Anda di halaman 1dari 16

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/311715654

Triase Modern Rumah Sakit dan Aplikasinya di Indonesia

Article · November 2016

CITATIONS READS
0 33,568

4 authors:

Hadiki Habib Septo Sulistio


cipto mangunkusumo hospital Emergency Unit Cipto Mangunkusumo Hospital
17 PUBLICATIONS   0 CITATIONS    3 PUBLICATIONS   0 CITATIONS   

SEE PROFILE SEE PROFILE

Radi Muharris Mulyana Imamul Aziz Albar


RSCM Hospitals RSCM Hospitals
5 PUBLICATIONS   2 CITATIONS    2 PUBLICATIONS   0 CITATIONS   

SEE PROFILE SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Dr. Umar Zein Tropical Disease and Infection Clinic View project

Internal medicine View project

All content following this page was uploaded by Hadiki Habib on 19 December 2016.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Triase Modern Rumah Sakit dan Aplikasinya di Indonesia

Hadiki Habib, Septo Sulistio, Radi Muharris Mulyana, Imamul Aziz Albar
Instalasi Gawat Darurat RSCM

Pendahuluan

Perkembangan triase modern tak lepas dari pengembangan sistim layanan gawat darurat.
Kehidupan yang semakin kompleks menyebabkan terjadi revolusi sistem triase baik di luar
rumah sakit maupun dalam rumah sakit.

Kata triase berasal dari bahasa perancis trier, yang artinya menyusun atau memilah. Kata ini
pada awalnya digunakan untuk menyebutkan proses pemilahan biji kopi yang baik dan yang
rusak.1 Proses pemilahan di dunia medis pertama kali dilaksanakan sekitar tahun 1792 oleh
Baron Dominique Jean Larrey, seorang dokter kepala di Angkatan perang Napoleon.1 Pemilahan
pada serdadu yang terluka dilakukan agar mereka yang masih bisa ditolong mendapatkan
prioritas penanganan.

Seiring dengan berkembangnya penelitian di bidang gawat darurat, sejak tahun 1950 an
diterapkan metode triase di rumah sakit di Amerika Serikat, namun belum ada struktur yang
baku. Seiring dengan perkembangan keilmuan dibidang gawat darurat, triase rumah sakit modern
sudah berkembang menjadi salah satu penentu arus pasien dalam layanan gawat darurat.

Triase menjadi komponen yang sangat penting di unit gawat darurat terutama karena terjadi
peningkatan drastis jumlah kunjungan pasien ke rumah sakit melalui unit ini. Berbagai laporan
dari UGD menyatakan adanya kepadatan (overcrowding) menyebabkan perlu ada metode
menentukan siapa pasien yang lebih prioritas sejak awal kedatangan.2 Ketepatan dalam
menentukan kriteria triase dapat memperbaiki aliran pasien yang datang ke unit gawat darurat,
menjaga sumber daya unit agar dapat fokus menangani kasus yang benar-benar gawat, dan
mengalihkan kasus tidak gawat darurat ke fasilitas kesehatan yang sesuai.

Dalam rangka meningkatkan performa pelayanan di UGD, revitalisasi peran dan fungsi triase
harus dilakukan. Untuk itu, perkembangan sistem triase rumah sakit diberbagai negara perlu
diketahui, sehingga dapat dijadikan bahan pertimbangan apakah sistim triase modern tersebut
relevan diterapkan di Indonesia.

Definisi
Triase adalah proses pengambilan keputusan yang kompleks dalam rangka menentukan pasien
mana yang berisiko meninggal, berisiko mengalami kecacatan, atau berisiko memburuk keadaan
klinisnya apabila tidak mendapatkan penanganan medis segera, dan pasien mana yang dapat
dengan aman menunggu.3-7 Berdasarkan definisi ini, proses triase diharapkan mampu
menentukan kondisi pasien yang memang gawat darurat, dan kondisi yang berisiko gawat
darurat.

Untuk membantu mengambil keputusan, dikembangkan suatu sistim penilaian kondisi medis dan
klasifikasi keparahan dan kesegeraan pelayanan berdasarkan keputusan yang diambil dalam
proses triase. Penilaian kondisi medis triase tidak hanya melibatkan komponen topangan hidup
dasar yaitu jalan nafas (airway), pernafasan (breathing) dan sirkulasi (circulation) atau disebut
juga ABC approach, tapi juga melibatkan berbagai keluhan pasien dan tanda-tanda fisik.
Penilaian kondisi ini disebut dengan penilaian berdasarkan kumpulan tanda dan gejala
(syndromic approach). Contoh sindrom yang lazim dijumpai di unit gawat darurat adalah nyeri
perut, nyeri dada, sesak nafas, dan penurunan kesadaran.

Triase konvensional yang dikembangkan di medan perang dan medan bencana menetapkan
sistim pengambilan keputusan berdasarkan keadaan hidup dasar yaitu ABC approach dan fokus
pada kasus-kasus trauma. Setelah kriteria triase ditentukan, maka tingkat kegawatan dibagi
dengan istilah warna, yaitu warna merah, warna kuning, warna hijau dan warna hitam.
Penyebutan warna ini kemudian diikuti dengan pengembangan ruang penanganan medis menjadi
zona merah, zona kuning, dan zona hijau (tabel 1). Triase bencana bertujuan untuk mengerahkan
segala daya upaya yang ada untuk korban-korban yang masih mungkin diselamatkan sebanyak
mungkin (do the most good for the most people).8
Tabel 1. Triase Bencana8

Kriteria Deskripsi
Merah Korban dalam kondisi kritis dan membutuhkan pertolongan segera
Kuning Korban tidak dalam kondisi kritis namun membutuhkan pertolongan segera
Hijau Trauma minor dan masih mampu berjalan (walking wounded)
Hitam Meninggal

Sedangkan triase rumah sakit bertujuan menetapkan kondisi yang paling mengancam nyawa agar
dapat mengerahkan segala daya upaya dan fokus untuk melakukan pertolongan medis pada
pasien sampai keluhan pasien dan semua parameter hemodinamik terkendali. Prinsip yang dianut
adalah bagaimana agar pasien mendapatkan jenis dan kualitas pelayanan medik yang sesuai
dengan kebutuhan klinis (prinsip berkeadilan) dan penggunaan sumber daya unit yang tepat
sasaran (prinsip efisien).6

Selain tingkat kegawatan suatu kondisi medis, triase juga harus menilai urgensi kondisi pasien.
Urgensi berbeda dengan tingkat keparahan. Pasien dapat dikategorikan memiliki kondisi tidak
urgen tapi masih tetap membutuhkan rawat inap dirumah sakit karena kondisinya.

Setelah penilaian keparahan (severity) dan urgensi (urgency), maka beberapa sistim triase
menentukan batas waktu menunggu. Yaitu berapa lama pasien dapat dengan aman menunggu
sampai mendapatkan pengobatan di IGD.3

Sistim triase tidak pernah dirancang untuk membuat diagnosis, namun seiring dengan
berkembangnya ilmu kedokteran, tindakan-tindakan penyelamatan nyawa sudah dapat dimulai
secara simultan ketika triase berjalan, seperti tindakan pembebasan jalan nafas dengan metode
jaw thrust, pijat jantung luar, penekanan langsung sumber perdarahan, pemasangan cervical
collar.

Triase modern yang diterapkan di rumah sakit saat ini terbagi atas lima kelompok (tabel 2)
dengan berbagai macam penyebutan, dalam artikel ini akan diseragamkan dengan sebutan
kategori.
Tabel 2. Kategori triase berdasarkan beberapa sistem

Level (ESI) Warna (MTS) Kriteria CTAS Kriteria ATS


Level 1 Merah Resusitasi Segera mengancam nyawa
Level 2 Oranye Emergensi Mengancam nyawa
Level 3 Kuning Segera (urgen) Potensi mengancam nyawa
Level 4 Hijau segera (semi urgen) Segera
Level 5 Biru Tidak segera Tidak segera
Untuk membuat sistim triase yang efektif dan efisien, maka ada empat hal yang harus dinilai
yaitu utilitas, sistim triase harus mudah dipahami dan praktis dalam aplikasi oleh perawat gawat
darurat dan dokter. Valid, sistim triase harus mampu mengukur urgensi suatu kondisi sesuai
dengan seharusnya.reliabel, sistim triase dapat dilaksanakan oleh berbagai petugas medis dan
memberikan hasil yang seragam, dan keamanan, keputusan yang diambil melalui sistim triase
harus mampu mengarahkan pasien untuk mendapatkan pengobatan semestinya dan tepat waktu
sesuai kategori triase.3

Metode triase rumah sakit yang saat ini berkembang dan banyak diteliti reliabilitas, validitas, dan
efektivitasnya adalah triase Australia (Australia Triage System/ATS), triase Kanada (Canadian
Triage Acquity System/CTAS), triase Amerika Serikat (Emergency Severity Index/ESI) dan triase
Inggris dan sebagian besar Eropa (Manchester Triage Scale). Metode terstruktur disertai
pelatihan khusus ini dikembangkan sehingga proses pengambilan keputusan triase dapat
dilaksanakan secara metodis baik oleh dokter maupun perawat terlatih, tidak berdasarkan
pengalaman dan wawasan pribadi (educational guess) atau dugaan (best guess)

Metode triase lima kategori memiliki korelasi kuat dengan pemakaian sumber daya unit gawat
darurat, kebutuhan rawat inap dan rawat intensif pasien gawat darurat, angka mortalitas, dan
kesesuaian waktu yang dibutuhkan untuk pertolongan segera pada pasien baru dibandingkan
dengan metode konvensional.9 Triase lima kategori juga memiliki reliabilitas interobserver yang
lebih baik (κ = 0.68; p< 0.01) dibandingkan dengan triase konvensional (κ = 0.19-0.38).10, 11

Dengan metode triase lima kategori ini, maka setiap pasien yang masuk ke unit gawat darurat
akan diterima oleh petugas triase. Petugas triase kemudian melakukan proses pengambilan
keputusan berdasarkan metode terstruktur yang ditetapkan dan dilakukan dalam waktu singkat
(2-5 menit), untuk kemudian mengarahkan pasien ke zona pelayanan medik yang sesuaivkategori
triase. Petugas triase harus menetapkan skala prioritas pasien, tidak melakukan anamnesis dan
pemeriksaan fisik mendalam, tidak perlu menetapkan rumusan masalah apalagi menetapkan
diagnosis.

Triase Australia
Sekitar tahun 1980an dimulai konsep triase lima tingkat di Rumah Sakit Ipswich, Queensland,
Australia.6 Konsep yang sama juga dikembangkan di rumah sakit Box Hill, Victoria, Australia.6
Pembagian tingkatan ini berdasarkan tingkat kesegeraan (urgency) dari kondisi pasien. Validasi
sistim triase ini menunjukkan hasil yang lebih baik dan konsisten dibandingkan triase
konvensional dan mulai di adopsi unit gawat darurat di seluruh Australia. Sistim nasional ini
disebut dengan National Triage Scale (NTS) dan kemudian berubah nama menjadi Australia
Triage Scale (ATS).

Australian Triage Scale (ATS) mulai berlaku sejak tahun 1994, dan terus mengalami perbaikan.
Saat ini sudah ada kurikulum resmi dari kementerian kesehatan Australia untuk pelatihan ATS
sehingga dapat diterapkan sesuai standar oleh perawat-perawat triase3. Konsep ATS ini
kemudian menjadi dasar berkembangnya sistim triase di Inggris dan Kanada.

Berbeda dari fungsi awal pembentukan tingkatan triase, saat ini selain menetapkan prioritas
pasien, ATS juga memberikan batasan waktu berapa lama pasien dapat menunggu sampai
mendapatkan pertolongan pertama. Sistim ATS juga membuat pelatihan khusus triase untuk
pasien-pasien dengan kondisi tertentu seperti pasien anak-anak, pasien geriatri, pasien gangguan
mental.3

Di Australia, proses triase dilakukan oleh perawat gawat darurat. Karena triase sangat diperlukan
untuk alur pasien dalam UGD yang lancar dan aman, Australia memiliki pelatihan resmi triase
untuk perawat dan dokter. Tujuan pelatihan adalah untuk meningkatkan konsistensi peserta
dalam menetapkan kategori triase dan menurunkan lama pasien berada di UGD.

Dalam sistim triase ATS, dikembangkan mekanisme penilaian khusus kondisi urgen untuk
pasien-pasien pediatri, trauma,triase di daerah terpencil, pasien obstetri, dan gangguan perilaku.
Untuk memudahkan trier (orang yang melakukan triase) mengenali kondisi pasien, maka di ATS
terdapat kondisi-kondisi tertentu yang menjadi deskriptor klinis seperti yang tertera di tabel 3,
tujuan deskriptor ini adalah memaparkan kasus-kasus medis yang lazim dijumpai sesuai dengan
kategori triase sehingga memudahkan trier menetapkan kategori.

Tabel 3. Contoh Aplikasi triase versi ATS

Kategori Respon Deskripsi Kategori Deskripsi klinis


ATS
Kategori 1 Segera, penilaian Kondisi yang mengancam Henti Jantung
dan tatalaksana nyawa atau berisiko Henti nafas
diberikan secara mengancam nyawa bila
simultan tidak segera di intervensi Sumbatan jalan nafas
mendadak yang berisiko
menimbulkan henti jantung
Pernafasan < 10x/menit
Distres pernafasan berat
Tekanan darah sistole < 80
(dewasa) atau anak dengan
klinis shock berat
Kesadaran tidak ada respon
atau hanya berespon dengan
nyeri
Kejang berkelanjutan
Gangguan perilaku berat
yang mengancam diri pasien
dan orang lain
Kategori 2 Penilaian dan Risiko mengancam nyawa, Jalan nafas : ada stridor
tatalaksana diberikan dimana kondisi pasien disertai distres pernafasan
secara simultan dapat memburuk dengan berat
dalam waktu 10 cepat, dapat segera
menit menimbulkan gagal organ Gangguan sirkulasi
bila tidak diberikan - Akral dingin
tatalaksana dalam waktu - Denyut nadi < 50 kali per
10 menit setelah datang menit atau lebih dari
atau 150x/menit pada dewasa
Pasien memiliki kondisi - Hipotensi dengan gangguan
yang memiliki periode hemodinamik lain
terapi efektif seperti - Banyak kehilangan darah
trombolitik pada ST
Elevation Myocard Infark Nyeri dada tipikal
(STEMI), trombolitik pada Nyeri hebat apapun
stroke iskemik baru, dan penyebabnya
antidotum pada kasus
keracunan Delirum atau gaduh gelisah
Defisit neurologis akut
Atau (hemiparesis, disfasia)

Nyeri hebat (VAS 7-10) Demam dengan letargi


nyeri harus diatasi dalam
waktu 10 menit setelah Mata terpercik zat asam atau
pasien datang zat basa

Trauma multipel yang


membutuhkan respon tim

Trauma lokal namun berat


(traumatic amputation,
fraktur terbuka dengan
perdarahan)

Riwayat medis berisiko


- Riwayat tertelan bahan
beracun dan berbahaya
- Riwayat tersengat racun
binatang tertentu
- Nyeri yang diduga berasal
dari emboli paru, diseksi
aorta, kehamilan ektopik
Gangguan perilaku
- Perilaku agresif dan kasar
- Perilaku yang
membahayakan diri
sendiri dan orang lain dan
membutuhkan tindakan
restraint
Kategori 3 Penilaian dan Kondisi potensi Hipertensi berat
tatalaksana dapat berbahaya, mengancam Kehilangan darah moderat
dilakukan dalam nyawa atau dapat Sesak nafas
waktu 30 menit menambah keparahan bila Saturasi oksigen 90-95%
penilaian dan tatalaksana Paska kejang
tidak dilaksanakan dalam Demam pada pasien
waktu 30 menit immunokompromais (pasien
Atau AIDS, pasien onkologi,
Kondisi segera, dimana pasien dalam terapi steroid)
ada pengobatan yang harus Muntah menetap dengan
segera diberikan dalam tanda dehidrasi
waktu 30 menit untuk Nyeri kepala dengan riwayat
mencegah risiko pingsan, saat ini sudah sadar
perburukan kondisi pasien
Nyeri sedang apapun
Atau penyebabnya
Nyeri dada atipikal
Nyeri sedang yang harus Nyeri perut tanpa tanda akut
diatasi dalam waktu 30 abdomen
menit Pasien dengan usia > 65
tahun
Trauma ekstremitas moderat
(deformitas, laserasi, sensasi
perabaan menurun, pulsasi
ekstremitas menurun
mendadak, mekanisme
trauma memiliki risiko tinggi

Neonatus dengan kondisi


stabil

Gangguan perilaku yang


sangat tertekan, menarik diri,
agitasi, gangguan isi dan
bentuk pikiran akut, potensi
menyakiti diri sendiri
Ketegori 4 Penilaian dan Kondisi berpotensi jatuh Perdarahan ringan
tatalaksana dapat menjadi lebih berat apabila
dimulai dalam waktu penlaian dan tatalaksana Terhirup benda asing tanpa
60 menit tidak segera dilaksanakan ada sumbatan jalan nafas dan
dalam waktu 60 menit sesak nafas

Kondisi segera, dimana Cedera kepala ringan tanpa


ada pengobatan yang harus riwayat pingsan
segera diberikan dalam
waktu 60 menit untuk Nyeri ringan-sedang
mencegah risiko
perburukan kondisi pasien Muntah atau diare tanpa
ehidrasi
Kondisi medis kompleks,
pasien membutuhkan Radang atau benda asing di
pemeriksaan yang banyak, mata, penglihatan normal
konsultasi dengan berbagai
spesialis dan tatalaksana Trauma ekstremitas minor
diruang rawat inap (keseleo, curiga fraktur, luka
robek sederhana, tidak ada
Nyeri ringan gangguan neurovaskular
ekstremitas) sendi bengkak

Nyeri perut non spesifik


Gangguan perilaku
Pasien riwayat gangguan
yang merusak diri dan
mengganggu orang lain, saat
ini dalam observasi
Kategori 5 Penilaian dan Kondisi tidak segera, yaitu Nyeri ringan
tatalaksana dapat kondisi kronik atau minor
dimulai dalam waktu diama gejala tidak berisiko Riwayat penyakit tidak
120 menit memberat bila pengobatan berisiko dan saat ini tidak
tidak segera diberikan bergejalan

Masalah klinis Keluhan minor yang saat


administratif berkunjung masih dirasakan
Mengambil hasil lab dan
meminta penjelasan, Luka kecil (luka lecet, luka
meminta sertifikat robek kecil)
kesehatan, meminta
perpanjangan resep Kunjungan ulang untuk ganti
verban, evaluasi jahitan

Kunjungan untuk imunisasi

Pasien kronis psikiatri tanpa


gejala akut dan hemodinamik
stabil

Triase Kanada
Triase Kanada disebut dengan The Canadian Triage and Acuity Scale (CTAS). Pertama kali
dikembangkan tahun 1990 oleh dokter yang bergerak dibidang gawat darurat. Konsep awal
CTAS mengikuti konsep ATS, dimana prioritas pasien disertai dengan waktu yang diperlukan
untuk mendapatkan penanganan awal. CTAS juga dilengkapi dengan rangkuman keluhan dan
tanda klinis khusus untuk membantu petugas melakukan identifikasi sindrom yang dialami
pasien dan menentukan level triase. Metode CTAS juga mengharuskan pengulangan triase (re-
triage) dalam jangka waktu tertentu atau jika ada perubahan kondisi pasien ketika dalam
observasi.

Pengambilan keputusan dalam sistim CTAS berdasarkan keluhan utama pasien, dan hasil
pemeriksaan tanda vital yang meliputi tingkat kesadaran, nadi, pernafasan, tekanan darah, dan
nyeri. Penilaian dilakukan selama 2-5 menit, namun bila pasien dianggap kategori CTAS 1 dan
2, maka harus segera dikirim ke area terapi.4

Seperti ATS, CTAS juga membuat batasan waktu berapa lama pasien dapat menunggu
penanganan medis awal. Batasan waktu yang ditetapkan masih memiliki kelonggaran (tabel 4)
karena kunjungan pasien yang tidak dapat diprediksi dan dibatasi adalah realitas yang dihadapi
oleh tiap unit gawat darurat.

Tabel 4. Indikator Keberhasilan Triase CTAS Berdasarkan waktu respon

Kategori Waktu untuk segera ditangani


CTAS
1 Pasien dengan kategori ini 98% harus segera ditangani oleh dokter
2 Pasien dengan kategori ini 95% harus ditangani oleh dokter dalam waktu 15
menit
3 Pasien dengan kategori ini 90% harus ditangani oleh dokter dalam waktu 30
menit
4 Pasien dengan kategori ini 85% harus ditangani oleh dokter dalam waktu 60
menit
5 Pasien dengan kategori ini 80% harus ditangani oleh dokter dalam waktu 120
menit

Tahun 2003, Jimenez mengevaluasi penerapan CTAS di unit gawat darurat rumah sakit umum
dan menunjukkan bahwa dari 32,261 kunjungan ke UGD, sebanyak 85% di triase dalam waktu
10 menit, dan 98% pasien mengikuti proses triase dengan durasi kurang dari 5 menit. Waktu
menunggu sesuai kategori triase CTAS memiliki kesesuaian 96.3% dengan panduan baku. Sistim
kategori CTAS juga berhubungan dengan angka rawat inap, lama rawat, dan penggunaan
pemeriksaan penunjang.11

Triase Inggris
Triase Inggris disebut juga dengan Manchester Triage Scale (MTS). Metode ini digunakan
terutama di Inggris dan Jerman. Ciri khas MTS adalah identifikasi sindrom pasien yang datang
ke unit gawat darurat diikuti oleh algoritma untuk mengambil keputusan. Berdasarkan keluhan
utama pasien, ditetapkan 52 algoritma contohnya algoritma trauma kepala, dan algoritma nyeri
perut. Dalam tiap algoritma ada diskriminator yang menjadi landasan pengambilan keputusan,
diskriminator tersebut adalah kondisi klinis yang merupakan tanda vital seperti tingkat
kesadaran, derajat nyeri, dan derajat obstruksi jalan nafas.
Ketika ada pasien yang datang ke unit gawat darurat, petugas triase akan menentukan keluhan
utama yang pasien atau pengantar sampaikan lalu menyesuaikan masalah yang disampaikan
dengan algoritma yang ada, dan melakukan pengambilan keputusan sesuai yang telah ditetapkan
dalam masing-masing algoritma.

Triase Amerika Serikat


Triase Amerika Serikat disebut juga dengan Emergency Severity Index (ESI) dan pertama kali
dikembangkan di akhir tahun 90 an. Ditandai dengan dibentuknya Joint Triage Five Level Task
Force oleh The Emergency Nursing Association (ENA) dan American College of Physician
(ACEP) untuk memperkenalkan lima kategori triase untuk menggantikan tiga kategori
sebelumnya. Perubahan ini berdasarkan pertimbangan kebutuhan akan presisi dalam menentukan
prioritas pasien di UGD, sehingga pasien terhindar dari keterlambatan pengobatan akibat
kategorisasi terlalu rendah, atau sebaliknya pemanfaatan UGD yang berlebihan untuk pasien
yang non urgen akibat kategorisasi terlalu tinggi.
Metode ESI menentukan prioritas penanganan awal berdasarkan sindrom yang menggambarkan
keparahan pasien dan perkiraan kebutuhan sumber daya unit gawat darurat yang dibutuhkan
(pemeriksaan laboratorium, radiologi, konsultasi spesialis terkait, dan tindakan medik di unit
gawat darurat).
Apabila ada pasien baru datang ke unit gawat darurat, maka petugas triase akan melakukan dua
tahap penilaian, tahap pertama adalah menentukan keadaan awal pasien apakah berbahaya atau
tidak, bila berbahaya maka kondisi pasien termasuk level 1 atau 2. Pasien dikelompokkan
kedalam level 1 apabila terjadi ganggguan di tanda vital yang mengancam nyawa seperti henti
jantung paru dan sumbatan jalan nafas. Pasien dengan tanda vital tidak stabil dan sindrom yang
potensial mengancam akan dikelompokkan ke level 2 seperti nyeri dada tipikal, perubahan
kesadaran mendadak, nyeri berat, curiga keracunan, dan gangguan psikiatri dengan risiko
membahayakan diri pasien atau orang lain.
Pasien yang tidak memenuhi kriteria level 1 dan 2 akan memasuki tahap penilaian kedua yaitu
perkiraan kebutuhan pemakaian sumber daya UGD (pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan
radiologi, tindakan atau terapi intravena) dan pemeriksaan tanda vital lengkap. Apabila saat
triase diperkirakan pasien yang datang tidak membutuhkan pemeriksaan penunjang dan terapi
intravena, maka pasien termasuk kategori 5, apabila pasien diperkirakan perlu menggunakan satu
sumber daya UGD (laboratorium atau x ray atau EKG, atau terapi intravena) maka termasuk
kategori 4, apabila pasien diperkirakan membutuhkan lebih dari satu sumber daya UGD untuk
mengatasi masalah medisnya, maka akan masuk kategori 3 (apabila hemodinamik stabil) atau
kategori 2 (apabila hemodinamik tidak stabil).
Analisis sistematik yang dilakukan Christ menunjukkan bahwa ESI dan CTAS adalah sistim
triase yang memiliki reliabilitas paling baik.5
Skema 1. Alur Pengambilan Keputusan Triase Metode ESI

Membutuhkan intervensi segera


untuk menyelamatkan hidup 1

Kondisi risiko tinggi

Atau
2
Disorientasi/letargi

Atau

Nyeri hebat/distres pernafasan

Berapa banyak sumber daya yang diperlukan

Tak ada Satu banyak

5 4

3
Triase Indonesia

Sistim triase modern rumah sakit yang saat ini berkembang disusun sedemikian rupa untuk
membantu mengambil keputusan yang konsisten. Semua metode triase lima level menetapkan
petugas yang melaksanakan triase adalah perawat yang sudah terlatih. Namun tidak menutup
kemungkinan dokter terlatih yang melakukan triase untuk kondisi-kondisi unit gawat darurat
khusus (pusat rujukan nasional, pusat rujukan trauma).

Meski sudah ada petugas khusus triase, konsep triase harus dipahami oleh semua petugas medis
(dokter, perawat gawat darurat, dokter spesialis, dan dokter spesialis konsultan) dan non medis
(petugas keamanan, petugas administrasi, petugas porter), karena unit gawat darurat adalah
sebuah tim, dan kinerja tim yang menentukan efektivitas, efisiensi, dan keberhasilan pertolongan
medis.

Manajemen unit gawat darurat yang efisien membutuhkan satu tim yang mampu
mengidentifikasi kebutuhan pasien, menetapkan prioritas, memberikan pengobatan,
pemeriksaan, dan disposisi yang tepat sasaran. Semua target tersebut harus dapat dilakukan
dengan waktu yang sesuai, sehingga menghindari kejadian pengobatan terlambat dan pasien
terabaikan.

Di Indonesia belum ada kesepakatan tentang metode triase apa yang digunakan di rumah sakit.
Belum ditemukan adanya literatur nasional yang mengidentifikasi metode-metode triase yang
digunakan tiap-tiap unit gawat darurat di Indonesia. Secara empiris penulis mengetahui bahwa
pemahaman triase dalam pendidikan kesehatan sebagian besar- kalau tidak bisa dikatakan
seluruhnya- masih menggunakan konsep triase bencana (triase merah,,kuning, hijau, dan hitam).

Beberapa rumah sakit yang mengikuti akreditasi internasional seperti Rumah Sakit Pusat
Nasional dr. Ciptomangunkusumo sudah mulai mencoba mengikuti penerapan triase lima
kategori di Instalasi Gawat Darurat. Konsep lima kategori di RSCM merupakan penyesuaian dari
konsep ATS. Banyak perbedaan pendapat antara petugas medis di IGD RSCM ketika sistim ini
diterapkan karena sebagian masih menganut paham triase bencana
Selain belum kuat dari aspek sosialisasi dan pelatihan, pelaksanaan triase di Indonesia juga
masih lemah dari aspek ilmiah. Minimnya penelitian dan publikasi dibidang gawat darurat dapat
menyebabkan kerancuan dalam menerapkan metode triase, apakah tetap menggunakan metode
konvensional, menyadur sistim dari luar negeri setelah dilakukan uji validasi dan uji reliabilitas,
atau membuat sistim sendiri yang sesuai dengan karakteristik pasien-pasien di Indonesia.

Beberapa karakteristik pasien di Indonesia yang berbeda dengan diluar negeri antara lain di
Indonesia kasus-kasus berat diantar ke IGD oleh keluarga atau pendamping, bukan dengan
ambulans medik, sehingga perlu ada evaluasi singkat mengenai keluhan utama pasien atau
mekanisme trauma, pasien yang datang ke IGD memiliki komorbid lebih banyak, cara
menyampaikan keluhan berbeda-beda tergantung dari latar belakang budaya, serta banyak
dijumpai kasus penyakit tropik dan infeksi seperti demam berdarah dengue, demam typhoid,
malaria, chikunguya, dan leptospirosis.
Daftar Pustaka

1. Robertson-Steel I. Evolution of triage systems. Emerg Med J. 2006;23:154-6.


2. Moskop JC, Sklar DP, Geiderman JM, Schears RM, Bookman KJ. Emergency department
crowding, part 1- concept, causes, and moral consequences. Ann Emerg Med. 2009;53:605–
11.
3. Australian Government Department of Health and Aging. Emergency Triage Education Kit.
Department of Health and Aging. 2009.
4. Beveridge RC, Clarke B, Janes L, Savage N, Thompson J, Dodd G. Implementation
guidelines for the canadian emergency department triage and acuity scale. CTAS version 16.
1998.
5. Christ M, Grossmann F, Winter D, Bingisser R, Platz E. Modern triage in the emergency
department Dtsch Arztebl Int 2010;107(50):892–8.
6. Fitzgerald G, Jelinek GA, Scott D, Gerdtz MF. Emergency department triage revisited.
Emerg Med J. 2010;27:85-92.
7. Mackway-Jones K, Marsden J, Windle J. Emergency triage : Manchester Triage Group.
BMJ Books. 2006;2:1-20.
8. Lee CH. Disaster and mass casualty triage. American Medical Association Journal of Ethics.
2010;12(6):466-70.
9. Manos D, Petrie DA, Beveridge RC, Walter S, Ducharme J. Inter-observer agreement using
the Canadian emergency department triage and acuity scale. CJEM 2002;4:16–22.
10. van Veen M, Steyerberg EW, Ruige M ea. Manchester triage system in paediatric
emergency care: prospective observational study. BMJ. 2008;337: a1501.
11. Jimenez JG, Murray MJ, Beveridge R ea. Implementation of the Canadian Emergency
Department Triage and Acuity Scale (CTAS) in the principality of Andorra: can triage
parameters serve as emergency department quality indicators? . CJEM. 2003;5:315–22.

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai