Anda di halaman 1dari 11

2.

1 Kebijakan dan Peraturan


Adapun kebijakan dan peraturan yang berlaku di Indonesia berkaitan dengan PT Freeport
Indonesia sebagai berikut:
1. Undang- Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 33 Ayat 3 menyebutkan bahwa “Bumi dan
air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar- besar kemakmuran rakyat”
Berdasarkan ayat tersebut, Indonesia berkuasa atas segala sumber daya alam yang ada
dalam wilayah Indonesia yang sudah berdaulat dan mendapat pengakuan internasional. PT
Freeport Indonesia yang masih berada di dalam wilayah kekuasaan Indonesia harus tunduk
pada peraturan yang berlaku di Indonesia. Salah satu peraturan tersebut akan dirincikan
pada kebijakan dan peraturan perundang- undangan yang dibuat oleh pemerintah.

2. Undang- Undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing disebutkan
bahwa penggunaan modal asing perlu dimanfaatkan secara maksimal untuk mempercepat
pembangunan ekonomi Indonesia serta digunakan dalam bidang- bidang dan sektor- sektor
yang dalam waktu dekat belum atau tidak dapat dilaksanakan oleh modal Indonesia
sendiri.
BAB II Pasal 4 disebutkan bahwa,
“Pemerintah menetapkan daerah berusaha perusahaan- perusahaan modal asing di
Indonesia dengan memperhatikan perkembangan ekonomi nasional maupun ekonomi
daerah, macam perusahaan, besarnya penanaman modal dan keinginan pemiliki modal
asing sesuai dengan rencana pembangunan ekonomi nasional dan daerah.”
UU ini menjadi dasar awal masuknya PT. Freeport Indonesia sebagai penanam modal
asing yang tujuannya diatur oleh UU yang berlaku yaitu membantu terealisasinya rencana
pembangunan ekonomi nasional dan daerah.

3. Undang- Undang No. 11 Tahun 1967 Ketentuan- Ketentuan Pokok Pertambangan


BAB I Pasal 1 disebutkan bahwa,
“Segala bahan galian yang terdapat dalam wilayah hokum pertambangan Indonesia yang
merupakan endapan- endapan alam sebagai karunia Tuhan yang Maha Esa, adalah
kekayaan Nasional bangsa Indonesia dan oleh karenanya dikuasai dan dipergunakan oleh
Negara untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat.”
UU tersebut sejalan dengan UUD 1945 Pasal 33 Ayat 3 yaitu sama- sama menyatakan
bahwa egala kekayaan alam yang terdapat di dalam Indonesia dan masih berasa dalam
kekuasaan Negara Indonesia merupakan kekuasaan Indonesia yang digunakan untuk
kemakmuran rakyat Indonesia.

4. Undang- Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara
BAB IV Pasal 6 menyebutkan bahwa,
“(1) Kewenangan Pemerintah dalam pengelolaan pertambangan mineral dan
batubara, antara lain, adalah:
a. Penetapan kebijakan nasional;
b. Pembuatan peraturan perundang- undangan;
c. Penetapan standar nasional, pedoman dan kriteria;
d. Penetapan sistem perizinan pertambangan mineral dan batubara nasional;
e. Penetapan WP yang dilakukan setelah berkoordinasi dengan pemerintah daerah
dan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia;
f. Pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat, dan pengawasan
usaha pertambangan yang berada pada lintas wilayah provinsi dan/atau wilayah
laut lebih dari 12 (dua belas) mil dari garis pantai;
g. Pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat, dan pengawasan
usaha pertambangan yang lokasi penambangannya berada pada lintas wilayah
provinsi dan /atau wilayah laut lebih dari 12 (dua belas) mil dari garis pantai;
h. Pemberian IUP, pembinaan, penyelesaian konflik masyarakat, dan pengawasan
usaha pertambanganoperasi produksi yang berdampak lingkungan langsung
lintas provinsi dan/atau dalam wilayah laut lebih dari 12(dua belas) mil dari
garis pantai;
i. Pemberian IUPK Eksplorasi dan IUPK Operasi Produksi;
j. Pengevaluasian IUP Operasi Produksi, yang dikeluarkan oleh pemerintah
daerah, yang telah menimbulkan kerusakan lingkungan serta yang tidak
menerapkan kaidah pertambangan yang baik;
k. Penetapan kebijakan produksi, pemasaran, pemanfaatan, dan konservasi;
l. Penetapan kebijakan kerja sama, kemitraan, dan pemberdayaan masyarakat;
m. Perumusan dan penetapan penerimaan Negara bukan pajak dari hasil usaha
pertambangan mineral dan batubara;
n. Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pengelolaan pertambangan
mineral dan batubara yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah;
o. Pembinaan dan pengawasan penyusunan peraturan daerah di bidang
pertambangan;
p. Penginventarisasian, penyelidikan, dan penelitian serta eksplorasi dalam rangka
memperoleh data dan informasi mineral dan batubara sebgai bahan penyusunan
WUP dan WPN;
q. Pengelolaan informasi geologi, informasi poteensi sumber daya mineral dan
batubara, serta informasi pertambangan paa tingkat nasional;
r. Pembinaan dan pengawasan terhadap reklamasi lahan pascatambang;
s. Penysusnan neraca sumber daya mineral dan batubara tingkat nasional;
t. Pengembangan dan peningkatan nilai tambah kegiatan usaha pertambangan;dan
u. Peningkatan kemampuan aparatur pemerintah, pmerintah provinsi, dan
pemerintah kabupaten/ kota dalam penyelenggaraan pengelolaan usaha
pertambangan.
(2) kewenangan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.”
Pemerintah memiliki kewenangan untuk mengatur kegiatan pertambangan di
Indonesia. Melalui peraturan perundang- undangan yang berlaku, kebijakan- kebijakan
pemerintah harusnya dapat menjadi landasan bagi segala kegiatan yang berlangsung di
Indonesia, salah satunya adalah pertambangan.

5. Undang- Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara
Pasal 169 huruf b dikatakan bahwa,
“Ketentuan yang tercantum dalam pasal kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan
pertambangan batubara sebagaimana dimaksud pada huruf a disesuaikan selambat-
lambatnya 1 (satu) tahun sejak Undang- Undang ini diundangkan kecuali mengenai
penerimaan Negara.”
Permasalahan yang terjadi adalah, UU minerba hanya bisa diberlakukan pada
perjanjian- perjanjian yang terkait dengan aktifitas pertambangan setelah UU tersebut
dikeluarkan.. sedangkan, perjanjian antara Indonesia dengan PT. Freeport Indonesia telah
disepakati sebelum UU minerba dikeluarkan.
6. Undang- Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara
Pasal 112 ayat (1) menyebutkan bahwa,
“Setelah 5 (lima) tahun berproduksi, badan usaha pemegang IUP dan IUPK yang
sahamnya dimiliki oleh asing wajib melakukan divestasi saham pada Pemerintah,
pemerintah daerah, badan usaha milik Negara, badan usaha milik daerah, atau badan
usaha swasta nasional.”
Divestasi saham pada pemerintah wajib dilakukan oleh perusahaan asing setelah lima
tahun berproduksi dan menjalankan perusahaannya di Indonesia. Besar divestasi saham
diatur pada Peraturan Pemerintah.

7. Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2007 tentang Perubahan Keempat Atas


Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Pertambangan Mineral dan Batubara Pasal 69 menyebutkan bahwa,
“(1) Pemegang IUP dan IUPK dalam rangka penanaman modal asing, setelah 5 (lima)
tahun sejak berproduksi wajib melakukan divestasi sahamnya secara bertahap, sehingga
pada tahun kesepuluh sahamnya paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) dimiliki
peserta Indonesia.
(2)Kepemilikan peserta Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam setiap tahun
setelah akhir tahun kelima sejak produksi tidak boleh kurang dari presentase sebagai
berikut:
a. tahun keenam 20% (dua puluh persen);
b. tahun ketujuh 30% (tiga puluh persen);
c. tahun kedelapan 37% (tiga puluh tujuh persen);
d. tahun kesembilan 44% (empat puluh empat persen);
e. tahun kesepuluh 51% (lima puluh satu persen), dari jumlah seluruh saham.”
Setelah 51 tahun beroperasi d Indonesia, dengan Undang- Undang dan peratura yang berlaku
di Indonesia, harusnya Indonesia memiliki paling sedikit 51% dari jumlah seluruh saham
yang dimiliki oleh PT. Freeport Indonesia.

8. Undang- Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara
Pasal 102, 103 dan 170
Pasal 102 menyebutkan bahwa,
“Pemegang IUP dan IUPK wajib meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral
dan/atau batubara dalam pelaksanaan penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta
pemanfaatan mineral dan batubara.”
Pasal 103 ayat (1) menyebutkan bahwa,
“Pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi wajib melakukan pengolahan dan
pemurnian hasil penambangan di dalam negeri.”
Pasal 170 menyebutkan bahwa,
“Pemegang kontrak karya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 yang sudah
berproduksi wajib melakukan pemurnian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat
(1) selambat- lambatnya 5 (lima) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.”
Pengolahan dan pemurnian hasil tambang yang dilakukan oleh perusahaan asing dengan
wilayah penambangan masih dalam Negara Indonesia wajib dilakukan di Indonesia dan
dalam jangka waktu lima tahun dari Undang- Undang tersebut diundangkan. Pemurnian
dilakukan dengan pembuatan smelter di Gresik pada tahun 2015.

9. Pancasila sila ke-5


“Keadilan sosial bagi seluruh bangsa Indonesia”
Sila ke- 5 pancasila seperti yang tersebut diatas merupakan sila yang terkait dengan
penyelenggaraan sumber daya alam di Indonesia yang merupakan kekayaan alam bangsa
Indonesia dan harus dipergunakan untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.

10. Undang- Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup Pasal 49 menyebutkan bahwa,
“(1) Menteri mewajibkan audit lingkungan hidup kepada:
a. Usaha dan/atau kegiatan tertentu yang berisiko tinggi terhadap lingkungan
hidup; dan/atau
b. Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang menunjukkan ketidaktaatan
terhadap peraturan perundang- undangan.
(2) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib melaksanakan audit
lingkungan hidup.
(3) Pelaksanaan audit lingkungan hidup terhadap kegiatan tertentu yang berisiko
tinggi dilakukan secara berkala.”
Kegiatan pertambangan adalah kegiatan yang berisiko tinggi terhadap lingkungan. Oleh
karena itu, harus ada penanganan khusus agar kegiatan pertambangan tidak merusak dan
berdampak merusak lingkungan hidup di sekitarnya baik dampak jangka pendek maupun
dampak jangka panjang.

11. Undang- Undang No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 6
ayat (1) menyebutkan bahwa; “Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi
lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan.”
Setiap orang adalah seluruh lapisan masyarakat yang tinggal di wilayah Negara Indonesia.
Memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup termasuk didalamnya adalah tidak merusak
sumber daya alam yang ada di Indonesia dan menjaga agar sumber daya alam yang ada tetap
dalam kondisi yang tidak merusak lingkungan sekitarnya. Mencegah dan menanggulangi
pencemaran dan perusakan termasuk di dalamnya adalah bersiap dan memikirkan
konsekuensi yang didapatkan dari penggunaan sumber daya alam yang akan berpengaruh
terhadap lingkungan hidup.

12. UU Minerba Pasal 169 huruf (a) dan huruf (b) mengatur ketentuan sebagai berikut:
“Pada saat Undang-Undang ini berlaku:
a. Kontrak Karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara yang telah ada
sebelum berlakunya Undang-Undang ini tetap diberlakukan sampai jangka waktu
berakhirnya kontrak/perjanjian.
b. Ketentuan yang tercantum dalam pasal kontrak karya dan perjanjian karya penguasahaan
pertambangan batu bara sebagaimana dimaksud pada huruf a disesuaikan
selambatlambatnya 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan kecuali mengenai
penerimaan negara.”
Pasal 169 tersebut adalah perjanjian dan kontrak yang telah ditetapkan antara PT FI
dan Negara Indonesia yang telah dibentuk tidak dapat diubah atau dihapuskan sebelum masa
berlakunya selesai dan perjanjian atau kontrak tersebut harus disesuaikan dengan UU
Minerba Pasal 169 paling lambat setahun sejak UU ini terbentuk kecuali mengenai jumlah
pendapatan suatu negara.
13. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 002/PUU-I/2003, 21 Desember 2004 yang
menyatakan bahwa:
“Rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat
kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan
(bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad) dan
pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat. Fungsi pengurusan (bestuursdaad) oleh negara dilakukan oleh pemerintah
dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perizinan
(vergunning), lisensi (licentie), dan konsesi (concessie). Fungsi pengaturan oleh
negara (regelendaad) dilakukan melalui kewenangan legislasi oleh DPR bersama
dengan Pemerintah, dan regulasi oleh Pemerintah (eksekutif). Fungsi pengelolaan
(beheersdaad) dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham (share-holding)
dan/atau melalui keterlibatan langsung dalam manajemen Badan Usaha Milik
Negara atau Badan Hukum Milik Negara sebagai instrumen kelembagaan melalui
mana negara c.q. Pemerintah mendayagunakan penguasaannya atas sumber-sumber
kekayaan itu untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Demikian
pula fungsi pengawasan oleh negara (toezichthoudensdaad) dilakukan oleh negara
c.q. Pemerintah dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan
penguasaan oleh negara atas cabang produksi yang penting dan/atau yang
menguasai hajat hidup orang banyak dimaksud benar-benar dilakukan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat.”
Berdasarkan tafsiran Mahkamah Konstitusi maka jelas bentuk pengusahaan melalui izin,
konsesi, dan lisensi-lah sebagai wujud hak menguasai negara melalui bestuurdaad, paling
sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945 dan bukanlah bentuk kontrak keperdataan. Menurut
Mahkamah hubungan antara negara dengan swasta dalam pengelolaan sumber daya alam
tidak dapat dilakukan dengan hubungan keperdataan, akan tetapi harus merupakan hubungan
yang bersifat publik yaitu berupa pemberian konsesi atau perizinan yang sepenuhnya di
bawah kontrol dan kekuasaan negara. Kontrak keperdataan akan mendegradasi kedaulatan
negara atas sumber daya alam, dalam hal ini mineral dan batubara.

14. Dalam dokumen Kontrak Karya Jilid 2 Pasal 24 ayat 4 berbunyi, “…setelah semua
hasil penjualan saham tersebut dan setiap saham yang sekarang atau selanjutnya dimiliki oleh
Pemerintah, 45 % dari modal saham perusahaan yang diterbitkan dengan ketentuan bahwa
sekurang-kurangnya 20 % dari modal saham yang diterbitkan tersebut tidak dijual di Bursa
Efek Jakarta, perusahaan diharuskan menjual atau berusaha menjual pada penawaran umum
di bursa efek Jakarta, atau dengan cara lain kepada pihak Nasional Indonesia dengan saham
yang cukup untuk mencapai suatu jumlah yaitu 51 % dari modal saham perusahaan yang
diterbitkan, tidak lebih lambat dari ulang tahun ke 20 tanggal ditandatangninya persetujuan
ini…”.
Pada kasus PT Freeport, pihak perusahaan tidak menerapkan konsep keadilan sosial
yang didasarkan atas prinsip hak asasi manusia dan egalitarianisme serta keadilan ekonomi
bagi Negara Indonesia tidak sesuai dengan isi dari dokumen kontrak karya jilid 2 pasal 24
ayat 4 ini.

15. Resolusi Majelis Umum 1803 (XVII), 14 Desember 1962 yang menyatakan bahwa:
"Hak bangsa dan bangsa untuk kedaulatan permanen atas kekayaan dan sumber daya alam
mereka harus dilakukan demi kepentingan pembangunan nasional dan kesejahteraan rakyat
dari negara yang bersangkutan”
Dengan demikian, maka PT FI harus dapat membagi manfaat hasil pertambangannya
kepada Indonesia sebagai pemilik dan penguasa sesungguhnya kekayaan alam Indonesia agar
dapat memajukan pembangunan nasional dan kesejahteraan rakyat dari negara yang memiliki
SDA tersebut.

16. Peraturan Menteri ESDM No. 34 Tahun 2017 Pasal 26 (1), Pemegang IUP atau IUPK
wajib:
j. melakukan peningkatan nilai tambah mineral atau batubara hasil penambangan di dalam
negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
Pasal 29 Pemegang IUP dan IUPK dilarang:
a. menjual produk hasil penambangan ke luar negeri sebelum melakukan pengolahan
dan/atau pemurnian di dalam negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
Kedua pasal diatas dimaksudkan agar pengolahan pertambangan yang dilakukan
didalam negeri dapat memberikan benefit atau keuntungan bagi Negara Indonesia sehingga
pendapatan negara disektor pertambangan bertambah guna meningkatkan kesejahteraan
rakyat dan pembangunan nasional.

17. Undang-undang Republik Indonesia no.12 tahun 2011 tentang Pembentukan


Peraturan Perundang-undangan pasal 7
(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
(2) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
Pada undang-undang diatas, dimaksudkan bahwa UUD 1945 merupakan peraturan
perundang-undangan yang paling tinggi dan berfungsi sebagai kerangka dasar
pengorganisasian kekuasaan negara dan pembangunan sehingga segala bentuk peraturan atau
kebijakan yang berlaku di Indonesia harus mengacu pada Peraturan Perundang-undangan
yang paling tinggi yakni Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

18. UU No. 13 Tahun 2003 pasal 151 ayat (2) berbunyi “Dalam hal segala upaya telah
dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka maksud pemutusan
hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan
pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat
pekerja/serikat buruh.”
UU No. 13 Tahun 2003 pasal 155 ayat (2) berbunyi “Selama putusan lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus
tetap melaksanakan segala kewajibannya”.
Dalam kedua pasal diatas maksudnya adalah bahwa sebelum melakukan pemutusan
hubungan kerja, dalam konteks ini PT FI dengan pekerja/buruh yang bekerja di perusahannya
harus merundingkannya terlebih dahulu serta PT FI harus tetap beroprasi dan tidak bisa
memberhentikan pekerja/buruh selama pihak perusahaan mengalami permasalahan dengan
Negara Indonesia.

19. Peraturan Pemerintah nomor 9 tahun 2012 pada Pasal 3 (1) Selain jenis Penerimaan
Negara Bukan Pajak sebagaimana ditetapkan dalam lampiran, jenis Penerimaan Negara
Bukan Pajak pada Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi meliputi juga:
a. bonus tanda tangan (signature bonus) yang menjadi kewajiban kontraktor minyak dan gas
bumi;
b. kewajiban finansial atas pengakhiran kontrak kerjasama (terminasi) yang belum memenuhi
komitmen pasti eksplorasi.
(2) Besaran bonus tanda tangan (signature bonus) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a ditetapkan dalam kontrak kerja sama.
(3) Besaran kewajiban finansial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditetapkan
berdasarkan jumlah komitmen pasti eksplorasi yang belum dilaksanakan pada saat kontrak
kerjasama diakhiri.
Pasal 4
(1) Selain jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana ditetapkan dalam lampiran,
jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak pada Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara
meliputi juga:
a. kompensasi data informasi Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) eksplorasi atau
Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) eksplorasi untuk mineral logam dan
batubara;
b. biaya pengganti investasi Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) operasi produksi atau
Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) operasi produksi mineral logam dan
batubara yang telah berakhir; dan
c. bagian Pemerintah dari keuntungan bersih dari pemegang Izin Usaha Pertambangan
Khusus (IUPK) operasi produksi untuk mineral logam dan batubara.
(2) Besaran kompensasi data informasi dan biaya pengganti investasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a dan huruf b ditetapkan sebesar hasil lelang yang dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Besaran bagian Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c adalah sebesar
4% (empat persen) dari keuntungan bersih pemegang Izin Usaha Pertambangan Khusus
(IUPK) operasi produksi untuk mineral logam dan batubara.
Pasal 10
(1) Tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak pada Badan Penelitian dan
Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat
(2) yang berasal dari:
a. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Ketenaga-listrikan, Energi Baru,
Terbarukan, dan Konservasi Energi berupa jasa sertifikasi produk dan jasa perbantuan tenaga
ahli, teknisi, dan/atau surveyor tidak termasuk biaya akomodasi dan transportasi;
b. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara berupa jasa
perbantuan tenaga ahli, teknisi, dan/atau surveyor, serta jasa pengujian lingkungan
pertambangan tidak termasuk biaya akomodasi dan transportasi; dan
c. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan berupa:
1. jasa teknologi survei tidak termasuk biaya mobilisasi peralatan; dan
2. jasa wahana survei tidak termasuk biaya akomodasi, transportasi, mobilisasi peralatan,
awak kapal, dan bahan bakar minyak.
(2) Biaya akomodasi, transportasi, dan mobilisasi peralatan, untuk pelayanan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c angka 1 yang dilaksanakan di luar
kantor Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral dibebankan
kepada wajib bayar.
(3) Biaya akomodasi, transportasi, mobilisasi peralatan, awak kapal, dan/atau bahan bakar
minyak untuk jasa wahana survei sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 2
dibebankan kepada wajib bayar.
Pasal 11
Terhadap jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak pada Badan Penelitian dan Pengembangan
Energi dan Sumber Daya Mineral sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf g yang
berasal dari jasa laboratorium, untuk instansi pemerintah, perguruan tinggi, dan mahasiswa
dikenakan tarif sebagai berikut:
a. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dan mahasiswa sebesar 50% (lima puluh
persen); dan b. instansi pemerintah selain Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dan
perguruan tinggi sebesar 80% (delapan puluh persen), dari tarif yang ditetapkan dalam
Lampiran Peraturan Pemerintah ini.
Keempat pasal diatas dijadikan sebagai dasar pertimbangan dalam penaikan royalty dari
pihak PT FI kepada pemerintah Indonesia yang pada awalnya hanya sebesar 1% menjadi
3,75% untuk emas, perak dan tembaga.

Anda mungkin juga menyukai