggunakan anestesi umum saja,
karena akan mengurangi penggunaan opioid dan anestesi inhalasi. Anestesi
epidural berkelanjutan juga memiliki keuntungan dalam meredakan nyeri
dan menurunkan komplikasi pernapasan selama masa pasca-operasi.
Namun, penggunaan anestesi regional pada pasien obesitas memiliki
kesulitan sendiri, antara lain adalah sulitnya mencari patokan tulang yang
biasa digunakan. Jarum yang lebih panjang atau bahkan ultrasonografi
mungkin dibutuhkan untuk menunjang keberhasilan pembiusan.9 Perlu
diketahui, pasien obesitas memerlukan dosis anestesi spinal 20-25% lebih
sedikit daripada dosis normal karena vena epidural yang terdistensi dan
tekanan intra-abdomen yang meningkat menyebabkan menyempitnya
ruang epidural (Ingrande, 2010).
Selain teknik anestesi, perhitungan dosis obat pada pasien obesitas juga
harus diperhatikan. Berat badan total (total body weight) seseorang terdiri
dari berat badan tanpa lemak (lean body weight) dan berat lemak pada tubuh
orang tersebut. Secara teoritis, cadangan lemak yang banyak akan
meningkatkan volume distribusi dari obat yang larut dalam lemak
(benzodiazepin, opioid). Dosis obat-obatan seperti ini dihitung berdasarkan
berat badan total, sedangkan dosis obat-obatan yang tidak larut dalam
lemak dihitung berdasarkan berat badan tanpa lemak. Oleh karena itu, perlu
diketahui jenis obat-obatan yang larut dalam lemak dan yang larut dalam
air untuk menentukan apakah dosis obat tersebut dihitung berdasarkan berat
badan total, berat badan tanpa lemak, atau bahkan berat badan ideal
(Janmahasatian, 2005).

Jenis Berat Badan Cara Penghitungan (berat badan dalam kg)


Berat Badan Ideal 45.4 + 0.89 x (tinggi dalam cm - 152.4) untuk wanita
(IBW) 49.9 + 0.89 x (tinggi dalam cm - 152.4) untuk pria

Berat Badan (1.07 x TBW) - (0.0148 x BMI x TBW) untuk wanita


Tanpa Lemak (1.10 x TBW) - (0.0128 x BMI x TBW) untuk pria
(LBW) ATAU
(9,720 x TBW)/(8,780 + (244 x BMI)) untuk wanita
(9,270 x TBW)/(6,680 + (216 x BMI)) untuk pria

Tabel 3. Rumus perhitungan berat badan


Obat Dosis Berat Badan
Thiopental Sodium LBW
Propofol LBW (bolus induksi)
TBW (pemeliharaan)
Etomidate LBW
Succinylcholine TBW
Pancuronium IBW
Rocuronium IBW
Vecuronium IBW
Cisatracurium IBW
Fentanyl LBW
Alfentanil LBW
Remifentanil LBW
Midazolam TBW (dosis bolus)
IBW (infus)
Paracetamol LBW
Neostigmine TBW
Sugammadex TBW atau IBW + 40%
Enoxaparin (profilaksis trombosis TBW 0.5mg/kgBB
vena dalam)
Tabel 4. Skala dosis berat untuk obat-obatan yang sering digunakan dalam
operasi (Leykin, 2011).

Oleh karena adanya risiko aspirasi dan hipoventilasi, pasien obesitas


biasanya diintubasi pada semua kasus anestesi umum kecuali pada kasus
anestesi umum yang sebentar. Namun memutuskan pemilihan intubasi
dalam kesadaran penuh atau tidur dalam merupakan pilihan sulit. Beberapa
sumber menyarankan intubasi dilakukan dalam kesadaran penuh terutama
jika berat badan sesungguhnya > 175% berat badan ideal. Apabila terdapat
gejala OSA, maka sudah dapat dipastikan morfologi jalan napas bagian atas
yang sedikit berbeda yang membuat pemakaian sungkup menjadi sulit,
sehingga intubasi dalam kesadaran penuh lebih disarankan. Jika intubasi
sulit dilakukan, maka digunakan bronkoskop serat optik atau laringoskopi
video. Posisi pasien saat intubasi dilakukan sangat membantu dan
auskultasi napas untuk memastikan apakah ETT sudah masuk mungkin
sulit dilakukan. Ventilasi terkendali mungkin membutuhkan konsentrasi
oksigen inspirasi yang lebih besar untuk mencegah hipoksia, terutama pada
posisi lithotomi, Trendelenburg, atau tengkurap (Ravindraan, 2017).

3) Paska-operasi
Kegagalan napas merupakan masalah pasca-operasi terbesar pada
pasien obesitas. Risiko hipoksi pasca-operasi meningkat pada pasien
dengan hipoksi pra-operasi yang diikuti dengan pembedahan rongga dada
atau abdomen bagian atas. Ekstubasi harus ditunggu hingga kerja dari
pelumpuh otot telah dibalikkan dan pasien sadar. Pasien obesitas harus
tetap diintubasi hingga jalur napas yang adekuat dan volume tidal dapat
dipertahankan secara pasti. Jika pasien diekstubasi di dalam kamar operasi,
suplementasi oksigen harus diberikan selama pasien dipindahkan ke
PACU. Posisi duduk 45o dapat memperbaiki ventilasi dan oksigenasi.
Risiko hipoksia pada pasien obesitas tetap ada hingga beberapa hari pasca-
operasi, oleh karena itu suplementasi oksigen dan CPAP mungkin dapat
dipertimbangkan. Komplikasi lain yang sering terjadi pada pasien obesitas
adalah infeksi luka, trombosis vena dalam, dan emboli pulmoner
(Gaszynski, 2007).
Untuk penatalaksanaan nyeri paska-operasi, analgesik epidural dengan
opioid atau anestesi lokal mungkin merupakan pilihan yang paling efektif
dan aman bagi pasien obesitas. Selain itu, pemberian analgesik epidural
juga dapat diiringi dengan pemberian parasetamol atau NSAIDs lainnya.
Penanganan nyeri yang baik akan membuat pasien dapat melakukan
mobilisasi lebih awal, hal ini memberi keuntungan untuk mengurangi risiko
terjadinya infeksi paru dan trombosis vena dalam (Cullen, 2012).
Hal lain yang perlu diperhatikan pada masa paska-operasi pasien
obesitas adalah tingginya risiko untuk mengalami infeksi pada luka bekas
operasi. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya
hal ini adalah dengan mengontrol gula darah pasien obesitas paska-operasi.
Di samping itu, pemberian antibiotik dengan waktu dan dosis yang tepat
perlu dipertimbangkan (Huttunen, 2012).
Daftar Pustaka

Bouquet J, Jeffery PK. Busse WW, Jhonson M, Vignola AM. 2000. Asthma. From
bronchocontriction to airway remondelling. Am J Respir Crit Care Med; 161:1720-
45.

Burburan S. M., et al. 2006. Anaesthetic Management in Asthma. Minerva


Anestesiol;73(6);357-65.

Cullen A, Ferguson A. Perioperative management of the severely obese patient: a selective


pathophysiological review. Can J Anesth 2012 (59):974-96. Available from:
http://link.springer.com/article/10.1007%2Fs12630-012-9760-2.

Corwin, E. J., 2008. Handbook of Pathophysiology. 3rd ed. Ohio: Lippincott Williams &
Wilkins.

De Jong,.W., Sjamsuhidajat, R., 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. EGC. Jakarta.

Epstein L,L. 1999. Spesific Consideration With Pulmonary Disaeae in Clinical


Anaesthesia Prosedure Of Massechusetts General Hospital,6 ed, LippinCott
Wlliam & Wilkins, page: 6, 33-41, 259-261.

Ellis H, Nathanson LK. 2001. Appendix and Appendectomy. In : Maingot’s Abdominal


Operations Vol II. 10th edition. Ed: Zinner Mj, Schwartz SI, Ellis H, Ashley SW,
McFadden DW. Singapore: McGraw Hill Co: 1191-222.

Gal T. J. 2002. Reactive airway Disease: Anesthetic Perspective, IARS Review Course
Lectures, USA.

Gaszynski T, Tokarz A, Piotrowski D, Machala W. 2007. Boussignac CPAP in the


postoperative period in morbidly obese patients. Obes Surg; 17: 452-6.

Global Initiative for Asthma (GINA). Global Strategy for Asthma Managemen and
Prevention, 2018. Available from www.ginasthma.org.

Huttunen R, Syrjanen J. 2012. Obesity and the risk and outcome of infection. Int J Obes
(Lond).

Ingrande J, Lemmens HJ. 2010. Dose adjustment of anaesthetics in the morbidly obese. Br
J Anaesth; 105(Suppl 1): 116-23.
Ingrande J, Brodsky JB, Lemmens HJ. 2011. Lean body weight scala for the anesthetic
induction dose of propofol in morbidly obese subjects. Anesth Analg; 113: 57-62.
Jaffe BM, Berger DH. 2005. The Appendix. In: Schwartz’s Principles of Surgery Volume 2.
8th edition. Ed: Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG,
Pollock RE. New York: McGraw Hill Companies Inc:1119-34.

Janmahasatian S, Duffull SB, Ash S, Ward LC, Byrne NM, Green B. 2005. Quantification
of lean bodyweight. Clin Pharmacokinetic; 44: 1051-65.

Karnen B. 1999. Asma Bronchial dalam Ilmu Penyakit Dalam, Balai Penerbit
FKUI, Jakarta, hal : 21-39

Lenfant C, Khaltaev N. GINA. NHLBI/WHO Workshop Report 2002.

Leykin Y, Miotto L, Pellis T. 2011. Pharmacokinetic considerations in 
the obese. Best


Pract Res Clin Anaesthesiol; 25: 27-36.

Lopez PP, Stefan B, Schulman CI, Byers PM. 2008. Prevalence of sleep apnea in morbidly
obese patients who presented for weight loss surgery evaluation: more evidence for
routine screening for obstructive sleep apnea before weight loss surgery. Am Surg;
74: 834-8.

Mark R. Ezekeil, MD,MS. 2005. Pulmonary disease, Handbook of Anesthesiology, Current


Clinical Strategies, edition page : 34-35.

Morgan G.E, 2006 : Anestesi for patients with Respiratory Disease in Clinical
Anaesthesiology third edition, page : 571-576.

Mulyono, Indro. 2000. Pengelolaan Perioperatif pada penderita gangguan


Pernapasan dalam PIB X IDSAI di Bandung, hal : 111-133.

Oberoi G, Phillip G. 2000. Management of some Medical Emergency Situation.


Mc. Graw Hill, page : 315-318.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) 2004, Pedoman Diagnosis dan


penatalaksanaan Asma di Indonesia. Penerbit FKUI, Jakarta.

Ravindraan et al. 2017. Obesity Hypoventilation Syndrome, Sleep Apnea, Overlap


Syndrome: Perioperative Management To Prevent Complications. Curr Opin
Anesthesiol, 30:146–155.

Rider OJ, Petersen SE, Francis JM, et al. 2011. Ventricular hypertrophy and cavity dilatation
in relation to body mass index in women with uncomplicated obesity. Heart; 97: 203-
8.

Soybel D.I. 2000. Appedix In: Surgery Basic Science and Clinical Evidence Vol 1. Ed:
Norton JA, Bollinger RR, Chang AE, Lowry SF, Mulvihill SJ, Pass HI, Thompson
RW. New York: Springer Verlag Inc: 647-62.

Prinz R.A, Madura JA. 2001. Appendicitis and Appendiceal Abscess. In: Mastery of Surgery
Vol II. 4th edition. Ed: Baker RJ, Fiscer JE. Philadelphia. Lippincott Williams &
Wilkins: 1466-78.

WHO. Obesity and Overweight Fact Sheets. January; 2015.

Woods B. D., Sladen R.N. 2009. Perioperative considerations for the patient with asthma.
Br J Anaesth, Volume 103, pp. 157-165.

Anda mungkin juga menyukai