Anda di halaman 1dari 28

BAB II

I. KONSEP DASAR MEDIK


A. Pengertian
Cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit
kepala, tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara
langsung maupun tidak langsung pada kepala (Suriadi, 2001).
Cedera kepala adalah trauma yang mengenai kulit kepala,
tengkorak, dan otak yang disebabkan oleh trauma tumpul atau trauma
tembus ( Mansjoer, 2000; Brunner & Soddarth, 2002 )
Cedera kepala paling sering dan penyakit neurologik yang serius di
antara penyakit neurologik, dan merupakan proporsi epidemik sebagai
hasil dari kecelakaan jalan raya ( Brunner& Suddarth, 2002 ).
Cedera kepala merupakan adaya pukulan/benturan mendadak pada
kepala dengan atau tanpa kehilangan kesadaran. Traumatik yang terjadi
pada otak yang mampu menghasilkan perubahan pada phisik, intelektual,
emosional,sosial, dan vocational(Susan Martin, 1999)
B. Anatomi dan Fisiologi Otak
Otak merupakan jaringan yang konsistensinya kenyal menyerupai
agar-agar dan terletak didalam ruangan yang tertutup oleh tulang yaitu
kranium (tengkorak), yang secara absolut tidak dapat bertambah
volumenya, terutama pada orang dewasa.Jaringan otak dilindungi oleh
beberapa pelindung, mulai dari permukaan luar adalah: kulit kepala yang
mengandung rambut, lemak dan jaringan lainnya, tulang tengkorak,
meningens (selaput otak dan liquor serebrospinalis). (Satyanegara, 1998).

Otak dibagi dalam beberapa bagian:


1. Serebrum (otak besar)
Merupakan bagian yang terluas dan terbesar dari otak, berbentuk telur,
mengisi depan atas rongga tengkorak, masing-masing disebut fase
kranialis anterior atas dan fase kranialis media.
Pada otak besar ditemukan beberapa lobus, yaitu:
a. Lobus frontalis, adalah bagian dari serebrum yang terletak di
depan siklus sentralis. Lobus ini terlihat dalam 2 fungsi
serebral utama, yaitu: (1) kontrol motorik gerakan volunter
termasuk fungsi bicara, dan (2) kontrol berbagai ekspresi
emosi, moral dan tingkah laku etika.
Fungsi aktifitas motoriknya diekspresikan melalui: korteks
somato-motorik primer (area Brodmann 4), korteks premotor
dan suplemen (area Brodmann 6), frontal eye field (area
Brodmann 8) dan pusat bicara Broca (area Brodmann 44),
sedangkan kontrol ekspresif dari emosi dan moral
dilaksanakan oleh korteks pre frontal (Satyanegara, 1998)
b. Lobus parietalis, terdapat di depan sulkus sentralis dan
dibelakangi oleh karaco oksipitalis. Lobus parietal dikaitkan
untuk evaluasi sensorik umum dan rasa kecap, dimana
selanjutnya akan dintegrasi dan diproses untuk menimbulkan
kesiagaan tubuh terhadap lingkungan eksternal. (Satyanegara,
1998)
c. Lobus temporalis, terdapat di bawah lateral dari fisura
serebralis dan didepan lobus oksipitalis. Lobus temporalis
mempunyai peran fungsionil yang berkaitan dengan
pendengaran, keseimbangan dan juga sebagian dari emosi-
memori.
d. Lobus oksipitalis, yang mengisi bagian belakang dari
serebrum, lobus oksipitalis sangat penting fungsinya sebagai
kortex visual. Secara umum, fungsi serebrum terdiri dari:
 mengingat pengalaman-pengalaman masa lalu
 pusat persyarafan yang menangani; aktifitas mental, akal,
inteligensi, keinginan dan memori
 pusat menangis, buang air besar dan buang air kecil
2. Batang otak (trunkus serebri)
Batang otak adalah pangkal otak yang merilei pesan-pesan antara
medula spinalis dan otak. Batang otak terdiri dari:
1) Diensefalon, bagian batang otak paling atas terdapat diantara
serebrum dengan mesensefalon. Kumpulan dari sel syaraf
yang terdapat dibagian depan lobus temporalis terdapat
kapsula interna dengan sudut menghadap ke samping. Fungsi
dari diensefalon:
 Vaso kontruktor, mengecilkan pembuluh darah.
 Respiratori, membantu proses persyarafan.
 Mengontrol kegiatan reflek.
 Membantu pekerjaan jantung.
Diensefalon tersusun atas struktur Hipothalamus yang
berfungsi sebagai pusat integrasi susunan saraf otonom, regulasi
temperatur, keseimbangan cairan dan elektrolit, integrasi sirkuit
siklus bangun-tidur, intake makanan, respon tingkah laku
terhadap emosi, pengontrolan endokrin, dan respon seksual.
Thalamus berfungsi sebagai pusat persediaan dan integrasi bagi
semua jenis impuls sensorik, kecuali penciuman. Thalamus
memainkan peranan penting dalam transmisi impuls
nyeri.(satyanegara, 1998)
2) Mesensefalon, atap dari mesensefalon terdiri dari 4 bagian
yang menonjol ke atas, 2 disebelah atas disebut korpus
quadrigeminus superior dan 2 disebelah bawah disebut korpus
quadrigeminus inferior, serat saraf okulomotorius berjalan ke
veritral dibagian medial. Serat-serat saraf nervus troklearis
berjalan ke arah dorsal menyilang garis tengah ke sisi lain.
Fungsinya terdiri dari:
 Membantu pergerakan mata dan mengangkat kelopak
mata.
 Memutar mata dan pusat pergerakan mata.
3) Pons varoli, brakium pontis yang menghubungkan
mesensefalon dengan pons varoli dengan serebelum, terletak
didepan serebelum diantara otak tengah dan medula
oblongota, disini terdapat premotoksid yang mengatur
gerakan pernafasan dan reflek. Fungsi dari pons varoli terdiri
dari:
dan reflek. Fungsi dari pons varoli terdiri dari:
a. Penghubung antara kedua bagian serebelum dan juga
antara medula oblongata dengan serebelum.
b. Pusat syaraf nervus trigeminus.
4) Medula Oblongata merupakan bagian dari batang otak yang
paling bawah yang menghubungkan pons varoli dengan
medula spinalis. Bagian bawah medula oblongata merupakan
persambungan medula spinalis keatas dan bagian atas medula
oblongata disebut kanalis sentralis didaerah tengah bagian
ventral medula oblongata. Fungsi medula oblongata
merupakan organ yang menghantarkan
impuls dari medula spinalis dan otak yang terdiri dari:
a. Mengontrol pekerjaan jantung.
b. Mengecilkan pembuluh darah (vasokonstruktor).
c. Pusat pernafasan (respiratory centre).
d. Mengontrol kegiatan reflek.
Otak dilindungi oleh selaput otak (meningen) yang terdiri dari
3 lapisan:
1. Duramater (lapisan sebelah luar)
Selaput keras pembungkus otak yang berasal dari jaringan ikat
tebal dan kuat, dibagian tengkorak terdiri dari selaput tulang
tengkorak dan duramater propia dibagian dalam. Didalam kanal
vertebralis kedua lapisan ini terpisah. Duramater pada tempat
tertentu mengandung rongga yang mengalirkan arah vena dari
otak, rongga ini dinamakan sinus longitudinal superior, terletak
diantara kedua hemisfer otak.
2. Arakhnoid (lapisan tengah)
Merupakan selaput halus yang memisahkan duramater dengan
piameter membentuk sebuah kantong atau balon berisi cairan
otak yang meliputi seluruh susunan syaraf sentral. Medula
spinalis terhenti setinggi dibawah lumbal I-II terdapat sebuah
kantong berisi cairan, berisi saraf perifer yang keluar dari
medula spinalis dapat dimanfaatkan untuk mengambil cairan
otak yang disebut pungsi lumbal.
3. Piamater (lapisan sebelah dalam)
Merupakan selaput tipis yang terdapat pada permukaan
jaringan otak, piamater berhubungan dengan arakhnoid melalui
struktur-struktur jaringan ikat yang disebut trabekel. Tepi falks
serebri membentuk sinus longitudinal inferior dan sinus
sagitalis inferior yang mengeluarkan darah dari falks serebri.
Tentorium memisahkan serebri dengan sereblum.(Syaifuddin,
1997).
C. Etiologi
a. Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda, dan
mobil.
b. Kecelakaan pada saat olah raga, anak dengan ketergantungan.
c. Cedera akibat kekerasan.
D. Klasifikasi
a. Menurut jenis cedera
1. Cedera kepala terbuka
Dapat menyebabkan fraktur pada tulang tengkorak dan jaringan otak
2. Cedera kepala tertutup
Dapat disamakan dengan keluhan geger otak ringan dan oedem
serebral yang luas

b. Menurt berat ringannya berdasarkan GCS (glosgow coma scale)


1. Cedera kepala ringan (kelompok resiko rendah)
 GCS 13-15 (sadar penuh, atentif, orientatif)
 Kehilangan kesadaran /amnesia tetapi kurang 30 mnt
 Tak ada fraktur tengkorak
 Tak ada contusio serebral (hematom)
 Tidak ada intoksikasi alcohol atau obat terlarang
 Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing
 Pasien dapat menderita abrasi, laserasi, atau hematoma kulit
kepala
 Tidak adanya criteria cedera sedang-berat
3. Cedera kepala sedang
 GCS 9-14 (konfusi, letargi, atau stupor)
 Kehilangan kesadaran lebih dari 30 mnt / kurang dari 24 jam
(konkusi)
 Dapat mengalami fraktur tengkorak
 Amnesia pasca trauma
 Muntah
 Kejang
4. Cedera kepala berat
 GCS 3-8 (koma)
 Kehilangan kasadaran lebih dari 24 jam (penurunan kesadaran
progresif
 Diikuti contusio serebri, laserasi, hematoma intracranial
 Tanda neurologist fokal
 Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur kranium
c. Menurut morfologi
 Fraktur tengkorak
 Kranium: linear/stelatum; depresi/non depresi; terbuka/tertutup
 Basis: dengan/tanpa kebocoran cairan serebrospinal, dengan/tan
pa kelumpuhannervus VII
 Fokal: epidural, subdural, intraserebral
 Difus: konkusi ringan, konkusi klasik, cedera aksonal difus
d. Menurut patofisiologi
1. Cedera kepala primer
Akibat langsung pada mekanisme dinamik (acelerasi - decelerasi
rotasi ) yang menyebabkan gangguan pada jaringan.
Pada cedera primer dapat terjadi :
 Gegar kepala ringan
 Memar otak
 Laserasi
2. Cedera kepala sekunder
Pada cedera kepala sekunder akan timbul gejala, seperti :
 Hipotensi sistemik
 Hipoksi
 Hiperkapnea
 Udema otak
 Komplikasi pernapasan
 Infeksi / komplikasi pada organ tubuh yang lain

Kerusakan Pada Bagian Otak Tertentu


Kerusakan pada lapisan otak paling atas (korteks serebri biasanya akan
mempengaruhi kemampuan berfikir, emosi dan perilaku seseorang. Daerah
tertentu pada korteks serebri biasanya bertanggungjawab atas perilaku tertentu,
lokasi yang pasti dan beratnya cedera menentukan jenis kelainan yang terjadi.
a. Kerusakan Lobus Frontalis
Lobus frontalis pada korteks serebri terutama mengendalikan keahlian
motorik (misalnya menulis, memainkan alat musik atau mengikat tali
sepatu). Lobus frontalis juga mengatur ekspresi wajah dan isyarat
tangan. Daerah tertentu pada lobus frontalis bertanggungjawab
terhadap aktivitas motor tertentu pada sisi tubuh yang berlawanan.
Efek perilaku dari kerusakan lobus frontalis bervariasi, tergantung
kepada ukuran dan lokasi kerusakan fisik yang terjadi. Kerusakan yang
kecil, jika hanya mengelai satu sisi otak, biasanya tidak menyebabkan
perubahan perilaku yang nyata, meskipun kadang menyebabkan
kejang.
Kerusakan luas yang mengarah ke bagian belakang lobus frontalis bisa
menyebabkan apati, ceroboh, lalai dan kadang inkontinensia.
Kerusakan luas yang mengarah ke bagian depan atau samping lobus
frontalis menyebabkan perhatian penderita mudah teralihkan,
kegembiraan yang berlebihan, suka menentang, kasar dan kejam;
penderita mengabaikan akibat yang terjadi akibat perilakunya.

b. Kerusakan Lobus Parietalis


Lobus parietalis pada korteks serebri menggabungkan kesan dari
bentuk, tekstur dan berat badan ke dalam persepsi umum. Sejumlah
kecil kemampuan matematikan dan bahasa berasal dari daerah ini.
Lobus parietalis juga membantu mengarahkan posisi pada ruang di
sekitarnya dan merasakan posisi dari bagian tubuhnya. Kerusakan kecil
di bagian depan lobus parietalis menyebabkan mati rasa pada sisi tubuh
yang berlawanan. Kerusakan yang agak luas bisa menyebabkan
hilangnya kemampuan untuk melakukan serangkaian pekerjaan
(keadaan ini disebutapraksia) dan untuk menentukan arah kiri-kanan.
Kerusakan yang luas bisa mempengaruhi kemampuan penderita dalam
mengenali bagian tubuhnya atau ruang di sekitarnya atau bahkan bisa
mempengaruhi ingatan akan bentuk yang sebelumnya dikenal dengan
baik (misalnya bentuk kubus atau jam dinding). Penderita bisa menjadi
linglung atau mengigau dan tidak mampu berpakaian maupun
melakukan pekerjaan sehari-hari lainnya.
c. Kerusakan Lobus Temporalis
Lobus temporalis mengolah kejadian yang baru saja terjadi menjadi
dan mengingatnya sebagai memori jangka panjang. Lobus temporalis
juga memahami suara dan gambaran, menyimpan memori dan
mengingatnya kembali serta menghasilkan jalur emosional. Kerusakan
pada lobus temporalis sebelah kanan menyebabkan terganggunya
ingatan akan suara dan bentuk. Kerusakan pada lobus temporalis
sebelah kiri menyebabkan gangguan pemahaman bahasa yang berasal
dari luar maupun dari dalam dan menghambat penderita dalam
mengekspresikan bahasanya. Penderita dengan lobus temporalis
sebelah kanan yang non-dominan, akan mengalami perubahan
kepribadian seperti tidak suka bercanda, tingkat kefanatikan agama
yang tidak biasa, obsesif dan kehilangan gairah seksual.

Cedera Spesifik Otak Kepala


a. Fraktur Tengkorak
Fraktur Linear : Kekuatan benturan lebih luas area tengkorak
Fraktur Basiler:Pada dasar tengkorak atau pada tulang sepanjang
bagian Frontal atau temporak Fraktur ini cukup serius karena
menimbulkan kontak antara CSS dan dunia luar melalui ruang
subarachnoid dan sinus yang mengandung udara dari wajah atau
tengkorak, memungkinkan bakteri masuk & mengisi drainase sinus.
Fraktur ini bisa melukai arteri dan vena yang kemudian mengalirkan
drahnya ke dalam rongga di
sekeliling jaringan otak. Patah tulang di dasar tengkorak bisa merob
ek meningens(selaput otak). Cairan serebrospinal (cairan yang
beredar diantara otak dan meningens) bisa merembes ke hidung atau
telinga.
Bakteri kadang memasuki tulang tengkorak melalui patah tulang
tersebut, dan menyebabkan infeksi serta kerusakan hebat pada otak.
Sebagian besar patah tulang tengkorak tidak memerlukan
pembedahan, kecuali jika pecahan tulang menekan otak atau
posisinya bergeser.
b. Geger Serebral (Contusio)
Gegar otak (kontusio serebri) merupakan memar pada otak, yang
biasanya disebabkan oleh pukulan langsung dan kuat ke
kepala.Robekan otak adalah robekan pada jaringan otak, yang
seringkali disertai oleh luka di kepala yang nyata dan patah tulang
tengkorak. Hal ini menandakan terjadinya perdarahan pada otak
yang dapat menimbulkan pembengkakan Bakteri ringan dari
cedera otak menyebar, disfungsi neurologis bersifat sementara
dapat pulih.Disorientasi dan bingung sesaat dengan gejala sakit
kepala, tak mampu konsentrasi gangguan memori sementara
pusing, peka omnesia retrograde. Jika terjadi pembengkakan pada
otak, maka bisa terjadi kerusakan lebih lanjut pada jaringan otak;
pembengkakan yang sangat hebat bisa menyebabkanherniasi otak.
c. Memar / Laserasi cerebral (Komosio)
Komosio cerebral setelah cedera kepala adalah hilangnya fungsi
neurologik sementara tanpa kerusakan struktur. Umumnya meliputi
sebuah periode tidak sadarkan diri dalam beberapa detik sampai
beberapa menit. Jika jaringan otak di lobus frontal terkena, pasien
dapat menunjukkan perilaku irasional yang aneh, dimana
keterlibatan lobus temporal dapat menimbulkan amnesia atau
disorientasi. Komosio cerebral ini merupakan memar pada
permukaan otak yang terdiri dari area hemoragi kecil-kecil yang
tersebar, gejala bersifat neorologis fokal, dapat berlangsung 2-3
hari setelah cedera dan menimbulkan disfungsi luas akibat dari
peningkatan edema serebral. Pada scan tomografi terlihat
masa dan menimbulkan perubahan TIK dengan jelas.
Tindakan terhadap komosio meliputi mengobservasi pasien
terhadap adanya sakit kepala, pusing, peka rangsang, dan ansietas
(sindrom pasca-komosio), yang dapat mengikuti tipe cedera.
Dengan memberi pasien informasi, penjelasan, dan dukungan pada
pasien dapat mengurangi beberapa masalah sindrom pasca -
komosio.
d. Hematom Epidural
Adalah suatu akumulasi darah pada ruang antara tulang tengkorak
bagian dalam dan lapangan meningens paling luar (dura), terjadi
karena robekan cabang kecil arteri meningeal tengah atau
frontal. Hal ini terjadi karena patah tulang tengkorak telah merobek
arteri. Darah di dalam arteri memiliki tekanan lebih tinggi sehingga
lebih cepat memancar.
Tanda dan gejala berupa sakit kepala hebat yang bias segera timbul
tetapi bias juga muncul beberapa jam setelah cedera dengan
intensitas nyeri tidak tetap, penurunan kesadaran ringan, diikuti
periode lucid, kemudian penurunan neurologi dari kacau mental
sampai coma, bentuk dekortikasi & deserebrasi, pupil isokor
sampai anisokor. Diagnosis dini sangat penting dan biasanya
tergantung kepada CT scandarurat. Hematoma epidural diatasi
sesegera mungkin dengan membuat lubang di dalam tulang
tengkorak untuk mengalirkan kelebihan darah, juga dilakukan
pencarian dan penyumbatan sumber perdarahan.
e. Hematoma Subdural
Adalah akumulasi darah dibawah lapangan meningeal duramater
diatas lapangan arakhnoid yang menutupi otak.Penyebabnya
robekan permukaan dan lebih sering pada lansia dan alkoholik
gejala sakit kepala, letargi, kacau mental, kejang
disfasia. Hematoma subdural berasal dari perdarahan pada vena di
sekeliling otak.Perdarahan bisa terjadi segera setelah terjadinya
cedera kepala berat atau beberapa saat kemudian setelah terjadinya
cedera kepala yang lebih ringan.Hematoma subdural pada bayi bisa
menyebabkan kepala bertambah besar karena tulang tengkoraknya
masih lembut dan lunak. Hematoma subdural yang kecil pada
dewasa seringkali diserap secara spontan. Hematoma subdural
yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala neurologis biasanya
dikeluarkan melalui pembedahan.
Petunjuk dilakukannya pengaliran perdarahan ini adalah:
 sakit kepala yang menetap
 rasa mengantuk yang hilang-timbul
 linglung
 perubahan ingatan
 kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang berlawanan.
Hematoma subdural dapat terjadi akut, sub akut, atau kronik, bergantung
pada ukuran pembuluh yang terkena dan jumlah perdarahan yang ada.
1. Hematoma subdural akut
Dihubungkan dengan cedera kepala mayor yang meliputi
kontusio atau laserasi.Hematoma subdural akut menimbulkan
gejala neurologik yang penting dan serius dalam 24 – 48 jam
setelah cedera.Cedera ini sering berkaitan dengan cedera deselerasi
akibat kecelakaan kendaraan bermotor. Biasanya pasien dalam
keadaan koma dan tanda klinis sama dengan hematoma epidural.
Tekanan darah meningkat, frekuensi nadi lambat dan
pernapasan cepat.
2. Hematoma subdural sub akut
Menyebabkan deficit neurologik bermakna dalam waktu lebih
dari 48 jam setelah cedera.
Hematoma ini disebabkan oleh perdarahan vena ke dalam
ruang subdural.Riwayat klinis khas dari penderita hematoma
subdural subakut adalah adanya trauma kepala yang menyebabkan
ketidaksadaran, yang diikuti penurunan kesadaran, dan perbaikan
status neurologik secara bertahap.Namun setelah jangka waktu
tertentu penderita memperlihatkan penurunan status
neurologik.Tingkat kesadaran menurun bertahap, pasien tidak
berespon, peningkatan TIK, lalu terjadiherniasi unkus atau sentral.
Angka kematian tinggi pada pasien hematoma subdural akut dan
sub akut, karena sering dihubungkan dengan kerusakan otak.
3. Hematoma subdural kronik
Terjadi karena cedera kepala minor, terjadi paling sering pada
lansia akibat atrofi otak karena proses penuaan. Tampaknya cedera
kepala minor dapat mengakibatkan dampak yang cukup untuk
menggeser isi otak secara abnormal dengan sekuela negative.
Waktu di antara cedera dan awitan gejala mungkin lama, sehingga
akibat actual mungkin terlupakan. Gejala dapat tampak beberapa
minggu setelah cedera minor. Hematoma subdural kronik
menyerupai kondisi lain dan mungkin dianggap sebagai stroke.

Tindakan terhadap hematoma subdural kronik ini daapt


dilakukan melalui lubang burr ganda, atau kraniotomi dapat
dilakukan untuk lesi massa subdural yang cukup besar yagn tidak
dapat dilakukan melalui lubang burr.
a. Hematoma Intrakranial
Adalah pengumpalan darah lebih dari 25 ml dalam parenkim
otak, penyebabnya adalah fraktur depresi tulang tengkorak,
cedera penetrasi peluru dan gerakan aselerasi-deserasi tiba-tiba
tindakan bersifat kontroversial bedah atau medis, serta bias juga
terjadi karena cedera atau stroke.
Perdarahan karena cedera biasanya terbentuk di dalam
pembungkus otak sebelah luar (hematoma subdural) atau diantara
pembungkus otak sebelah luar dengan tulang tengkorak (hematoma
epidural).Kedua jenis perdarahan diatas biasanya bisa terlihat
pada CT scan atau MRI. Sebagian besar perdarahan terjadi dengan
cepat dan menimbulkan gejal adalam beberapa menit. Perdarahan
menahun (hematoma kronis) lebih sering terjadi pada usia lanjut
dan membesar secara perlahan serta menimbulkan gejala setelah
beberapa jam atau hari.
Hematoma yang luas akan menekan otak, menyebabkan
pembengkakan dan pada akhirnya menghancurkan jaringan otak.
Hematoma yang luas juga akan menyebabkan otak bagian atas atau
batang otak mengalami herniasi. Pada perdarahan intrakranial bisa
terjadi penurunan kesadaran sampai koma, kelumpuhan pada salah
satu atau kedua sisi tubuh, gangguan pernafasan atau gangguan
jantung, atau bahkan kematian. Bisa juga terjadi kebingungan dan
hilang ingatan, terutama pada usia lanjut.
b. Konkusio
Konkusio adalah hilangnya kesadaran (dan kadang ingatan)
sekejap, setelah terjadinya cedera pada otak yang tidak
menyebabkan kerusakan fisik yang nyata.Konkusio menyebabkan
kelainan fungsi otak tetapi tidak menyebabkan kerusakan struktural
yang nyata.Hal ini bahkan bisa terjadi setelah cedera kepala yang
ringan, tergantung kepada goncangan yang menimpa otak di dalam
tulang tengkorak.
Konkusio bisa menyebabkan kebingungan, sakit kepala dan
rasa mengantuk yang abnormal; sebagian besar penderita
mengalami penyembuhan total dalam beberapa jam atau hari.
Beberapa penderita merasakan pusing, kesulitan dalam
berkonsentrasi, menjadi pelupa, depresi, emosi atau perasaannya
berkurang dan kecemasan.Gejala-gejala ini bisa berlangsung
selama beberapa hari sampai beberapa minggu, jarang lebih dari
beberapa minggu.Penderita bisa mengalami kesulitan dalam
bekerja, belajar dan bersosialisasi.Keadaan ini disebut sindroma
pasca konkusio.
Sindroma pasca konkusio masih merupakan suatu teka-teki;
tidak diketahui mengapa sindroma ini biasanya terjadi setelah suatu
cedera kepala yang ringan.Para ahli belum sepakat, apakah
penyebabkan adalah cedera mikroskopi atau faktor
psikis.Pemberian obat-obatan dan terapi psikis bisa membantu
beberapa penderita sindroma ini. Yang lebih perlu dikhawatirkan
selain sindroma pasca konkusio adalah gejala-gejala yang lebih
serius yang bisa timbul dalam beberapa jam atau kadang beberapa
hari setelah terjadinya cedera. Jika sakit kepala, kebingungan dan
rasa mengantuk bertambah parah, sebainya segera mencari
pertolongan medis.
Biasanya, jika terbukti tidak terdapat kerusakan yang lebih
berat, maka tidak diperlukan pengobatan. Setiap orang yang
mengalami cedera kepala diberitahu mengenai pertanda
memburuknya fungsi otak. Selama gejalanya tidak semakin parah,
biasanya untuk meredakan nyeri diberikan asetaminofen. Jika
cederanya tidak parah, aspirin bisa digunakan setelah 3-4 hari
pertama.

E. Patofisiologi
Dalam keadaan normal otak mempunyai kemampuan melakukan
autoregulasi aliran darah serebral dan menjamin aliran daerah konstan
melalui pembuluh darah serebral.Faktor-faktor ini dapat mengubah
kemampuan pembuluh serebral untuk berkontraksi dan berdilatasi serta
mengganggu autoregulasi diantaranya trauma otak, iskemia dan hipoxia,
pada klien dengan kerusakan autoregulasi. Aktivitas yang dapat
menyebabkan peningkatan aliran darah serebral juga dapat meningkatkan
TIK. Tekanan Intra Kranial (TIK) merupakan tekanan yang dikeluarkan oleh
kombinas dari 3 komplemen intrakranial yaitu jaringan otak, CSS dan darah.
Hipotesa monro kellie mengatakan volume intrakranial sama dengan volume
otak ditambah volume darah serebral dan CSS, dimana tiap perubahan
volume dari tiap-tiap komponan karena gangguan kranial dapat
menyebabkan peningkatan TIK.
Peningkatan TIK mengarah pada timbulnya iskemia, kekakuan otak dan
kemungkinan herniasi.Peningkatan TIK berkembang pada hampir semua
klien dengan lesi intra kranial setelah mengalmi cedera kepala.Pada semua
klien dengan cedera kepala bera, peningkatan TIK yang tidak terkontrol
dapat menyebabkan kematian.
Defisit Nerurologik pada cedera kepala dimulai dengan adanya trauma
pada otak yang dapat menyebkan fragmentasi jaringan dna contusio,
merusakn sawar otak, diserbtai vasodilatasi dan eksudasi jaringan sehingga
timbul edema yang dapat menyebabkan peningkatan TIK. Keadaan ini dapat
menurunkan aliran daerah serebral, iskemia, hipoksia, asidosis dan
kerusakan sawar darah otak lebih lanjut dan terjadi kematian sel-sel otak dan
edema bertambah positif.
Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan
oksigen melalui proses metabolik anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi
pembuluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia atau kerusakan otak akan
terjadi penimbunan asam laktat akibat metabolisme anaerob. Hal ini akan
menyebabkan asidosis metabolik.
Dalam keadaan normal cerebral blood flow (CBF) adalah 50 - 60 ml /
menit / 100 gr. Jaringan otak, yang merupakan 15 % dari cardiac output.
Trauma kepala meyebabkan perubahan fungsi jantung sekuncup aktivitas
atypical-myocardial, perubahan tekanan vaskuler dan udem
paru.Perubahan otonom pada fungsi ventrikel adalah perubahan
gelombang T dan P dan disritmia, fibrilasi atrium dan vebtrikel, takikardia.
Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan
vaskuler, dimana penurunan tekanan vaskuler menyebabkan pembuluh
darah arteriol akan berkontraksiPengaruh persarafan simpatik dan
parasimpatik pada pembuluh darah arteri dan arteriol otak tidak begitu
besar.
F. Tanda dan gejala
Adapun manifestasi klinis dari cedera kepala adalah sebagai berikut :
1. Gangguan kesadaran
2. Konfusi
3. Abnormalitas pupil
4. Piwitan tiba-tiba defisit neurologis
5. Perubahan TTV
6. Gangguan pergerakan
7. Gangguan penglihatan dan pendengaran
8. Disfungsi sensori
9. Kejang otot
10. Sakit kepala
11. Vertigo
12. Kejang
13. Pucat
14. Mual dan muntah
15. Pusing kepala
16. Terdapat hematoma
17. Kecemasan
18. Sukar untuk dibangunkan
19. Bila fraktur, mungkin adanya ciran serebrospinal yang keluar dari
hidung (rhinorrohea) dan telinga (otorrhea) bila fraktur tulang
temporal.
G. Test Diagnostik
1. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras) : Mengidentifikasi luasnya lesi,
perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak.
Catatan : Untuk mengetahui adanya infark / iskemia jangan dilekukan
pada 24 - 72 jam setelah injuri.
2. MRI :Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras
radioaktif.
3. Cerebral Angiography :Menunjukan anomali sirkulasi cerebral,
seperti : perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema,
perdarahan dan trauma.
4. Serial EEG :Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis
5. X-Ray :Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan
struktur garis(perdarahan/edema), fragmen tulang.
6. BAER : Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil
7. PET : Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
8. CSF, Lumbal Punksi : Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan
subarachnoid.
9. ABGs : Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan
(oksigenisasi) jika terjadi peningkatan tekanan intracranial.
10. Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit
sebagai akibat peningkatan tekanan intrkranial.
11. Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga
menyebabkan penurunan kesadaran.
H. Komplikasi
1. Epilepsi Pasca Trauma
Epilepsi pasca trauma adalah suatu kelainan dimana kejang terjadi
beberapa waktu setelah otak mengalami cedera karena benturan di
kepala.Kejang bisa saja baru terjadi beberapa tahun kemudian setelah
terjadinya cedera. Kejang terjadi pada sekitar 10% penderita yang
mengalami cedera kepala hebat tanpa adanya luka tembus di kepala dan
pada sekitar 40% penderita yang memiliki luka tembus di kepala.
Obat-obat anti-kejang (misalnya fenitoin, karbamazepin atau valproat)
biasanya dapat mengatasi kejang pasca trauma. Obat-obat tersebut sering
diberikan kepada seseorang yang mengalami cedera kepala yang serius,
untuk mencegah terjadinya kejang. Pengobatan ini seringkali berlanjut
selama beberapa tahun atau sampai waktu yang tak terhingga.
2. Afisia
Afasia adalah hilangnya kemampuan untuk menggunakan bahasa
karena terjadinya cedera pada area bahasa di otak.Penderita tidak mampu
memahami atau mengekspresikan kata-kata.Bagian otak yang
mengendalikan fungsi bahasa adalah lobus temporalis sebelah kiri dan
bagian lobus frontalis di sebelahnya. Kerusakan pada bagian manapun
dari area tersebut karena stroke, tumor, cedera kepala atau infeksi, akan
mempengaruhi beberapa aspek dari fungsi bahasa.
3. Apraksia
Apraksia adalah ketidakmampuan untuk melakukan tugas yang
memerlukan ingatan atau serangkaian gerakan.Kelainan ini jarang terjadi
dan biasanya disebabkan oleh kerusakan pada lobus parietalis atau lobus
frontalis.Pengobatan ditujukan kepada penyakit yang mendasarinya, yang
telah menyebabkan kelainan fungsi otak.
4. Agnosia
Agnosia merupakan suatu kelainan dimana penderita dapat melihat
dan merasakan sebuah benda tetapi tidak dapat menghubungkannya
dengan peran atau fungsi normal dari benda tersebut.Penderita tidak dapat
mengenali wajah-wajah yang dulu dikenalnya dengan baik atau benda-
benda umum (misalnya sendok atau pensil), meskipun mereka dapat
melihat dan menggambarkan benda-benda tersebut. Penyebabnya adalah
kelainan fungsi pada lobus parietalis dan temporalis, dimana ingatan akan
benda-benda penting dan fungsinya disimpan. Agnosia seringkali terjadi
segera setelah terjadinya cedera kepala atau stroke. Tidak ada pengobatan
khusus, beberapa penderita mengalami perbaikan secara spontan.
5. Amnesia
Amnesia adalah hilangnya sebagian atau seluruh kemampuan
untuk mengingat peristiwa yang baru saja terjadi atau peristiwa yang
sudah lama berlalu.Penyebabnya masih belum dapat sepenuhnya
dimengerti. Cedera pada otak bisa menyebabkan hilangnya ingatan akan
peristiwa yang terjadi sesaat sebelum terjadinya kecelakaan (amnesi
retrograd) atau peristiwa yang terjadi segera setelah terjadinya
kecelakaan (amnesia pasca trauma). Amnesia hanya berlangsung selama
beberapa menit sampai beberapa jam (tergantung kepada beratnya cedera)
dan akan menghilang dengan sendirinya. Pada cedera otak yang hebat,
amnesi bisa bersifat menetap.
Mekanisme otak untuk menerima informasi dan mengingatnya kembali
dari memori terutama terletak di dalam lobus oksipitalis, lobus parietalis
dan lobus temporalis. Amnesia menyeluruh sekejap merupakan serangan
lupa akan waktu, tempat dan orang, yang terjadi secara mendadak dan
berat. Serangan bisa hanya terjadi satu kali seumur hidup, atau bisa juga
berulang. Alkoholik dan penderita kekurangan gizi lainnya bisa
mengalami amnesia yang disebut sindroma Wernicke-Korsakoff.
Sindroma ini terdiri dari kebingungan akut (sejenis ensefalopati) dan
amnesia yang berlangsung lama.
Amnesia Korsakoff terjadi bersamaan dengan ensefalopati Wernicke.
Amnesia
Korsakoff juga bisa terjadi setelah cedera kepala yang hebat, cardiac arre
st atau ensefalitis akut.
6. Fistel Karotis-kavernosus
Ditandai oleh trias gejala: eksoftalmus, kemosis, dan bruit orbita, dapat
timbul segera atau beberapa hari setelah cedera.
Angiografi perlu dilakukan untuk konfirmasi diagnosis dan terapi dengan
oklusi balon endovaskuler untuk mencegah hilangnya penglihatan yang
permanent.
7. Diabetes Insipidus
Disebabkan oleh kerusakan traumtik pada tangkai hipofisis, menyebabkan
penghentian sekresi hormone antidiuretik.Pasien mengekskresikan
sejumlah besar volume urin encer, menimbulkan hipernatremia dan
deplesi volum.
8. Kejang pasca trauma
Dapat segera terjadi (dalam 24 jam pertama), dini (minggu pertama) atau
lanjut (setelah satu minggu).Kejang segera tidak merupakan predisposisi
untuk kejang lanjut; kejang dini menunjukkan risiko yang meningkat
untuk kejang lanjut, dan pasien ini harus dipertahankan dengan
antikonvulsan.
9. Kebocoran cairan serebrospinal
Dapat disebabkan oleh rusaknya leptomeningen dan terjadi pada 2-6 %
pasien dengan cedera kepala tertutup.Kebocoran ini berhenti spontan
dengan elevasi kepala setelah beberapa hari pada 85 % pasien. Drainase
lumbal dapat mempercepat proses ini. Walaupun pasien ini memiliki
risiko meningitis yang meningkat, pemberian antibiotic profilaksis masih
controversial.Otorea atau rinorea cairan serebrospinal yang menetap atau
meningitis berulang merupakan indikasi untuk reparative.
10. Edema serebral dan herniasi
Penyebab paling umum dari peningkatan TIK, Puncak edema terjadi 72
Jam setelah cedera. Perubahan TD, Frekuensi nadi, pernafasan tidak
teratur merupakan gejala klinis adanya peningkatan TIK. Penekanan
dikranium dikompensasi oleh tertekannya venosus & cairan otak
bergeser. Peningkatan tekanan terus menerus menyebabkan aliran darah
otak menurun dan perfusi tidak adekuat, terjadi
vasodilatasi dan edema otak. Lama-lama terjadi pergeseran supratentorial
dan menimbulkan herniasi. Herniasi akan mendorong hemusfer otak
kebawah / lateral dan menekan di enchephalon dan batang otak, menekan
pusat vasomotor, arteri otak posterior, saraf oculomotor, jalur saraf
corticospinal, serabut RES.Mekanisme kesadaran, TD, nadi, respirasi dan
pengatur akan gagal.
11. Defisit Neurologis dan Psikologis
Tanda awal penurunan fungsi neulorogis: Perubahan TK kesadaran, Nyeri
kepala hebat, Mual / muntah proyektil (tanda dari peningkatanTIK).
I. Penatalaksanaan
Secara umum penatalaksanaan therapeutic pasien dengan trauma kepala
adalah sebagai berikut:
1. Observasi 24 jam
2. Jika pasien masih muntah sementara dipuasakan terlebih dahulu.
3. Berikan terapi intravena bila ada indikasi.
4. Anak diistirahatkan atau tirah baring.
5. Profilaksis diberikan bila ada indikasi.
6. Pemberian obat-obat untuk vaskulasisasi.
7. Pemberian obat-obat analgetik.
8. Pembedahan bila ada indikasi.
II. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
Pemeriksaan fisik:
1. System pernapasan
 Anamnesa
merasa kekurangan O2, batuk dengan atau tanpa sputum
(tergantung adanya infeksi atau tidak)
 Inspeksi
Batuk dengan sputm atau tidak, nafas bau ,aseton,tackipneu
nafas kurmaul
 Auskultasi
Bunyi nafas vesikuler pada seluruh lapang paru
 Perkusi
Suara paru (pekak, redup, sono, hipersonor, timpani)
2. System kardiovaskular
 Anamnesa
Lemah, letih, sulit bergerak,keram otot, ada riwayat
hipertensi atau tidak
 Inspeksi
amati iktus cordis
 Palpalsi
raba letak iktus cordis
 Perkusi
batas-batas jantung
Batas normal jantung yaitu:
Kanan atas: SIC II RSB, kiri atas: SIC II LSB,
kanan bawah: SIC IV RSB, kiri bawah: SIC V medial 2
MCS
 Auskultasi
Jantung pekak (jika terjadi komplikasi karena masalah
jantung)
3. System pencernaan
 Anamnesa
Tidak ada nafsu makan ,mual muntah.
 Inspeksi
keadaan kulit, besar dan bentuk abdomen, gerakan
 Palpasi
hati, limpha teraba/tidak, adanya nyeri tekan
 Perkusi
suara peristaltic usus
 Auskultasi
frekuensi bising usus

4. System neurologis
 Anamnesa
Sakit kepala, pusing gangguan penglihatan
 Inspeksi
Retinopati, nauropati, gangguan memori, kesadaran
menurun
5. System muskuloskoletal
 Anamnesa
Lemah, letih, sulit bergerak, keram pada otot
 Inspeksi
Penderita lebih banyak tidur,tidak banyak bergerak
 Palpasi
Penurunan kekuatan otot, tonus otot menurun sulit
bergerak/ berjalan
6. System perkemihan
 Anamnesa
Kesulitan berkemih,atau terjadi perubahan pola berkemi
ada atau tidak riwayat ISK
 Inspeksi
Volume urin, warna urin, polyuria, dapat berkembang
menjadi oliguria, anuria, jika hipovolemik
 Palpasi
Adanya nyeri tekan pada kuadran kanan atas
7. System persepsi sensori
 Anamnesa
Kesulitan melihat, strees
 Inspeksi
Adanya retinopati, katarak, kebutaan, ansietas, peka
terhadap rangsanagan.
 Adanya nyeri tekan/ tidak
8. System endokrin
 Anamnesa
Lapar terus, kencing terus, nyeri di area perut
 Inspeksi
 Palpasi
9. System intigumen
 Anamnesa
Pusing ,sakit kepala
 Inspeksi
Ada luka/ tidak
 Palpasi
Turgor kulit jelek, kulit kering, keriput
10. System reproduksi
 Anamnesa
Gangguan seksualitas
11. System imunologi
 Anamnesa
Mudah sakit, cepat lelah
 Inspeksi
Peningkatan leukosit ( apabila ada infeksi)

12. Test nervus kranial (Lumbantobing, 2003: 24), (Tuti Pahria,


dkk, 1996: 55)
1. Nervus I (olfaktorius)
Memperlihatkan gejala penurunan daya penciuman dan
anosmia bilateral yang disebabkan karena terputusnya
serabut olfaktorius selain karena trauma kepala juga bisa
disebabkan oleh infeksi.
2. Nervus II (optikus)
Pada trauma oksipitalis, memperlihatkan gejala berupa
penurunan daya penglihatan, penurunan lapang pandang
3. Nervus III, IV, VI (okulomotorius, troklearis, abdusen)
Pada trauma kepala yang disertai dengan perdarahan
intrakranial akan menyebabkan gangguan reaksi pupil
yang lambat/ midriasis karena tekanan pada bagian pinggir
nervus III yang mengandung serabut parasimpatis.
Gangguan kelumpuhan N IV, namun jarang terjadi.
Kelumpuhan N IV menyebabkan terjadinya diplopia,
gejala lainnya berupa refek cahaya menurun, anisokor.
4. Nervus V (trigeminus)
Gangguan ditandai adanya anestesi daerah dahi.
5. Nervus VII (fasialis)
Pada trauma kepala yang mengenai neuron motorik atas
unilateral dapat menurunkan fungsinya, tidak adanya
lipatan nasolabial, melemahnya penutupan kelopak mata
dan hilangnya rasa pada 2/3 bagian lidah anterior
6. Nervus VIII (akustikus)
Pada pasien sadar gejalanya berupa menurunnya daya
pendengaran dan keseimbangan tubuh. Nervus IX, X, XI
(glosofaringetus, vagus, assesoris)
Gejala jarang ditemukan karena klien akan meninggal
apabila trauma mengenai syaraf tersebut. Adanya hiccuping
(cegukan) karena kompresi pada nervus vagus yang
menyebabkan spasmodik dan diafragma. Hal ini terjadi
karena kompresi batang otak. Cegukan yang terjadi
biasanya beresiko peningkatan tekanan intrakranial.
7. Nervus XII (hipoglosus)
Gejala yang biasa timbul adalah jatuhnya lidah ke salah
satu sisi, disfagia, dan disartria. Hal ini menyebabkan
adanya kesulitan menelan.
 Data psikologis (Tuti Pahria, dkk, 1996: 57)
Pasien yang mengalami penurunan kesadaran, maka data
psikologis tidak dapat dikaji. Sedangkan pada pasien yang
tingkat kesadarannya agak normal (GCS: 13-15) akan
terlihat adanya gangguan emosi, perubahan tingkah laku,
emosi yang labil, iritabel, apatis, delirium.
 Data sosial
Data yang diperlukan adalah bagaimana pasien
berhubungan dengan orang-orang terdekat dan yang
lainnya. Kemampuan berkomunikasi dan peranannya
dalam keluarga. Pada klien yang mengalami penurunan
kesadaran data sosial tidak dapat dikaji. Sedangkan pada
klien yang tingkat kesadarannya normal, pada klien trauma
kepala akan didapatkan kesulitan berkomunikasi bila area
trauma pada lobus temporal.
 Data spiritual
Data spiritual pada klien dengan penurunan kesadaran
tidak dapat dikaji, sehingga data ketaatan klien terhadap
agamanya, semangat dan falsafah hidup serta keTuhanan
yang diyakini klien tidak dapat terkaji.

B. Diagnosa keperawatan
1. Gangguan pola nafas B.d obstruksi tracheabronkial, naurovaskuler,
kerusakan medula oblongata,hiperventilasi
2. Perubahan perfusi jaringan serebral B.d edema serebral dan
peningkatan TIK
3. Gangguan rasa nyaman nyeri B.d peningkatan TIK
4. Kerusakan mobilitas fisik B.d kerusakan persepsi atau kognitif.

Anda mungkin juga menyukai