Antibiotik sampai sekarang masih menjadi obat andalan yang digunakan untuk kasus-kasus peradangan, oleh karena itu sering digunakan di praktek kedokteran gigi.1,2 Penggunaan antibiotik secara sistemik di kedokteran gigi masih dibatasi, sejak banyak penyakit periodontal dan gigi dapat dikelola dengan intervensi operatif dan tindakan menjaga kebersihan rongga mulut.3 Antibiotik di kedokteran gigi diindikasikan sebagai pengobatan pada kasus peradangan dan sebagai profilaksis pada pasien yang berisiko terhadap peradangan fokal ataupun peradangan lokal.2 Sekarang ini penggunaan antibiotik mengalami peningkatan yang cukup besar, baik di Indonesia maupun di negara-negara maju lain seperti Amerika Serikat. Antibiotik dapat ditemukan dalam berbagai sediaan, yaitu topikal, oral, maupun intravena.1 Hasil penelitian yang dilakukan Al-Haroni dan Skaug di Norwegia, dari 268.834 resep yang ditulis oleh 4765 dokter gigi, menunjukkan bahwa resep dokter gigi berkontribusi sebesar 8% total konsumsi nasional dari 11 antibiotik, dan secara berturut-turut 13,5%, 2,8% dan 1,2% dari penggunaan penisilin β-laktam, makrolida dan linkosamida serta tetrasiklin. Kontribusi dokter gigi untuk konsumsi ≥13,2%) fenoksimetilpenisilin, spiramisin dan metronidazol jauh lebih tinggi ( dibandingkan antibiotik lain yang diresepkan (≤8,6%).4 Hasil penelitian Akram et.al. di Malaysia yang dilakukan pada mahasiswa kedokteran gigi tingkat akhir tentang contoh pengobatan pada pulpitis bahwa amoksisilin merupakan jenis antibiotik yang paling umum diresepkan (57,7%) dan disusul oleh metronidazol (40,4%). Sementara jenis antibiotik lain hanya 1,9%.5 Penelitian yang dilakukan Sundarajah, Chong, dan Lim di Malaysia menunjukkan peresepan antibiotik oleh dokter gigi berdasarkan keluhan utama pasien. Dari peresepan yang diberikan selama bulan Januari-Desember 2001, terdapat 759 peresepan (65,4%) antibiotik untuk keluhan sakit, 121 peresepan (10,4%) untuk pembengkakan setempat, 45 peresepan (3,9%) untuk fraktur gigi. Peresepan pada kasus trauma wajah/dental, lepasnya tambalan, dan perdarahan gingiva, secara berturut-turut, yaitu 0,6%, 0,6% dan 0,9% dari jumlah total peresepan antibiotik. Pasien yang tidak memiliki keluhan atau yang hanya melakukan pemeriksaan kesehatan gigi biasa tetapi sesudahnya diberi resep antibiotik, berjumlah 211 peresepan (18,2%).6 Hasil penelitan Palmer et al tentang pengetahuan peresepan antibiotik pada 1544 dokter gigi di Inggris dan 672 dokter gigi di Skotlandia dengan usia 21-61 tahun menunjukkan bahwa seluruh responden memiliki pemahaman yang kurang tentang penggunaan antibiotik dalam praktek kedokteran gigi.7 Begitu pula, penelitian yang dilakukan Ahmadi-Motamayel et al tentang pengetahuan mahasiswa tingkat akhir dan dokter gigi di Iran tentang profilaksis endokarditis infektif yaitu secara berturut-turut 65% dan 56%. Hal ini disebabkan oleh sebanyak 93% mahasiswa dan hanya 56% dokter gigi menggunakan buku sebagai sumber informasi. Dokter gigi dan mahasiswa di Iran tersebut mengetahui bahwa pasien dengan riwayat infektif endokarditis dan menggunakan katup jantung buatan merupakan kasus yang memerlukan profilaksis antibiotik.8 Antibiotik memberikan manfaat yang tidak perlu diragukan lagi. Namun bila dipakai atau diresepkan secara tidak tepat dapat menimbulkan banyak kerugian. Menurut Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih, sekitar 92% masyarakat di Indonesia tidak menggunakan antibiotik secara tepat (Utami, 2012).1 Resistensi terhadap antibiotik merupakan kerugian yang sangat tidak diinginkan. Resistensi terhadap antibiotik adalah kekebalan bakteri terhadap antibiotik yang diberikan. Biasanya, kekebalan ini terjadi pada antibiotik lini pertama, tetapi juga dapat kebal terhadap antibiotik lini kedua dan ketiga yang merupakan pilihan antibiotik jika lini pertama tidak mampu membunuh atau menghambat bakteri. Apabila resistensi terhadap pengobatan terus berlanjut dan tersebar luas, dunia yang sangat maju dan canggih ini akan kembali ke masa-masa kegelapan kedokteran saat belum ditemukannya antibiotik.1 Hal ini menjadi masalah di dunia kesehatan di seluruh dunia. Hingga pada tahun 2011, WHO menetapkan tema Antimicrobacterial Resistance and its Global Spread. Oleh karena penelitian dan penemuan antibiotik jenis baru lebih lambat dibanding resistensi terhadap antibiotik, maka sekarang sedang digalakkan kampanye dan sosialisasi pengobatan secara rasional, baik pengobatan, dosis, durasi atau lamanya penggunaan serta biaya yang tepat.1 Meningkatnya masalah resistensi terhadap antibiotik menegaskan kebutuhan terhadap rasionalisasi penggunaan antibiotik. Sangat sedikit informasi yang diketahui dan dipahami oleh dokter gigi umum mengenai penggunaan antibiotik di praktek klinis sehari-hari.7 Oleh karena itu, penelitian mengenai tingkat pengetahuan penggunaan antibiotik perlu dilakukan di RSGM-P FKG USU dengan mengambil sampel mahasiswa kepaniteraan klinik Departemen Bedah Mulut di RSGM-P FKG USU periode September 2013-Maret 2014. Alasan untuk memilih subjek ini adalah karena mahasiswa kepaniteraan klinik nantinya akan menjadi dokter gigi yang dalam praktek sehari-hari akan meresepkan antibiotik kepada pasien.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana tingkat pengetahuan penggunaan antibiotik oleh mahasiswa kepaniteraan klinik Departemen Bedah Mulut RSGM-P FKG USU periode September 2013-Maret 2014?
1.3 Tujuan penelitian
1.3.1 Tujuan umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat pengetahuan penggunaan antibiotik oleh mahasiswa kepaniteraan klinik Departemen Bedah Mulut RSGM-P FKG USU periode September 2013-Maret 2014.