Oleh :
Atika Puspa Irawati 20174011096
Diajukan kepada :
dr. Dedy Hartono, Sp.An
Disusun oleh:
April 2019
Mengetahui
A. Rangkuman kasus
Pasien Perempuan (40 th) datang ke poli bedah dengan keluhan sakit perut
kanan bawah sudah sejak 3 hari yang lalu, sebelumnya pasien pernah sakit serupa
kurang lebih 2 minggu sebelumnya, kemudian 1 minggu berikutnya membaik, keluhan
hilang, kemudian timbul lagi 3 hari yang lalu. Pasien mengeluh mual, tapi tidak sampai
muntah, BAK normal, BAB normal lancar. Riwayat penyakit dahulu : pasien
mengatakan pernah mengalami keluhan serupa. Selain itu pasien memiliki riwayat
asma, terakhir kambuh 1 tahun yang lalu, riw. Hipertensi (-), DM (-).
Pemeriksaan Fisik :
Keadaan umum : baik
Kesadaran : compos mentis
BB : 80 kg
TB : 154 cm
BMI : 33,73 kg/m2
Vital sign
Tekanan darah :120/70 mmHg
Nadi : 78 kali/menit
Nafas : 18 kali/menit
Suhu : 36,4°C
VAS score :3
Buka Mulut : 3 jari
Jarak Thyromental : > 6,5 cm
Mallampati : II
Kepala : Normocephal.
Mata : Konjungtiva anemis -/-, Sklera ikterik -/-
Thoraks : Bentuk dan gerak simetris
Paru : SDV +/+; Rh -/-; Wh -/-
Jantung : S1S2 reguler, bising jantung (-)
Abdomen : Supel, Peritaltik (+), Nyeri tekan (+) region inguinalis dextra
(titik Mc. Burney), lien tidak teraba, hepar tidak teraba,
Rovsing Sign (+), Psoas Sign(-), Obturator Sign (-) defans
muscular (-).
Ekstremitas : akral hangat, CRT <2 detik, edema (-/-/-/-)
Pemeriksaan Laboratorium
Darah Rutin
Hb : 11,4 [12 - 16] g%
AL : 9,01 [4 - 10] ribu/ul
AE : 4,99 [4 - 5] ribu/ul
AT : 364 [150 - 450] ribu/ul
HMT : 37,2 [36 - 46] %
Eosinofil :3 [2 - 4] %
Basofil :0 [0 - 1] %
Batang :0 [2 - 5] %
Segmen : 69 [51 - 67] %
Limfosit : 21 [20 - 35] %
Monosit :7 [4 - 8] %
Kimia Darah
GDS : 95 [<200] mg/dl
Ureum : 19 [17 - 43] mg/dl
Kreatin : 0,77 [0,6 – 1,1] mg/dl
Natrium : 137,5 [137,0 – 145] mmol/l
Kalium : 3,70 [3,50 – 5,10] mmol/l
Klorida : 110,8 [98,0 – 107,0] mmol/l
Hemostasis
PPT : 12,7 [12,0-16,0] detik
APTT : 33,4 [28,0-38,0] detik
Pemeriksaan Penunjang
Ro Thorax:
Cor dan Pulmo dalam batas normal
EKG:
Normal Sinus Rhythm
Appendicografi:
Non-filling appendix, menyokong appendicitis.
C. Analisis
1. Apendisitis
Apendisitis adalah peradangan pada usus buntu (apeniks). Peradangan ini
menyebabkan apendiks menjadi bengkak, rapuh, sampai dapat menyebabkan
gangren karena pasokan darahnya terganggu. Apendiks juga bisa pecah; ini
biasanya terjadi antara 36 dan 48 jam setelah timbulnya gejala (Corwin, 2008).
a. Etiologi
Obstruksi lumen merupakan penyebab utama apendisitis. Fekalit
merupakan penyebab tersering dari obstruksi apendiks. Penyebab lainnya
adalah hipertrofi jaringan limfoid, sisa barium dari pemeriksaan roentgen, diet
rendah serat, dan cacing usus termasuk ascaris. Trauma tumpul atau trauma
karena colonoscopy dapat mencetuskan inflamasi pada apendiks. Post operasi
apendisitis juga dapat menjadi penyebab akibat adanya trauma atau stasis fekal.
Frekuensi obstruksi meningkat dengan memberatnya proses inflamasi. Fekalit
ditemukan pada 40% dari kasus apendisitis akut, sekitar 65% merupakan
apendisitis gangrenous tanpa rupture dan sekitar 90% kasus apendisitis
gangrenous dengan rupture (De Jong, 2004).
b. Patofisiologi
Obstruksi lumen adalah penyebab utama pada Appendicitis acuta. Fecalith
merupakan penyebab umum obstruksi Appendix, yaitu sekitar 20% pada anak
dengan Appendicitis akut dan 30-40% pada anak dengan perforasi Appendix.
Penyebab yang lebih jarang adalah hiperplasia jaringan limfoid di sub mukosa
Appendix, barium yang mengering pada pemeriksaan sinar X, biji-bijian,
gallstone, cacing usus terutama Oxyuris vermicularis. Reaksi jaringan limfatik,
baik lokal maupun generalisata, dapat disebabkan oleh infeksi Yersinia,
Salmonella, dan Shigella; atau akibat invasi parasit seperti Entamoeba,
Strongyloides, Enterobius vermicularis, Schistosoma, atau Ascaris.
Appendicitis juga dapat diakibatkan oleh infeksi virus enterik atau sistemik,
seperti measles, chicken pox, dan cytomegalovirus. Insidensi Appendicitis juga
meningkat pada pasien dengan cystic fibrosis. Hal tersebut terjadi karena
perubahan pada kelenjar yang mensekresi mukus. Obstruksi Appendix juga
dapat terjadi akibat tumor carcinoid, khususnya jika tumor berlokasi di 1/3
proksimal. Selama lebih dari 200 tahun, corpus alienum seperti pin, biji sayuran,
dan batu cherry dilibatkan dalam terjadinya Appendicitis. Faktor lain yang
mempengaruhi terjadinya Appendicitis adalah trauma, stress psikologis dan
herediter (Ellis, 2010).
Frekuensi obstruksi meningkat sejalan dengan keparahan proses inflamasi.
Fecalith ditemukan pada 40% kasus Appendicitis acuta sederhana, sekitar 65%
pada kasus Appendicitis gangrenosa tanpa perforasi, dan 90% pada kasus
Appendicitis acut gangrenosa dengan perforasi (Soybel, 2000).
a. Definisi
Menurut GINA (Global Initiative for Asma) asma didefinisikan sebagai
gangguan inflamasi kronik saluran napas respiratorik dengan banyak sel yang
berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Pada orang yang rentan
inflamasi ini menyebabkan episode wheezing berulang, sesak napas, rasa dada
tertekan, dan batuk, khususnya malam hari atau dini hari. Gejala ini biasanya
berhubungan dengan penyempitan saluran respiratorik yang luas namun
bervariasi, yang paling tidak sebagian bersifat reversibel baik secara spontan
maupun dengan pengobatan. Inflamasi ini juga berhubungan dengan
hiperaktivitas saluran respiratorik terhadap berbagai rangsangan (GINA,
2018).
b. Patofisiologi
Pathofisiologi asma melibatkan pelepasan mediator kimiawi ke jalan
napas dan mungkin pula adanya aktivitas yang berlebihan dari sistem saraf
parasimpatis. Substansi yang terhirup dapat menimbulkan bronkospasme
melalui respon imun spencifik dan non spencifik oleh daya degranulai sel mast
bronkial. Pada asma alergi yang klasik antigen berikatan dengan Ig E di
permukaan sel mast dan menyebabkan degranulasi, bronkokontriksi
merupakan hasil dari pelepasan histamin berikutnya : bradiknin; leukotrien C,
D, dan E; platelet activating-factor, prostaglandin (PG), PGE2, PGF2 alfa, dan
PGD2; dan factor netrofil eosinofil kemotaktik.2 Sedikitnya ada 2 jenis T-
helper (Th), limpfosit subtipe CD4+ telah dikenal profilnya dalam produksi
sitokin. Meskipun kedua jenis lifosit T mensekresi IL-3 dan granulocyte-
macrophage colony-stimulating factor (GM-CSF), Th1 terutama memproduksi
IL-2, IF-γ dan TNF-β. Sedangkan Th2 terutama memprodusi sitokin yang
terlibat dalam asma, yaitu IL-4, IL-5, IL-9, IL-13, dan IL-16. Sitokin yang
dihasilkan oleh Th2 bertanggung jawab atas terjadinya reaksi hipersensivitas
tipe lambat maupun yang cell mediated. Langkah pertama terbentuknya respon
imun adalah aktivasi limfosit T oleh antigen yang dipresentasikan oleh sel-sel
aksesoris yaitu suatu proses yang melibatkan molekul MHC/major
histocompatibility complex (MHC kelas II pada sel T CD4+ dan MHC kelas I
pada ael T CD8+). Sel dendritik adalah merupakan antigen presenting cell
yang utama dalam saluran napas. Sel dendritik terbentuk perkusornya didalam
sumsum tulang dan membentuk jaringan luas dan sel-selnya saling
berhubungan pada epitel saluran respiratorik. Kemudian sel-sel tersebut
bermigrasi kekumpulan sel-sel limfoid dibawah pengaruh GM-CSF yaitu
sitokin yang terbentuk oleh aktivitas sel epitel, fibroblas, sel T, makrofag dan
sel mast. Setelah antigen ditangkap, sel dendritik berpindah menuju daerah
yang banyak mengandung limfosit. Dengan pengaruh sitokin-sitokin lainnya,
sel dendritik menjadi matang sebagai antigen presenting cell (APC) yang
efektif. Sel dendritik juga mendorong polarisasi sel T naive-Th0 menuju Th2
yang mengkoordinasi sekresi sitokin-sitokin yang termasuk pada klaster
kromosom 5q31-33 (IL-4 genecluster) (Lenfant, 2002).
Penyempitan saluran respiratorik pada asma dipengaruhi oleh banyak
faktor. Penyebab utama penyempitan saluran respiratorik adalah kontraksi otot
polos bronkus yang diprovokasi oleh pelepasan agonis dari sel-sel inflamasi.
Yang termasuk agonis adalah histamin, triptase, prostaglandin D2 dan
leukotrien C4 dari sel mast, neuropepetida dari saraf aferen setempat dan
asetilkolin dari saraf postganglionik. Kontraksi otot polos saluran respirtorik
diperkuat oleh penebalan dinding saluran napas akibat edema akut, infiltrasi
sel-sel inflamasi dan remondeling, hiperplasia dan hipertropi kronis otot polos,
vaskuler dan sel-sel sekretori serta deposisi matrik pada diding saluran
respiratorik. Selain itu hambatan saluran respiratorik juga bertambah akibat
produksi sekret yang banyak, kental, dan lengket oleh sel goblet dan kelenjar
submukosa, protein plasma yang keluar melalui mikrovaskuler bronkus dan
debris seluler (Bouquet, et al., 2000).
Sistim saraf parasimpatik memainkan peran penting dalam menjaga
tonus normal bronkial. Aktifasi reflek vagal terjadi pada bronkokontriksi yang
dimediasi oleh peningkatan siklik guanosin monofosfat intraseluler (cGMP)
(Morgan, 2006).
Gambar 2. Patogenensis Asma
c. Etiologi Asma
- Herediter
- Kebiasaan : polusi udara, stress, makanan
- Alergi : rokok, udara dingin, anjing, kucing, debu
- Obat : obat nyeri seperti NSAID
e. Klasifikasi Asma
Berdasarkan etiologi:
- Asma intrinsik
Asma yang tidak disebabkan oleh faktor lingkungan.
- Asma ekstrinsik
Penyakit asma yang berhubungan dengan atopi, predisposisi genetik yang
berhubungan dengan IgE sel mast dan respon eosinofil terhadap alergan.
(PDPI, 2004)
f. Terapi
- Non Farmakologi yaitu melalui pencegahan
- Farmakologi dengan menggunakan obat
Short acting β2 agonsts (salbutamol, terbutalin)
Antikolinergik
Kortikosteroid
- Riwayat Penyakit
Pasien dapat asimptomatik pada saat evaluasi. Namun, petunjuk utama
untuk penyakit parah antara lain adanya riwayat eksaserbasi yang sering,
kunjungan ke rumah sakit, dan, yang paling penting, intubasi trakea
sebelumnya dan ventilasi mekanik untuk menghadapi serangan hebat.
Harus digali juga mengenai agen pemicu bagi pasien yang paling sering
mencetuskan serangan asmanya. Jenis, dosis, frekuensi, dan tingkat
manfaat terapi memberikan petunjuk penting untuk tingkat keparahan
dan pengendalian penyakit. Infeksi pernapasan, termasuk infeksi sinus,
dapat memicu serangan asma; dengan demikian, demam, perubahan
batuk atau dahak, dan bukti lain infeksi saluran pernapasan harus
menjadi perhatian. Hipereaktivitas jalan napas dapat bertahan selama
beberapa minggu setelah resolusi gejala infeksi. Menariknya,
bagaimanapun, sebuah studi retrospektif yang sering dikutip tidak
menemukan peningkatan kejadian intraoperatif bronkospasme pada
pasien asma dengan infeksi pernapasan atas baru-baru ini (Woods and
Sladen, 2009).
- Pemeriksaan Fisik
Tanda-tanda serangan asma tergantung dari derajat obstruksi jalan napas
yang terjadi. Dapat dilihat dari inspeksi penderita tampak sesak,
sianosis, ekspirasi memanjang, Palpasi takikardi. Perkusi hipersonor,
auskultasi whezing, ronchi (Karnen, 1999). Tanda-tanda serangan asma
berat meliputi penggunaan otot-otot pernapasan tambahan, tidak mampu
berhenti napas pada saat bicara, sianosis, sedikit atau tidak ada whezing
(jalan napas tertutup, sedikit gerakan udara, dan whezing menurun)
(Oberoi and Phillip, 2000).
- Pemeriksaan Laboratorium
Pada asma eosinofil total dalam darah sering meningkat. Jumlah
eosinofil ini selain untuk menilai cukup tidaknya dosis terapi
kortikosteroid dan dapat juga untuk membedakan asma dengan
bronchitis kronis. Pada pemeriksaan sputum selain didapatkan eosinofil,
juga dapat ditemukan adanya kristal charcat leyden, spiral churschman
dan mungkin juga miselium aspergilus fumigates (Karnen, 1999).
- Pemeriksaan Rontgen Thorax
Pada umumnya hasil normal atau hiperinflasi. Pemeriksaan tersebut
umumnya dilakukan bila ada kecurigaan adanya proses patologi diparu
atau adanya komplikasi asma seperti pneumothorax,
pneumomediastinum, atelektasis, pneumonia. Kadang didapatkan
gambaran air trapping, diafragma datar karena hiperinflasi, jantung
mengecil dan lapang paru yang hiperluscen (Oberoi dan Phillip, 2000).
- Pemeriksaan Fungsi Paru (Spirometri)
- Untuk mengetahui kondisi klinis pasien asma perlu dilakukan
pengukuran aliran udara ekspirasi yaitu volum ekspirasi paksa detik
pertama (FEV1) dan arus puncak ekspirasi (PEFR). Lebih bagus lagi bila
dibandingkan dengan hasil pengukuran sebelumnya. Normalnya nilai
volum ekspirasi paksa (FEV1) untuk laki-laki adalah lebih dari 3 liter
dan lebih 2 liter untuk wanita. Nilai normal arus puncak ekspirasi
(PEFR) adalah lebih dari 200 L/.mnt ( pada laki-laki dewasa muda lebih
dari 500 L/mnt). Nilai PEFR kurang dari 200 L/mnt pada pria ( < 150
L/mnt pada wanita) menunjukkan gangguan efektivitas batuk dan akan
meningkatkan komplikasi pasca bedah. Hasil FEV1 atau PEFR < 50%
menunjukan asma sedang sampai berat. Nilai PEFR < 120 l/mnt atau
FEV1 1 liter menujukan obstruksi berat. Pemeriksaan ini penting
dilakukan karena sering terjadi ketidaksesuaian gambaran klinis asma
dengan fungsi paru. Penderita yang baru sembuh dari serangan akut atau
penderita asma kronik sering tidak mengeluh, tetapi setelah diperiksa
ternyata obstruksi saluran napas. Pemeriksaan ini diindikasikan pada
pasien-pasien yang menderita penyakit paru-paru sedang sampai berat
yang menjalani operasi yang berdampak pada sistem
respirasi.Pemeriksaan ini juga dapat memprediksi terhadap resiko
komplikasi paru postoperatif dan memprediksi kebutuhan bantuan
ventilasi dan respon pengobatan (Bronkodilator) (Morgan, 2006).
- Pemeriksaan Analisa gas darah
Pemeriksaaan analisa gas darah biasanya dilakukan pada penderita
dengan serangan asma yang berat. Keadaaan ini bisa terjadi hipoksemia,
hiperkapnia, dan asidosis respiratorik. Kondisi yang berat akan
meningkatkan resiko komplikasi paru-paru (Karnen, 1999).
- Fisioterapi dada.
Merupakan istilah umum yang dipakai untuk membersihkan jalan napas.
Indikasi fisoterapi dada dapat akut dan sebagai profilaksis. Keadaan akut
untuk dilakukan fisioterapi adalah pada pasien- pasien dengan retensi
sputum yang berlebihan atau abnormal akibat batuk yang terus menerus
atau pada pasien yang batuknya sangat lemah (Mulyono, 2000).
2) Pengelolaan preoperatif
Terapi medis
Preparat yang digunakan untuk asma adalah sebagai berikut :
a) Simpatomimetik, atau beta 2 adrenergik agonis, menyebabkan
bronkodilatasi melalui relaksasi otot polos yang diperantarai oleh Cyclic
adenosine monophosphate (cAMP). Obat-obat ini juga menghambat
antihistamin dan juga neurotransmiter kolinergik (Mulyono, 2000). Obat
dengan selective beta 2 adrenergik. Misalnya albuterol(ventolin) 2 puffs
atau lebih dengan MDI setiap 3-4 jam atau 0,5mL/2mL salin setiap 4-6
jam. Salmeterol(serevent) 2 puff dengan MDI setiap 12 jam dan
metaproterenol(Alupent) 2 atau lebih puffs dengan MDI setiap 3-4 jam
atau 0,5mL/2mL salin setiap 4-6 jam. Pasien-pasien yang menggunakan
terapi β-bloker hendaknya β bloker yang tidak menimbulkan spasme
bronkus seperti atenolol atsumetropolol atau esmolol (Mulyono, 2000).
Obat dengan campuran beta 1 dan beta 2 adrenergik meliputi epinefrin
(adrenalin) dan isoproteronol. Potensi kronotropik dan aritmogenik
obat-obat ini perlu diperhatikan pada pasien dengan penyakit jantung.
Pemberian intervena dosis kecil epinefrin (1g/mt) dipertimbangkan
pada pasien bronkospasme. Pada dosis 0,25-1g/mt efek agonis beta 2
dominan, dengan meningkatkan denyut jantung akibat stimulasi betal
adrenergik. Pada dosis tinggi epinefrin, efek alfa adrenergic menjadi
dominan, dengan peningkatan tekanan darah sistemik.
b) Parasimpatolitik
Mempunyai efek bronkodilatasi langsung dengan memblok kerja
asetilkolin pada second messenger seperti cGMP. Obat-obat ini
meningkatkan FEV1 pada pasien PPOK bila diberikan secara inhalasi.
Ipratropium bromide, merupakan obat aksi singkat yang
diberikan dengan inhaler dosis terukur atau dengan nebulizer.
Sulfas atropine, 0,2-0,8 mg perlu diprtimbangkan karena dapat
menyebabkan takikardi.
c) Metilxantin
Menyebabkan bronkodilatasi melalui hambatan fosfodiesterase, suatu
enzim yang bertanggung jawab pada pemecahan cAMP. Efek pulmoner
obat ini lebih komplek termasuk pelepasan katekolamin, blockade
pelepasan histamine, dan stimulasi diafragma. Teofilin kerja panjang
peroral digunakan pada pasien dengan gejala nocturnal. Namun
sayangya teofilin memiliki terapi range yang sempit, level terapi dalam
darah sekitar 10-20g/ml. level yang lebih rendah mungkin efektif.
Aminofilin merupakan satu-satu yang dapat diberikan secara intravena
(Woods, and Sladen, 2009).
d) Kortikosteroid diberikan pada pasien yang tidak berespon terhadap
bronkodilator. Mekanisme kerjanya kemungkinan dengan menurunkan
inflamasi, edema, sekresi mukosa, kontriksi otot polos, stabilisasi
membran mast sel. Meskipun sangat berguna pada eksaserbasi akut, efek
klinisnya membutuhkan waktu beberapa jam. Steroid dapat diberikan
melalui inhalasi. Steroid intravena yang sering digunakan meliputi
hidrokortisone 100 mg tiap 8 jam dan metilpredisolon 0,5 mg/kg setiap
6 jam pada asma bronkiale dan dosis lebih besar pada eksaserbasi asma
berat. Kortikosteroid dapat meningkatkan efek langsung pada otot polos,
kortikosteroid juga meningkatkan jumlah reseptor beta 2 adrenergik dan
responnya terhadap agonis beta 2 adrenergik (Woods and Sladen, 2009).
3) Premedikasi
Tujuan utama untuk menghilangkan cemas, meminimalkan reflek
bronkonstriksi terhadap iritasi jalan nafas.
a) Beberapa jam sebelum operasi sedasi yang diinginkan pada pasien asma
dapat diberikan untuk operasi elektif pada pasien terutama penyakit yang
memiliki komponen emosional. Secara umum, benzodiazepin adalah
agen yang paling aman untuk premedication. Sedatif (Benzodiazepin)
adalah efektif untuk anxiolitik tetapi pada pasien dengan asma berat
dapat menyebabkan depresi pernapasan. Sedasi ini penting diberikan
pada pasien dengan riwayat asma yang dipicu oleh emosional.
b) Narcotik(Opioid). Penggunaan sebagai analgesia dan sedasi sebaiknya
dipilih yang tidak mempunyai efek pelepasan histamin misalnya
fentanil, sufentanil (Gal, 2002).
c) Agen antikolinergik tidak diberikan kecuali pemberian dilakukan jika
terdapat sekresi berlebihan atau penggunaan ketamin sebagai agen
induksi. Antikolinergik tidak efektif untuk mencegah reflek
bronkospasme oleh karena tindakan intubasi (Morgan, 2006).
d) H2 antagonis (Cimetidin, Ranitidin) penggunaan agen pemblok H2
secara teori dapat mengganggu, karena aktivasi reseptor H2 secara
normal akan menyebabkan bronkodilatasi dengan adanya pelepasan
histamin, aktivitas H1 yang tanpa hambatan dengan blokade H2 dapat
menimbulkan bronkokonstriksi (Morgan, 2006).
e) Pada pasien asma yang sudah menggunakan bronkodilator inhaler atau
kortikosteroid inhler obat-obat ini perlu dibawa masuk ke ruang operasi.
Dianjurkan pemberian kortikosteroid parenteral (Methilprednisolon 40-
80 mg) 1-2 jam sebelum induksi anestesi (Stoelting, 1999).
f) Pada penderita asma intubasi dapat diberikan lidocain 1-1,5 mg/kgBB
atau Fentanyl 1-2 mcg/kgBB dapat menurunkan reaktifitas laring
terhadap ETT (Woods and Sladen, 2009).
2) Anestesi Umum
Waktu paling kritis pada pasien asma yang dianestesi adalah selama
instrumentasi jalan napas. Nyeri, stress, emosional atau rangsangan selama
anestesi dangkal dapat menimbulkan bronkospasme. Obat-obatan yang
sering dihubungkan dengan pelepasan histamin (seperti curare, atracurium,
mivacurium, morfin, meperidin) harus dicegah atau diberikan dengan sangat
lambat jika digunakan. Tujuan dari anestesi umum adalah smooth induction
dan kedalaman anestesi disesuaikan dengan stimulasi. Pemilihan agen
anestesi tidak sepenting dalam pencapaian anestesi yang dalam sebelum
intubasi dan stimulasi pembedahan. Penggunaan laryngeal mask airway
LMA) menurunkan bronkospasme, tapi tidak menghilangkan resiko
bronkospasme sebagai akibat dari tindakan laringkoskopi (Woods and
Sladen, 2009).
3) Agent Inhalasi
5) Muscle Relaxant
3. Obesitas
a) Definisi dan Klasifikasi Obesitas
Obesitas merupakan suatu kelainan komplek pengaturan nafsu makan dan
metabolisme energi yang dikendalikan oleh beberapa faktor biologik spesifik.
Faktor genetik diketahui sangat berpengaruh bagi perkembangan penyakit ini.
Secara fisiologis obesitas didefinisikan sebagai akumulasi lemak yang tidak
normal atau berlebihan dijaringan adiposa sehingga dapat mengganggu
kesehatan. Keadaan obesitas ini, terutama obesitas sentral, meningkatkan risiko
penyakit kardiovaskular karena keterkaitannya dengan sindrom metabolik atau
sindrom resistensi insulin yang terdiri dari resistensi insulin / hiperinsulinemia,
hiperuresemia, gangguan fibrinolisis, hiperfibrinogenemia dan hipertensi.
Sangat sulit untuk mengukur lemak tubuh secara langsung sehingga sebagai
penggantinya dipakai body mass index (BMI) atau indeks massa tubuh (IMT)
untuk menentukan berat badan lebih dan obesitas pada orang dewasa.
Pengukuran ini merupakan langkah awal dalam menetukan derajat adipositas,
dan dikatakan berkorelasi kuat dengan jumlah massa lemak tubuh. Untuk
penelitian epidemiologi digunakan IMT atau indeks Quetelet yaitu berat badan
dalam kg dibagi tinggi badan dalam meter kuadrat (m2). Karena IMT
menggunakan tinggi badan, maka pengukurannya harus dilakukan dengan teliti.
Disamping IMT, menurut rekomendasi WHO lingkar pinggang (LP) juga harus
dihitung untuk menilai adanya obesitas sentral dan komorbid obesitas terutama
pada IMT 25- 34,9 kg/m2 (Sugondo, 2009).
Klasifikasi IMT yang direkomendasikan untuk digunakan adalah
klasifikasi yang diadopsi dari the National Institute of Health (NIH) dan World
Health Organization (WHO), yang tertera pada tabel di bawah ini.
Karena definisi berat badan lebih dan obesitas sangat tergantung pada ras,
maka wilayah Asia Pasifik pada saat ini telah menggunakan klasifikasi dan
kriteria obesitas sendiri seperti yang terdapat didalam tabel 2. Hingga saat ini
masih terdapat perdebatan menentukan ”cut-off ” yang digunakan sebagai
patokan batas obesitas pada populasi Asia. Beberapa negara seperti Jepang dan
Cina sudah menggunakan batasan yang lebih rendah sebagai kriteria obesitas
(WHO, 2015).
Risiko Komorbiditas
Lingkar Pinggang
Klasifikasi IMT (kg/m2)
< 90 cm (pria) ≥ 90 cm (pria)
< 80 cm (wanita) ≥ 80 cm (wanita)
Berat badan kurang < 18.5 Rendah Sedang
Kisaran normal 18.5 – 22.9 Sedang Meningkat
Berat badan lebih ≥ 23.0
Berisiko 23.0 – 24.9 Meningkat Moderat
Obes I 25.0 – 29.9 Moderat Berat
Obes II ≥ 30.0 Berat Sangat berat
2) Sistem Respirasi
Kenaikan berat badan sebanding dengan meningkatnya kesulitan
bernapas. Pada kasus berat, penurunan kemampuan bernapas dapat
mencapai tiga puluh persen. Kombinasi dari tekanan intraabdomen, reduksi
dari compliance, dan meningkatnya kebutuhan metabolik dengan gerakan
otot dada, menghasilkan gerak inefisien dari otot dada tersebut, sehingga
pada orang tersebut terjadi usaha bernapas lebih berat. Walaupun terdapat
akumulasi jaringan lemak di dalam dan sekitar dinding dada yang berakibat
tertahannya gerak dinding dada (restriksi), namun beberapa penelitian
mengemukakan bahwa hal ini disebabkan oleh peningkatan volume darah
paru. Tertahannya gerak dinding dada juga berhubungan dengan penurunan
FRC, terhimpitnya saluran napas, dan kegagalan pertukaran gas. Perubahan
compliance dan resistensi thorax terlihat dengan adanya napas cepat dan
dangkal, frekuensi yang meningkat dan berkurangnya kapasitas paru.
Selain hal-hal di atas, ambilan oksigen dan pelepasan karbondioksida pada
penderita obesitas juga meningkat sebagai hasil dari aktivitas metabolik
karena jumlah lemak yang berlebih dan bertambahnya simpanan pada
jaringan. Aktivitas metabolik basal (Basal Metabolic Activity atau BMA)
berhubungan dengan luasnya permukaan tubuh. Penurunan kapasitas residu
fungsional (Functional Residual Capacity atau FRC), volume ekspirasi
cadangan (Expiratory Reserve Volume atau ERV) dan kapasitas total dari
paru-paru merupakan masalah yang dihadapi penderita obesitas seiring
dengan peningkatan berat badan. Kapasitas residu fungsional menurun
akibat penyempitan saluran napas, ketidakseimbangan perfusi dan
ventilasi, shunt dari kanan ke kiri, dan hipoksemia arteri. Pemberian
anestesi dikatakan menurunkan FRC sebesar 50% pada penderita obesitas,
sedangkan pada orang normal terjadi penurunan FRC sebesar 20%. Karena
kurangnya FRC, pada penderita obesitas terjadi kegagalan toleransi ketika
terjadi apnea, disamping itu juga terjadi desaturasi oksigen segera setelah
induksi anestesi (Cullen, 2012).
Gangguan pernapasan yang paling sering ditemui pada pasien
obesitas adalah Obstructive Sleep Apnea (OSA) yang ditandai oleh ciri-ciri
sebagai berikut (Lopez, 2008):
- Episode apnea atau hipopnea yang sering terjadi saat tidur dan
membangunkan pasien secara mendadak. Episode ini digambarkan
sebagai obstruktif apnea selama 10 detik atau lebih yang menyebabkan
penutupan total dari saluran napas dan adanya usaha keras untuk tetap
bernapas. Hipopnea diartikan sebagai reduksi dari 50% aliran udara
yang adekuat yang berujung pada penurunan 4% saturasi oksigen
arterial. Frekuensi episode apnea atau hipopnea tercatat lebih dari lima
kali per jam atau lebih dari 30 kali tiap malam. Hal yang penting
diperhatikan adalah sekuele dari keadaan ini yaitu hipoksia,
hiperkapnia, hipertensi sistemik atau pulmonal, dan aritmia.
- Mengorok. Semakin hebat obstruksi, makan suara yang terdengar akan
semakin jelas. Mengorok pada pasien OSA juga diikuti periode sunyi
(silence) saat tidak ada aliran udara yang masuk dan setelahnya akan
terjadi gasping atau choking yang membangunkan pasien dari tidurnya,
bernapas beberapa kali, dan kemudian tidur kembali (siklus ini
berulang sepanjang waktu tidur).
- Gejala pada siang hari seperti sering mengantuk, konsentrasi dan
memori terganggu. Terkadang penderita mengeluhkan sakit kepala
pada pagi hari akibat retensi karbondioksida (CO2) pada malam
harinya dan vasodilatasi serebral.
- Perubahan fisiologi. Apnea berulang dapat menyebabkan hipoksemia,
hiperkapnia, vasokonstriksi pulmonal dan sistemik. Hipoksemia
berulang dapat berujung pada polisitemia yang meningkatkan risiko
penyakit jantung iskemia dan penyakit serebrovaskular. Sedangkan
vasokonstriksi pulmonal menyebabkan kegagalan ventrikel kanan
(right ventricle failure).
3) Sistem Gastrointestinal
Risiko terjadinya aspirasi asam lambung diikuti oleh pneumonia
aspirasi lebih tinggi pada pasien obesitas. Hal ini disebabkan oleh beberapa
faktor antara lain tekanan intraabdomen yang tinggi, tingginya volume dan
rendahnya pH dalam lambung, dan tingginya risiko gastro-esofageal.
Walaupun pasien obesitas memilki volume lambung yang lebih besar
daripada orang normal, namun pengosongan lambung justru lebih cepat
berlangsung pada penderita obesitas, terutama pada intake energi tinggi
seperti emulsi lemak. Oleh karena adanya risiko aspirasi asam, maka pasien
obesitas dapat diberikan H2-reseptor antagonis, antasid, dan prokinetik,
juga dilakukan induksi secara cepat dengan tekanan pada krikoid dan
ekstubasi trakea ketika pasien sadar penuh (Cullen, 2012).
3) Paska-operasi
Kegagalan napas merupakan masalah pasca-operasi terbesar pada
pasien obesitas. Risiko hipoksi pasca-operasi meningkat pada pasien
dengan hipoksi pra-operasi yang diikuti dengan pembedahan rongga dada
atau abdomen bagian atas. Ekstubasi harus ditunggu hingga kerja dari
pelumpuh otot telah dibalikkan dan pasien sadar. Pasien obesitas harus
tetap diintubasi hingga jalur napas yang adekuat dan volume tidal dapat
dipertahankan secara pasti. Jika pasien diekstubasi di dalam kamar operasi,
suplementasi oksigen harus diberikan selama pasien dipindahkan ke
PACU. Posisi duduk 45o dapat memperbaiki ventilasi dan oksigenasi.
Risiko hipoksia pada pasien obesitas tetap ada hingga beberapa hari pasca-
operasi, oleh karena itu suplementasi oksigen dan CPAP mungkin dapat
dipertimbangkan. Komplikasi lain yang sering terjadi pada pasien obesitas
adalah infeksi luka, trombosis vena dalam, dan emboli pulmoner
(Gaszynski, 2007).
Untuk penatalaksanaan nyeri paska-operasi, analgesik epidural dengan
opioid atau anestesi lokal mungkin merupakan pilihan yang paling efektif
dan aman bagi pasien obesitas. Selain itu, pemberian analgesik epidural
juga dapat diiringi dengan pemberian parasetamol atau NSAIDs lainnya.
Penanganan nyeri yang baik akan membuat pasien dapat melakukan
mobilisasi lebih awal, hal ini memberi keuntungan untuk mengurangi risiko
terjadinya infeksi paru dan trombosis vena dalam (Cullen, 2012).
Hal lain yang perlu diperhatikan pada masa paska-operasi pasien
obesitas adalah tingginya risiko untuk mengalami infeksi pada luka bekas
operasi. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya
hal ini adalah dengan mengontrol gula darah pasien obesitas paska-operasi.
Di samping itu, pemberian antibiotik dengan waktu dan dosis yang tepat
perlu dipertimbangkan (Huttunen, 2012).
Daftar Pustaka
Bouquet J, Jeffery PK. Busse WW, Jhonson M, Vignola AM. 2000. Asthma. From
bronchocontriction to airway remondelling. Am J Respir Crit Care Med; 161:1720-
45.
Corwin, E. J., 2008. Handbook of Pathophysiology. 3rd ed. Ohio: Lippincott Williams &
Wilkins.
De Jong,.W., Sjamsuhidajat, R., 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. EGC. Jakarta.
Gal T. J. 2002. Reactive airway Disease: Anesthetic Perspective, IARS Review Course
Lectures, USA.
Global Initiative for Asthma (GINA). Global Strategy for Asthma Managemen and
Prevention, 2018. Available from www.ginasthma.org.
Huttunen R, Syrjanen J. 2012. Obesity and the risk and outcome of infection. Int J Obes
(Lond).
Ingrande J, Lemmens HJ. 2010. Dose adjustment of anaesthetics in the morbidly obese. Br
J Anaesth; 105(Suppl 1): 116-23.
Ingrande J, Brodsky JB, Lemmens HJ. 2011. Lean body weight scala for the anesthetic
induction dose of propofol in morbidly obese subjects. Anesth Analg; 113: 57-62.
Jaffe BM, Berger DH. 2005. The Appendix. In: Schwartz’s Principles of Surgery Volume 2.
8th edition. Ed: Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG,
Pollock RE. New York: McGraw Hill Companies Inc:1119-34.
Janmahasatian S, Duffull SB, Ash S, Ward LC, Byrne NM, Green B. 2005. Quantification
of lean bodyweight. Clin Pharmacokinetic; 44: 1051-65.
Karnen B. 1999. Asma Bronchial dalam Ilmu Penyakit Dalam, Balai Penerbit
FKUI, Jakarta, hal : 21-39
Lopez PP, Stefan B, Schulman CI, Byers PM. 2008. Prevalence of sleep apnea in morbidly
obese patients who presented for weight loss surgery evaluation: more evidence for
routine screening for obstructive sleep apnea before weight loss surgery. Am Surg;
74: 834-8.
Morgan G.E, 2006 : Anestesi for patients with Respiratory Disease in Clinical
Anaesthesiology third edition, page : 571-576.
Rider OJ, Petersen SE, Francis JM, et al. 2011. Ventricular hypertrophy and cavity dilatation
in relation to body mass index in women with uncomplicated obesity. Heart; 97: 203-
8.
Soybel D.I. 2000. Appedix In: Surgery Basic Science and Clinical Evidence Vol 1. Ed:
Norton JA, Bollinger RR, Chang AE, Lowry SF, Mulvihill SJ, Pass HI, Thompson
RW. New York: Springer Verlag Inc: 647-62.
Prinz R.A, Madura JA. 2001. Appendicitis and Appendiceal Abscess. In: Mastery of Surgery
Vol II. 4th edition. Ed: Baker RJ, Fiscer JE. Philadelphia. Lippincott Williams &
Wilkins: 1466-78.
Woods B. D., Sladen R.N. 2009. Perioperative considerations for the patient with asthma.
Br J Anaesth, Volume 103, pp. 157-165.