Anda di halaman 1dari 1

Nama : Riski Pratama Putra

NIM : D20161080
MK : Event Organizer

ANALISIS ACARA GEBYAR BUDAYA BANYUWANGI

Dalam analisa saya, terdapat beberapa hal yang janggal di pergelaran acara tersebut.
Petama, pencahayaan kurang sehingga muncul beberapa asumsi negatif dari beberapa
penonton yang melihat termasuk saya. Mungkin maksud panitia dalah agar seperti bioskop,
namun dalam acara pergelaran dengan konsep seperti ini kurang cocok.
Kedua adalah pemilihan tempat, tempat yang dipilih adalah tempat parkir di Gedung
Kuliah Tunggal (GKT) IAIN Jember. Pemilihan tempat menjadi sangat penting karena
menentukan daya tarik penonton. Jika tempat yang dipilih adalah tempat yang kurang pas,
maka pertunjukan tidak dapat dinikmati secara maksimal oleh penonton. Disini tempat parkir
GKT mempunyai pondasi-pondasi yang sangat mengganggu visibilitas penonton. Saya rasa
untuk pemilihan tempat panitia tidak mempertimbangkan secara matang akan hal itu.
Seharusnya perlu peninjauan lokasi dan menggambar denah untuk bahan diskusi kepada rekan
panitia dan dipikirkan secara matang-matang tentang hal kenyamanan penonton.
Ketiga, dekorasi yang kurang menarik, memang hal yang dipertunjukkan adalah aksi
mahasiswa-mahasiswa tampil di pentas. Namun, alangkah baiknya jika pentas turut dihiasi
dengan hal yang menarik. Dalam background pentas yang berwarna hitam dan dihiasi sedikit
variasi yang bermotif “aneh” sehingga menimbulkan pertanyaan dari beberapa penonton
termasuk rekan-rekan saya. Setidaknya dekorasi disesuaikan dengan tema yang dibawakan
dan sudah familiar bagi penonton sehingga mudah ditranskripkan menjadi makna.
Keempat, MC atau pembawa acara tidak proporsional dan tidak mempunyai kapasitas
menjadi seorang MC. Pertama adalah konsistensi ucapan yang berbeda dengan kenyataan,
ketika diawal acara MC menyebutkan sebuah “Band” yang akan tampil, namun nyatanya hanya
sebuah konser musik solo accoustic guitar yang muncul. Hal ini tentu membuat sebuah
pertanyaan besar, ketika MC menyatakan bahwa yang akan tampil sebuah band, dalam
imajinasi penonton akan tampil beberapa orang dengan variasi alat musik disana, namun ditepis
oleh kenyataan yang ada didepan. Lalu, penggunaan bahasa “osing” yang terlalu sering
digunakan membuat penonton yang tidak mengerti menjadi bosan.

Anda mungkin juga menyukai