DEFINISI PENYAKIT Fraktur
DEFINISI PENYAKIT Fraktur
Fraktur adalah patahnya tulang, yang biasanya dialami hewan kecil akibat kecelakaan,
terjatuh dan luka (Bleby & Bishop, 2015).
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang
rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Sjamsuhidayat, 2014).
Fraktur adalah setiap retak atau patah pada tulang yang utuh. Kebanyakan fraktur
disebabkan oleh trauma dimana terdapat tekanan yang berlebihan pada tulang, baik berupa
trauma langsung dan trauma tidak langsung (Sjamsuhidajat & Jong, 2014).
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau tulang
rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer, 2007).
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang, yang biasanya disertai dengan
luka sekitar jaringan lunak, kerusakan otot, rupture tendon, kerusakan pembuluh darah, dan
luka organ-organ tubuh dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya, terjadinya fraktur jika tulang
dikenai stress yang lebih besar dari yang besar dari yang dapat diabsorbsinya (Smeltzer,
2014).
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya
fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang dapat diabsorpsinya.
Fraktur dapat disebabkan pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan punter mendadak, dan
bahkan kontraksi otot ekstrem (Bruner & Sudarth, 2012).
Fraktur adalah diskontiunitas jaringan tulang yang banyak disebabkan karena
kekerasan yang mendadak atau tidak atau kecelakaan.Suddarth (2012:2353)
Fraktur adalah terputusnya hubungan normal suatu tulang atau tulang rawan yang
disebabkan oleh kekerasan. Santoso Herman (2013:144)
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang rawan yang
umumnya disebabkan oleh ruda paksa (Carpenito 2013:43)
Fraktur adalah patahnya kontinuitas tulang yang terjadi ketika tulang tidak mampu
lagi menahan tekanan yang diberikan kepadanya. (Doenges, 2013:625)
ETIOLOGI
Fraktur disebabkan oleh trauma di mana terdapat tekanan yang berlebihan pada tulang
yang biasanya di akibatkan secara langsung dan tidak langsung dan sering berhubungan
dengan olahraga, pekerjaan atau luka yang di sebabkan oleh kendaraan bermotor.
Penyebab patah tulang paling sering di sebabkan oleh trauma terutama pada anak-
anak, apabila tulang melemah atau tekanan ringan. (Doenges, 2013:627)
1) Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya kekerasan. Fraktur
demikian demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis patah melintang atau miring.
1) Trauma Langsung
Yaitu fraktur terjadi di tempat dimana bagian tersebut mendapat ruda paksa misalnya
benturan atau pukulan pada anterbrachi yang mengakibatkan fraktur
3) Fraktur Patologik
Stuktur yang terjadi pada tulang yang abnormal(kongenital,peradangan, neuplastik dan
metabolik).
3) Trauma ringan pun dapat menyebabkan terjadinya fraktur bila tulang itu sendiri rapuh/
ada resiko terjadinya penyakit yang mendasari dan hal ini disebut dengan fraktur patologis.
KLASIFIKASI
Fraktur disebabkan oleh trauma di mana terdapat tekanan yang berlebihan pada tulang
yang biasanya di akibatkan secara langsung dan tidak langsung dan sering berhubungan
dengan olahraga, pekerjaan atau luka yang di sebabkan oleh kendaraan bermotor.
Penyebab patah tulang paling sering di sebabkan oleh trauma terutama pada anak-
anak, apabila tulang melemah atau tekanan ringan. (Doenges, 2013:627)
Menurut Carpenito (2014:47) adapun penyebab fraktur antara lain:
1) Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya kekerasan. Fraktur
demikian demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis patah melintang atau miring.
3) Fraktur Patologik
Stuktur yang terjadi pada tulang yang abnormal(kongenital,peradangan, neuplastik dan
metabolik).
Klasifikasi fraktur secara umum :
1) Berdasarkan tempat (Fraktur humerus, tibia, clavicula, ulna, radius dan cruris dst).
2) Berdasarkan komplit atau ketidakklomplitan fraktur:
a. Fraktur komplit (garis patah melalui seluruh penampang tulang atau melalui kedua korteks
tulang).
b. Fraktur tidak komplit (bila garis patah tidak melalui seluruh garis penampang tulang).
3) Berdasarkan bentuk dan jumlah garis patah :
a. Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan.
b. Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak berhubungan.
c. Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak pada tulang yang
samaa
a) Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa ceddera jaringan lunak sekitarnya.
b) Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan subkutan.
c) Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian dalam dan
pembengkakan.
d) Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata ddan ancaman sindroma
kompartement.
e) Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan antara hubungan antara fragmen
tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan kulit.
Fraktur terbuka dibedakan menjadi beberapa grade yaitu :
i. Grade I : luka bersih, panjangnya kurang dari 1 cm.
ii. Grade II : luka lebih luas tanpa kerusakan jaringan lunak yang ekstensif.
iii. Grade III : sangat terkontaminasi, dan mengalami kerusakan jaringan lunak ekstensif.
KOMPLIKASI
1. Komplikasi Awal
a. Kerusakan Artery
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi, CRT menurun,
cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada ekstrimitas yang disebabkan
oleh tindakan emergensi splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan
pembedahan.
b. Kompartement Syndrom
Komplikasi ini terjadi saat peningkatan tekanan jaringan dalam ruang tertutup di otot,
yang sering berhubungan dengan akumulasi cairan sehingga menyebabkan hambatan aliran
darah yang berat dan berikutnya menyebabkan kerusakan pada otot. Gejala – gejalanya
mencakup rasa sakit karena ketidakseimbangan pada luka, rasa sakit yang berhubungan
dengan tekanan yang berlebihan pada kompartemen, rasa sakit dengan perenggangan pasif
pada otot yang terlibat, dan paresthesia. Komplikasi ini terjadi lebih sering pada fraktur
tulang kering (tibia) dan tulang hasta (radius atau ulna).
d. Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma orthopedic infeksi
dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur
terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
e. Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau terganggu yang
bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan adanya Volkman’s Ischemia.
Nekrosis avaskular dapat terjadi saat suplai darah ke tulang kurang baik. Hal ini paling sering
mengenai fraktur intrascapular femur (yaitu kepala dan leher), saat kepala femur berputar
atau keluar dari sendi dan menghalangi suplai darah. Karena nekrosis avaskular mencakup
proses yang terjadi dalam periode waktu yang lama, pasien mungkin tidak akan merasakan
gejalanya sampai dia keluar dari rumah sakit. Oleh karena itu, edukasi pada pasien
merupakan hal yang penting. Perawat harus menyuruh pasien supaya melaporkan nyeri yang
bersifat intermiten atau nyeri yang menetap pada saat menahan beban
f. Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas kapiler yang
bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada fraktur.
g. Osteomyelitis
Adalah infeksi dari jaringan tulang yang mencakup sumsum dan korteks tulang dapat berupa
exogenous (infeksi masuk dari luar tubuh) atau hematogenous (infeksi yang berasal dari
dalam tubuh). Patogen dapat masuk melalui luka fraktur terbuka, luka tembus, atau selama
operasi. Luka tembak, fraktur tulang panjang, fraktur terbuka yang terlihat tulangnya, luka
amputasi karena trauma dan fraktur – fraktur dengan sindrom kompartemen atau luka
vaskular memiliki risiko osteomyelitis yang lebih besar
4. Stadium Empat-Konsolidasi
Bila aktivitas osteoclast dan osteoblast berlanjut, anyaman tulang berubah menjadi lamellar.
Sistem ini sekarang cukup kaku dan memungkinkan osteoclast menerobos melalui
reruntuhan pada garis fraktur, dan tepat dibelakangnya osteoclast mengisi celah-celah yang
tersisa diantara fragmen dengan tulang yang baru. Ini adalah proses yang lambat dan
mungkin perlu beberapa bulan sebelum tulang kuat untuk membawa beban yang normal.
5. Stadium Lima-Remodelling
Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat. Selama beberapa bulan atau
tahun, pengelasan kasar ini dibentuk ulang oleh proses resorbsi dan pembentukan tulang yang
terus-menerus. Lamellae yang lebih tebal diletidakkan pada tempat yang tekanannya lebih
tinggi, dinding yang tidak dikehendaki dibuang, rongga sumsum dibentuk, dan akhirnya
dibentuk struktur yang mirip dengan normalnya.
PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. X.Ray dilakukan untuk melihat bentuk patahan atau keadaan tulang yang cedera.
2. Bone scans, Tomogram, atau MRI Scans
3. Arteriogram : dilakukan bila ada kerusakan vaskuler.
4. CCT kalau banyak kerusakan otot.
5. Pemeriksaan Darah Lengkap
Lekosit turun/meningkat, Eritrosit dan Albumin turun, Hb, hematokrit sering rendah
akibat perdarahan, Laju Endap Darah (LED) meningkat bila kerusakan jaringan lunak sangat
luas, Pada masa penyembuhan Ca meningkat di dalam darah, traumaa otot meningkatkan
beban kreatinin untuk ginjal. Profil koagulasi: perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah,
transfusi multiple, atau cederah hati.
PENATALAKSANAAN MEDIS
Empat tujuan utama dari penanganan fraktur adalah :
1. Untuk menghilangkan rasa nyeri.
Nyeri yang timbul pada fraktur bukan karena frakturnya sendiri, namun karena terluka
jaringan disekitar tulang yang patah tersebut. Untuk mengurangi nyeri tersebut, dapat
diberikan obat penghilang rasa nyeri dan juga dengan tehnik imobilisasi (tidak menggerakkan
daerah yang fraktur). Tehnik imobilisasi dapat dicapai dengan cara pemasangan bidai atau
gips.
a. Penarikan (traksi) :
Secara umum traksi dilakukan dengan menempatkan beban dengan tali pada ekstermitas
pasien. Tempat tarikan disesuaikan sedemikian rupa sehingga arah tarikan segaris dengan
sumbu panjang tulang yang patah. Metode pemasangan traksi antara lain :
Traksi manual
Tujuannya adalah perbaikan dislokasi, mengurangi fraktur, dan pada keadaan emergency
Traksi mekanik, ada 2 macam :
o Traksi kulit (skin traction)
Dipasang pada dasar sistem skeletal untuk sturktur yang lain misal otot. Digunakan dalam
waktu 4 minggu dan beban < 5 kg.
o Traksi skeletal
Merupakan traksi definitif pada orang dewasa yang merupakan balanced traction. Dilakukan
untuk menyempurnakan luka operasi dengan kawat metal / penjepit melalui tulang / jaringan
metal.
PEMBEDAHAN
PENGERTIAN ORIF
ORIF (Open Reduction Internal Fixation) adalah suatu bentuk pembedahan dengan
pemasangan internal fiksasi pada tulang yang mengalami fraktur.
Tujuan dari operasi ORIF untuk mempertahankan posisi fragmen tulang agar tetap
menyatu dan tidak mengalami pergeseran. Internal fiksasi ini berupa Intra Medullary Nail
biasanya digunakan untuk fraktur tulang panjang dengan tipe fraktur tranvers
PENGERTIAN OREF
OREF adalah reduksi terbuka dengan fiksasi internal di mana prinsipnya tulang
ditransfiksasikan di atas dan di bawah fraktur , sekrup atau kawat ditransfiksi di bagian
proksimal dan distal kemudian dihubungkan satu sama lain dengan suatu batang lain
Fiksasi eksternal digunakan untuk mengobati fraktur terbuka dengan kerusakan
jaringan lunak . Alat ini memberikan dukungan yang stabil untuk fraktur kominutif ( hancur
atau remuk ) . Pin yang telah terpasang dijaga agar tetap terjaga posisinya , kemudian
dikaitkan pada kerangkanya. Fiksasi ini memberikan rasa nyaman bagi pasien yang
mengalami kerusakan fragmen tulang.
Untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada gambar berikut ini :
1. Indikasi
a) Fraktur terbuka grade II dan III
b) Fraktur terbuka yang disertai hilangnya jaringan atau tulang yang parah.
c) Fraktur yang sangat kominutif ( remuk ) dan tidak stabil.
d) Fraktur yang disertai dengan kerusakan pembuluh darah dan saraf.
e) Fraktur pelvis yang tidak bisa diatasi dengan cara lain.
f) Fraktur yang terinfeksi di mana fiksasi internal mungkin tidak cocok. Misal : infeksi
pseudoartrosis ( sendi palsu ).
g) Non union yang memerlukan kompresi dan perpanjangan.
h) Kadang – kadang pada fraktur tungkai bawah diabetes melitus.
Brunner, Suddarth. 2015. Buku Ajar keperawtan medikal bedah, edisi 8 vol.3. EGC. Jakarta
Carpenito, LJ. 2011. Buku Saku Diagnosa Keperawatan edisi 6 . Jakarta: EGC
Doengoes, M.E., 2010, Rencana Asuhan Keperawatan, EGC, Jakarta.
Ircham Machfoedz, 2007. Pertolongan Pertama di Rumah, di Tempat Kerja, atau di
Perjalanan. Yogyakarta: Fitramaya
Johnson, M., et all. 2014. Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition. New Jersey: Upper
Saddle River
Mansjoer, A dkk. 2013. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius
C. PATOFISIOLOGI DAN PATWAY
Trauma yang menyebabkan fraktur di daerah pergelangan tangan biasanya merupakan
trauma langsung, yaitu jatuh pada permukaan tangan sebelah volar atau dorsal. Jatuh pada
permukaan tangan sebelah volar menyebabkan dislokasi fragmen fraktur sebelah distal ke
arah dorsal. Dislokasi ini menyebabkan bentuk lengan bawah dan tangan bila dilihat dari
samping menyerupai garpu. (Sjamsuhidayat & de Jong, 1998) Benturan mengena di
sepanjang lengan bawah dengan posisi pergelangan tangan berekstensi. Tulang mengalami
fraktur pada sambungan kortikokanselosa dan fragmen distal remuk ke dalam ekstensi dan
pergeseran dorsal. (Apley & Solomon, 1995) Garis fraktur berada kira-kira 3 cm proksimal
prosesus styloideus radii. Posisi fragmen distal miring ke dorsal, overlapping dan bergeser ke
radial, sehingga secara klasik digambarkan seperti garpu terbalik (dinner fork deformity).
(Armis, 2000)
D. MANIFESTASI KLINIS
a. Nyeri hebat pada daerah fraktur dan nyeri bertambah bila ditekan/diraba.
b. Tidak mampu menggerakkan lengan/tangan.
c. Spasme otot.
d. Perubahan bentuk/posisi berlebihan bila dibandingkan pada keadaan
normal.
e. Ada/tidak adanya luka pada daerah fraktur.
f. Kehilangan sensasi pada daerah distal karena terjadi jepitan syarat oleh
fragmen tulang.
g. Krepitasi jika digerakkan.
h. Perdarahan.
i. Hematoma.
j. Syok
k. Keterbatasan mobilisasi.
H. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Pre-Operasi
a. Nyeri b.d spasme otot, kerusakan akibat fraktur.
b. Ketidakmampuan beraktivitas b.d fraktur dan cidera jaringan sekitar.
c. Resiko tinggi terjadi infeksi b.d fraktur terbuka kerusakan jaringan lunak.
d. Gangguan pola tidur b.d nyeri.
b. Post Operasi
a. Nyeri b.d luka operasi.
b. Risiko tinggi terjadi komplikasi post operasi b.d immobilisasi.
c. Ketidakmampuan beraktivitas b.d pemasangan gips dan fiksasi.
d. Risiko tinggi terjadi infeksi b.d luka post operasi.
e. Kurang pengetahuan klien tentang perubahan tingkat aktivitas yang boleh
dilakukan dan perawatannya saat di rumah.
f. Gangguan harga diri b.d perubahan peran dan perubahan bentuk fisik atau
tubuh.
I. TUJUAN DAN INTERVENSI KEPERAWATAN
a. Pre-Operasi
a. Nyeri b.d spasme otot, kerusakan akibat fraktur.
1. Nyeri berkurang atau terkontrol
2. Klien mengatakan nyeri berkurang.
3. Ekspresi wajah tenang.
Rencana Tindakan :
1. Observasi tanda-tanda vital (TD, S, N, P)
2. Kaji keluhan nyeri klien : lokasi, intensitas, karakteristik.
3. Beri posisi yang nyaman sesuai anatomi tubuh manusia.
4. Ajarkan teknik relaksasi nafas dalam.
5. Pertahankan imobilisasi bagian yang sakit dengan tirah baring, gips.
6. Beri therapi analgetik sesuai program medik.
b. Ketidakmampuan beraktivitas b.d fraktur dan cidera jaringan sekitar.
1. Kebutuhan hygiene, nutrisi dan eliminasi.
2. Klien dapat melakukan aktivitas secara bertahap sesuai
kemampuan klien dan sesuai program medik.
Rencana Tindakan :
1. Kaji tingkat kemampuan beraktivitas klien.
2. Observasi tanda-tanda vital (TD, S, N, P)
3. Bantu klien dalam pemenuhan kebutuhan yang tidak dapat dilakukan sendiri.
4. Dekatkan alat-alat yang dibutuhkan.
5. Libatkan keluarga dalam membantu pemenuhan kebutuhan klien.
c. Resiko tinggi terjadi infeksi b.d fraktur terbuka kerusakan jaringan
lunak.
1. Infeksi tidak terjadi
2. Tidak ada kemerahan, pus, peradangan
3. Leukosit dalam batas normal
4. Tanda-tanda vital stabil.
Rencana Tindakan :
1. Observasi tanda-tanda vital (S, TD, N, P)
2. Jaga daerah luka tetap bersih dan kering.
3. Tutup daerah luka dengan kasa steril.
4. Rawat luka fraktur dengan teknik aseptik.
5. Beri therapi antibiotik sesuai program medik.
b. Post-Operasi
a. Nyeri b.d luka operasi
1. Nyeri berkurang sampai dengan hilang.
2. Ekspresi wajah tenang.
Rencana Tindakan :
1. Observasi tanda-tanda vital (TD, S, N, P)
2. Kaji keluhan, lokasi, intensitas dan karakteristik nyeri.
3. Ajarkan tehnik relaksasi nafas dalam.
4. Beri posisi yang nyaman pada tulang yang fraktur sesuai anatomi.
5. Anjurkan klien untuk imobilisasi bagian yang sakit dengan tirah
baring.
6. Beri therapi analgetik sesuai program medik.
b. Ketidakmampuan beraktivitas b.d pemasangan gips atau fiksasi.
1. Kebutuhan hygiene, nutrisi, dan eliminasi terpenuhi.
2. Klien dapat melakukan aktivitas secara bertahap sesuai
kemampuan klien dan sesuai program medik.
Rencana Tindakan :
1. Observasi tanda-tanda vital (S, N, TD, P)
2. Kaji tingkat kemampuan klien dalam beraktivitas secara mandiri.
3. Bantu klien dalam pemenuhan kebutuhan hygiene nutrisi, eliminasi yang tidak dapat
dilakukan sendiri.
4. Dekatkan alat-alat dan bel yang dibutuhkan klien.
5. Libatkan keluarga dalam membantu pemenuhan kebutuhan klien.
6. Anjurkan dan bantu klien untuk mobilisasi fisik secara bertahap sesuai kemampuan
klien dan sesuai program medik.
c. Resiko tinggi terjadi komplikasi post operasi b.d immobilisasi.
Komplikasi setelah operasi tidak terjadi.
Rencana Tindakan :
1. Kaji keluhan klien
2. Observasi tanda-tanda vital (TD, N)
3. Anjurkan klien mobilisasi secara bertahap
4. Kolaborasi dengan dokter.
Carpenito, Lynda Jual (1997). Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada Praktek Klinis. Edisi keenam,
Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Doengoes, Marilynn. E (2000). Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3, Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Evelyn. C. Pearce (1999). Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Cetakan ke-22, Jakarta. Penerbit
PT. Gramedia Pustaka Umum.
Price, Sylvia. A (1995). Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Edisi 4 buku 2.
Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC.