Anda di halaman 1dari 52

PEDOMAN TEKNIS

GANGGUAN REPRODUKSI (GANGREP) 2017

DIREKTORAT JENDERAL
PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN
KEMENTERIAN PERTANIAN
2016
KATA PENGANTAR

Kegiatan penanganan gangguan reproduksi adalah salah satu kegiatan


Direktorat Kesehatan Hewan yang menjadi program Direktorat Jenderal
Peternakan dan Kesehatan Hewan dalam rangka mensukseskan program
Upaya Khusus Percepatan Peningkatan Populasi Sapi dan Kerbau Bunting
(SIWAB). Program tersebut bertujuan meningkatkan populasi ternak dalam
penyediaan protein asal hewan untuk pemenuhan konsumsi masyarakat
Indonesia.

Pedoman Teknis Pelaksanaan Penanganan Gangguan Reproduksi ini adalah


perbaikan dari pedoman Penanggulangan Gangguan Reproduksi pada ternak
sapi dan kerbau yang telah disusun sebelumnya dan disesuaikan dengan
program SIWAB. Pedoman ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi semua
pemangku kepentingan dari tingkat pusat sampai dengan daerah yang terlibat
dalam pelaksanaanpenanganan gangguan reproduksi agar mempunyai
persamaan persepsi mulai dari perencanaan sampai dengan pelaksanaan,
monitoring dan evaluasi, serta pelaporannya.

Kami menyadari pedoman ini masih banyak kekurangan, untuk itu kami
mengharapkan saran dan masukan dari semua pihak khususnya para
pelaksana di lapangan yang dapat melengkapi dan menyempurnakan buku
pedoman ini.

Jakarta, Desember 2016


Direktur Jenderal Peternakan dan
Kesehatan Hewan,

Drh. I. Ketut Diarmita, MP


NIP. 19621231 198903 1 006

i
DAFTAR ISI
Hal

KATA PENGANTAR.......................................................................................... i
DAFTAR ISI........................................................................................................ ii
DAFTAR LAMPIRAN.......................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR……………………………………………………………………. iv
BAB I. PENDAHULUAN.............................................................................. 1
1.1. Latar Belakang................................................................................... 1
1.2. Maksud dan Tujuan........................................................................... 2
1.2.1. Maksud..................................................................................... 2
1.2.2. Tujuan...................................................................................... 2
1.3. Keluaran............................................................................................ 2
1.4. Pengertian........................................................................................ 2
1.5. Ruang Lingkup.................................................................................. 5

BAB II. KLASIFIKASI DAN PENANGANAN GANGGUAN REPRODUKSI.......... 7


A. Klasifikasi Gangguan Reproduksi......................................................... 7
B. Penanganan Gangguan Reproduksi.................................................... 11

BAB III. SUMBER DAYA....................................................................................... 12


A. Penetapan petugas pelaksana penanganan gangguan reproduksi.... 12
B. Penyediaan bahan, peralatan dan obat-obatan..................................... 12
C. Biaya Operasional.................................................................................. 12

BAB IV. MANAJEMEN OPERASIONAL............................................................... 13

BAB V. MEKANISME KERJA............................................................................... 15


A. Penetapan Status Reproduksi............................................................... 15
B. Penanganan Gangguan Reproduksi...................................................... 16
C. Pemberian Pakan Konsentrat................................................................ 17
D. Pemberian Feed Suplement.................................................................. 17

BAB VI. OPERASIONAL KEGIATAN.................................................................. 19


1) Tahap Persiapan................................................................................... 19
2) Tahap Pelaksanaan............................................................................... 20

BAB VII. JADWAL KEGIATAN............................................................................. 23

BAB VIII. PENGENDALIAN, PENGAWASAN SERTA INDIKATOR 24


KEBERHASILAN

BAB IX. MONITORING, EVALUASI DAN PELAPORAN.................................. 27


A. Monitoring dan Evaluasi........................................................................ 27
B. Pelaporan............................................................................................... 27

BAB X. PENUTUP................................................................................................ 28

ii
DAFTAR LAMPIRAN
Hal

Form Laporan Penanganan Gangguan Reproduksi di Kelompok 29


Ternak...................................................................................................
Form Laporan Penanganan Gangguan Reproduksi di 30
Kabupaten/Kota.....................................................................................
Form Laporan Penanganan Gangguan Reproduksi di Provinsi.......... 31
Form Pemantauan Hasil Penanganan Gangguan Reproduksi 32
Nasional.................................................................................................
Data Evaluasi Penanganan Gangguan Reproduksi............................. 33
Data Kasus Hypofungsi Ovaria 34
Surat Keterangan Status Reproduksi.................................................... 35
Daftar Peserta Bimtek Petugas Penanganan Gangguan Reproduksi 36
tahun 2012-2016...................................................................................

iii
DAFTAR GAMBAR
Hal

Gambar 1. Skema Kejadian Anestrus.................................................. 8


Gambar 2. Diagram Penyebab Kawin Berulang……............................ 9
Gambar 3. Skema Operasional Tim Kerja......... 14
Gambar 4. Penetapan Status Reproduksi dan Penanganan 18
Gangguan Reproduksi…….................................................
Gambar 5. Skema Tahapan Pelaksanaan Kegiatan............................. 20

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Dalam rangka mewujudkan kemandirian pangan asal hewan dan


meningkatkan kesejahteraan peternak, Kementerian Pertanian
mencanangkan Upaya Khusus Sapi Indukan Wajib Bunting (UPSUS
SIWAB) dengan mengoptimalkan potensi sapi indukan untuk
menghasilkan pedet dan meningkatkan populasi. Kesehatan hewan
memiliki peran penting dalam dukungan keberhasilan peningkatan
populasi kaitannya dengan penanganan gangguan reproduksi. Dampak
adanya gangguan reproduksi dapat dilihat dari rendahnya service per
conception (S/C), panjangnya calving interval (CI), kemajiran, dan
rendahnya angka kelahiran.
Manajemen pemeliharaan dan penanganan reproduksi yang kurang
tepat khususnya manajemen pakan dapat mempengaruhi berat badan
dan akan berpengaruh terhadap reproduksi ternak. Penurunan berat
badan pada umumnya dipengaruhi oleh parasit darah dan kecacingan,
terapi terhadap parasit dan peningkatan kualitas dan kuantitas pakan
dapat membantu memperbaiki status reproduksi serta status kesehatan
sapi dan kerbau.
Dalam pelayanan kesehatan reproduksi ternak, peran dokter hewan
sebagai medik reproduksi dan paramedik veteriner dalam bidang
reproduksi yaitu Asisten Teknis Reproduksi (ATR), petugas pemeriksa
kebuntingan (PKb), dan Inseminator (Petugas IB) diharapkan dapat
melaksanakan perannya sesuai dengan ilmu dan keterampilan yang
telah dimiliki, dan diaplikasikan sesuai dengan kaidah-kaidah yang
berlaku. Petugas penanganan reproduksi melaksanakan tugas dan
kewajiban secara terpadu dibawah penyeliaan dokter hewan.

Berdasarkan data penanganan gangguan reproduksi Tahun 2015 pada


ternak ruminansia besar (sapi potong, sapi perah dan kerbau) kasus
gangguan reproduksi disebabkan hipofungsi ovarium, corpus luteum
persisten, peradangan saluran reproduksi (endometritis, metritis) oleh
karena penanganan kelahiran dan pelayanan inseminasi yang tidak
sesuai prosedur (legeartis).

Upaya perbaikan harus dilakukan secara menyeluruh baik yang


menyangkut ketepatan program, SDM, fasilitas sarana dan prasarana,
kelembagaan,sistem pelayanan serta perangkat pedoman sebagai
acuan petugas penanganan gangguan reproduksi di lapangan.

1
1.2. Maksud dan Tujuan

1.2.1. Maksud
Maksud disusunnya Pedoman Pelaksanaan Penanganan Gangguan
Reproduksi adalah sebagai acuan bagi pelaksanaan penanganan
gangguan reproduksi di lapangan.

1.2.2. Tujuan
Tujuan disusunnya Pedoman Pelaksanaan Penanganan Gangguan
Reproduksi Ternak Sapi dan Kerbau adalah untuk meningkatkan
pemahaman pengelolaan dan pelaksanaan teknis kegiatan
penanganan gangguan reproduksi, mencakup:
a. Deteksi gangguan reproduksi dan infertilitas ternak sapi dan kerbau
b. Menanggulangi penyakit gangguan reproduksi
c. Menurunkan kasus gangguan reproduksi

1.3. Keluaran

Keluaran yang diharapkan adalah tersosialisasinya pedoman kepada


seluruh pelaku dan pengelola kegiatan sehingga kegiatan dapat berjalan
dengan efektif dan efisien sesuai dengan Sistem Pengendalian Internal
(SPI), seperti:

a. Teridentifikasinya data gangguan reproduksi pada ternak sapi dan


kerbau yang akurat.
b. Meningkatnya efektifitas kinerja medik reproduksi dan paramedik
bidang reproduksi (Asisten Teknis Reproduksi/ATR, Petugas pemeriksa
kebuntingan/Pkb, Inseminator) dalam pelayanan teknis reproduksi
ternak.
c. Tersedianya data hasil analisis dan pemetaan aspek reproduksi ternak

1.4. Pengertian
Dalam Pedoman Pelaksanaan ini yang dimaksud dengan :

1. Betina produktif yaitu: ternak betina yang memiliki saluran reproduksi


normal, dapat memperlihatkan gejala estrus, bunting,melahirkan dan
membesarkan anak umur < 8 thn dan/atau <5 kali beranak.

2. Medik reproduksi yaitu penerapan Medik Veteriner dalam


penyelenggaraan Kesehatan Hewan di bidang reproduksi hewan.

2
3. Paramedik bidang reproduksi yaitu: paramedik yang melaksanakan
tugas bidang reproduksi dibawah penyeliaan medik reproduksi antara
lain inseminator, pemeriksa kebuntingan, dan asisten teknik reproduksi

4. Inseminasi Buatan (IB) adalah teknik memasukkan mani/semen ke


dalam alat reproduksi ternak betina sehat untuk dapat membuahi sel
telur dengan menggunakan alat inseminasi dengan tujuan agar ternak
bunting.

5. Semen Beku adalah semen yang berasal dari pejantan unggul, sehat,
bebas dari penyakit hewan menular yang diencerkan sesuai prosedur
proses produksi sehingga menjadi semen beku dan disimpan di dalam
rendaman nitrogen cair pada suhu minus 196° Celcius dalam
countainer cryogenic.

6. Akseptor IB adalah ternak betina produktif yang dimanfaatkan untuk


Inseminasi Buatan.

7. Inseminator adalah petugas yang telah dididik dan lulus dalam latihan
ketrampilan khusus untuk melakukan IB dan atau memiliki Surat Izin
Melakukan Inseminasi (SIMI).

8. Petugas Pemeriksa Kebuntingan yang selanjutnya disebut sebagai PKb


adalah petugas yang telah dididik dan lulus dalam latihan ketrampilan
khusus untuk melakukan pemeriksaan kebuntingan dan atau memiliki
SIM-A2.

9. Asisten Teknis Reproduksi yang selanjutnya disebut sebagai ATR


adalah petugas yang telah dididik dan lulus dalam latihan keterampilan
dasar manajemen reproduksi untuk melakukan pengelolaan
reproduksidan atau memiliki SIM-A1.

10. Gangguan reproduksi yaitu: perubahan fungsi normal reproduksi baik


jantan maupun betina yang disebabkan oleh penyakit infeksius dan non
infeksius. Status gangguan reproduksi ditetapkan berdasarkan
diagnosa klinis dan/atau laboratoris, antara lain tidak bunting setelah
dilakukan IB

11. Sinkronisasi estrus (penyerentakan birahi) yaitu: upaya menimbulkan


estrus menggunakan sediaan hormon agar terjadi ovulasi yang fertile
pada sekelompok ternak yang memenuhi persyaratan tertentu

3
12. Induksi estrus yaitu: upaya menimbulkan estrus menggunakan sediaan
hormon agar terjadi ovulasi yang fertil pada individu ternak yang
memenuhi persyaratan tertentu dalam rangka terapi

13. Body Condition Score (BCS) atau Skor Kondisi Tubuh (SKT) sapi yaitu:
nilai tingkat kegemukan sapi dengan kisaran antara nilai 1-5 (emasiasi =
SKT 1, kurus = 2, ideal/optimum = 3, gemuk = 4, dan obesitas = 5)

14. Anestrus adalah kondisi betina produktif yang tidak berahi atau tidak
mengalami siklus estrus.

15. Anestrus post partum adalah tidak munculnya estrus pada ternak betina
setelah 90 hari setelah melahirkan.

16. Korpus Luteum Persisten adalah corpus luteum abnormal yang


terbentuk akibat adanya kondisi patologis di dalam uterus

17. Hypofungsi ovaria yaitu adalah ovaria yang mengalami degradasi fungsi
temporer dalam menghasilkan folikel-folikel ovulasi.

18. Kista ovaria (ovarian cyst) adalah folikel yang gagal ovulasi dan
berdiameter lebih dari 20 millimeter.

19. Subestrus adalah sapi yang bersiklus namun menunjukkan gejala


berahinya tidak jelas

20. Silent heat adalah sapi yang bersiklus namun tidak menunjukkan gejala
berahinya

21. Nymfomania adalah sapi yang berahi terus-menerus tanpa disertai


ovulasi

22. Abortus (abortion) adalah kelahiran belum saatnya dalam keadaan fetus
matis

23. Kelahiran premature (premature birth) adalah pedet yang dikeluarkan


belum saatnya dalam keadaan hidup.

24. Still birth adalah pedet dilahirkan sudah saatnya dalam keadaan mati.

25. Days open (hari-hari kosong) adalah hari antara beranak hingga
konsepsi kembali (idealnya 90 hari)

4
26. Service per conception (S/C) adalah jumlah pelayanan IB untuk setiap
kebuntingan (idealnya < 1,5).

27. Conception Rate (CR) adlah angka kebuntingan oleh IB pertama dan
dihitung dalam % (idealnya > 60%).

28. Calving Interval (CI) adalah jarak antara kelahiran ternak betina dan
dihitung dalam bulan (idealnya 12 bulan).

29. Kawin Berulang (repeat breeding) yaitu: ternak betina, pernah beranak,
dengan siklus estrus normal atau mendekati normal dikawinkan baik
dengan IB atau kawin alam 2-3 kali atau lebih tidak menghasilkan
kebuntingan.

30. Retensio plasenta adalah tertahannya selaput plasenta 8-12 jam atau
lebih setelah kelahiran,

31. Endometritis adalah peradangan endometrium saluran reproduksi


disebabkan oleh agen penyakit dan biasanya menyertai proses
kelahiran yang abnormal.

32. Kematian fetus adalah kematian fetus umur 43 hari atau lebih dalam
kandungan dapat dikeluarkan atau tidak dikeluarkan dari tubuh.

1.5. Ruang lingkup


Ruang lingkup pedoman ini terdiri dari:

a. Penanganan gangguan reproduksi, yang meliputi


1) Klasifikasi Gangguan Reproduksi
2) Tahapan Penanganan Gangguan Reproduksi

b. Sumber Daya
1) Penetapan petugas pelaksana penanganan gangguan reproduksi
2) Penyediaan bahan, peralatan dan obat-obatan
3) Biaya operasional

c. Manajemen Operasional

d. Pengendalian, Pengawasan Serta Indikator Keberhasilan


1) Pengendalian pelaksanaan kegiatan.
2) Pengawasan pelaksanaan kegiatan.
3) Indikator keberhasilan, yang meliputi

5
e. Monitoring, evaluasi dan pelaporan, yang meliputi
1) Monitoring pelaksanaan kegiatan.
2) Evaluasi pelaksanaan kegiatan.
3) Pelaporan pelaksanaan kegiatan.

6
BAB II.
KLASIFIKASI DAN PENANGANAN GANGGUAN REPRODUKSI

A. Klasifikasi Gangguan Reproduksi

1. Gangguan reproduksi berdasarkan sifat


Gangguan reproduksi berdasarkan sifat yaitu gangguan reproduksi non
permanen (infertilitas) dan permanen (sterilitas). Gangguan reproduksi
bersifat permanen pada ternak ruminansia besar di Indonesia < 5% dari
seluruh populasi, sementara itu kejadian non permanen berkisar 50-
75% dalam suatu kelompok ternak.
Gangguan reproduksi yang bersifat non permanen ditandai dengan
keterlambatan produksi anak setiap siklus reproduksinya. Contoh
gangguan reproduksi yang bersifat infertilitas antara lain:

a. Hypofungsi ovari (ovarium in-aktif temporer)

Kasus hypofungsi ovari pada umumnya terjadi pada kondisi BCS


dibawah 2,0. Pada kasus ini ovarium akan teraba halus yang
ditandai tidak adanya pertumbuhan folikel dan corpus luteum serta
uterus teraba lembek
.
Penanganan: Tingkatkan kualitas dan jumlah pakan, massage
(perbaikan sirkulasi darah di ovarium), pemberian vitamin ADE,
hormon perangsang pertumbuhan folikel atau pembebas hormone
gonadotropin, dan deworming.

b. Corpus Luteum Persisten


/CLP

Kasus kejadian CLP


merupakan kasus infeksi
pada uterus, seperti
pyometra, metritis dan
mumifikasi fetus.

Pada ovarium ditemukan


corpus luteum yang menetap yang disebabkan oleh tertahannya
luteolitic factor (PGF2α) dari uterus. Kondisi tersebut diakibatkan
oleh peradangan atau sebab lain sehngga kadar progesteron tinggi
dan menekan pengeluaran FSH dan LH dari hypofisa anterior.
Selanjutnya folikel tidak berkembang yang berakibat tidak
dihasilkannya estrogen.

7
Penanganan: Lisiskan corpus luteum secara hormonal, dan
menghilangkan penyebab utama dengan pemberian antibiotika
atau preparat lainnya secara intra uterin (infusi intrauterina).

c. Endometritis
Pada umumnya endometritis terjadi setelah kelahiran abnormal,
seperti abortus, retensio plasenta, distokia, dsb atau sebagai
kelanjutan radang bagian luar (vulva, vagina,dan cervix). Tanda
klinis ditunjukkan dengan keluarnya lendir kotor saat estrus dan
atau keluar lendir mukopurulen secara kontinyu. Pada kasus
endometritis subklinis tidak menunjukkan gejala yang bisa dipalpasi
per rektum.

Penanganan : Perbaiki sirkulasi darah di uterus (hati-hati dapat


menimbulkan kerusakan uterus) dan menghilangkan kuman
dengan antibiotika, sulfa atau antiseptik secara intra uterin.

d. Anestrus
Kasus anestrus disebabkan oleh kegagalan perkembangan folikel
di ovarium. Hal ini dapat disebabkan oleh dua faktor yaitu:
 insufisiensi gonadotropin akibat pengaruh faktor lingkungan dan
abnormalitas ovarium; dan
 corpus luteum persisten.

Skema dibawah ini menjelaskan kejadian anestrus.

Gambar 1. Skema Kejadian Anestrus

8
e. Pyometra
Kejadian endometritis disertai dengan akumulasi pus dalam uterus,
biasanya bilateral, cervix biasanya dalam keadaan konstriksi,
sehingga leleran pus dari vulva tidak selalu terlihat. Peradangan
uterus ini selalu diikuti dengan terbentuknya corpus luteum.
Penderita akan mengalami anestrus akibat terbebasnya
progesteron dari korpus luteum.

Penanganan: obati dengan antibiotika secara infusi intrauterin,


pemberian sulfa atau antiseptika.

f. Kista Ovaria
Kista ovaria disebabkan oleh defisiensi LH yang mengakibatkan
folikel tidak mengalami ovulasi, namun dapat menjadi kista
persisten dengan diameter lebih dari 20 mm. Kista dapat dibagi
menjadi 2 kelompok, yaitu:
 kista folikel (follicular cysts) disebabkan defisiensi LH berat,
bersifat multipel, bilateral, gejala umumnya nimfomania.
 kista lutea (luteal cyst) disebabkan defisiensi LH ringan, tunggal,
gejala umumnya anestrus.

Penanganan: Berikan hormon yang kerjanya seperti LH (hati-hati


sangat antigenik) atau pembebas hormon gonadotrofin.

g. Kawin Berulang (Repeat Breeding)


Kawin berulang disebabkan oleh kematian embrio dini serta
gangguan fertilisasi berkisar 25 - 40%. Skema dibawah ini
menunjukkan faktor-faktor pemicu kawin berulang.

Gambar 2. Diagram Penyebab Kawin Berulang (Repeat Breeding),


(Hafez, E.S.E. 2000)

9
Sedangkan gangguan reproduksi yang bersifat lengkap adalah
sterilitas atau disebut juga kemajiran. Contoh gangguan reproduksi
yang bersifat Sterilitas antara lain
a. Atrofi ovari
b. Defek kongenital, seperti freemartin, hipoplasia ovaria, aplasia
ovaria
c. Fibrosis (indurasi) cervix et uteri.

2. Gangguan reproduksi berdasarkan gejala

Gangguan reproduksi berdasarkan gejala dibedakan menjadi empat


kelompok yaitu:
a. tidak menunjukkan gejala estrus (anestrus). Gejala anestrus
ditemukan pada kasus kista luteal, hypofungsi ovari, atrofi,
mumifikasi fetus, maserasi fetus, pyometra, metritis, dan kelainan
kongenital lainnya.

b. estrus yang lemah (subestrus, silent heat). Gejala subestrus terjadi


pada sapi yang bersiklus normal namun menunjukkan gejala
berahinya tidak jelas, sedangkan silent heat terjadi pada sapi yang
bersiklus namun tidak menunjukkan gejala berahinya, kecuali
kerbau pada umumnya secara normal menunjukkan silent heat.

c. estrus terus-menerus (nymfomania). Gejala estrus terus-menerus


(nymfomania) terjadi pada sapi yang berahi terus menerus tanpa
disertai ovulasi, ditemukan pada kasus kista folikuler (follicular cyst)
dalam ovarium.

d. estrus berulang. Gejala estrus berulang terjadi pada gangguan


reproduksi akibat kegagalan fertilisasi (fertilization failure) dan
kematian embrio (embryonic death) yang menyebabkan terjadinya
kawin berulang. Pada sapi akseptor IB di Indonesia banyak
dijumpai endometritis subklinis yang berakibat 80% repeat
breeding.

3. Gangguan reproduksi berdasarkan penyebab

Gangguan reproduksi berdasarkan penyebab, dibedakan menjadi dua


kelompok, yaitu:
a. Gangguan reproduksi yang disebabkan oleh infeksi agen penyakit
yang menyerang organ reproduksi.
 Secara spesifik (Brucellosis, vibriosis, leptospirosis, tuberkulosis,
dll)
 Secara non spesifik (Collibacilosis, staphylococosis,
streptococosis, corynebacteriosis, aspergillosis, candidiasis)

10
a. Gangguan reproduksi yang disebabkan non infeksi
 Kongenital
 Nutrisi

B. Penanganan Gangguan Reproduksi

a. Terapi
Ternak yang mengalami gangguan reproduksi akan diterapi dengan
perlakuan dan pengobatan, proses kesembuhan bervariasi tergantung
permasalahan reproduksinya sehingga memerlukan waktu dan
penanganan bertahap minimal 1 - 2 kali terapi disertai pemantauan
yang intensif. Selanjutnya sapi yang telah dilakukan tindakan
perbaikan atau terapi dan dinyatakan sembuh dijadikan sebagai
akseptor IB atau kawin alam.

b. Pemeriksaan Ulang Gangguan Reproduksi


Sapi yang tidak sembuh pada terapi pertama sebagaimana pada poin
b di atas dilakukan pemeriksaan dan terapi kedua. Sapi yang
dinyatakan sembuh melalui pemeriksaan kedua tersebut dijadikan
sebagai akseptor IB atau kawin alam. Sementara Sapi yang tidak
sembuh pada terapi kedua, selanjutnya dilakukan pemeriksaan dan
terapi ketiga. Sapi yang dinyatakan sembuh melalui pemeriksaan
ketiga tersebut dijadikan sebagai akseptor IB atau kawin alam.
Sementara sapi yang tidak disembuh dinyatakan sebagai sapi tidak
produktif atau mengalamai gangguan reproduksi permanen.

Dengan demikian, pada kegiatan penanganan gangguan


reproduksi tahun 2017 akan dilakukan pemeriksaan dan terapi
gangguan reproduksi sebanyak 2 – 3 kali.

c. Tindak lanjut terhadap sapi yang dinyatakan sembuh


Sapi yang telah dinyatakan sembuh dan siap menjadi akseptor
dilaporkan kepada petugas yang bertanggung jawab terhadap
perkawinan sapi (IB atau KA). Petugas penanganan gangguan
reproduksi yang bertanggung jawab di lokasi tersebut memonitor
tentang realisasi pelayanan perkawinan sapi.

11
BAB III.
SUMBER DAYA

A. Penetapan Petugas Pelaksana Penanganan Gangguan Reproduksi


Penetapan petugas pelaksana penanganan gangguan reproduksi
dilakukan dengan mengoptimalkan Pusat Kesehatan Hewan (Puskeswan)
melalui identifikasi, mobilisasi sumberdaya kesehatan hewan dan
peningkatan kompetensi petugas puskeswan.

1) Optimalisasi pelayanan Pusat Kesehatan Hewan


a. Identifikasi
Identifikasi dilakukan untuk memetakan ketersediaan Puskeswan
dan petugas lapangan sebagai ujung tombak pelaksanaan kegiatan
UPSUS SIWAB. Untuk mensinkronkan kegiatan di lapangan,
puskeswan akan difungsikan sebagai koordinator pelayanan yang
mencakup kesehatan hewan, gangguan reproduksi, IB, pemeriksaan
kebuntingan, pakan, pendataan, dan pelaporan di wilayah kerjanya.
Dengan demikian puskeswan berperan sebagai pusat data dan
informasi pelaksanaan kegiatan UPSUS SIWAB.

b. Mobilisasi sumberdaya Puskeswan.


Dalam rangka mensukseskan kegiatan UPSUS SIWAB bentuk
layanan dilakukan secara terjadwal, serentak dan terintegrasi
dengan mengoptimalkan peran puskeswan sebagai sentra UPSUS
SIWAB. Mobilisasi dapat dilakukan apabila di suatu wilayah yang
telah ditetapkan sebagai wilayah UPSUS SIWAB tidak terdapat
puskeswan dan/atau sumberdaya, maka dapat menugaskan
puskeswan dan/atau sumberdaya Puskeswan terdekat.

c. Peningkatan kompetensi petugas Puskeswan.


Keberhasilan UPSUS SIWAB tidak terlepas dari kompetensi dan
komitmen para petugas pelaksana lapangan. Peningkatan
kompetensi petugas puskeswan dilakukan melalui bimbingan teknis.

B. Penyediaan bahan, peralatan dan obat-obatan


1) Melakukan inventarisasi kebutuhan bahan, peralatan dan obat-obatan
untuk pelaksanaan kegiatan.
2) Penyediaan bahan, peralatan dan obat-obatan

C. Biaya operasional
Pembiayaan untuk pelaksanaan penanganan gangguan reproduksi
bersumber dari dana APBN, APBD Provinsi, APBD Kabupaten/Kota.

12
BAB IV.
MANAJEMEN OPERASIONAL

Untuk mendukung kelancaran pelaksanaan kegiatan dibentuk Tim baik di


tingkat pusat maupun di tingkat daerah.

1. Tim pelaksana administratif berdasarkan tugas, tanggung jawab dan


kewenangan antara lain:
a. Tingkat Pusat
Tim pelaksana administratif tingkat pusat dikoordinasikan oleh
Direktorat Kesehatan Hewan, memiliki tugas dan peran sebagai
berikut:
1. Menyusun perencanaan program dan anggaran
2. Menyusun Pedoman Pelaksanaan Kegiatan
3. Membuat SK tim pelaksana administratif ditandatangani oleh
Direktur Kesehatan Hewan.
4. Menetapkan wilayah sasaran kegiatan nasional
5. Melakukan pembinaan dan pengawasan
6. Melakukan sosialisasi dan koordinasi kegiatan tingkat provinsi
7. Melakukan monitoring dan evaluasi
8. Pelaporan nasional

b. Tingkat Provinsi :
Tim Pelaksana Administratif tingkat provinsi yang dikoordinasikan
oleh Dinas Provinsi yang membidangi fungsi peternakan dan
kesehatan hewan yang memiliki tugas dan peran sebagai berikut:
1. Menyusun perencanaan program dan anggaran
2. Membuat matriks pelaksanaan kegiatan
3. Menginventarisasi data petugas kesehatan hewan kompeten
di bidang reproduksi ternak tingkat provinsi
4. Membuat SK tim pelaksana yang ditandatangani oleh Kepala
Dinas
5. Menetapkan wilayah sasaran kegiatan lingkup provinsi
6. Melakukan pembinaan dan pengawasan
7. Melakukan Sosialisasi dan Koordinasi Kegiatan tingkat
provinsi dan kabupaten/kota
8. Melakukan penyegaran/training tim pelaksana Penanganan
gangrep kabupaten/kota
9. Melakukan monitoring dan evaluasi
10. Pelaporan secara berjenjang.

c. Tingkat Kabupaten/Kota
Tim Pelaksana Administraif Kabupaten/Kota adalah Dinas
Kabupaten/Kota yang membidangi fungsi peternakan dan
kesehatan hewan yang memiliki tugas dan peran sebagai berikut:
1. Menginventarisasi data petugas kesehatan hewan yang
kompeten di bidang reproduksi ternak tingkat
Kabupaten/Kota

13
2. Menetapkan wilayah sasaran kegiatan lingkup
kabupaten/kota
3. Membuat SK tim pelaksana yang ditandatangani oleh Kepala
Dinas
4. Melakukan pembinaan dan pengawasan kepada petugas
teknis lapangan
5. Melakukan sosialisasi dan koordinasi kegiatan ke kelompok
ternak dan masyarakat
6. Melakukan monitoring dan evaluasi
7. Pelaporan secara berjenjang.

2. Tim pelaksana operasional teknis melaksanakan tugas, tanggung


jawab dan kewenangan sebagai berikut:
a. Menyusun rencana kerja teknis
b. Melaksanakan koordinasi sesuai jenjang
c. Memeriksa dan mendiagnosa status reproduksi ternak
d. Mengobati gangguan reproduksi ternak
e. Mengambil sampel dan pengujian laboratorium
f. Menerbitkan Surat Keterangan Status Reproduksi (SKSR)
g. Membuat laporan kegiatan

Skema Operasional Tim Kerja


 DITJEN PETERNAKAN DAN KESWAN

Inventarisasi
UPT VETERINER  Dinas Provinsi,
data petugas
 Dinas Kabupaten/Kota kesehatan hewan dan
Reproduksi

Tim Operasional Pusat: Tim Operasional


Medik Reproduksi Lapangan: Penentuan Tim
Ptgs Teknis UPT-DJ PKH Petugas Puskeswan Operasional
Petugas Teknis Lapang
Reproduksi
Recorder

Penentuan
Jadwal
Rencana Kerja

Monitoring dan Pelaksanaan


evaluasi Kegiatan

Pelaporan
Melalui:
per 2 minggu
iSikhnas
 per bulan
E-Laporan

Gambar 3. Skema Operasional Kerja


Catatan
= menggambarkan hubungan antar unit
= menggambarkan aktivitas kegiatan

14
BAB V
MEKANISME KERJA

A. Penetapan Status Reproduksi

Penetapan status Reproduksi Ternak Sapi dan Kerbau dilakukan melalui 2


(dua) kegiatan, yaitu pemeriksaan status reproduksi dan penetapan status
reproduksi.

1) Pemeriksaan status reproduksi


Pemeriksaan dalam rangka penetapan status reproduksi ternak sapi dan
kerbau dilakukan dengan cara palpasi rectal atau menggunakan alat
ultrasonografi yang dilakukan oleh Petugas PKb, ATR, atau Medik
Reproduksi.

2) Penetapan status reproduksi


Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut, status reproduksi sapi atau
kerbau akan diketahui, yaitu:
a. Kelompok Body Condition Score (BCS) di bawah 2,0. Kondisi berat
badan sapi yang mengalami kekurangan gizi berat sehingga
mengakibatkan kekurangan berat badan ideal untuk berfungsinya
sistem reproduksi. Pada kelompok tersebut, ditetapkan bahwa sistem
reproduksi baru dapat dinormalkan kembali setelah BCS dapat
ditingkatkan hingga 2,0.

b. Kelompok Body Condition Score (BCS) di atas atau sama dengan 2,0.
Kondisi berat badan sapi minimal untuk berfungsinya sistem reproduksi.
Apabila ditemukan kondisi sapi yang mengalami gangguan reproduksi,
kondisi tersebut dinilai masih dapat disembuhkan hingga menjadi
normal kembali. Penetapan status reproduksi pada kelompok ini adalah
sebagai berikut:
b.1. bunting,
b.2. tidak bunting dengan status reproduksi normal;
b.3. tidak bunting dengan status mengalami gangrep;
b.4. tidak bunting dengan status mengalami gangrep permanen.

c. Penerbitan Surat Keterangan Status Reproduksi (SKSR)


Berdasarkan hasil penetapan status reproduksi sapi dan kerbau
sebagaimana pada poin 2.b di atas, maka diterbitkan SKSR yang
menerangkan kondisi sapi sebagai berikut:
a. bunting
b. tidak bunting dengan status reproduksi normal, ditetapkan sebagai
akseptor;

15
c. tidak bunting dengan status mengalami gangrep, ditetapkan
sebagai target Gangrep; atau
d. tidak bunting dengan status mengalami gangrep permanen,
diberikan surat keterangan tidak produktif.

Hasil pemeriksaan status reproduksi dilakukan oleh Petugas PKb, ATR


dan medik reproduksi. Apabila dilakukan oleh petugas PKb atau ATR,
direkomendasikan kepada Medik Reproduksi sebagai dasar penetapan
Surat Keterangan Status Reproduksi (SKSR). Penetapan status
reproduksi dilaksanakan mulai dari seleksi BCS hingga pemeriksaan
pertama untuk mengetahui status normal (bunting atau tidak bunting) dan
tidak normal. Selanjutnya sebagaimana pada gambar 4.

Setiap sapi/kerbau yang diberikan penetapan status reproduksi dan belum


memiliki nomor ear tag dan Nomor Kartu Ternak yang dikeluarkan
ISIKHNAS, harus diberikan:
 ear tag atau neck tag
 Nomor Kartu Ternak yang didaftarkan melalui ISIKHNAS

B. Penanganan Gangguan Reproduksi


Mekanisme kerja penanganan gangguan reproduksi dilakukan secara
bertahap yaitu melalui :

a. Surveillans Gejala Klinis berdasarkan anamnese peternak


Surveillans gejala klinis dilaksanakan sebagai seleksi awal atau
sebagai dasar untuk penanganan gangguan reproduksi. Kriteria
ternak yang akan dijadikan sebagai target penanganan gangguan
reproduksi adalah:
a. Setelah 14 hari melahirkan
b. Ada discharge abnormal
c. Ada siklus estrus abnormal
d. Estrus tidak teramati setelah 50 hari melahirkan
e. Dikawinkan 2 kali tidak bunting
f. Setelah 2 bulan di IB
g. Sapi yang bunting lebih dari 280 hari
h. Sapi yang mengalami abortus, prematur atau lahir mati

b. Pemeriksaan dan penentuan diagnosa status reproduksi,


Pemeriksaan dilakukan terhadap sapi betina produktif yang
memperlihatkan kriteria gangguan reproduksi. Pemeriksaan
bertujuan untuk menentukan status reproduksinya dan status
kesehatan ternak khususnya terhadap ada tidaknya infeksi penyakit
terutama Brucellosis.

Pemeriksaan status reproduksi dilakukan dengan cara:


 Inspeksi melalui Body Condition Score dan Status praesens
(Present status)

16
 Palpasi per rektum dan per vaginam
 Sonologi dengan menggunakan alat ultrasonografi (bila tersedia)
 Laboratoris dengan pengambilan dan pemeriksaan sampel
darah, feses dan lendir vagina (discharge vagina)

Penentuan diagnosa dilakukan oleh medik reproduksi sesuai


dengan hasil pemeriksaan fungsi organ reproduksi.

c. Penanganan Gangguan Reproduksi,


Tindakan penanganan gangguan reproduksi dijadikan sebagai dasar
dalam penentuan ternak yang dapat disembuhkan (fausta) atau
tidak dapat disembuhkan (infausta). Keberhasilan penanganan
gangguan reproduksi dinyatakan berhasil apabila kondisi ternak
menunjukkan gejala estrus.

Setiap sapi/kerbau yang diberikan penetapan status reproduksi dan


belum memiliki nomor ear tag dan Nomor Kartu Ternak yang
dikeluarkan ISIKHNAS, harus diberikan:
 ear tag atau neck tag
 Nomor Kartu Ternak yang didaftarkan melalui ISIKHNAS

d. Tingkat Keberhasilan Kesembuhan.


Keberhasilan kesembuhan dari penanganan gangguan reproduksi
dinyatakan setelah dilakukan pemeriksaan dan tindakan pengobatan
2-3 kali.

Penanganan gangguan reproduksi dilaksanakan mulai pemeriksaan II


hingga pemeriksaan ke III. Selanjutnya sebagaimana gambar 4.

C. Pemberian Pakan Konsentrat


Setiap sapi/Kerbau yang didiagnosa hypofungsi uteri dan mengalami
kekurangan gizi (mal nutrisi) diberikan pakan konsentrat selama
berkisar 3 bulan. Pemberian pakan konsentrat dianggarkan dari
kegiatan dibawah Direktorat Pakan Ditjen PKH.

D. Pemberian Feed Suplement


Setiap sapi/kerbau yang ditangani gangguan reproduksinya diberikan 1
(satu) kg feed suplement selama 3 (tiga) bulan.

17
Gambar 4. Penetapan Status Reproduksi dan Penanganan Gangguan reproduksi

18
BAB VI
OPERASIONAL KEGIATAN

Kegiatan Penanganan Gangguan Reproduksi Ternak Sapi dan Kerbau


dilaksanakan melalui 2 (dua) tahapan yaitu persiapan dan
pelaksanaan, yaitu:

1) Tahap Persiapan

a. Sosialisasi Kegiatan
Sosialisasi kegiatan berupa Rapat Koordinasi dilaksanakan oleh
pelaksana kegiatan yang dihadiri oleh Perwakilan dari Direktorat
Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Unit Pelaksana
Teknis (UPT) Ditjennak dan Keswan (sebagai koordinator
kegiatan), Dinas Provinsi/Kabupaten/Kota yang membidangi
fungsi peternakan dan kesehatan hewan serta perwakilan
petugas teknis lapangan (Inseminator, PKb, ATR, Recorder,
Medik dan Paramedik). Pada rapat tersebut dapat
disosialisasikan Pedoman Teknis Penanganan Gangguan
Reproduksi Ternak Sapi dan Kerbau.

b. Penentuan dan Pembentukan Tim Pelaksana


Kegiatan ini diawali dengan inventarisasi data petugas kesehatan
hewan dan reproduksi sebagai tim pelaksana administratif dan
operasional teknis. Tim operasional teknis beranggotakan
petugas teknis Dinas Peternakan Provinsi, Kabupaten/Kota dan
Puskeswan yang terdiri dari Dokter Hewan, ATR, dan PKB yang
dikoordinasikan oleh Dokter Hewan. Adapun persyaratan yang
ditetapkan untuk Tim Operasional Teknis adalah sebagai
berikut:

1. Ketua Tim adalah petugas yang memiliki kompetensi


manajemen di bidang reproduksi.
2. Anggota Tim adalah petugas teknis (medik reproduksi dan
asisten teknis reproduksi) yang memenuhi persyaratan
keterampilan di bidang reproduksi.

c. Penentuan wilayah sasaran


Penentapan wilayah sasaran berdasarkan persyaratan, antara
lain:
1. Wilayah dengan potensi populasi ternak betina tinggi
2. Wilayah dengan lokasi dengan tingkat kebuntingan rendah
3. Wilayah dengan data kasus gangguan reproduksi yang relatif
tinggi
4. Memiliki kelembagaan Puskeswan dan SDM yang memadai

d. Menentukan jadwal pelaksanaan kegiatan

19
e. Pengadaan Barang
Penyediaan barang dan bahan operasional kegiatan
dilaksanakan melalui proses pengadaan barang sesuai peraturan
yang berlaku. Pemilihan bahan operasional didasarkan atas
azas efektif dan efisien.

2) Tahap Pelaksanaan
Adapun tahapan pelaksanaan kegiatan sesuai dengan skema
berikut :

Penentuan diagnosa status Analisis Perlakuan/


reproduksi hasil Treatment
pemeriksaan

Bunting Luteal Sinkronisasi

Pemetaan wilayah Pemeriksaan


potensial status organ Folikuler IB/KA
reproduksi
Normal Folikular

Tidak
Bunting Sembuh
Surveilans klinis Pena-
Sembuh
Gangrep nganan Sembuh
berdasarkan anamnese
Tidak NonPerm Gangrep I Pena-
Normal a-nen Tidak Tidak
TidakTidak
nganan
sembuh sembuh
sembuh
sembuh
Gangrep II
Penaganan
Tidak
Gangrep
sembuh
III
Inventarisasi
populasi sapi betina Gangrep
Culling/
produktif Permanen SKSR SKSR
fatenin Tidak sembuh
g

Keterangan Gambar:
SKTP : Surat Keterangan Tidak Produktif
SKB : Surat Keterangan Bunting
: Melambangkan suatu proses
: Melambangkan penentuan kebijakan

Gambar 5. Skema Tahapan Pelaksanaan Kegiatan


a. Pemetaan wilayah sasaran berdasarkan hasil surveillans klinis
Tahap ini diawali dengan menginventarisasi populasi sapi betina
tidak produktif kemudian dilakukan surveilans klinis. Berdasarkan
hasil surveillans selanjutnya dilakukan pemetaan, sehingga
didapatkan wilayah sasaran kegiatan penanganan gangguan
reproduksi.

20
b. Operasional
1. Penentuan diagnosa status reproduksi ternak
Penentuan diagnosa status reproduksi ternak dilakukan oleh tim
operasional teknis. Anamnese dan pemeriksaan klinis menjadi
dasar penentuan status reproduksi ternak.

2. Analisis hasil pemeriksaan


Apabila ditemukan adanya gangguan reproduksi pada ternak,
petugas medik reproduksi memeriksa jenis gangguan reproduksi
yang dialami oleh ternak tersebut.

3. Perlakuan/Treatment
Ternak dengan diagnosa gangguan reproduksi non permanen
dilakukan penanganan gangguan reproduksi 2 sampai dengan 3
kali penanganan.

a. Penanganan tahap pertama, dilakukan terhadap ternak


dengan diagnosa gangguan reproduksi non permanen.
Ternak yang dinyatakan sembuh akan dilakukan sinkronisasi,
kawin alam atau inseminasi buatan sesuai dengan tahap
siklus estrusnya. Sedangkan ternak yang dinyatakan tidak
sembuh dilanjutkan ke penanganan tahap kedua.

b. Penanganan tahap kedua, dilakukan terhadap ternak yang


dinyatakan tidak sembuh pada tahap pertama. Ternak yang
berhasil disembuhkan akan dilakukan sinkronisasi, kawin
alam atau inseminasi buatan sesuai dengan tahap siklus
estrusnya. Sedangkan ternak yang dinyatakan tidak sembuh
dapat dilanjutkan ke penanganan tahap ketiga.

c. Penanganan tahap ketiga, dapat dilakukan terhadap ternak


yang dinyatakan tidak sembuh pada tahap kedua. Ternak
yang berhasil disembuhkan akan dilakukan sinkronisasi,
kawin alam atau inseminasi buatan sesuai dengan tahap
siklus estrusnya. Sedangkan ternak yang dinyatakan tidak
sembuh direkomendasikan sebagai ternak untuk dipotong.

c. Pendataan Hasil

Data hasil kegiatan penanganan gangguan reproduksi selain


sebagai dasar pengukuran kinerja juga sebagai dasar
perencanaan dan pengambilan kebijakan selanjutnya. Data yang
harus dilaporkan adalah:

21
Penentuan Status Reproduksi Ternak
a) Data ternak yang disurveilans berdasarkan anamneses
b) Data ternak yang memiliki BCS dibawah 2.0
c) Data ternak yang memiliki BCS diatas sama dengan 2.0
c).1. Data ternak dengan status reproduksi normal
c).2. Data ternak dengan status gangguan reproduksi

Penanganan Gangrep Tahap Pertama


a) data ternak yang dilakukan pemeriksaan organ reproduksi
(ekor).
b) Data penanganan gangrep tahap pertama (ekor),
c) data kesembuhan penanganan gangrep tahap pertama
(ekor),
d) data ketidaksembuhan penanganan gangrep tahap pertama
(ekor),
e) data IB atau kawin alam dari ternak yang sembuh pada
penanganan gangrep tahap pertama (ekor),

Penanganan Gangrep Tahap Kedua


a) Data penanganan gangrep tahap kedua (ekor),
b) data kesembuhan penanganan gangrep tahap kedua (ekor),
c) data ketidaksembuhan penanganan gangrep tahap kedua
(ekor),
d) data IB atau kawin alam dari ternak yang sembuh pada
penanganan gangrep tahap pertama (ekor),

Penanganan Gangrep Tahap Ketiga


a) Data penanganan gangrep tahap ketiga (ekor),
b) data kesembuhan penanganan gangrep tahap ketiga (ekor),
c) data ketidaksembuhan penanganan gangrep tahap ketiga
(ekor),
d) data IB atau kawin alam dari ternak yang sembuh pada
penanganan gangrep tahap pertama (ekor),

22
BAB VII
JADWAL KEGIATAN

Tahapan kegiatan Penanganan Gangguan Reproduksi seperti pada


tabel 1, dengan jadwal pelaksanaan seperti berikut :

Tabel 1. Jadwal Pelaksanaan Kegiatan


No Kegiatan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
1. Persiapan
2. Pelaksanaan
3. Evaluasi dan
Pelaporan

Bulan ke 1-3.
Persiapan administrasi, pengumpulan data, identifikasi ternak betina
produktif yang bunting dan tidak bunting, analisa
permasalahan/penyebab.

Bulan ke 4-6.
Pemeriksaan status reproduksi, penentuan diagnosa kelompok ternak di
wilayah sasaran dan treatment ternak yang mengalami gangguan
reproduksi.

Bulan ke 7-9.
Pengamatan tindak lanjut treatment pengobatan bagi ternak yang
mengalami gangguan reproduksi.

Bulan ke 10.
Monitoring, Evaluasi dan Pelaporan.

23
BAB VIII
PENGENDALIAN, PENGAWASAN SERTA INDIKATOR KEBERHASILAN

Mengingat kegiatan operasional Penanggulangan Gangguan Reproduksi


melibatkan banyak pihak, maka dalam pelaksanaan pengendalian mengacu
pada Sistem Pengendalian Internal (SPI) agar pelaksanaan kegiatan tersebut
dapat efektif dan efisien. Sistem Pengendalian Internal dilakukan melalui 5
unsur SPI yaitu 1. Lingkungan Pengendalian, 2. Penilaian Risiko, 3. Kegiatan
Pengendalian, 4. Informasi dan Komunikasi, dan 5. Pemantauan
Pengendalian Internal.

Lingkungan pengendalian dalam penanganan gangguan reproduksi


dipengaruhi oleh sumber daya manusia yang terlibat dalam pelaksanaan
memberikan keyakinan yang memadai dan telah terbangun sistem
pengendalian intern yang efektif yang melekat sepanjang kegiatan.
Lingkungan pengendalian terdiri dari Organisasi, Sumber Daya
Manusia,Kebijakan, dan Prosedur.

a. Organisasi dapat dicerminkan dari adanya penetapan lembaga yang


akan berperan, penetapan surat keputusan lembaga/petugas yang
terbentuk dalam tim pusat sampai dengan tim pelaksana daerah dengan
peran dan tanggung jawab dan tata hubungan kerja serta uraian tugas
yang jelas.
b. Sumber Daya Manusia yang ditunjuk dengan jumlah dan kompetensi
yang sesuai dengan peran dan tanggung jawab masing-masing sehingga
dapat melaksanakan kegiatan dari mulai perencanaan, pelaksanaan,
monitoring dan evaluasi, pengawasan dan pelaporan.
c. Kebijakan ditetapkan dalam pedoman/petunjuk/Surat keputusan yang
jelas sehingga dapat dipakai acuan pelaksanaan dengan prinsip rasional,
tertib, efektifitas, efisiensi, produktivitas dan transparan.
d. Proseduryang berupa urutan kegiatan atau rangkaian aktivitas secara
berurutan, yang harus ada dan tertulis untuk dilaksanakan oleh petugas
dengan peralatan dan waktu tertentu yang dibuat sederhana dan mudah
dimengerti.

Penilaian risiko merupakan kegiatan penilaian atas kemungkinan kejadian


yang mengancam pencapaian tujuan dan sasaran program/kegiatan
penanganan gangguan reproduksi. Untuk penanganan risiko perlu penerapan
manajemen pengelolaan risiko dengan cara menangani semua risiko baik dari
dalam maupun luar organisasi dilakukan melalui tahapan:
a. identifikasi risiko(penetapan titik kritis dan menyusun daftar risiko),
b. penanganan risiko,
c. pemantauan dan evaluasi terhadap penanganan risiko.

Identifikasi risiko (penetapan titik kritis dan menyusun daftar risiko)


penanganan gangguan reproduksi yang perlu diperhatikan antara lain :

24
1. Pedoman/petunjuk teknis pelaksanaan yang mudah digunakan sebagai
acuan.
2. Keterlambatan proses pengadaan sarana dan prasarana.
3. Sarana dan prasarana yang tidak sesuai yang diperlukan.
4. Keterlambatan sosialisasi kegiatan di tingkat provinsi/Kab/kota/
Pelaksana.
5. Kurangnya data dan informasi terkait populasi yang mengalami gangguan
reproduksi.
6. Ketidaktepatan diagnosa pemeriksaan status reproduksi.
7. Ketidaktepatan pemberian treatment.
8. Tidak ada Recording data atau ada data yang kurang lengkap.
9. Komitmen waktu pelayanan oleh petugas.
10. Pelaksanaan kegiatan tidak sesuai dengan jadwal palang yang telah
ditetapkan dan yang telah diinformasikan.

Kegiatan pengendalian merupakan tindakan yang diperlukan untuk


mengatasi risiko serta penetapan dan pelaksanaan kebijakan dan prosedur
untuk memastikan bahwa tindakan mengatasi risiko telah dilaksanakan secara
efektif.Kegiatan pengendalian dilakukan oleh atasan langsung dalam bentuk
pengendalian atasan langsung dan oleh tim pengawas kegiatan yang ditunjuk.
Pengendalian dilakukan untuk mengetahui perkembangan kemajuan
pelaksanaan program dan kegiatan penanganan gangguan reproduksi yang
antara lain :
a. Mengetahui sedini mungkin hambatan yang terjadi atau mungkin akan
terjadi dalam pelaksanaan penanganan gangguan reproduksi kegiatan
serta memberikan jalan pemecahannya;
b. Mencegah atau mengurangi terjadinya penyimpangan-penyimpangan;
c. Mengevaluasi apakah pencapaian hasil sesuai dengan yang telah
ditetapkan;
d. Memperoleh masukan bagi penyempurnaan program dan kegiatan
penanganan gangguan reprodukis yang akan datang;
e. Mengevaluasi maksud dan tujuan penanganan gangguan reproduksi; dan
f. Penilaian terhadap kegiatan pengendalian dilakukan untuk mengukur
tingkat efektifitas dan memberi keyakinan bahwa kegiatan pengendalian
oleh instansi pemerintah telah dilakukan secara tepat dan memadai baik
terhadap implementasi pengendalian internal, pencapaian tujuan,
keandalan laporan keuangan dan laporan teknis kegiatan yang sesuai
dengan target yang telah ditetapkan.
Pimpinan Satuan Kerja/Penanggungjawab/Kutua Tim Penanganan Gangguan
Reproduksi wajib melakukan pengendalian terhadap tahapan kegiatan yang
memiliki risiko dari yang paling tinggi hingga yang paling rendah.

Pengendalian dilaksanakan untuk memastikan bahwa kebijakan dan prosedur


yang ditetapkan telah diikuti dan dipatuhi oleh seluruh personil serta
dilaksanakan untuk mengantisipasi terjadinya penyimpangan terhadap potensi
penyimpangan atau titik-titik kritis kegiatan hasil analisa risiko.

25
Pengendalian hanya bisa dilaksanakan apabila sudah diketahui Indikator
Keberhasilan penanganan gangguan reproduksi. Indikator keberhasilan antara
lain meliputi :
1) Perbaikan status kesehatan umum.
2) Peningkatan BCS atau SKT.
3) Pulihnya kembali siklus estrus normal.
4) Timbulnya gejala birahi normal.
5) Dapat dilakukan IB.
6) Menurunnya kejadian abortus dan stillbirth.
7) Kelahiran pedet normal.
8) Menurunnya kejadian patologis kebuntingan, patologis kelahiran dan
patologis pasca beranak.
9) Peningkatan kinerja reproduksi, mendekati slogan satu induk-satu pedet-
satu tahun.

Informasi dan komunikasi, Informasi adalah data yang telah diolah yang
dapat digunakan untuk pengambilan keputusan dalam rangka penanganan
gangguan reproduksi. Sedangkan komunikasi adalah proses penyampaian
pesan atau informasi dengan menggunakan simbol atau lambang tertentu baik
secara langsung maupun tidak langsung untuk mendapatkan umpan balik
hasil penanganan gangguan reproduksi. Untuk mendapatkan informasi yang
optimal perlu penerapan system informasi data/hasil recording mulai data
populasi target, wilayah penanganan gangguan reproduksi dan pelaporan
secara menyeluruh yang dapat dikomunikasikan secara baik terhadap semua
tim yang terlibat dalam organisasi penanganan gangguan reproduksi.

Pemantauan merupakan proses penilaian atas mutu kinerja Sistem


Pengendalian Intern dan proses yang memberikan keyakinan bahwa temuan
audit dan evaluasi lainnya segera ditindaklanjuti.
Unsur pemantauan dapat dibagi menjadi 3 sub unsur, yaitu :
a. pemantauan berkelanjutan, Pemantauan melalui laporan berkelanjutan
baik laporan mingguan setiap pelaksanaan kegiatan, bulanan, triwulan
dan tahunan.
b. evaluasi terpisah dilakukan reviu oleh penanggungjawab kegiatan/tim
Pengawas, Tim Satlak PI, Inspektorat Jenderal dan BPK-RI, dan
c. tindak lanjut rekomendasi hasil audit dan review lainnya, merupakan
peaksanaan tindaklanjut Hasil Audit BPK-RI.

26
BAB IX.
MONITORING, EVALUASI DAN PELAPORAN

A. Monitoring dan Evaluasi


Monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan kegiatan penanganan
gangguan reproduksi dilakukan secara reguler oleh tim pelaksana
administrasi. Monitoring dan evaluasi secara periodik dan/atau sewaktu-
waktu sesuai dengan jadwal pelaksanaan di lapangan dilakukan oleh tim
pelaksana operasional teknis, sehingga perkembangan kegiatan akan
terus termonitor.

Evaluasi pelaksanaan kegiatan dimaksudkan untuk mengetahui secara


akurat realisasi kegiatan serta mengetahui kendala yang dihadapi dalam
pelaksanaan kegiatan. Hasil evaluasi diformulasikan dalam bentuk
laporan, merupakan data dan informasi untuk bahan koreksi pelaksanaan
kegiatan, dan untuk perbaikan kegiatan di masa yang akan datang.
Pedoman ini dapat berubah setelah mendapatkan hasil evaluasi
penerapan kegiatan di lapangan.

B. Pelaporan
Pelaporan sangat diperlukan untuk mengetahui perkembangan kinerja
kegiatan. Hasil pelaksanaan kegiatan dilaporkan secara berjenjang. Untuk
itu perlu ditetapkan mekanisme sistem pelaporan sebagai berikut :

1. Bagi tim operasional lapangan harus langsung melaporkan hasil


pemeriksaan setelah selesai pelaksanaan kegiatan kepada
penanggungjawab data dan pelaporan dan melalui I-SIKHNAS.

2. Tim penanggungjawab data dan pelaporan lapangan wajib melaporkan


perkembangan pelaksanaan kegiatan setiap bulan di minggu pertama
setiap kepada Dinas Kabupaten/Kota dengan tembusan kepada Dinas
Provinsi dan UPT Veteriner. Dinas Kabupaten/Kota melakukan
rekapitulasi seluruh laporan perkembangan yang diterima dari petugas
di lapangan untuk disampaikan ke Dinas Provinsi setiap bulan;

3. Dinas Provinsi melakukan rekapitulasi seluruh laporan perkembangan


yang diterima dari Kabupaten/Kota dan selanjutnya setiap triwulan
menyampaikan kepada UPT Veteriner dan ditembuskan kepada
Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan cq. Direktur
Kesehatan Hewan.

4. UPT Veteriner melakukan rekapitulasi laporan perkembangan setiap


provinsi untuk dilaporkan kepada Direktur Jenderal Peternakan dan
Kesehatan Hewan cq. Direktur Kesehatan Hewan.

27
BAB X.
PENUTUP

Demikian Pedoman Pelaksanaan Penanganan Gangguan Reproduksi Ternak


Sapi dan Kerbau ini disusun untuk dijadikan acuan oleh pelaksana kegiatan
baik di tingkat pusat maupun daerah dalam rangka mendukung kelancaran
pelaksanaan kegiatan di lapangan. Pedoman Pelaksanaan ini dapat di
jabarkan lebih lanjut dalam bentuk petunjuk teknis oleh Pelaksana kegiatan.

Dengan adanya Pedoman Pelaksanaan ini, diharapkan semua pelaksana


kegiatan di pusat, provinsi, kabupaten/kota, kelompok pelaksana serta
stakeholder terkait dapat melaksanakan seluruh tahapan kegiatan secara baik
dan benar menuju tercapainya sasaran yang telah ditetapkan dengan
mengacu pada ketentuan-ketentuan yang berlaku.

28
Lampiran 1. Form Laporan Penanganan Gangguan Reproduksi di Kelompok Ternak

Nama Kelompok Ternak : Tanggal Pemeriksaan :


Desa :
Kecamatan :
Kabupaten/Kota :
Provinsi :

Penanggung Jawab Mengetahui

Koordinator
Lapangan Ketua Kelompok

29
Lampiran 2. Form Laporan Penanganan Gangguan Reproduksi di Kabupaten/Kota

Kabupaten/Kota :
Provinsi :

Penanggung Jawab Mengetahui

Kepala Dinas Yang


Membidangi Fungsi
Peternakan dan Keswan
Koordinator Lapangan Kabupaten/kota

30
Lampiran 3. Form Laporan Penanganan Gangguan Reproduksi di Provinsi

Provinsi :

Penanggung Jawab Mengetahui

Kepala Dinas Yang


Membidangi Fungsi
Peternakan dan Keswan
Koordinator Lapangan Provinsi

31
Lampiran 4. Form Pemantauan Hasil Penanganan Gangguan Reproduksi Nasional

Tanggal Pemeriksaan:

JML JML TERNAK BUNTING SAAT


JUMLAH PENANGANAN GANGREP SEMBUH
PENANGAN PEMERIKSAAN
Realisasi
IB KA AN Umur Kebuntingan
Penanganan
No. Provinsi Jml Tidak di GANGREP Ket.
Gangrep
Sembuh IB/KA TIDAK
(ekor) IB Bunting Lahir Abortus KA Bunting Lahir Abortus Semester Semester Semester
(ekor) (ekor) SEMBUH
(ekor) (ekor) (ekor) (ekor) (ekor) (ekor) (ekor) (ekor) I (ekor) II (ekor) III (ekor)
(ekor)
1 2 3 4 5 6 7 8 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19

Total
Persentase
(%)

Penanggung Jawab Mengetahui

Koordinator Lapangan Ketua Kelompok

32
Lampiran 5. Data Evaluasi Penanganan Gangguan Reproduksi

(4) (8) (11)


IB/KA....ekor Bunting...ekor Lahir...ekor
% = (4)/(2) x 100 % = (8)/(4) x 100 % = (11)/(8) x 100

(2)
Sembuh....ekor
% = (2)/(1) x 100
(5)
tidak IB/KA....ekor
% = (5)/(2) x 100

(1)
Penanganan
Gangrep.....(ekor)
(6)
sembuh pada penanganan
gangrep II... ..ekor
% = (6)/(3) x 100
(9)
(3) sembuh pada penanganan
Tidak Sembuh...ekor gangrep III... ..ekor
% = (3)/(1) x 100 % = (9)/(7) x 100

(7)
tidak sembuh pada penanganan
gangrep II... ..ekor
% = (7)/(3) x 100 (10) (12)
tidak sembuh pada Culling/fattening...ekor
penanganan gangrep III... ..ekor % = (12)/(10) x 100
% = (10)/(7) x 100

33
Lampiran 6. Data Kasus Hypofungsi Ovaria

34
Lampiran 7. Surat Keterangan Status Reproduksi
KOP SURAT
Surat Keterangan Status Reproduksi
Nomor SKSR : …………

Yang bertandatangan dibawah ini drh……….., di wilayah………menerangkan bahwa pada


hari…….., tanggal……,bulan…….., tahun……….telah memeriksa hewan dibawah ini :

Jenis Hewan ………….


Bangsa Hewan ………….
Nomor Kartu ………….
Tenak
Jenis Kelamin ………….
Umur ………….
Nama Pemilik ………….
Nomor ID Pemilik ………….
Telephon pemilik ………….
Alamat pemilik ………….
Menerangkan bahwa hewan tersebut setelah dilakukan pemeriksaan, dinyatakan status
reproduksinya *)

1. BCS < 2,0


2. BCS ≥ 2,0
a. Bunting
b. Normal dan Tidak Bunting
c. Tidak Normal/Tidak Produktif Infausta
d. Tidak Normal/Tidak Produktif Fausta
hypofungsi*
Demikian surat keterangan ini dibuat untuk dipergunakan sebagaimana mestinya

……………………….,……/……/2017
Tanda tangan

drh……………

*) √
* untuk kasus hypofungsi direkap per kab/kota untuk dijadikan sebagai dasar
pemberian pakan konsentrat

SKSR dibuat rangkap 4


Form 1 untuk UPT Veteriner
Form 2 untuk Dinas
Form 3 untuk Dokter Hewan Puskeswan
Form 4 untuk peternak

35
Lampiran 8. Daftar Peserta Bimtek Petugas Penanganan Gangguan Reproduksi
tahun 2012-2016

DAFTAR PESERTA BIMTEK PETUGAS PENANGANAN GANGGUAN


REPRODUKSI 2012

No Nama Peserta Provinsi


1 Drh. Rahmandi Aceh
2 Drh. Muslim Aceh
3 Drh. T. Bahruni Aceh
4 Drh. Chalikul Bahri Sumatera Utara
5 Drh. Ayu Munajah Sumatera Utara
6 Drh. Novia Helentina Sumatera Utara
7 Drh. Taqiyyudin Harahap Sumatera Utara
8 Drh. Rian Arisandy Riau
9 Drh. Aang Kusbiantoro Riau
10 Drh. Ardian N Riau
11 Drh. Devri Franstoyah Sumatera Barat
12 Drh. Dody San Ismail Sumatera Barat
13 Drh. Yasir Irawan Sumatera Barat
14 Drh. Eka Oktarianti Sumatera Barat
15 Drh. Ade Meliala, Msi Sumatera Barat
16 Drh. Devi Irmayeni Sumatera Barat
17 Drh. Rahmi Tamsil Sumatera Barat
18 Drh. Taufiq Asmar Sumatera Barat
19 Drh. Indorizal Sumatera Barat
20 Drh. Rahmat Yusuf Sumatera Barat
21 Drh. Desi Anggraini Jambi
22 Drh. Riki Prayitno Jambi
23 Drh. Fajri Jambi
24 Drh. Efrizal Jambi
25 Drh. Arifkiyanto Jambi
26 Drh. David Viter Olele Bengkulu
27 Drh. Murco Cahyo Lampung
28 Drh. Bambang Primbodo Lampung
29 Drh. Julidarma Lampung
30 Drh. Desi Purnami Lampung
31 Drh. Dewanto Lampung
32 Drh. Budhy Surjaprijadhy Jawa Barat
33 Drh. Dian Daju Jawa Barat
34 Drh. Hendra Komara Jawa Barat
35 Drh. Baruna Febri Yanto Jawa Barat
36 Drh. Rofiq Jawa Barat
37 Drh. Ika Tuti K DIY

36
No Nama Peserta Provinsi
38 Drh. Sri Rahayu DIY
39 Drh. Petra DAK Jawa Tengah
40 Drh. Aldi Salman Jawa Tengah
41 Drh. Eka Setyani Jawa Tengah
42 Drh. Andining Tyas Jawa Tengah
43 Drh. Sri Lestari Jawa Tengah
44 Drh. Winda Titi P Jawa Tengah
45 Drh. Toto Sukarno Jawa Tengah
46 Drh. Tri Wahyu R Jawa Tengah
47 Drh.Yuyun Purwaningsih Jawa Tengah
48 Drh. Ismu Subroto Jawa Tengah
49 Drh. Ari Sulistyo Jawa Tengah
50 Drh. Deni Raditya F Jawa Tengah
51 Drh. Syaiful Ratmus Jawa Timur
52 Drh. Tony Wibowo Jawa Timur
53 Drh. Dhitus Noviayanto Jawa Timur
54 Drh. Moh. Fachrur Rosi Jawa Timur
55 Drh. Muhammad Samsudin Jawa Timur
56 Drh. Rifki Nugroho Jawa Timur
57 Drh. Diah Anggraeni Jawa Timur
58 Drh. Danang Prasetyo Jawa Timur
59 Drh. Rendy Yoenistyawan Jawa Timur
60 Drh. Zulfah Jawa Timur
61 Drh. S. Adi Pratowo Jawa Timur
62 Drh. Edi Poernomo Jawa Timur
63 Drh. Doni Afandi Jawa Timur
64 Drh. Yuli Hidayati Jawa Timur
65 Drh. Ch Indri.S Jawa Timur
66 Drh Rahmat Anung W Jawa Timur
67 Drh. Rulli Yemima Jawa Timur
68 Drh. Puji Rahayu Jawa Timur
69 Drh.Magdalena Yuke M Jawa Timur
70 Drh. Imam Alriadi Banten
71 Drh. Yoga Pratama A.D. Banten
72 Drh. Evi Dianawati NTB
73 Drh. Hosin NTB
74 Drh. Agus Mulyadi NTB
75 Drh. M. Taufik H NTB
76 Drh. Evi Dianawati NTB
77 Drh Cahyo S NTT
78 Drh.Lalu Irwan H NTT
79 Drh. Noviana Makh NTT
80 Drh. Maslihah Umami Kalimantan Barat

37
No Nama Peserta Provinsi
81 Drh. Adriya Dhayani Dwi Putri Kalimantan Barat
82 M. Akbar Susanto Kalimantan Selatan
83 Drh. Nanang Sevina Ekafani Kalimantan Selatan
84 Drh. Alex Uria Atmaja Kalimantan Tengah
85 Drh. Linda Widyastuti Kalimantan Timur
86 Drh. Anik Ariswandani Kalimantan Timur
87 Drh. Heriyanti Kalimantan Timur
88 Drh. Al Habib Kalimantan Timur
89 Drh. Yanno Fidunia Gorontalo
90 Drh. Abdullah Saleh Gorontalo
91 Drh. Asrieana S. Dunggio Gorontalo
92 Drh. Faradila Atamimi Maluku
93 Drh. Sugeng Wiyono Maluku Utara
94 Drh. Ni putu Novi Sulawesi Barat
95 Drh. Isnaniah Bagenda Sulawesi Barat
96 Drh. Irwaty Sulawesi Selatan
97 Drh. Endang Lestari Sulawesi Selatan
98 Drh. Mutawadiah Sulawesi Selatan
99 Drh. Abdul Haris Sulawesi Selatan
100 Drh. Marliana Sulawesi Selatan
101 Drh. Sangia Muldjabar Sulawesi Tenggara
102 Drh. Jusriati Sulawesi Tenggara
103 Drh. Louise Kumaunang Sulawesi Utara
104 Drh. Jhon Karundeng Sulawesi Utara
105 Drh. Sabelina Papua
106 Drh. I Nyoman Polos Papua
107 Drh. Marolop Nadeak Papua
108 Drh. Endah Rukmini Y
109 Drh. Sri Imawati

38
DAFTAR PESERTA BIMTEK PETUGAS PENANGANAN GANGGUAN
REPRODUKSI 2013

No Name Provinsi
1 Drh. Adnan Aceh
2 Drh. Ahmad Syakir Aceh
3 Drh. Aria Yudhistira Aceh
4 Drh. T. Mursyikandi Aceh
5 Drh. Ketut Ani Novita Arsani Bali
6 Drh. Gede Agus Wartanata Bali
7 Drh. I Nyoman Suparta Wijaya Bali
8 Drh. I Made Suteja Bali
9 Drh. I Gede Arri Semara Bali
10 Drh. Hj. Ade Nurhasanah Banten
11 Drh. Titi Heryati Banten
12 Drh. Iyan Kurniawan Bengkulu
13 Drh. Wenny Haryanti Bengkulu
14 Drh. Getri Grecilia Bengkulu
15 Drh. Sigit Purnomo DIY
16 Drh. Suryanto DIY
17 Drh. Lis Suryani DIY
18 Drh. Ahmad Rasyidi DIY
19 Drh. Andy Prasetyo DIY
20 Drh. Yeni Retno Wati Gorontalo
21 Drh. Fenny Rimporok Gorontalo
22 Drh. Fitasari O Tuna Gorontalo
23 Drh. Diah Rodiah Jawa Barat
24 Drh. Dewi Kusuma W Jawa Barat
25 Drh. Adjeng Resty Fauzy Jawa Barat
26 Drh. Dini Dinarwati Jawa Barat
27 Drh. Moosa Jati Waspodo Jawa Barat
28 Drh. Fida Prawita Jawa Barat
29 Drh. Ahmad Nur Hakim Jawa Barat
30 Drh. Manik Retno Dewati Jawa Barat
31 Drh. Narti Sunarti Jawa Barat
32 Drh. Samsul Rizal Jambi
33 Drh. Joko Handoko Jambi
34 Drh. Togu Permadi Samosir Jambi
35 Drh. Deny Ferdiana Jawa Tengah
36 Drh. Wahyu Hendra K Jawa Tengah
37 Drh. Harmanto Jawa Tengah
38 Drh. Ely Susanti Jawa Tengah

39
No Name Provinsi
39 Drh. Arif Rahman Jawa Tengah
40 Drh. Aziz Maulana Jawa Tengah
41 Drh. Diah Rahmawati Jawa Tengah
42 Drh. Anggoro Widi K Jawa Tengah
43 Drh. Aris Susilo Jawa Tengah
44 Drh. Avinda Aji W Jawa Tengah
45 Drh. Aisyah Purnomosari Jawa Tengah
46 Drh. Ummi Hudaefah Jawa Tengah
47 Drh. Damar Dwi Harjanto Jawa Tengah
48 Drh. Suprapto Jawa Tengah
49 Drh. Keki Riza Murti Jawa Tengah
50 Drh. Fathurrahman Jawa Tengah
51 Drh Heri Sularto Jawa Tengah
52 Drh. Ferry A.M Jawa Timur
53 Drh. Pariadi Jawa Timur
54 Drh. Yumananto Jawa Timur
55 Drh. Katik Endah Utami Jawa Timur
56 Drh. Eko Yuli Santoso Jawa Timur
57 Drh. Defi Aqsha Saputra Jawa Timur
58 Drh. Reni Rahmaningsih Jawa Timur
59 Drh. Dony Bindariyanto Jawa Timur
60 Drh. Siska Mahargian F Jawa Timur
61 Drh. Bambang Dwi Sasongko Jawa Timur
62 Drh. Moh. Abd. Hamid Jawa Timur
63 Drh. R. Silvia Yulianti Jawa Timur
64 Drh. Melati Jawa Timur
65 Drh. Lilla Prita Muda Wardani Jawa Timur
66 Drh. Novita Rahmawati Jawa Timur
67 Drh. Gesang Dwi Sasongko Jawa Timur
68 Drh. Huibert Hendrian Umboh Kalimantan Barat
69 Drh. Vingga Wahyuli K Kalimantan Barat
70 Drh. Iwan Kusuma Kalimantan Barat
71 Drh. Tri Budi Setiawan Kalimantan Selatan
72 Drh. Ali Mubin Kalimantan Selatan
73 Drh. Riche Victorina Kalimantan Selatan
74 Drh. Santoso Kalimantan Tengah
75 Drh. Noviyanti Kalimantan Tengah
76 Drh. Eva Masnawati Purba Kalimantan Timur
77 Drh. Ridha Chalifah Kalimantan Timur
78 Drh. Dwi Heru Widyanto Kalimantan Timur
79 Drh.Khusnul Khotimah Kalimantan Timur

40
No Name Provinsi
80 Drh. Ira Kartikasari Kalimantan Timur
81 Drh Sistomo Adi Nugroho Kalimantan Timur
82 Drh. Eny Widayati Kalimantan Timur
83 Drh. Ardi Abdillah Kep Riau
84 Drh. Teuku Taufik Ardiansyah Kep Riau
85 Drh. Tommy Hartono Lampung
86 Drh. Made Agus Aryadi Lampung
87 Drh. Bagus Setiawan Lampung
88 Drh. Elvia Syahrini Primadona Lampung
89 Drh. Eva Yulianti Lampung
90 Drh. Kunta Maluku
91 Drh. R. Dendi. M Maluku
92 Drh. Merlin Jacobus Maluku
93 Drh. Elin M. Thamrin Maluku
94 Drh. M. Hasbi P NTB
95 Drh. Andhista Gusviarini NTB
96 Drh. Maratun Jannah NTB
97 Drh. Nurul Azizah NTB
98 Drh. Hultatang NTB
99 Drh. Zaidun NTB
100 Drh. Edy Sugianto NTB
101 Drh. Arif Nurcahyo NTB
102 Drh. Endah Ismiati NTT
103 Drh. Nina M.B Liban NTT
104 Drh. Moosa John NTT
105 Drh. Andreas Morentino NTT
106 Drh. Marolop Nodeale Papua
107 Drh. Sri Utami Papua
108 Drh. Fitria Sayuri Papua
109 Drh. Adorsina Wompere Papua
110 Drh. Eko Cahyono Riau
111 Drh. Wahyu Samurwat Riau
112 Drh. Fran Deviyanto Riau
113 Drh. Taufiq Bahar Riau
114 Drh. Mus Afandi Rizal Riau
115 Drh. Ade Nurbayanti Sulawesi Barat
116 Drh. Isnaniah Bagenda Sulawesi Barat
117 Drh. Nurmayani Sulawesi Selatan
118 Drh. Marliana Sulawesi Selatan
119 Drh. Bone Ramadhan Sulawesi Selatan
120 Drh. Conny Liestriherayani Sulawesi Selatan

41
No Name Provinsi
121 Drh. Ridwan Gaffar Sulawesi Selatan
122 Drh. Nurdin Sulawesi Selatan
123 Drh. Elvi Martina Sulawesi Selatan
124 Drh. Muhammad Faqih Mappatunru Sulawesi Tengah
125 Drh. Anang Sulawesi Tengah
126 Drh. Tiwuk Wulan Sari Sulawesi Tengah
127 Drh. Susilowati Sulawesi Tengah
128 Drh. Titi Novianti Sulawesi Tengah
129 Drh. Junaedy R Sulawesi Tenggara
130 Drh. Arief Budi P Sulawesi Tenggara
131 Drh. Asifun Sulawesi Tenggara
132 Drh. Wa Ode Yusran Sulawesi Tenggara
133 Drh. Ketut Wahyudiarta Sulawesi Utara
134 Drh. Mokhamad Joko Purnomo Sulawesi Utara
135 Drh. Efal Afriandoni Sumatera Barat
136 Drh. Andriani Sumatera Selatan
137 Drh. Sapta Rianto Sumatera Selatan
138 Drh. Sutarno Sumatera Selatan
139 Drh. Yetmi Satri Sumatera Selatan

42
DAFTAR PESERTA BIMTEK PETUGAS PENANGANAN GANGGUAN
REPRODUKSI 2014

No Nama Peserta Provinsi


1 Drh. Usman Aceh
2 Drh. Zoel Fadli Aceh
3 Drh. Gunjal Ritonga Sumatera Selatan
4 Drh. Dwi Christy Pertika Sumatera Selatan
5 Drh. Hayatul Fitro Sumatera Barat
6 Drh. Zairan A Bengkulu
7 Drh. Ferdi Ferfian Bengkulu
8 Drh. Dwi Kurniawati Bengkulu
9 Drh. Okman Eka Putra Bengkulu
10 Drh. Triyano Bengkulu
11 Drh. Henny Kusuma Dewi Bengkulu
12 Drh. Janto Jambi
13 Drh. Endang Setianingsih Jambi
14 Drh. Abdul Roni Jambi
15 Drh. Jamal Jambi
16 Drh. Wira Jambi
17 Drh. Nirmala Jambi
18 Drh. Sigit Winarno Babel
19 Drh. Correy Wahyu Adi S Babel
20 Drh. Hermyn Febrianti Kepri
21 Drh. Tondi Prawira Lubis Riau
22 Drh. Muamma Mufti Riau
23 Drh. Fran Deviyanto Riau
24 Drh. Yudi Kurniawan Riau
25 Drh. Reni Fajarwati Lampung
26 Drh. Nusaibah Nurayati Lampung
27 Drh Kurnia Nurwulantri Ws Lampung
28 Drh Alfiah Yeti N Lampung
29 Drh. Tutur Kristanto Banten
30 Drh. Ayu Puspariana Banten
31 Drh. Intan Widianingrum Jawa Barat
32 drh. Azwar Jawa Barat
33 Drh. Iis Meilia Jawa Barat
34 drh. Ato Susanto Jawa Barat
35 Drh. Joko Warsito Jawa Barat
36 Drh. Laily Romi Furqon Jawa Barat
37 Drh. Andy Hariswan Jawa Barat
38 Drh. Rik Rik Baniati Jawa Barat
39 Drh. Septyadi agung Laksono Jawa Barat
40 Drh. Any Setiyowati Jawa Tengah
41 Drh. Ali Hujarat Jawa Tengah
42 Drh. Rina Luhkito Jawa Tengah
43 Drh. Anggi Septyanti Jawa Tengah

43
No Nama Peserta Provinsi
44 Drh. Sri Maryani Jawa Tengah
45 Drh. Ninik Wirdianingsih Jawa Tengah
46 Drh. Mitta Yuni Lestari Jawa Timur
47 Drh. Retno Wismaningdyah,MM Jawa Timur
48 Drh. Utami Kurniawati,MP Jawa Timur
49 Drh. Ika Puspita Jawa Timur
50 Drh. Retno Wulandari Jawa Timur
51 Drh. Aril Tri Setiyo Perdata Jawa Timur
52 Drh. Sugeng Astri Puspasari Jawa Timur
53 Drh. Ni Made Satriningsih Bali
54 Drh. I Wayan Sutresna Bali
55 Drh. I Nyoman Oka Widiarta Bali
56 Drh. I Gede Suarsadana Bali
57 Drh. I Made Winaya Bali
58 Drh. Antartiningsih DIY
59 Drh. Devy Ardi DIY
60 Drh. Vivin Ristanti DIY
61 Drh. Sri Imawati DIY
62 Drh. Tri Atmojo DIY
63 Drh. Fajar Tri S DIY
64 Drh. Deshinta Candra P DIY
65 Drh. S. Esmanto DIY
66 Drh. Muji Slamet DIY
67 Drh. Radita NW DIY
68 Drh. Yanno DIY
69 Drh. Cathanna A Shima D DIY
70 Drh. Siti Nur Rohmah DIY
71 Drh. Yudhi Ratna N DIY
72 Drh. Eka Sulistya B DIY
73 Drh. Eka Riyanta DIY
74 drh bimo NTB
75 Drh. Reni Utari NTB
76 Drh. Nurisah NTB
77 Drh.Ikhwan NTB
78 Drh.Achyar Rosidi NTB
79 Drh. M.Dega Widiartha NTB
80 Drh. Tatang Suprapto NTB
81 Drh. Vidia Fibriyanti NTB
82 Drh. Surainiwati NTB
83 Drh. Ika Wahyu Trisnawati NTT
84 Drh. Evi Deaviani Hadi NTT
85 Drh. Agnes Maria Cornelia L.S WEA NTT
86 Drh. Ludi Nurmala Kalimantan Barat
87 Drh. Rosaria Kalimantan Barat
88 Drh. Niken Larasati Kharisma Kalimantan Selatan
89 Drh. I Komang Agus Candra Negara Kalimantan Selatan
90 Drh. Eko hari Yuwono Kalimantan Tengah

44
No Nama Peserta Provinsi
91 Drh. Diah Ardhiningrum Kalimantan Tengah
92 Drh. Endrayatno Kalimantan Tengah
93 Drh. Ivan M Tarigan Kalimantan Timur
94 Drh. Didik K Kalimantan Timur
95 Drh. Tri Widiyanti Kalimantan Timur
96 Drh. A. Amri Marzuki Sulawesi Barat
97 Drh. Arie Rosman Sulawesi Barat
98 Drh. Rinandar S Sulawesi Barat
99 Drh. Rivai S Sulawesi Barat
100 Drh. Hartono Sulawesi Selatan
101 Drh. Abd Haris Sulawesi Selatan
102 Drh. Felisia Mira Anom Sari Sulawesi Selatan
103 Drh. Marliana Sulawesi Selatan
104 Drh. Rusmi Anggraini Kira Sulawesi Selatan
105 Drh. Wirawati Sulawesi Selatan
106 drh. Fitriana Sari Benhur Sulawesi Tenggara
107 Drh. Yulianti Sulawesi Tenggara
108 Drh. Ali Sumarlan Sulawesi Tenggara
109 Drh. Jenny A. Situmeang Sulawesi Utara
110 Drh. Lanivia Sulawesi Utara
111 Drh. Merlin Jacobus Maluku
112 Drh. Naser Efendi Gorontalo
113 Drh. Rifina Murtialmira Gorontalo
114 Drh. Novita Angela Raharusun Papua
115 Drh. Banjar Arsi Purbo Papua

45
DAFTAR PESERTA BIMTEK PETUGAS PENANGANAN GANGGUAN
REPRODUKSI 2015

No Nama Peserta Provinsi


1 Drh. Harry Setiawan Sumatera Utara
2 Drh. David Viter Olele Bengkulu
3 Drh. Fran Deviyanto Riau
4 Drh. Syaifullah Riau
5 Drh. Hendra Komara Jawa Barat
6 Drh. Rik Rik Baniati Jawa Barat
7 Drh. Agus Toto Tribuono Jawa Tengah
8 Drh. Wahono Jawa Tengah
9 Drh. Aldi Salman Jawa Tengah
10 Drh. Yano Findria DIY
11 Drh. Syaiful Ratmus Jawa Timur
12 Drh. Ferry A.M Jawa Timur
13 Drh. Gunawan Nanang Kalimantan Timur
14 Drh. Ivan M. Tarigan Kalimantan Timur
15 drh. Bambang Muriadi Kalimantan Timur
16 Drh. Irwati Sulawesi Selatan
17 Drh. Saiful Bahri NTB
18 Drh. Eko Juli S Jawa Timur
19 Drh. Danu Ariyanto Jawa Timur
20 Drh. Lilik Prayitno BBVet Medan
21 Drh. Satriyo Setyo Utomo Bvet Subang
22 Drh. Agus Heri S. Bvet Subang
23 Drh. Indarto Sudarsono,MMT BBVet Wates
24 Drh. Suhardi BBVet Wates
25 Drh. Aziz Ahmad Fuady Bvet Banjarbaru
26 Drh. Wahyuni Bvet Maros
27 Drh. Suryananta Bvet Lampung
28 Dr.Drh. I Nyoman Dibia M.P BBVet Denpasar

46
DAFTAR PESERTA BIMTEK PETUGAS PENANGANAN GANGGUAN REPRODUKSI 2016
No Nama Peserta Provinsi
1 Irwin Johan H BPTU HPT Sembawa
2 Ahmad Mike Ariyanto Kalimantan Barat
3 Irvansyah Batubara Sumatera Utara
4 Suryantana Bvet Lampung
5 Berlidianty Lampung
6 Nadia K Lampung
7 Sugito Lampung
8 Fakhruddin Lampung
9 Alriasman Lampung
10 Aan Supriyanto Lampung
11 Sujatmiko Lampung
12 Yudistira BS Lampung
13 Putri N. Inawati Sulawesi Selatan
14 Guswandi Riau
15 Adri Nofebri Riau
16 Drh. Alfinus BBVet Maros
17 Drh. Lina Findayani DIY
18 Drh. Dewi Puspita M DIY
19 Drh. Eva Candra A; Sulbar
20 Drh. Hijrah Mutaqin Linda K Sulut
21 Drh. Budi Rahardian; Sulbar
22 Drh. Didik Nurul Hadi Jabar
23 Drh. M. Gustav NTB
24 Drh. I Kadek. S Sulut
25 Drh. Wandi C NTB
26 Drh. Andha Ardianto Jabar
27 Drh. Rudi Harsono; BIB Lembang
28 Drh. Slamet Hartono BPTU HPT Bali
29 Drh. Moh. Anwarul Fuad Jateng
30 Drh. Eko Budi Priyatmoko Jateng
31 Drh. Ali Makki Jatim
32 Drh. Yusron Wahyudi Jatim
33 Drh. Arisa Diana E Kaltim
34 Drh. Maulana Firmansyah Kaltim
35 Drh. Dyah Noviandari Jateng
36 Drh. Elyda Jateng
37 Drh. Indarto BBVet Wates
38 Drh. Nyoman Dibia Bbvet Denpasar
39 Drh. Gigih Tri Pambudi BBPTUHPT Baturaden
40 Drh. Hapy Wahyuningrum BPTU HPT Pelaihari
41 Drh. Krisna K Jateng
42 Drh. Ahyani Indahwati Jateng
43 Martono Jateng
44 Agus Susanto Jateng
45 M.Ridwan Jateng
46 Sukoco Jateng

47

Anda mungkin juga menyukai