Anda di halaman 1dari 12

CORPORATE GOVERNANCE

(EMA 469 CP2)

SAP 2

Oleh :

KELOMPOK 10

LUH PUTU INDAH RAHMASARI 1607531014

KADEK GEYONG ADITYA GUMIYAR 1607531093

A.A.AYU DIKA PRABA PRADNYANI 1607531096

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


UNIVERSITAS UDAYANA
2019
2.1 Organisasi dan Lingkungan
Perusahaan sebagai suatu organisasi bisnis tidak dapat mencapai
tujuannya untuk mewujudkan prinsip - prinsip GCG karena tidak didukung oleh
fungsi dari sejumlah elemen yang terdapat di dalamnya. Dalam hal ini, untuk
membenahi fungsi dari sejumlah elemen yang terdapat di dalam oragniasi
perusahaan, diperlukan model organisasi. Model organisasi merupakan
representasi dari suatu organisasi yang membantu seseorang untuk lebih
memahami secara jelas dan cepat apa yang diamati dalam organisasi tersebut.
Secara lebih rinci, Burke menjelaskan berbagai kegunaan dari model organisasi:
(i) model membantu untuk meningkatkan pemahaman tentang perilaku
organisasi, (ii) model membantu untuk mengelompokkan data tentang
organisasi, (iii) model membantu menginterpretasikan data tentang organisasi,
dan (iv) model membantu untuk memberikan bahasa yang umum serta singkat
tentang organisasi (Falletta, 2005).

Organisasi sebagai suatu sistem yang terbuka mengacu pada pandangan


yang dikemukakan oleh teori organisasi moderen yang berkembang sejak tahun
1950-an. Dalam teori ini, organisasi cenderung dipandang sebagai berikut: (i)
organisasi merupakan suatu sistem yang terbuka, (ii) di dalam organisasi terjadi
transformasi masukan yang menghasilkan keluaran tertentu, masukan diperoleh
dari lingkungannya sedangkan keluaran akan diberikan organisasi kepada
lingkungannya, (iii) di dalam organisasi terdapat elemenelemen yang penting
yang saling berhubungan satu sama lain, serta (iv) organisasi memiliki tujuan
dan batasan tertentu yang membedakan organisasi tersebut dari lingkungannya.
Pandangan tentang organisasi yang dikemukan oleh teori organisasi moderen
tersebut, terutama memberikan wawasan kepada manajemen untuk memandang
organisasi secara keseluruhan maupun sebagai bagian dari lingkungan eksternal
(Reksohadiprodjo dan Handoko, 2004). Secara lengkap, penggambaran
organisasi sebagai suatu sistem yang terbuka dapat dilihat pada gambar berikut.

2.2 Struktur Kepemilikan Korporasi


2.2.1 Kepemilikan Tersebar
Pada model ini perusahaan memiliki pemegang saham yang banyak
dengan jumlah saham yang sedikit.Pemegang saham minoritas ini kurang
mengawasi aktivitas perusahaan dan cenderung tidak terlibat dalam
pengambilan keputusan atau kebijakan perusahaan. Oleh karena itu, pemegang
saham tersebut disebut outsider, dan kepemilikan yang tersebar tersebut disebut
sebagai outsider system dan menurut Roche (2005), kepemilikan yang tersebar
ini merupakan model dari negara-negara common law seperti Amerika Serikat
dan Inggris.

Outsider system atau Anglo-American ini merupakan market-based


model yang dikarakteristikkan oleh perusahaan yang individualis dan
kepemilikan privat, pasar modal yang mapan dan likuid, dengan jumlah
pemegang saham yang banyak dan konsentrasi investor yang
kecil.Pengendalian perusahaan diwujudkan melalui pasar dan investor luar.
Dalam outsider system ini terdapat anggota dewan yang independen untuk
mengawasi perilaku manajerial agar tetap terkontrol, sehingga menurut Roche
(2005), sistem ini lebih dapat dipertanggungjawabkan, tidak korupsi serta
membantu perkembangan pasar modal yang likuid.

Meskipun demikian, sistem ini memiliki kelemahan, yaitu kepemilikan


yang terkonsentrasi ini hanya tertarik pada maksimalisasi profit jangka pendek,
dan mereka cenderung untuk menyetujui kebijakan dan strategi yang
menguntungkan keuntungan jangka pendek, tetapi tidak mempertimbangkan
kinerja perusahaan jangka panjang.

2.2.2 Kepemilikan yang Terkonsentrasi (Concentrated Ownership)


Pada tipe perusahaan yang seperti ini, terdapat dua kelompok pemegang
saham, yaitu pemegang saham mayoritas yang bertindak sebagai pengendali
dan pemegang saham minoritas. Menurut Bae et al. (2003) kepemilikan yang
terkonsentrasi ini merupakan salah satu ciri dari control based model, selain
menekankan pada insider board, pengungkapan yang terbatas,dan
ketergantungan pada keuangan atau sistem perbankan keluarga. Karakteristik
perusahaan ini banyak dijumpai di negara-negara yang sedang berkembang
(seperti Indonesia, Korea) dan Continental European.Masalah keagenan yang
timbul terutama adalah antara pengendali dan pemegang saham minoritas.
Kelemahan dari sistem ini antara lain, pemegang saham mayoritas dapat
berkolusi dengan manajemen untuk mengambil alih asset perusahaan dengan
biaya dari pemegang saham minoritas. Ini merupakan risiko yang signifikan
bagi pemegang saham minoritas yang tidak dilindungi dengan hukum. Hal yang
sama, ketika manajer mengendalikan sejumlah besar saham atau hak suara yang
digunakan untuk mempengaruhi keputusan dewan yang menguntungkan
mereka dengan biaya perusahaan. Jadi terdapat masalah keagenan antara
pemegang saham minoritas dengan pengendali (pemegang saham
mayoritas).Selain itu kemungkinan terjadi masalah keagenan antara pemilik dan
kreditur lebih besar daripada tipe perusahaan yang kepemilikannya
menyebar.Samad (2004) dalam penelitiannya pada perusahaanperusahaan di
Malaysia menemukan bahwa kepemilikan yang terkonsentrasi dapat membuat
kinerja perusahaan menjadi lebih baik, dan komposisi kepemilikan tersebut
merupakan elemen penting untuk memacu kinerja perusahaan yang lebih baik.

2.2.3 Kepemilikan Manajerial


Para pemegang saham yang mempunyai kedudukan di manajemen
perusahaan baik sebagai kreditur maupun sebagai dewan komisaris disebut
sebagai kepemilikan manajerial (managerial ownership). Adanya kepemilikan
saham oleh pihak manajemen akan menimbulkan suatu pengawasan terhadap
kebijakan-kebijakan yang diambil oleh manajemen perusahaan. Kepemilikan
manajerial juga dapat diartikan sebagai persentase saham yang dimiliki oleh
manajer dan direktur perusahaan pada akhir tahun untuk masingmasing periode
pengamatan.

Masalah teknis tidak akan timbul jika kepemilikan dan pengelolaan


perusahaan tidak dijalankan secara terpisah. Pemilik (pemegang saham)
bertujuan untuk memaksimumkan kekayaannya dengan melihat nilai sekarang
dari arus kas yang dihasilkan oleh investasi perusahaan sedangkan manajer
bertujuan pada peningkatan pertumbuhan dan ukuran perusahaan. Tujuan
manajer ini dilandasi oleh dua alasan, yaitu:

a. Pertumbuhan yang meningkat akan memberikan peluang bagi manajer


bawah dan menengah untuk dipromosikan. Selain itu, manajer dapat
membuktikan diri sebagai karyawan yang produktif sehingga dapat
diperoleh penghargaan lebih dari wewenang untuk menentukan
pengeluaran (biaya-biaya)

b. Ukuran perusahaan yang semakin besar memberikan keamanan pekerjaan


atau mengurangi kemungkinan lay-off dan kompensasi yang semakin besar.

Semakin besar proporsi kepemilikan manajemen pada perusahaan, maka


manajemen cenderung berusaha lebih giat untuk kepentingan pemegang saham
yang tidak lain adalah dirinya sendiri. Kepemilikan saham manajerial akan
membantu penyatuan kepentingan antar manajer dengan pemegang saham.

Namun, tingkat kepemilikan manajerial yang terlalu tinggi juga dapat


berdampak buruk terhadap perusahaan. Dengan kepemilikan manajerial yang
tinggi, manajer mempunyai hak voting yang tinggi sehingga manajer
mempunyai posisi yang kuat untuk mengendalikan perusahaan, hal ini dapat
menimbulkan masalah pertahanan, dalam artian, adanya kesulitan bagi para
pemegang saham eksternal untuk mengendalikan tindakan manajer.

2.2.4 Kepemilikan Institusioanal


Kepemilikan suatu perusahaan dapat terdiri atas kepemilikan
institusional maupun kepemilikan individual. Atau campuran keduanya dengan
proporsi tertentu. Investor institusional memiliki beberapa kelebihan dibanding
dengan investor individual, diantaranya yaitu:

1. Investor institusional memiliki sumber daya yang lebih daripada investor


individual untuk mendapatkan informasi.

2. Investor institusional memiliki profesionalisme dalam menganalisa


informasi, sehingga dapat menguji tingkat keandalan informasi.

3. Investor institusional, secara umum, memiliki realsi bisnis yang lebih kuat
dengan manajemen.

4. Investor institusional memiliki motivasi yang kuat untuk melakukan


pengawasan lebih ketat atas aktivitas yang terjadi di dalam perusahaan.
5. Investor institusional lebih aktif dalam melakukan jual beli saham sehingga
dapat meningkatkan jumlah informasi secara cepat yang tercermin di
tingkat harga

Adanya pemegang saham seperti institusional ownership memiliki arti


penting dalam memonitor manajemen. Adanya kepemilikan oleh institusional
seperti perusahaan asuransi, bank, perusahaan-perusahaan investasi dan
kepemilikan oleh institusi-institusi lain akan mendorong peningkatan
pengawasan yang lebih optimal. Mekanisme monitoring tersebut akan
menjamin peningkatan kemakmuran pemegang saham. Signifikasi institusional
ownership sebagai agen pengawas ditekankan melalui investasi mereka yang
cukup besar dalam pasar modal. Apabila institusional merasa tidak puas atas
kinerja manajerial, maka mereka akan menjual sahamnya ke pasar.

Perubahan perilaku institusional ownership dari pasif menjadi aktif


dapat meningkatkan akuntabilitas manajerial sehingga manajer akan bertindak
lebih hati-hati dalam pengambilan keputusan. Meningkatnya aktivitas
institusional ownership dalam melakukan monitoring disebabkan oleh
kenyataan bahwa adanya kepemilikan saham yang signifikan oleh institusional
ownership telah meningkatkan kemampuan mereka untuk bertindak secara
kolektif. Dalam waktu yang sama, biaya untuk keluar dari investasi yang
mereka lakukan menjadi semakin mahal karena adanya resiko saham akan
terjual pada harga diskon. Kondisi ini akan memotivasi institusional ownership
untuk lebih serius dalam mengawasi maupun mengoreksi semua perilaku
manajer dan memperpanjang jangka waktu investasi.
2.3 Governance: Pemisahan Kepemilikan dan Pengendalian
Terdapat dua konsep dasar pada pemisahan kepentingan dan pengendalian
yaitu:
1. Konsep Pertama
Pada dasarnya konsep perusahaan (modern) mulai muncul pada saat
perusahaan tersebut dimiliki oleh banyak pihak, tidak lagi dimiliki oleh
perorangan ataupun hanya dimiliki beberapa pihak saja. Kebutuhan modal
usaha dan pengembangan bisnis mungkin menjadi salah satu alasan mengapa
kepemilikan perusahaan dibuka kepada banyak pihak. Pada mulanya pada saat
perusahaan masih belum berkembang (tertutup), pemilik (owner) masih
merangkap juga sebagai manajer perusahaan yang menjalankan usaha sehari-
hari. Namun seiring dengan berkembangnya kepemilikan pada banyak pihak
(diverse ownership), maka para pemilik perusahaan (shareholders) harus
menyerahkan pengendalian perusahaan (control) kepada pihak lain, dalam hal
ini management yang akan menjalankan kegiatan sehari-hari.

Inilah awal konsep “separation of ownership and control”- pemisahan antara


kepemilikan (ownership) dan pengendalian (control). Pemisahan ini kemudian
dikenal dengan teori “agency theory / agency relationship”, dimana terdapat
pihak principal (shareholders) yang mendelegasikan kewenangan mengelola
perusahaan kepada agent (manajemen) dan untuk bertindak mewakili
kepentingan principal. Adanya pemisahan antara kepemilikan dan pengendalian
ini juga menimbulkan permasalahan yang dikenal sebagai “agency problem”,
yaitu adanya perbedaan kepentingan antara pemilik dan manajemen.

Secara teoritis, agency theory and agency problem merupakan cikal


bakal tumbuhnya ilmu corporate governance. Secara sederhana corporate
governance bisa diartikan bagaimana mekanisme perusahaan dikelola dan
dijalankan serta mempelajari hubungan antara berbagai pihak yang terkait
dengan perusahaan. Dari sinilah muncul berbagai macam pengaturan terhadap
perusahaan yang dikenal sebagai “good corporate governance” untuk
melindungi kepentingan shareholders dan stakeholders.

2. Konsep Kedua
Dalam konteks ini, konsep “separation of ownership and control” adalah
terkait dengan struktur/ kepemilikan perusahaan publik. Kalau dalam konsep
pertama lebih bersifat kepada asal mula teori pemisahan kepemilikan dan
pengendalian dalam suatu perusahaan, maka dalam makna kedua ini lebih
terkait dengan struktur kepemilikan perusahaan publik yang sudah modern dan
bersifat komplek.

Dalam konsep ke-dua ini, terdapat dua pengertian fundamental terkait


dengan kepemilikan perusahaan, yaitu Ownership Right (OR) dan Control
Right (CR). Ownership Right (OR) mengacu kepada besarnya kepemilikan
suatu pihak terhadap perusahaan yang diukur dari jumlah uang/modal yang
telah diinvestasikan dalam perusahaan, yang sering kita lihat sebagai persentase
kepemilikan. Atas dasar investasi ini, maka pemodal berhak mendapatkan Cash
Flow Right (CFR) dalam bentuk dividen atas sahamnya. Dalam kerangka
pengertian ini, maka Ownership Right (OR) juga sering disebut sebagai Cash
Flow Right (CFR). Control Right (CR) mengacu kepada kekuatan mengontrol
perusahaan yang tercermin pada kekuatan suara dalam penentuan kebijakan
strategis perusahaan dalam sebuat rapat umum pemegang saham, sehinggga
Control Right (CR) sering juga disebut sebagai Voting Right (VR).
Secara teori, seharusnya cash flow right dan voting right adalah sama
dikarenakan saham menganut prinsip one-share-one-vote principle. Artinya
persentase kepemilikan suatu pihak yang tercermin dari jumlah nominal
investasinya adalah sama dengan persentase suara yang dimiliki pihak tersebut
dalam rapat pengambilan keputusan. Ini adalah konsep yang fair, dimana uang
yang dikeluarkan untuk investasi dalam perusahaan memberikan hak yang
sebanding dalam mengontrol perusahaan melalui kekuatan suara dalam rapat.

Namun demikian, terdapat kondisi atau penyimpangan dimana


ownership right/cash flow right adalah tidak sama dengan control right/voting
right. Yang terjadi adalah control/voting right melebihi dari ownership/cash
flow right. Adanya voting right yang lebih besar dari cash flow right
mencerminkan ketidakadilan, dimana ada pemegang saham yang memperoleh
control (suara) lebih besar dibanding persentase kepemilikan (investasi)-nya.
Atau dengan kata lain, investasi sedikit pada perusahaan namun mendapat hak
voting yang lebih besar.

2.4 Struktur Kepemilikan dan Mekanisme Pengendalian


Menurut Grosfeld dan Hashi, (2003) menyatakan bahwa struktur
kepemilikan perusahaan, derajat kepemilikan dan identitas pemegang saham
mayoritas memiliki pengaruh yang signifikan terhadap corporate governance
dan kinerja perusahaan. Mekanisme corporate Governance merupakan suatu
aturan main, prosedur dan hubungan yang jelas antara pihak yang mengambil
keputusan dengan pihak yang melakukan control/pengawasan terhadap
keputusan tersebut.Mekanisme governance diarahkan untuk menjamin dan
mengawasi berjalannya sistem governance dalam sebuah organisasi (Walsh dan
Seward, 1990). Walsh dan Seward (1990) menyatakan bahwa terdapat 2
mekanisme untuk membantu menyamakan perbedaan kepentingan antara
pemegang saham dan manajer dalam rangka penerapan GCG, yaitu mekanisme
pengendalian internal perusahaan dan mekanisme pengendalian eksternal
berdasarkan pasar.

Mekanisme pengendalian internal adalah pengendalian perusahaan yang


dilakukan dengan membuat seperangkat aturan yang mengatur tentang
mekanisme bagi hasil, baik yang berupa keuntungan, return maupun risiko –
risiko yang disetujui oleh principal dan agen. Mekanisme pengendalian
eksternal adalah pengendalian perusahaan yang dilakukan oleh pasar.

Menurut teori pasar untuk pengendalian perusahaan (market for corporate


control), pada saat diketahui bahwa manajemen berperilaku menguntungkan
diri sendiri, kinerja perusahaan akan menurun yang direflesikan oleh nilai
saham perusahaan.Pada kondisi tersebut, kelompok manajer lain akan
menggantikan manajer yang sedang memegang jabatan.Dengan demikian
bekerjanya market for corporate bias menghambat tindakan menguntungkan
manajer sendiri (Jensen dan Meckling, 1976).

2.5 Struktur Kepemilikan di Asia, Asia Tenggara dan Indonesia


2.5.1 Struktur Kepemilikan di Asia
Di kawasan Asia, pada umumnya pemisahan antara kepemilikan dan
kepengelolaan perusahaan tidak terlalu berkembang. Bisnis lebih bersifat
kekeluargaan sehingga kelompok-kelompok usaha besar yang berkembang
selalu dikendalikan oleh anggota keluarga dari hubungan darah atau hubungan
perkawinan. Hal tersebut sangat terasa dalam sistem Keiretsu di Jepang, Chebol
di Korea, dan Konglomerasi di Indonesia.

Dalam sistem Anglo-Saxon, pemisahan antara pemilik dan pengelola


perusahaan umumnya cukup tegas.Pemilik modal menyerahkan sepenuhnya
pengelolaan perusahaan kepada para professional.Hal tersebut bisa terjadi
karena adanya dukungan sistem pasar modal yang kuat sehingga kepemilikan
perusahaan bisa dijualbelikan dengan baik.
Dalam hal ini, kepemilikan perusahaan bisa saja terjadi secara anonym lewat
pembelian kepemilikan perusahaan lewat mekanisme pasa modal.Umumnya,
para pemilik modal ini memiliki suara dalam Rapat Umum Pemegang
Saham.Para pemilik modal dikelompokkan dalam pemilik modal besar
(blockholder) atau pemilik modal kecil (ritel).Pemilik modal besar memiliki
hak suara cukup besar serta posisi lemah dalam menyuarakan
kepentingan.Bahkan, banyak diantara mereka yang merasa tidak memiliki
insentif untuk menyuarakan kepentingan. Namun, dalam perusahaan dikenal
sebagai “komisaris independen” yang bertugas melindungi kepentingan
pemegang saham minoritas.

Di Korea, Singapura, Taiwan, dan Hongkong, kontrol keluarga terhadap


perusahaan begitu tinggi. Kontrol para pemilik perusahaan dilakukan melalui
struktur piramida dan kepemilikan silang diantara beberapa perusahaan.Model
ini nampaknya sangat umum terjadi di semua negara di kawasan Asia
Tenggara.Jadi pada dasarnya, pemisahan antara pemilik dan pengelola sangat
jarang terjadi di kawasan tersebut.Ditambah lagi, pemisahan antara kontrol dan
manajerial juga jarang terjadi karena para pemilik menguasai hak suara dengan
model kepemilikan silang yang dipertahankan untuk mempertahankan posisi
suara.

2.5.2 Struktur Kepemilikan di Asia Tenggara


Dalam perkembangan kapitalisme industrial berikutnya, ternyata yang
lebih menjadi masalah bukan lagi masalah keagenan tipe pertama, melainkan
tipe kedua. Dalam kasus di berbagai Negara di kawasan Asia Tenggara,
kepemilikan biasanya memiliki ciriciri:
1. Saham mayoritas umumnya dipegang di tangan keluarga dan Negara.
2. Pemegang saham pengontrol memiliki hak suara (control right) yang
melebihi kepemilikan (cash flow right) karena sistem kepemilikan yang
bersifat pyramidal, atau karena mereka menempatkan para manajer dari
anggota keluarga di perusahaan-perusahaan yang di kontrolnya.
2.5.3 Struktur Kepemilikan di Indonesia
Peraturan perundang-undangan Indonesia adalah peraturan berdasarkan
civil law. Artinya, hukum dijalankan berdasarkan aturan-aturan yang telah
dibuat. Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan perusahaan adalah
Undang-Undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Undang-
Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan
Peraturan Bapepam LK sebagai otoritas pengawas pasar modal bagi perusahaan
terbuka No. 8 Tahun 1995. UU PT menyebutkan bahwa organ perusahaan
terdiri dari Rapat Umum Pemegang Saham, Dewan Direksi, dan Dewan
Komisaris.RUPS memiliki kekuasaan tertinggi dalam pengambilan keputusan
di perusahaan, misal untuk hal penambahan modal, perubahan modal, pemilihan
eksekutif perusahaan, dan lain-lain.Struktur ini juga diterapkan dalam BUMN
berbentuk perseroan.

Informasi kepemilikan saham yang wajib dipublikasikan adalah


kepemilikan saham di atas 5% dan kepemilikan oleh eksekutif perusahaan.
Perusahaan tidak wajib mengungkapkan kepemilikan di bawah nilai tersebut
karena dianggap tidak material, kecuali untuk kepemilikan Direksi dan
Komisaris karena menunjukkan kontrol akan perusahaan. Di Indonesia, struktur
kepemilikan biasanya memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1. Saham mayoritas umumnya dipegang di tangan keluarga dan negara.


Dalam kasus perusahaan keluarga, pemisahan antara kontrol dan
kepemilikan sebenarnya tidak terjadi karena biasanya para pengelola
perusahaan adalah anggota keluarga dari pemilik perusahaan.

2. Pemegang saham pengontrol memiliki hak suara yang melebihi


kepemilikan karena sistem kepemilikan yang bersifat pyramidal, atau
karena mereka menempatkan para manajer dari anggota keluarga di
perusahaan-perusahaan yang dikontrolnya.

3. Kepemilikan bank secara signifikan tidak begitu lazim. Terdapat


hubungan antara struktur kepemilikan dengan pemilihan Dewan
Pengawas.
DAFTAR PUSTAKA

Dominique, Lius Lady Inez. 2013. Praktik Good Corporate Governance Terkait
Struktur Kepemilikan Perusahaan di Indonesia.

Hudanusantara. 2010. Good Corporate Governance. Diakses dari:


http://hudanusantaraend.blogspot.com/2010/11/good-corporate-
governance_2805.html Pada 21 Februari 2019

Jensen, Michael C. dan W.H. Meckling. 1976. Theory of the Firm: Managerial
Beharvior, Agency Cost and Owership Stucture. Journal of Financial
Economics 3. Hal. 305-360.

Kompasiana. 2018. Struktur Kepemilikan Perusahaan di Indonesia. Diakses dari:


https://www.kompasiana.com/inezlius/551ff41f81331198019dfb7a/prakti
k-goodcorporate-governance-terkait-struktur-kepemilikan-perusahaan-di-
indonesia. Pada 21 Februari 2019

Prasetyantoko, A. 2008.Corporate Governance: Pendekatan Institusional. Jakarta:


PT Gramedia Pustaka Utama.

Susanty, Aries. 2009. Pemilihan Model Organisasi Dan Terwujudnya Prinsip-


Prinsip Good Corporate Governance. J@TI Undip 4(1). Hlm. 81-82.
Sutojo, Siswanto. E. John Aldridge. 2008. Good Corporate Governance Tata
Kelola Perusahaan Yang Sehat. Jakarta: PT Damar Mulia Pustaka.

Anda mungkin juga menyukai